Dokumen ini membahas pengantar buku tentang ekonomi regional dan perkotaan. Terdapat penjelasan singkat tentang tujuan penulisan buku ini untuk membantu mahasiswa dalam mempelajari ilmu ekonomi regional. Juga terdapat sambutan dari dekan fakultas ekonomi yang mendukung penerbitan buku ini.
2. KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, yang dengan izin-Nya buku ini telah berhasil saya
tulis dan diterbitkan. Shalawat dan salam disampaikan kepada nabi besar Muhammad
SAW, yang telah memberikan motivasi yang kuat untuk ikut mengembangkan Ilmu
Pengetahuan, dengan hadis beliau: ―tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina‖.
Buku ini merupakan pengembangan dari sejumlah diktat kuliah yang pernah
saya tulis sejak tahun 1987, setelah saya menyelesaikan studi Magister pada Jurusan
Perencanaan Wilayah dan Kota di Institut Teknologi Bandung, dan mendapat tugas dari
Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas
Padjadjaran untuk mencoba mengembangkan Mata Kuliah (MK) Ilmu Ekonomi
Regional (sebagai salah satu mata kuliah pilihan) di jurusan tersebut. Buku-buku untuk
rujukan mahasiswa S1 sangat terbatas, sedangkan buku-buku yang ada (seperti:
Regional Economics dari HW Richardson) terlalu tinggi untuk mahasiswa S1. Buku-
buku yang saya anggap dasar tersebut saya coba terjemahkan bagian-bagian yang saya
anggap penting, dan mengelaborasinya agar lebih mudah dipahami mahasiswa S1 dan
saya berikan sebagai diktat kuliah. Pada pembuatan kontrak belajar dengan mahasiswa,
pada awal semester, saya meminjamkan buku-buku yang saya miliki untuk dicopy para
mahasiswa karena tidak tersedianya di perpustakaan dan juga di toko-toko buku.
Sampai dengan tahun 2000 saya membina MK ini di tiga Universitas, yaitu di
Universitas Padjadjaran, Univesitas Islam Bandung, dan Universitas Siliwangi
Tasikmalaya. Sejak tahun 1995 saya ikut membina M.K. ini pada Program Pascasarjana
Universitas Padjadjaran, dan terakhir 2004 juga di Program Magister Ekonomi Terapam
(MET) Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Buku ini baik dijadikakan sebagai rujukan untuk mahasiswa S1, karena telah
dielaborasi dengan berbagai contoh ilustrasi dan gambar-gambar, yang dapat membantu
para mahasiswa dalam mempelajari subyek studi ini, sebagai salah satu spesialisasi ilmu
ekonomi dengan pendekatandekatan spasial. Sedangkan untuk mahasiswa S2 juga baik,
namun diwajibkan membaca buku-buku rujukannya yang asli, dan buku-buku lain yang
baru diterbitkan dan jurnal-jurnal. Mereka juga diwajibkan menulis makalah 12 – 15
halaman untuk diseminarkan. Makalah tersebut sumbernya dapat dipilih dari studi
perpustakaan, atau dari contoh-contoh kasus implenetasinya di dalam pembangunan.
Buku ini juga memperlihatkan dengan jelas aspek-asper mikro dan makro ekonomi
yang terkandung dalam pengajaran Ilmu Ekonomi Regional. Lahirnya Ilmu Ekonomi
Perkotaan (Urban Economics), karena kebutuhan dari adanya sifat-sifat ekonomi
perkotaan yang khas masih dilihat sebagai satu kesatuan obyek studi (wilayah). Idialnya
ekonomi pedesaan (Rural Economics) juga kita kembangkan dengan kecepatan yang
sama. Insya Allah pada suatu saat akan ditambah dengan bab-bab ekonomi pedesaan.
Saya yakin buku ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saya akan sangat
berterima kasih kepada para pembaca dan pengguna yang berkenan menyampaikan
kritik dan sarannya bagi perbaikannya lebih lanjut.
Bandung, 6 Oktober 2005
Penulis.
(Rusli Ghalib)
i
3. SAMBUTAN DEKAN
FAKULTAS EKONOMU UNIVERSITAS PADJADJARAN
Syukur Alhamdulillah, satu lagi buku yang merupakan karya tulis ilmiah dosen
di lingkungan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran. Kali ini di bidang strudi
Pembangunan spesialis Ekonomi Regional dan Perkotaan.
Saya sangat mengharapkan kiranya para dosen dapat memberikan perhatian
yang seimbang terhadap tugas-tugas kita sebagai pengajar perguruan tinggi, yang
meliputi aspek-aspek pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Karena dengan pelaksanaan tugas-tugas tersebut secara seimbang akan memberikan
dampak ganda bagi kita, yaitu dampak kepada peningkatan mutu pengajaran sebagai
tugas pokok/meningkatkan mutu lulusan, kedua yaitu: dampak kepada universitas
sebagai wahana pelaksanaan misi mempercepat peningkatan kualitas sumberdaya
manusia. Salah satu indikator awal berkembangnya mutu pengajaran adalah
meningkatnya penerbitan buku-buku yang ditulis dosen-dosen kita sebagai hasil studi
perpustakaan, peningkatan jenjang studi, hasil penelitian, dan hasil pengabdian pada
masyarakat. Dengan dapat diterbitkannya berbagai buku ajar juga berarti kita telah
dapat membantu perguruan-perguruan tinggi lain yang masih perlu kita bantu, dimana
buku tersebut berfungsi sebai sumber informasi perkembangan ilmu yang tidak pernah
berhenti, tanpa kita selalu harus hadir sendiri secara fisik.
Kita sadari, banyak permasalahan yang membatasi para dosen kita untuk
melaksanakan himbauan yang seperti ini. Oleh karena itu pula Fakultas Ekonomi
khususnya, dan Universitas Padjadjaran umumnya, dalam upaya meningkatkan
―Academic Atmosphere‖ melalui penerbitan buku ajar di kalangan dosen ini, tidak
hanya menghimbau tepapi secara konkrit diupayakan melalui kebijakan insentif seta
fasilitas untuk menulis dan menerbitkan buku.
Demikian, kiranya ajakan yang telah lama saya sampaikan ini menjadi lebih
wujud. Akhirnya saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada sdr. Dr. H. Rusli Ghalib, SE., MSP. Dan saya harapkan terus memperki dan
menyempurnakan buku ini dengan edisi berikutnya, dan terus menulis dengan judul-
judul baru bagi pengembangan ilmu ekonomi.
Bandung, 10 Oktober 2005
Dekan,
Prof. Dr. Hj. Sutyastie Soemitro Remi, M.S.
ii
4. DAFTAR ISI
PENGANTAR i
SAMBUTAN DEKAN ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR TABEL ix
PENDAHULUAN 1
1.1. Aspek Sektoral 2
1.2. Aspek Regional 2
1.3 Perencanaan Pembangunan Ekonomi Regional 3
1.4 Perwilayahan (Regionalisasi) Pembangunan 4
1.5 Tujuan Pembangunan Regional di Indonesia 5
1.6 Masalah-masalah Perwilayahan (Regionalisasi) di Indonesia 5
1.7. Keserasian Pembangunan antar Daerah 6
1.8. Penggunaan Teori Ekonomi Mikro dan Makro 7
TEORI LOKASI PASAR (HARGA) SPASIAL 9
2.1 Teori Harga Spasial ( Spatial Price Theory) 9
2.1.1. Keseimbangan Harga Lokal dan Harga Spasial 9
2.1.2 Kasus 2 Wilayah 10
2.1.3 Kasus Wilayah Lebih Dari Dua 12
2.1.4 Kasus Tiga Wilayah 12
2.1.5 Kasus n- Wilayah 13
2.2. Pola-pola Sebaran Spasial Secara Umum 14
2.2.1. Pembeli Dengan Kurva Permintaan Sama Elastisitas Permintaannya Sama 15
2.2.2. Permintaan Pembeli Jauh Lebih Kecil tetapi Lebih Elastis. 16
2.2.3. Batas-batas Monopoly Spasial 17
2.2.4. Pengaturan Pasar Oleh Sebuah Industri 18
2.2.5.Dua Penjual di Lokasi-lokasi Yang Berbeda dan Dikitari Banyak Pembeli
(Hukum Luas Areal Pasar). 19
2.2.6. Penjual Banyak Terkonsentrasi Sedangkan Pembeli Juga Banyak Tersebar.24
2.2.7. Pembeli Banyak Terkonsentrasi Sedangkan Penjual Juga Banyak tetapi
Tersebar 25
2.2.8. Para Penjual dan Para Pembeli Sama-sama Tersebar tetapi Mempunyai
Sebuah Pusat Pasar Bersama (Kasus Pasar Transito ) 27
2.2.9. Pembeli Maupun Penjual Tersebar (Persaingan Monopolistik/Oligopoli
Spasial) 29
2.2.10. Alternatif Sistem Harga Spasial 31
2.2.11. Keragaman-keragaman Harga Spasial : A Testable Model. 33
TEORI LOKASI INDUSTRI 35
3.1. Pendahuluan 35
3.2. Prinsip Lokasi Median 35
3.3. Persaingan Sepanjang Satu Garis Lurus 37
3.4. Industri Dengan Satu Pasar dan Satu Bahan Baku 38
3.5. Struktur Biaya Transpor (Transport Cost Structure) 39
3.6. Lokasi Industri Titik-Titik Ujung (End Points Location) 40
3.7. Keunggulan Lokasi Transhitment 41
iii
5. 3.8. Lokasi Industri Kasus Satu Pasar dan Banyak Bahan Baku 42
3.9. Lokasi Industri dengan Pasar Banyak dan Bahan Baku Banyak 44
3.10. Peranan Biaya Produksi Error! Bookmark not defined.
EKONOMI PERKOTAAN 48
4.1. Pendahuluan 48
4.2. Sifat-sifat Wilayah Perkotaan 49
4.3. Proses Tumbuh dan Berkembangnya Sebuah Kota 49
4.4. Perkembangan Ekonomi Perkotaan 50
4.5. Aktivitas Masyarakat Kota Yang Multi Aspek 51
4.6. Berkembangnya Sebuah Kota 52
4.7. Masalah Kota di Indonesia 53
4.8. Perencanaan Penduduk Kota 54
4.9. Pertumbuhan dan Perencanaan Penduduk Kota di Indonesia 55
4.10. Aglomerasi 57
4.11. Program Anti Konsentrasi dan Pengendalian Pertumbuhan Kota 57
4.12. Beberapa Model Observasi Lokasi Pemukiman Kota 58
4.12.1. Model Hawley 58
4.12.2. Model William Alonso 59
4.12.3. Model Becman 59
4.12.4. Model Wendt 60
4.12.5. Model Harbert Stevens (model Linear Programming) 60
4.12.6. Model Lowrey 61
4.12.7. Model Artle 61
4.13. Keterkaitan Wilayah 62
4.14. Pembangunan Wilayah di Negara-Negara ASEAN 64
STRUKTUR TATA RUANG KOTA 66
5.1. Pendahuluan 66
5.2. Minimalisasi Biaya Ruang 66
5.3 Lingkungan Kota 68
5.4 Perilaku Konsumen Secara Spatial dan Lokasi Perdagangan Eceran 69
5.3. Model Banneal Ide 71
5.4. Perkiraan Dampak Transportasi Pada Penggunaan Lahan 72
5.4.1. Introduction and Overview (Oleh Paul F. Wendt) 72
5.4.2. Teori Pertumbuhan Kota 73
5.4.3. Model-model Land Use 74
5.5. Beberapa Observasi Pada Model-Model Struktur Tata Ruang Kota 76
5.6. Model Operasional 77
5.7. Keseimbangan Lokal Sebuah Perushaan Yang Beroperasi Di Kota N 80
5.8. Pemanfaatan Lahan 82
5.8.1.Persaingan dalam Pemanfaatan Lahan 83
5.8.2. Permintaan terhadap Lahan 83
5.8.3. Teori Lokasi dan Pertumbuhan Kota 85
KERANGKA WILAYAH 86
6.1. Wilayah Sebagai Sebuah Konsep 86
6.1.1 Wilayah Homogen 86
6.1.2 Wilayah Modal (Wilayah Polarisasi) 87
6.1.3 Wilayah Perencanaan (Planning Region) 88
6.2. Akuntansi Wilayah (Regional Account) 90
iv
6. 6.2.1. Pendahuluan 90
6.2.2 Perhitungan Hasil Produksi dan Pendapatan Regional 92
6.2.3 Perhitungan Input-Output Wilayah 95
ANALISIS PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI WILAYAH 101
7.1. Pendahuluan 101
7.2. Analisis Indeks Konsentrasi 101
7.2.1. Angka Pengganda Tenaga Kerja 102
7.2.2. Analisis Location Quotient (LQ) 103
7.2.3. Analisis Concentration Indeks (CI) 104
7.2.4. Spesialisasi Indeks (SI) 105
7.2.5. Location Indeks (LI) 106
7.3 Analisis Shift and Share 106
TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL 109
8.1 Pendahuluan 109
8.2 Perpektif Neo Klasik 112
8.2.1 Hubungan Model Satu-Sektor dengan Model Dua-Sektor 116
8.2.2. Akuntansi Pertumbuhan Wilayah dan Analisis Fungsi Produksi 119
8.2.3. Teknologi dan Pertumbuhan Endogenous Wilayah 121
8.3 Pandangan Keynesian Tentang Pertumbuhan Wilayah 125
8.3.1 Pendekatan Neraca Pembayaran Untuk Pertumbuhan 126
8.3.2 Hukum Verdoorn dan Pertumbuhan Kumulatif 130
8.4 Fungsi Cobb-Douglas dan Akuntansi Pertumbuhan Ekonomi Wilayah 134
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN WILAYAH 139
9.1. Konsep Wilayah 139
9.2. Kebijakan Pembangunan Wilayah (Daerah) 140
9.2.1 Perdebatan Kebijakan Perindustrian Nasional - Tindakan Khusus. 141
9.2.2 Kebijakan Moneter dan Pajak. 141
9.2.3 Kebijakan Sosial dan Kesejahteraan 142
9.2.4 Pekerjaan dan Kebijakan Pelatihan. 143
9.2.5 Kebijakan Perdagangan 143
9.2.6 Kebijakan Pembangunan Regional/Lokal 144
9.2.7 Kebijakan Nasional dan Pembangunan Ekonomi Regional 145
9.2.8 Tantangan-tantangan Baru dan Kesempatan untuk Lokal 146
9.2.9 Jenis-jenis Kumunitas dan Kesesempatan2 Pembangunan Ekonomi Lokal. 146
ANALISIS KEBIJAKAN EKONOMI 148
PERKOTAAN DAN REGIONAL 148
10.1 Pendahuluan 148
10.2 Kebijakan Perkotaan 150
10.2.1 Kebijakan-kebijakan Zoning Perkotaan 150
10.2.2 Kebijakan Regenerasi Kota 154
10.2.3 Pengelompokan (Centrification) 159
10.2.4 Jalur Hijau (Greenbelts) 160
10.3 Kebijakan Regional 162
10.3.2 Efek-efek Kesejahteraan dari Kebijakan Regional 166
10.3.3 Efek-efek Ekonomi Makro dari Kebijakan Regional. 168
10.4 Kesimpulan 172
KEUANGAN DAERAH DAN PERENCANAAN 174
PEMBANGUNAN DAERAH DI INDONESIA 174
v
7. 11.1. Pendahuluan 174
11.2. Keuangan Daerah 174
11.2.1 Pendapatan Daerah 175
11.2.2 DAU dan DAK 176
11.2.3 Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah 176
11.3 Belanja Daerah 177
11.3.1 Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah 177
11.3.2 Pinjaman Daerah 177
11.4 Surplus dan Defisit APBD 178
11.5 Pemberian Insentif dan Kemudahan Iinvestasi 178
11.6 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) 179
11.7 Pengelolaan Barang Daerah 179
11.8 APBD Dasar Pengelolaan Keuangan Daerah 179
11.8.1 Perubahan APBD 179
11.8.2 Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 180
11.8.3 Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daearah
Tentang APBD, Perubahan APBD dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD.180
11.9 Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah 181
11.10. Tidak Seluruh Pembiayaan Infrastruktur dan Pelayanan Harus Dibiayai
Pemerintah Daerah 182
10.11 Sumber Pembiayaan Sektor Swasta 183
DAFTAR PUSTAKA 186
vi
8. DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1: Skema Analisis Ekonomi 1
Gambar 1.2 : Mobilitas Faktor-Faktor Ekonomi Dua Wilayah 3
Gambar 1.3 Kedudukan Ekonomi Regional di dalam Teori Ekonomi 8
Gambar 2.1 Keseimbangan Harga Lokal 10
Gambar 2.2: Interaksi Ekonomi Kasus Dua Wilayah (R1 dan R2) 10
Gambar 2.3 Fungsi Biaya Transpor Non Linier Tanpa Biaya 11
Gambar 2.4 : Diagram Keseimbangan Harga Spasial Kasus Dua Wilayah 12
Gambar 2.5 Monopoli Spasial Kasus Dua Pasar 17
Gambar 2.6 Pengendalian Pasar Spasial Oleh Monopolis 18
Gambar 2.7: Pengaturan Pasar Dengan Cara Membagi Pasar Per Perusahaan 18
Gambar 2.8: Dua Penjual di Dua Wilayah Yang Bertetangga 19
Gambar 2.9 Batas Wilayah Jika Px = Py dan Txz = Tyz 21
Gambar 2.10: Batas Wilayah (Pasar) Jika Px < Py dan Txz = Tyz 22
Gambar 2.11: Batas Wilayah (Pasar) Jika Px = Py dan Txz < Pyz 23
Gambar 2.12: Kasus Demanders Tersebar dan Suppliers Terkonsentrasi 24
Gambar 2.13 Monopoli Spasial 25
Gambar 2.14 Kasus Supplier Tersebar dan Demander Terkonsentrasi 26
Gambar 2.15 Perbaikan Transportasi Menguntungkan Produsen Jauh 26
Gambar 2.16 Demanders dan Supplier Tersebar Kasus Pasar Transito 27
Gambar 2.17 Persaingan Pasar Lokal dan Pasar Transito 28
Gambar 2.18 Demand dan Supply Pasar di Pasar Lokal dan Pasar Transito 28
Gambar 2.19: Luas Are Pasar Masing-masing Perusahaan Berbentuk Segi Enam (
Losch ) 29
Gambar 2.20 Persaingan Duopoli Secara Spasial 31
Gambar 3.1: Sebaran Pelanggan Sepanjang Sebuah Garis 36
Gambar 3.2: Proses Persaingan Sepanjang Garis Lurus 37
Gambar 3.3 Biaya Transpor Industri Dengan Satu Bahan Baku dan Satu Pasar 38
Gambar 3.4 Struktur Biaya Transpor Dengan dan Tanpa Biaya Terminal 39
Gambar 3.5 Struktur Biaya Transpor Berdasarkan Jarak Angkut dan Pilihan Moda 40
Gambar 3.6 Lokasi Industri Titik-titik Ujung 40
Gambar 3.7: Keunggulan Lokasi Transhipment 41
Gambar 3.8 Peta Isotims dan Isodapanes Penentuan Lokasi Optimal Error! Bookmark
not defined.
Gambar 3.9: Peta Isotims Biaya Distribusi yang Dikombinasikan Error! Bookmark not
defined.
Gambar 3.10: Isotims biaya perakitan yang dikombinasikan 45
Gambar 3.11 Peta Isodapanes (Penjumlahan Isotims Biaya Distribusi dan Perakitan) 45
Gambar 4.1 Prose Aglomerasi Menurut John Friedman 57
Gamabar 5.1 Lokasi Optimal Perusahaan dalam Tata Ruang Kota 82
Gambar 5.2 Struktur Biaya-biaya TC, AC dan MC 83
Gambar 5.3 Hubungan antara Penerimaan dan Biaya dan Laba 84
Gambar 5.4 Kemiringan Kurva Sewa Lahan 84
Gambar 5.5 Kurva Sewa Bergelombang Pengaruh Pusat Yang Terstruktur 84
Gambar 5.6 Kurva Sewa Gelombang Nail Pada Lokasi-lokasi Pusat kegiatan 85
Gambar 8.1: Edgeworth-Bowley Box Antar Wilayah Model Satu-Sektor 113
vii
9. Gambar 8-2: Batas Kemungkinan Produksi Antar Wilayah Untuk Model Satu Sektor
113
Gambar 8.3: Edgeworth-Bowley Box Antar Wilayah Untuk Model Dua Sektor 114
Gambar 8.4: Penyesuaian di Pasar Output pada Perluasan Wilayah 115
Gambar 8.5: Penyesuaian Pasar Output Wilayah yang Berkontraksi 115
Gambar 8.6: PPFC Antar Wilayah Dua Sektor 116
Gambar 8.7: Kotak Edgeworth-Bowley Antar Wilayah dari Dua-Sektor ke Satu-Sektor
117
Gambar 8.8: PPF dari Model Dua-Sektor Disesuaikan kepada Model Satu-Sektor 118
Gambar 8.9: Penyebaran Teknologi Sepanjang Waktu 121
Gambar 8.10: Tingkat Investasi Wilayah 128
Gambar 8.11 Ekpor Wilayah dan Investasi 129
Gambar 8.12: Pertumbuhan Mantap (Steady-State) Wilayah 131
Gambar 8.13: Pertumbuhan Kumulatif Wilayah 132
Gambar 8.14 Pertumbuhan Regional Kumulatif 134
Gambar 10.1 Tingkat Kemiringan Sewa Lahan Industri Kota Berdasarkan Kondisi Pasar
Lahan Persaingan 152
Gambar 10.2: Kemiringan Kurva Sewa Lahan Industri Perkotaan Berdasarkan Sebuah
Kebijakan Zoning. 153
Gambar 10.3: Lahan tempat Tinggal (Lokasi Perumahan) Kota 156
Gambar 10.4 Tata-guna Lahan Perumahan Sebagai Akibat Skema Peremajaan Pusat
Kota. 157
Gambar 10.5: Efek Kesejahteraan dari Skema Peremajaan Kota. 158
Gambar 10.6: Penggabungan antar kota (Inter Urban Merging) 160
Gambar 10.7 Efek-efek Harga Lahan dari sebuah Kebijakan Jalur Hijau. 161
Gambar 10.8: Pengaruh-pengaruh Lingkungan Lokal dari Kebijakan Jalur Hijau
(Greenbelt Policy) 163
Gambar 10.9: Efek-efek Efisiensi Kesejahteraan dari Infrastruktur Regional 167
Gambar 10.10 Efek-efek Ekonomi Makro Kebijakan Regional 169
viii
10. DAFTAR TABEL
Tabel 1.1: Contoh Matrik Hubungan Proyek-Proyek Sektoral dan Daerah ..................... 6
Tabel 3.1: Perhitungan Lokasi Median .......................................................................... 36
Tabel 3.2: Standar Biaya Asembly dan Distribusi Industri Peti Baja ............................ 42
Tabel 3.3: Standarisasi Biaya Bahan Baku ...................... Error! Bookmark not defined.
Tabel 6.1 Tabel Perhitungan Produksi dan Pendapatan Wilayah Richard Stone ........... 93
Tabel 6.2: Perhitungan Input-Output Inter-Regional (dua wilayah, tiga
komoditas/sektor) ................................................................................................... 96
Tabel 8.1: Kontribusi Unsur-unsur Pertumbuhan PDB kill AS, 1948 –1997 .............. 138
Tabel 9.1. Skema Pengelompokan Kebijakan .............................................................. 145
Tabel 9.2. Ikhtiar Pembangunan oleh Jenis Komuniti.................................................. 146
ix
11. BAB I
PENDAHULUAN
Perekonomian nasional suatu negara senantiasa memerlukan analisis. Analisis
tersebut diperlukan untuk dapat melihat kondisi ekonomi maupun perkembangannya
dari waktu ke waktu. Pengetahuan tentang kondisi ekonomi dan perkembangannya
tersebut diperlukan untuk mendukung suatu kebijakan, atau untuk melihat hasil-hasil
dari suatu kebijakan, atau untuk memperbaiki suatu kebijakan (evaluasi bagi suatu
kebijakan). Analisis juga diperlukan untuk tujuan-tujuan pendidikan, misalnya untuk
membuktikan hipotesis-hipotesis.
Suatu analisis dilakukan dengan memanfatkan model-model (teori-teori), yang
lazim digunakan, yang telah terbukti akurat didalam membuat prediksi-prediksi. Ilmu
ekonomi memang penuh dengan model-model dan contoh-contoh ilustratif. Dengan
didukung oleh data empiris dapat dibuat kesimpulan-kesimpulan menyangkut suatu
masalah, dan dapat prediksi-prediksinya.
Suatu perekonomian secara umum dapat dianalisis pada dua aspek, yaitu analisis
aspek sektoral dan analisis aspek regonal. Kajian tersebut dapat dilakukan untuk tingkat
ekonomi nasional, maupun untuk tingkat ekonomi daerah (lokal). Untuk tingkat
ekonomi nasional aspek regional yang akan dilihat adalah ekonomi pada tingkat-tingkat
subnasional. Model analisisnya bisa sektoral lagi atau bukan sektoral. Sedangkan untuk
ekonomi regional/daerah maka ekonomi daerah yang akan dilihat adalah ekonomi
subregional, dan pendekatan analisisnya pun bisa aspek sektoral atau aspek regional.
Semua itu sangat tergantung kepada tujuan/kepentingan dari suatu kajian. Model-model
analisis regional yang lazim dilakukan antara lain: model analisis sektoral untuk tingkat
regional, atau subreginal; model analisis Input Output Regional (I-O Analysis); model
analisis arus barang, jasa dan manusia (Flows Analysis), dan model analisis infrastruktur
wilayah (Regional Infastructure Analiysis).
Pilihan model analisis akan tergantung kepada tujuan studi. Secara skematis
diperlihatkan pada gambar 1.1. Demikian pula model-model analisis aspek regional
meliputi berbagai pendekatan, seperti pendekatan sektoral sendiri, pendekatan input-
output, pendekatan arus barang, jasa, manusia dan kendaraan, dan sebagainya.
ANALISIS EKONOMI NASIOAL
ANALISIS ASPEK SEKTORAL ANALISIS ASPEK REGIONAL
ANALISIS ASPEK SEKTORAL ANALISIS ASPEK REGIONAL
Gambar 1.1: Skema Analisis Ekonomi
1
12. 1.1. Aspek Sektoral
Analisis aspek sektoral, baik perekonomian tingkat nasional, tingkat regional
(sub nasional), maupun tingkat subregional perekonomian dilihat berdasarkan sektor-
sektor kegiatan ekonomi atau lapangan usaha penduduk. Selama periode Raelita I s/d
Relita V Indonesia membagi perekonomiannya ke dalam 11 sektor, yaitu : (1) Sektor
Pertanian, (2) Sektor Pertambangan, (3) Sektor Perindustrian, (4) Sektor Listrik, Gas
dan Air Minum, (5) Sektor Bangunan atau Konstruksi, (6) Sektor Perdagangan, Hotel
dan Restoran, (7) Sektor Perangkutan dan Komunikasi, (8) Sektor Bank dan Lembaga
Meuangan Lainnya, (9) Sektor Sewa Rumah, (10) Sektor Pemerintahan dan Pertahanan
Keamanan, dan (11) Sektor Jasa. Namun, sejak pelita VI jumlah sektor diciutkan
menjadi sembilan sektor, dimana sektor 8 dan 9 disatukan menjadi sektor 8 yang diberi
nama sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, dan sektor 10 dan 11 disatukan
menjadi sektor 9 yang diberi nama sektor Jasa-jasa. Sehingga nama-nama kesembilan
sektor tersebut menjadi: (1) Sektor Pertanian, (2) Sektor Pertambangan, (3) Sektor
Industri (baca Sektor Industri Pengolahan), (4) Sektor Listrik, Gas dan Air Minum, (5)
Sektor Bangunan dan Konstruksi, (6) Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran, (7)
Sektor Angkutan dan Komunikasi, (8) Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan, dan (9) Sektor Jasa-jasa. Mungkin ada sektor-sektor yang dipecah lagi
menjadi subsektor-subsektor. Misalnya, Sektor Pertanian dipecah meliputi subsektor-
subsektor: Tanaman Bahan Makanan, Tanaman Perdagangan Rakyat, Tanaman
Perkebunan, Peternakan dan Hasil-hasilnya, Hasil Hutan, dan Hasil Perikanan .
Jika dilihat berdasarkan judul subsektor, maka seluruhnya menjadi 26 subsektor.
Selanjutnya jika dilihat dari sektor komoditi maka jumlahnya ada 75 sektor komoditi.
Pembagian ini penting diketahui, karena jika kita ingin membuat analisis Input-Output
(I-O), kita akan mengenal analisis-analisis I-O 9 sektor, 26 sektor, dan 75 sektor. Dasar
pemilahannya adalah bersumber dari pembahagian ini.
Berdasarkan sektor-sektor dan subsektor-subsektor tersebut suatu perekonomian,
baik pada tingkat nasional, provinsi maupun pada tingkat daerah tingkat II
(Kabupaten/kota) dapat dilihat kondisinya, dapat dilihat perkembangannya, dapat
direncanakan pertumbuhannya, dapat pula direncanakan tingkat keseimbangan
pertumbuhan antar sektor atau subsektornya, dan dapat direncanakan perbaikan dalam
aspek distribusi (Equity) diantara sektor-sektor, dan/atau golongan-golongan masyarakat
berdasarkan komposisi partisipasinya.
1.2. Aspek Regional
Dalam aspek regional ini perekonomian nasional dilihat berdasarkan wilayah-
wilayah perekonomian (Regions of Economy). Namun, wilayah-wilayah perekonomian
tersebut mungkin sama, dan mungkin juga tidak sama dengan wilayah-wilayah
administrasi pemerintah daerah, mungkin merupakan kesatuan dua wilayah administrasi
pemerintah daerah atau lebih, atau mungkin juga sebuah wilayah administrasi
pemerintahan daerah dipecah masuk ke dalam wilayah ekonomi yang berbeda. Hal ini
tidak menjadi masalah, karena konsep perwilahan (regionalisasi) sifatnya abstrak.
Regionalisasi juga bisa berbeda-beda pendekatannya, yang tergantung kepada
system negara. Misalnya, regionalisasi untuk negara-negara federasi seperti AS, India,
Malaysia, daerah berarti negara bagian. Sedangkan untuk negara-negara yang menganut
sistem kesatuan, yang terbagi kepada provinsi-provinsi hingga distrik-distrik (seperti:
2
13. Inggeris, Cina, dan Indonesia), maka regionalisiasi bisa menjadi dua pendekatan, yaitu
berdasarkan administrasi pemerintahan di daerah, atau tidak berdasarkan administrasi
pemerintahan di daerah, antara lain dengan menggunakan pendekatan campuran dari
sistem wilayah homogen dan wilayah nodal sebagai dasar perwilayahan perencanaan.
Menurut Richardson (1969) ada dua pola perwilayahan (regionalisasi), yaitu:
(1) Wilayah sebagai lokasi-lokasi kegiatan ekonomi. Berdasarkan pola ini, wilayah
merupakan lokasi-lokasi sumber daya ekonomi dan tempat penduduk berdomisili.
Berdasarkan pola ini ekonomi wilayah dikembangkan sesuai dengan potensi sumber
daya yang dimiliki wilayah masing-masing, dengan memanfaatkan kota-kota secara
berjenjang sebagai pusat-pusat pengembangan wilayah-wilayah sekitarnya (Hinterland).
Pola ini diajarkan oleh teori pusat-pusat pertumbuhan (Growth Pole Theory).
(2) Wilayah sebagai unit-unit ekonomi nasional, penyusun-penyusun ekonomi nasional
yang otonom. Pola ini diajarkan oleh teori agropolitan, yang merupakan pengembangan
teori ekonomi Marxis (Neo Marxis Theory).
1.3 Perencanaan Pembangunan Ekonomi Regional Relatif Lebih Sulit
Perencanaan pembangunan ekonomi regional jauh lebih sulit dibandingkan
dengan perencanaan pembangunan ekonomi nasional. Hal itu disebabkan oleh batas-
batas daerah yang lebih terbuka dibandingkan batas-batas nasional. Karena batas-batas
daerah yang relatif terbuka tersebut, maka aliran factor-faktor produksi antar daerah
lebih leluasa dibandingkan dengan antar negara. Daerah memiliki dasar hukum yang
lemah dalam melakukan pengawasan terhadap arus keluar masuknya factor-faktor
produksi atau hasil-hasil produksi. Tenaga kerja akan mengalir dari wilayah yang
memiliki tingkat upah yang lebih rendah ke wilayah yang memiliki tingkat upah yang
lebih tinggi. Begitu pula modal, akan mengalir dari daerah yang memiliki tingkat bunga
rendah ke wilayah yang memiliki tingkat bunga yang tinggi.
RA RB
N
wA wB
K rB
rA
Gambar 1.2 : Mobilitas Faktor-Faktor Ekonomi Dua Wilayah
Keterangan: RA = wilayah A; RB = wilayah B; wA = tingkat upah di wilayah A;
wB = tingkat upah di wilayah B; rA = tingkat bunga modal di wilayah A; rB = tingkat
bunga modal di wilayah B. Jika wB > wA maka tenaga kerja (N) akan mengalir
(bermigrasi) dari wilayah A ke wilayah B. Begitu pula jika rB > rA maka modal (K) akan
mengalir dari wilayah A ke wilayah B. Upah dan bunga sebagai balas jasa input
3
14. produksi tergantung pada penerimaan marginal (MRL; MRK) dari input tersebut
masing-masing di wilayah A dan di wilayah B. Dalam kondisi yang seperti itu wilayah
A akan sulit membuat perencanaan ekonominya.
1.4 Regionalisasi Pembangunan
Regionalisasi (Perwilayahan) pembangunan merupakan bahagian dari proses
perencanaan pembangunan, sebagai usaha membagi wilayah nasianal menjadi wilayah-
wilayah regional (subwilayah-subwilayah nasional), atau wilayah regional menjadi
wilayah-wilayah subregional. Hasil penataan perwilayahan tersebut dinamakan wilayah
perencanaan. Prinsip perwilayahan tidak sekedar membagi habis wilayah nasional
menjadi sub-subwilayah nasional dan selanjutnya menjadi sub-subwilayah regional.
Yang menjadi urgensinya adalah, pertama bagaimana ekonomi sub-subwilayah regional
terintegrasi dengan baik ke dalam ekonomi regional, dan ekonomi-ekonomi regional
terintegrasi dengan baik ke dalam ekonomi nasional, dan wilayah perencanaan itu
efektif (unsur-unsur subjektifitas benar-benar diletakkan di atas suatu realitas).
Perwilayahan pembangunan di Indonesia, berdasarkan pengalaman
pembangunan selama periode Orde Baru (Repelita) misalnya, menghadapi masalah-
masalah kesulitan tertentu. Masalah-masalah kesulitan tersebut bersumber dari warisan
kolonial. Sejarah penjajahan Belanda yang panjang, yang telah memilih Pulau Jawa
sebagai pusat kekuasaannya dalam menguasai pulau-pulau nusantara. Sebagai wilayah
pusat kekuasaannya mereka telah membangun berbagai infrastruktur yang lebih baik
dibandingkan dengan apa yang mereka bangun di luar Pulau Jawa. Kondisi tersebut
mendorong perkembangan ekonomi dan sosial yang relatif lebih baik di Pulau Jawa,
yang diikuti oleh arus manusia dan modal ke Pulau Jawa. Pulau Jawa disamping lebih
ideal sebagai lokasi kegiatan investasi juga karena jumlah penduduknya banyak
sekaligus merupakan pasar yang lebih potensial. Dampak lebih lanjut dari kondisi
tersebut, maka investasi ke luar Jawa lebih pada kegiatan-kegiatan ekonomi yang
berorientasi pada sumber daya alam, dan itupun akan terbatas pada sumber daya alam
yang sulit dipindahkan secara efisien. Ditambah lagi dengan dampak dari kemajuan
sektor transportasi, maka kegiatan ekonomi yang lokasinya dipengaruhi oleh lokasi
bahan baku semakin terbatas.
Menurut Prantilla, dalam bukunya ―National Development and Regional Policy‖
(1981), pada tahap-tahap awal pelaksanaan Repelita di Indonesia, kegiatan
pembangunan cenderung terkonsentrasi ke Jakarta dan sekitarnya. Keadaan ini tidak
dikehendaki, dan tidak menguntungkan bagi pembangunan Indonesia. Keadaan tersebut
terjadi oleh karena investasi swasta yang dicoba dorong melalui pembangunan oleh
pemerintah cenderung memilih lokasi Pulau Jawa, utamanya ke Jakarta dan sekitarnya.
Oleh karena itu pada awal Repelita II dimunculkan konsep regionalisasi, dengan pola
Growth Pole. Memang, pola pembangunan regional di Indonesia tidak murni
menggunakan Model Growth Pole. Pada masa pemerintahan orde baru juga
melaksanakan pembangunan berdasarkan wilayah-wilayah administratif pemerintah
daerah, walaupun dengan mengkombinasikan berbagai model pembangunan wilayah
lainnya seperti: model pembangunan daerah aliran sungai (DAS), model pembangunan
daerah tertinggal, dan model-model lainnya. Artinya, disamping model pusat-pusat
pengembangan juga dikombinasikan dengan model agropolitan, yang diwakili oleh
inpres-inpres (seperti: inpres Tingkat I, inpres Tingkat II, dan inpres desa). Itu semua
4
15. diwujudkan baik dalam bentuk proyek-proyek sektoral di masing-masing daerah
maupun dalam bentuk program-program Inpres (Precident Decree Programs).
1.5 Tujuan Pembangunan Regional di Indonesia
Pembangunan regional di Indonesia khususnya selama pelaksanaan Repelita
lebih dimaksudkan sebagai pembangunan daerah (Local Dedvelopment). Tujuannya,
seperti yang dirumuskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yaitu untuk:
(1) memelihara keseimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah. (2)
memelihara keseimbangan ekonomi antar wilayah dan mencegah kesenjangan antar
daerah. (3) meningkatkan prakarsa daerah dan peran serta masyarakat dalam
pembangunan. (4) memelihara keserasian pembangunan antara pusat-pusat kegiatan
pembangunan di wilayah-wilayah perkotaan dan di wilayah-wilayah sekitarnya.
Menurut Prantilla, konsep perwilayahan di Indonesia pada masa Repelita yang
semula terdiri dari empat wilayah pembangunan utama (WPU) pada Repelita II (Medan
dan sekitarnya, Jakarta dan sekitarnya, Surabaya dan sekitarnya dan Ujung Pandang dan
sekitarnya), belumlah dibangun di atas dasar-dasar yang secara teoritis kuat (Spesific).
Tetapi dengan adanya konsep perwilayahan pembangunan tersebut, sedikit banyak
telah mendorong penyebaran kegiatan pembangunan ke seluruh wilayah nasional
Indonesia. Dalam Repelita III konsep perwilayah tersebut dirubah lagi menjadi 5 WPU,
dimana WPU Ujung Pandang dan sekitarnya dipecah 2, yaitu WPU Ujung Pandang dan
sekitarnya dan WPU Ambon dan sekitarnya (yang Hinterland-nya meliputi wilayah
provinsi Maluku dan provinsi Irian Jaya). Masing-masing WPU tersebut dipecah lagi
menjadi Wilayah-wilayah Pembangunan (WP-WP), dan selanjutnya WP dipecah lagi
atas Subwilayah-subwilayah Pekbangunan (SWP-SWP). Sampai dengan Repelita VI
konsep perwilayahan tersebut masih terjadi perubahan-perubahan pada tingkat provinsi,
seperti halnya di Jawa Barat. Perlu pula diketahui, bahwa selama konsep tersebut
dirancang Badan Perencanaan Pembangunan, baik pada tingkat nasional, propinsi dan
daerah tingkat II masih terus terjadi perubahan-perubahan dan mencari konsep
perwilayahan yang lebih efektif. Bahkan untuk berbagai instansi, seperti Perusahaan
Minyak Nasional (Pertamina), dan Perusahaan Negara Pos-Giro masing-masing
memiliki konsep perwilayahannya sendiri.
1.6 Masalah-masalah Regionalisasi di Indonesia
Ada empat permasalahan Regionalisasi (perwilayahan) di Indonesia, yaitu:
(1) Secara teoritis wilayah harus dapat memperlihatkan spesifikasinya masing-masing,
seperti adanya variasi dalam hal sumber daya ekonomi yang potensial, sehingga dapat
diambil kebijakan dalam pengembangan wilayah masing-masing yang lebih spesifik.
Tetapi pada umumnya wilayah di Indonesia, memiliki kesamaan di dalam potensi dan
permasalahan.
(2) Wilayah nasional yang relatif luas dan berbentuk kepulauan. Kalau hanya dipecah
menjadi 5 WPU dan kurang lebih 80 WP, maka WPU-WPU tersebut terlalu luas.
Akibatnya integrasi kesatuan-kesatuan WPU relatif lemah, lebih-lebih mengingat sarana
transportasi yang masih terbatas, ditambah lagi dengan kondisi kepulauan itu sendiri.
Sebagai perbandingan, Philipina yang jauh lebih kecil dari Indonesia membagi wilayah
nasionalnya waktu itu atas 12 WPU dan aspek kelembagaan relatif lebih kuat.
5
16. (3) Power daerah pada periode Repelita berada pada posisi yang sangat lemah, baik itu
power politik, power financial, maupun power intelektual. Hal itu karena sistim
pemerintahan sangat sentralistis.
(4) Kontradiksi perwilayahan model pusat-pusat pertumbuhan dengan latar belakang
tumbuhnya daerah di Indonesia, kalau WPU tersebut meliputi wilayah propinsi apalagi
kalau sempat memisahkan bagian-bagian propinsi kedalam WPU-WPU yang berbeda.
Daerah-daerah di Indonesia berasal dari berbagai kerajaan yang berdiri sendiri-sendiri
sebelum penjajah datang. Setelah penjajah Belanda datang mereka menjajah kerajaan-
kerajaan tersebut, secara yuridis administratif dalam tingkatan atau status yang berbeda-
beda. Ada yang langsung dan ada yang tidak langsung. Ada yang sempat dijajah atau
diduduki selama 350 tahun dan ada yang kurang dari 50 tahun, itulah Hindia Belanda.
Setelah Indonesia merdeka prinsip otonomi daerah dijamin oleh Undang-undang Dasar.
Namun dalam implementasi kondisi otonomi daerah terus berubah-ubah.
1.7. Keserasian Pembangunan antar Daerah
Keserasian pembangunan antar daerah pada masa Repelita dikembangkan
Pemerintah Pusat (melalui perencanaan terpadu oleh Bappenas) berdasarkan
pertimbangan sektoral, dimana proyek-proyek sektoral didistribusikan secara seimbang
diantara berbagai daerah berdasarkan matrik tertentu (Bintoro Tjokroamidjojo, 1983).
Proyek-proyek dirangking, diberi bobot, dipilih sesuai dengan kebutuhan nasional
ataupun daerah. Proyek-proyek investasi diusahakan untuk dapat memberikan
pemerataan, dapat memberikan pengaruh penyebaran (Spreading Effect) bagi
perekonomian daerah. Setiap proyek investasi memperhitungkan seberapa besar efek
multiplier bagi daerah, yang memberi dampak kepada perluasan kesempatan kerja, baik
langsung maupun tidak langsung, memberi dampak bagi peningkatan produktivitas serta
nilai tambah bagi perekonomian daerah.
Tabel 1.1: Contoh Matrik Hubungan Proyek-Proyek Sektoral dan Daerah
Yang Dibuat Bappenas pada Masa Repelita
PROYEK p1 p2 p3 pn ∑
DAEARAH
d1 d1p1 d1p2 d1p3 d1pn D1
d2 d2p1 d2p2 d2p3 d2pn D2
d3 d3p1 d3p2 d3p3 d3pn D3
d28 D28p1 d28p2 d28p3 d28pn D28
∑ P1 P2 P3 Pn I
Sumber : Bintoro Tjokroamidjojo, Perencanaan Daerah.
Keterangan : p1 p2 p3……………………….pn = proyek-proyek pembangunan; d1 d2
d3……………………….d27 = propinsi-propinsi yang ada di wilayah nasional (=27 propinsi);
6
17. d28 = nasional dianggap satu daerah lagi; p1 p2 p3, ……,pn= memiliki hubungan urut-
urutan (rangking) dan hubungan-hubungan fungsional; p1, p2, p3, p4, .., pn = ditentukan
I = Jumlah anggaran = jumlah nilai proyek: D1 , D2 , D3 , D4 ,……, D28 ditentukan.
Dengan matrik tersebut diciptakan perimbangan antar daerah. Begitu pula pada level
propinsi untuk antar kabupaten dari kabupaten untuk antar kecamatan.
Sebenarnya pengertian pembangunan atau ekonomi regional tidak hanya
mempermasalahkan bagaimana membagi habis wilayah geografi nasional atas wilayah-
wilayah pembangunan ataupun wilayah-wilayah administrasi pemerintahan daerah dan
kemudian dikembangkan sesuai dengan potensi dan prospek spesialisasinya masing-
masing, tetapi juga bagaimana mengembangkan wilayah-wilayah terbelakang
(Depresed Area). Contohnya: Wilayah Appalachia di A.S, Wilayah Scotlandia di
Inggris, Wilayah Perancis Selatan di Perancis, dan Wilayah Italia Selatan di Italia.
Untuk mengembangkan perekonomian daerah khususnya, dan seluruh aspek
kehidupan masyarakat di daerah umumnya, pembangunan prasarana/sarana transportasi
memegang peranan yang amat penting. Transportasi dapat meningkatkan derajat
integrasi wilayah. Sektor transportasi dan sektor Komunikasi sangat Membantu dalam
meningkatkan integrasi wilayah. Dampaknya dapat meningkatkan perdagangan antar
daerah, spesialisasi produksi antar daerah. Meningkatkan efisiensi dalam berproduksi,
meningkatkan nilai tambah, meningkatkan pemanfaatan sumberdaya wilayah, dan
meningkatkan efisiensi penggunaannya. Selanjutnya produksi dan konsumsi regional
menjadi meningkat.
Bagi Indonesia pembangunan sektor transportasi penting sekali, mengingat
luasnya wilayah negara, besarnya jumlah penduduk, dan wilayah yang berbentuk
kepulauan. Proses pembangunan (industrialisasi) harus ditunjang oleh aktivitas dan
jaringan perdagangan yang lancar dan luas. Kegiatan perdagangan yang lancar dan luas
tersebut hanya mungkin terjadi jika sarana dan prasarana transportasi, dan kebijakannya
mendukung. Peningkatan standar hidup penduduk hanya mungkin ditingkatkan melalui
peningkatan aktivitas ekonomi/investasi. Usaha untuk meningkatkan pendapatan rata-
rata penduduk perlu diikuti dengan industrialisasi dan perdagangan yang luas, kalau
tidak maka negara besar tetapi ekonomi kecil. Kondisi tersebut kita alami sampai
sekarang, misalanya diantara negara-negara ASEAN, dalam ukuran GNP absolut
Indonesia merupakan yang terbesar, tetapi dalam ukuran perkapita adalah yang terkecil.
Artinya, betul bahwa GNP Indonesia merupakan yang terbesar diantara Negara-negara
ASEAN tatapi produktivitas pertenaga kerja, pendapatan perkapita, konsumsi rata-rata
masyarakat, sarana/prasarana pelayanan umum, konsumsi air bersih perkapita,
konsumsi tenaga listrik perkapita, adalah yang terendah.
1.8. Penggunaan Teori Ekonomi Mikro dan Makro
Dalam Ekonomi Regional digunakan kedua aspek teori, baik teori ekonomi
makro maupun teori ekonomi mikro. Pada tahap perkembangan pembangunan regional
di Indonesia pada periode Reformasi sekarang ini, juga sudah menyentuh masalah
pemerataan pembangunan antar daerah dengan mulai mencoba memberikan otonomi
yang seluas-luasnya kepada daerah-daerah tingkat II. Bahkan sejak tahun anggaran
1995/1996) daerah sudah dapat mengambil pinjaman (kredit) luar negeri untuk
membiayai pembangunannya (seperti yang dilakukan oleh provinsi Jawa Tengah dalam
membiayai pembangunan jalan tol kota Semarang).
7
18. Ekonomi Makro - Pendapatan daerah
(PDRB)
- PDRB Perkapita
- Investasi Daerah
- Efek Multiplier di
daerah
- Konsumsi daerah
Ekonomi Mikro Ekonomi Regional - Tabungan daerah
- Ekspor daerah
- Teori Harga Spasial - Pajak daerah
- Teori Lokasi industri
- Dan sebagainya - dan sebagainya
Gambar 1.3 Kedudukan Ekonomi Regional di dalam Teori Ekonomi
8
19. BAB II
TEORI LOKASI PASAR (HARGA) SPASIAL
2.1 Teori Harga Spasial ( Spatial Price Theory)
2.1.1. Keseimbangan Harga Lokal dan Harga Spasial
Harga dari suatu barang tidak harus sama di seluruh wilayah, mungkin di bagian
pasar (wilayah) yang satu berbeda dengan di bagian pasar (wilayah) yang lain. Pasar-
pasar yang secara tata ruang terpisah, kurva permintaan maupun kurva penawarannya
mungkin berbeda satu dengan yang lain. Oleh karena itu harga dari satu barang tertentu
mungkin lebih tinggi dari yang dapat diperoleh di pasar yang lain. Perbedaan harga
yang seperti itu dapat berlangsung lama, kalau di antara pasar-pasar tersebut tidak
terintegrasi (tidak berlaku sistem perdagangan bebas). Artinya kalau barang-barang
yang berada di pasar yang memiliki harga yang lebih rendah tidak bebas mengalir ke
pasar yang memiliki harga yang lebih tinggi. Terisolasinya pasar yang satu dari pasar
yang lain bisa terjadi karena: (1) adanya biaya angkutan, (2) karena adanya pembatasan
perdagangan, dan (3) karena kedua-duanya (adanya biaya angkutan dan juga
pembatasan perdagangan).
Jika sistem perdagangan bebas diberlakukan, maka barang akan mengalir dari
wilayah yang memiliki harga lebih rendah ke wilayah yang memiliki harga lebih tinggi.
Aliran barang tersebut akan berlangsung sampai harga barang tersebut hanya dibedakan
oleh unit biaya transpornya (tercapainya keseimbangan harga spasial). Misalkan, suatu
barang diproduksi dan dikonsumsi di semua wilayah. Selanjutnya, diasumsikan bahwa
setiap wilayah memiliki hanya satu pasar yang menganut sistem persaingan sempurna.
Wilayah yang satu dengan yang lain terpisah secara nyata oleh jarak tertentu.
Diasumsikan pula antara wilayah yang satu dengan yang lainnya tidak ada perdagangan,
membentuk keseimbangan harga internal di masing-masing daerah (keseimbangan
harga lokal). Keseimbangan harga lokal yaitu keseimbangan harga yang dibentuk oleh
kekuatan-kekuatan permintaan dan penawaran local di masing-masing wilayah, atau
keseimbangan harga pada masing-masing pasar berdasarkan wilayah-wilayah geografi
dalam satu wilayah tata ruang).
Keadaan tersebut akan berlangsung lama kalau asumsinya tidak berubah, yaitu:
adanya pembatasan perdagangan secara legal, ada biaya angkutan antara satu wilayah
dengan wilayah lain yang cukup tinggi (melebihi perbedaan harga lokal). Dengan
demikian tidak memungkinkan barang tersebut diperoleh (didatangkan) dari wilayah
yang lain, yaitu dari wilayah yang memiliki harga relative rendah.
Akan lain halnya, kalau diberlakukannya sistem perdagangan bebas dan biaya
transport antar wilayah nol. Barang akan mengalir dari wilayah yang memiliki harga
rendah ke wilayah yang memiliki harga lebih tinggi, dan akan membentuk
keseimbangan tunggal bagi semua wilayah. yang relatif rendah karena telah
dikembangkan sistem transpor nasional/regional yang efisien. Kalau sistem
perdagangan bebas diberlakukan, biaya transpor antar wilayah tetap positif,
keseimbangan harga spasial akan terbentuk, dengan perbedaan-perbedaan harganya
mendekati besarnya biaya transpor.
9
20. R2
R1
P P
S2
S1
A2
A1
D1 D2
qd1=qs Q qd2=qs Q
2 R3
1
S4 R4
P P S3
A4 A3
D4 D3
qd4=qs Q qd3=qs Q
4 3
Gambar 2.1 Keseimbangan Harga Lokal
Keterangan: R1, R2, R3, dan R4 adalah wilayah-wilayah (regions) 1, 2, 3, dan 4. A1, A2, A3, dan A4
adalah harga-harga lokal di masing-masing wilayah (harga-harga tanpa perdagangan antar wilayah yang
satu dengan yang lain).
Adapun proses terbentuknya keseimbangan spasial (untuk berbagai kasus)
adalah sebagai berikut:
2.1.2 Kasus 2 Wilayah
R1 R2
Gambar 2.2: Interaksi Ekonomi Kasus Dua Wilayah (R1 dan R2)
R1 dan R2 dipisahkan oleh suatu jarak tertentu. Misalkan : Biaya transport antara R1 -
R2 = T21. Biaya transpor dari R1 ke R2 tidak perlu sama dengan kalau dari R2 ke R1.
Begitu pula biaya transport tersebut tidak harus memiliki fungsi linier, memungkinkan
non linier juga.
10
21. Route (trayek) transpor tidak perlu bolak-balik. Pos-pos biaya transpor tersebut
meliputi, antara lain: biaya asuransi, biaya bunga modal, biaya transit (biaya bongkar
muat), dan lain-lain biaya yang dapat menambah biaya angkut. Diasumsikan pula,
bahwa besar kecilnya volume angkutan tidak mempengaruhi biaya transpor per unit.
Misalkan: tingkat harga di R1 = A1, di R2 = A2 (dalam keseimbangan konsumsi dan
produksi lokal (kurva-kurva DD dan SS lokal ). Tidak ada pembatasan perdagangan
antar wilayah (antara R1 dan R2 atau sebaliknya) . Biaya transport dari R2 ke R1 =
T12, dari R1 ke R2 = T21, Proses pembentukan harga spasial akhir, yaitu tercapainya
harga keseimbangan pada masing-masing wilayah (pasar) Spasial, yaitu P1 untuk R1 dan
P2 untuk R2 setelah berlangsungnya perdagangan.
Bila: A2 - A1 > T12 maka barang mengalir dari R1 ke R2. Jika A2 > A1
tetapi A2 - A1 < T12 , maka kondisi yang demikian tidak akan terjadi perdagangan. Jika
A1 > A2 dan A1 - A2 > T21 , maka barang akan mengalir dari R2 ke R1. Jika A1 > A2,
tetapi A1 – A2 < T21, maka tidak akan terjadi perdagangan. Jadi, apabila perbedaan
harga ≤ biaya transport tidak akan terjadi perdagangan (tidak terjadi perpindahan
supply dari wilayah yang satu ke wilayah yang lain). Wilayah yang memiliki kondisi
yang seperti itu A1 = P1 pada saat A2 = P2.
BT
BT = f (jarak)
Jarak
Gambar 2.3 Fungsi Biaya Transpor Non Linier
Tetapi apabila margin perdagangan lebih tinggi dari biaya transport, barang-barang
yang diproduksi di wilayah tertentu dan harganya lebih rendah, akan mengalir ke
wilayah yang harganya lebih tinggi. Ini adalah keseimbangan harga spasial untuk kasus
dua wilayah. Harga diantara dua wilayah akan dibedakan oleh unit biaya transpor untuk
berlangsungnya proses perdagangan. Kondisi perbedaan harga selebihnya tidak akan
bertahan lama, karena kalau barang akan mengalir dari wilayah yang satu ke wilayah
yang lain.
Keseimbangan Harga Spasial. Harga keseimbangan spasial adalah P1 dan P2.
Besarnya arus barang ekspor E dan import – E, atau (E12 = -E21 ) ditentukan oleh
skedul-skedul permintaan dan penawaran spasial di kedua wilayah (pasar) dan biaya-
biaya transpor.
11
22. Keterangan:
P
R1 = Wilayah Harga D2 S2 '
S2
Rendah R1
R2
Sumbu datar kiri (QR)
S1' D1
dinaikkan sebesar biaya S1
1 A2
transport dari R2 ke R1 E12 P2 P1
(T12) R1 mengekspor ke R2 -E21
S2
S1 turun, S2S2 naik '
A1 S2 S2 D2
P1 > A1 dan P2 < A2 '
D1 S1 S 1
A1 = Harga lokal di R1 Q
T21
Keseimbangan tercapai Q
dimana E12 = E21 P = Harga Keseimbangan Spasial
dan P2 = P1 + T21
Gambar 2.4 : Diagram Keseimbangan Harga Spasial Kasus Dua Wilayah
2.1.3 Kasus Wilayah Lebih Dari Dua
Asumsi yang dibuat tetap sama, yaitu jenis barang satu macam, dan berlaku
sistem perdagangan bebas antar wilayah. Jadi, ketentuan untuk kasus wilayah banyak
(Multi Regions) ini adalah sebagai berikut :
(i) ∑ E = 0, atau import = ekspor antar wilayah.
(ii) Harga di wilayah yang mengekspor ditambah dengan biaya transpor per unit dari/ke
wilayah yang bersangkutan sama dengan harga di wilayah yang mengimpor.
2.1.4 Kasus Tiga Wilayah
Kasus tiga wilayah masih relative mudah dipecahkan, dimana dibuat asumsi
bahwa ∑E =∑- E, harga keseimbangan spasial akhir dan perbedaan harga lokal wilayah
semula masing-masing wilayah dapat ditulis :
E1 = b1 (P1 – A1); E2 = b2 (P2 – A2); E3 = b3 (P3 – A3)
Keterangan: b1, b2 dan b3 = konstanta-konstanta untuk wilayah-wilayah R1, R2
dan R3..A1, A2, dan A3 adalah harga-harga lokal di wilayah-wilayah R1, R2 dan di
R3.T23, T31 dan T32 adalah biaya-biaya transpor dari R3 ke R2, dari R1 ke R3 dan dari R2
ke R3, yang besarnya diketahui. P1, P2, P3 adalah harga-harga keseimbangan spasial
akhir yang merupakan permasalahan yang ingin diketahui. Kesulitan: A (harga lokal
wilayah), T (biaya transpor). Keduanya merupakan data yang harus terlebih dulu
diketahui untuk menentukan wilayah-wilayah mana yang akan mengimpor, wilayah-
wilayah mana yang akan mengekspor dan wilayah-wilayah mana yang tidak
membentuk perdagangan. Penentuan sifat-sifat perdagangan masing-masing wilayah
tersebut merupakan langkah pertama yang harus dilakukan, terutama sekali wilayah-
wilayah netral dengan nilai A sedang. Kalau A1 < A2 < A3, maka arus barang dari R1 ke
12
23. R2 dan R3 tidak terjadi ekspor ke R1. Jika P1 > A1, P3 < A3. P3 = P1 + T13, dan A2 > A1 ;
A2 < A3. Pertanyaannya, wilayah mana yang pengimpor, dan wilayah mana yang
pengekspor ? R1 dan R2 akan menentukan lebih lanjut P1 dan P3. Bila E1 + E3 = 0, P3 =
P1 + T13, R2 akan mengimpor kalau P3 < (A2 + T23) ; atau akan mengekspor kalau P3 >
(A2 + T23). Tetapi kalau tidak, dimana tidak terjadi perdagangan dengan R2 (kondisi R2
dapat memenuhi sendiri kebutuhannya), maka P2 = A2 dan E = 0. Untuk R3, fungsi
perdagangan dari R2 ke R3 pada mulanya terjadi, yaitu bersama-sama dengan R1 ke R3.
Kalau impor dan ekspor R2 mencapai keseimbangan, dimana ditulis: P2 = ( P1 + T12 ),
dan P3 = ( P1 + T13 ). E1 = - ( E2 + E3 ). Substitusi perdagangan diperlihatkan melalui
fungsi ;
E1 = - ( E2 + E3 )
b1 ( P1 – A1) = { - b2 ( P1 + T12 – A2 ) + b3 ( P1 + T13 – A3 )}
b1 A1 b2 ( A2 T12 ) b3 ( A3 T13 )
dihasilkan : P1
b1 b2 b3
P1 dapat diperkirakan ; P2 ; P3 ; E1 ; E2 dan E3 juga dapat dihitung
Sebaliknya jika R2 menjadi pengekspor, kemudian didalam keseimbangannya :
E1 + E2 = - E3 dan P3 = P2 + T23 = P1 + T13
Dalam kasus ini nilai P3 diperoleh dengan memecahkan persamaan :
b3 A3 b1 (T13 A1 ) b2 (T23 A2 )
P3
b1 b2 b3
Dan seterusnya, dimana nilai-nilai variabel lainnya dapat diperoleh.
2.1.5 Kasus n- Wilayah
Pada contoh kasus tiga wilayah, volume perdangan antar wilayah masih lebih
mudah diperkirakan.
Contoh : kalau E21 dan E31 negatif, maka: E12 = - E21; E13 = - E31
Pada kasus n-wilayah setiap wilayah mungkin mengimpor dari wilayah lain
atau mengekspor ke wilayah yang lain. Dengan demikian jumlah netto perdagangan tiap
wilayah, volumenya tidak secara otomatis diketahui. Prosedur perhitungannya lebih
sulit.
Sejumlah metoda yang pernah diperkenalkan untuk memecahkan masalah
keseimbangan harga spasial kasus n- wilayah, atau model pasar banyak, antara lain:
(1) Metoda Enke, yang menyusun sebuah sistem spasial tiruan dengan
menggunakan sirkuit – sirkuit listrik. Harga-harga keseimbangan spasial dan biaya-
biaya transpor dirancang sedemikian rupa untuk dapat dibaca pada alat-alat pengukur
arus atau tegangan listrik yang diletakkan/dihubungkan secara spasial. Dengan
menghidupkan saklar sistem akan bekerja dan membentuk keseimbangan akhir yang
stabil dengan voltase-voltase meter serta amper-amper meter tertentu yang dapat
dibaca, atau dipilih kemungkinan-kemungkinannya.
(2) Metode Samuelson, yang melihat bahwa model tersebut dapat menjadi
sebuah permasalahan linier, dan bertujuan untuk memimimalkan ―net social pay-off‖,
13
24. yaitu jumlah aljabar dari bagian-bagian wilayah di bawah kurva-kurva supply pada
setiap pasar dikurangi sejumlah biaya transport (sisa bayaran social). Model tersebut
dibuat untuk mencoba menyederhanakan dan mengatasi permasalahan keseimbangan
harga spasial, manfaat perdagangan antar wilayah (pasar) secara timbal balik yang
dihubungkan dengan sarana-sarana transportasi dengan biaya-biaya yang minimum.
Disamping model linear yang di kembangkan oleh Samuelson tersebut juga
diperkenalkan model non linear (kwadratik). Richardson sendiri tidak menguraikan
lebih lanjut model-model tersebut secara mendetil. Dia hanya menggambarkan arus
barang dari wilayah-wilayah yang memiliki harga lebih rendah ke wilayah-wilayah
yang memiliki harga lebih tinggi dengan simbul-simbul panah, dan memperlihatkan
alokasi barang-barang secara spasial. Kondisi keseimbangan spasial bertolak dari : total
ekspor = total impor. Harga pada masing-masing wilayah = harga di wilayah-wilayah
lain plus-minus biaya transpor per unit.
2.2. Pola-pola Sebaran Spasial Secara Umum
Sifat dasar dari wilayah secara spasial, atau pasar dalam suatu tata ruang, adalah
sesuatu yang abstrak. Artinya, batas wilayah atau ruang lebih diartikan sebagai sesuatu
yang berada di dalam pikiran. Di sini diasumsikan bahwa pembeli maupun produsen
dipusatkan pada sejumlah titik (pasar) yang satu dengan yang lainnya terpisahkan oleh
ruang tidak berkegiatan ekonomi. Kebenaran asumsi ini relatif. Selanjutnya
diasumsikan pula bahwa komoditi homogen. Perbedaan-perbedaan spasial merupakan
salah satu bentuk perbedaan terhadap produk. Produsen diasumsikan memberlakukan
sistem harga pabrik (Pf.o.b).
Pertama : Space terbatas. Produsen dan konsumen berada pada titik yang sama.
Bagaimana Efeknya? Kalau terdapat banyak produser dan juga banyak konsumen:
memungkinkan terbentuk kondisi persaingan, tidak terdapat biaya transpor, hanya ada
satu harga, es = ∞ dan ed = ∞. Cara yang paling sederhana untuk mengintrodusir kasus
yang seperti ini adalah dengan membuat hipotesis 2 titik atau lebih. Pada setiap titik
terdapat konsumen maupun produsen. Prosedur analisisnya sudah dibicarakan
sebelumnya (kasus dua wilayah dengan sistem perdagangan bebas). Keseimbangan
harga spasial tergantung arus keseimbangan perdagangan. Tingkat harga yang berbeda
diantara berbagai titik (pasar) hanya ditentukan oleh biaya transport di antara berbagai
titik (pasar) tersebut. Dalam kasus seperti ini taksiran-taksiran dapat dibuat mendekati
kenyataan, khususnya bagi perekonomian industri serta masyarakat urban area
(perkotaan).
Tetapi ini tidak berlaku untuk ruang (Space) dimana produsen dan konsumen
tidak berada pada titik yang sama. Perbedaan harga spasial dipengaruhi oleh sistem
pasar (tingkat persaingannya). Kalau sistem pasar yang berlaku adalah persaingan yang
terbatas, permintaan relatif cukup besar dibandingkan hasil produksi, dalam kaitannya
dengan LAC minimum perusahaan monopoli. Tetapi di dalam ekonomi ruang,
kecepatan pertumbuhan permintaan terhadap hasil produksi sebuah perusahaan
monopoli biasanya dipengaruhi oleh factor jarak (biaya transpor). Adanya biaya tanspor
tersebut akan menggeser kurva permintaan ke kiri (menurun), dengan asumsi selera dan
pendapatan tidak berubah. Kurva permintaan menjadi kurva jumlah keseluruhan
(Aggregate) dari penyatuan permintaan-permintaan lokal. Tingkat barga tidak hanya
ditentukan oleh luas area cakupan geografis, tetapi juga oleh volume penjualan pada
pasar tersebut.
14
25. Kasus Produsen tunggal dengan pembeli banyak di sekitarnya (Spacial
Monopoly).
Kasus Spacial Monopoly merupakan sebuah model sederhana untuk
memperlihatkan pengaruh biaya transport dan jarak terhadap permintaan. Jadi,
asumsinya: Produser tunggal, demander banyak. Pada kasus sistem pasar monopolist
akan ada diskriminasi harga di antara berbagai pasar, yaitu pasar dengan para pembeli
yang memiliki elastisitas permintaan yang rendah dan para pembeli dengan elastisitas
permintaan tinggi. Pertanyaannya: apakah factor spasial membentuk diskriminasi harga
spasial?
2.2.1. Pembeli Dengan Kurva Permintaan Sama Elastisitas Permintaannya Sama
Kasus ini dibatasi oleh asumsi: biaya transpor tidak berpengaruh terhadap
permintaan, harga monopolist hanya satu (tunggal) untuk semua pembeli pada lokasi
yang sama, harga monopolis berbeda untuk lokasi yang berbeda. T = biaya transport per
unit dari lokasi produsen ke lokasi pembeli A. Pada lokasi tersebut permintaan pembeli
A = Q produk, dengan harga P dan elastisitas permintaan E, adalah sama pada setiap
titik pada kurva permintaan, untuk setiap pembeli. Harga tersebut dibayar pembeli
sebelum monopolis mengenakan biaya angkut. MR dari penjualan kepada A menjadi :
d(PQ) P dQ Q dP
MR T T
dQ dQ
Q dP
P T ………………………………..(1)
dQ
( P dQ)
Elastisitas Demand = E
(Q dP)
p ( E 1)
p T P T …………………………(2)
E E
Monopolist akan memaksimalisasikan penjualan kepada semua pembeli dimana
MR = MC. Ini berarti, apabila MC = C, maka harga yang dibayar oleh setiap pembeli di
pasar A dapat dihitung dari :
( E 1)
P T C
E
E (C T )
Jadi P …………………………………..(3)
E 1
Harga yang diterapkan produsen pada lokasi pabrik (harga fob) :
E (C T ) EC T
P T T …………………. ………..(4)
E 1 E 1
Harga f.o.b dikurangi MC :
EC T C T
P T C C ……………………….….(5)
E 1 E 1
15
26. Harga f.o.b yang ditetapkan monopolist pada lokasi pabrik (yaitu P – T )
mengakibatkan adanya diskriminasi harga bagi para pembeli yang lebih jauh. Karena :
( EC T )
P T …………………………………..(6)
( E 1)
Berdasarkan persamaan (6) tersebut nilai P akan meningkat kalau T meningkat,
misalnya kalau jarak bertambah. Pembeli pada lokasi pabrik, dimana T = 0 (biaya
transport tidak ada), membayar harga dengan mengeyampingkan MC, dengan nilai yang
C
sebanding kepada . Bagaimanapun, elastisitas permintaan (E) tak terhingga pada
E 1
kondisi persaingan Chamberlin yang murni dan wilayah harga diskriminasi spasial
dikurangi dengan sendirinya, merupakan perluasan antara P dan MC. Model sederhana
ini mendorong maksimalisasi keuntungan monopolist pada suatu diskriminasi pasar
spasial untuk pembeli-pembeli yang lebih jauh. Bagaimanapun, hasil penelitian
menyangkut pembentukan harga secara praktis di seluruh dunia lebih sering didorong
oleh diskriminasi harga antara pembeli yang lebih dekat dengan pembeli yang lebih
jauh. Jadi factor-faktor jarak dan biaya transport mempengaruhi permintaan. Elastisitas
permintaan keseimbangan diasumsikan konstan (tidak berubah) untuk semua pembeli
dalam keadaan persaingan (pembeli banyak). Monpoli spasial yang murni sudah jarang
ditemui di dunia, produsen semakin terdorong kepada situasi persaingannya.
2.2.2. Permintaan Pembeli Jauh Lebih Kecil tetapi Lebih Elastis.
Untuk mengilustrasikan dalil ini dan efeknya terhadap harga diskriminasi
spasial, diasumsikan bahwa kurva permintaan linier dan kedua akses bekerja bersama-
sama. Kita juga mengasumsikan bahwa para pembeli akan memiliki permintaan yang
sama, yang mendapat pengaruh dari biaya-biaya transport yang sama. Biaya transport
dapat diperlihatkan sebagai suatu pengurangan terhadap kurva demand (menggeser
kurva demand ke arah yang lebih lemah dan sejajar), dalam gambar DBDB menjadi
DADA, kedua kurva tersebut slope-nya sama bila unit biaya transport = T, diasumsikan
tetap tanpa memperhatikan jumlah permintaan. Kurva permintaan untuk pembeli-
pembeli jauh dari lokasi penjual menggeser kurva tersebut sebanding dengan biaya
transport. Untuk kurva-kurva permintaan yang ada, DBDB dan DADA berarti B adalah
pembeli yang memiliki jarak tertentu (jauh) dari lokasi pabrik, kurva demand DADA
lebih elastis. Perubahan pada harga akan memberikan perubahan mutlak yang sama
pada jumlah permintaan A dan B, karena kemiringan (Slope) DA dan DB sama, tetapi
proporsi perubahan pada permintaan B lebih rendah dibandingkan permintaan A karena
total permintaan B lebih besar pada tiap tingkat harga yang berlaku. Elastisitas
permintaan A lebih besar. Dalam hal ini, pembeli-pembeli terpencil memiliki elastisitas
permintaan lebih besar dibandingkan dengan elastisitas permintaan pembeli-pembeli
dekat. Untuk memperoleh laba maksimal, si monopolist akan memberlakukan
diskriminasi terhadap pembeli-pembeli yang memiliki Ed elastis dengan yang memiliki
Ed yang relative kurang elastis. Gambar berikut memperlihatkan bahwa pembeli-
pembeli A dan pembeli-pembeli B diasumsikan memiliki kurva permintaan garis lurus,
dan DA bergeser ke kiri (turun) sebesar T. Diasumsikan bahwa MC monopolist konstan
pada level C, dengan demikian pada semua sekala output monopolis akan menyamakan
16
27. MC dengan MR bagi pembeli-pembeli A dan B, yaitu masing-masing di E dan F, dan
harga pabrik (Pf.o.b) masing-masing PA dan PB.
DB
DA
PB FB
PA FA
C MC
DA DB
0
Gambar 2.5 Monopoli Spasial Kasus Dua Pasar A dan B
2.2.3. Batas-batas Monopoly Spasial
Pengendalian yang sempurna dari sebuah perusahaan monopoly yang mencakup
seluruh area pasar jarang terjadi. Diskriminasi harga terhadap konsumen-konsumen
pasar yang berdekatan dalam praktek juga sulit dilakukan, karena pasar-pasar tersebut
cenderung terintegrasi. Penjual dapat melakukan pengawasan paling baik, meliputi
pembeli-pembeli di sekitar (pasar dengan jarak sedang). Ini sama halnya, bila sebuah
industri yang terdiri dari sejumlah produsen, yang antara seorang produsen dengan
produsen yang lain terpisah oleh jarak tertentu. Atau suplier tertentu akan memperoleh
pasar yang diproteksi. Diskriminasi untuk pasar yang relatif jauh biasanya terbatas
dilakukan.
Monopoly (produsen tunggal)
Pasar Saingan dari perbatasan
R1 R2 R3
Pasar Kontrol Kontrol Terbatas
Terintegrasi Terbaik Q
Keterangan:
R1 = Pasar Dekat
R2 = Pasar Jarak Sedang
R3 = Pasar Jauh
Pengendalian terbaik hanya dapat dilakukan di pasar jarak sedang. Untuk dapat
mengendalikan semua pasar si monopolist harus menggunakan Pengaturan Suplier
17
28. Monopoli dapat menguasai pasar secara keseluruhan dengan cara membentuk
agen-agen tunggal di masing-masing wilayah.
Monopoli Suplier
Monopoly
R2 R3
R1
Gambar 2.6 Pengendalian Pasar Spasial Oleh Monopolis
2.2.4. Pengaturan Pasar Oleh Sebuah Industri
Industri
Xi =Perusahaan-Perusahaan
Sejenis (produsen Individu)
X1 X2 X3 Masing-masing
X4 X5 X6 individu
X7 X8 X9 menguasai satu
area pasar tertentu
X1 X2 X3 X4 X5
X6 X7 X8 X8X9
Dimatikan
Salah Satu
Gambar 2.7: Pengaturan Pasar Dengan Cara Membagi Pasar Per Perusahaan
Misalnya: Gula jatah Sumut = 6
Aceh = 2
DKI = 8
Jabar = 20
Kendala dalam melakukan diskriminasi untuk pasar-pasar yang relatif jauh
karena : Kemungkinan terjadinya penjualan kembali (Reshelling). Seorang penjual
diskriminasi berhadapan dengan penjual yang jauh, pembeli dekat membeli sebagian
dari barang-barang dari penjual jauh tersebut dan menjual kembali.
Jatah DKI hanya 8, dibeli lagi ½ jatah Aceh + 1½ jatah Sumut . Supply DKI
menjadi 10 (naik/berlebih). Begitu pula jatah Jabar 20, dibeli lagi dari jatah-jatah
18
29. propinsi lain. P pasar jauh naik, P pasar dekat turun, maka akan terjadi pendjualan
kembali ke pasar jauh melalui pasar tidak resmi (pasar gelap).
Lokasi-lokasi penjual saingan monopoli jauh cenderung berusaha memperlemah
monopoli. Pasar jauh (wilayah belakang) cenderung saling membagi pasar diantara para
penjual (menekan monopoli pada pengaruhnya yang minimum). Penjual terdekat
memberlakukan harga distribusi = MR pada sekala produksi yang akan di pilih + biaya
transpor. Kalau harga ditetapkan > MR + biaya transpor, dia akan tersisih. Kalau harga
ditetapkan < MR + biaya transpor, dia tidak berusaha pada sekala produksi profit
maximizing/loss minimizing.
Apabila pasar dirubah menjadi oligopoly, persaingan diantara penjual pada
lokasi-lokasi tersebut akan berkurang, dapat ditetapkan harga kesepakatan. Permintaan
dapat dihadapi bersama-sama. Harga dapat dikaitkan dengan sekala produksi masing-
masing produsen secara kelompok. Setiap produsen dipersilahkan menggarap bagian
pasarnya masing-masing. Namun oligopolist akan menemukan kesulitan dalam hal
administrasi, karena biaya distribusi sama untuk wilayah yang luas dan kesulitan
pengorganisasian, sehigga harga-harga kesepakatan dapat terjamin dicapai. Oleh karena
itu diskriminasi harga bagi penjual-penjual jauh cenderung sulit dilaksanakan.
2.2.5.Dua Penjual di Lokasi-lokasi Yang Berbeda dan Dikitari Banyak Pembeli
(Hukum Luas Areal Pasar).
Kasus pasar yang terdapat lebih dari satu penjual. Pada dua wilayah geografis
terdapat pasar-pasar penjualan X dan Y. Menurut analisis Samuelson – Enke, apabila
barang bebas bergerak dari pasar yang satu ke pasar yang lain, perbedaan harga di
kedua pasar tersebut tidak mungkin lebih besar dari biaya transpor. Kasus Samuelson –
Enke, dua pasar tersebut seperti dua kantung ekonomi di dalam sebuah wilayah kosong.
X Y
Diasumsikan seolah-olah diantara dua pasar fakum kegiatan ekonomi
(tanpa pembeli), pembeli ragu-ragu ( z )
Gambar 2.8: Dua Penjual di Dua Wilayah Yang Bertetangga
Di asumsikan pula lokasi-lokasi pasar X dan Y tetap. Waktu pergerakan
mencapai lokasi yang satu dengan yang lain dapat diperkirakan (Teori Lokasi
Hottelling, Chamberlain, Lerner, Linger, dan lain-lain). Juga diasumsikan bahwa
diberlakukan harga f.o.b, sifat-sifat pasar duopoly dan oligopoly berlaku. Pada waktu
yang tertentu semua pembeli mendapat harga yang sama. Pertanyaan : Bagaimana luas
area pasar masing-masing penjual? Dan bagaimana pula wilayah di sekitarnya
dibagikan di antara kedua penjual tersebut? Bagaimana menentukan batas-batas area
pasar di antara kedua penjual, atau bagaimana batas-batas cakupan masing-masing perlu
dipertegas. Tujuannya adalah untuk mendapat hukum-hukum ekonomi dari kedua pasar
yang bersangkutan.
19
30. Kita asumsikan : Pasar X dan Y tetap dan dikitari oleh titik : Z1;Z2;Z3,……..Zn
sebagai titik-titik lokasi konsumen di luarnya; barang yang dijual satu macam dan
homogen; Biaya transpor berfungsi linier, artinya biaya perunit sesuai dengan jarak
pasar dari titik Z. Biaya angkut per unit antara X dan Z = Txz dan antara Y dan Z adalah
Tyz. Jarak X – Z = dxz dan Y – Z = dyz. Jadi kalau konsumen di Z membeli barang di X,
maka dia akan membayar :
Px + Txz . dxz per unit
Apabila dia membeli di Y, dia akan membayar :
Py + Tyz . dyz per unit
Kalau Px + Txz . dxz = Py + Tyz . dyz, maka konsumen berada pada kepuasan
yang sama ke mana dia akan berbelanja (ke X atau ke Y). Dengan demikian batas
cakupan antara daerah-daerah yang dipengaruhi pasar X dan pasar Y ditentukan oleh
persamaan :
Px + Txz . dxz = Py + Tyz . dyz ………………………………….. (1)
TYZ PY PX
d XZ dYZ ………………………………………….. (2)
TXZ TXZ
T P PX
Kalau YZ selalu positif , Y mungkin ( + ) mungkin ( - )
Txz TXZ
Persamaan menjadi : d XZ t dYZ p …………………..…(3)
TYZ PY PX
t , p
TXZ TXZ
Persamaan tersebut membentuk kurva-kurva indiferen sebuah keluarga
konsumen, yang disebut hypercicles (jaring-jaring lingkaran). Kurva-kurva yang
dimaksud tersebut mewakili sifat-sifat dari masing-masing keluarga si konsumen, lokasi
dari semua titik-titik angka perbandingan dari jarak dua lingkaran tertentu. Kurva
tersebut kadang-kadang berbentuk ― bulat telur Descartes ―
Persamaan (2) dan (3) memperlihatkan ketentuan-ketentuan tentang gejala-
gejala pasar secara khusus, yang tergantung tidak hanya pada harga relatif di kedua
T
pasar, tetapi juga pada angka perbandingan biaya transpor yaitu t ( atau = yz ), dan
Txz
Py Px
pada angka perbandingan selisih harga dengan biaya-biaya angkut p (atau = ).
Txz
Berdasarkan analisis ini dirumuskan hukum-hukum area pasar spasial secara umum
sebagai berikut:
Pasar persaingan untuk barang yang sama (homogen) merupakan sebuah hyper
circles.
Tiga Contoh Kasus Batas Wilayah (Area) Pasar Spasial
Gambar 2.9, 2.10, dan 2.11 memperlihatkan tiga kasus sederhana sebagai bahan
ilustrasi untuk batas-batas pasar spasial.
a) Px = Py dan Txz = Tyz
20
31. Gambar 2.9 memperlihatkan kasus wilayah spasial apabila biaya angkut dan
harga pasar sama (Txz = Tyz dan Px = Py). Kurva batas wilayah berbentuk sebuah garis
lurus (BB), artinya batas antara pasar X dan pasar Y akan berbentuk sebuah garis lurus.
4
3
2
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
B
X Y
B
Gambar 2.9 Batas Wilayah Jika Px = Py dan Txz = Tyz
Setiap titik pada kurva yang sama berbeda biaya angkut dari masing-masing
pasar, tetapi harga pasarnya sama mengingat perbedaan biaya angkut akan berbeda
harga pasar. Angka perbandingan (Ratio) perbedaan harga dengan biaya angkut dari
kedua pasar menentukan batas cakupan lokasi. Harga pasar yang relatif lebih tinggi dan
biaya angkut yang relatif lebih rendah membentuk area pengaruh yang lebih luas. Kurva
batas-batas area pasar dan luas pengaruh cakupan tiap pasar tergantung kondisi ekonomi
wilayah masing-masing.
21
32. b) Px < Py dan Txz = Tyz
Gambar 2.10 memperlihatkan biaya angkut dari kedua pasar sama, tetapi harga
jual berbeda. Kurva batas kedua pasar tersebut akan merupakan suatu potongan
hiperbola. Px < Py ; Txz = Tyz.
5
4
3
2
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
B
X Y
Gambar 2.10: Batas Wilayah (Pasar) Jika Px < Py dan Txz = Tyz
c) Px = Py; Txz < Tyz
Gambar 2.11 memperlihatkan harga pasar sama, sedangkan biaya angkut
berbeda. Px = Py ; Txz < Tyz. Kurva batas area pasarnya berbentuk sebuah lingkaran.
22
33. 5
4
3
2
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
B
X Y
Gambar 2.11: Batas Wilayah (Pasar) Jika Px = Py dan Txz < Pyz
Diagram sebelah atas dilukis berdasarkan batas-batas luas yang dipengaruhi oleh
para penjual dengan garis-garis batas penyebarannya, menggambarkan harga pasar dan
biaya angkut yang berbeda-beda. Diagram tersebut berbentuk cabang-cabang yang
berpotongan, hasil ilustrasi diagram luas area/pengaruh masing-masing pasar yang
dilukiskan pada diagram bawah. Gambar-gambar tersebut memperlihatkan luas pasar
masing-masing dari sekelompok penjual berpotongan, sebagai proyeksi dari angka-
T Py Px
angka perbandingan (Ratio) : yz dan
Txz Txz
23
34. 2.2.6. Penjual Banyak Terkonsentrasi Sedangkan Pembeli Juga Banyak Tersebar.
d d
d
R6
d d d
d d
d d d
d d d d
R5
d d R4
d d R3
s
s d d s
R2 s
d R1 ds
s
Gambar 2.12: Kasus Demanders Tersebar dan Suppliers Terkonsentrasi
Misalnya: penjual (s) dalam jumlah banyak terpusat pada R1 (satu titik); pembeli
(d) dalam jumlah banyak tersebar di sekelilingnya mereka berada di sub-sub wilayah
R1 – R6; barang yang dihasilkan oleh semua produsen di R1 tersebut diasumsikan
homogen. Barang bebas keluar masuk; Perusahaan-perusahaan dalam kondisi
persaingan satu sama lain; Harga (P) tunggal; Revenue rata-rata dari setiap produsen
sama; batas area pasar masing-masing perusahaan berbeda; harga yang diberlakukan
adalah harga of pabrik; kurva permintaan individu bergeser ke kiri oleh biaya transport.
Harga (Pf.o.b) untuk daerah dengan jarak tertentu akan lebih rendah bagi perusahaan
yang bekerja pada maksimalisasi profit (bekerja pada MR = MC = MRB = MRA).
Elastisitas permintaan lebih besar di lokasi yang relatif jauh. Di Lokasi yang sama
jaraknya dengan lokasi produksi, dalam arti biaya transpornya sama, memiliki harga
yang sama. Karena itu perlu diperhatikan sebaran konsumen secara tata ruang, bila ingin
mengetahui sifat-sifat efektif pasar. Perubahan pada jumlah output perusahaan
mengakibatkan perubahan pada harga output : menghendaki radius pasar yang lebih
luas, perubahan dalam tingkat harga mengakibatkan perbedaan tingkat elastisitas. Ingat,
pada P yang rendah .Ed lebih rendah di lokasi dekat dari lokasi yang lebih jauh. Ingat
pula suasana persaingan sempurna dan adanya lokasi-lokasi penjualan yang terbagi-
bagi/berbeda, tingkat harga tertentu. Terjadi gangguan batas-batas area pasar dengan
harga tertentu sehubungan dengan perluasan radius area pasar oleh penjual tertentu.
24
35. P
Kurva permintaan menjadi lebih
ciut semakin memiliki jarak dengan
pusat produksi ( RA ) penciutan
PA
sebesar T.
PB
C MC
0 Q
QA QB MR
MRA B TAB
Gambar 2.13 Monopoli Spasial
2.2.7. Pembeli Banyak Terkonsentrasi Sedangkan Penjual Juga Banyak tetapi
Tersebar
Produsen-produsen tersebar pada lokasi-lokasi subwilayah R1 - R6. Konsumen
terkonsentrasi di R1 (misalnya sebuah kota). Semua pembeli membayar harga yang
berlaku yaitu harga pabrik (Pf.o.b). Penerimaan bersih setiap perusahaan sama, walau ada
perbedaan jarak dengan lokasi pembeli (kota). Produk homogen, berlaku sistem pasar
persaingan sempurna, dengan produk tunggal, dan kurva penerimaan individual firm
(permintaan rata-rata per perusahaan) mendatar. Tidak menjadi masalah tentang
diberlakukannya Pf.o.b, atau penyaluran bebas (tidak ada yang mengendalikan harga),
juga tidak ada masalah tentang biaya transpor yang akan menciutkan kurva permintaan
atau menambah biaya (harga pabrik atau harga lokasi pembeli). Tetapi tingkat harga
pada lokasi dengan elastisitas permintaan sempurna dapat dibedakan diantara penjual
yang satu dengan yang lain, berdasarkan jarak lokasinya dengan pasar.
25
36. s s
s
R6
s s s
s s
s s s
s s s s
R5
s s R4
s s R3
d
d d d d
R2
d d R1 dd
d
Gambar 2.14 Kasus Supplier Tersebar dan Demander Terkonsentrasi
Kalau barang-barang tersebut dijual dengan harga lokasi konsumen kurva
permintaan rata-rata digeser ke kiri oleh biaya transport, Harga pasar (P) akan
meningkat. Di lain pihak kalau T turun maka harga pasar (P) turun (rendah). Penjualan
(Qs = Qd ) naik. Ini akan memberi manfaat, atau keuntungan, harapan baru bagi
penjual-penjual yang memiliki jarak lokasi yang relative jauh. Para penjual dengan
lokasi dekat (sekitar pasar) terpukul. Jadi penurunan biaya variabel (atau biaya
transport) sebagian produsen akan menguntungkan (semakin mantap memasuki pasar)
yaitu produsen yang jauh dari lokasi pasar, untuk sebagian produsen yang lain
cenderung kehilangan pasar mereka. Persaingan menjadi semakin tajam.
Secara diagramatis diperlihatkan melalui gambar berikut :
Z
P
Z’
L X’ L
X A N M A Y Y’
Gambar 2.15 Perbaikan Transportasi Menguntungkan Produsen Jauh
Asumsi: Lokasi penjual-penjual terletak sepanjang garis LL; konsumen
terkonsentrasi di M; biaya produksi konstan; biaya angkut perkesatuan jarak konstan;
26
37. MZ adalah harga dengan antaran (harga perangko konsumen); harga pabrik (Pf.o.b) untuk
masing-masing produsen diperlihatkan dengan garis tegak lurus sisi dasar segi tiga
XYZ. Penjual-penjual di X dan Y tidak hanya melayani pasar yang bersangkutan;
penjual-penjual di X dan Y mewakili penjual terjauh untuk pasar M. Jika biaya transpor
diturunkan maka kemiringan (Slope) XZ dan YZ akan berubah, dan batas wilayah
pemasaran menjadi semakin luas. Kemiringan XZ menjadi X’Z’ dan YZ menjadi Y’;
radius lokasi suppliers yang menjangkau pasar M semakin jauh, yaitu X’M dan Y’M.
Harga di lokasi konsumen semakin rendah, dari MZ menjadi MZ‖. Para suppliers dekat
mengalami pukulan, yaitu supplier yang berada di wilayah AA. Supplier di luar AA,
yaitu AX’ dan AY’ memetik manfaat (keuntungan) dari menurunnya biaya transpor.
2.2.8. Para Penjual dan Para Pembeli Sama-sama Tersebar tetapi Mempunyai
Sebuah Pusat Pasar Bersama (Kasus Pasar Transito)
Asumsi: Pembeli di d1, d2, d3, d4, d5 hanya dapat memperoleh barang tersebut di
pasar M1 walaupun produk SS tersebar dimana-mana. Ed di M = ; revenue yang
diperoleh masing-masing supplier sama, tetapi laba mungkin bervariasi, hal itu
disebabkan, (diantaranya) dipengaruhi oleh jarak yang membedakan biaya transpor (T).
Sungguhpun barang-barang tersebut dibawa kembali ke lokasi konsumen yang tersebar,
tetapi barang-barang tersebut tetap disalurkan melalui pusat pasar M; ada persaingan
baik diantara penjual maupun diantara pembeli.
s
s
d2
d3
d2
d1 d3
d1
s
s d4
s
d5
d5 d4
s s
s M
s
Gambar 2.16 Demanders dan Supplier Tersebar Kasus Pasar Transito
Seperti diperihatkan gambar berikut ini, terbentuk dua garis harga yang
mengerucut di pasar M. Setiap kesatuan jarak dari M harga keseimbangan bagi penjual
tertentu dan berbeda dengan harga keseimbangan yang dibayarkan pembeli karena biaya
transport menjadi 2X. Misalnya pada lokasi V, penjual menerima jumlah bersih Pv * V,
sedangkan pembeli membayar CV * V (setiap unit). Padahal kalau para pembeli di V
memesan barang pada produksi di V mungkin harga yang dibayar berada di antara P vV
– CvV. Perbedaan penerimaan dan pengeluaran seperti itu merupakan manfaat bagi
penjual maupun pembeli, lebih-lebih kalau letak lokasi mereka dari M relative jauh. Ini
27
38. merupakan alternative dengan manfaat tertentu. Faktor ini berfungsi memberikan
kemantapan pada harga berdasarkan pada perkembangan biaya transport.
C1
C2
CV
E
Harga dibayar konsumen
di V per unit
PV
P1 P2
Harga yang diterima
produsen di V/unit
V M
jarak
Gambar 2.17 Persaingan Pasar Lokal dan Pasar Transito
P
Ed= S
Cv
Es=
Pv
D
0 Q
Gambar 2.18 Demand dan Supply Pasar di Pasar Lokal dan Pasar Transito
Harga di pasar transito M = ME. Harga pada setiap titik tergantung D dan S
relative setempat. Perbedaan harga antara titik yang satu dengan titik yang lain tetap
ada. Diagram permintaan dan penawaran di atas (Gambar 2.18) mengilustrasikan bahwa
skedul-skedul permintaan dan penawaran dari setiap penjual dan pembeli mendatar pada
limit-limit harga tertentu. Pada pasar-pasar lokal Ed dan Es = (pada harga Cv . V dan
Pv . V). Para penjual lebih suka menyalurkan barangnya lewat M. Begitu pula pada
harga > Cv . V pembeli lebih suka membeli di M. Semakin pendek penyaluran
keuntungan akan lebih besar, oleh karena itu akan lebih banyak transaksi barang-
barang berlangsung di pusat pasar M. Faktor kurangnya informasi pasar, fasilitas
pemasaran di pasar M, maka M (pasar transito) tetap bersaing dengan pasar-pasar local.
28