Dokumen tersebut membahas tentang hukum oral seks dalam Islam. Secara ringkas, dokumen menyatakan bahwa oral seks dianggap mubah atau diizinkan dalam Islam asalkan dilakukan antara pasangan suami istri dan tidak melanggar batas-batas syariat. Dokumen juga menjelaskan beberapa dalil Alquran dan hadis yang menunjukkan oral seks diizinkan.
1. HUKUM ORAL SEKS
Oral seks yang dilakukan pasangan sah secara Syar’i, hukumnya Mubah tanpa ada
keberatan baik oral seks yang berupa Fellatio maupun Cunnilungus, dilakukan untuk
pemanasan sebelum berhubungan seks (foreplay), mencapai ejakulasi/orgasme, maupun
sekedar kesenangan, selama kemaluan dibersihkan dari najis dan dalam pelaksanaan tidak
sampai menelan benda najis secara sengaja. Semuanya dihukumi mubah dan pasangan sah
bisa memilih untuk melakukannya atau tidak. Jika hal tersebut dipandang bagian
kenikmatan, maka silakan melakukan, tetapi jika malah dipandang membuat tidak nyaman
maka silakan menghindari. Semuanya menjadi pilihan pasangan, karena hukum mubah
bermakna kebebasan untuk memilih antara melakukan ataukah tidak.
Oral seks ( اااااال ج نس عن طري ق ال فم/ /ف مويال ااااا halada ) ال ش فوي/ال جماع ال فموي
aktivitas mencium,mengecup, menjilat, mengulum, menghisap, dan mempermainkan
kemaluan pasangan memakai mulut, lidah, gigi atau kerongkongan dengan tujuan
merangsang atau mencapai klimaks (ejakulasi/orgasme). Dalam istilah kontemporer, aktivitas
menghisap penis lelaki oleh seorang wanita disebut dengan istilah Fellatio sementara
aktivitas menghisap clitoris wanita oleh seorang lelaki disebut dengan istilah Cunnilingus.
Umumnya orang melakukan oral seks untuk kepentingan pemanasan (foreplay) sebelum
berhubungan seksual, atau dinikmati sebagai intercourse/senggama sebagai salah satu tehnik
mencapai klimaks (ejakulasi atau orgasme).
Dalam kajian budaya, Romawi Kuno, Kristen, dan penduduk Sub Sahara Afrika
menghindarinya karena dianggap tabu, kotor, menghambat perkembangbiakan, dan tidak
natural. Taoisme menganggap oral seks malah dikaitkan dengan keyakinan spiritual membuat
umur panjang. Adapun dalam budaya Barat saat ini, oral seks dianggap biasa dan secara luas
dipraktekkan sebagaimana seks bebas yang juga dianggap biasa.
Oral seks dihukumi Mubah berdasarkan dua argumentasi berikut;
Pertama; Syara’ membolehkan Istimta’/ عاتمتسالا )bersenang-senang/berlezat-lezat/
bernikmat-nikmat) kepada pasangan yang sah dalam bentuk umum dan mutlak tanpa
batasan, dan hanya dikecualikan dalam hal-hal tertentu yang dinyatakan oleh Nash.
Dalil yang menunjukkan bolehnya Istimta’ secara mutlak tanpa batasan adalah Nash-Nash
berikut;
] }هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ{ ]البقرة: 781
Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka (Al-Baqoroh; 187)
Dalam ayat di atas pasangan suami istri diumpamakan seperti pakaian. Suami menjadi
pakaian istri dan istri menjadi pakaian suami. Ungkapan ini adalah kinayah intimnya relasi
suami istri dan kedekatannya yang maksimal sehingga bersenang-senang model apapun
selama dalam batas-batas Syariat diizinkan. Suami boleh menikmati, bersenang-senang, dan
berlezat-lezat dengan istri dengan cara dan model apapun, sebagaimana istri boleh
menikmati, bersenang-senang, dan berlezat-lezat dengan suami dengan cara dan model
apapun. Bersenang-senang itu tidak dibatasi hanya dalam Jimak saja, namun berlaku pula
2. pada jenis menikmati tubuh yang lain. Jadi ayat ini menjadi dalil atas bolehnya Istimta’
pasangan suami istri yang bersifat umum dan mutlak tanpa batasan.
Secara khusus, Istimta’ berupa kontak seksual dibolehkan dengan gaya dan posisi apapun.
Allah berfirman;
] }نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَن ى شِئْتُمْ { ]البقرة: 222
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah
tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki (Al-Baqoroh; 223)
Artinya, mensetubuhi istri pada kemaluannya boleh dilakukan dengan cara apapun baik
terlentang, miring, duduk, berdiri, bersujud, rukuk, dll. Ayat ini menegaskan kebolehan saling
menikmati bagi suami istri dengan cara apapun yang diinginkan.
Dalam hadis riwayat Bukhari dijelaskan kebolehan Istimta’ dengan mencium mulut dan
menghisap ludah istri. Bukhari meriwayatkan;
)71 / صحيح البخاري ) 71
مُحَارِبٌ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللََِّّ رَضِيَ اللََُّّ عَنْهُمَا يَقُولُ
تَزَوَّجْتُ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللََِّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَزَوَّجْتَ فَقُلْتُ تَزَوَّجْتُ ثَ يِبًا فَقَالَ مَا لَكَ وَلِلْعَذَارَى وَلِعَابِهَا
فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَمْرِو بْنِ دِينَارٍ فَقَالَ عَمْرٌو سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللََِّّ يَقُولُ قَالَ لِي رَسُولُ اللََّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَاَّ ج جَارِيَ تُلََعِب هَا وَتُلََعِبُكَ
Muharib berkata; Aku mendengar Jabir bin Abdullah radliallahu ‘anhuma berkata; aku telah
menikah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya padaku: “siapa wanita yang kamu
nikahi? Kujawab; aku menikahi seorang janda.” Beliau bersabda: “Kenapa tidak dengan
seorang gadis, dengan segenap air ludahnya?” Lalu aku pun menuturkan hal itu pada Amru
bin Dinar, lalu Amru berkata; Aku mendengar Jabir bin Abdullah berkata; Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda padaku: “)Kenapa bukan) wanita yang masih gadis,
sehingga kamu dapat bermain-main dengannya dan ia pun dapat bermain-main denganmu.”
(H.R.Bukhari)
Ungkapan
“Kenapa tidak dengan seorang gadis, dengan segenap air ludahnya?”
Maknanya adalah mencium dan mengecup bibir istri sembari menghisap ludahnya dengan
maksud bersenang-senang. Lafadz
“)Kenapa bukan) wanita yang masih gadis, sehingga kamu dapat bermain-main dengannya
dan ia pun dapat bermain-main denganmu.”
malah lebih umum lagi menjelaskan kebolahan bersenang-senang secara mutlak tanpa
pembatasan. Karena lafadz “)Kenapa bukan) wanita yang masih gadis, sehingga kamu dapat
bermain-main dengannya dan ia pun dapat bermain-main denganmu.” Bisa diberlakukan
pada jenis kontak fisik apapun yang bersifat bersenang-senang, sehingga mencakup aktivitas
3. memegang, meraba, mengelus, meremas,menggelitik, mengecup, mencium, menjilat,
menghisap, mengulum, menggigit ringan, dan sebagainya. Karena itu Hadis ini menguatkan
kebolehan Istimta’ secara mutlak tanpa batasan bagi suami istri.
Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sendiri melakaukan Istimta’ saat Istrinya Haid
dengan kontak kulit yang diungkapkan dalam riwayat dalam bentuk umum dan mutlak.
Bukhari meriwayatkan;
)944 / صحيح البخاري ) 7
عَنْ عَائِشَ قَالَتْ
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّ بِيُّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ كِاَ جنَا جُنُبٌ وَكَانَ يَأْمُرُنِي فَأتَ زِرُ فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ
Dari ‘Aisyah berkata, “Aku dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mandi bersama dari
satu bejana. Saat itu kami berdua sedang junub. Beliau juga pernah memerintahkan aku
mengenakan kain, lalu beliau mencumbuiku sementara aku sedang Haid.” )H.R.Bukhari)
Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam bersenang-senang
dengannya melalui kontak kulit tanpa menerangkan jenis kontak kulit apa yang terlarang. Hal
ini menguatkan bahwa hukum asal Istimta’ bagi suami istri adalah mubah dengan cara
apapun selama tidak ada dalil yang melarang.
Rekomendasi Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam kepada lelaki yang ingin bersenang-senang
dengan istri sementara istri dalam keadaan Haid lebih jelas lagi dalam menerangkan
kebolehan Istimta’ secara mutlak. Abu Dawud meriwayatkan;
)701 / سنن أبى داود – م ) 7
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ الْيَهُودَ كَانَتْ إِذَا حَاضَتْ مِ نْهُمُ امْرَأَةٌ أَخْرَجُوهَا مِنَ الْبَيْتِ وَلَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُشَارِبُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهَا فِى
الْبَيْتِ فَسُئِلَ رَسُولُ اللََِّّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ فَأنَْزَلَ اللََُّّ سُبْحَانَهُ )وَيَسْألَُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا
جَامِعُوهُنَّ فِى الْبُيُوتِ وَاصْنَعُوا كُ ل شَىْءٍ غَيْرَ « - الن سَاءَ فِى الْمَحِيضِ( إِلَى آخِرِ الآيَ فَقَالَ رَسُولُ اللََِّّ -صلى الله عليه وسلم
» الن كَاح
Dari Anas bin Malik bahwa orang-orang Yahudi apabila seorang isteri mengalami Haid maka
mereka mengeluarkannya dari rumah, dan tidak makan bersamanya, tidak minum
bersamanya, dan tidak menggaulinya di rumah. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam ditanya mengenai hal tersebut; kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan
ayat: “Mereka bertanya kepadamu tentang Haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu
kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu Haidh.”
Hingga akhir ayat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bergaullah dengan
mereka di rumah dan lakukan segala sesuatu selain bersenggama.” )H.R.Abu Dawud)
Lafadz
“lakukan segala sesuatu selain bersenggama”
menunjukkan izin tegas bersenang-senang secara umum dan mutlak dengan cara apapun yang
inginkan. Lafadz ini bermakna kebolehan Istimta’ secara umum dan mutlak tanpa batasan
dan hanya boleh dibatasi oleh dalil yang jelas yang menunjukkan pengecualian itu.
4. Di zaman shahabat, ada riwayat bagaimana Shahabat tidak mengingkari Istimta’ yang
dilakukan dengan mengulum dan menghisap payudara istri. Imam Malik meriwayatkan;
)0 / موطأ مالك ) 9
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ رَجُاً ج سَألََ أَبَا مُوسَى الْْشَْعَرِيَّ فَقَالَ
إِن ي مَصِصْتُ عَنْ امْرَأَتِي مِنْ ثَدْيِهَا لَبَنًا فَذَهَبَ فِي بَطْنِي فَقَالَ أَبُو مُوسَى لََ أُرَاهَا إِلََّ قَدْ حَرُمَتْ عَلَيْكَ فَقَالَ عَبْدُ اللََِّّ بْنُ
مَسْعُودٍ انْظُرْ مَاذَا تُفْتِي بِهِ الرَّجُلَ فَقَالَ أَبُو مُوسَى فَمَاذَا تَقُولُ أَنْتَ فَقَالَ عَبْدُ اللََِّّ بْنُ مَسْ عُودٍ لََ رَضَاعَ إِلََّ مَا كَانَ فِي الْحَوْ لَيْنِ
فَقَالَ أَبُو مُوسَى لََ تَسْألَُونِي عَنْ شَيْءٍ مَا كَانَ هَذَا الْحَبْرُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ
Dari Malik dari Yahya bin Sa’id berkata, “Seorang lelaki bertanya kepada Abu Musa Al
Asy’ari; “Saya pernah menghisap payudara isteriku hingga air susunya masuk ke dalam
perutku?” Abu Musa menjawab; “Menurutku isterimu setatusnya telah berubah menjadi
mahram kamu.” Abdullah bin Mas’ud pun berkata; “Lihatlah apa yang telah kamu fatwakan
kepada lelaki ini! ” Abu Musa bertanya; “Bagaimana pendapatmu dalam hal ini?” Abdullah
bin Mas’ud berkata; “Tidak berlaku hukum penyusuan kecuali bila masih pada masa
penyusuan.” Kemudian Abu Musa berkata; “Janganlah kalian menanyakan suatu perkara
kepadaku selama orang alim ini )Ibnu Mas’ud) masih berada di tengah-tengah kalian.”
(H.R.Malik)
Semua riwayat-riwayat ini dan yang semakna dengannya menunjukkan bahwa Syara
membolehkan Istimta’ bagi pasangan suami istri secara mutlak dan bersifat umum tanpa
pembatasan. Kebolehan Istimta’ tersebut juga tidak membatasi apakah dilakukan dengan
tangan, hidung, mulut, lidah, gigi, telinga, leher, ,payudara, pantat, betis, kaki dll. Oleh
karena itu, kebolehan itu tidak boleh dibatasi kecuali dengan pembatasan yang dinyatakan
oleh Nash. Artinya, Selama tidak ada Nash yang melarang, semua jenis cara Istimta’
diizinkan sehingga hukumnya mubah berdasarkan dalil umum kebolehan Istimta’ tersebut.
Pengecualian yang dinyatakan Nash atas kebolehan Istimta’ mutlak tersebut hanyalah dua
cara; yakni mensetubuhi istri saat Haid dan mensetubuhi istri pada dubur/anusnya. Dalil yang
menunjukkan haramnya mensetubuhi istri saat Haid adalah ayat berikut;
] }وَيَسْألَُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا الن سَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلََ تَقْرَبُوهُ ن حَت ى يَطْهُرْنَ { ]البقرة: 222
Mereka bertanya kepadamu tentang Haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”.
oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu Haidh; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. (Al-Baqoroh; 222)
Dalil haramnya mensetubuhi istri pada duburnya diantaranya adalah hadis berikut;
)751 / مسند أحمد ) 71
عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللََِّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَةً فِي دُبُرِ هَا
Dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “terlaknat
orang yang menyetubuhi istrinya di dubur.” )H.R.Ahmad)
Adapula larangan mensetubuhi istri dalam momen-momen tertentu seperti saat puasa
Ramadhan dan saat Haji sebelum Tahallul.
5. Nash-Nash pengecualian ini saja yang layak dan boleh dijadikan pembatas keumuman dan
kemutlakan kebolehan Istimta’. Selain selain hal-hal yang dinyatakn oleh Nash, maka
Istimta’ kembali pada hukum umum kemubahannya dan tidak bisa diharamkan. Semua jenis
Istimta’ yang dilarang telah diterangkan oleh Syara’ dan tidak ada yang luput tidak
diterangkan karena Islam sudah turun dengan sempurna dan Allah menegaskan bahwa tidak
ada yang diluputkan dari penjelasan hukumnya. Allah berfirman;
] } مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ { ]الْنعام: 28
Tiadalah Aku alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab (Al-An’am; 38)
Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan seluruh Nash-Nash yang dipaparkan sebelumnya
tentang kebolehan Istimta’ secara mutlak, oral seks hukumnya mubah karena termasuk
keumuman Istimta’ yang dimubahkan dan tidak termasuk pengertian mensetubuhi istri saat
Haid atau mensetubuhi istri pada duburnya. Oral seks dengan maksud mencapai ejakulasi
atau orgasme atau sekedar bersenang-senang hukumnya mubah berdasarkan keumuman
mubahnya Istimta’.
Kedua (yakni argumentasi kedua mubahnya oral seks); Syara’ memerintahkan mengawali
Jimak dengan pemanasan (foreplay).
Dalam kitab-kitab fikih yang membahas adab Jimak, telah disepakati sunnahnya melakukan
pemanasan sebelum melakukan kontak seksual. Pemanasan yang dimaksud di sini adalah
aktivitas saling merangsang sebagai persiapan dan pengkondisian agar Jimak berlangsung
dengan penuh kenikmatan dan menyenangkan. Secara dalil, sebenarnya tidak ada dalil
khusus yang Shahih dan Marfu’ yang memerintahkan dilakukan pemanasan sebelum Jima’.
Namun secara fakta, pemanasan memang diperlukan karena jika diabaikan maka pihak
wanita akan kesakitan dan merasa tidak nyaman padahal suami diperintahkan syara
mempergauli istri dengan baik. Karena itu, sunnahnya pemanasan sebelum jimak termasuk
keumuman perintah mempergauli istri dengan baik seperti dalam ayat;
] }وَعَاشِرُوهُ ن بِالْمَعْرُوفِ { ]النساء: 74
Dan bergaullah dengan mereka ma’ruf )An-Nisa; 19)
Dan juga hadis’
52 ، بترقيم الشامل آليا( / سنن الترمذى – مكنز ) 79
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ « - عَنْ عَائِشَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللََِّّ -صلى الله عليه وسلم
“Dari Aisyah; beliau berkata; Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam bersabda; yang paling
baik diantara kalian adalah yang paling baik bagi istrinya (H.R.At-Tirmidzi)
Atsar yang ditemukan berkaitan sunnahnya foreplay ini, disebutkan Ibnu Qudamah dalam Al-
Mughni. Ibnu Qudamah menulis;
)91 / المغني ) 71
6. رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ ، عَنْ النَّبِ ي صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : } لََ تُوَاقِعْهَا إلََّ وَقَدْ أَتَاهَا مِنْ الشَّهْوَةِ مِثْلُ مَا أَتَاك
، لِكَيْ لََ تَسْبِقَهَا بِالْفَرَاغِ .
“Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dari Nabi SAW bahwasanya beliau berkata;
janganlah engkau menjimakinya kecuali dia telah bangkit syahwatnya sebagaimana dirimu,
agar engkau tidak mendahuluinya dalam klimaks”
Cara merangsang sebagai pemanasan sebelum Jimak ini tidak dibatasi dengan cara tertentu
atau anggota badan tertentu. Oleh karena itu, mubah hukumnya merangsang dengan tangan,
leher, payudara, punggung, betis, gesekan tubuh, termasuk mulut. Merangsang dengan mulut
bisa dilakukan dengan mencium, mengecup lembut, menghisap, mengulum, dan menjilat.
Daerah yang menjadi obyek rangsangan mulut juga tidak dibatasi. Rangsangan dengan mulut
boleh diterapkan pada bibir, leher, payudara, perut, pinggang, termasuk kemaluan. Dari sini,
oral seks sebenarnya tidak ada bedanya dengan merangsang anggota tubuh yang lain
memakai mulut. Oleh karena itu oral seks dari sisi ini, yakni disyariatkannya pemanasan
sebelum Jimak, hukumnya mubah karena termasuk uslub (teknik) melaksanakan tuntunan
syara, yakni melakukan foreplay sebelum berhubungan seks.
Catatan Kritis Terhadap Pendapat Yang Mengharamkan Oral Seks
Berikut ini akan dipaparkan sejumlah argumentasi yang dijadikan dasar untuk mengharamkan
oral seks dengan disertai ulasan terhadap argumentasi tersebut.
Diantara argumentasi yang dipakai untuk mengharamkan oral seks adalah;
Pertama; Surat Al-Baqoroh ayat; 222. Allah berfirman;
] }فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْت وهُ ن مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ا للّ { ]البقرة: 222
Apabila mereka telah Suci, maka campurilah mereka itu “Min Haitsu Amarokumullah”-dari
sisi yang diperintahkan Allah- (Al-Baqoroh; 222)
Dari ayat diatas difahami bahwa Allah memerintahkan mensetubuhi istri ditempat yang
diperintahkan, yaitu kemaluan. Oleh karena itu oral seks hukumnya haram karena
mensetubuhi istri bukan pada tempat yang diperintahkan.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Makna lafadz “Min Haitsu Amarokumullah” bukanlah perintah mensetubuhi istri pada
kemaluannya. Artinya, tekanan makna dalam ayat ini bukan perintah mensetubuhi istri pada
kemaluannya. Makna lafadz “Min Haitsu Amarokumullah” adalah; setubuhilah istri dalam
kondisi yang suci, karena itulah kondisi yang diperintahkan Allah mengingat Allah hanya
memperbolehkan mensetubuhi istri dalam kondisi suci dan melarang mensetubuhi istri dalam
kondisi Haid. Konteks ayat tersebut yang berbicara tentang haramnya mensetubuhi istri saat
Haid menguatkan pemaknaan ini. Apalagi lanjutan ayat berikutnya menerangkan bahwa
Allah menyukai orang –orang yang bersuci. Jadi, pemaknaan lafadz “Min Haitsu
Amarokumullah” lebih tepat difahami ; mensetubuhi istri saat suci, yakni berhenti dari Haid
dan mandi Janabah. Lagi pula, seandainya tekanan maknanya adalah berbicara “lokasi”
ditempatkannya kemaluan, seharusnya lafadznya Fii Haitsu, bukan “Min Haitsu
Amarokumullah”. Penggunaan lafadz Min Haitsu menunjukkan bahwa Syara tidak
7. memaksudkan menekankan perintah menyetubuhi pada kemaluan istri, tapi tekanannya
adalah pada kondisi istri, yaitu kondisi suci dari Haid. Dalam Tafsir Jalalain dinyatakan;
)227 / تفسير الجا جلين ) 7
مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمْ اللََّّ ” بِتَجَنُّبِهِ فِي الْحَيْض وَهُوَ الْقُبُل وَلََ تَعْدُوهُ إلَى غَيْره
“Min Haitsu Amarokumullah, yakni; dengan menjauhinya saat Haid yakni pada
kemaluannya dan jangan melampaui pada yang lebih dari itu (Tafsir Al-Jalalain; vol.1 hlm
231)
Al-Farro’ juga menyatakan dalam Ma’ani Al-Qur’an;
)728 / معانى القرآن للفراء ) 7
}فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَ يْثُ أَمَرَكُمُ اللََُّّ{ ولم يقل: فى حَيْثُ، وهو الفرج. وإنما قال: من حيث كما تقول للرجل: اِيت زيدا من مأتاه من
الوجه الذى يؤتى منه.
“Fa’tuhunna Min Haitsu Amarokumullah. Allah tidak mengatakan Fi Haitsu yang bermakna
farji/kemaluan tetapi mengatakan Min Haitsu seperti ucapan Anda kepada seseorang;
datangilah zaid dari waktu/tempat/hal kedatangannya, yakni dari sisi yang di didatangi
darinya” )Ma’ani Al-Qur’an. Vol 1, hlm 128)
Lagipula, dengan asumsi bahwa penafsiran lafadz “Min Haitsu Amarokumullah”yang
dimaknai perintah mensetubuhi pada kemaluan diterima, maka pemahaman ini belum cukup
untuk mengharamkan oral seks mengingat Istimta’ secara mutlak hukumnya Mubah sehingga
para Fuqoha membolehkan usaha mencapai ejakulasi dengan paha, payudara, pantat atau
kocokan tangan istri. Padahal seharusnya jika cara pemahaman seperti yang disebutkan dalam
argumen pertama pendapat yang mengharamkan oral seks diikuti, seharusnya usaha
mencapai ejakulasi dengan jepitan plus gesekan payudara, paha, dan pantat, atau kocokan
tangan istri semuanya juga dihukumi haram karena bermakna mensetubuhi istri bukan pada
“tempat yang diperintahkan Allah/kemaluannya”. Pemahaman ini tidak dapat diterima karena
mencapai ejakulasi dengan jepitan payudara, paha, pantat, atau kocokan tangan istri
semuanya dihukumi Mubah.
Kedua (yaitu argumentasi kedua yang dipakai pendapat yang mengharamkan oral seks);
Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan Aisyah tidak pernah saling melihat
kemaluan sebagaimana dinyatakan dalam riwayat berikut;
)271 / سنن ابن ماجه ) 7
عن عائش
: – قالت ما نظرت أو ما رأيت فرج رسول الله صلى الله عليه و سلم قط
“Dari Aisyah beliau berkata; Aku tidak pernah melihat kemaluan Rasulullah Shallalahu
‘Alaihi Wasallam sama sekali” )H.R.Ibnu Majah)
” ما أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم أحدا من نسائه إلَ متقنعا، يرخي الثوب على رأسه، وما رأيته من رسول الله صلى
الله عليه وسلم ولَ رآه مني “.
8. “Tidaklah Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam menggauli seorangpun dari istri-istrinya
kecuali dalam keadaan memakai selubung, beliau melabuhkan kain pada kepalanya. Dan aku
tidak pernah melihat milik Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sebagaimana beliau tidak
pernah melihat milikku” )H.R.Abu as-Syaikh)
Oral seks jelas akan melihat kemaluan pasangan, dan ini bertentangan dengan Sunnah
Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam sehingga dihukumi haram.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Riwayat diatas tidak bisa dijadikan dalil karena tidak shahih. Riwayat pertama Dhoif, karena
salah satu perawinya Majhul (tidak dikenal) yaitu maula Aisyah, sementara riwayat kedua
malah Maudhu (palsu) karena salah seorang perawinya yang bernama Muhammad bin Al-
Qosim Al-Asadi adalah seorang pendusta.
Lagipula, riwayat tersebut bertentangan dengan riwayat shahih yang menjelaskan Rasulullah
Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan Aisyah mandi bersama dalam satu bejana. Bukhari
meriwayatkan;
)944 / صحيح البخاري ) 7
عَنْ عَائِشَ قَالَتْ
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ كِاَ جنَا جُنُبٌ وَكَانَ يَأْمُرُ نِي فَ أتَ زِرُ فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ
Dari ‘Aisyah berkata, “Aku dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mandi
bersama dari satu bejana. Saat itu kami berdua sedang junub. Beliau juga pernah
memerintahkan aku mengenakan kain, lalu beliau mencumbuiku sementara aku sedang
Haid.” )H.R.Bukhari)
Ketiga; oral seks sama dengan menjimaki dubur wanita. Karena mensetubuhi dubur
haram, maka oral seks juga haram karena bisa diqiyaskan.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Oral seks tidak bisa disamakan dengan mensetubuhi dubur karena mulut bukan dubur dan
tidak bisa disamakan dengan dubur. Mulut adalah tempat masuk makanan, dubur untuk
pelepasan. Mulut adalah tempat masuk makanan yang suci, sedangkan dubur adalah tempat
keluar benda najis
Lagipula, Qiyas yg Syar’i harus ada illat )penyebab hukum)nya. Illat pun juga harus Syar’i
dan digali dari Nash, tidak boleh ditetapkan dengan akal. Larangan jimak dubur tidak ada
Illatnya sama sekali sehingga tdk bisa diqiyaskan dengan yg lain.
Keempat; tidak ada riwayat Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan para Shahabat
melakukan oral seks sehingga oral seks termasuk bid’ah yang hukumnya haram.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
9. Tidak adanya riwayat tidak bermakna tidak dilakukan. Karena riwayat tidak mungkin
menampung semua kejadian hidup suatu generasi secara mendetail, apalagi hal-hal yang
terlalu teknis yang sudah tercakup dalam pengertian Nash-Nash umum. Lagipula, tidak boleh
memahami bahwa apa yang tidak dilakukan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan
Shahabat maka hal itu langsung dihukumi haram. Perbuatan baru tidak haram, selama masih
tercakup dalam kandungan lafadz Nash yang dinyatakan dalam bentuk umum, mutlak dan
garis-garis besar. Orang yang membiasakan membaca Quran setelah shalat shubuh misalnya,
tidak boleh perbuatannya dihukumi haram dengan alasan tidak ada riwayat bahwa Rasulullah
Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan shahabat melakukannya. Membiasakan membaca Al-Quran
setelah shubuh diizinkan secara syar’i karena ada Nash yang memerintahkan membaca Al-
Quran dalam bentuk umum dan mutlak yang tidak dibatasi waktunya. Latihan baris-berbaris
dalam rangka persiapan jihad tidak bisa diharamkan dengan alasan tidak ada riwayat
Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan Shahabat melakukan, karena Nash yang
memerintahkan mempersiapkan kekuatan jihad dinyatakan dalam bentuk umum sehingga
mencakup semua persiapan menuju ke arah sana. Demikianlah seterusnya. Abu Bakar
menulis Quran dalam satu Mushaf, Utsman menyeragamkan mushaf dan memerintahkan
pembakaran semua mushaf selain mushaf utsmani, dll semua adalah perbuatan yang tidak
pernah dilakukan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam namun diizinkan secara syar’i
karena didasarkan oleh Nash-Nash yang dinyatakan secara umum dan mutlak.
Boleh jadi juga akan ditemukan kesulitan jika berusaha mencari riwayat lugas bagaimana
generasi awal umat ini meremas payudara, menjilat ketiak, mengulum pubis dll karena hal ini
terlalu teknis dan tidak perlu. Karena itu alasan bahwa tidak ditemukannya riwayat
Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dan Shahabat melakukan oral seks adalah alasan
yang belum cukup kuat untuk mengharamkan oral seks.
Kelima; melakukan oral seks termasuk melampaui batas karena mencari pemuasan
selain pada kemaluan istri atau budak sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat berikut;
}وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ ) 5( إِلََّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ) 1( فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ
]1 - فَأوُلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ { ]المؤمنون: 5
5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki Maka Sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada terceIa.
7. Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui
batas. (Al-Mu’minun; 5-7)
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Ayat tersebut belum cukup dipakai sebagai dalil untuk mengharamkan oral seks, karena
maksud ayat tersebut adalah celaan kapada orang yang mencari pemuasan dari selain istri,
misalnya dengan cara berzina atau yang semakna dengannya. Adapun oral seks, aktivitas ini
justru mencari pemuasan dari istri sehingga tercakup dalam pengertian menjaga kemaluan
memakai istri yang didukung oleh Nash2 kebolehan Istimta’ yang bersifat mutlak tanpa
pembatasan. Jika Istimta’ yang berupa Jimak diizinkan secara Syar’i, maka Istimta’ dengan
cara oral seks lebih utama dimubahkan karena oral seks lebih ringan daripada Jimak.
10. Keenam; oral seks itu menjijikkan,menghinakan manusia dan memalukan karena kotor
dan hewanpun tidak ada yang melakukan. Mulut adalah suci, yang digunakan untuk
berdzikir dan membaca Al-Quran, sehingga tidak pantas dibuat mengulum dan menjilati
kemaluan.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Alasan kotor, jijik, hina, tidak pantas dilakukan dan semisalnya adalah perasaan subyektif
manusia yang tidak bisa dijadikan standar untuk menentukan status hukum syara. Perasaan
jijik orang bisa saja berbeda-beda, tetapi hukum syara tetap satu. Biawak hukumnya halal,
namun Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam merasa jijik sehingga tidak mau memakannya
yang itu berbeda dengan Khalid yang sama sekali tidak merasa jijik sehingga memakannya.
Air kencing unta barangkali sebagian orang merasa jijik meminumnya, namun sejumlah
orang di zaman Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam meminumnya sebagai obat atas
perintah Nabi. Wanita-wanita Anshor memandang jijik dan hina disetubuhi dengan gaya
Doggy Style sehingga menolaknya, namun ternyata turun ayat yang mengoreksi bahwa gaya
demikian boleh saja. Abu Dawud meriwayatkan;
)18 / سنن أبى داود ) 1
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
إِنَّ ابْنَ عُمَرَ وَاللََُّّ يَغْفِرُ لَهُ أَوْهَمَ إِنَّمَا كَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ الْْنَْصَارِ وَهُمْ أَهْلُ وَثَنٍ مَعَ هَذَا الْحَ ي مِنْ يَهُودَ وَهُمْ أَهْلُ كِتَابٍ وَكَانُوا
يَرَوْنَ لَهُمْ فَضْاً ج عَلَيْهِمْ فِي الْعِلْمِ فَكَانُوا يَقْتَدُونَ بِكَثِيرٍ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ مِنْ أَمْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَنْ لََ يَأْتُوا الن سَاءَ إِلََّ عَلَى حَرْفٍ
وَذَلِكَ أَسْتَرُ مَا تَكُونُ الْمَرْأَةُ فَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ الْْنَْصَارِ قَدْ أَخَذُوا بِذَلِكَ مِنْ فِعْلِهِمْ وَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ قُرَيْشٍ يَشْرَحُونَ ال ن سَاءَ
شَرْحًا مُنْكَرًا وَيَتَلَذَّذُونَ مِنْهُنَّ مُقْبِاَ جتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ فَلَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْمَدِينَ تَزَوَّجَ رَجُلٌ مِنْهُمْ امْرَأَةً مِنْ الْْنَْصَارِ
فَذَهَبَ يَصْنَعُ بِهَا ذَلِكَ فَأنَْكَرَتْهُ عَلَيْهِ وَقَالَتْ إِنَّمَا كُنَّا نُؤْتَى عَلَى حَرْفٍ فَاصْنَعْ ذَلِكَ وَإِلََّ فَاجْتَنِبْنِي حَتَّى شَرِيَ أَمْرُهُمَا فَبَلَ ذَلِكَ
رَسُولَ اللََِّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأنَْزَلَ اللََُّّ عَزَّ وَجَلَّ
} نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ {
أَيْ مُقْبِاَ جتٍ وَمُدْبِرَاتٍ وَمُسْتَلْقِيَاتٍ يَعْنِي بِذَلِكَ مَوْضِعَ الْوَلَدِ
Dari Ibnu Abbas, ia berkata; sesungguhnya Ibnu Umar semoga Allah mengampuninya, ia
telah silap. Sesungguhnya terdapat sebuah kampong anshar yang merupakan para penyembah
berhala, hidup bersama kampong yahudi yang merupakan ahli kitab. Dan mereka
memandang bahwa orang-orang yahudi memiliki keutamaan atas mereka dalam hal ilmu.
Dan mereka mengikuti kebanyakan perbuatan orang-orang yahudi. Diantara keadaan ahli
kitab adalah bahwa mereka tidak menggauli isteri mereka kecuali dengan satu cara yaitu
dengan miring berhadapan, dan hal tersebut dipandang lebih menjaga rasa malu seorang
wanita. Dan orang-orang anshar ini mengikuti perbuatan mereka dalam hal tersebut.
Sementara orang-orang Quraisy menggauli isteri-isteri mereka dengan cara menelentangkan
istri sesukanya dan menikmati mereka, dalam keadaan menghadap dan membelakangi serta
dalam keadaan terlentang. Kemudian tatkala orang-orang muhajirin datang ke Madinah, salah
seorang diantara mereka menikahi seorang wanita anshar. Kemudian ia melakukan hal
tersebut. Kemudian wanita anshar tersebut mengingkarinya dan berkata; sesungguhnya kami
didatangi dengan satu cara, maka lakukan hal tersebut, jika tidak maka jauhilah aku! akhirnya
tersebarlah permasalahan mereka, dan hal tersebut sampai kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. kemudian Allah ‘azza wajalla menurunkan ayat: “Isteri-isterimu adalah
(seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-
11. tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” Yakni dalam keadaan menghadap )saling
berhadapan), membelakangi dan terlentang, yaitu pada tempat lahirnya anak (farj). (H.R. Abu
Dawud)
Umar juga merasa tidak enak ketika menjimaki istrinya dari belakang sehingga berkonsultasi
dengan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam, namun ternyata Rasulullah Shallalahu
‘Alaihi Wasallam membolehkan. Ahmad meriwayatkan;
)707 / مسند أحمد ) 1
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
جَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى رَسُولِ اللََِّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللََِّّ هَلَكْتُ ق الَ وَمَا الَّذِي أَهْلَكَكَ قَالَ حَ ولْتُ رَحْ لِيَ
الْبَارِحَة قَالَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ شَيْئًا قَالَ فَأوَْحَى اللََُّّ إِلَى رَسُولِهِ هَذِهِ الْآيَ } نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ {
أَقْبِلْ وَأَدْبِرْ وَاتَّقِ الدُّبُرَ وَالْحَيْضَ Dari Ibnu Abbas, ia berkata; Umar bin Khaththab datang kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam lalu berkata; “Wahai Rasulullah, aku telah binasa.” Beliau bertanya: “Apa
yang membinasakanmu?” Umar menjawab; “Aku membalik tungganganku )yakni istriku)
tadi malam.” Ibnu Abbas berkata; Beliau tidak mengatakan apa-apa mengenai itu. Ibnu
Abbas melanjutkan; Lalu Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya ayat ini: (Istri-istrimu adalah
(seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok
tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki) )lalu beliau mengatakan): “Bagaimana saja
kamu kehendaki, dari depan atau belakang tapi hindarilah dubur dan Haidl.” )H.R.Ahmad)
Alasan bahwa islam mencintai kebersihan, sementara oral seks itu kotor dan najis, juga
kurang kuat, karena peluang munculnya kotor saat bersenang-senang tidak diharamkan
dengan bukti foreplay yg mubah, padahal berpeluang mengeluarkan Madzi yang mengenai
tubuh, bantal, selimut, kasur. dll.
Alasan bahwa lisan itu dipakai berdzikir dan membaca Al-Quran sehingga tidak layak
berinteraksi dengan kemaluan juga kurang kuat, karena menghisap ketiak, payudara,pusar,
punggung, telinga, dan mulut yang berpeluang gusinya berdarah hukumnya mubah.
Ringkasnya, perasaan manusia yang subyektif bukan standar halal-haram, dan tidak boleh
dijadikan dalil untuk menentukan status keharaman sesuatu. Halal-haram hanya boleh
ditetapkan dengan Nash, bukan perasaan subyektif manusia.
Statemen bahwa tidak ada hewan yang melakukan oral seks juga tidak benar, karena -dari
sumber-sumber referensi dan realitas yang bisa disaksikan- kambing, primata, anjing hutan,
kelelawar dan domba malakukan oral seks. Hanya saja oral seks yang dilakukan hewan bukan
untuk bersenang-senang, namun pengkondisian aktivitas reproduksi biasa.
Ketujuh; Oral seks bisa membuat Madzi termakan, padahal memakan najis hukumnya
haram. Jadi oral seks haram karena bisa membuat termakannya benda najis yang hukumnya
haram.
12. Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Mengharamkan oral seks dengan alasan peluang tertelannya benda najis tidak bisa diterima,
karena tidak pasti, tidak sengaja, bisa dimuntahkan, atau dilindungi dengan kondom. Seorang
suami yang mencium dan menghisap mulut istrinya yang berpeluang keluarnya darah dari
gusinya, tidak bisa dilarang dan diharamkan dengan alasan peluang termakannya darah yang
najis. Peluang darah tertelan adalah hal yang tidak pasti, tidak sengaja, dan bisa dimuntahkan,
sehingga hal ini tidak bisa menjadi dalil haramnya ciuman.
Lagi pula syara membedakan tubuh yg terkena najis dan tubuh yang telah disucikan. Tubuh
yang terkena najis haram dipakai untuk shalat, namun jika disucikan maka tidak lagi tercela.
Tersentuhnya mulut oleh najis tidak ada bedanya dengan tersentuhnya tangan atau anggota
tubuh yang lain oleh Madzi.
Kedelapan; oral seks termasuk Tasyabbuh (menyerupai) orang Kafir sehingga
hukumnya haram.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Menilai oral seks termasuk Tasyabbuh dengan orang Kafir sehingga hukumnya haram adalah
penilaian yang belum bisa diterima karena maksud larangan Tasyabbuh adalah Tasyabbuh
yang terkait dengan kekufuran, syiar dan adat-istiadat mereka yg bertentangan dengan Islam.
Al-Ghazzi mendefinisikan Tasaybbuh dengan berkata;
“هو عبارة عن محاول الإنسان أن يكون شبهَ المتشبَّه به وعلى هيئته وحليته ونعته وصفته، .)حسن التنبه لما ورد في
.)94/7( )2/ التشبه )ق 2
Tasyabbuh adalah upaya seseorang agar menjadi mirip dengan yang ditiru dalam penampilan,
perhiasan, sifat dan karakternya. (Husnu At-Tanabbuh Lima Waroda Fi At-Tasyabbuh, vol.1
hlm 49)
Jadi Tasyabbuh itu harus ada upaya/usaha sengaja untuk mengidentikkan diri dengan yang
ditiru, bukan semata-mata melakukan perbuatan yang kebetulan sama. Fenomane fans-fans
artis yang berusaha meniru gaya rambut, gaya berpakaian, gaya jalan, gaya berbicara artis
yang diidolakan adalah contoh yang paling dekat dengan makna Tasyabbuh. Kesamaan
melakukan perbuatan tidak bisa disebut Tasyabbuh jika tidak terealisasi sifat-sifat ini. Sistem
Diwan dari Persia yang diadopsi Umar tidak bisa disebut Tasyabbuh dengan bangsa Persia
yang Kafir karena tidak terkait kekufuran dan syiar-syiar yang bertentangan dengan islam.
Terkait dengan hubungan seksual, yang tepat disebut Tasyabbuh adalah jika kaum muslimin
ikut-ikutan bergaya seks bebas, merekam adegan intim, lalu menyebarkannya apalagi
memkomersialkannya. Adapun oral seks, maka hal ini tidak termasuk ciri kekufuran suatu
kaum, tetapi hanyalah teknik dan kreasi Istimta’, fore play, dan bersenang-senang.
Lagipula, Romawi Kuno, Kristen, dan penduduk Sub Sahara Afrika konon juga
“mengharamkan” oral seks. Jika cara penarikan kesimpulan Tasyabbuh pendapat yang
mengharomkan oral seks diikuti, maka mengharamkan oral seks juga bisa difahami
Tasyabbuh kepada romawi kuno dan kristen yang Kafir yang hukumnya haram.
Kesembilan; oral seks menyerupai hewan, sehingga hkumnya haram
13. Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Mengharamkan oral seks dengan alasan menyerupai hewan tidak bisa diterima, karena gaya
bersetubuh dari belakang yang diistilahkan di zaman sekarang dengan nama Doggy Style
hukumnya mubah dan dilakukan shahabat-Shahabat Muhajirin termasuk Umar, padahal
Doggy Style jelas menyerupai anjing dalam bersetubuh. Larangan-larangan menyerupai
hewan seperti dinyatakan dalam hadis-hadis berikut;
)222 / سنن أبى داود – م ) 7
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِبْلٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللََِّّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَقْرَةِ الْغُرَابِ وَافْتِرَاشِ السَّبُعِ وَأَنْ يُوَ طنَ الرَّجُلُ
الْمَكَانَ فِى الْمَسْجِدِ كَمَا يُوَ طنُ الْبَعِيرُ. هَذَا لَفْظُ قُتَيْبَ .
Dari Abdurrahman bin Syibl dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang
(sujud dengan cepat) seperti burung gagak mematuk dan (menghamparkan lengan ketika
sujud) seperti binatang buas yang sedang membentangkan kakinya dan melarang seseorang
mengambil lokasi khusus di Masjid (untuk ibadatnya) sebagaimana unta menempati tempat
berderumnya.” )H.R.Abu Dawud)
)724 / سنن ابن ماجه ) 2
عَنْ عَلِ ي قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَلِيُّ لََ تُقْعِ إِقْعَاءَ الْكَلْبِ
dari Ali ia berkata; “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hai Ali, janganlah duduk
seperti duduknya anjing )dalam shalat). ” )H.R. Ibnu Majah)
)279 / صحيح البخاري ) 2
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
عَنْ النَّبِ ي صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ وَلََ يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ
Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Seimbanglah
kalian salam sujud, dan janganlah salah seorang dari kalian membentangkan kedua sikunya
sebagaimana anjing membentangkan tangannya.” )H.R.Bukhari)
)927 / صحيح مسلم ) 2
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللََِّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا لِي أَرَاكُمْ رَافِعِي أَيْدِيكُمْ كَأنََّهَا أَذْنَابُ خَيْلٍ شُمْ سٍ اسْكُنُوا فِي الصَّاَ جة Dari Jabir bin Samurah dia berkata, “Mengapa aku melihat kalian mengangkat tangan kalian,
seakan-akan ia adalah ekor kuda yang tidak bisa diam. Kalian tenanglah di dalam shalat.”
(H.R.Muslim)
Semuanya terkait dengan perbuatan shalat, sehingga tidak bisa dijadikan dalil untuk
mengharamkan perbuatan yang lain. Duduk seperti anjing saat buang air besar adalah alami
14. dan hukumnya mubah, menderum seperti unta saat tiarap latihan militer demi kepentingan
jihad juga mubah karena bagian dari persiapan Jihad.
Kesepuluh; oral seks itu tidak natural, menyimpang, keluar dari fitrah dan zalim
sebagaimana orang makan pakai hidung, jadi hukumnya haram.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Oral seks tidak bisa disebut penyimpangan karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa
itu penyimpangan. Malah Nash-Nash Istimta’ dan perintah foreplay membuat oral seks
termasuk cakupan makna kebolehannya. Alasan bahwa hal itu tdk natural/menyimpang dari
fitrah tidak punya batasan dan standar baku yg didukung/digali dari Nash, sehingga argumen
ini hanyalah penilaian subyektif perasaan. Sama seperti perasaan tidak natural saat
bersetubuh dengan gaya doggy style.
Kesebelas; oral seks bertentangan dengan adab yang luhur dan akhlaq yang mulia
sehingga hukumnya haram
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Alasan bahwa oral seks bertentangan dengan adab yang luhur dan akhlaq yang tinggi sulit
ditemukan batasannya, karena jimak dari belakang misalnya, secara perasaan bertentangan
dengan adab yang tinggi karena menyerupai hewan, akan tetapi ternyata Nash jelas
membolehkannya. Jadi alasan ini tidak boleh dijadikan dalil mengharamkan oral seks.
Keduabelas; oral seks tidak menghasilkan anak, tidak sesuai dengan maksud
penciptaan syahwat, dan bisa membinasakan spesies manusia sehingga hukumnya
haram
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Argumentasi bahwa oral seks haram karena tidak sesuai dengan maksud diciptakannya
syahwat dan kecenderungan berhubungan seks, yaitu untuk melestarikan spesies manusia,
maka argumen ini tidak bisa diterima karena syara’ memubahkan berhubungan seksual
semata-mata untuk bersenang-senang meski tanpa maksud untuk memperoleh keturunan
sebagaimana tampak pada hadis Azl berikut;
)275 / صحيح مسلم ) 1
عَ نْ جَابِرٍ
أَنَّ رَجُاً ج أَتَى رَسُولَ اللََِّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ لِي جَارِيَ هِيَ خَادِمُنَا وَسَانِيَ تُنَا وَأَنَا أَطُوفُ عَلَيْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ
فَقَالَ اعْزِلْ عَنْهَا إِنْ شِئْتَ
Dari Jabir bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam
sambil bertanya; “Saya memiliki seorang budak perempuan yang bekerja melayani dan
menyirami tanaman kami, saya sering mensetubuhinya, akan tetapi saya tidak ingin jika dia
hamil.” Lantas beliau bersabda: “Jika kamu mau, lakukanlah azl/coitus interuptus/senggama
terputus (H.R.Muslim)
15. Lelaki yang ingin mensetubuhi tetapi tidak ingin anak dalam hadis di atas jelas sekali tujuan
persetubuhannya adalah sekedar berlezat-lezat dan bersenang-senang. Ternyata Nabi
membolehkan, sehingga hadis ini menjadi dalil bahwa bersetubuh dengan maksud bersenang
senang, termasuk oral seks dengan maksud bersenang-senang hukumnya mubah.
Lagipula, dalil keumuman bolehnya Istimta’ menunjukkan bahwa bersenang-senang suami
istri tanpa niat punya anak hukumnya Mubah, sehingga oral seks termasuk di dalamnya.
Fakta oral seks juga ada yang dimaksudkan hanya sebagai pemanasan sebelum berhubungan
seksual sehingga argumen memusnahkan keturunan menjadi tidak relevan.
Ketigabelas; oral seks menimbulkan berbagai macam resiko penyakit seperti; herpes,
kanker mulut, penyakit kulit, jamur pada vagina, kanker tenggorokan,hepatitis A/B/C,
syphilis, Shigella, Campylobacter, Chlamydia, Gonorrhea dan aids. Jadi, hal oral seks bisa
menimbulkan Dhoror dan Dhoror diharamkan oleh islam.
Jawaban dari argumentasi ini adalah sebagai berikut;
Peluang terjdinya Dhoror karena dilakukannya suatu perbuatan tidak bisa dijadikan dalil
mengharomkan suatu perbuatan. Orang naik sepeda motor, makan mie, dan makan sate bisa
terkena resiko penyakit, namun hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil haramnya naik sepeda,
makan mie dan makan sate. Dhoror yang membuat suatu perbuatan diharamkan harus bersifat
pasti dan langsung, bukan sesuatu yang tidak pasti dan tidak langsung. Persetubuhan
normalpun juga mengandung resiko seperti otot tertarik, punggung terluka, luka bakar, leher
terkilir, lutut atau siku tersentak, memar bahu, lutut bengkok, terkilir di pergelangan tangan,
terkilir di pergelangan kaki, jari bengkok,lecet dan memar, sakit otot dan persendian, lecet
pada organ genital, dehidrasi, infeksi saluran kencing, sakit punggung, kerusakan urat syaraf,
penglihatan terganggu, serangan jantung, penis patah, memadamkan hasrat yang bersifat
alami, organ-organ tubuh yang alami menjadi lemah, dan hal-hal yang tidak alami menjadi
kuat, daya tahan tubuh melemah, semangat menurun, gerakan tubuh berkurang, perut menjadi
besar dan hati melemah, proses pencernaan di dalamnya menjadi tidak baik, sel darah
menjadi rusak, urat-urat menjadi lemah, proses penuaan menjadi lebih cepat, keceriaan dan
kewibawaan wajah menghilang, pandangan mata melemah, rambut menjadi tipis dan mudah
rontok, bahkan dapat menimbulkan kebotakan dan darah membeku, membahayakan urat
syaraf, menimbulkan gemetar dan gerakan yang lemah, serta membahayakan dada dan paru-paru.
Termasuk pula resiko diserangnya berbagai penyakit kelamin seperti Syphilis, Gonorhe
& Chlamiydia, Herpes, Infeksi Jamur, Bisul Pada Alat Kelamin, Kutu Kelamin, Hpv, Pid,
Bv, Vaginistis, Aids, Keputihan, Kondiloma Akuminata, dll. Namun resiko-resiko ini tidak
bisa dijadikan dalil haramnya bersetubuh bagi suami istri.
Dengan demikian, semua argumentasi pendapat yang mengharamkan oral seks perlu ditinjau
ulang dengan ulasan-ulasan yang telah dipaparkan diatas.
Adapun pendapat yang memakruhkan oral seks, maka pendapat ini sulit diikuti karena tidak
ada dalil yang mendasarinya. Dalil yang dipakai tidak lebih perasaan jijik terhadap oral seks
yang dikombinasi dengan kenyataan tidak ditemukannya Nash lugas yang mengharamkan
oral seks. Perasaan jijik tidak bisa dijadikan standar penetapan hukum karena bersifat relatif
dan bukan dalil Syara’
Statemen-Statemen Ulama Salaf Yang menunjukkan Bahwa Oral Seks Hukumnya
Mubah
16. Terdapat sejumlah ulama yang membahas fikih hubungan suami istri dan menyatakan
statemen yang bisa difahami bahwa oral seks menurut mereka hukumnya mubah. Diantara
mereka adalah Ashbagh, salah seorang ulama bermadzhab maliki. Al-Qurthubi menyatakan;
)222 / تفسير القرطبي ) 72
قال ابن العربي. وقد قال أصب من علمائنا: يجوز له أن يلحسه بلسانه
“Ibnu Al-’Aroby berkata; Ashbagh salah satu ulama kami berkata; Boleh baginya )suami)
menjilatnya (kemaluan istrinya) dengan lidahnya (Tafsir Al-Qurthubi, vol.12, hlm 232)
Termasuk pula Al-Milyabary. Beliau berkata dalam kitabnya Fathu Al-Mu’in;
)290 / فتح المعين ) 2
يجوز للزوج كل تمتع منها بما سوى حلق دبرها ولو بمص بظرها
“Boleh bagi suami menikmati semua jenis aktivitas menikmati dari istrinya selain lingkaran
anusnya, meskipun (menikmati tersebut dilakukan) dengan menghisap Clitorisnya (Fathu Al-
Mu’in, vol.3. hlm 340)
Diriwayatkan Imam Malik juga termasuk membolehkan. Ar-Ru’ainy berkata;
)22 / مواهب الجليل لشرح مختصر الخليل ) 5
روي عن مالك أنه قال لَ بأس أن ينظر إلى الفرج في حال الجماع وزاد في رواي ويلحسه بلسانه
“Diriwayatkan dari Imam Malik bahwasanya beliau berkata; Tidak apa-apa melihat kemaluan
saat Jimak” dan menambah dalam riwayat yang lain; serta menjilat kemaluan tersebut dengan
lidahnya” )Mawahib Al-Jalil Li Syarhi Mukhtashor Al-Kholil, vol.5, hlm 23)
Termasuk pula Qodhi Iyadh. Al-Buhuti berkata;
)921 / كشاف القناع عن متن الإقناع ) 71
قَالَ الْقَاضِي يَجُوزُ تَقْبِيلُ فَرْجِ الْمَرْأَةِ قَبْلَ الْجِمَاع “Al-Qodhi )Iyadh) berkata; Boleh mencium vagina wanita sebelum Jimak” )Kassyaf Al-
Qina’ ‘An Matni Al-Iqna’, vol 16 hlm 436)
Termasuk pula Al-Mirdawi, beliau berkata dalam Al-Inshof;
)21 / الإنصاف ) 8
ليس لها استدخال ذكر زوجها وهو نائم با ج إذنه ولها لمسه وتقبيله بشهوة
“Tidak ada hak bagi istri memasukkan penis suaminya sementara suami dalam keadaan tidur
tanpa izinnya, namun istri boleh merabanya dan menciumnya dengan syahwat” )Al-Inshof,
vol 8 hlm 27)
17. Penutup
Demikianlah hukum oral seks. Sejumlah ulama kontemporer juga berpendapat mubahnya
oral seks seperti Sa’id Romadhon Al-Buthi , Ali Jumu’ah , Salman Audah, Ahmad Al-Kurdy,
Abdullah Al-Faqih, Mas’ud Shobri, Sabri Abdur Rauf, dan Musa Hasan Mayan. As-Syafii
dalam Al-Umm menyinggung juga masalah oral seks, namun masih sulit diidentifikasi sikap
beliau dalam hal ini. Dalam Al Umm dinyatakan;
)21 / الْم ) 7
وَلََ نُوجِبُ الْغُسْلَ إلََّ أَنْ يُغَي بَهُ في الْفَرْجِ نَفْسِهِ أو الدُّبُرِ فَأمََّا الْفَمُ أو غَيْرُ ذلك من جَسَدِهَا فَاَ ج يُوجِبُ غُسْاً ج إذَا لم يُنْزِلْ
“Kami tidak mewajibkan mandi kecuali dia memasukkan kemaluannya kedalam farji atau
anus. Adapun (memasukkan penis ke dalam) mulut atau yang lainnya dari tubuh istri, maka
hal itu tidak membuat wajib mandi jika tidak mengeluarkan mani (Al-Umm, vol 1, hlm 37)
Adapun ulama yang mengharamkan, diantaranya adalah; Muhammad As-Sayyid Ad-Dusuqi,
Kholid Al-Jundi,Sholih Al-Luhaidan, Ahmad bin Yahya An-Najmi, Ibnu Baz, dan Ubaid bin
‘Abdillah bin Sulaiman AI-Jabiry. Al-Albani bisa juga ditafsirkan termasuk kelompok ini
dilihat dari penyerupaan beliau atas oral seks dengan perilaku hewan. Yusuf Qordhowi
termasuk yang memakruhkan, sementara Abdullah bin Jibrin tidak berani mengharamkan,
tetapi jijik terhadapnya.
Bagi seorang muslim, hukum manapun yang diikuti apakah mubah, makruh atau haram,
hendaknya semuanya didasarkan pada hujjah dan memilih pendapat yang dipandang paling
kuat yang lebih dekat pada kebenaran tanpa Taklid secara membuta.
Wallahua’lam.