Dokumen tersebut merangkum tentang pajak bumi dan bangunan (PBB) yang mencakup definisi, objek, subjek, dasar hukum, tarif, penghitungan, penagihan, dan pembagian hasil PBB."
2. Pengantar
Hak negara memungut PB
didasarkan pada ketentuan:
1. Pasal 33 ayat (3) UUDNRI 1945:
bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan digunakan
sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. (Res Nullius)
2. Pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan UU.
3. 3. Pasal 2 ayat (2) UU No. 5 Tahun
1960 (UUPA):
Hak menguasai negara memberi
kewenanagan untuk mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi; serta
menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai
bumi.
Dapat disimpulkan terdapat korelasi
erat antara pemungutan PBB
dengan kebijakan pertanahan.
4. Hubungan tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
Kebijakan 1. Sumber
Pertanahan Permintaan
pendapatan
2. Pemerataan
pendapatan
Penggunaan NILAI Penawaran3. Penataan
Tanah TANAH penggunaan dan
Optimalisasi pemilikan tanah
Penggunaan Tanah
DPP: Hasil Penerimaan
nilai tanah Pajak
hasil tanah NILAI
kenaikan nilai TANAH
pengalihan Masyarakat
Adil dan Makmur
Kebijakan
Pemungutan
Pajak Tanah
5. Relasi Fungsi Regulerend PBB dengan
Kebijakan Pertanahan
1. Pajak berkarakter benefit approach
2. Pendaftaran (kadaster) relevan
dengan Kepastian OP, Sp, DP
PBB;
3. Admin Pajak dan Fungsi Budgetair
4. Meminimalisir tax evasion (OP
stabil, tetap, tidak dapat
disembunyikan)
5. PBB <-> political will pemerintah
6. Sejarah PBB
Cikal bakal PBB adalah pemungutan
pajak atas tanah, yang merupakan
jenis pajak tertua (60 SM).
Hak Imperium (raja) --> Hak
Dominium (negara)
Konsep PBB di IND sudah ada sejak
zaman kerajaan berupa UPETI
(daerah taklukan).
Masyarakat Jawa mengenal pungutan
tanah dengan istilah PAJEG.
Masyarakat Hindu menyebut pajak
tanah dengan istilah DRIVYAKAJI.
7. Jaman VOC: diawali dengan
pembentukan Dewan Heemraden
pada tahun 1680 untuk membuat peta
pertanahan untuk menetapkan bagian
pajak umum.
Tahun 1685 ditetapkan PAJAK
TANAH, sebesar 0,25% dari harga
tanah.
VOC kemudian mengganti Pajak
Tanah menjadi VERPLICHTE
LEVERANTIE (wajib kerja).
8. Jaman HB 1: Verplichte Leverantie
diganti menjadi PAJAK BUMI.
Era Daendels Verplichte Leverantie
kembali diberlakukan ditambah
dengan CONTINGENTEN STELSEL
(Pajak Hasil Bumi) sebanyak 1/5 hasil
panen disertai sanksi pidana
Jaman Inggris: Raffles menerapkan
satu pemungutan atas tanah, yaitu
LAND RENT dengan tarif 25-40%.
Sistem Land Rent: Village Settlement
dan Detailled Settlement. (muncul
penguasa feodal)
9. Jaman HB II (1815): Van den Bosch
mengganti sistem Land Rent
menjadi KULTUURSTELSEL (tanam
paksa) sebanyak 20% tanah
garapan.
Staatsblad 1823 No. 5: mengganti
kultuurstelsel menjadi PAJAK
VERPONDING. Adalah pajak yang
dipungut terhadap tanah-tanah
dengan hak barat (Eigendom,
Erfpacht, Opstal).
Jaman Pendudukan Jepang: disebut
PAJAK BUMI.
10. Jaman Kemerdekaan: Pajak Bumi diubah
menjadi PAJAK HASIL BUMI.
Pajak hasil bumi menimbulkan pajak
berganda nasional, sehingga diganti
menjadi IPEDA (Iuran Pendapatan
Daerah). Sistem pemungutannya
dianut oleh PBB.
Dengan diundangkannya UU No. UU No
12 Tahun 1985 jo UU No. 12 Tahun 1994
hingga kini hanya dikenal satu
pemungutan pajak atas bumi, yaitu PBB.
11. UU PBB
UU No 12 Tahun 1985 jo UU No. 12
Tahun 1994
Ketentuan Terbaru: UU No. 28
Tahun 2009 (PBB Pedesaan dan
Perkotaan)
13. Obyek PBB
Bumi dan/atau Bangunan
Bumi: permukaan bumi dan tubuh
bumi yang ada dibawahnya.
co: sawah, ladang, kebun, tanah
pekarangan, tambang
Bangunan: konstruksi teknik yang
ditanam atau dilekatkan secara tetap
pada tanah dan/atau perairan.
co: rumah tinggal, bangunan tempat
usaha, jalan tol,kolam renang,
anjungan lepas pantai, pagar mewah.
14. Obyek PBB diklasifikasikan
berdasarkan Nilai Jual dengan
memperhatikan faktor:
1. Letak
2. Peruntukkan
3. Pemanfaatan
4. Kondisi Lingkungan
5. Bahan yang digunakan (u bangunan)
6. Rekayasa (u bangunan)
15. Pendaftaran Obyek PBB
Orang/Badan yg menjadi subyek PBB wajib
mendaftarkan data ttg Objek PBB ke Kantor
Pelayanan PBB/ Kantor Penyuluhan Pajak
yang wilayah kerjanya meliputi letak objek
berada.
Media pendaftaran: SPOP (Surat
Pemberitahuan OP)
SPOP wajib diisi dengan jelas, benar, dan
lengkap serta ditandatangani dan
disampaikan kepada KPP yang wilayah
kerjanya meliputi letak obyek pajak,
selambat-lambatnya 30 hari setelah tanggal
diterimanya SPOP oleh SP.
16. Pelanggaran Kewajiban Pendaftaran
Pasal 24 barang siapa karena
kealpaannya :
a. tidak mengembalikan/menyampaikan
SPOP kepada DJP (Tax Evasion:
melalaikan pajak)
b. menyampaikan tetapi isinya tidak
benar/tidak lengkap dan/atau
melampirkan keterangan yang tidak
benar;
Sehingga menimbulkan kerugian pada
Negara, dipidana dengan pidana
kurungan maksimal 6 bulan atau denda
setinggi-tingginya sebesar 2 kali pajak
yang terhutang. (Tax
Evasion:penggelapan pajak)
17. Pasal 25 Barang siapa dengan sengaja :
a. tidak mengembalikan/menyampaikan
SPOP kepada DJP;
b. menyampaikan SPOP, tetapi isinya
tidak benar atau tidak lengkap
dan/atau melampirkan keterangan
yang tidak benar;
c. memperlihatkan surat palsu atau
dipalsukan atau dokumen lain yang
palsu atau dipalsukan seolah-olah
benar;
18. d. tidak memperlihatkan/tidak
meminjamkan surat atau dokumen
lainnya;
e. tidak menunjukkan data/tidak
menyampaikan keterangan yang
diperlukan;
Sehingga menimbulkan kerugian
Negara, dipidana penjara maksimal 2
tahun atau denda maksimal 5 kali pajak
terhutang.
Terhadap bukan WP yang melakukan
tindakan huruf d dan e, dipidana
kurungan maksimal 1 tahun atau denda
maksimal Rp. 2 juta.
19. Pembebasan Obyektif
Pembebasan Obyektif
Ada obyek yang menurut Pasal 2 UU
No. 12 Tahun 1985 sebenarnya
adalah obyek pajak, namun oleh UU
tidak dianggap sbg obyek pajak shg
dibebaskan dari pengenaan pajak.
Konsep berasal dari Res Extra
Commercium (Hak Kodrat tanah)
20. Meliputi:(Ps. 3 ayat (1) UU No. 12/1994)
1. Kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan
nasional, yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan;
2. Kuburan, peninggalan purbakala, atau yang
sejenis dengan itu;
3. Hutan lindung, hutan suaka alam, hutan
wisata, taman nasional, tanah penggembalaan
yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara
yang belum dibebani suatu hak;
4. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan
asas perlakuan timbal balik;
5. Badan/perwakilan organisasi internasional
yang ditentukan oleh Menkeu.
21. Subyek dan Wajib PBB
Pasal4 ayat (1): SP adalah
orang/badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas bumi,
dan/atau memperoleh manfaat atas
bumi, dan/atau memiliki, menguasai,
dan/atau memperoleh manfaat atas
bangunan.
Pasal4 ayat (2): WP adalah subyek
pajak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) yang dikenakan kewajiban
membayar pajak.
22. Bagaimana bila WP belum jelas (misal
bila terjadi sengketa pemilikan)?
(Dalam hal atas suatu obyek pajak belum
jelas diketahui WP, Direktur Jenderal
Pajak dapat menetapkan SP dalam ayat
(1) sebagai WP).
Upaya hukum bagi SP ayat (1)?
dapat memberikan keterangan secara
tertulis kepada DJP bahwa ia bukan WP
terhadap obyek pajak dimaksud. Bila
keterangan SP disetujui, maka DJP
membatalkan penetapan sebagai WP
dalam jangka waktu satu bulan sejak
diterimanya surat keterangan
23. Tarif dan Dasar Pengenaan PBB
Tarif: 0,5%
Dasar Pengenaan: NJOP
NJOP: harga rata-rata yang diperoleh
dari transaksi jual beli yang terjadi
secara wajar.
Bila tidak terdapat transaksi jual beli?
NJOP ditentukan melalui perbandingan
harga dengan obyek lain yang sejenis,
atau nilai perolehan baru, atau NJOP
pengganti.
24. Penghitungan PBB
Berdasarkan Nilai Jual Kena Pajak
(NJKP), yang ditetapkan serendah-
rendahnya 20% dan setinggi-
tingginya 100% dari NJOP.
PBB terutang= Tarif x NJKP
Contoh:
Jika NJKP 40% maka dasar
penghitungan PBB: 40% x (NJOP-
NJOPTKP)
Maka besarnya PBB:
= 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,2 x (NJOP-NJOPTKP)
25. Penagihan PBB Terutang
Saat yang menentukan pajak
terhutang adalah menurut keadaan
OP pada tanggal 1 Januari.
Utang PBB timbul karena penerbitan
SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang) berdasarkan SPOP.
Pajak terhutang berdasarkan SPPT
harus dilunasi selambat-lambatnya 6
bulan sejak tanggal diterimanya SPPT
oleh WP.
26. Dasar Penagihan PBB (Ps. 12 UU
No. 12/1985)
1. SPPT: diterima WP dlm situasi normal
2. SKP: dlm situasi tdk normal, yaitu
apabila SPOP tidak disampaikan dan
setelah ditegur secara tertulis tidak
disampaikan sebagaimana ditentukan
dalam Surat Teguran;
atau apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan/ keterangan lain ternyata
jumlah pajak terhutang > dari jumlah
pajak yang dihitung berdasarkan SPOP.
3. STP (Surat Tagihan Pajak)
27. Bila saat jatuh tempo pajak tidak
dibayar/ kurang dibayar, dikenakan
denda administrasi 2% sebulan
(dihitung dari saat jatuh tempo s.d
hari pembayaran untuk jangka
waktu paling lama 24 bulan).
Denda administrasi + hutang pajak
(belum/kurang dibayar) ditagih
dengan STP.
28. Pembagian Hasil Penerimaan
PBB
Ps.18: Hasil penerimaan pajak
merupakan penerimaan negara yang
dibagi antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
Perimbangan pembagian: sekurang-
kurangnya 90% untuk Pemerintah
Daerah,dibagi:
10 % untuk biaya pemungutan (9%
dari keseluruhan)
Dari 90 %= 20 % untuk Provinsi
(18.84 %), 80 % untuk
Kabupaten/Kota (64.16 %)
29. Legal Character PBB
1. PBB adalah pajak Obyektif karena PBB
adlh pajak terhadap harta shg titik tolak
pengenaan adalah OP.
Soal: Apakah murni Pajak Obyektif?
Perhatikan Ps. 19 ayat (1): “Menteri
Keuangan dapat memberikan
pengurangan pajak yang terhutang :
a. karena kondisi tertentu obyek pajak
yang ada hubungannya dengan subyek
pajak dan./atau karena sebab-sebab
tertentu lainnya;
b. dalam hal obyek pajak terkena
bencana alam atau sebab lain yang luar
biasa.
Karakter mirip Pajak Kekayaan 1932
30. 2. Sekaligus memiliki ciri pajak
subyektif: dipungut dengan
memperhatikan keadaan WP
(NJOPTKP, Ps 4 ayat (3) Ps 19 ayat
(1)).
3. Menganut sistem pemungutan official
assessment (SPPT-SPOP).
4. Pajak langsung
5. Menganut hukum formil khusus yg
tertuang dalam UU PBB (hukum
materil dan hukum formil ada dalam 1
naskah UUPBB).