hentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptx
Tanpa listrik = mati gaya ?
1. TANPA LISTRIK = MATI GAYA ?
Artikel oleh : Lili Andajani
Manusia hidup di jaman modern tidak lepas dari kebutuhannya akan listrik. Hampir
semua kegiatan membutuhkan listrik. Bisa dikatakan ketergantungan terhadap listrik. Saya
sendiri dari pengalaman pribadi. Suatu hari, saya pulang agak malam. Sekitar pk 19.00 WIB
baru sampai rumah. Jarak yang harus ditempuh dari Surabaya sampai ke rumah saya di
Sidoarjo berkisar 26 km. Di sepanjang perjalanan pulang saya sudah merasa lapar, gerah
ingin mandi, dan ingin rebahan di tempat tidur.
Sesampai di depang gang rumah, saya dapati gelap gulita. Ada pemadaman lampu.
Tetap saja saya parkir mobil di depan rumah. Setelah membuka pintu rumah, saya mulai
bingung. Bagaimana mau makan, saya harus masak nasi pakai magic jar, tidak punya
dandang (saya tidak tahu, apa bahasa Indonesianya dandang). Bagaimana mau mandi, air di
rumah saya hanya bersumber dari air sumur pompa listrik. Bagaimana mau rebahan, banyak
nyamuk dan panas sekali tanpa kipas angin di dalam kamar. Dengan uring-uringan, saya
kemasi pakaian untuk kebutuhan satu hari besok. Dengan mengomel, saya tancap gas mobil,
melaju kembali ke Surabaya, menginap di rumah orang tua, yang jauhnya 26 km dari rumah
saya tadi. Tanpa listrik, saya tidak bisa melakukan apa-apa di rumah. Tanpa listrik benar-
benar mati gaya.
Tetapi sebagai guru tidak boleh mati gaya. Memang listrik juga kebutuhan yang urgen
bagi sekolah. Di ruang kelas butuh lampu listrik, butuh kipas angin atau AC, butuh LCD.
Beberapa guru sudah mulai ketergantungan memakai power point dan LCD untuk mengajar.
Ketika pemakaian listrik sekolah mulai dihemat, sehemat-hematnya, maka timbulah rasa
tidak nyaman. Padahal ini term terakhir. Sungguh berat sekali perjuangannya.
Term terakhir, konsumsi listrik di STANSA harus lebih sedikit dari 82.57 KWh, kalau
mau masuk gold level. Semakin mendekati tanggal 30 April 2012, semakin sering meteran
listrik ditengok, untuk mengetahui berapa banyak lagi listrik yang boleh dikonsumsi. Setiap
hari selalu diingatkan dan mengingatkan untuk semakin hemat listrik. Jadi otomatis, hari-hari
tambah panas. Bukan cuma keringat yang menetes-netes karena kepanasan, hati juga mulai
panas. Kalau hati mulai panas, tensi juga cepat naik. Ini jelas membuktikan bahwa
penurunan pemakaian listrik berkaitan erat dengan kenaikan tensi darah.
2. Sampai dengan hari Sabtu ini, pk 07.00 WIB, listrik yang sudah terpakai 66,39 KWh.
Sampai dengan Senin, 30 April 2012, pk 11.00, listrik yang boleh dikonsumsi harus kurang
dari 16,18 KWh. Pasti bisa lebih sedikit dari 82,57.....pasti, asal tidak ada hal-hal di luar
dugaan. Ini sungguh menghibur. Memang untuk tujuan yang satu ini, ada 3 hal yang harus
diingat, yaitu : 1. Harus saling mengingatkan, 2. Harus saling menghibur.... (dalam
kesengsaraan ini), 3. Harus saling mendukung dan membantu.
Sehubungan dengan saling menghibur, ada satu pengalaman. Ketika sedang
bimbingan belajar UNAS, saya sangat kepanasan. Keringat menetes-netes, mulai dari kepala
sampai leher. Bicara harus agak keras, karena membahas soal tanpa LCD. Murid yang paling
nakal, dengan penuh empati mengipasi saya, sambil mengatakan, ”Kasihan.... ibu
kepanasan.... keringatnya banyak sekali....saya kipasi ya....” Wah.... kalau begini, hati
rasanya terhibur.... listrik matipun tidak apa-apa....
Solusi menghindari kepanasan yang lain, ya berada di ruang terbuka. Mengajar di
ruang terbuka membutuhkan kemampuan tersendiri. Tetapi tidak masalah, karena ternyata
siswa juga lebih senang. Bukan cuma mengajar di ruang terbuka, bahkan trend untuk duduk
di ruang guru juga mulai berkurang. Lebih baik duduk di depan kolam. Lebih sejuk dan
banyak angin. Makan di depan kolam juga lebih enak, karena sambil melihat ikan dan laba-
laba.
Yaaaa begitulah kondisinya. Guru harus berlaku sebagai motivator. Tidak boleh ada
kata mati gaya. Baik dalam mengajar maupun dalam berperilaku di hadapan siswa.