Teks tersebut membahas pentingnya membedakan antara science, pseudoscience, dan bukan science dalam menilai klaim suatu produk, terapi, atau diet. Hal penting yang disebutkan adalah perlunya adanya bukti ilmiah berdasarkan penelitian yang memenuhi protokol keilmuan sebelum suatu klaim dapat dikatakan berdasarkan science. Teks tersebut juga mengingatkan bahaya generalisasi dan menyembunyikan hasil negatif dalam klaim yang dikatakan
1. Ditulis dengan
gaya bahasa
alay J
CERDAS BERKETO
Ketogenic Diet, Intermittent Fasting, dan
Ketofastosis
APA KATA SAINS?
dr. Agnes Tri Harjaningrum
2017
2. 2
DAFTAR ISI
DISCLAIMER 3
SCIENCE, PSEUDOSCIENCE ATAU BUKAN
SCIENCE? 4
Dilarang ‘menggebyah uyah’ atau men-generalisasi 12
Referensi 14
KETOGENIC DIET, INTERMITTENT FASTING,
KETOFASTOSIS, APA KATA SCIENCE? 16
Mengapa diet ketogenik semakin popular? 17
Ketogenic Diet 21
Intermitten Fasting 31
Ketofastosis 38
Apa Kata Badan nutrisi ? 44
Resume 52
Pendapat pribadi 55
Referensi 57
3. 3
DISCLAIMER
Sebetulnya saya ini seorang pediatrician soon to be (Insya
Allah mohon doanya biar ga lama lagi), dan bukan dokter
ahli gizi. Tapi yang namanya sudah punya gelar dokter,
pasti tidak luput juga diberondong berbagai pertanyaan
terkait ketogenik. Topik ini pastinya yang lebih menguasai
adalah dokter ahli gizi, jadi saya juga tidak punya keahlian
mendetil soal ini, tetapi saya memang memiliki ketertarikan
khusus terhadap masalah nutrisi serta diet ini, dan sebagai
seorang dokter, kami diajari ilmu dasar yang sama dan
diajari juga bagaimana menjadi ‘detektif’ dan mencari
solusinya jika menghadapi persoalan kesehatan, apapun
itu topiknya. Kaitannya dengan masalah kesehatan anak,
beberapa kali saya baca ada orangtua yang menerapkan
diet ketogenik ini pada anak-anaknya tanpa indikasi yang
jelas. Sebagai tenaga kesehatan, saya merasa perlu
meluruskan hal ini.
4. 4
Science, Pseudoscience atau Bukan
Science?
Beberapa waktu lalu nama Jeng Ana sempat menjadi
trending topik di dunia kesehatan karena wanita yang
punya klinik pengobatan herbal mewah dengan pasien
berjibun ini dengan ‘pedenya’ membaca MRI, lah tapi koq
bacanya kebalik, piye to Jeng. Akhirnya ikatan dokter
Indonesia (IDI) bereaksi karena Jeng Ana dianggap bukan
seseorang yang punya kompetensi untuk membaca MRI
dan klinik herbalnya di beberapa kota kabarnya telah
ditutup.
Masih ingat Dr Warsito penemu ‘Rompi antikanker’ yang
pasiennya dulu sempat banyak banget? Penemuan yang
keren dan sepertinya bermanfaat bukan? Tapi keren saja
tidak cukup, betulkah bermanfaat, tanpa efek samping?
Sudahkah melalui prosedur penelitian sehingga bisa diakui
dalam dunia ilmiah kedokteran? Karena ternyata
penemuan tersebut belum sesuai prosedur penelitiaan
5. 5
ilmiah dan belum ada buktinya dalam jurnal-jurnal ilmiah,
maka penemuan tersebut belum bisa
dipertanggungjawabkan keamanannya. Tidak heran bila
akhirnya tahun lalu klinik tersebut ditutup, atau sementara
ditutup menunggu penelitian lebih lanjut? Wallahualam.
Klinik herbal Jeng Ana bisa begitu dipercaya oleh
masyarakat, begitu juga dengan rompi anti kanker akibat
klaim-klaim produknya yang menggiurkan. Tetapi apakah
klaim tersebut bisa dipercaya dan aman? Bagaimana
melacaknya? Penting mengetahui apakah sebuah klaim
produk seperti rompi antikanker, pengobatan herbal,
terapi Kristal, diet A, B, C, dan klaim lainnya memang
benar-benar efektif berdasarkan penelitian, hanya
testimoni atau masih belum jelas statusnya. Pemahaman
tentang bagaimana membedakan science, pseudoscience
atau bukan science dapat dijadikan salah satu ‘senjata’
untuk menyaring informasi agar saat kita mengambil
keputusan dalam memilih sebuah klaim produk, terapi,
diet, atau praktek lainnya, sudah dipertimbangkan benar
6. 6
manfaat dan resikonya, sehingga tidak tertipu, dan tidak
malah kena efek samping atau mendapatkan terapi yang
sia-sia dan berbahaya.
Bagian mendasar yang harus dipahami terlebih dulu
sebelum menyaring informasi tentang klaim suatu
produk/terapi/diet/praktek lainnya apakah berdasarkan
science atau bukan, harus disepakati dulu bahwa dalam
ilmu kedokteran, ada yang namanya evidence based
practice atau evidence based medicine. Jadi dalam ilmu
kedokteran, kalau mau dibilang suatu teori atau obat atau
praktek diet itu berdasarkan science, diterima dan diakui
dalam kancah ilmu pengetahuan/kedokteran, ya harus
berdasarkan evidence based atau bukti-bukti secara ilmiah
yang kemudian dituangkan dalam jurnal-jurnal ilmiah.
Tidak bisa kita semena-mena mengatakan bahwa teori atau
praktek atau obat ini berdasarkan science, hanya gara-gara
testimoni beberapa orang. Testimoni dari banyak orang
pun kalau belum diujikan ya tidak bisa dibilang punya dasar
7. 7
science. Intinya, tidak segampang itu untuk mendapatkan
sebuah klaim ‘based on science’.
Untuk memahami tentang evidence based dan printilannya
ini bisa satu semester sendiri belajarnya. Tapi gampangnya
begini, ada level-level evidence atau tingkatan
kepercayaan, sejauh mana suatu obat/teori/praktek itu
dapat dipercaya, dan ada 6 tingkatannya. Cara paling
mudah adalah dengan mencari guidelines yang dibuat
oleh badan dunia seperti WHO, atau American Academy
of Pediatric (AAP) untuk masalah anak, American Diabetes
Assosiation (ADA) untuk masalah DM, dan sebagainya.
Guidelines umumnya telah dibuat berdasarkan kumpulan
dari berbagai bukti yang paling baru dan paling akurat, dan
diupdate berkala. Namun tidak semua masalah sudah ada
guidelinesnya. Jika belum ada guidelines, bisa dilihat dari
jurnal penelitian-penelitian yang sudah ada, dengan
melihat tingkat kepercayaan tersebut mulai dari yang
paling kuat sampai yang paling lemah bisa dipercaya, yaitu:
8. 8
1. Systematic review
2. Penelitian uji klinis (RCT: randomized control trial)
3. Penelitian case-control atau kohort
4. Penelitian deskriptif seperti studi potong lintang
atau studi kualitatif
5. Case report/case series (laporan kasus)
6. Opini para ahli (expert opinion)
Jadi kalau ada seorang dokter ahli gizi yang sudah
bertahun-tahun mendalami ilmu gizi, dan dia
mengeluarkan statement opininya sendiri, ini pun tingkat
kepercayaannya masih paling rendah, apatah lagi opini dari
seorang yang tidak pernah belajar ilmu gizi atau sekedar
testimoni. Testimoni sama sekali tidak dianggap memiliki
tingkat kepercayaan, karena belum diujikan sama sekali.
Kecuali kalau dari testimoni-testimoni ini dikumpulkan,
dibuat penelitian yang sesuai protokol, muncul hasilnya
dalam tulisan ilmiah yang dipublikasikan, barulah bisa kita
bilang,” testimoni si A, sudah diujikan dalam penelitian A
yang punya level of evidence 1,2, atau 3. Kalau tingkat
9. 9
kepercayaannya 1 (atau paling kuat), biasanya nanti akan
dibuatkan kebijakan bahwa teori A aman atau
direkomendasikan dipakai untuk kasus b c, d, dan
seterusnya.
Bagaimana jika sebuah teori/obat/praktek punya level
evidence 3? Atau misalnya hasil studinya conflicting? Baru
ada penelitian case-control, belum ada penelitian uji
klinisnya, apakah bisa dianggap shahih? Biasanya dalam
prakteknya, sambil menunggu penelitian lebih lanjut,
semua dikembalikan kepada praktisi atau dokternya,
selama masih ada dasar penelitiannya dan dasar teorinya
masih diperkenankan pilih yang mana. Tapi biasanya yang
semacam ini tidak akan dijadikan panduan yang kemudian
direkomendasikan untuk banyak orang.
Masih ingat kasus penelitian Andrew Wakefield yang
mengklaim bahwa vaksin MMR menyebabkan autism
padahal sama sekali tidak? Ini salah satu contoh yang
disebut pseudoscience. Kelihatannya kesimpulannya valid
10. 10
dari hasil penelitian, padahal penelitiannya tidak mengikuti
kaidah yang benar, tidak valid bahkan membahayakan.
Akhirnya banyak yang percaya sama dokter Andrew dan
membuat banyak anak tidak divaksin. Tapi dia kan sudah
susah-susah melakukan penelitian lo, masak sih masuknya
pseudoscience? Walaupun sudah melakukan penelitian
rumit, tapi kalau tidak sesuai kaidah, ya jangan
sembarangan mengklaim bahwa teorinya terbukti
berdasarkan science.
Pusing kan? Ga gampang kan? Yup…karena itu jangan
sembarangan mengklaim sesuatu based on science atau
bukan sebelum menelusuri betul ujung pangkalnya.
Masalah science atau bukan ini sebetulnya bisa
dianalogikan dengan agama. Kalau kamu mau ikut agama
A, kesepakatan dan aturannya ya ada sendiri, kalau kamu
langgar ya berarti jangan marah kalau disebut agamamu
bukan A.
11. 11
“Tapi diet ini bener koq banyak banget yang sudah
berhasil. Si A sembuh lo, si B keluhannya hilang sempurna,
si C jadi segar bugar,” Fine..Oke..Good…silahkan saja
kalau memang benar, tapi selama kaidah-kaidah diatas
tidak dipenuhi, ya jangan mengaku-ngaku based on
science. Harus rela kalau dibilang pseudoscience atau
bahkan tidak berdasarkan science sama sekali, karena
hanya berdasarkan sekumpulan teori dan testimoni saja
misalnya.
Ya wes kalau gitu pseudoscience juga nggak apa-apa lah,
toh saya sendiri sudah merasakan manfaatnya. Kalau
memang mau begitu ya monggo mawon sah-sah saja. Tapi
kenapa evidence based dalam science ini menjadi penting,
karena dengannya segala teori/praktek/obat sudah terfilter
mana yang bisa digunakan dengan aman atau tidak, mana
yang terbukti berhasil atau tidak. Sebuah obat misalnya,
sudah teruji batas keamanannya berapa, dosisnya berapa,
untuk usia berapa sampai berapa, efek sampingnya apa
12. 12
saja, sehingga bisa dipertanggungjawabkan untuk
keamanan si pasien.
Dilarang ‘menggebyah uyah’ atau men-
generalisasi
Bagian terpenting kedua jika hendak
mengetahui/mengklaim sesuatu based on science atau
bukan adalah: jangan men-generalisasi. Meng-generalisasi
atau meng-gebyah uyah atau menyamaratakan sesuatu ini
sering sekali terjadi dan dampaknya tentu saja berbahaya.
Kalau kita mau bicara based on science, sekali lagi ya harus
sepakat untuk mengikuti aturan-aturan yang sudah
ditetapkan dalam ‘agama science’. Dalam ‘agama science’,
sebuah teori atau penelitian biasanya memiliki kriteria
inklusi dan eksklusi yang sangat ketat, misalnya penelitian
tentang vaksin A hanya dinyatakan aman untuk usia 9-16
tahun, karena penelitian yang dilakukan memang untuk
anak umur segitu, dibawah umur 9 tahun efektifitas vaksin
tidak bekerja. Jadi jangan coba-coba untuk mengeneralisir
untuk semua usia, akibatnya tentu saja fatal.
13. 13
Begitu juga dengan diet A, B, C, harus dibaca baik-baik
penelitian yang sudah berhasil untuk siapa, usia berapa,
apakah boleh untuk anak-anak? ibu hamil? Orang sehat?
Karena dampaknya masing-masing pasti beda. “Tapi kan
buat saya aja bagus, pasti buat anak saya juga bagus lah.”
Apakah penelitiannya memang sudah ada buat anak? Atau
hanya berdasarkan asumsi? Ya sekali lagi kalau memang
tidak mau mengikuti aturan ‘agama science’ ya monggo
mawon. Tapi akibatnya kalau ada apa-apa ya juga
ditanggung sendiri, jangan bawa-bawa science juga.
Karena yang diupayakan oleh evidence based
medicine/practice based on science semata-mata adalah
untuk pasien safety dan supaya tidak kena janji-janji palsu
atau tipu-tipu. Pasien safety tentu saja sangat penting,
itulah sebabnya kenapa evidence based practice dalam
science juga menjadi sangat penting.
Sering juga terjadi, jurnal-jurnal ilmiah dicomot
berdasarkan fakta-fakta yang sesuai dengan klaimnya,
14. 14
sementara hasil-hasil yang negatif atau tidak sesuai
disembunyikan atau dikaburkan. Jadi klaim
produk/terapi/diet seolah-olah berdasarkan science yang
tanpa cacat, padahal ada resiko dampak negatif yang
ternyata disembunyikan atau tidak diungkapkan. Tentu
saja, hal ini juga akan merugikan masyarakat pengguna.
Karena itu, di era informasi yang begitu melimpah ruah ini,
masyarakat perlu punya ‘senjata’ untuk tahu bagaimana
cara menyaring informasi yang benar dan dapat dipercaya.
Jika masyarakat tidak memakai ‘senjata’ untuk
menyaringnya, maka jangan heran jika pasien korban Jeng
Ana semakin membludak, dan klaim-klaim produk/terapi/
jualan lain yang tidak berdasar akan semakin banyak
peminat.
Referensi
1. Cipta A. Alasan Kemenkes Larang Klinik Kanker
Warsito. Diunduh dari:
https://m.tempo.co/read/news/2015/12/06/173725
15. 15
302/ini-alasan-kemenkes-larang-klinik-kanker-
warsito
2. Putri AW. Aspetri menutup klinik pengobatan herbal
jeng Ana. Diunduh dari: https://tirto.id/aspetri-
menutup-klinik-pengobatan-herbal-jeng-ana-cqYJ
3. Gorski, D. The fall of Andrew Wakefield. Diunduh
dari: https://sciencebasedmedicine.org/the-fall-of-
andrew-wakefield/
4. Lim W, Arnold DM, Bachanova V, Haspel RL,
Rosovsky RP, Shustov AR, Crowther MA. Evidence-
based guidelines—an introduction. ASH Education
Program Book. 2008 Jan 1;2008(1):26-30.
16. 16
Ketogenic Diet, Intermittent Fasting,
ketofastosis, Apa Kata Science?
Sudah tahu tentang ketogenic diet yang lagi kekinian?
Ketofastosis? Bagus ga sih? Boleh ga sih? Menyehatkan
kah? Amankah? membahayakan? Didukung oleh science-
kah? Belakangan ini, dengan hasil yang cepat dan ‘wow’
serta testimoni yang semakin banyak, makin banyak pula
yang mempraktekan ‘keto-ketoan’ ini dan berseliweran lah
lagi pertanyaan: boleh buat ibu hamil kah? Ibu menyusui?
Anak-anak? Ada yang bilang salah, benar, boleh, tidak,
bahaya, aman, pro kontra lah jadinya. Karena itu, mari kita
perjelas duduk perkaranya.
Seperti yang sudah saya tulis dalam bagian pertama tulisan
saya tentang ‘Science, Pseudoscience atau Bukan Science,’
masalah ketogenic diet dan ketofastosis ini harus jelas dulu
posisinya apakah didukung oleh science atau tidak, sejauh
mana dukungan sciencenya, memang bermanfaat atau
tidak, adakah efek sampingnya atau tidak, dan apakah
17. 17
memang dianjurkan untuk semua orang atau kasus-kasus
tertentu saja? Yuk mari kita bahas satu persatu.
Mengapa diet ketogenik semakin popular?
Sejak dulu, yang diajarkan kepada kita di sekolah tentang
makanan sehat adalah empat sehat 5 sempurna dengan
komposisi terbanyak makanan tentunya karbohidrat, ya
kan? Kesepakatan para ahli nutrisi dunia, dulu juga
menyarankan hal sama, dan kesepakatanya terus direvisi
dan dirubah berkala lima tahun sekali. Semua penyakit
jantung dan pembuluh darah, serta kegemukan, kambing
hitam penyebabnya adalah si lemak. Tentu saja
kesepakatan aturan ini juga bukan sembarangan, tapi
berdasarkan penelitian yang panjang. Tetapi belakangan,
dalam dunia ilmiah nutrisi, kesepakatan tersebut mulai
diperdebatkan. Betulkah karbohidrat harus dalam porsi
terbanyak? Atau seharusnya malah tinggi lemak? Kalo kita
gugling low fat vs low carb, perdebatan tersebut hingga
saat ini masih menjadi topik panas dalam dunia nutrisi.
18. 18
Mengapa perdebatan ini bisa terjadi? Semua berawal dari
perubahan pola makan. Pasca jaman kemerdekaan dulu,
atau pasca perang dunia II, hidup masih terbilang susah,
apapun makannya, entah banyakan karbohidrat atau
banyakan lemak, makan tiga kali sehari saja sudah
alhamdulillah. Angka obesitas, penyakit kardiovaskuler dan
diabetes mellitus tipe 2 pun rendah. Namun seiring
dengan perbaikan jaman yang makin aman dan penelitian
yang semakin maju, mulailah muncul berbagai variasi
makanan dan snacking, makan snack di sela makan pagi
dan siang serta siang ke malam. Jam makan yang dulu tiga
kali sehari saja sudah alhamdulilah, mulai ditambah snack
yang akhirnya bisa menjadi jam berapapun makan snack
yang akhirnya menyebabkan overeating. Pola makan ala
barat (western diet) yang lebih banyak mengandung
transfat, gula (jenis fruktosa) dan ‘refined karbohidrat’ mulai
dari permen, chips, minuman manis, kue-kue lezat dengan
beragam variasinya semakin luas diperkenalkan dan laris
dipasaran. (1)
19. 19
Sejak era tahun 70-an, penelitian yang berkembang saat itu
mengatakan bahwa untuk hidup sehat, yang perlu
dilakukan adalah mengurangi lemak dan memperbanyak
olahraga. Si lemak dianggap makhluk paling jahat. Tetapi
di era tahun 2000-an, mulai ada peneliti yang
mempertanyakan, mengapa seiring bertambahnya jenis
western diet yang kebanyakan bergula itu, bertambah pula
angka kejadian obesitas dan diabetes mellitus tipe 2 ? (2)
Apakah betul penjahatnya si lemak? Padahal, penelitian
yang mengatakan bahwa si lemak penyebab utama
kegemukan dan penyakit kardiovaskuler, sebetulnya tidak
didasari oleh penelitian yang kuat. (3) Kalau begitu
seharusnya bukan lemak dong si kambing hitamnya, pikir
sebagian ahli. Lalu munculah penelitian uji klinis Diet Atkins
pertama (penelitian yang punya tingkat kepercayaan kuat)
di awal tahun 2000 yang cukup menggemparkan dan
membuat ‘perang’ antara low fat vs low carb dimulai. Diet
Atkins menggunakan diet rendah karbohidrat, yang
ternyata sukses membuat pasien obesitas dalam subjek
penelitiannya mengalami penurunan berat badan yang
20. 20
signifikan disertai dengan perbaikan profil lemak. (4)
Tetapi, Diet Atkins ini juga sarat kritik, karena
bagaimanapun penelitian membuktikan bahwa tingginya
asupan daging merah, terutama processed meat (daging
yang telah diawetkan seperti diasap, diberi garam,
dikeringkan, atau dikalengkan seperti sosis, salami, corned
beef, dll) berkaitan dengan meningkatnya penyakit
kardiovaskuler, kanker dan kematian mendadak.(5,6) Sejak
itu penelitian diet low carb semakin berkembang dan
perdebatan antara low carb vs low fat pun semakin hangat
dibicarakan.
Intisari:
• Meningkatnya kasus obesitas, penyakit kardiovaskuler
dan DM tipe 2 terjadi berbarengan dengan
berubahnya pola makan yang lebih mengarah ke
western diet (trans fat, fruktosa dan ‘refined’
karbohidrat) serta jam makan yang bertambah
(snacking) all the time.
21. 21
• Dahulu ‘kambing hitam’ utama obesitas, penyakit
kardiovaskuler dan metabolic adalah lemak, namun
kemudian terjadi perdebatan apakah lemak atau
karbohidrat penyebabnya, karena data penelitian
tidak menunjukan bahwa lemak sebagai penyebab,
dan penelitian diet low carb high fat hasilnya malah
memperbaiki profil lemak.
• Dengan popularnya diet Atkins beserta penelitian uji
klinisnya, ‘perang’ antara low carb vs low fat semakin
memanas, diet ketogenic semakin populer.
Ketogenic Diet
Ketogenic Diet atau low carb diet, low carb high fat
(LCD/LCHF) atau very low carb diet (VLCD) adalah diet
rendah karbohidrat. Kalau biasanya makanan sehari-hari
kita sebagian besar adalah nasi, sementara lauk pauk dan
sayuran hanya sedikit porsinya, maka dalam low carb diet,
sebaliknya. Makanan utama adalah lauk yang tinggi lemak,
protein, dan porsi karbohidrat hanya sekira 5% saja (sekira
20-50 gram atau satu hingga setangkup roti dalam satu
22. 22
hari), atau bahkan zero karbohidrat. Saat kita makan
karbohidrat, maka insulin meningkat dan membuat
karbohidrat berubah menjadi energi. Dalam ketogenic
diet, sebagai respon tubuh akibat ketiadaan karbohidrat,
maka munculah keton dalam darah (kondisi ketosis),
sehingga yang dibakar sebagai energi adalah lemak. (5)
Diet ketogenik, sejak tahun 1920 digunakan untuk terapi
epilepsi refrakter pada anak dan sukses menurunkan angka
kejang pada separuh kasus. Diet ini juga sudah sejak tahun
1800 an digunakan untuk menurunkan berat badan. (7)
Berawal dari larisnya buku Dokter Atkins di tahun 1972
(penemu Diet Atkins yang menulis buku tentang revolusi
diet) kemudian dilanjutkan dengan bukti penelitian awal
tahun 2000 bahwa diet ini dapat menurunkan berat badan,
penelitian diet low carb akhirnya semakin berkembang.
Hingga saat ini telah dilakukan lebih dari 20 penelitian uji
klinis yang mendukung keefektifan low carb untuk
mengatasi kegemukan dan mengatasi beberapa masalah
23. 23
kesehatan.(8) Meskipun demikian, diet ini bukannya tanpa
cacat dan bukan pula diperuntukkan bagi semua orang.
Dalam sebuah review jurnal berjudul ‘Beyond weight loss’
(9), diet ketogenik terbukti kuat memiliki manfaat untuk
mengurangi berat badan pada obesitas, mengurangi
resiko penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus tipe 2 dan
epilepsi. Pada penyakit-penyakit seperti jerawat, kanker
(terutama kanker otak), Polycystic ovary syndrome (POS),
penyakit syaraf, alzeimer, Parkinson, dan penyakit
gangguan saluran pernafasan seperti asma, COPD,
dilaporkan diet ketogenik tampaknya memberikan hasil
yang menjanjikan, namun penelitian-penelitian masih
dalam tahap awal dan belum dapat diambil kesimpulan.
Penelitian-penelitian uji klinis dengan kuat membuktikan
bahwa diet low carb efektif untuk menurunkan berat badan
dan memperbaiki kontrol gula darah pada pasien DM tipe
2 untuk jangka pendek (3-6 bulan hingga 1 tahun), tetapi
dibandingkan diet lain seperti diet low fat, apakah diet low
carb lebih superior dalam menurunkan berat badan, masih
24. 24
belum jelas (hasil penelitian mix). Dari review sistematik
terbaru tahun 2016 dan 2017 (tingkat kepercayaan I)
dikatakan, dibandingkan dengan diet rendah lemak, diet
ketogenik memang sedikit lebih superior untuk
menurunkan berat badan, menormalkan kadar
trigliserida,dan menaikan kadar lemak baik (HDL). Tetapi
hasil lemak jahat (LDL) malah naik (hasil penelitian lainnya
LDL turun), untuk kadar gula darah, kadar kolesterol dan
tekanan darah, hasilnya tidak berbeda dengan diet rendah
lemak. (5, 10) Penelitian lain tentang diet low carb dan
penyakit jantung membuktikan bahwa diet low carb dapat
menolong masalah jantung, selama protein dan lemak
yang dimakan berasal dari sumber yang sehat.(11) Sebuah
studi yang membandingkan antara diet low carb dengan
low-fat ditambah terapi tingkah laku selama dua tahun,
ternyata kedua diet tersebut sukses dalam menurunkan
berat badan. Low carb diet juga berkaitan dengan
membaiknya profil lipid dan menurunkan resiko penyakit
jantung.(12)
25. 25
Permasalahan utama pada diet low carb adalah, data
mengenai adverse effects dan hasil luaran jangka
panjangnya masih belum mencukupi, (10,13) Dampak/
adverse effect diet low carb yang pernah dilaporkan di
literatur adalah sebagai berikut (14):
1. ‘Keto flu’ seperti mual sakit kepala, fatigue, lemah, yang
pada umumnya terjadi saat ketosis.Selain itu dapat
pula terjadi dehidrasi, gangguan mineral dan cairan,
konstipasi serta gangguan hormonal, jika diet tidak
dilakukan dengan tepat. Karena itu biasanya para
pelaku diet ini dianjurkan untuk banyak minum,
menambah intake garam, minum suplemen dan
sayuran untuk menghilangkan efek-efek tersebut.
2. Diet low-carb dapat meningkatkan kadar ammonia
dalam tubuh akibat pembakaran protein yang diubah
menjadi energi. Secara teori peningkatan ammonia ini
dapat menyebabkan gangguan ginjal. Tetapi
penelitian yang dilakukan pada orang sehat yang
26. 26
melakukan diet low carb selama 6 bulan tidak
ditemukan bukti adanya gangguan ginjal.
3. Ketika lemak menjadi bahan baku utama untuk
membakar energi, kadar CO2 dalam darah akan
menurun. Karena itu, diet ketogenik dikatakan
berpotensi sebagai terapi pada masalah pernapasan
seperti COPD. Namun rendahnya kadar CO2 bukan
berarti baik untuk semua orang. Karena CO2 juga
sangat penting untuk menjaga kesehatan. Untuk
jangka pendek, penelitian menunjukan tidak ada
komplikasi yang terjadi akibat rendahnya CO2 dalam
tubuh, karena tubuh memiliki sistem buffering yang
hebat untuk menjaga agar keseimbangan Ph darah
tetap terjaga. Tapi efek jangka panjang, rendahnya
CO2 dalam tubuh ini masih belum diketahui.
4. Fungsi tiroid, karbohidrat dan CO2 berkaitan satu sama
lain. Ketika ada glukosa dan glikogen dalam liver, T3
(hormone tiroid) akan diproduksi meningkat dalam
darah, dan jika kadar glukosa terlalu rendah, maka
produksi hormone tiroid akan turun. Karena itu pasien
27. 27
dengan hipotiroid tidak disarankan untuk mengikuti
diet ini.
5. Efek jangka panjang hormonal lain: ketidakseimbangan
hormone kortisol-testosteron, gangguan menstruasi.
6. Penelitian tahun 2013 menunjukan bahwa diet rendah
karbohidrat berkaitan dengan meningkatnya resiko
kematian oleh semua penyebab. Meskipun penelitian
ini hanya review sistematik dari studi observasi dan
masih memerlukan penelitian uji klinis yang lebih besar,
namun tidak bisa diabaikan. (15)
7. Lima studi ilmiah melaporkan kematian sebagai
adverse effect dari diet ketogenik jangka panjang pada
anak dengan epilepsi. Dua diantaranya merupakan
studi kasus, dan kesemuanya terjadi pada anak dengan
epilepsi yang sedang menjalani terapi diet
ketogenik.Meskipun beberapa ahli mengatakan bahwa
kasus kematian pada anak epilepsi ini tidak relevan jika
dikaitkan dengan diet ketogenik yang dilakukan pada
orang dewasa sehat, namun data ini juga tidak bisa
diabaikan.
28. 28
8. Penelitian pada tikus diabetik menunjukan efek diet
low carb jangka panjang malah meningkatkan resiko
terjadinya penyakit kardiovaskuler dan resiko
kematian. (16) Penelitian pada wanita di Swedia, diet
low carb dan tinggi protein meningkatkan resiko
penyakit kardiovaskuler (17). Sebuah penelitian
kohort pada orangtua di Swedia yang lahir tahun
1920-1924, pada saat mereka berusia sekitar 50
tahun (tahun 1970-1974) diminta untuk mencatat
pola makan sehari-hari lalu diikuti selama 10 hingga
20 tahun dan dievaluasi hasilnya ketika mereka
berusia 70 tahun menunjukkan orangtua yang
menggunakan mediteranian diet berkurang resiko
kematiannya, sementara low carb diet malah
meningkatkan kematian (18).
9. Seorang ibu yang sedang menyusui dan menjalan diet
low carb dilaporkan hampir meninggal karena
mengalami ketoasidosis. Studi kasusnya dilaporkan
dalam sebuah jurnal dan dikatakan merupakan kasus
pertama terjadinya ketoasidosis pada orang yang tidak
29. 29
berpenyakit diabetes mellitus berkaitan dengan
kombinasi diet low carb, tinggi lemak dan menyusui.
(19). Data ini merupakan data penting yang
menunjukan bahwa, diet ketogenik tidak bisa dilakukan
oleh semua orang. Ibu menyusui membutuhkan energi
yang sangat banyak, sehingga diet rendah karbohidrat
dapat menyebabkan kondisi ketosis berat yang
akhirnya menyebabkan ketoasidosis, sebuah kondisi
yang mengancam nyawa.
10. Dampak diet ketogenik pada anak: gangguan
pertumbuhan karena kurangnya kecukupan zat gizi
(20)
Intisari:
• Diet ketogenik bukan untuk semua orang, tidak ada
diet yang ‘one fit all’ (satu macam cocok untuk
semua). Diet ketogenik terutama bukan diperuntukan
bagi anak-anak (kecuali anak dengan epilepsi
refrakter), ibu hamil dan ibu menyusui.
30. 30
• Bagi orang dewasa sehat pun, ada yang cocok, ada
yang tidak, efek samping yang satu belum tentu
terjadi pada yang lain.
• Diet ketogenik terbukti kuat dapat menurunkan berat
badan pada pasien dengan obesitas, dan
memperbaiki kondisi glikemik pasien DM tipe 2
jangka pendek (hingga 1 tahun).
• Diet low carb (jangka pendek) dapat menolong
masalah kardiovaskuler (memperbaiki profil lipid),
selama protein dan lemak yang dimakan berasal dari
sumber yang sehat, (hasil penelitian masih mix).
• Diet ketogenik mungkin dapat menjadi terapi bagi
kasus-kasus seperti jerawat, kanker (terutama kanker
otak), Polycystic ovary syndrome (POS), penyakit
syaraf, alzeimer, Parkinson, dan penyakit gangguan
saluran pernafasan seperti COPD, namun masih
dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
• Beragam adverse effect dari ketogenic diet telah
dilaporkan mulai dari ‘keto flu’, gangguan hormonal,
31. 31
meningkatnya resiko penyakit kardiovaskuler dan
resiko kematian.
• Efek jangka panjang diet ketogenik masih
memerlukan penelitian lebih lanjut, data penelitian
yang ada paling lama diteliti adalah 2 tahun
Intermitten Fasting
Seperti diet ketogenic, sepuluh tahun belakangan ini
intermittent fasting juga semakin popular dalam dunia
nutrisi dan fitness serta semakin digandrungi masyarakat.
Sejak jaman dahulu kala, puasa sudah menjadi bagian dari
pola hidup manusia. Kalau dulu puasa lebih banyak
dilakukan atas dasar agama dan kepercayaan, dalam dunia
modern yang penelitiannya semakin berkembang seperti
sekarang, puasa dilakukan karena menawarkan banyak
manfaat kesehatan. Meskipun penelitian yang dilakukan
lebih banyak pada hewan, namun efek puasa pada
penelitian-penelitian awal tersebut sangat menjanjikan
32. 32
seperti menurunkan berat badan, mencegah penyakit dan
bisa membuat panjang umur. (21)
Intermitten fasting sebetulnya adalah pola makan dengan
memperpanjang periode tidak makan dan membatasi
periode jendela makan. Jendela makannya ini bisa 8 jam,
sering disebut puasa 16/8, yaitu 16 jam puasa dan 8 jam
makan dalam sehari, atau pola 5:2 seperti puasa Senin dan
Kamis dalam Islam (dalam satu minggu 5 hari makan biasa
dan 2 hari puasa hanya makan 500 kalori). Ada juga
metode alternate day, puasa selang sehari, seperti
puasanya nabi Daud kalau dalam Islam. Gampangnya,
puasa 16/8 itu cukup dengan skip break fast. Misalnya
makan terakhir jam 19.00, maka setelah bangun tidur
jangan sarapan, dan makan selanjutnya adalah saat makan
siang pukul 11 atau 12 siang (16 jam setelah jam 19.00
malam). Delapan jam selanjutnya, dari jam 11 siang hingga
jam 19.00 adalah jendela makan, boleh makan apa saja asal
tidak berlebihan jika ingin target diet tercapai. Saat
intermiten fasting, tidak ada pantangan makan apapun,
33. 33
tetapi saat jendela puasa hanya diperbolehkan minum
yang tidak mengandung gula. (22)
Mark Mattson dapat disebut sebagai salah satu ‘bapak’nya
intermitten fasting. Profesor neuroscience ini telah
menghasilkan lebih dari 700 artikel dalam jurnal ternama
dan dikatakan sebagai ‘the most highly cited neuroscientist
in the world’ menurut Institute for scientific Information (ISI).
(23). Bermula dari penelitiannya pada tikus yang
menunjukan bahwa tikus yang dipuasakan mengalami
perbaikan dalam penanda penyakit, stress oksidatif nya
berkurang, fungsi belajar dan mengingat tetap baik, fungsi
jantung dan otaknya juga membaik serta panjang umur.
Kemudian, muncullah teori dan penelitian-penelitian
tentang puasa pada manusia yang membuat intermiten
fasting semakin popular.
Manfaat puasa yang sudah tercatat dalam literature dari
penelitian pada hewan dan juga manusia dikumpulkan
34. 34
dengan lengkap dalam tulisan milik Gunnars sebagai
berikut: (24)
1. Saat puasa, kadar insulin menurun bermakna yang
dapat memicu proses pembakaran lemak. Hormon
pertumbuhan meningkat yang juga akan memicu
pembakaran lemak dan pembentukan otot. Puasa juga
akan memicu proses perbaikan sel-sel.
2. Membuat kalori makanan yang masuk menjadi lebih
sedikit, dan akan mempercepat metabolisme tubuh
yang efektif untuk menurunkan berat badan dan
mengurangi lemak perut. Penelitian pada manusia
sudah dilakukan, juga penelitian uji klinis yang
membandingkan puasa intermiten dengan metode
diet lain seperti diet restriksi kalori. Hasilnya puasa
intermiten sama-sama dapat menurunkan berat badan
pada pasien dengan kegemukan.
3. Mengurangi resistensi insulin dan mengurangi kadar
gula darah, setidaknya pada laki-laki, meskipun
penelitiannya masih sedikit.
35. 35
4. Mengurangi kerusakan oksidatif (satu penelitian pada
pasien kegemukan dengan asma yang berpuasa
selang sehari) dan mengurangi inflamasi pada tubuh (2
penelitian pada muslim yang berpuasa), juga memiliki
manfaat untuk melawan berbagai penyakit dan proses
penuaan (teori).
5. Memperbaiki faktor resiko penyakit jantung seperti
tekanan darah, kadar kolesterol, trigliserida dan
penanda inflamasi (4 penelitian pada pasien
kegemukan dewasa).
6. Secara teori, puasa dapat memicu terjadinya autofagi,
mekanisme tubuh untuk membuang sel-sel rusak yang
sudah tidak terpakai.(Sel-sel rusak banyak ditemukan
pada pasien dengan cancer dan Alzeimer, secara teori
autofagi dapat memperbaiki kondisi cancer dan
Alzeimer).
7. Penelitian pada binatang membuktikan bahwa puasa
intermiten kemungkinan dapat membantu mencegah
kanker. Sebuah penelitian pada manusia menunjukkan
36. 36
bahwa puasa dapat mengurangi resiko efek samping
kemoterapi.
8. Studi pada tikus menunjukan bahwa puasa intermiten
dapat memperbanyak pertumbuhan sel-sel saraf, yang
bermanfaat untuk fungsi otak. Puasa pada tikus juga
dapat meningkatkan kadar hormone brain-derived
neurotrophic factor (BDNF), yang jika kadarnya
berkurang dapat menyebabkan depresi dan dan
masalah otak lainnya. Selain itu, puasa intermiten pada
tikus dapat melindungi kerusakan otak akibat stroke.
Mengenai dampak negatif puasa intermiten, belum ada
data dari penelitian, namun yang dikhawatirkan adalah
puasa dapat menyebabkan gangguan makan dan
menciptakan obsesi pada makanan yang tidak sehat.
Disaat jendela makan dikhawatirkan malah terjadi makan
yang berlebihan sehingga berat badan bukannya turun tapi
malah naik dan meningkatkan kadar kolesterol. Karena saat
puasa diperbolehkan minum kopi tanpa gula, puasa
intermiten dinilai dapat membuat ketergantungan pada
37. 37
kopi, dan insomnia. Dari penelitian hewan dan secara teori,
manfaat puasa tampak menjanjikan, tetapi penelitian
puasa intermiten masih sedikit, belum jelas diketahui
tentang efek samping jangka panjangnya sehingga masih
banyak diperlukan penelitian lebih lanjut.
Penelitian puasa intermiten pada manusia memang masih
sedikit, sehingga belum banyak kesimpulan yang bisa
diambil. Tetapi paling tidak dari penelitian pada manusia
yang sudah ada, puasa intermiten dapat dijadikan alternatif
cara untuk mengurangi berat badan bagi yang tidak
berhasil mengurangi berat badan dengan metoda lain.
Selain potensi manfaat bagi kesehatan yang besar, puasa
intermiten terbilang sederhana, mudah diikuti, dan tidak
perlu menghitung kalori, sehingga diharapkan dapat
menjadi salah satu solusi untuk mengatasi epidemik
obesitas di masa sekarang. (22)
38. 38
Intisari:
• Intermiten Fasting memiliki banyak manfaat pada uji
hewan dan juga manusia, meskipun penelitian yang
dilakukan belum banyak.
• Dari penelitian pada manusia yang sudah ada, puasa
intermiten dapat dijadikan alternatif cara untuk
mengurangi berat badan bagi yang tidak berhasil
mengurangi berat badan dengan metoda lain.
Ketofastosis
Di Indonesia, yang ramai dibincangkan dan dipraktekkan
adalah ketofastosis. Setelah mencoba menelusuri dan
mencari literaturnya dalam Bahasa Indonesia terutama
dalam websitenya (ketofastosis.com), dari tulisan-tulisan
yang disajikan, saya tidak menemukan penulisnya
mencantumkan sumber asli dari teori dan praktek yang
disarankan (mohon koreksi jika salah). Tetapi, saya cukup
yakin pastinya teori dan praktek ketofastosis ini diadaptasi
dari luar, bukan produk lokal. Sehingga, sesuai
39. 39
kesepakatan di tulisan pertama saya mengenai ‘agama
science’, jika ingin mengikuti science dan agar tulisan
dalam website lebih bisa dipertanggungjawabkan isinya,
semestinya sumber-sumber asli dicantumkan dalam
tulisan-tulisan di website tersebut agar tidak pula timbul
masalah plagiasi.
Maka akhirnya, saya mencoba mencari sumber aslinya,
siapa sebenarnya yang memulai ide tentang ketofastosis
(fasting on ketosis). Banyak sumber memang, tetapi yang
cukup bisa dipercaya dan bisa dipertanggungjawabkan
menurut saya adalah website dan tulisan milik dokter Jason
Fung. Jason Fung adalah seorang dokter ahli penyakit
dalam yang mendalami nefrologi dengan peminatan
nutrisi, obesitas dan diabetes mellitus, dan telah
berpengalaman menangani pasien-pasien ginjal akibat
obesitas dan diabetes melitus. Fung ternyata juga
merupakan sarjana biokimia sebelum kuliah di kedokteran
di Toronto Kanada.(25) Latar belakangnya tersebut
membuat tulisan-tulisannya cukup memenuhi syarat tulisan
40. 40
dari seorang expert opinion (level paling bawah dalam
tingkat kepercayaan bukti ilmiah). Untungnya, tulisan-
tulisan beliau selalu disertai kutipan-kutipan dari jurnal-
jurnal ilmiah sehingga semakin memperkuat bobot
tulisannya sebagai tulisan ilmiah.
Jason Fung membahas secara komperhensif dan detil
tentang ketogenic diet, intermiten fasting yang semuanya
berkaitan dengan obesitas dan diabetes mellitus. Jadi,
ketertarikan Fung terhadap ketogenic diet berawal dari
rasa ‘frustasinya’ setelah menangani pasien-pasien gagal
ginjal yang kebanyakan berawal dari obesitas dan diabetes
mellitus tipe 2. Kemudian Fung semakin tertarik
mempelajari masalah kaitan antara nutrisi, obesitas dan
diabetes mellitus. Fung begitu terpesona ketika membaca
penelitian Atkins diet, dan mencari berbagai literature
untuk mencari penyebab mengapa obesitas dan DM tipe
2 semakin merebak. Dalam pencariannya, studi-studi yang
menyatakan bahwa lemak adalah penyebab penyakit
kardiovaskuler ternyata tidak memiliki dasar yang kuat. Jika
41. 41
begitu, pasti ada penyebab lainnya, pikir Fung. Setelah
melihat pasien-pasien gagal ginjalnya dan mempelajari
beragam literature, Fung membuat teori baru bahwa
penyebab obesitas yang kemudian seringnya berujung
pada DM tipe 2 bukanlah karena kebanyakan makan lemak
dan kurang gerak, tetapi semua akibat resistensi insulin.
Pola makan yang salah (terlalu banyak karbohidrat –
fruktosa dan ‘refined karbohidrat’) ditambah snacking all
the time, menyebabkan makan berlebihan sehingga terjadi
resistensi insulin yang kemudian membuat orang jadi
kegemukan lalu selanjutnya menjadi DM tipe 2, dan
akhirnya menjadi gagal ginjal. Untuk memotong semua ini
Fung berkesimpulan, jika penyebabnya insulin, maka
solusinya adalah insulin juga, bukan dengan mengurangi
lemak. Supaya tidak terjadi resistensi insulin, maka insulin
tidak boleh terlalu sering meningkat atau bekerja. Bukan
hanya jenis makanan yang harus dirubah (menjadi low carb
diet), tetapi juga jam makan. Snacking membuat orang
makan kapan saja, dan membuat insulin bekerja terus-
42. 42
terusan, menjadi overeating sehingga terjadilah resistensi
insulin. Karena itu low carb diet dikombinasi dengan puasa
merupakan solusinya, karena puasa adalah cara yang
paling manjur untuk membuat gula darah tidak meningkat,
menurut Fung. Dengan makan makanan rendah
karbohidrat, insulin tidak sering diproduksi, dengan puasa,
insulin tidak diproduksi, artinya insulin akan terkontrol
rendah, dan tidak bekerja berlebihan. Kombinasi low carb
diet dan intermiten fasting pada pasien-pasien DM tipe 2
dan obesitas di kliniknya ternyata memberikan hasil
perbaikan yang dramatis. (26)
Teorinya saat ini cukup sejalan dengan studi-studi
mengenai dampak positif low carb diet pada obesitas dan
DM tipe 2. Low carb diet yang awalnya dianggap nonsense
sebelum tahun 2000, di tahun 2008 telah dimasukan dalam
guideline DM dunia, sebagai salah satu cara yang efektif
untuk menurunkan berat badan pada pasien DM dengan
obesitas. Guidelines American Diabetes Assosiation (ADA)
untuk pasien DM dengan kegemukan tahun 2008
43. 43
menyatakan bahwa baik diet low fat ataupun low carb,
mungkin efektif untuk 1 tahun. ADA tidak mengendorse
diet apapun, yang terpenting bukanlah jenis dietnya,
namun bagaimana pasien bisa memilih cara diet untuk
menurunkan berat badan yang cocok dan ampuh untuk
mereka. Tim dokternya disarankan untuk mendukung
usaha tersebut dan memonitor kesehatannya (profil lipid,
fungsi ginjal, dan menyesuaikan terapi DM sesuai kondisi).
(27
Intisari:
• Ketofastosis atau fasting on ketosis, adalah
penggabungan antara ketogenic diet dengan
intermitten fasting, yang keduanya masing-masing
sudah diteliti dan memiliki manfaat terutama untuk
kasus obesitas dan DM tipe 2, meskipun untuk
intermittent fasting penelitiannya belum terlalu banyak
dan masih terus dilakukan.
• Belum ada penelitian mengenai fasting on ketosis
(penggabungan antara ketogenic diet dan intermiten
44. 44
fasting) dalam literatur, namun salah satunya telah
dipraktekkan oleh dokter Jason Fung pada pasien-
pasien obesitas dan DM tipe 2 di kliniknya.
• Jika mengikuti kaidah evidence based, mengingat
belum ada penelitian yang menggabungkan diet
ketogenic dan intermittent fasting, ketofastosis
memiliki tingkat kepercayaan paling rendah,
berdasarkan expert opinion/pengalaman klinis (dalam
hal ini salah satunya dr Jason Fung, seorang dokter
ahli penyakit dalam spesialis nefrologi yang
mendalami masalah nutrisi, obesitas dan DM tipe2),
spesifik untuk kasus obesitas dan DM tipe 2.
Apa Kata Badan nutrisi ?
Saat ini, kasus obesitas di dunia meningkat pesat
menjadi dua kali lipat dibandingkan tahun 1980. Pada
tahun 2014, lebih dari 1,9 milliar (39%) orang dewasa
diatas 18 tahun mengalami overweight, dan diantaranya
600 juta (13%) orang mengalami obesitas. Kebanyakan
orang di dunia, tinggal di negara dimana overweight dan
45. 45
obesitas menjadi pembunuh terbanyak dibandingkan
gizi kurang. (28) Menurut Riset Kesehatan Dasar 2007
dan 2010, Indonesia masuk 10 besar negara dengan
orang gemuk terbanyak. Lebih dari 40 juta orang dewasa
di Indonesia mengalami obesitas. Bayangkan seluruh
penduduk Jawa Barat berkumpul di lapangan yang
sangat luas, sebanyak itulah kasus obesitas di Indonesia.
(29)
Obesitas merupakan satu dari penyakit yang
dikatagorikan sebagai sindrom metabolik, termasuk
diantaranya diabetes mellitus, gangguan lipid
(hiperkolesterolemia dan dislipedemia) dan hipertensi.
Sindrom metabolik akan meningkatkan resiko terjadinya
DM tipe 2, penyakit jantung-pembuluh darah, dan
kematian karena sebab apapun. (30) Jadi, kegemukan
bukanlah persoalan sederhana. Masih menurut Riskesdas
2013, obesitas menjadi penyebab kematian kedua
terbanyak di Indonesia setelah hipertensi. Stroke,
penyakit jantung coroner, dan gagal ginjal kronis
46. 46
berturut-turut menjadi penyebab kematian selanjutnya.
(29).
Karena kasusnya yang semakin meningkat dan
sebetulnya obesitas bisa dicegah, maka badan nutrisi di
setiap negara membuat guidelines (untuk populasi
umum, mulai usia 2 tahun) diet pola makan sehat untuk
mencegah terjadinya kegemukan atau sebaliknya gizi
buruk. Di Indonesia, yang dijadikan guidelines bukan lagi
pedoman empat sehat lima sempurna, tetapi pedoman
gizi seimbang yang dilambangkan dengan tumpeng gizi
seimbang (TGS) yang komposisinya disederhanakan
dalam ‘piring makanku’. (31) Guidelines ini sejalan
dengan di Amerika yang menggunakan ‘myplate’
dengan komposisi yang sedikit berbeda dengan di
Indonesia disesuaikan dengan kultur dan budaya
Indonesia. Diet guidelines Amerika untuk tahun 2015-
2020 menyarankan makanan gizi seimbang dengan 30%
grains ( setengahnya, karbohidrat kompleks), 40%
sayuran, 10% buah, 20 persen protein, ditambah dengan
47. 47
sejumlah kecil dairy seperti segelas susu atau secangkir
youghurt. Prinsip guidelines tersebut juga menekankan
pentingnya mengurangi gula (hanya boleh kurang 10%
dari jumlah kalori total), juga mengurangi trans fats dan
garam. Tak lupa pula disarankan untuk melakukan
aktifitas fisik rutin, untuk orang dewasa minimal 150
menit dalam seminggu, termasuk olahraga kekuatan
otot. (32) Perhatikan bahwa komposisi karbohidrat yang
disarankan sudah jauh berkurang dibanding guidelines
di masa lalu (70% menjadi 30%), dan yang disarankan
adalah setengahnya karbohidrat kompleks, sangat
dianjurkan pula untuk mengurangi asupan gula.
Mengapa guidelines dibuat? Bayangkan jika kita harus
mengatur pola makan orang satu negara supaya obesitas
tidak semakin menggila, dan menjadi pengambil
keputusan untuk jutaan umat manusia yang beraneka
ragam variasinya, gegabah sedikit saja, nyawa taruhannya
dan tuntutan dimana-mana. Karena itu tidak heran bila
dalam membuat guideline atau petunjuk yang akan
48. 48
diterapkan untuk seluruh masyarakat, pembuatannya harus
sangat hati-hati. Kesepakatannya, guidelines harus dibuat
berdasarkan bukti-bukti penelitian terbaru dan yang paling
akurat dari semua literatur yang ada yang bisa ratusan
jumlahnya. Guidelines diatas dibuat untuk populasi
masyarakat secara umum yang sehat (diatas 2 tahun).
Dengan pertimbangan tersebut dan juga adverse effect
yang tidak boleh diabaikan, tidak heran jika badan nutrisi
dunia tidak menyarankan low carb diet sebagai guidelines
untuk populasi umum. Tetapi, untuk kasus-kasus khusus
seperti Diabetes mellitus, low carb diet disebut salah
satunya dalam guidelines ADA seperti sudah disinggung
diatas, yang menyatakan bahwa apapun dietnya (low carb,
low fat atau mediterinian), sama-sama dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki gula darah untuk pasien DM
untuk jangka pendek. Low carb diet juga disarankan
menjadi pilihan diet bersama diet lainnya (low fat,
mediteranian) bagi pasien dengan obesitas dalam banyak
literatur.
49. 49
Jadi, mengingat bahayanya obesitas, usaha untuk
menurunkan berat badan merupakan upaya yang harus
didukung. Seperti saran BDA (British Dieticien
Assosication), yang telah membuat rekomendasi tentang
low carb diet pada obesitas berdasarkan bukti-bukti
penelitian yang ada, semua usaha untuk menurunkan
berat-badan harus disesuaikan dengan pilihan dan kondisi
masing-masing. Untuk itu bagi individu yang memilih untuk
melakukan diet low carb, harus didukung keputusannya,
tetapi penting dicatat bahwa tidak cukup data untuk
merekomendasikan low carb diet sebagai terapi lini
pertama untuk semua kasus. (13,27) Tim dokternya
disarankan untuk mendukung usaha tersebut dan
memonitor kesehatannya (profil lipid, fungsi ginjal, dan
menyesuaikan terapi DM sesuai kondisi). (27)
Intisari:
• Kasus obesitas meningkat pesat menjadi dua kali
lipat`dibanding 40 tahun lalu. Obesitas sebagai salah
satu sindrom metabolik telah menjadi epidemi global
50. 50
yang sejatinya dapat dicegah dan tidak boleh
dibiarkan.
• Sebuah guidelines dibuat sebagai pedoman bagi
masyarakat secara umum berdasarkan bukti-bukti
penelitian terbaru dan paling akurat dari semua
literatur yang ada yang bisa ratusan jumlahnya.
• Pedoman pola makan sehat di Indonesia tidak lagi
memakai prinsip empat sehat lima sempurna, tetapi
saat ini memakai pedoman gizi seimbang yang
dituangkan dalam tumpeng gizi seimbang dan
disederhanakan dalam program ‘piring makanku’.
• Prinsip ‘piring makanku’ hampir sama dengan
pedoman diet sehat dari Amerika ‘my plate’ yang
menyarankan komposisi makan dengan karbohidrat
30% (dulu 70%), 40% sayuran, 10% buah, 20 persen
protein, ditambah dengan sejumlah kecil dairy seperti
segelas susu atau secangkir youghurt. Pedoman
tersebut juga menekankan untuk mengurangi
konsumsi gula, trans fats dan garam, serta
51. 51
menganjurkan olahraga selama minimal 150 menit
dalam seminggu.
• Data yang ada belum cukup kuat untuk memasukan
low carb diet kedalam guidelines
nasional/internasional, atau menjadikannya sebagai
terapi lini pertama pada obesitas atau DM tipe 2.
Tetapi dalam guidelines ADA 2008, low carb diet
disebut sebagai pilihan diet bersama low fat dan
mediteranian diet, yang hasilnya sama-sama dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki gula
darah pada pasien kegemukan dan DM tipe 2 untuk
jangka pendek (hingga 1 tahun).
• Semua usaha untuk menurunkan berat-badan harus
disesuaikan dengan pilihan dan kondisi masing-
masing. Untuk itu bagi individu yang memilih untuk
melakukan diet low carb, harus didukung
keputusannya, dan dimonitor kesehatannya.
(pemeriksaan berkala profil lipid, fungsi ginjal, dan
menyesuaikan terapi DM sesuai kondisi).
52. 52
Resume
1. Diet ketogenik bukan untuk semua orang, tidak ada
diet yang ‘one fit all’ (satu macam cocok untuk semua).
Diet ketogenik terutama bukan diperuntukan bagi ibu
hamil, ibu menyusui dan anak-anak (kecuali anak
dengan epilepsi refrakter).
2. Diet ketogenik terbukti kuat dapat menurunkan berat
badan pada pasien dengan obesitas, dan
memperbaiki kondisi glikemik pasien DM tipe 2 jangka
pendek (hingga 1 tahun).
3. Diet low carb jangka pendek dapat menolong masalah
kardiovaskuler (memperbaiki profil lipid), selama
protein dan lemak yang dimakan berasal dari sumber
yang sehat, (meskipun hasil penelitian masih mix).
4. Diet ketogenik mungkin dapat menjadi terapi bagi
kasus-kasus seperti jerawat, kanker (terutama kanker
otak), Polycystic ovary syndrome (POS), penyakit syaraf,
alzeimer, Parkinson, dan penyakit gangguan saluran
53. 53
pernafasan seperti COPD, namun masih dibutuhkan
penelitian lebih lanjut.
5. Beragam adverse effect dari ketogenic diet telah
dilaporkan mulai dari ‘keto flu’, gangguan hormonal,
meningkatnya resiko penyakit kardiovaskuler dan
resiko kematian.
6. Efek jangka panjang diet ketogenik masih memerlukan
penelitian lebih lanjut, data penelitian yang ada paling
lama diteliti adalah 2 tahun.
7. Ketofastosis atau fasting on ketosis, adalah
penggabungan antara ketogenic diet dengan
intermitten fasting, yang keduanya masing-masing
sudah diteliti dan memiliki manfaat terutama untuk
kasus obesitas dan DM tipe 2, meskipun untuk
intermittent fasting, penelitiannya belum terlalu banyak
dan masih terus dilakukan.
8. Belum ada penelitian mengenai fasting on ketosis
(penggabungan antara ketogenic diet dan intermiten
fasting) dalam literatur, namun salah satunya telah
54. 54
dipraktekkan oleh dokter Jason Fung pada pasien-
pasien obesitas dan DM tipe 2 di kliniknya.
9. Jika mengikuti kaidah evidence based, mengingat
belum ada penelitian yang menggabungkan diet
ketogenic dan intermittent fasting, ketofastosis
memiliki tingkat kepercayaan paling rendah, yaitu
berdasarkan expert opinion/pengalaman klinis (dalam
hal ini salah satunya dr Jason Fung, seorang dokter ahli
penyakit dalam spesialis nefrologi yang mendalami
masalah nutrisi, obesitas dan DM tipe2), spesifik untuk
kasus obesitas dan DM tipe 2.
10. Mengingat begitu meningkatnya kasus obesitas,
penyakit kardiovaskuler dan penyakit metabolik,
diperlukan cara yang efektif dan berkesinambungan
untuk mengatasi kegemukan. Metode seperti diet
ketogenic dan intermiten fasting, dapat dijadikan
alternative solusi terutama untuk kasus obesitas dan
DM tipe 2.
11. Apapun cara yang dipilih untuk menurunkan berat
badan, harus mempertimbangkan pilihan personal,
55. 55
kebutuhan, kultur dan lingkungan sosial setempat.
Karena itu, bagi yang memilih untuk menggunakan diet
ketogenic atau puasa intermiten sebaiknya didukung
pilihannya, dipantau dan dimonitor berkala oleh tim
dokter.
12. Karena belum ada penelitian jangka panjang untuk diet
ketogenic (meskipun penelitian jangka pendek
memberikan manfaat), belum ada pula penelitian
fasting on ketosis (meskipun manfaat intermiten fasting
pada penelitian awal cukup menjanjikan), individu yang
tetap ingin melakukan praktek ini jangka panjang, harus
mendapat informasi lengkap dari tenaga kesehatan
mengenai resiko dan hal-hal apa saja yang perlu
menjadi perhatian sehingga bila terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan sudah merupakan pilihan dan
tanggung jawab masing-masing individu.
Pendapat pribadi
Kelebihan dari low carb diet adalah membiasakan diri
untuk tidak makan gula (fructose dan ‘refined karbohidrat’),
56. 56
yang menjadi salah satu sumber permasalahan obesitas.
Bagi yang sudah tercapai target berat badannya/tujuannya
dan ingin ‘quit’ dari low carb diet, lakukanlah secara
bertahap, namun jangan kembali menjadi pemakan tinggi
karbohidrat, karena berat badan akan segera
menggelembung kembali. Lanjutkan ‘kebiasaan baik’
untuk tidak makan gula, tetaplah menjadi ‘low carb’ dalam
artian moderate low carb, bukan tinggi karbohidrat,
dengan membiasakan makan karbohidrat kompleks (tidak
berlebihan, secukupnya saja seperti anjuran ‘myplate’),
kurangi garam dan transfat, cukupi protein, perbanyak
sayur dan buah serta olahraga rutin dan lanjutkan
intermiten fasting, supaya berat badan tetap terjaga ideal,
tidak kembali menggelembung, kebutuhan micro dan
makronutrient tetap terpenuhi, dan tidak terjadi gangguan
hormonal. Bagaimanapun kegemukan yang telah menjadi
endemik ini harus kita perangi bersama, tentu saja dengan
cara yang aman, damai dan nyaman bagi semua orang.
57. 57
Referensi
1. Fung J, the peril of snacking. Diunduh dari:
https://intensivedietarymanagement.com/perils-
snacking-hormonal-obesity-xiii/
2. Fung J, population in transition. Diunduh dari:
https://intensivedietarymanagement.com/populatio
ns-transition-hormonal-obesity-xxxiii/
3. Siri-Tarino PW, Sun Q, Hu FB, Krauss RM. Meta-
analysis of prospective cohort studies evaluating the
association of saturated fat with cardiovascular
disease. The American journal of clinical nutrition.
2010:ajcn-27725.
4. Forster GD, Wyatt HR, Hill JO, McGuckin BG, Brill
C, Mohammed S, Szapary PO, Rader DJ, Edman JS,
Klein S. A randomized trial of a low-carbohydrate
diet for obesity. N Engl J Med. 2003;348:2082-90.
5. Define HD, LCDs C. Are Low-Carbohydrate Diets
Safe and Effective?. The Journal. 2016;116(12):788.
58. 58
6. Abete I, Romaguera D, Vieira AR, Lopez de Munain
A, Norat T. Association between total, processed,
red and white meat consumption and all-cause,
CVD and IHD mortality: a meta-analysis of cohort
studies. Br J Nutr. 2014;112(5):762-775.
7. White PL. Critique of Low-Carbohydrate Ketogenic
Weight Reduction Regimens-Review of Dr Atkins
Diet Revolution Jama-Journal of the American
Medical Assosiasion. 1973 Jan 1;224(10):1415-9.
8. Gunnars K. 23 Studies on Low-Carb and Low-Fat
Diets-Time to Retire The Fad. Diunduh dari:
https://authoritynutrition.com/23-studies-on-low-
carb-and-low-fat-diets/
9. Paoli A, Rubini A, Volek JS, Grimaldi KA. Beyond
weight loss: a review of the therapeutic uses of very-
low-carbohydrate (ketogenic) diets. European
journal of clinical nutrition. 2013 Aug 1;67(8):789-96.
10. Mansoor N, Vinknes KJ, Veierød MB, Retterstøl K.
Effects of low-carbohydrate diets v. low-fat diets on
body weight and cardiovascular risk factors: a meta-
59. 59
analysis of randomised controlled trials. British
Journal of Nutrition. 2016 Feb;115(3):466-79.
11. Harvard Chan, School of Public Health, Low-
Carbohydrate Diets.
https://www.hsph.harvard.edu/nutritionsource/carb
ohydrates/low-carbohydrate-diets/
12. Foster GD, Wyatt HR, Hill JO, Makris AP,
Rosenbaum DL, Brill C, Stein RI, Mohammed BS,
Miller B, Rader DJ, Zemel B. Weight and metabolic
outcomes after 2 years on a low-carbohydrate
versus low-fat dietA randomized trial. Annals of
internal medicine. 2010 Aug 3;153(3):147-57.
13. British Dietitien Assosiation, Low-Carbohydrate
Evidence Based Summary. Diunduh dari:
https://www.bda.uk.com/regionsgroups/groups/ob
esity/low_cho_evidence_based_summary_pdf
14. Wheless JW. The ketogenic diet: an effective
medical therapy with side effects.2001; 633-35
15. Noto H, Goto A, Tsujimoto T, Noda M. Low-
carbohydrate diets and all-cause mortality: a
60. 60
systematic review and meta-analysis of
observational studies. PLoS One. 2013 Jan
25;8(1):e55030.
16. Handa K, Inukai K, Onuma H, Kudo A, Nakagawa F,
Tsugawa K, Kitahara A, Moriya R, Takahashi K,
Sumitani Y, Hosaka T. Correction: Long-Term Low
Carbohydrate Diet Leads to Deleterious Metabolic
Manifestations in Diabetic Mice. PloS one. 2016
May 16;11(5):e0155751.
17. Lagiou P, Sandio S, Lof M, Trichopoulos D, Adami
HO, et. Al. Low Carbohydrate-high protein diet and
incidence of cardiovascular diseases in Swedish
women: prospective cohort study. BMJ. 2012:16;11
18. Sjögren P, Becker W, Warensjö E, Olsson E, Byberg
L, et al. (2012) Mediterranean and carbohydrate-
restricted diets and mortality among elderly men: a
cohort study in Sweden. Am J Clin Nutr 92: 967–
974.
19. von Geijer L, Ekelund M. Ketoacidosis associated
with low-carbohydrate diet in a non-diabetic
61. 61
lactating woman: a case report. Journal of medical
case reports. 2015 Oct 1;9(1):224.
20. Vining EP, Pyzik P, McGrogan J, Hladky H, Anand A,
Kriegler S, Freeman JM. Growth of children on the
ketogenic diet. Developmental medicine and child
neurology. 2002 Dec;44(12):796-802.
21. Collier R. Intermittent fasting: the science of going
without.
22. Johnstone A. Fasting for weight loss: an effective
strategy or latest dieting trend?. International
Journal of Obesity. 2015 May 1;39(5):727.
23. Reuteurs T. The world’s most influential scientific minds
2015. Diunduh dari: https://ece.nl/wp-
content/uploads/Thomson-Reuters-2015.pdf
24. Gunnars K, 10 Evidence-Based Health Benefit of
Intermitten Fasing. Diunduh dari
https://authoritynutrition.com/10-health-benefits-of-
intermittent-fasting/
62. 62
25. Intensive Dietary Management, Dr. Jason Fung.
Diunduh dari:
https://intensivedietarymanagement.com/people/
26. Intensive Dietary Management, The Complete
Guide to Fasing. Diunduh dari:
https://intensivedietarymanagement.com/complete-
guide-fasting-now-available/
27. Diabetes Journal. Summary of Revisions for the
2008 Clinical Practise Recommendation. Diunduh
dari:
http://care.diabetesjournals.org/content/31/Supple
ment_1/S3.full
28. World Health Organization. Obesity and
Overweight. Diunduh dari:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/e
n/
29. Departemen Kesehatan. Hasil RISKESDAS 2013.
Diunduh dari:
www.depkes.go.id/resources/download/general/Ha
sil%20Riskesdas%202013.pdf
63. 63
30. Amihaesei IC, Chelaru L. Metabolic syndrome a
widespread threatening condition; risk factors,
diagnostic criteria, therapeutic options, prevention
and controversies: an overview. Rev Med Chir Soc
Med Nat Iasi. 2014;118(4):896–900.
31. Departemen Kesehtan. Pedoman Gizi Seimbang.
Diunduh dari:
gizi.depkes.go.id/download/Pedoman%20Gizi/PGS
%20Ok.pdf
32. U.S. Department of Health and Human Services and
U.S. Department of Agriculture. 2015 – 2020 Dietary
Guidelines for Americans. 8th
Edition. December
2015. Diunduh
dari: http://health.gov/dietaryguidelines/2015/guid
elines/.