Dokumen tersebut membahas tentang upaya membangun Indonesia sebagai negara maritim yang maju, adil, dan berdaulat. Secara ringkas, dokumen menjelaskan bahwa potensi ekonomi kelautan Indonesia sangat besar namun belum dimanfaatkan secara optimal, dan menyebutkan beberapa sektor ekonomi kelautan utama seperti perikanan, pariwisata bahari, dan energi laut yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masy
Membangun Indonesia Sebagai Negara Maritim - Rokhmin Dahuri
1. Membangun Indonesia Sebagai Negara Maritim Yang
Maju, Adil-Makmur, Kuat, dan Berdaulat
Oleh
Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB;
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia;
Ketua DPP PDI-Perjuangan Bidang Maritim dan Perikanan;
Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GANTI);
Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean
Development, University of Bremen; dan
Duta Besar Kehormatan Provinsi Jeju Islands, Korea Selatan
I. Latar Belakang
Sebagai bagian integral dari sistem pembangunan nasional, kinerja
Kementerian Kelautan dan Perikanan (Kementerian Kemaritiman) dapat diukur
(dinilai) berdasarkan pada: (1) sejauh mana Kementerian ini mampu memecahkan
masalah yang terjadi dalam lingkup sektor Kelautan dan Perikanan (Kemaritiman),
(2) kontribusinya terhadap pemecahan permasalahan bangsa, dan (3) bagaimana
ia mampu mendayagunakan potensi pembangunan Kelautan dan Perikanan yang
masih tersedia secara produktif, efisien, berkeadilan, dan ramah lingkungan
secara berkelanjutan untuk kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa.
Sebagaimana diketahui bahwa meskipun fakta fisik Indonesia merupakan
negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, dan sebelum masa penjajahan
Indonesia melalui Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, dan sejumlah
Kesultanan Islam pernah menjadi negara maritim yang tangguh, cukup makmur,
dan disegani oleh masyarakat dunia dengan wilayah kekuasaan membentang dari
Campa (India), Nusantara, Siam (Thailand), hingga sebagian Tiongkok. Namun,
sejak kolonialisme hingga masa Pemerintahan Presiden BJ. Habibie (medio 1999)
urusan kelautan dan perikanan secara kelembagaan hanya ditangani oleh instansi
setingkat Direktorat Jenderal (Perikanan) di bawah Departemen Pertanian. Pada
masa Pemerintahan Presiden Soekarno pernah dibentuk Kementerian Koordinator
Maritim pada 1966, tapi umurnya hanya enam bulan. Baru sejak era Reformasi,
tepatnya di awal Pemerintahan Presiden KH. Abdurrahman Wahid (September
1999), dibentuklah Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sekaligus DMI
(Dewan Maritim Indonesia) yang sejak 2010 namanya berubah menjadi KKP dan
DEKIN (Dewan Kelautan Indonesia).
Secara makro keberadaan DKP (KKP) dan DMI (DEKIN) dinilai telah
membuahkan sejumlah keberhasilan. Produksi perikanan yang sebelum
berdirinya KKP (1999) hanya 3 juta ton (peringkat-6 di dunia), tahun 2004
menjadi 7,5 juta ton (peringkat-4 dunia), dan 2013 mencapai 19,3 juta ton
(peringkat-3 di dunia).
Makalah disampaikan pada Rembuk Nasional dan Seminar Kebangsaan “Laut Sumber
Kemakmuran dan Kedaulatan Bangsa” Pemuda Kawasan Timur Indonesia (KP-KTI). Jakarta,
Taman Ismail Marzuki, 1 Oktober 2014.
1
2. Kontribusi sub-sektor perikanan sebelum KKP hanya sekitar 1,9% terhadap PDB,
tahun 2004 meningkat menjadi 3% PDB, dan pada 2013 mencapai 6,45% PDB.
PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) dari perikanan sebelum KKP kurang dari
Rp 10 milyar/tahun, pada 2003 mencapai Rp 350 milyar (terbesar kedua setelah
PNBP dari sektor ESDM, dan PNBP perikanan terbesar sepanjang sejarah NKRI),
dan 2013 menurun menjadi Rp 200 milyar.
Nilai ekspor perikanan sebelum KKP hanya 1,5 milyar dolar AS, tahun 2004
menjadi 2,75 milyar dolar AS, dan 2013 mencapai 4,16 milyar dolar AS. Pulau-pulau
kecil yang jumlahnya lebih sekitar 17.000 buah hampir tidak tersentuh
pembangunan sebelum adanya KKP. Sejak berdirinya Direktorat Jenderal
Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil di bawah KKP, mulai banyak pulau kecil
yang dibangun dan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru.
II. Permasalahan dan Tantangan
Namun, sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia yang
wilayah lautnya termasuk ZEEI (5,8 juta km2) meliputi 75 persen total wilayahnya,
teridiri dari 17.504 pulau (baru 13.466 yang telah diberi nama dan didaftarkan ke
PBB), dan dikelilingi 95.181 km garis pantai (terpanjang kedua setelah Kanada),
pencapaian hasil pembangunan KP tersebut masih jauh dari potensi kelautan
yang Indonesia miliki alias jauh dari optimal.
Selain itu, pembangunan kelautan masih menyisakan begitu banyak
pekerjaan rumah. Buktinya, hingga kini kontribusi seluruh sektor kelautan
terhadap PDB hanya sekitar 20%. Padahal negara-negara dengan potensi
kekayaan laut yang lebih kecil ketimbang Indonesia, seperti Islandia, Norwegia,
Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok, dan Thailand, kontribusi bidang
kelautannya rata-rata sudah di atas 30% PDB. Mayoritas nelayan dan masyarakat
pesisir masih terlilit derita kemiskinan. Sementara, gejala overfishing, kerusakan
ekosistem pesisir (terumbu karang, hutan mangrove, dan estuaria), dan
pencemaran melanda sekitar 40% wilayah pesisir dan laut, seperti Pantai Utara
Jawa, sebagian Selat Malaka, Pantai Selatan Sulawesi, sebagian Pantai Timur
Kalimantan, dan muara Sungai Ajkwa di Papua. Praktik penangkapan ikan ilegal
(illegal fishing) oleh nelayan asing, illegal logging, illegal mining, dan kegiatan
ekonomi ilegal lainnya serta perampokan dan perompakan di laut masih marak.
Yang lebih memprihatinkan, bila sejak 2000 – 2004 kinerja ekspor-impor dan daya
saing sektor KP mulai membaik secara signifikan, sejak sepuluh tahun terakhir
kita mulai kebanjiran komoditas ikan impor dan garam. Sebagai akibat dari
rendahnya kinerja sektor transportasi laut (pelayaran, pelabuhan, dan industri
galangan kapal), biaya logistik Indonesia menjadi yang termahal di dunia,
mencapai 26% PDB. Padahal, negara-negara lain lebih rendah dari 15% PDB nya.
Lebih dari 75% barang yang kita ekspor harus melalui Pelabuhan Singapura,
karena hampir semua pelabuhan Indonesia belum jadi hub port yang memenuhi
sejumlah persyaratan internasional. Selain itu, dalam sistem rantai suplai dunia,
posisi Indonesia belum sebagai produsen dan pemasok barang (produk) yang
2
3. dibutuhkan masyarakat dunia, melainkan hanya sebagai konsumen (pasar)
berbagai barang dan produk dari bangsa-bangsa lain.
Permasaahan kelautan lain yang tidak kalah pentingnya adalah belum
tuntasnya batas-batas wilayah laut dengan negara-negara tetangga, dan ancaman
terhadap kedaulatan wilayah NKRI. Dan, budaya bangsa yang sejak zaman
penjajahan ‘didaratkan’. Padahal, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia
yang 75 persen wilayahnya berupa laut, seharusnya budaya (culture) bangsa
Indonesia adalah budaya maritim, bukan daratan.
Sementara itu, permasalahan bangsa (nasional) yang krusial dan harus
segera diatasi meliptui: tingginya angka pengangguran dan kemiskinan,
kesenjangan antara penduduk kaya vs. miskin yang kian melebar, disparitas
pembangunan antar wilayah (Jawa vs luar Jawa, KBI vs KTI, dan perkotaan vs
perdesaan) yang sangat timpang, rentannya kedaulatan pangan dan energi
nasional, daya saing dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang masih rendah,
dan kerusakan SDA dan lingkungan.
Tantangan eksternal (global) yang akan dihadapi sektor KP ke depan adalah
rezim perdagangan bebas (free trade), khususnya pasar tunggal ASEAN yang
akan mulai berlaku Desember tahun depan (2015), dan Perubahan Iklim Global
(Global Climate Change) beserta segenap implikasi (dampak) nya seperti
pemanasan suhu perairan (laut), peningkatan permukaan laut (sea level rise),
pemasaman laut (ocean acidification), cuaca ekstrem, dan lainnya.
III. Potensi Pembangunan Kelautan
Di wilayah pesisir dan laut Indonesia terkandung kekayaan alam yang
sangat besar dan beragam, baik berupa SDA terbarukan (seperti perikanan,
terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi);
SDA tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan
mineral lainnya); energi kelautan (seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan
OTEC atau Ocean Thermal Energy Conversion); maupun jasa-jasa lingkungan
kelautan untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman
hayati serta plasma nutfah. Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan
tersebut dapat kita dayagunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa
melalui sedikitnya 11 sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2)
perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri
bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7)
hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil,
(10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA non-konvensional. Total nilai
ekonomi dari kesebelas sektor ekonomi kelautan itu diperkirakan mencapai 1,2
trilyun dolar AS/tahun, dan dapat menyediakan lapangan kerja untuk 40 juta
orang. Sampai sekarang, potensi ekonomi yang luar biasa besar, ibarat ‘Raksasa
Yang Tertidur’ itu belum dimanfaatkan secara produktif dan optimal.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan ekonomi kelautan (marine economy)
adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan
kegiatan ekonomi di darat (lahan atas) yang menggunakan SDA dan jasa-jasa
lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services)
3
4. yang dibutuhkan umat manusia (Dahuri, 2003). Sementara, ekonomi maritim
(maritime economy) hanya mencakup trasnportasi laut (sea transportation),
industri galangan kapal dan perawatannya (ship building and maintenance),
pembangunan dan pengoperasioan pelabuhan (port construction and
operations) beserta industri dan jasa terkait (Stopford, 2004).
Dari 11 sektor ekonomi kelautan tersebut, yang menjadi domain tanggung
jawab, kewenangan atau tupoksi (tugas pokok dan fungsi) ekonomi KKP selama ini
adalah: (1) perikanan tangkap; (2) perikanan budidaya; (3) industri pengolahan
hasil perikanan; (4) industri bioteknologi kelautan; (5) garam; (6) pembangunan
pulau-pulau kecil; dan (7) sumber daya kelautan non-konvensional yakni SDA dan
jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang terdapat di wilayah pesisir
dan laut Indonesia, namun karena alasan teknis maupun ekonomis belum bisa
kita manfaatkan, seperti industri air dari laut dalam (deep sea water industry),
deep sea mining, industri farmasi dan kosmetik dari laut, dan sebagainya. Perlu
dicatat, bahwa perikanan tangkap bukan hanya mencakup usaha perikanan
tangkap di laut, tetapi juga di Perairan Umum Darat (PUD) seperti sungai, danau,
waduk (bendungan), dan perairan rawa. Demikian juga perikanan budidaya
(aquaculture) dan industri bioteknologi, bukan hanya di laut, tetapi juga di
perairan payau (tambak, coastal aquaculture), PUD, sawah (minapadi), saluran
irigasi, kolam air tawar, dan akuarium. Ringkasan potensi dan tingkat
pemanfaatan sumber daya ikan dan perikanan budidaya disajikan pada Tabel
berikut.
Tabel Potensi Produksi Lestari dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya
Ikan dan Perikanan Budidaya Indonesia
Sementara itu, potensi ekonomi industri bioteknologi perairan diperkirakan
empat kali lipat nilai ekonomi industri TI (Teknologi Informasi). Potensi ekonomi
pulau-pulau kecil, dan sumber daya alam serta jasa-jasa lingkungan non-
4
5. konvensional yang terdapat di wilayah pesisir dan laut Indonesia juga luar biasa
besarnya. Sampai sekarang, tingkat pemanfaatan ketiga sektor ekonomi kelautan
ini sangat rendah, kurang dari 10 persen.
IV. Kebijakan dan Program
Berdasarkan pada potensi pembangunan KP, permasalahan sektor KP,
permasalahan nasional, pencapaian hasil pembangunan KP, dan tantangan global
di atas, maka pembangunan sektor KP di masa mendatang harus ditujukan untuk
mencapai delapan tujuan berikut secara proporsional: (1) meningkatkan
kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat kelautan lainnya; (2)
menghasilkan produk dan jasa KP yang berdaya saing tinggi; (3) menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata diatas 7 persen per tahun) dan
berkualitas (banyak menyerap tenaga kerja dan mensejahterakan rakyat) secara
berkelanjutan; (4) meningkatkan kontribusi sektor KP bagi perekonomian nasional
(PDB) dari yang sekarang hanya 3,5% PDB menjadi 7% PDB dalam 5 tahun
mendatang; (5) turut meningkatan kesehatan dan kecerdasan bangsa melalui
peningkatan konsumsi ikan (seafood); (6) berkontribusi dalam mewujudkan
kedaulatan pangan dan energi nasional; (7) memelihara daya dukung dan kualitas
sumber daya KP dan eksositem perairan tawar, pesisir, dan laut supaya
pembangunan KP berlangsung secara berkelanjutan (sustainable); dan (8)
meningkatkan budaya dan etos kerja bahari (maritim) bangsa serta memperkokoh
kedaulatan NKRI. Untuk merealisasikan ketujuh tujuan tersebut, maka sejumlah
kebijakan dan program berikut perlu kita implementasikan ke depan.
Dengan mewujudkan kedelapan tujuan pembangunan kemaritiman
(Kelautan dan Perikanan) diatas, maka kita akan dapat menjadikan Indonesia
sebagai negara maritim yang maju, sejahtera, kuat, dan berdaulat. Sehingga,
dalam waktu yang tidak terlalu lama (tahun 2020 insya Allah) Indonesia bisa
menjadi Poros Maritim Dunia. Sebuah negara maritim yang besar, maju, adil-makmur,
dan berdaulat yang menjadi rujukan masyarakat dunia dalam hal: (1)
kemajuan, penguasaan, dan aplikasi IPTEK kelautan; (2) pembangunan
kemakmuran ekonomi negara dan kesejahteraan rakyat berbasis ekonomi
kelautan yang inovatif sekaligus inklusif; dan (3) pengembangan tata kelola
pemanfaatan ruang dan sumber daya kelautan (ocean governance) bagi
kesejahteraan seluruh umat manusia di dunia secara produktif, adil, dan
berkelanjutan (sustainable).
Konstruksi dan arsitektur (wujud) negara maritim Indonesia tidak hanya
mencakup dimensi ekonomi, tetapi juga hankam, lingkungan (environment),
IPTEK, budaya, dan kelembagaan. Pada intinya dimensi ekonomi mencakup
empat kelompok kebijakan dan program pembangunan. Pertama adalah
penguatan (revitalisasi) sektor-sektor ekonomi kelautan yang selama ini sudah
berjalan (existing marine economic sectors), seperti perikanan tangkap,
perikanan budidaya, pertambangan dan energi (ESDM), pariwisata bahari,
transportasi laut, dan industri dan jasa maritim. Revitalisasi yang dimaksud
adalah upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, keadilan
5
6. (inclusiveness), dan keberlanjutan (sustainability) dari sektor-sektor ekonomi
kelautan tersebut. Program ini sangat krusial, karena kecuali sektor ESDM,
sektor-sektor ekonomi kelautan lainnya masih kalah produktivitas, efisiensi, daya
saing, dan sustainability nya dibandingkan dengan negara-negara tetangga,
seperti Singapura, Malaysia, Thailand, China, dan Vietnam; apalagi dengan
Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Kendati sektor ESDM di wilayah pesisir dan
laut Indonesia telah menghasilkan produktivitas, efisiensi, dan daya saing
ekonomi yang sejajar dengan negara-negara industri maju, tetapi sebagian besar
keuntungannya dinikmati oleh kontraktor asing (Multi National Corporations).
Masyarakat yang hidup di wilayah pesisir dimana kegiatan ESDM itu berlangsung,
sebagian besar masih miskin. Yang lebih memprihatinkan, wilayah-wilayah
pesisir, pulau kecil, dan laut bekas kegiatan pertambangan dan energi sebagian
besar mengalami kerusakan lingkungan yang parah. Sehingga, setelah kegiatan
eksploitasi bahan tambang dan mineral selesai (pasca tambang), masyarakat
pesisir dan pulau-pulau kecil hanya mewarisi kondisi lingkungan yang rusak dan
kemiskinan.
Kedua adalah pengembangan sektor-sektor ekonomi kelautan yang baru,
seperti industri bioteknologi kelautan; industri air laut dalam (deep sea water
industry); budidaya perikanan di perairan laut dalam atau laut lepas (offshore
aquaculture) seperti yang dilakukan di Jepang, Norwegia, dan Amerika Serikat;
produksi energi terbarukan dari laut (pasang surut, gelombang, biofuel dari algae
laut, dan OTEC/Ocean Thermal Energy Conversion); dan sumber daya kelautan
non-konvensional lainnya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan sumber daya
kelautan non-konvensional adalah semua sumber daya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan yang belum bisa
dimanfaatkan untuk kehidupan dan kesejahteraan umat manusia, karena belum
tersedia teknologi pemanfaatannya atau karena secara ekonomi belum
menguntungkan, biaya eksplorasi dan eksploitasi lebih mahal ketimbang
pendapatan (renevnue) nya.
Supaya revitalisasi dan pengembangan sektor-sektor ekonomi kelautan
tersebut berhasil (sukses), yakni dapat menghasilkan produk dan jasa (goods and
services) kelautan yang berdaya saing (competitive), menciptakan banyak tenaga
kerja, meningkatkan kontribusi sektor-sektor ekonomi kelautan bagi
perekonomian nasional (PDB), dan mensejahterakan rakyat Indonesia secara
berkeadilan dan berkelanjutan. Maka, setiap unit (satuan) usaha (bisnis) di
sektor-sektor ekonomi kelautan harus memenuhi skala ekonomi (economy of
scale) nya. Skala ekonomi adalah besarnya (ukuran) unit usaha dengan tingkat
teknologi tertentu, yang keuntungan bersih (net profit) nya cukup untuk
mensejahterakan seluruh pelaku usahanya. Misalnya, skala ekonomi dalam
bisnis tambak udang dengan tingkat teknologi intensif adalah 1 hektar, sedangkan
untuk tingkat teknologi semi-intensif adalah 2 hektar. Dalam setiap bisnis
kelautan juga harus menerapkan sistem manajemen rantai suplai secara terpadu
(intergrated supply chain management system), yang mengintegrasikan mulai
dari subsistem pra produksi (pemilihan lokasi, penyediaan sarana produksi, dan
lainnya); subsistem produksi; subsistem pasca panen (handling and processing);
sampai ke pemasaran. Kemudian, di setiap mata rantai suplai, kita harus
6
7. menggunakan teknologi yang mutakhir (state of the art technology). Dan, yang
tak kalah pentingnya, setiap usaha dan pembangunan kelautan haruslah ramah
lingkungan.
Ketiga, pengembangan pusat-pusat (clusters) pertumbuhan ekonomi baru
berbasis industri yang inovatif dan ramah lingkungan di kawasan-kawasan pesisir
di sepanjang ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia), pulau-pulau kecil, dan
wilayah perbatasan untuk meningkatkan peran Indonesia sebagai bangsa
produsen dan pemasok barang dan produk dalam sistem rantai suplai global (the
Global Supply Chain System), bukan hanya sebagai bangsa konsumen (pasar)
beragam produk dan jasa dari bangsa-bangsa lain, seperti yang berlangsung
selama ini. Lebih dari itu, dengan berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan
baru di luar Jawa-Bali ini, maka akan mengurangi secara signifikan disparitas
pembangunan antar wilayah (Jawa-Bali vs luar Jawa-Bali, dan KBI vs KTI) yang
sangat timpang, yang membuat perkonomian Indonesia kurang efisien dan kurang
kompetitif. Dengan demikian laju urbanisasi, brain drain, beban (bencana)
ekologis dan sosial terhadap Pulau Jawa dan Bali akan terkurangi, dan
perekonomian Indonesia akan lebih produktif, berdaya saing, serta berkelanjutan.
Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru yang tersebar di
sepanjang wilayah pesisir ALKI (I, II, dan III), pulau-pulau kecil, dan wilayah
perbatasan akan menjelma sebagai sabuk kemakmuran (prosperity belt) yang
sekaligus sebagai sabuk pengaman (security belt) yang dapat memperkokoh
persatuan dan kesatuan NKRI.
Keempat, penguatan dan pengembangan konektivitas kelautan (’Tol Laut’)
terdiri dari pengembangan armada kapal penumpang dan barang, pelabuhan,
industri galangan dan reparasi kapal. Sistem Regular Liner Services (RLS)
seyogyanya digunakan dalam penguatan dan pengembangan armada angkutan
laut. Setiap pelabuhan harus dihubungkan dengan wilayah darat (hulu) melalui
berbagai moda transportasi, baik sungai, darat maupun udara.
Dalam jangka pendek sampai menengah (2015 – 2020), kita mesti
merevitalisasi dan mengembangkan sektor perikanan tangkap, perikanan
budidaya, industri pengolahan hasil perikanan (laut), industri bioteknologi
kelautan, ESDM, pariwisata bahari, dan industri dan jasa maritim supaya lebih
efisien, produktif, berkeadilan, dan berkelanjutan (sustainable).
1. Perikanan Tangkap: (1) membangun sekitar 2.000 armada kapal ikan
modern berbobot diatas 100 GT dengan alat tangkap (fishing gears) yang
efisien, tepat dan ramah lingkungan yang dioperasikan oleh nelayan dan
pengusaha nasional di wilayah-wilayah perairan laut yang masih
underfishing atau yang selama ini ikannya dicuri oleh nelayan asing,
seperti Laut Natuna, Laut Sulawesi, Laut Banda, Laut Arafura, perairan laut
di wilayah perbatasan, dan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia); (2)
secara bertahap (gradual) mengurangi intensitas penangkapan di wilayah-wilayah
perairan laut yang sudah overfishing, seperti Pantura, Pantai
Selatan Sulawesi, dan lainnya supaya stok ikannya pulih, sehingga hasil
tangkapan ikan dan pendapatan nelayan di wilayah ini meningkat; (3)
7
8. kelebihan kapal ikan (nelayan) dari wilayah-wilayah overfishing dipindah-usahakan
ke wilayah-wilayah perairan laut yang masih underfishing,
wilayah-wilayah perairan laut yang menjadi ajang pencurian ikan oleh
nelayan asing, atau usaha-usaha KP lainnya seperti usaha budidaya ikan
dan industri pengolahan hasil perikanan; (4) selama nelayan tidak melaut
karena cuaca buruk atau musim paceklik ikan (biasanya sekitar 3 bulan
dalam setahun) akan disediakan mata pencaharian substitusi berupa usaha
budidaya perikanan dan lainnya sesuai potensi ekonomi setempat; (5) BBM,
alat tangkap, mesin kapal, beras, lauk-pauk dan sarana produksi lainnya
akan disediakan di seluruh pelabuhan perikanan dan lokasi pendaratan
ikan lain/pemukiman nelayan di seluruh wilayah NKRI dalam jumlah
mencukupi dan harga relatif murah; (6) perbaikan cara-cara nelayan
menangani (handling) ikan hasil tangkapan sejak dari kapal ikan sampai ke
pelabuhan perikanan/lokasi pendaratan ikan supaya kualitasnya tetap
baik, sehingga harga jualnya tinggi (menguntungkan nelayan); (7)
revitalisasi pelabuhan-pelabuhan perikanan yang ada dan membangun yang
baru sesuai kebutuhan sebagai kawasan industri perikanan terpadu,
sehingga fungsi pelabuhan tidak hanya sebagai tempat tambat-labuh kapal
ikan, tetapi juga sebagai penyedia sarana produski, industri pengolahan
hasil perikanan, dan pasar yang menjamin ikan hasil tangkapan nelayan
dengan harga sesuai nilai keekonomian setiap saat; (8) pemberantasan IUU
(Illegal, Unregulated, and Unreported) fishing practices sampai tuntas
dengan memperkuat dan mengembangkan sistem MCS (Monitoring,
Controlling and Surveillance) yang sudah ada, termasuk penggunaan
drone; dan (9) menerapkan regulasi manajemen perikanan tangkap yang
bertanggung jawab (Responsible Fisheries) secara konsisten dan
berkesinambungan supaya stok ikan dan usaha perikanan dapat
berlangsung secara menguntungkan dan berkelanjutan.
2. Perikanan Budidaya: (1) peningkatan produktivitas, efisiensi, dan
keberlanjutan (sustainability) semua usaha perikanan budidaya yang ada
(existing) baik yang di perairan laut, payau, PUD, kolam air tawar, saluran
irigasi, sawah, akuarium maupun wadah (media) lainnya dengan
mengaplikasikan Best Aquaculture Practices (bibit dan benih unggul,
pemberian pakan berkualitas secara benar, pengendalian hama & penyakit,
pengelolaan kualitas air dan tanah, pond engineering, dan biosecurity); (2)
penguatan dan pengembangan usaha budidaya komoditas unggulan: udang
Vanammei, udang Windu, udang galah, kerapu, kakap, bandeng, bawal
bintang, nila, gurame, emas, patin, lele, kepiting bakau dan kepiting soka,
rumput laut, dan kerang mutiara dengan menerapkan Best Aquaculture
Practices. Contoh dalam 5 tahun kedepan akan dikembangkan 700.000 ha
tambak (58% total potensi tambak), yang alokasinya 200.000 ha tambak
udang Vanammei intensif; 100.000 ha tambak udang Windu semi-intensif;
100.000 ha tambak bandeng; 100.000 ha tambak kepiting, nila
saline dan kerapu lumpur; dan 100.000 ha tambak rumput laut jenis
Gracilaria spp. Ini akan menghasilkan total nilai ekonomi (gross revenue)
sekitar 40 milyar dolar AS (Rp 440 trilyun) per tahun dan lapangan kerja
sekitar 8 juta orang; (3) pengembangan usaha budidaya untuk spesies-
8
9. spesies baru (diversifikasi) seperti teripang, abalone, lobster, ikan tuna, ikan
gobia, ikan belida, dan ikan hias jenis baru; (4) penguatan (revitalisasi)
industri pakan existing dan pembangunan baru baik dengan basis protein
tepung ikan, micro algae, magot maupun sumber protein lainnya supaya
pasok pakan berkualitas dengan harga relatif murah mencukupi kebutuhan
secara berkelanjutan di seluruh wilayah NKRI; (5) penguatan unit
pembenihan (hatchery) existing dan pembangunan unit pembenihan
supaya bisa menghasilkan benih unggul (SPF, SPR) dengan harga relatif
murah dan jumlah yang mencukupi kebutuhan di seluruh wilayah NKRI;
dan (6) pengembangan produksi vaksin, growth hormone, obat-obatan, dan
lainnya yang ramah lingkungan untuk mendukung produktivitas, efisiensi,
dan sustainability usaha perikanan budidaya.
3. Industri Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan dan Kelautan: (1)
Memastikan bahwa seluruh produk industri pengolahan hasil KP memenuhi
standar mutu dan keamanan pangan nasional maupun internasional; (2)
pengembangan produk industri olahan ikan baru sesuai dinamika
konsumen (pasar) domestik maupun global; (3) penguatan dan
pengembangan karantina ikan dan biota periaran lainnya; (4) penguatan
dan pengembangan pasar domestik; dan (4) penguatan dan pengembagan
pasar ekspor.
4. Industri Bioteknologi Kelautan dan Perikanan: (1) ekstraksi senyawa
bioaktif (natural product) dari organisme (biota) perairan laut maupun PUD
sebagai bahan baku untuk industri farmasi, kosmetik, film, cat, dan
berbagai jenis bioindustri lainnya; (2) pengembangan biofuel dari algae dan
biota perairan lainnya; (3) rekayasa genetik (genetic engineering) dan
aplikasi nanoteknologi untuk menghasilkan bibit dan benih unggul; dan (4)
pengembangan industri bioremediasi.
5. Pengembangan tambak dan industri garam menuju Indonesia bukan
hanya swasembada tetapi juga pengekspor garam konsumsi dan
industri.
6. Pembangunan Pulau-Pulau Kecil sebagai pusat pertumbuhan ekonomi
(kemakmuran) baru yang produktif, efisien, inklusif, dan ramah
lingkungan secara berkelanjutan melalui investasi oleh BUMN, swasta,
BUMR (Badan Usaha Milik Rakyat) setempat, dan skema investasi
lainnya.
7. Pengembangan usaha ekonomi SDA dan Jasa-Jasa Lingkungan non-konvensional,
seperti deep seawater industries, energi kelautan
(gelombang, pasang surut, dan OTEC), dan lainnya.
8. Pengembangan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut supaya
pembangunan ekonomi KP dapat berlangsung secara berkelanjutan
(sustainable): (1) implementasi tata ruang wilayah pesisir dan laut
secara terpadu, (2) pengendalian pencemaran, (3) konservasi
9
10. biodiversity baik in situ maupun ex situ, (4) design and construction
with nature, dan (5) mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim
Global (termasuk pengembangan energi baru dan terbarukan untuk
kapal ikan dan kapal pengangkut ikan), tsunami, dan bencana alam
lainnya.
9. Pengembangan kapasitas dan etos kerja SDM Kelautan dan Perikanan
melalui program DIKLATLUH (Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan)
secara sistematis dan berkesinambungan.
10. Penguatan dan pengembangan R & D (Penelitian dan Pengembangan)
supaya kita berhenti sebagai bangsa konsumen dan menjadi bangsa
produsen teknologi. Selain itu, supaya ekonomi KP Indonesia mampu
bersaing dengan negara-negara lain.
11. Penciptaan iklim investasi dan bisnis KP yang kondusif: (1) kebijakan
fiskal dan moneter yang mendukung kinerja sektor KP; (2) penyediaan
kredit perbankan dengan bunga yang lebih murah dan persyaratan lebih
lunak seperti di negara-negara maju dan emerging economies lainnya;
(3) perizinan dan pembebasan lahan; (4) ketenaga kerjaan; (5)
perpajakan; (6) keamanan berusaha; dan (7) konsistensi kebijakan
pemerintah.
Untuk mendukung pembangunan ekonomi kelautan semacam itu, diperlukan
lembaga perbankan khusus untuk pembiayaan sektor-sektor ekonomi kelautan dengan
suku bunga relatif rendah dan persyaratan pinjam yang relatif lunak seperti halnya di
negara-negara ASEAN dan emerging economies lainnya. Peningkatan kualitas dan
pengembangan SDM kelautan, baik melalui jalur pendidikan formal (PAUD, Dikdasmen
sampai Perguruan Tinggi) maupun jalur non-formal atau DIKLATLUH (Pendidikan,
Pelatihan, dan Penyuluhan). Kelembagaan dan aktivitas R & D (Research and
Development) terkait kelautan dalam arti luas harus ditingkatkan dan dikembangkan,
supaya Indonesia menjadi bangsa yang mampu menguasai, menghasilkan, dan
menerapkan teknologi dalam kiprah kehidupan dan pembangunan nya. Dengan
demikian, segenap produk dan jasa kelautan yang dihasilkan akan memiliki nilai tambah
dan daya saing yang tinggi secara berkelanjutan.
Akhirnya, kita mesti melalukan perubahan paradigma (paradigm shift)
pembangunan nasional, dari land-based development menjadi ocean-based
development. Dengan begitu, seluruh kebijakan publik, infrastruktur, dan
sumberdaya finansial secara terintegrasi diarahkan untuk menunjang
pembangunan kelautan. Ini bukan berarti kita melupakan pembangunan di
darat. Kita justru secara sinergis dan proporsional harus mengintegerasikan
pembangunan sosial-ekonomi di darat dan di laut. Melalui reorientasi
pembangunan dari basis daratan ke lautan, maka pelabuhan, armada pelayaran
(transportasi laut) akan lebih maju dan efisien, yang selanjutnya akan membuat
semua produk dari ekonomi daratan (pertanian tanaman pangan, hortikultur,
perkebunan, kehutanan, peternakan, bahan tambang dan mineral, dan
manufaktur) akan lebih berdaya saing, karena biaya logsitik akan lebih murah
dan pergerakan barang bakal lebih cepat.
10
11. Dengan peta jalan pembangunan kelautan seperti di atas, Insya Allah
Indonesia tidak hanya bakal menjadi negara maritim yang besar, kuat, maju,
makmur dan berdaulat, tetapi juga akan menjadi poros (kiblat) maritim dunia
dalam waktu tidak terlalu lama, 2025.
Bahan Rujukan
Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan.
Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap pada Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, IPB. p. 125.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. PT. Gramedia Pustakatama, Jakarta p. 412.
Dahuri, R., T. Kusumastanto, A. Hartono, P. Anas and P. Hartono. 2009.
Enhancing Sustainable Ocean Development: An Indonesian Experience.
Center for Coastal and Marine Resource Studies, Bogor Agricultural
University and Partnership for Government Reform. Kreasi Warna
Publishing, Jakarta. p. 224.
Stopford, M. 2004. Maritime Economics. 2nd Edition. Routledge Publishing Co.,
London. p. 562
11