Makalah ini membahas cara mengatasi permasalahan ketersediaan pakan di Indonesia dengan melihat potensi sumber daya alam di Jawa Timur. Beberapa alternatif bahan pakan yang dibahas antara lain onggok dan tepung kulit kakao yang dapat ditingkatkan kualitasnya melalui proses fermentasi untuk meningkatkan kandungan protein dan menurunkan serat kasar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak.
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
MENYEDIAKAN PAKAN ALTERNATIF
1. MAKALAH PERMASALAHAN USAHA AGRIBISNIS
MENGATASI PERMASALAHAN PAKAN DI
INDONESIA DENGAN MELIHAT POTENSI YANG
ADA DI JAWA TIMUR
Dosen Pengampu : Ir. Andang Andiani Listyowati, M.Si
Disusun Oleh
Dewi Inne Kumalasari
06.2.4.17.814
II A
SEKOLAH TINGGIPENYULUHAN PERTANIAN (STPP) MAGELANG
JURUSAN PENYULUHAN PETERNAKAN
TAHUN 2017/2018
2. KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penyusunan
makalah permasalahan usaha agribisnis tentang mengatasi permasalahan pakan di Indonesia
tepat pada waktunya tanpa ada halangan suatu apapun.
Makalah ini disusun dalam rangka untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Permasalahan
Usaha Agribisnis di STPP Magelang Jurusan Penyuluhan Peternakan tahun pelajaran
2017/2018. Atas terselesaikannya pembuatan makalah ini, penyusun mengucapkan banyak
terimakasih kepada :
1. Ir. Ali Rachman, M.Si selaku ketua Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang.
2. Ir. Andang Andiani Listyowati, M. Si selaku dosen pengampu mata kuliah
Permasalahan Usaha Agribisnis.
3. Semua pihak yang telah membantu pembuatan laporan hasil praktikum ini baik
langsung maupun tidak langsung.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu,
penyusun mohon kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa
mendatang.
Akhir kata semoga makalah ini berguna bagi para pembaca umumnya dan penyusun
khususnya.
Magelang, Mei 2018
Penulis
3. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pakan merupakan salah satu komponen utama yang penting dalam suatu usaha
peternakan. Pakan memegang peran penting bagi produktifitas ternak. Pakan yang
diberikan pada ternak khususnya pada ternak ruminansia adalah pakan yang mengandung
serat, protein serta zat nutrisi lain yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup ternak,
oleh sebab itu pakan haruslah tetap tersedia. Akan tetapi, pada kenyataannya,
ketersediaan bahan pakan sampai saat ini masih menjadi pembatas dalam pengembangan
usaha peternakan di Indonesia. Hal tersebut terjadi karena lahan hijauan terbatas, dan
biaya pakan dapat mencapai 60-70% dari total biaya produksi peternakan, sehingga
membuat peternak cenderung merugi dan kesulitan dalam mengembangkan usaha
peternakan. Ketersediaan pakan hijauan semakin berkurang karena semakin sempitnya
tanah pertanian yang dapat menghasilkan pakan hijauan. Hal ini disebabkan oleh
bertambahnya pembangunan gedung-gedung untuk perumahan, perkantoran, dan
perindustrian. Sehingga, perlu dilakukan alternatif lain dalam penyediaan pakan
hijauan, salah satunya berasal dari limbah.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara mengatasi permasalahan pakan di Indonesia?
2. Dengan melihat potensi di daerah masing-masing, bagaimana cara yang bisa
dilakukan para peternak untuk membuat persediaan hijauan disamping
ketersediaannya yang semakin terbatas?
4. BAB II
PEMBAHASAN
Pemecahan masalah tersebut dapat diatasi dengan melakukan eksplorasi sumber
bahan non konvensional yang lebih murah, dapat menekan biaya produksi bahan pakan,
memiliki kandungan nutrisi yang lengkap, tersedia dalam jumlah banyak serta tidak bersaing
dengan kebutuhan manusia, dan harganya yang sangat murah. Oleh sebab itu, diperlukan
pakan alternatif yang dapat mengatasi masalah tingginya biaya produksi dalam pengadaan
pakan sumber protein dan sumber energi sehingga kebutuhan ternak dapat terpenuhi.
Kelaziman penggunaan suatu bahan sebagai bahan penyusun ransum ternak
menghasilkan istilah bahan pakan konvensional dan non konvensional. Bahan pakan
konvensional adalah bahan pakan yang sudah umum atau biasa digunakan dalam penyusunan
ransum dan istilah bahan pakan nonkonvensional berarti bahan pakan yang jarang atau belum
banyak digunakan dalam penyusunan ransum. Pengelompokkan bahan pakan kedalam bahan
pakan nonkonvensional dapat berubah seiring tingkat pemanfaatannya dalam ransum.
Bahan pakan nonkonvensional sering diidentikkan sebagai bahan pakan alternatif
yang tengah dievaluasi kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya sebagai bahan pakan. Sebagian
besar limbah pertanian, perkebunan, limbah agroindustri, limbah peternakan dan limbah
perikanan dikategorikan sebagai bahan pakan nonkonvensional. Beberapa jenis limbah
lainnya, seperti dedak, bekatul, bungkil kedelai dan tepung tidak dapat digolongkan sebagai
bahan pakan nonkonvensional. Dengan demikian, tidak semua limbah digolngkan kedalam
bahan pakan nonkonvensional dan bahan pakan nonkonvensional tidak hanya berasal dari
limbah pertanian.
Kandungan serat yang terkandung dalam bahan pakan sering dijadikan sebagai acuan
pengelompokkan bahan pakan menjadi konsentrat dan hijauan. Konsentrat dapat berasal dari
tanaman pangan beserta produk ikutannya (jagung, dedak, bungkil kedelai), dari hewan
(tepung ikan, tepung darah) dan atau dari proses fermentasi (protein sel tunggal). Hijauan
berupa rumput-rumputan dan kacang-kacanga baik dalam bentuk segar, kering maupun
produk awetannya.
Dengan melihat potensi alam sekitar yang ada di daerah Jawa Timur dan sekitarnya
ada beberapa alternative yang bisa digunakan sebagai sumber pakan ternak diantarannya:
a. Onggok
5. Onggok merupakan produk samping pengolahan ubi kayu menjadi tapioka.
Dari setiap ton ubi kayu dapat dihasilkan 114 kg onggok. Onggok mengandung air
cukup tinggi (81-85%), dan dapat menjadi sumber pencemaran atau polusi udara/
lingkungan, terutama di wilayah produksi apabila tidak ditangani dengan baik.
Onggok sebenarnya berpotensi sebagai bahan pakan. Namun, kualitas yang rendah
(protein kasar sekitar 1,55% dan serat kasar 10,44% bahan kering), menjadi pembatas
utama penggunaan onggok sebagai bahan pakan, baik untuk ternak monogastrik
maupun ternak ruminansia. Untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan, maka
kualitas onggok perlu ditingkatkan.
Pengolaha Onggok Terfermentasi Sebagai Bahan Pakan
Salah satu pendekatan yang sedang dirintis Balai Penelitian Ternak untuk
meningkatkan kualitas onggok adalah melalui teknologi fermentasi/ biofermentasi.
Proses fermentasi dilakukan dengan menggunakan spora Aspergillus niger (koleksi
Balitnak). Kegiatan diawali dengan pembiakan spora pada media potatos dextrose
agar (PDA), yang selanjutnya produksi spora dilakukan secara massal dengan
menggunakan media beras yang telah dikukus selama 5 hari pada suhu ruang. Spora
yang terbentuk dipanen, dikeringkan pada suhu 45oC dan digiling, untuk selanjutnya
siap digunakan.
Setiap 1 kg onggok ditambahkan campuran mineral yang tersusun dari 40 g
urea, 5 g MgSO4, 72 g ZA [(NH4)2 SO4], 1,5 g KCl, 15 g NaH2PO4 dan 0,75 g
FeSO4. Onggok yang telah diberi campuran mineral tersebut selanjutnya diberi
serbuk spora satu sendok makan (6-8 g), dan ditambahkan air panas untuk
memperoleh kadar akhir adonan 60%. Selanjutnya adonan ditempatkan pada wadah/
baki plastik.Fermentasi dilakukan selama 3-5 hari.
Proses fermentasi yang berhasil ditandai dengan munculnya warna keabuan
dan kompak pada permukaan adonan. Apabila ditemukan warna miselium yang
kehitam-hitaman, berarti proses fermentasi berlangsung tidak sempurna atau telah
terjadi kontaminasi. Onggok yang terfermentasi sempurna kemudian dipanen,
dikeringkan, dan digiling untuk selanjutnya digunakan sebagai salah satu bahan baku
ransum. Onggok yang difermentasi memiliki nilai gizi yang lebih baik dibanding yang
tidak difermentasi. Kandungan protein kasar meningkat dari 2% menjadi 18% bahan
6. kering, atau meningkat 900%. Sementara kandungan serat kasar onggok terfermentasi
cenderung menurun.
Tabel komposisi gizi onggok
Gizi Tanpa fermentasi (% BK) Fermentasi (% BK)
Protein kasar 2,2 18,6
Karbohidrat 51,8 36,2
Abu 2,4 2,6
Serat kasar 10,8 10,46
Onggok yang telah difermerntasi dianalisa kandungan nutriennya, antara
onggok dan onggok terfermentasi berbeda. Yaitu, kandungan protein kasar dan
protein sejati, masing-masing meningkat dari 2,2 menjadi 18,6%. Sedang
karbohidratnya menurun dari 51,8 menjadi 36,2% Sementara kandungan serat kasar
onggok terfermentasi cenderung menurun. (Tabel1). Hal ini terjadi karena selama
fermentasi, kapang A. niger menggunakan zat gizi (terutama karbohidrat) untuk
pertumbuhannya. Dan kandungan protein meningkat dari 2,2 menjadi 18,6%, dengan
menggunakan urea dan ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen.
Penggunaan Sebagai Pakan
Hasil penelitian Tabrany S, dkk menunjukkan bahwa fermentasi onggok
dengan Aspergillus niger sampai 4 minggu secara statistik sangat nyata (p<0,01)
meningkatkan kandungan protein kasar onggok terolah dan menurunkan (p<0,01)
kandungan HCN onggok terolah serta cenderung meningkatkan kandungan GE
onggok terolah.
Mutu onggok dapat ditingkatkan sebagai bahan baku pakan sumber protein,
yang pemanfaatannya dapat dikembangkan pada tingkat peternak. Bila ditinjau
dari aspek kandungan proteinnya, maka kemungkinan ke depan, penggunaan
onggok terfermentasi untuk pakan unggas memiliki prospek yang baik dan diharapkan
dapat menggantikan jagung/dedak atau polard. Pengguna onggok terfermentasi
dalam ransum memberikan efesiensi produksi yang lebih baik dan biaya produksi
lebih rendah.
b. Tepung Kulit Kakao
7. Kulit buah kakao (shel fod husk) adalah merupakan limbah agroindustri yang
dihasilkan tanaman kakao (Theobroma cacao L.) Buah coklat yang terdiri dari 74 %
kulit buah, 2 % plasenta dan 24 % biji. Hasil analisa proksimat mengandung 22 %
protein dan 3-9 % lemak (Nasrullah dan A. Ella, 1993). Pakar lain menyatakan kulit
buah kakao kandungan gizinya terdiri dari bahan kering (BK) 88 % protein kasar
(PK) 8 %, serat kasar (SK) 40,1 % dan TDN 50,8 % dan penggunaannya oleh ternak
ruminansia 30-40 %. Buah kakao perlu difermentasikan terlebih dahulu untuk
menurunkan kadar lignin yang sulit dicerna oleh hewan dan untuk meningkatkan
kadar protein dari 6-8 % menjadi 12-15 %. Pemberian kulit buah kakao yang telah
diproses pada ternak sapi dapat meningkatkan berat badan sapi sebesar 0,9 kg/ hari.
Proses Pengolahan Dengan Fermentasi
Melalui proses fermentasi, nilai gizi limbah kulit buah kakao dapat
ditingkatkan, sehingga layak untuk pakan penguat kambing maupun sapi, bahkan
untuk ransum babi dan ayam. Salah satu fermentor yang cocok untuk limbah kulit
buah kakao adalah Aspergillus niger . Manfaat fermentasi dengan teknologi ini antara
lain :
- Meningkatkan kandungan protein
- Menurunkan kandungan serat kasar
- Menurunkan kandungan tanin (zat penghambat pencernaan)
Proses Pengolahan Limbah Kulit Buah Kakao dengan Fermentasi :
1. Dicingcang
2. Dibasahi larutan Aspergillus
3. Ditutup dengan goni/ plastik
4. Dikeringkan 2-3 hari
5. Digiling
Proses Pengolahan Limbah Kulit Buah Kakao Tanpa Fermentasi
Kumpulkan limbah kulit buah kakao dari hasil panen lalu dicingcang.
Kemudian dijemur pada sinar matahari sampai kering yang ditandai dengan cara
mudah dipatahkan atau mudah hancur kalau diremas. Setelah kering ditumbuk dengan
menggunakan lesung atau alat penumbuk lainnya, kemudian dilakukan pengayakan.
Untuk meningkatkan mutu pakan ternak, maka tepung kulit buah kakao dapat
dicampur dengan bekatul dan jagung giling masing-masing 15 %, 35 % dan 30 %. Ini
8. artinya bahwa ransum tersebut terdiri atas 15 % tepung kulit buah kakao, 35 %
bekatul dan 30 % jagung giling.
Tabel 2. Komposisi kulit buah kakao segar dan fermentasi
Nutrisi Kulit kakao segar Kulit kakao fermentasi
Bahan kering % 14,5 18,4
Protein % 9,15 12,4
Lemak % 1,25 1,32
Serat kasar % 32,7 24,7
TDN % 50,3 53,2
Ca 0,29 0,21
Penggunaan Sebagai Pakan
1. Pada awal pemberian, biasanya ternak tidak langsung mau memakannya. Karena
itu berikanlah pada saat ternak lapar dan bila perlu ditambah sedikit garam atau
gula untuk merangsang nafsu makan.
2. Tepung limbah hasil fermentasi bisa langsung diberikan kepada ternak, atau
disimpan. Penyimpanan harus dengan wadah yang bersih dan kering.
3. Untuk ternak ruminansia (sapi, kambing) limbah kakao olahan bisa dijadikan
pakan penguat, untuk mempercepat pertumbuhan atau meningkatkan produksi
susu. Bisa diberikan sebagai pengganti dedak, yakni sebanyak 0,7-1,0 % dari berat
hidup ternak.
4. Pada ayam buras petelur pemberian limbah kakao sebagai pengganti dedak hingga
36 % dari total ransum dapat meningkatkan produksi telur. Kulit buah kakao
dikeringkan/ dijemur ditumbuk diayak pencampuran pakan ternak
5. Pada ternak kambing menunjukkan bahwa ternak nampak sehat, warna bulu
mengkilat dan pertambahan berat badan ternak dapat mencapai antara 50-150
gram per ekor per hari.
6. Untuk babi dapat juga diberikan sebagai pengganti dedak padi dalam ransum
sekitar 35-40 %.
c. Kulit Pisang Sebagai Probiotik
Pada beberapa penelitian menunjukkan pemberian pakan buatan yang
mengandung tepung kulit pisang dapat meningkatkan produksi ayam kampung dilihat
9. dari pertambahan berat badan, konsumsi pakan, konversi pakan, kadar kolesterol
dalam serum darah, daging, hati, feses, dan berat organ pencernaan.
Pemberian pakan buatan yang mengandung tepung kulit pisang juga dapat
menghasilkan daging ayam broiler dengan kadar kolesterol rendah. Hal ini
menunjukkan kulit pisang dapat dimanfaatkan sebagai pakan unggas yang dapat
menghasilkan produk yang rendah kolesterol. Oleh karena itu, diperlukan produk
ternak unggas yang sehat dan rendah kolesterol. Hal ini dapat dilakukan dengan
memanfaatkan kulit pisang sebagai pakan unggas.
Pengolahan Kulit Pisang
Untuk menghasilkan prebiotik dari kulit pisang akan difermentasikan menggunakan
bakteri isolate rumen. Teknik fermentasi akan mengunakan metoda Tilley and Terry
(1963) yang biasa digunakan dalam kajian kecernaan pakan.
Kandungan Nutrisi kulit pisang :
- 1,00 gram protein
- 28 gram karbohidrat
- 2,8 gram serat
- 0,6 gram lemak
- 467 mg natrium
- 1,00 mg kalium
- 9.2 mg kalsium
- 44,1 mg magnesium
- 5,1% vitamin A
- 20% vitamin C
- vitamin B
- 2,6% tiamin
- 5,3% riboflavin
- dan 4% niasin (US RDA, 1963 dan Margen, 2002).
Penggunaan Sebagai Pakan
Prebiotik kulit pisang sangat berpotensi untuk menggantikan antibiotik dalam
pakan sehingga dapat mengurangi dampak negatif dari penggunaan antibiotik
tersebut. Selain itu dapat membantu dalam pengolahan limbah kulit pisang yang
memiliki jumlah yang sangat banyak. Kulit pisang mengandung serat kasar sehingga
10. dapat difermentasi dengan bantuan mikroba isolate rumen menjadi oligo-fruktosa
yang merupakan bahan dasar dari prebiotik. Melalui penggunaan prebiotik dapat
menciptakan peternakan organic yang ramah lingkungan
d. Tepung Umbi jalar
Umbi jalar (Ipomea batatas) merupakan produk negara-negara Asia (90% dari
produk dunia). Umbi jalar digunakan sebagai pakan sumber energi, kandungan
energinya mirip dengan jagung. Namun kandungan proteinnya rendah sekali. Anti
nutrisi terdapat pada umbi segar, yaitu anti tryptic, namun dapat dihilangkan dengan
pengeringan. Perebusan sebelum pengeringan akan memberikan hasil yang baik
karena dapat meningkatkan nilai pakan. Karena berbentuk tepung, penggunaannya
tidak dapat menggantikan jagung secara keseluruhan. Penggunaannya
direkomendasikan sampai batas 24-30% untuk mendapatkan hasil yang baik. Apabila
suplementasi protein dan penghilangan kulit umbi dilakukan, maka penggunaan
sampai batas 50% dapat dilakukan.
Komposisi Nutrisi
Tabel 1. Kandungan gizi dalam tiap 100 gram ubi jalar segar
Kandungan gizi
Banyaknya dalam umbi
Putih Merah Kuning
Kalori (kal) 123,0 123,0 136,0
Protein (g) 1,80 1,80 1,10
Lemak (g) 0,70 0,70 0,40
Karbohidrat (g) 27,90 27,90 32,30
Kalsium (mg) 30,00 30,00 57,00
Fosfor (mg) 49,00 49,00 52,00
Zat besi (mg) 0,70 0,70 0,70
Natrium (mg) - - 5,00
Kalium (mg) - - 393,0
Air (g) 68,50 68,50 -
Bagian yang dapat
dimakan(%)
86,00 86,00 -
11. Kandungan pati ubi jalar dipengaruhi oleh umur tanaman. Semakin meningkat umur
panen, kandungan pati umbi juga semakin meningkat, tetapi setelah mencapai titik
tertentu kandungan patinya akan semakin menurun. Hal ini sesuai dengan fase
pertumbuhan ubi jalar di mana saat awal pertumbuhan terjadi pemanjangan dan
pertumbuhan cabang-cabang baru. Semakin banyak cabang, permukaan daun makin
luas, sehingga penyerapan sinar matahari semakin tinggi. Akibatnya, diperoleh hasil
fotosintesa (berupa pati) yang cukup banyak. Namun, semakin tua umur tanaman,
aktifitas tanaman semakin menurun. Fenomena ini mengakibatkan kadar pati umbi akan
menurun dengan semakin tua umur umbi (Edmond and Ammerman, 1971 dalam
Antarlina 1991)
e. Ubi kayu
Limbah ubi kayu yang diperoleh dari tanaman ubi kayu(Manihot esculenta,
Crantz) merupakan limbah agroindustri tepung tapioka, yang pada umumnya dibuang.
Menurut Badan Pusat Statistik (2012) produksi ubi kayu di Sumatera Barat tahun
2011 adalah 190.016 ton/tahun. Potensi limbah ubi kayu yang dihasilkan sebanyak
16% dari produksi ubi kayu (Darmawan, 2006), maka diperkirakan jumlah limbah ubi
kayu pada tahun 2012 yaitu 30.402,56 ton/tahun, yang berpotensi sebagai pakan
ternak.
Anti nutrisi HCN (asam sianida)dapat dikurangi dengan perlakuan fisik dan
biologi. Perlakuan fisik diantaranya dengan pemanasan, pencacahan, dan
perendaman. Perlakuan biologi dapat dilakukan dengan fermentasi. Proses fermentasi
tidak hanya meningkatkan kandungan gizi kulit ubi kayu, tetapi juga mampu
mengurangi kandungan anti nutrisi dari kulit ubi kayu tersebut (Nuraini dkk, 2014).
Penggunaan limbah ubi kayu sebagai pakan ternak terkendala dengan
kandungan serat kasar yang tinggi dan adanya zat antinutrisi HCN. Menurut Siswanti
(1993) kulit ubi kayu hanya dapat dipakai sampai level 10% dalam ransum broiler,
karena rendahnya protein kasar, tingginya serat kasar dan adanya anti nutrisi HCN.
Pengolahan ubi kayu dengan fermentasi Phanerochaete chrysosporium dan
Neurospora crassa
Perlakuan protein kasar % nitrogen % serat kasar %
A Pc:Nc 14,75 60,41 14,27
12. (1:1)
B
Pc:Nc(2:1)
16,39 62,70 12,50
C Pc:
Nc(3:1)
18,65 64,22 10,78
f. Kulit kopi
Dalam kondisi segar buah kopi terdiri dari kulit buah 45%, mucilage (bagian
daging buah yang berlendir) 10%, kulit biji 5% dan biji 40% (Murni dkk., 2008),
dengan demikian di perkirakan potensi ketersediaan kulit buah kopi mencapai 6,211
ton pada tahun 2013.
Kulit buah kopi mengandung protein kasar 10,78% tetapi mengandung serat kasar
tinggi yaitu 33,13%, lignin 16,67% dan selulosa 11,22% (Nuraini dkk, 2014) dan
menurut Balai Penelitian Pasca Panen Pertanian Bogor (2003), kulit buah kopi
mengandung zat anti nutrisi yaitu tanin sebesar 2,47% dan kafein 1,36%. Menurut
Murni dkk (2008) kandungan nutrisi kulit buah kopi adalah protein kasar 9.31%,
serat kasar 32.6%, abu 7.3%, lemak kasar 1.8% dan BETN 48.6%. Sebagai pakan
ternak kandungan nutrisi dari kulit buah kopi masih rendah. Kulit buah kopi juga
mengandung zat anti nutrisi yaitu tanin dan kafein. Kandungan tanin kulit buah kopi
dilaporkan mencapai 0,46 % (Donkoh et al., 1988). Penggunaan kulit buah kopi
sebagai pakan ternak menurut Muryanto dkk. (2004) melaporkan bahwa pemberian
5% kulit buah kopi pada ransum tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot
badan ayam broiler. Buah kopi terdiri dari beberapa bagian yaitu kulit buah dan biji
kopi. Biji kopi terdiri dari dua bagian yaitu (1) kulit biji yang merupakan selaput tipis
membalut biji yakni yang disebut selaput perak atau kulit ari, dan ke (2) putih
lembaga (endosperma). Kulit buah kopi menurut Semangun (1996)terdiri dari : 1).
Lapisan bagian luar tipis/Exocarp, lapisan ini kalau sudah masak berwarna merah, 2).
Daging buah/Mesocarp; daging buah ini mengandung serabut yang bila sudah masak
berlendir dan rasanya manis dan 3). Kulit tanduk atau kulit dalam/Endocarp yang
merupakan lapisan tanduk yang menjadi batas kulit dan biji yang keadaannya agak
keras.
Pengolahan kulit kopi dengan fermentasi Phanerochaete chrysosporium dan
Neurospora crassa
13. Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan ß-1,4 glukosida dalam
rantai lurus. Selulosa adalah rantai panjang molekul gula yang dihubungkan satu sama
lain untuk memberikan kekuatan pada kayu yang luar biasa. Selulosa merupakan
komponen utama penyusun dinding sel tanaman. Kandungan selulosa pada dinding
sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman (Lynd et al.,
2002). Lignin merupakan penyusun sel tanaman yang menjadi bagian dari dinding sel.
Lignin adalah suatu polimer yang komplek dengan bobot molekul tingi yang tersusun
atas unitunit fenilpropana. Di alam keberadaan lignin pada kayu berkisar antara 25-
30%, tergantung pada jenis kayu atau factor lain yang mempengaruhi perkembangan
kayu. Pada kayu, lignin umumnya terdapat di daerah lamela tengah dan berfungsi
pengikat antar sel serta menguatkan dinding sel kayu.
Saluran pencernaan manusia dan ternak non ruminansia tidak mempunyai
enzim yang mampu memecah ikatan ß-1,4 glukosida sehingga tidak dapat
dimanfaatkan selulosa. Penurunan selulosa dan lignin bisa dilakukan melalui
fermentasi menggunakan mikro organisme yang bersifat selulolitik (penghasil enzim
selulase) dan ligninolitik (penghasil enzim ligninase). Penurunan selulosa dan lignin
terhadap limbah buah kopi yang difermentasi dengan Phanerochaeta chrysosporium
dan Neurospora crassa.
Nuraini (2006), menyatakan bahwa semakin banyak dosis inokulum yang
dipakai maka semakin banyak kapangyang tumbuh dan semakin banyak bahan yang
dirombak. Cepat lambatnya fermentasi sangat menentukan jumlah enzim yang
dihasilkan, semakin lama waktu fermentasi yang digunakan akan semakin banyak
bahan yang dirombak oleh enzim. Waktu fermentasi dalam memproduksi enzim yang
berbeda menghasilkan aktivitas enzim yang berbeda. Besarnya dosis inokulum akan
mempengaruhi biomassa dan sintesa protein. Sedikit dosis inokulum yang dipakai
maka semakin sedikit pula sumbangan tubuh kapang dan enzim yang diekskresikan
juga sedikit akibatnya pada perlakuan tersebut peningkatan protein kasar rendah.
Selain itu fermentasi dengan menggunakan Phanerochaeta chrysosporium dapat
merubah komponen yang sulit dicerna menjadi lebih mudah dicerna misalnya selulosa
dan hemiselulosa menjadi gula sederhana sehingga meningkatkan nilai gizi protein
dan metabolis (Sembiring, 2006). Sedangkan kapang Neurosporacrassa merupakan
salah satu kapang yang dapat menghidrolisis protein komplek menjadi peptida-peptida
dan asam-asam amino bebas, serta mampu mengahsilkan enzim protease, amilase dan
14. hemiselulase (Irawadi, 1991). Menurut Nuraini (2006) kapang Neurospora crassa
dapat menghasilkan enzim amilase, enzim selulase dan protease, selanjutnya
dijelaskan bahwa campuran 60% ampas sagu dengan 40% ampas tahu yang
difermentasi dengan 9% inokulum Neurospora crassa selama 10 hari didapatkan
aktifitas enzim amilase sebnyak 17.21 µ/ml, protase 15.06 µ/ml dan selulase 0.33
µ/ml.
g. Kulit dan biji durian
Menurut Winarti (2006)pemanfaatan kulit dan biji durian belum optimal,
namun jika dilihat dari potensi dan nilai gizi yang terkandung didalamnya maka biji
durian, merupakan bahan yang cukup potensial digunakan sebagai bahan makanan
ternak tetapi harus dilakukan pengolahan terlebih dahulu untuk menurunkan atau
merenggangkan ikatan lignoselulosa sehingga mudah dicerna oleh ternak.
Ada beberapa proses pengolahan yang dapat dilakukan yaitu proses kimia,
fisik dan biologi (Preston dan Leng, 1987). Setiap bahan makanan yang mengalami
pengolahan, baik secara kimia, biologi ataupun secara fisik akan mempunyai
keuntungan dan kerugian terhadap kualitas dan kuantitas zatzat makanan.
Tabel kandungan zat makanan pada kulit durian dan biji durian
Zat makanan % Kulit dan biji durian Biji durian
Ptotein 7,50 9,79
Lemak - 2,16
Serat kasar 21,95 2,41
Lignin 10,32 -
Selulosa 9,50 -
Ca 0,20 0,27
P 0,8 0,9
Dilihat dari potensi dan kandungan gizi yang terkandung didalamnya maka
kulit dan biji durian menurut Winarti (2006) merupakan bahan yang cukup berpotensi
untuk digunakan sebagai pakan ternak. Menurut Nuraini dan Mahata (1998),
melaporkan bahwa biji durian dapat dipakai sampai level 24% dalam ransum atau dapat
menggantikan 42% jagung giling.
15. Pengolahan kulit durian dan biji durian dengan fermentasi Phanerochaete
chrysosporium dan Neurospora crassa
Peningkatan protein kasar dan retensi nitrogen dari limbah buah durian
fermentasi yang dipengaruhi komposisi inokulum Phanerochaete chrysosporium dan
Neurospora crassa. Peningkatan protein kasar lebih tinggi pada komposisi inokulum
Pc dan Nc (1:1), ini berkaitan dengan pertumbuhan kapang subur dan merata pada
substrat LBDF dengan Phanerochaete chrysosporium dan Neurospora crassa (1:1),
ditandai dengan jumlah koloni yang banyak yaitu (18,09x10 cfu/g). Komposisi
inokulum Pc dan Nc (1:1)merupakan komposisi yang seimbang sehingga tidak ada
yang mendominasi pertumbuhan pada inokulum yang dapat mengakibatkan perebutan
nutrisi, karena tiap sel kapang membutuhkan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan dari
tiap spora yang akan tumbuh.
Perlakuan Peningkatan
protein
kasar %
Retensi
nitrogen
%
Penurunan
serat kasar
%
Penurunan
selulosa
%
Penurunan
lignin
Kecernaan
serat kasar
%
A
komposisi
Pc dan
Nc(1:1)
53,55 66,07 33,99 32,41 6,03 57,91
B
komposisi
Pc dan
Nc(2:1)
13,66 59,53 35,74 34,18 6,11 59,36
C
komposisi
Pc dan
Nc(1:2)
15,25 62,84 25,87 23,40 4,54 50,07
16. BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan melihat potensi di daerah Jawa Timur dan sekitarnya banyak limbah limbah
yang terbengkalai dan pemnfaatan pun belum optimal. Sedangkan di masa-masa sekarang
ini pakan ternak yang memiliki nutrisi yang cukup serta ketersediaannya menjadikan
kendala bagi para petani. Maka dari itu mulailah dilakukan penelitian penelitian mengenai
potensi potensi di daerah tersebut mengenai nutrisi yang dimiliki untuk dijadikan pakan
alternative bagi ternak. Contohnya saja limbah hasil pertanian dan perkebunan seperti
limbah ubi kayu, limbah buah pisang, limbah buah coklat, limbah buah kopi , onggok,
limbah buah durian dapat dimanfaatkan sebagai pakan alternatif bagi ternak. Kendala
tingginya serat kasar dan rendahnya protein kasar diatasi dengan fermentasi. Peningkatan
kualitas limbah hasil pertanian secara biologi dapat meningkatkan kandungan dan kualitas
gizi.