UU 23/2014 memberikan perubahan besar terhadap pengelolaan sumber daya alam di tingkat daerah. Kewenangan pengelolaan sektor kehutanan, pertambangan, dan kelautan dialihkan dari kabupaten/kota ke tingkat provinsi dan pemerintah pusat. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan koordinasi antar daerah dan mendorong praktik tata kelola sumber daya alam yang lebih baik untuk kesejahteraan masyarakat. Namun, tantangan ter
1. LAHIRNYA UU 23/2014 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF OTDA DAN PENGELOLAAN SDA
R. SITI ZUHRO
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA, LIPI
Dipresentasikan dalam acara Workshop Ïmplikasi UU 23/2014:
Arah Politik Pengelolaan SDA di Indonesia Pasca UU 23/2014
BOGOR, 2 NOVEMBER 2015
3. Pengantar
• Dinamika UU Pemda berpengaruh tersendiri terhadap pola pengelolaan
SDA. Sebagai contoh:
• UU 23/2014 tentang Pemda saat ini lebih fokus pada efektivitas
pemerintahan.
• Sedangkan UU Pemda sebelumnya (32/2004) lebih untuk menciptakan
keseimbangan
• Sementara itu, UU 22/1999 nuansanya lebih mengarah ke dominasi
desentralisasi
• Hasil evaluasi terhadap pelaksanaan desentralisasi dan otda yang
berlangsung sejak 2001 menunjukkan hasil yang kurang
menggembirakan, khususnya terkait upaya daerah dalam mewujudkan
good/best practices. Meskipun ada beberapa daerah yang mampu
mewujudkan itu, jumlahnya masih sangat minim dibanding dengan
jumlah total daerah.
4. 2
• Pada dasarnya tak ada negara yang mempraktikkan seratus persen
sistem desentralisasi atau sistem sentralisasi. Karena itu, yang
diperlukan adalah menjaga keduanya agar tetap balance.
• Dalam konteks Indonesia dominasi sentralisasi atau dominasi
desentralisasi akan berpengaruh terhadap praktik keindonesiaan dan
kedaerahan yang terkesan keduanya seolah-olah sedang dibenturkan.
• Negara kesatuan dan prinsip otonomi daerah tidak perlu dibenturkan.
Kedaerahan dan keindonesian tidak perlu saling menyubordinasi,
karena keduanya saling melengkapi dan harus seimbang. Otda tidak
boleh hanya menonjolkan kedaerahannya saja, tapi pada saat yang
sama juga harus menjaga keseimbangan antara keduanya.
5. 3
• Otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia adalah dalam kerangka
Negara Kesatuan (unitary state). Tapi, apakah otonomi daerah telah
menjembatani kedaerahan dan keindonesiaan? Realitasnya relasi antara
kedaerahan dan keindonesiaan masih negatif, lebih menonjol
kedaerahannya. Otonomi daerah belum mampu menyerap keragaman
dalam keindonesiaan.
• Otonomi daerah telah memindahkan locus dari pusat ke daerah-daerah.
Hal ini semestinya bisa menjaga prinsip-prinsip NKRI dan Bhinneka Tunggal
Ika.
• Esensi otonomi daerah adalah memberikan peluang masyarakat sipil untuk
mendapatkan akses politik dan kesempatan dalam memperjuangkan
kepentingannya dalam konteks politik lokal.
6. 4
• Menurut Bung Hatta, otonomi daerah diperlukan agar rakyat dapat
mengontrol pemerintah dan agar daerah-daerah dengan karakteristik
dan kekhasannya itu dapat mengelola daerahnya sendiri.
• Otonomi daerah sebagai proses pembongkaran batas-batas teritorial
warisan masa lalu yang dianggap sebagai bentuk ketidakadilan
digantikan dengan proses pemancangan batas-batas baru teritori
yang otonom, yang dianggap mengandung muatan keadilan.
• Otonomi daerah adalah masalah bersama. Daerah-daerah tidak
boleh egois hanya memikirkan kepentingannya sendiri, tapi juga
harus memikirkan daerah tetangganya (prinsip toleransi dan
kooperasi).
7. Menyoal Peraturan tentang SDA
• Pasal 33 Undang-undang Dasar NRI 1945
• 1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan.
• 2. Cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.
• 3. Bumi dan air dankekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
• 4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
• 5. Ketentuan lebih lanjut megenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang.
8. 2
• Berdasarkan Konstitusi tsb pengelolaan SDA yang benar adalah untuk
menjamin keberlanjutan tercapainya kesejahteraan masyarakat.
• Ketika UU 32/2004 direvisi isu strategis seperti Pembagian Urusan
Pemerintahan ikut dibahas secara serius oleh tim perumus waktu itu.
• Pemerintah menganut prinsip inclusive authority model. Provinsi
dan Kabupaten adalah satu sub-sistem, sehingga peraturan yang lebih
bawah tidak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya. Jika ada
Perda di Kab/Kota yang bertentangan dengan Perda Provinsi, akan
dibatalkan oleh Pemerintah Pusat (kontrol yuridis ada di Pusat).
9. 3
• Domain pengurusan menggunakan : (1) prinsip eksternalitas (2)
prinsip efisiensi yang akan ditentukan oleh Pemerintah.
• Prinsip subsidiaritas akan diterapkan, yang berarti pemerintah daerah
akan mengatur apa yang belum diatur pemerintah di atasnya;
pelaksanaan pelayanan akan diserahkan kepada pemerintahan yang
terdekat dengan masyarakatnya.
• Antara provinsi dengan kabupaten/kota relatif ada hierarki
fungsionalnya. Provinsi diperkuat secara lembaga.
10. 4
• Selain 6 urusan yang ekslusif Pusat, 31 urusan lain akan diatur
dengan model inclusive authority.
• Urusan wajib adalah prioritas nasional. Untuk urusan pilihan
dipertegas menjadi urusan unggulan daerah.
• Pemerintah Pusat mengatur norma dan standar (NSPK), Provinsi
mengatur yang belum diatur oleh Pusat (khususnya tentang miliknya
dan kabupaten-kota), Kabupaten/Kota mengatur miliknya dan
bagaimana hubungannya dengan masyarakat.
• Karena itu, revisi UU 32/2004 sangat mempertimbangkan implikasi
praktik design desentralisasi dan otonomi daerah yang kurang
memerankan fungsi provinsi/gubernur.
11. Implikasi Diterapkannya UU 23/2014 terhadap
Pengelolaan SDA
• Sebagai hasil revisi UU 2.2004, UU 23/2014 tentang Pemerintah
Daerah tidak lagi memberi kewenangan pengelolaan SDA (terutama di
sektor kehutanan, pertambangan dan perikanan-kelautan) kepada
kabupaten/kota. Sekarang ini kewenangan lebih besar ada di
pemerintah pusat dan provinsi.
• Praktis dengan dikeluarkannya UU 23/2014 tersebut kabupaten/kota
hanya diberi mandat mengurusi Taman Hutan Raya.
• Dengan kata lain, UU 23/2014 memberikan dasar-dasar yang berbeda
mengenai urusan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota dalam
hal tata kelola sumberdaya alam.
12. 2
• Dalam UU Pemda yang baru tersebut, sektor kehutanan merupakan
salah satu sektor yang paling banyak berubah. Banyak kegiatan yang
selama ini didesentralisasikan ke tingkat kabupaten/kota, kemudian di
tarik ke tingkat provinsi.
• Di sektor kehutanan, tampaknya beban provinsi dalam pengelolaan
hutan akan semakin berat. Good forest governance menjadi taruhan
baru bagi kemampuan provinsi dalam merencanakan, mengelola,
menyediakan sumber daya dan mengatur tata kelola hutan
termasuk memenuhi berbagai harapan terhadap kontribusi sumber
daya hutan terhadap isu-isu perubahan iklim, dan lain-lain.
13. 3
• Tantangannya bagaimana provinsi dapat meneruskan inisiatif-inisatif
tersebut seraya juga mengembangkan program yang lebih besar dan
menyeluruh.
• Tantangan lain bagaimana alokasi sumber daya (termasuk keuangan) yang
bisa dialokasikan pemerintah provinsi untuk memenuhi tuntutan tugas
yang baru ini.
• Selain itu, imbas ditetapkannya UU 23/2014 maka upaya pengelolaan
wilayah pesisir dan laut berkelanjutan yang telah diinisiasi oleh
kabupaten/kota menjadi tidak dapat dilanjutkan (kasus Kaltim).
• Kegiatan yang selama ini didesentralisasikan ke tingkat kabupaten,
dikembalikan ke tingkat provinsi. Kabupaten diberi mandat untuk
mengurus taman hutan raya dan pemberdayaan nelayan kecil serta tempat
pelelangan ikan untuk sektor kelautan.
14. Penguatan Provinsi/Gubernur
• Sejak penerapan desentralisasi dan otda peran provinsi kurang tampak,
tidak efektif khusunya dalam mendukung pembangunan di tingkat
kabupaten/kota pada tataran desentralisasi.
• Permasalahan yang paling krusial dalam pelaksanaan otda, berada pada
desain pemerintahan, di mana pemerintah provinsi cenderung kurang
memiliki power dalam mengkoordinasi pemerintahan pada level
kabupaten/kota. Sebagai akibatnya korbinwas antar jenjang pemerintahan
tidak efektif.
• Selain itu, desain pemerintahan dalam konsep otonomi berimplikasi
terhadap arah penyusunan dan alokasi fiskal dari pusat ke daerah, dana
perimbangan langsung diterima kabupaten/kota sehingga
penggunaannya kurang optimal karena cenderung tanpa koordinasi
dengan pemerintah provinsi.
15. 2
• Dalam UU Pemda yang baru kedudukan gubernur sebagai daerah
otonom (DO) dikuatkan dengan mengalihkan sejumlah kewenangan
sektoral dari kabupaten/kota ke provinsi.
• Masalahnya, apakah uji coba praktik “titik tekan” otda di
kabupaten/kota diubah ke provinsi akan memberikan dampak positif
terhadap efektivitas pengelolaan sumber-sumber yang ada di daerah
ataukah ini akan memunculkan kerentanan atau resistensi baru dari
kabupaten/kota?
16. 3
• Meskipun di Konstitusi kita tak ada satu pun pasal yang secara
eksplisit menyebutkan tentang “titik tekan” otda apakah di
kabupaten/kota atau provinsi, semestinya desain desentralisasi dan
otda mempertimbangkan secara serius pilar kebangsaa “NKRI dan
Bhinneka Tunggal Ika” sebagai panduan kebijakan.
• Secara prinsip bila kebijakan otda untuk kesejahteraan rakyat, dan
praktik sistem presidensiil meletakkan presiden sebagai pemegang
otoritas tertinggi di bidang pemerintahan, pengelolaan SDA harus
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan elit.
17. 4
• Distorsi kewenangan terjadi seiring dengan praktik pilkada langsung.
Otda yang seharusnya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik
dan membangun Indonesia dari daerah, realitasnya malah sebaliknya.
Kewenangan disimpangkan oleh pimpinan daerah disaat penegakan
hukum loyo dan korbinwas antarjenjang pemerintahan absen tak
berfungsi.
• Bila ini dilanjutkan, fokus pimpinan daerah hanya pada kekuasaan
saja, pada otoritas untuk mengelola sumber-sumber yang bermanfaat
bagi dirinya sendiri untuk memelihara kekuasaaanya dan untuk
memenangkan dirinya dalam pilkada.
18. Penutup
• Arah politik pengelolaan SDA pasca UU 23/2014 seharusnya mengacu
pada Konstitusi yaitu untuk menyejahterakan rakyat.
• Namun selain Konstitusi, UU Pemda secara rinci juga mengatur
tentang pengelolaan SDA.
• UU Pemda yang baru (23/2014) seharusnya menjadi koreksi terhadap
pelaksanaan UU yang lama yang dinilai banyak menimbulkan distorsi.
Kalau pun arah pengelolaan SDA cenderung dikembalikan ke pusat
dan provinsi, di tataran praksis UU yang baru ini harus bisa
menunjukkan perbedaan konkritnya, baik secara substansi maupun
dampak positifnya terhadap masyarakat lokal.
19. 2
• Beda tsb bisa dibuktikan melalui:
• (1) pengelolaan SDA oleh pusat dan provinsi yang mengedepankan prinsip-prinsip
tata kelola pemerintahan yang baik yang mengedepankan transparansi, partisipasi
dan akuntabilitas. Pusat dan provinsi bisa menjadi contoh teladan (role model) bagi
kabupaten/kota dalam penegakan hukum ketika mengelola SDA tsb.
• (2) distrubusi secara adil hasil-hasil SDA yang dikelola tersebut untuk daerah-daerah
yang khususnya tak memiliki sumber-sumber yang cukup. Distribusi hasil-hasil SDA
tsb (melaui DAU dan DAK) dilandasi oleh trust building antarjenjang pemerintahan,
tidak berbelit-belit dalam proses pencairannya sehingga tak muncul lagi dusta
diantara mereka. DPOD perlu didorong agar perannya lebih ektif/fungsional dalam
mengawasi otda.
• (3) komitmen dan konsistensi yang tinggi antarjenjang pemerintahan dalam
menyukseskan desentralisasi dan otda untuk kesejahteraan rakyat.***