Makalah ini membahas landasan psikologis pendidikan dengan menjelaskan teori-teori perkembangan peserta didik dan teori belajar yang relevan dalam pendidikan. Teori-teori tersebut meliputi tahapan perkembangan manusia, teori kognitif Piaget, dan teori humanisme Maslow dan Rogers."
1. MAKALAH
LANDASAN PSIKOLOGIS PENDIDIKAN
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Landasan Pendidikan
Dosen Mata Kuliah Dra. Hj. Pupun Nuryani, M. Pd. dan
Ramdhan Witarsa, S. Pd., M. Pd.
oleh :
Afifah Rizki Pratiwi (1104620)
Muhamad Nur Siddik (1100897)
Siti Nur Rokhmah (1103850)
JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2012
1
2. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap individu pada masa-masa tertentu pasti akan mengalami perkembangan, dan pada tiap
perkembangan peserta didik pasti akan mendapati adanya kekhasan pada tiap-tiap
perkembangannya, dan kekhasan ini yang kemudian apabila kita tidak memahami benar, akan
menimbulkan masalah ketika kita akan mengajar dan mendidik peserta didik yang berkembang.
Dan berawal dari permasalahan di atas kemudian digunakan metode pembelajaran yang
sesuai untuk masing-masing perkembangan, agar tidak terjadi permasalahan ketika kita ingin
menyampaikan pembelajaran terhadap peserta didik yang sedang mengalami fase perkembangan.
1.2 Rumusan masalah
Agar pembahasan dari makalah ini tidak melebar dan maksud dari penulisan makalah ini
tersampaikan, maka penyusun dirasa perlu untuk membatasi masalah dalam makalah dengan
memberikan batasan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: Apakah upaya pendidik
yang sesuai ketika pendidik hendak memberikan pembelajaran terhadap peserta didik yang
sedang mengalami fase perkembangan ?
1.3 Tujuan makalah
Sesuai dengan penyusunan rumusan masalah, makalah ini disusun untuk mengetahui dan
mendeskripsikan : Upaya pendidikan manakah yang sesuai ketika menghadapi individu yang
sedang mengalami fase perkembangan.
1.4 Manfaat makalah
Penulis berharap dengan penyusunan makalah ini dapat memberikan kebaikan dan manfaat
bagi:
1. Penulis, sebagai sarana penulis untuk memberikan pemahaman terkait landasan psikologis.
2. Pembaca, sebagai media yang memberikan pemahaman yang terkait landasan psikologis.
2
3. BAB II
PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK
2.1. Pemahaman Terhadap Perkembangan Pribadi Anak
Pemahaman terhadap perkembangan pribadi anak, tidak hanya dengan observasi dan
eksperimen, melainkan juga dapat dilakukan dengan introspeksi dan empati. Hal ini dilakukan
karena pada hakikat pemahaman dunia anak, bukan hanya sebagai makhluk biologis, melainkan
juga sebagai makhluk psikis dan spiritual.
Sebagai makhluk biologis, anak dapat dikenali dari segi kehidupan instingtifnya (misalnya ;
insting mempertahankan diri, insting sex, berkelahi, lari, berasosiasi dengan orang lain
dsb.).sedangkan dari aspek psikisnya anak dapat dikenali dari berbagai aspek kejiwaannya,
seperti motivasinya, emosinya, kognisinya, serta kehidupan psiko-motoriknya. Pemahaman
terhadap dunia anak dalam rangka upaya mengembangkan potensi anak agar memahami
kemampuan dirinya, serta mencapai kedewasaan.
Secara umum, perkembangan kehidupan anak dapat dibagi ke dalam periodisasi sebagai
berikut :
1. Anak bayi (0-1 tahun)
2. Kanak-kanak ( 1-5 tahun)
3. Anak sekolah (6-12 tahun)
4. Remaja atau adolesensi (12-18 tahun)
5. Usia Dewasa Dini (18-40 tahun)
6. Usia Dewasa Madya (40-60 tahun)
7. Usia Dewasa Lanjut (60 tahun-kematian)
Pada setiap periode perkembangan, mempunyai kekhasnya sendiri, karena ada dimensi-
dimensi tertentu yang menonjol, sehingga kita dapat memahami terhadap karakteristik profil
perilaku anak pada tiap-tiap periodenya. Marilah kita ikuti uraian sebagai berikut :
2.1.1 Anak bayi ( 0 – 1 tahun),
disebut juga sebagai periode vital (vita = kehidupan). Periode ini mempunyai makna
mempertahankan hidup, yaitu anak dilengkapi dengan insting dan refleks. Insting adalah
kemampuan yang telah ada sejak lahir yang sifatnya psiko-fisik (mempunyai segi psikis dan
fisik) untuk dapat mereaksi dengan lingkungan (melalui rangsangan-rangsangan atau stimulasi
tertentu dengan cara khas. Perilaku mereaksi dengan lingkungan itu terjadi tanpa belajar terlebih
dahulu, dan meliputi segi kognitif (kesadaran), afektif (emosi), dan konatif (perilaku yang
melibatkan sistem psiko-motorik) serta kejasmanian. Pada bayi insting itu kemudian dibedakan
menjadi :
a) Insting sosial
b) Insting lari (flight instinct)
c) Insting meniru
Refleks diartikan sebagai insting yang dibawa semenjak lahir. Selain itu, modal kejiwaan
anak bayi selain insting dan refleks, juga adanya kemampuan untuk belajar, kesadaran sensoris,
dan potensi perluasan dunia.
2.1.2 Kanak-kanak ( 1-5 tahun),
yaitu usia pra sekolah sebagai periode peralihan dari masa bayi ke usia anak sekolah.
Kemudian Kohnstamm menyebutkan bahwa periode ini dengan periode estetis, yang berarti
keindahan, mengapa dinamakan dengan nama periode keindahan ? periode ini mempunyai tiga
ciri khas yang tidak terdapat pada periode lain, yaitu perkembangan emosi kegembiraan hidup,
kebebasan, dan fantasi. Ketiga ciri tersebut, dapat berkembang dengan berbagai bentuk ekspresi
3
4. seperti : permainan, dongeng, nyanyian, dan menggambar. Itulah sebabnya empat kegiatan
tersebut sering dijadikan sebagai isi materi TK,
J.J. Rousseau dari Perancis pernah mengatakan bahwa masa kanak-kanak adalah masa
bahagia, sebagai hak setiap anak-anak dalam suasana kebebasan dan kegembiraan hidup.
Pada periode ini juga terjadi perkembangan pengindraan, dan juga terjadi perkembangan
dalam hal bahasa.
2.1.3 Anak sekolah (6-12 tahun),
Periode ini menurut kohnstamm juga dinamakan sebagai masa intelektual, karena sebagian
besar waktunya digunakan untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya.
Anak pada usia ini mudah diberi tugas untuk dilaksanakan, dan mereka apabila
lingkungannya penuh pengertian, akan mudah belajar berbagai kebiasaan,misalnya : tidur dan
bangun pada waktunya, makan dan belajar pada waktu dan tempatnya.
Apabila pada usia ini terjadi kesalahan pendidikan, akan timbul permasalahan perilaku seperti
mengompol, berbohong,suka berkelahi, nakal, suka menganggu adik-adiknya, malas belajar,
suka melancong dsb.
2.1.4 Remaja atau adolesensi (12-18 tahun),
Kohnstamm menyebut periode ini dengan nama periode sosial, karena pada periode ini anak-
anak memiliki ketertarikan yang besar terhadap dunia kemasyarakatan, dan senang untuk hidup
di dunia organisasi. Pada usia ini anak mengalami perubahan jasmani yang cepat, mulai suka
lawan jenis. Dalam perkembangan moralnya,pada masa ini anak mulai mengenal nilai-nilai
rohani, seperti nilai kebenaran, keadilan, kebaikan, keindahan, dan ketuhanan.
2.1.5 Usia Dewasa Dini (18-40 tahun)
Periode ini dimulai dari umur 18 tahun sampai dengan umur 40 tahun,saat perubahan-
perubahan fisik dan psikologi yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.
Masa dewasa dini sebagai “Masa Pengaturan” dimana pada masa ini manusia sudah mulai
mengatur segala tentang mulai dengan mengatur pekerjaan apa yang sesuai untuk dirinya sendiri
dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
Masa dewasa dini sebagai “Masa Bermasalah” dikatakan masa bermasalah karena memang
pada usia dewasa dini, individunya disibukan dengan berbagai masalah,dan umumnya berkaitan
dengan penyesuaian diri dalam berbagai aspek utama kehidupan orang dewasa.
2.1.6 Usia Dewasa Madya (40-60 tahun)
Masa madya dimulai sejak umur 40 tahun hingga 60 tahun, yakni saat menurunnya baik
psikologi dan fisik yang jelas nampak dari setiap orang.
Usia madya merupakan periode yang sangat ditakuti karena ciri utama dari periode madya
adalah periode yang menakutkan, diakui bahwa semakin mendekati usia tua, periode dewasa
madya lebih terasa menakutkan dilihat dari seluruh kehidupan manusia, dikatakan oleh
Dasmond, “Orang-orang Amerika memasuki usia dewasa madya dengan rasa segan, susah dan
takut”.
Usia Madya adalah masa stres, karena penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola
hidup berubah, khususnya apabila disertai dengan perubahan fisik, selalu mempengaruhi
homeostatik fisik dan psikologis yang membawa orang itu menjadi stres.
2.1.7 Usia Dewasa Lanjut (60 tahun-kematian)
Masa usia dewasa lanjut,dimulai dari umur 60 tahun sampai kematian. Pada waktu ini baik
kemampuan fisik maupun psikologis cepat menurun, tetapi teknik pengobatan modern, serta
upaya dalam hal berpakaian dan dandanan,memungkinkan pria dan wanita berpenampilan,
bertindak, dan berperasaan seperti kala mereka masih lebih muda.
2.2. Teori Belajar Dalam Dunia Pendidikan
Pemahaman terhadap teori-teori belajar dari sudut pendekatan psikologis,merupakan salah
satu upaya mengenali realitas kondisi obyektif terhadap anak yang sedang mengalami proses
belajar dalam rangka proses pertumbuhan dan perkembangan.
4
5. Adanya pendekatan dari suatu teori tertentu merupakan salah satu upaya dalam
menggunakan landasan berfikir sebagai asumsi yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Berdasarkan asumsi tersebut perlu di pertimbangkan beberapa masalah yang berkaitan
dengan aspek tersebut, yaitu :hakikat manusia, tujuan pendidikan, isi pendidikan, dannilai-
nilaisertametodepencapaiantujuanpendidikanya.
Adapun teori yang didasarkan pada pendekatan filosofis, diklasifikasikan menjadi tiga
aliran, yaitu Kognitivisme, Humanisme, dan Behaviorisme.
2.2.1. Teori Psikologi Kognitif (Kognitivisme)
Para ahli Psikologi, Kurt Lewin, John Dewey, dan Kohler mempunyai pandangan bahwa
proses belajar pada manusia melibatkan proses pengenalan yang bersifat kognitif. Cara belajar
orang dewasa berbeda dari cara belajar anak, dimana cara belajar orang dewasa lebih banyak
melibatkan kemampuan kognitif yang lebih tinggi.
Sementara itu Jean Piaget, seorang ahli psikologi kognitivisme membagi tahap-tahap
perkembangan sesuai dengan bertambahnya usia individu,yaitu:
a. Tahap sensori-motorik (0,0 – 2,0 )
Tingkah laku anak yang di kendalikan oleh perasaan dan aktivitas motorik. Pengenalan
anak terbatas pada benda konkret.
b. Tahap operasi awal (2,0 – 6,0 )
Anak mulai mengenal simbol, termasuk simbol verbal.
c. Tahap operasi konkrit ( 7,0 – 11,0 )
Anak mulai membandingkan pendapat orang lain, mulai bisa membedakan sekalipun
masih bergantung pada masalah konkrit.
d. Tahap operasi formal (12,0 – keatas )
Perkembangan kognisi anak sudah mampu berpikir abstrak, tanpa batas kepada hal-hal
yang konkret.
Teori Piaget tersebut bukanlah teori belajar, tetapi mempunyai implikasi terhadap proses
belajar-mengajar. Teori tersebut mengimplikasi bahwa proses belajar-mengajar harus
memperhatikan tahap perkembangan kognisi anak. Dalam hal ini guru harus memahami
perkembangan kognisi anak sesuai tahap perkembangan usianya.
Peranan guru dalam proses belajar-mengajar yang didasarkan pada teori Piaget dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1) Merancang program, menata lingkungan yang kondusif, memilih materi pelajaran dan
mengendalikan aktivitas murid untuk melakukan inkuiri dan interaksi dengan lingkungan.
2) Mendiagnosa tahap perkembangan murid, menyajikan permasalahan kepada murid yang
sejajar dengan tingkat perkembangannya.
3) Mendorong perkembangan murid ke arah perkembangan berikutnya dengan cara
memberikan latihan, bertanya dan mendorong murid untuk melakukan eksplorasi.
2.2.2. Teori Psikologi Humanisme
Tokoh-tokoh pendukung teori Humanisme adalah Abraham H.Maslow dan Carl
R.Rogers. menurut penganut aliran teori ini perilaku manusia itu ditentukan oleh dirinya sendiri,
oleh faktor internal, dan bukan oleh kondisi lingkungan ataupun pengetahuannya.
Aliran Humanisme ini menolak adanya proses belajar-mengajar yang mekanis, karena
belajar merupakan fungsi keseluruhan pribadi. Aliran ini meyakini bahwa motivasi belajar harus
5
6. datang dari dalam diri sendiri. Belajar akan bermakna manakala melibatkan pengalaman
langsung, berpikir dan merasa ,atas kehendak sendiri dan melibatkan seluruh pribadi siswa.
Prinsip-prinsip belajar menurut Carl R.Rogers :
1) Manusia mempunyai dorongan untuk belajar, dorongan ingin tahu, melakukan eksplorasi
dan mengasimilasi pengalaman baru.
2) Belajar akan bermakna, apabila yang dipelajari itu relevan dengan kebutuhan anak.
3) Belajar diperkuat dengan jalan mengurangi ancaman eksternal, seperti hukuman, sikap
merendahkan murid, mencemooh dll.
4) Belajar dengan inisiatif sendiri akan melibatkan keseluruhan pribadi, baik intelektual
maupun perasaan.,
5) Sikap berdiri sendiri, kreativitas dan percaya diperkuat dengan penilaian diri sendiri.
Penilaian dari luar merupakan hal yang sekunder.
Tujuan pendidikan menurut kaum humanis adalah realisasi diri, yakni suatu kondisi
dimana individu mencapai kesadaran akan dirinya sendiri, lingkungan dan sistem nilai. Untuk
mencapai tujuan tersebut guru berperan sebagai narasumber, fasilitator belajar, dan bukan
inspektor atau instruktur yang mengendalikan kelas.
Proses belajar yang berlandaskan pada humanisme menekankan pentingnya hubungan
interpersonal, sikap menerima murid sebagai partisipan dalam proses belajar bersama.
Selanjutnya Redja Mudyahardjo (1989; 72 – 73 ) menguraikan tentang implikasi teori
belajar humanistic terhadap pendidikan, adalah sebagai berikut :
1) Individualisasi : perlakuan individual didasarkan pada kebutuhan dan perkembangan
individualitas / kepribadian anak.
2) Motivasi : motivasi belajar bersifat intrinsic dan menekankan pada pemuasan kebutuhan
individu.
3) Metodologi : dalam praktek pendidikan lebih menekankan pada pendekatan proyek yang
terpadu, menekankan pada mempelajari kehidupan sosial.
4) Tujuan kurikuler: pendidikan lebih memusatkan diri pada pengembangan sosial,
keterampilan berkomunikasi, tanggap pada kebutuhan kelompok dan individu,
5) Bentuk pengolahan kelas : berpusat pada anak. Anak bebas memilih bidang yang akan
dipelajari, sedangkan guru membantukan bukan mengarahkan.
6) Efektivitas pengajaran: program pengajaran disusun dalam bentuk topik-topik yang
terpadu, berdasarkan kebutuhan individual anak.
7) Partisipasi siswa : partisipasi aktif dari siswa sangat diutamakan, dan anak belajar sambil
bekerja.
8) Kegiatanbelajarsiswa : mengutamakan pada belajar melalui pemahaman dan pengertian,
dan bukan hanya memperoleh pengetahuan belaka.
9) Tujuan umum pendidikan : mencapai kesempurnaan diri dan pemahaman.
6
7. 2.2.3. Teori Behaviorisme
E.L Thorndike dan B.F Skinner adalah dua orang tokoh psikologi yang berpandangan
behavioristik. Aliran ini memandang bahwa prilaku manusia adalah hasil pembentukan melalui
kondisi lingkungan. Prinsip ini dikenal operant conditioning yang dikembangkan oleh Skinner.
Perilaku adalah hal-hal yang berubah dan dapat dipahami.
Asumsi pokok yang melandasi behaviorisme, menurut M.I. Soelaeman; (1985;335) adalah
sebagai berikut:
1) Perilaku itu dipelajari dan terbentuk dengan adanya ikatan asosiatif antara stimulus dan
respons (S-R),
2) Manusia pada dasarnya mencari kesenangan dan menjauhi hal-hal yang menyakitkan,
3) Perilaku pada dasarnya ditentukan oleh lingkungan.
Menurut teori belajar behavioristik, ada tiga hal yang mempengaruhi proses belajar
seseorang yaitu: stimulus, respon dan akibat. Stimulus adalah sebagai cue, yaitu sesuatu yang
datang dari lingkungan yang dapat mengakibatkan respon individu. Sedangkan akibat adalah
sesuatu yang terjadi setelah individu merespons. Akibat yang memberikan kepuasan,bersifat
positif bagi individu, sedangkan akibat yang tidak memberikan kepuasan, cenderung
dihindarkan. Prinsip ini disebut reinforcemen.
Hasil belajar adalah perilaku yang dapat diamati dan diukur. Proses belajar behaviorisme
menekankan pentingnya keterampilan dan pengetahuan akademis maupun perilaku sosial
sebagai hasil belajar.
Tujuan pendidikan menurut aliran behaviorisme adalah berorientasai pada pengembangan
kompetensi, penguasaan secara tuntas terhadap apa-apa yang dipelajari.
Peranan guru dalam proses belajar mengajar adalah sebagai pengambil inisiatif dan
pengendali proses belajar. Tugas-tugas guru dalam hal ini adalah sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi perilaku yang dipelajari dan merumuskannya dalam rumusan yang
spesifik,
2) Mengidentifikasi perilaku yang diharapkan dari proses belajar,
3) Menidentifikasi reinforcer yang memadai. Reinforcer dapat berbentuk mata pelajaran,
kegiatan belajar yang dipilih siswa,
4) Menghindari perilaku yang tidak diharapkan.
Ada dua hal pokok yang merupakan implikasi dari teori behaviorisme, yaitu:
1) Modifikasi perilaku dengan menggunakan cara cara yang spesifik dan sistem ganjaran
(reinforcer).
2) Pengajaran yang berprogram ynag menunjukan kepada (a) cara umum tentang perencanaan
dan sistem penyajian pengajaran, (b) hasil yang spesifik, teks yang diprogram atau
pertunjukan slide. Salah satu implikasi teori behavioristik adalah model pengajaran dengan
menggunakan mesin.
Implikasi teori belajar behaviorisme terhadap pendidikan, sebagaimana yang diuraikan
oleh:
Redja Mudyahardjo (1989; 72) dapat dirangkum sebagai berikut:
1) Individualisasi: perilaku individual didasarkan pada tugas,
7
8. 2) Motivasi: motivasi belajar bersifat ekstrinsik melalui pembiasaan (dapat menjadi
reinforcer),
3) Metode: metode belajar dijabarkan secara rinci untuk mengembangkan keterampilan,
4) Tujuan-tujuan kurikuler: Tujuan kurikuler, memusatkan diri pada pengetahuan,
keterampilan akademis serta tingkah laku sosial,
5) Bentuk pengelolaan kelas: Berpusat pada guru,hubungan sosial digunakan sebagai cara
berkomunikasi,
6) Usaha mengefektifkan kelas: program pengajaran disusun secara terperinci dan bertingkat,
7) Partisipasi siswa: secara umum siswa menunjukan perilaku pasif,
8) Kegiatan belajar siswa: kemahiran keterampilan melalui pembiasan bertahap,
9) Tujuan umum pendidikan: pendidikan bertujuan mencapai kemampuan mengerjakan
sesuatu atau mencapai tingkat kompetensi tertentu.
Proses belajar behavioristik menunjukan proses belajar setahap demi setahap secara
terperinci dan tergambarkan dalam sekuensi logis dari informasi yang disajikan. MD. Dahlan
(1984), menguraikan beberapa teori belajar yang dikutip dari Bruce Joyce dan Masha Weil
(1980), sebagai berikut:
1. Teori belajar disiplin mental, memandang belajar sebagia proses mendisiplinkan atau
melatih fungsi fungsi jiwa,
2. Teori-teori ikatan stimulus dan respons, menyatakan bahwa belajar sebagai ikatan antara
rangsangan yang datang dari luar dan secara otomatis terjadi reaksi,
3. Teori-teori kognitif, memandang bahwa proses belajar adalah sebagai yang terjadi dalam
bidang kognitif, yaitu proses memahami,
4. Teori-teori prestasi belajar, memandang bahwa proses belajar mempunyai hunungan
dengan proses mengajar,
5. Teori-teori belajar inovatif, yang memandang bahwa proses belajar pada anak dan orang
dewasa tertuju pda kemampuan untuk mengantisipasi peristiwa masa depan dalam
menyelesaikan diri pada tautan masa depan yang mungkin belum pernah ada polanya
sampai sekarang.
2.3. Jenis-jenis upaya pendidikan
Upaya pendidikan adalah cara pendidikan untuk membimbing anak mencapai
kedewasaannya. Cara itu dapat berbentuk pendidikan atau situasi yang disengaja diadakan untuk
mendidik anak. Upaya pendidikan berbeda artinya dengan faktor pendidikan. Faktor pendidikan,
adalah pengaruh yang tidak dengan sengaja diadakan oleh pendidik, tetapi walaupun demikian
dapat mempunyai pengaruh terhadap anak yang sama dengan upaya yang dengan disengaja
diadakan oleh pendidik. Dengan demikian upaya dan faktor pendidikan (sengaja dan tidak
sengaja) mempunyai pengaruh yang sama terhadap perkembangan jiwa anak.
Perbuatan pendidik yang disengaja ditonjolkan kepada anak sebagai teladan , biasanya
tidak memberikan efek yang diharapkan, karena anak akan merasa tersinggung dalam
kemandiriannya. Mendidik anak itu bukan nasihat atau teladan yang kita tonjolkan, melainkan
suasana lingkungn atau iklim psikologis yang kita ciptakan oleh keberadaan kita dengan kualitas
8
9. dan suasana tertentu yang dapat memotivasi anak berbuat sebaik mungkin demi perkembangan
jiwanya sendiri menuju kedewasaan.
Upaya pendidikan dapat berupa: perintah, larangan, ajakan, saran, dorongan, dsb. Sebagai
cara upaya itu mempunyai hasil yang diharapkan, sangat tergantung kepada kepribadian
pendidik. Pendidik yang berwibawa adalah bila ia telah melaksanakan sendiri nilai yang
disampaikannya kepada terdidik. Setiap upaya pendidikan dilaksanakan berhubungan dengan
empat hal, yaitu:
1. Untuk mencapai satu tujuan pendidikan,
2. Dihubungkan dengan siapa yang mempergunakan upaya itu, walaupun upaya itu jelas
tujuannya, belum tentu seseorang dapat memakainya secara efektif,
3. Dihubungkan dengan cara atau bentuk upaya yang dipergunakan, seperti larangan, perintah
dsb,
4. Bagaimana efeknya terhadap anak. Dalam menerapkan upaya pendidikan harus
memperhatikan sifat khusus dari kondisi dan situasi khusus.
Setiap upaya atau pelaksanaan proses pendidikan, sebenarnya adalah perbuatan wibawa,
dimana nilai atau maksud yang diinginkan harus sesuai dengan kenyataan, pendidikan harus
jujur, murni dan identik (sebagaimana adanya/asli).
Pendidikan juga dituntut untuk berbuat sesuai azas kepatutan, artinya setiap perbuatan
mendidik akan mengandung konsekuensi logis dari sudut logika, praktika, etika dan estetika.
Oleh karena itu guru dipandang sebagai seorang yang patut digugu dan ditiru. Dalam kehidupan
guru sehari-hari, ternyata tidak hanya dilihat dari aspek tugas sebagai pengajar, tetapi juga
sebagai tokoh, idola, fans sebagai orang yang menjalankan berbagai perilaku yang bermoral.
9
10. BAB III
KESIMPULAN
Pada hakikatnya upaya pendidikan yang sesuai untuk pembelajaran terhadap peserta didik
yang berkembang, adalah dengan mengenali terlebih dahulu karakteristik perkembangan dari
peserta didik itu sendiri, karena setiap fase dalam perkembangan maka akan memerlukan upaya
yang berbeda.
Akan tetapi, poin pentingnya adalah pendidik seharusnya menjadi pribadi baik, yang
mampu menjadi teladan bagi peserta didiknya karena sebenarnya pendidik adalah pribadi yang
digugu dan ditiru, berkesesuaian dengan peribahasa “ guru kencing berdiri, murid kencing
berlari.” waalahu’alam
10
11. DAFTAR PUSTAKA
Tim dosen MKDP Landasan Pendidikan UPI .(2007). Buku Landasan Pendidikan.Bandung:UPI
Faizah, D.U. (2010). Arah Aktif: Sebuah Seni Mendidik Beraktivitas dan Berakhlak Mulia. Solo:
Tiga Serangkai
Faizah, D.U. (2009). Anak-anak yang Digegas. Jakarta: Cindy Grafika
Hurlock, B Elizabeth. (1989). Psikologi Perkembangan. Jakarta :Erlangga.
11