2. KONTEKS
• Sengketa agraria atau problem SDA menjadi masalah
serius;
• Banyak masalah agraria yang berlangsung tidak
terselesaikan dengan tuntas; hingga berlarut, berulang
dan menimbulkan dampak buruk yang meluas
• Secara hukum regulasi yang tidak efektif diterapkan
dengan sejumlah faktor dan risiko
• Politik agraria makin terjebak pada pola kebijakan yang
memfasilitasi kepentingan elit politik dan pelaku bisnis
sehingga merusak lingkungan
• Formasi sosial mencerminkan ketimpangan struktural
sebagai bentuk ketidakadilan agraria
3. • Problem pokok soal kemiskinan, ketimpangan sosial
ekonomi, ketidakadilan dalam pemilikan dan
pengelolaan sumberdaya agraria tidak menjadi
pembahasan dan perdebatan serius; yang mudah
diterpa oleh isu-isu milik “kaum oligark”
• Masalah dan kebutuhan reformasi agraria mengalami
“keterasingan” dalam proses demokratisasi
pembangunan; padahal semangat reformasi berupaya
menuju ke arah pembaharuan dan keadilan agraria
4. • Sejak era liberalisasi politik (reformasi), belum
terbangun nalar tautan antara demokrasi dengan
problem empirik
• Selain prosuderalisme dan formalisasi menjadi
mainstream, upaya-upaya untuk menempatkan
demokrasi dalam konteks untuk menjawab masalah
krusialyang terjadi di masyarakat
• Akibatnya demokrasi politik kurang berhasil mendorong
pembaharuan agraria secara substansi; alih-alih hanya
sekadar “jargon” dan pepesan kosong yang menjadi
narasi politik tak berpijak pada realitas sosialnya
5. • Ada dua kutup yang perlu dijelaskan:
• Negara tidak pernah serius mengupayakan langkah
terobosan yang secara konsisten dikerjakan; paling tidak
oleh pemerintah dan aparat lembaga ekstra negara untuk
menyusun road map yang dapat diukur derajat
keberhasilannya; sekalipun ada kebijakan atau regulasi
hanyalah parsial dan selalu “terhalang” oleh konflik
kepentingan, karena watak kebijakan agraria dikendalikan
oleh “pebisnis jahat” yang beririsan kepentingan dengan
politisi
• Masyarakat, dengan segala elemennya, selain bergerak
sporadis dan tidak terorganisir memperjuangkan reformas
agraria, sebagian besar juga terserap dalam nalar
prosedural
6. • Kepercayaan pada hukum positif untuk mengatasi
problem agraria sebagai dasar legal; ternyata
terhambat dalam corak dan watak hukum yang dibelit
sifat “koruptif”; demikian pula diperparah oleh orientasi
politik yang pragmatis dengan meneguhkan fungsi-
fungsi penguasaan sumberdaya karena bekerjanya
konspirasi politisi dengan pebisnis hitam yang merusak
tatanan agraria
• Upaya mengoptimalkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA) tidak pernah berhasil, kecuali hanya
menjadi “narasi besar” yang masuk dalam komodifikasi
politik yang banal (dangkal)
7. • Ruang artikulasi masyarakat makin menyempit;
negosiasi menuju keadilan agraria terus disumbat;
dampaknya hanyalah menjalar menjadi konflik dan
kekerasan yang mengorbankan rakyat dan beriringan
makin rusaknya tata agraria di Indonesia
• Jika demikian, tidak mungkin memanfaatkan demokrasi
“prosuderalisme dan formalisme” semata tanpa
ditopang gerakan sosial sebagai pengimbang untuk
mengatasi kebuntuan tersebut
8. • Fakta kompleksitas masalah agraria terkaitt lintas sektor,
sebagaimana tercermin dalam regulasi misalnya Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batu Bara, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014
tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; perlu ada analisis kritis
agar mampu menyusun rancang bangun pembaharuan
agraria
9. • Karena itu, jika akan memanfaatkan Tap MPR No. IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam, harus ada perubahan paradigma praksis pembaharuan
agraria
• Komitmen politik melalui ketetapan MPR itu jika diikuti road map
pembaharuan agraria dengan menautkan pada skema
kebijakan yang lain, dan menggunakan jalur hukum politik dan
civil society, maka masih banyak peluang yang bisa dikerjakan
untuk menyusun terobosan
• Demikian pula, turunan praksis yang bisa mengakselerasi
dengan memanfaatkan momentum; pemerintahan baru,
komitmen politik antar pihak serta dukungan masyarakat sipil
akan menjadi modalitas penting keberhasilan perwujudan
keadilan agraria
10. • Jalan moderat untuk mengatasinya, melakukan audit legal
atas praktik agraria yang bertumpu pada perubahan cara
pandang tidak sekadar “menata” namun “revolusi hukum”
dengan mendaratkan pada problem empirik: menuju keadilan
agraria (SDA)
• Demikian pula secara politik; perubahan struktural kekuasaan
mau tidak mau menjadi pilihan prioritas; adalah fokus
reformasi sumberdaya alam khususnya agraria dalam jangka
menengah harus mendorong dan memperkuat arah keadilan
struktural berbasis masalah-masalah nyata yang terjadi di
masyarakat
11. PEMBANGUNAN LOKAL
• Terbitnya UU no. 23 tahun 2014, tentang Pemerintahan Daerah,
menjadi pisau bermata dua;
• Disatu sisi memberi kewenangan lokal membuat terobosan
dalam mengorientasikan arah dan substansi pembangunan
lokal
• Disisi lain bisa menjadi arena dan ladang penyuburan praktik
eksploitasi SDA dengan corak kapitalistik
• Penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) yang
berproses secara sistematik di daerah dengan terbitnya Perda,
Perub maupun regulasi atau kebijakan lain yang mendistorsi
tujuan keadilan ekologi dan tata ruang
12. • Banyak masalah alih lahan pertanian ke pola dan corak
yang kapitalistik (perumahan mewah, apartemen, hotel,
mall dst) berdampak perubahan tata ruang lokal
dengan risiko ketimpangan dan keterancaman ekologi
• Ruang hijau dan arena publik makin terkikis dan
menghasilkan problem : risk society, dengan
kemerosotan kualitas SDA
• Pencemaran atau polusi berbagai jenis; kelangkaan air
dan pendangkalan daya kesuburan tanah
menghasilkan kehancuran sistematis kehidupan lokal
• Hutan-hutan di lokal makin terancam, kerusakan yang
tidak terkendali berdampak “bencana kemanusiaan”
13. TANTANGAN
• Peluang untuk menghentikan problem tersebut, selain
penegakan hukum dan penguatan partisipasi kritis
masyarakat untuk memperkuat gerakan peduli agraria
dan keadilan ekologi, perlu pula mendorong perubahan
paradigma pembangunan yang arahnya mengontrol
arus pasar (neoliberalisme)
• Anarkhisme pasar dan politik oligark di tingkat daerah
tentu menjadi ancaman; karenanya perlu diantisipasi
dengan pemikiran “radikalisasi kelola SDA”
14. • Terbitnya UU no. 6 tahun 2014 tentang Desa dapat
dimanfaatkan untuk melakukan “counter politik” atas
mainstream pembangunan daerah dampak
penyalahgunaan kekuasaan dari UU No. 23 tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah
• UU Desa dapat dijadikan salah satu arena baru
memperkuat kembali komunitas dan lokalitas dengan
perspektif yang memadukan antara pemberdayaan
ekonomi lokal dan kelola kelestarian SDA.
• Desa membangun sebagai pendekatan strategis
merupakan bentuk kebangkitan lokal digerakkan oleh
madzab “Kelestarian SDA yang berkeadilan”
15. • Hutan desa merupakan topik penting dalam UU Desa;
Menjadikan desa sebagai subjek strategis pengelola,
penjaga dan penerima manfaat SDA sebagai jawaban
problem-problem kemiskinan dan ketidakadilan
• Perlu transformasi baru, revolusi pemikiran kelola
hutan desa menjadi kekuatan pangan, energi dan pilar
lingkungan