Perjalanan yang belum selesai (6)
Pulang dari AS melamar jadi Korektor Majalah Tempo dan Tabloid Zaman. Pindah ke LKBN Antara menjadi Reporter. Mengenal Mafia Peradilan dan ‘’amplop’’ di pengadilan dan kota Jakarta Timur.
http://www.allvoices.com/contributed-news/4772925-perjalanan-yang-belum-selesai-6
Oleh: Muhammad Jusuf *
Sebelum memutuskan kembali ke Jakarta, akhir tahun 1983, saya sudah memborong buku-buku, terutama mengenai mata kuliah ekonomi seperti yang tertuang di dalam kurikulum, agar walau kuliah tidak selesai S1, tetapi materinya bias dipelajari di kampung sendiri. Agar tidak dibebani biaya barang yang mahal, maka buku-buku saya taruh di dalam kotak-kotak, sehingga bias dikapalkan melalui pengiriman kapal laut, walau saya sudah sampai, buku-buku itu baru sampai beberapa pecan kemudian, walau sudah dalam keaddan tercecer, karena tukang pos kita masih membawa pengiriman itu menggunakan sepeda, jadi buku-bukunya diperoleh dalam keadaan tercecer.
Aku tiba di Bandara Halim Perdana Kusuma, karena Bandara Internasional ketika itu sudah pindah dari Bandara Kemayoran ke Bandara Halim Perdana Kusuma. Bandara Soekarno-Hatta ketika itu belum selesai dan baru direncanakan untuk dibangun. Di dalam perjalanan pulang, karena barang-barang yang aku bawa banyak, terutama buku-buku bekas, terpaksa, ada sebagian barang, sesuai dengan jatah aku langsung saja taruh lebel ke bandara Halim Perdana Kusuma. Sedangkan barang-barang lain, aku taruh untuk label dan destinasi ke Tokyo, Jepang.
Saya memang sudah merencanakan untuk tidak langsung pulang ke Jakarta, namun singgah ke Tokyo, dan nginap di Tokyo semalam. Ini dimungkinkan, karena bila kita menggunakan Jepan Air Lines (JAL) bila dalam destination kita ke kota mana pun namun singgah di Tokyo, kita bias memperoleh Hotel gratis maksimal 3 hari. Jadi, saya memanfaatkan jatah nginap hotel gratis ini di Hotel Nikko di Bandara Narita, selain memanfaatkan untuk melihat-lihat dulu kota Tokyo, juga menitip barang-barang orang-orang Jepang yang baru Pulang dari Los Angeles ke Tokyo. Kebetulan banyak pengusaha Jepang yang hanya menenteng tas saja, tidak banyak yang membawa bagasi. Ketika itu memang kita masih memungkinkan, karena belum banyak isu teroris, dan penyelundupan narkoba, sehingga mereka masih ‘’bersedia’’ dititipin jatah bagasinya.
Setelah beberapa bulan di Jakarta, saya melihat iklan di Majalah Tempo, mereka ketika itu memasang iklan membutuhkan tenaga wartawan, editor dan korektor. Ketika itu, masih system lama, mesik tik manual, belum ada computer, sehingga mereka masih membutuhkan korektor yang dikoreksi juga secara manual. Biasanya naskah dari Redaktur diberikan kepada seorang korektor dulu, sebelum di edit lagi seorang copy editor, dan setelah itu baru ke beri ke bagian pra cetak, sebelum diterbitkan.
Saya, tentu saja melamar menjadi korektor, dengan alas an juga juga berpengalaman menjadi korektor ketika kerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ketika bagian Penggandaan di Bagian Umum menerbitkan buku, dan saya mencoba mengkoreksi beberapa kata dan kalimat yang salah ketik, sebelum dikembalikan ke editor dan dikirim ulang ke bagian penggandaan sebelum di cetak.
Ketika itu saya mengikuti tes Bahasa Inggris dan proses wawancara. Kebetulan ketika itu saya calon Korektor dan saudara Eddy Soetriono calon copy editor. Tes sendiri berlangsung di Lembaga Indonesia-Amerika (LIA) Pramuka. Beberapa hari kemudian menjalani tes kesehatan yang dilakukan langsung Poliklinik Tempo yang ada di Proyek Senen, Jakarta Pusat, bersebelahan dengan Kantor Redaksi Majalah Tempo. Tes kesehatan dilakukan langsung oleh Dr.Kartono Muhammad, adik Pemimpin Redaksi Majalah Tempo ketika itu, Goenawan Muhammad.
Saya, beberapa hari kemudian dinyatakan lulus, dan bekerja menjadi korektor tempo. Biasa, seorang korektor pada saat dead line, kadang pulang pagi. Tidak heran, kadang saya tertidur beberapa detik di jalan ketika sedang berada di atas ‘’Vespa’’, dan suatu kali pernah hampir
1. Perjalanan yang belum selesai (6)
Pulang dari AS melamar jadi Korektor Majalah Tempo dan Tabloid Zaman. Pindah ke LKBN Antara
menjadi Reporter. Mengenal Mafia Peradilan dan ‘’amplop’’ di pengadilan dan kota Jakarta Timur.
http://www.allvoices.com/contributed-news/4772925-perjalanan-yang-belum-selesai-6
Oleh: Muhammad Jusuf *
Sebelum memutuskan kembali ke Jakarta, akhir tahun 1983, saya sudah memborong buku-buku,
terutama mengenai mata kuliah ekonomi seperti yang tertuang di dalam kurikulum, agar walau kuliah
tidak selesai S1, tetapi materinya bias dipelajari di kampung sendiri. Agar tidak dibebani biaya barang
yang mahal, maka buku-buku saya taruh di dalam kotak-kotak, sehingga bias dikapalkan melalui
pengiriman kapal laut, walau saya sudah sampai, buku-buku itu baru sampai beberapa pecan kemudian,
walau sudah dalam keaddan tercecer, karena tukang pos kita masih membawa pengiriman itu
menggunakan sepeda, jadi buku-bukunya diperoleh dalam keadaan tercecer.
Aku tiba di Bandara Halim Perdana Kusuma, karena Bandara Internasional ketika itu sudah pindah dari
Bandara Kemayoran ke Bandara Halim Perdana Kusuma. Bandara Soekarno-Hatta ketika itu belum
selesai dan baru direncanakan untuk dibangun. Di dalam perjalanan pulang, karena barang-barang yang
aku bawa banyak, terutama buku-buku bekas, terpaksa, ada sebagian barang, sesuai dengan jatah aku
langsung saja taruh lebel ke bandara Halim Perdana Kusuma. Sedangkan barang-barang lain, aku taruh
untuk label dan destinasi ke Tokyo, Jepang.
Saya memang sudah merencanakan untuk tidak langsung pulang ke Jakarta, namun singgah ke Tokyo,
dan nginap di Tokyo semalam. Ini dimungkinkan, karena bila kita menggunakan Jepan Air Lines (JAL) bila
dalam destination kita ke kota mana pun namun singgah di Tokyo, kita bias memperoleh Hotel gratis
maksimal 3 hari. Jadi, saya memanfaatkan jatah nginap hotel gratis ini di Hotel Nikko di Bandara Narita,
selain memanfaatkan untuk melihat-lihat dulu kota Tokyo, juga menitip barang-barang orang-orang
Jepang yang baru Pulang dari Los Angeles ke Tokyo. Kebetulan banyak pengusaha Jepang yang hanya
menenteng tas saja, tidak banyak yang membawa bagasi. Ketika itu memang kita masih memungkinkan,
karena belum banyak isu teroris, dan penyelundupan narkoba, sehingga mereka masih ‘’bersedia’’
dititipin jatah bagasinya.
Setelah beberapa bulan di Jakarta, saya melihat iklan di Majalah Tempo, mereka ketika itu memasang
iklan membutuhkan tenaga wartawan, editor dan korektor. Ketika itu, masih system lama, mesik tik
manual, belum ada computer, sehingga mereka masih membutuhkan korektor yang dikoreksi juga
secara manual. Biasanya naskah dari Redaktur diberikan kepada seorang korektor dulu, sebelum di edit
lagi seorang copy editor, dan setelah itu baru ke beri ke bagian pra cetak, sebelum diterbitkan.
Saya, tentu saja melamar menjadi korektor, dengan alas an juga juga berpengalaman menjadi korektor
ketika kerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ketika bagian Penggandaan di Bagian Umum
2. menerbitkan buku, dan saya mencoba mengkoreksi beberapa kata dan kalimat yang salah ketik,
sebelum dikembalikan ke editor dan dikirim ulang ke bagian penggandaan sebelum di cetak.
Ketika itu saya mengikuti tes Bahasa Inggris dan proses wawancara. Kebetulan ketika itu saya calon
Korektor dan saudara Eddy Soetriono calon copy editor. Tes sendiri berlangsung di Lembaga Indonesia-
Amerika (LIA) Pramuka. Beberapa hari kemudian menjalani tes kesehatan yang dilakukan langsung
Poliklinik Tempo yang ada di Proyek Senen, Jakarta Pusat, bersebelahan dengan Kantor Redaksi Majalah
Tempo. Tes kesehatan dilakukan langsung oleh Dr.Kartono Muhammad, adik Pemimpin Redaksi Majalah
Tempo ketika itu, Goenawan Muhammad.
Saya, beberapa hari kemudian dinyatakan lulus, dan bekerja menjadi korektor tempo. Biasa, seorang
korektor pada saat dead line, kadang pulang pagi. Tidak heran, kadang saya tertidur beberapa detik di
jalan ketika sedang berada di atas ‘’Vespa’’, dan suatu kali pernah hampir ‘’nyerempet’’ orang di Jalan,
karena sempat beberapa detik ketiduran di atas sepeda motor.
Ketika di Tempo, saya bersama Aston Pasaribu dan rekan-rekan korektor lainnya dipimpin Mas Prinka,
almarhum, ketika itu jadi Bos Design Grafis dan Tata Letak. Bambang Harimurti ketika itu baru beberapa
tahun jadi Reporter Tempo. Begitu juga Zaim Uchrowi, dan Fotographer Rini PWI. Aku sendiri sempat
kaget, ketika bosku ‘’Slamet Jabarudi’’ memperkenalkan ‘’Aidit’’ Syubah Asa. Memang, saya kaget,
karena saya melihat dialah pemain film Peristiwa ‘’G 30 S PKI’’ dimana actor ‘’Aidit’’ dimainkan oleh
Radaktur senior Syubah Asa. Saya sendiri memang dua kali nonton film ini, karena penasaran, apa betul
yang di film merupakan kejadian sebenarnya, atau banyak di’’bumbui’’.
Ketika itu, saya ternyata merangkap tugas , bukan hanya sebagai korektor Tempo, tetapi juga Majalah
Zaman, yang ketika itu diawaki ‘’Putu Widjaja” , Ibu Kun, dan ‘’Danarto’’. Majalah Zaman yang berbentuk
tabloid yang banyak berisi tentang cerita pendek, puisi dan kisah dan cerita budaya itu memang tidak
berumur panjang. Beda dengan Majalah Tempo, yang terus terbit, bahkan pindah ke gedung megah di
kawasan Rasuna Said, beberapa tahun kemudian.
Saya sendiri, tidak menikmati Gedung Tempo yang baru di Jalan Rasuna Said. Aku, terpaksa pindah ke
LKBN Antara, karena disana ada iklan membuka lowongan reporter yang hanya bersyaratkan minimal
ijasah SMA plus, artinya bisa ikut melamar menjadi reporter bila hanya lulusan SMA, tapi bisa berbahasa
inggris. Aku sendiri ketika itu, ijasah sarjana muda saja ngak punya. Karena, ketika meneruskan sekolah
ke Amerika Serikat, aku masih di tingkat III Universitas Nasional. Jadi, hanya transfer kredit. Dan ketika
pulang, pun kuliah hanya singkat, belum sempat menamatkan S1.
Saya sudah menduka, ketika itu peluang jadi Reporter Tempo cukup berat. Umumnya mereka bisa
menjadi reporter kalau sudah S1, dan minimal tingkat akhir yang sedang membuat skripsi. Jadi, karena
peluangku naik pangkat dari Korektor menjadi Reporter berat kalau terus di Tempo, maka ketika ada
lowongan di LKBN Antara, aku masuk dan melamar.
3. Ternyata setelah melalui proses tes dan wawancara, kami diterima. Kami merupakan 13 orang yang
tergabung dalam ‘’Susdape’’ angkata IV, sebagian memang bergelar sarjana, kecuali aku dan Johny
Tarigan. Lainnya, seperti Dadut Priambodo, Romulus Sihombing, Susi , Retno, Bambang, Kaswir,
Musfarullah sudah lulus S1. Setelah mengikuti training teori mengenai Jurnalistik selama 6 bulan di LKBN
Antara, kami mulai diterjunkan ke lapangan. Aku pertama kali ditugaskan meliput berita di sekitar
Pengadilan dan Kota Jakarta Timur.
Meliput masalah-masalah kota dan berbagai siding di pengadilan di Jakarta Timur sebenarnya menarik.
Apalagi ketika itu di pengadilan inilah aku mulai mengenal yang namanya mafia peradilan. Dimana para
penyidik Polisi dan Jaksa serta Hakim bisa ‘’memperjaulbeli’’ kasus. Tidak heran, pernah ada seorang
pengacara bagi-bagi ‘’amplop’’ ke para reporter di Press Room Pengadilan Jakarta Timur. Konon,
pengacara ini sudah membagikan ‘’amplopnya’’ ke para penyidik dan hakim atas suatu kasus judi. Di
dalam kasus judi ini, si terdakwa rupanya punya ‘’deal’’ lewat pengacaranya. Kalau kasusnya dari
‘’kakap’’ bisa dirubah menjadi ‘’sumir’’, maka dia bersedia ‘’menyerahkan’’ separuh barang bukti berupa
uang kas ke para penyidik dan Hakim, termasuk , tentunya para reporter yang mangkal di situ, sebagian
yang ‘’lemah’’ imannya juga kebagian.
Memang akhirnya , penjudi kelas kakap yang tertangkap basah tengah berjain judi di kawasan Sawah
Besar , Jakarta Barat ini akhirnya divonis enam bulan dalam masa percobaan satu tahun. Artinya, dia
tidak dihukum badan, dan barang bukti berupa uang seluruhnya dikembalikan, dengan ‘’separuh’’
diantaranya dia bagikan kembali ke para penegak hokum dan sebagian ‘’wartawan bodrek’’ itu.
Bayangkan saja, wartawan bodrek, yang ngak punyak media itu kehidupannya yang berbisnis di sekitar
pengadilan sudah punya mobil. Sedangkan wartawan Resmi, hanya punya sepeda motor. Itu pun sepeda
motor ‘’dinas’’ atau cicilan dari kantor.
‘’Wartawan bodrek’’ ini ketika itu juga banyak berkeliaran di wilayah Jakarta Timur. Kerjanya hanya
‘’memeras’’ Lurah dan Para Camat yang mereka duga ‘’koruptor’’. Sehingga, banyak Lurah dan Camat
kaya ketika itu diperas ‘’wartawan bodrek’’. Memang, banyak juga wartawan resmi, yang walaupun
tidak ‘’memeras’’, namun kalau berkunjung ke para Camat dan Lurah di Jakarta Timur ‘’diberi upeti’’
‘’amplop’’, katanya untuk uang bensin dan uang makan, yang kadang jumlahnya tergolong ‘’gede’’.
Biasanya, camat dan lurah yang ‘’murah’’ ‘’sedekah’’ adalah Camat dan Lurah kaya. Ketika itu bahkan
banyak Lurah yang punya Mobil lebih dari satu. Apalagi para Camatnya, sehingga tidak heran, kalau
Camat, Lurah, apalagi Walikotanya, jadi ‘’sapi perah’’ Partai Politik tertentu untuk sebagai ‘’penyandang
dana.
• Wartawan Freelance dan Dosen Komunikasi (Jurnalistik) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Hidayatullah.