Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
PEMANTAUAN
1. KUMPULAN BAHAN LATIHAN
PEMANTAUAN DAN EVALUASI
PROGRAM-PROGRAM
PENGENTASAN KEMISKINAN
DIREKTORAT PENANGGULANGAN KEMISKINAN, BAPPENAS
dan PROJECT PRO-POOR PLANNING AND BUDGETING
(ADB TA 4762 INO)
December 2007
2. Daftar Isi
Kata Pengantar
oleh Pungky Sumadi, Direktorat Penanggulangan Kemiskinan ................................ 1
Modul 1
Pilihan Kebijakan dan Program yang Realistis
Disiapkan oleh Suahasil Nazara
(Kepala Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi,
Universitas Indonesia) ..................................................................................................... 8
Modul 2
Sistem Monitoring yang Efektif dalam Strategi
Penanggulangan Kemiskinan
oleh Wenefrida Widyanti dan Sudarno Sumarto
(Lembaga Penelitian SMERU) .................................................................................... ..20
Modul 3
Target, Indikator dan Basisdata
Oleh Profesor Mayling Oey-Gardiner Ph.D.
(Direktur Eksekutif, Insan Hitawasana Sejahtera) .................................................... 44
Modul 4
Persyaratan dan Unsur-unsur Evaluasi yang Baik
Oleh Asep Suryahadi
(Lembaga Penelitian SMERU) ..................................................................................... 84
Modul 5
Evaluasi dan Identifikasi Pelajaran yang telah Diperoleh:
Pendekatan Kualitatif – Kajian Cepat
Oleh Widjajanti I. Suharyo dan Rizki Fillaili
(Lembaga Penelitian SMERU) ................................................................................... 102
Modul 6
Evaluasi Dampak Pendaftaran Tanah Secara Sistematik
Melalui Proyek Administrasi Pertanahan (PAP)
di Indonesia dengan Menggunakan Pendekatan Kuantitatif
Oleh Wenefrida D. Widyanti
(Lembaga Penelitian SMERU) ................................................................................... 170
3. Kata Pengantar
Pada tahun 2005, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2005-2010 Pemerintah
Indonesia mengumumkan unsur-unsur utama Rencana Penanggulangan Kemiskinan Nasional
dengan disertai fokus pada tercapainya upaya pengurangan kemiskinan secara signifikan melalui
perluasan lapangan kerja, peningkatan pendapatan serta peningkatan akses pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur dasar bagi masyarakat miskin. Salah satu prioritas lain yang
ditekankan pemerintah adalah memastikan dilaksanakannya monitoring dan evaluasi terhadap
seluruh program penanggulangan kemiskinan dan melakukan penguatan kapasitas baik di tingkat
nasional maupun daerah guna melaksanakan monitoring dan evaluasi pro-rakyat miskin yang
efektif.
Pemerintah Indonesia telah memenuhi komitmen tersebut dengan melakukan beberapa evaluasi
yang baru-baru ini dilaksanakan terhadap program penanggulangan kemiskinan seperti subsidi
tunai kepada keluarga miskin, bantuan operasional ke sekolah dasar, pembangunan infrastruktur
pedesaan, kredit mikro, dan program pembangunan masyarakat. Di samping itu, pada awal tahun
2006 BAPPENAS memutuskan untuk meminta bantuan donor dalam peningkatan kapasitas dan
pengembangan keterampilan para perumus kebijakan dan perencana program di BAPPENAS,
maupun di departemen pemerintahan lain atau di tingkat kabupaten untuk menyusun dan
melaksanakan rencana dan sistem monitoring dan evaluasi.
Melalui bantuan teknis dan pendanaan dari Asian Development Bank (ADB), pengembangan
kapasitas untuk monitoring dan evaluasi tersebut saat ini sedang dilaksanakan. Salah satu
langkahnya adalah mensponsori beberapa lokakarya dan program kajian monitoring dan evaluasi
yang antara lain meliputi lokakarya tiga hari mengenai “Monitoring & Evaluasi dan Perencanaan
Kebijakan yang Pro-Rakyat Miskin”. Lokakarya tersebut diselenggarakan di Bogor pada tanggal
21-23 Mei 2007, dan diikuti oleh 24 pejabat dari BAPPENAS, Departemen Dalam Negeri,
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, dan Departemen Sosial serta empat
perwakilan dari tiga provinsi (NTT, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan). Perwakilan daerah ini
diundang guna menghadirkan pengalaman di tingkat daerah pada pembahasan di tingkat
nasional.
Tujuan lokakarya tersebut adalah memperluas pengetahuan dasar dan meningkatkan kemampuan
para peserta lokakarya agar mereka mampu:
- menyusun rencana monitoring dan evaluasi yang kemudian akan dilaksanakan oleh pihak
ketiga berdasarkan ikatan kontrak;
- melakukan kajian kritis terhadap kualitas laporan monitoring dan evaluasi yang disajikan;
dan
- menggunakan temuan yang ada dalam penyusunan program pro-rakyat miskin di masa
mendatang.
Tujuan lain adalah menyusun dan menyesuaikan paket pelatihan Monitoring dan Evaluasi yang
digunakan dalam lokakarya tersebut agar dapat digunakan di masa mendatang dalam lokakarya
Monitoring dan Evaluasi lainnya atau seminar di tingkat provinsi, kabupaten, atau kota.
Dengan mempertimbangkan hal itulah buku panduan ini disusun oleh Tim Bantuan Teknis ADB
di bidang Perencanaan dan Penganggaran Pro-Rakyat Miskin. Buku ini terdiri dari seluruh
presentasi tertulis yang disajikan dalam lokakarya tersebut ditambah satu bab pendahuluan yang
berisi penjelasan umum secara singkat. Buku panduan ini akan digunakan pada sesi pelatihan
3
4. monitoring dan evaluasi di masa mendatang dengan keikutsertaan sebelas kabupaten melalui
Tim Bantuan Teknis ADB di bidang perencanaan dan penganggaran pro-rakyat miskin.
Selain itu, BAPPENAS berharap bahwa dokumen-dokumen yang tercakup dalam buku ini
bermanfaat bagi analis program lain di semua tingkat pemerintahan, LSM, dan para mahasiswa
yang mempunyai ketertarikan pada monitoring dan evaluasi program penanggulangan
kemiskinan.
Jakarta , November 1, 2007
Dr. Pungky Sumadi, MCP, PhD
Direktur Penanggulangan Kemiskinan,
BAPPENAS
4
5. PENDAHULUAN
Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan dan program untuk menanggulangi kemiskinan
dan mengupayakan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals
– MDG). Tantangan pertama yang dihadapi dalam mewujudkan tujuan itu adalah memilih
kebijakan dan program yang tepat dari alternatif yang ada. Memilih program dan kebijakan baru
yang efektif tergantung antara lain pada: (a) pemahaman mendalam tentang kekuatan dan
kelemahan program penanggulangan kemiskinan tahun sebelumnya atau yang sedang berjalan
dan (b) adanya sistem monitoring dan evaluasi yang baik. Pada gilirannya, sistem monitoring
dan evaluasi yang berhasil hanya berguna jika keluaran, hasil, dan dampak yang jelas, layak, dan
terukur sebagaimana diharapkan, serta indikator pengukuran penanggulangan kemiskinan
ditentukan sejak awal. Kadang kala, menetapkan indikator tersebut merupakan tantangan
tersendiri. Hal itu membutuhkan, antara lain, pemahaman dan keterampilan yang lebih memadai
terkait monitoring dan evaluasi yang efektif di kalangan analis program dan kebijakan di seluruh
tingkat pemerintahan.
Untuk memenuhi kebutuhan peningkatan pengetahuan tentang monitoring dan evaluasi program
penanggulangan kemiskinan, Tim Bantuan Teknis 4762 ADB bidang perencanaan dan
penganggaran pro-rakyat miskin merancang dan melaksanakan sebuah lokakarya untuk
membantu pejabat negara dalam menyempurnakan Monitoring dan Evaluasi program
penanggulangan kemiskinan. Sesuai dengan permintaan BAPPENAS, lokakarya tersebut
diadakan selama tiga hari pada bulan Mei 2007 di Bogor dan diikuti oleh 24 pejabat dari
BAPPENAS, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat, Departemen Sosial, dan empat perwakilan dari tiga provinsi (NTT, Jawa Tengah, dan
Sumatera Selatan). Perwakilan daerah ini diundang untuk menghadirkan pengalaman di tingkat
daerah pada pembahasan di tingkat nasional.
Laporan ini terdiri dari seluruh presentasi versi tertulis dan seluruh presentasi yang benar-benar
disajikan serta dokumentasi terkait yang digunakan dalam lokakarya tersebut. Untuk memberi
para pembaca konteks dari laporan ini, mengenai alasan di balik penyusunan presentasi dan
dokumen ini serta cara penggunaan presentasi dan dokumen ini, mungkin akan bermanfaat jika
fokusnya sedikit ditekankan pada Program Lokakarya dan hasil-hasil yang dicapai.
Program Lokakarya
Hari 1 – Pendahuluan: Indikator, Sasaran, dan Perencanaan Program/Kebijakan
1) Pengantar dan Tinjauan Umum tentang Tujuan dan Hasil Program Lokakarya Tiga Hari itu;
Unsur-unsur Utama; Studi Kasus; Dua Tugas Kerja; dan Kesimpulan Hari Terakhir.
2) Perumusan Kebijakan Realistis/Pilihan Program
- Bagaimana melaksanakan Perencanaan Program dan Kebijakan yang efektif dalam
berbagai permasalahan penting penanggulangan kemiskinan (mungkin dengan
menggunakan satu atau dua MDG di mana Indonesia mengalami ketertinggalan) atau
penetapan harga beras dan kebijakan perdagangan.
- Proses memutuskan kebijakan realistis dan pilihan program, serta menetapkan tujuan dan
hasil yang realistis, mungkin berupa keluaran dan manfaat yang potensial.
3) Sasaran, Indikator, dan Database
- Bagaimana memilih dan menggunakan Sasaran dan Indikator untuk memantau dan
mengevaluasi program – sekali lagi, dengan menggunakan kasus relevan yang terjadi
baru-baru ini, misalnya beberapa MDG, KDP, CCT, dan sebagainya.
5
6. - Jumlah, mutu, konsistensi, dan penggunaan database kemiskinan yang ada – dari BPS
dan sumber lain; sekali lagi, dengan contoh-contoh spesifik.
4) Tugas Khusus 1 bagi Peserta Program – Menyusun Usulan Program Pro-Rakyat Miskin
− Menyiapkan Usulan pada malam hari terkait dengan Program Pro-Rakyat Miskin
baru/yang direvisi serta tujuan, hasil, sasaran, dan indikatornya.
− Memilih usulan dari berbagai bidang program terkait dengan cara mencapai Sasaran PRS
atau MDG utama di mana Indonesia mengalami ketertinggalan (misalnya, perluasan
lapangan kerja dan peningkatan pendapatan, pendidikan, kesehatan ibu, dan angka
kematian bayi).
Hari 2 – Monitoring dan Evaluasi yang Efektif
1) Presentasi-Pembahasan – Hasil Tugas Khusus 1
− Presentasi dan Pembahasan;
− Pelajaran yang Dipetik.
2) Ketentuan dan Unsur-unsur Sistem Monitoring yang Baik
− Kerangka Kerja Monitoring Konseptual;
− Ketentuan pokok dan unsur-unsur Sistem Monitoring yang baik (sasaran, indikator, data,
sumber daya, pertanggungjawaban, ketidakberpihakan, pelaporan, dan lain-lain);
− Studi kasus dan hasil-hasil yang dicapai di Indonesia – seperti MDG, penelusuran
kemiskinan (BPS), program pengembangan masyarakat.
3) Ketentuan dan Unsur Evaluasi yang Baik
− Kerangka Kerja Evaluasi Konseptual;
− Ketentuan pokok dan unsur-unsur evaluasi yang baik (penalaran dan tujuan, ruang
lingkup dan kriteria, metodologi, informasi, ketidakberpihakan, dan lain-lain);
− Praktik terbaik dan hambatan di dalam dan di luar negeri.
4) Tugas Khusus 2 bagi para Peserta Program – Menyiapkan Unsur-unsur Utama Evaluasi
Program Pro-Rakyat Miskin
− Memilih program dari program-program yang berjalan saat ini atau baru diusulkan
seperti BOS, raskin, jaminan sosial, CCT, PNPM, dan menyiapkan unsur-unsur utama
Evaluasi Program Pro-Rakyat Miskin.
Hari 3 – Evaluasi Studi Kasus dan Pelajaran yang Dipetik
1) Presentasi-Pembahasan tentang Hasil Tugas Khusus 2
− Presentasi, pembahasan dan pelajaran yang dipetik
2) Dua Studi Kasus
− Proses, metodologi, hasil, dan kegunaan evaluasi;
− Pro dan kontra studi kasus.
3) Sesi Penutup
− Kesimpulan utama dan pelajaran yang dipetik;
− Cara yang dapat ditempuh Pemerintah Indonesia untuk melaksanakan monitoring dan
evaluasi yang efektif;
− Cara peserta menggunakan hasil lokakarya ini;
− Tingkat kegunaan lokakarya ini bagi pemerintah daerah dan pihak lainnya.
6
7. Format lokakarya ini sangat interaktif, dengan materi disusun oleh para ahli, baik berdasarkan
teori maupun kasus, dan diselingi dengan pembahasan kelompok, umpan balik, serta latihan
praktis. Tujuan lokakarya ini secara keseluruhan bukan mengajarkan teknik monitoring dan
evaluasi secara detail kepada peserta, melainkan membantu meningkatkan kemampuan mereka
dalam merancang, mengontrak, menganalisis dan mengkaji hasil monitoring dan evaluasi.
Guna mendukung lokakarya tersebut, Dr. Pungky Sumadi, Direktur Penanggulangan
Kemiskinan BAPPENAS sekaligus pemrakarsa kegiatan pengembangan kapasitas untuk para
staf ini, mengikuti Rapat Konsultasi PADI Asia Tenggara dan Seminar Regional tentang
Monitoring dan Evaluasi Kemiskinan di Jiangxi, China awal Mei 2007. Kedua ajang itu
merupakan kesempatan emas untuk lebih mengenal praktik terbaik di tingkat internasional,
berbagi pengalaman yang dihadapi di Indonesia, dan mencari masukan berharga untuk lokakarya
BAPPENAS.
Narasumber lokakarya ini berasal dari kalangan praktisi lapangan terkemuka di Indonesia. Dr.
Suahasil Nazara, Direktur Institut Demografi bersama beberapa ekonom terkenal Universitas
Indonesia, telah bekerja keras dalam menganalisis dampak serangkaian kebijakan sosio-ekonomi
nasional terhadap penanggulangan kemiskinan. Dalam lokakarya tersebut, ia menjawab berbagai
pertanyaan tentang pilihan program dan kebijakan. Prof. Mayling Oei-Gardiner, presiden firma
penelitian ilmu sosial Insan Hitawasana Sejahtera sekaligus ahli demografi terkemuka,
membahas pilihan sasaran dan indikator yang tepat serta penggunaan database yang ada. Dr.
Sudarno Sumarto dan Dr. Asep Surhayadi, peneliti senior lembaga penelitian sosial terkemuka di
Jakarta, SMERU, memimpin sesi pembahasan rancangan sistem monitoring dan evaluasi,
sementara ketiga staf mereka menyajikan studi kasus lokal yang menggambarkan kelebihan dan
kekurangan beberapa pendekatan yang berbeda.
Para peserta diberi beberapa dokumen acuan yang memberikan gambaran tentang konsep dan
unsur monitoring dan evaluasi serta praktik terbaik di tingkat internasional, yang mencakup hal-
hal berikut:
1) Monitoring dan evaluasi tidak sama, namun keduanya membutuhkan unsur dan perangkat
yang sama, seperti tujuan program, tolok ukur, sasaran dan indikator yang jelas, serta
database yang lengkap, konsisten, dan sejalan dengan perkembangan waktu.
2) Monitoring meliputi penelusuran dan pelaksanaan sistem yang terpercaya terkait sasaran
kinerja yang jelas dan konsisten, laporan perkembangan, serta identifikasi permasalahan.
3) Monitoring memungkinkan tinjauan berkelanjutan terhadap berbagai kecenderungan dan
persoalan serta, jika dibutuhkan, perubahan dalam rencana pelaksanaan.
4) Evaluasi mencakup penilaian setelah dampak kolektif dari semua atau sebagian besar
tindakan muncul selama beberapa saat, gambaran hasil dari sudut pandang penerima; dan
identifikasi berbagai daerah, kelompok sasaran, serta dampak relatif dari berbagai
prakarsa.
5) Berdasarkan sistem monitoring yang baik, evaluasi dapat mengidentifikasi kapan, di
mana, dan bagaimana suatu rencana melenceng dari jalurnya (atau, letak kesalahannya)
dan mengusulkan perubahan.
6) Perangkap yang harus dihindari dalam perumusan dan pelaksanaan monitoring dan
evaluasi antara lain:
a. Tujuan dan Strategi yang Kabur – tidak jelas apa yang harus dicapai dan apa yang harus
dilakukan;
b. Standar Kinerja yang tidak jelas, tidak konsisten dan berubah-ubah – pengetahuan kurang
memadai tentang arah yang harus dituju;
7
8. c. Pilihan yang tidak tepat atau masalah pada tolok ukur yang digunakan – tidak tahu di
mana kita berada;
d. Sasaran – peta jalan yang tidak jelas tentang cara kita mencapai tujuan;
e. Indikator – mengukur hal keliru; atau hanya mengukur masukan dan jumlah (bukan
keluaran dan mutu) atau hal yang mudah diukur;
f. Datanya terlalu sulit dikumpulkan atau selalu berubah sepanjang waktu dan di semua
tempat (tidak bisa mengukur hal yang sama);
g. Klien sasaran dan pemangku kepentingan independen utama tidak banyak atau sama
sekali tidak terlibat.
Peserta lokakarya ini memperoleh pengetahuan memadai selama tiga hari lokakarya tersebut
digelar, antara lain:
- arti penting pengembangan kebijakan dan program yang tepat melalui tujuan dan hasil
jangka menengah yang realistis dan terukur;
- kebutuhan dan metode pemilihan sasaran program, indikator, dan database terkait yang
tepat;
- penyusunan dan pelaksanaan sistem monitoring;
- perumusan dan pelaksanaan rencana serta kerangka kerja evaluasi;
- cara melibatkan dan menggunakan klien, CSO, dan entitas individu baik dalam
monitoring maupun evaluasi.
Buku panduan ini diharapkan bermanfaat bagi pihak lain yang tertarik pada monitoring dan
evaluasi penanggulangan kemiskinan yang efektif sekaligus mampu meningkatkan kesadaran
dan pengetahuan mereka tentang sistem monitoring dan evaluasi yang baik di seluruh tingkat
pemerintahan dan di unsur-unsur masyarakat madani.
8
9. Modul 1 :
“Pilihan Kebijakan dan Program yang Realistis”
Disiapkan oleh: Suahasil Nazara, Kepala, Institut Demografi,
Universitas Indonesia
Pendahuluan
Kemiskinan merupakan masalah multidimensi karena berkaitan dengan
ketidakmampuan akses secara ekonomi, sosial, budaya, politik dan partisipasi dalam
masyarakat. Kemiskinan juga memiliki arti yang lebih luas dari sekedar lebih
rendahnya tingkat pendapatan atau konsumsi seseorang dari standar kesejahteraan
terukur seperti kebutuhan kalori minimum atau garis kemiskinan. Akan tetapi
kemiskinan memiliki arti yang lebih dalam karena berkaitan juga dengan
ketidakmampuan untuk mencapai aspek diluar pendapatan (non-income factors)
seperti akses kebutuhan minimum seperti kesehatan, pendidikan, air bersih dan
sanitasi. Lebih lanjut kompleksitas dari kemiskinan bukan saja berhubungan dengan
pengertian dan dimensinya saja tetapi juga berkaitan dengan metode pengukuran dan
intervensi kebijakan yang diperlukan dalam mengentaskan masalah ini.
Pada tahun 2006, masih sekitar 42 persen dari penduduk Indonesia hidup dibawah
garis kemiskinan atau memiliki konsumsi yang lebih rendah dari US $ 2 per hari
(World Bank 2006). Tingginya kompleksitas dari masalah angka kemiskinan yang
dihadapi Indonesia membuat masalah pengentasan masalah ini menjadi tidak mudah
dan diperlukan komitmen bersama dari semua pihak baik pemerintah, masyarakat dan
donor. Pemerintah Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk mengentaskan masalah
kemiskinan sebagaimana tercantum dalam stategi nasional penanggulangan
kemiskinan (SNPK). Selain itu pemerintah juga menargetkan untuk menurunkan
angka kemiskinan dari 18.2 persen di tahun 2002 menjadi 8,2 persen ditahun 2009
untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 (World Bank
2006).
Berkaitan dengan komitmen untuk mencapai target MDGs, satu pertanyaan yang
perlu dijawab, yaitu bentuk intervensi atau kebijakan program apa yang realistis
sehingga dapat mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Tulisan ini dibuat untuk lebih
memberi gambaran secama umum tentang kebijakan yang berpihak terhadap orang
miskin dan cukup realistis untuk diterapkan untuk kasus di Indonesia. Tulisan ini akan
dimulai dengan menjelaskan kondisi dan kolerasi dari faktor-faktor yang berkaitan
dengan masalah kemiskinan di Indonesia. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan
mengenai kebijakan atau program kemiskinan yang realisitis dan proses pentahapan
dari kebijakan tersebut. Sebelum menarik kesimpulan akan dianalisis dua contoh
program pengentasan kemiskinan yang ada yaitu bantuan operasional sekolah (BOS)
dan bantuan tunai langsung (BLT).
Kemiskinan dan Kolerasinya di Indonesia
Indonesia sendiri telah cukup berhasil menurunkan tingkat kemiskinan selama periode
tahun 1970-an sampai dengan periode awal tahun 1990-an. Berdasarkan World Bank
(2006) tercatat pada periode tersebut poverty head count rate di Indonesia turun
8
10. sampai dengan 28,6 persen. Kemudian ketika krisis ekonomi menimpa Indonesia
pada pertengahan tahun 1997, angka kemiskinan kembali meningkat dan mencapai
puncaknya pada tahun 1999 menjadi sebesar 23 persen (grafik 1). Pada periode
setelah krisis angka kemiskinan kembali menurun menjadi sebesar 16 persen ditahun
2005. Akan tetapi pada tahun 2006 angka kemiskinan kembali naik sebesar 1.75
persen. Salah satu pemicu kenaikan tingkat kemiskinan ini adalah naiknya harga beras
sebagai akibat dari larangan impor beras (World Bank 2006). Dampak kenaikan harga
beras dengan tingkat kemiskinan memang sangat erat karena beras merupakan makan
pokok bagi sebagian besar penduduk terutama bagi mereka yang kurang mampu.
Selain angka kemiskinan yang kembali naik, dimensi bukan pendapatan juga
merupakan masalah lain yang cukup rumit dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Indonesia dianggap gagal dalam upaya penbaikan faktor-faktor bukan pendapatan
terutama yang berkaitan dengan target dari MDGs (World Bank 2006). Misalnya
masih tingginya tingkat malnutrisi dikalangan anak dibawah usia lima tahun,
rendahnya tingkat kesehatan ibu, rendahnya status pendidikan diantara kelompok
miskin, rendahnya akses terhadap air bersih dan sanitasi. Kemudian khusus mengenai
kesehatan ibu, tercatat ada 307 kematian dari 100.000 kelahiran, dan angka ini lebih
tinggi tiga kali dari angka kematian ibu saat melahirkan Vietnam dan enam kali dari
Malaysia dan China (World Bank 2006).
Grafik I. Kondisi dan trend kemiskinan di Indonesia, 1978-2006
45.0
40.0
35.0
P v r H a c u t (%)
30.0
o e ty e d o n
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
76
80
84
90
96
02
04
06
19
19
19
19
19
20
20
20
Tahun
Sumber: World Bank 2006
Seperti telah dijelaskan diawal bahwa kemiskinan merupakan masalah multidimensi
sehingga sewajarnya masalah ini memiliki korelasi dengan faktor lain. Dalam report
World Bank (2006) tercatat ada lima faktor yang dianggap berkolerasi dengan
kemiskinan, yaitu pendidikan, jenis pekerjaan, gender, akses terhadap pelayanan
dasar dan infrastruktur dan lokasi geografis. Kemiskinan selalu dikaitkan dengan
ketidakmampuan dalam mencapai pendidikan tinggi. Hal ini berkaitan dengan
mahalnya biaya pendidikan itu sendiri. Walaupun upaya membebaskan uang bayaran
9
11. ditingkat sekolah dasar telah dilakukan, komponen biaya pendidikan lain yang harus
dikeluarkan masih cukup tinggi misalnya uang buku dan seragam sekolah. Biaya yang
harus diperhitungkan bagi orang miskin untuk menyekolahkan anaknya juga harus
termasuk biaya kehilangan dari pendapatan (opportunity cost) jika anak mereka
bekerja di sektor informal. Mahalnya biaya pendidikan ini membuat sekolah menjadi
milik sebagian orang saja dan bukan menjadi hak dasar bagi semua penduduk.
Kolerasi kemiskinan dan pendidikan juga terlihat pada jumlah siswa yang
melanjutkan sekolah dari SD ke SMP lalu ke SMA yang relatif kecil di kuantil
pengeluaran terendah atau kelompok termiskin (grafik 2). Untuk kuantil pengeluaran
terendah hanya 70.5 persen yang menamatkan SMP dan 18.2 persen yang
menamatkan SMA. Hal ini tentu saja kontras dengan kelompok terkaya dalam kohort
yang sama, yaitu 90.7 persen dan 40 persen untuk yang menamatkan SMP dan SMA.
Dari data tersebut juga dapat dikatakan bahwa semakin membaiknya tingkat ekonomi
yang diwakili oleh tingkat pengeluaran, maka semakin baik tingkat pendidikannya.
Grafik 2. Kolerasi pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh kelompok umur
16-18 tahun berdasarkan kelompok pengeluaran
100
90
80
70 Quantil terkaya
60
Quantil termiskin kedua
(%)
50
40
30
Quantil termiskin
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tingkat
Sumber: diolah dari data Susenas 2005
Kemiskinan juga selalu dihubungkan dengan jenis pekerjaan tertentu. Di Indonesia
kemiskinan selalu terkait dengan sektor pekerjaan di bidang pertanian untuk daerah
pedesaan dan sektor informal di daerah perkotaan. Pada tahun 2004, 68,7 persen dari
36,10 juta orang miskin tinggal dipedasaan dan 60 persen diantaranya memiliki
kegiatan utama di sektor pertanian (Sudaryanto dan Rusastra 2006). Hal ini diperkuat
oleh studi dari Suryahadi et.al (2006), yang menemukan bahwa selama periode 1984
dan 2002, baik di wilayah desa maupun kota, sektor pertanian merupakan
penyebabkan utama kemiskinan. Lebih lanjut studi ini juga menemukan bahwa sektor
pertanian menyumbang lebih dari 50 persen terhadap total kemiskinan dan sangat
kontras jika dibandingkan dengan sektor jasa dan industri. Tingginya tingkat
kemiskinan disektor pertanian menyebabkan kemiskinan diantara kepala rumah
10
12. tangga yang bekerja disektor pertanian menjadi lebih tinggi dibandingkan mereka
yang bekerja disektor lain.
Korelasi ketiga dari kemiskinan adalah gender. Di Indonesia sendiri sangat terasa
dimensi gender dalam kemiskinan, dimana dari beberapa indikator kemiskinan seperti
tingkat buta huruf, angka pengangguran, pekerja disektor informal, dan lain-lainya,
perempuan memiliki posisi yang lebih tidak menguntungkan dari laki-laki (ILO
2004). Kemudian Laporan Pembangunan Manusia tahun 2004 menunjukkan bahwa
angka Human Development index (HDI) lebih tinggi dari angka Gender-related
Development Index (GDI) dan angka Gender Empowerment Measurement (GEM)
(MDGs Report 2005). Besarnya HDI dibandingkan dengan dua indikator kesetaraan
gender menunjukkan bahwa secara umum masih terdapat kesenjangan gender yang
diikuti oleh rendahnya partisipasi dan kesempatan perempuan di bidang politik,
ekonomi, dan pengambilan keputusan. Laporan MDGs ini juga menulis bahwa dalam
perolehan angka GDI Indonesia menepati posisi ke-90 dan masih sangat tertinggal
jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya.
Kemudian salah satu penjelasan dari konsep kemiskinan adalah kurangnya akses
terhadap berbagai pelayanan dasar dan infrastuktur dan ini merupakan kolerasi
kemiskinan yang keempat. Sistem infrastuktur yang baik akan meningkatkan
pendapatan orang miskin secara langsung dan tidak langsung melalui penyediaan
layanan kesehatan, pendidikan, transportasi, telekomunikasi, akses energi, air dan
kondisi sanitasi yang lebih baik (Sida 1996). Studi yang dilakukan oleh World Bank
(2006) mengindikasikan bahwa perbaikan infrastuktur di desa, khususnya
pembangunan jalan. Studi ini juga menegaskan bahwa infrastuktur didaerah pedesaan
memerlukan lebih banyak perhatian karena hanya 48 persen orang miskin di desa
yang memiliki akses terhadap air bersih sementara akses orang miskin di kota
mencapai 78 persen.
Kolerasi yang terakhir adalah lokasi geografis. Lokasi geografis berkaitan dengan
kemiskinan karena dua hal. Pertama kondisi alam yang terukur dalam potensi
kesuburan tanah dan kekayaan alam. Kedua, Pemerataan pembangunan, baik yang
berhubungan dengan pembangunan desa dan kota, ataupun pembangunan antar
provinsi. Di beberapa provinsi khususnya di daerah timur Indonesia masih sangat
tertinggal dibandingkan pembangunan di wilayah Jawa. Berdasarkan data tahun 2004,
orang yang hidup di Papua memiliki probabilita miskin empat kali lebih besar dari
pada orang yang tinggal di daerah yang kaya sumber daya alam lainnya seperti
Kalimantan (World Bank 2006). Kemudian dimensi bukan pendapatan seperti
rendahnya pencapaian di bidang pendidikan dan penyediaan akses pada pelayanan
dasar di berbagai daerah terutama di wilayah timur Indonesia mempertegas adanya
kesenjangan berdasarkan lokasi geografis.
Kebijakan pengentasan kemiskinan
Kunci utama dari keberhasilan suatu kebijakan atau program kemiskinan adalah
perumusan yang baik. Perumusan tersebut sangat penting karena kemiskinan
merupakan masalah yang memiliki kompleksitas tinggi sehingga diperlukan kebijakan
yang sangat bergantung pada situasi dan waktu. Dalam perumusan kebijakan secara
ideal perlu dilakukan sesuai dengan pentahapan yang ada seperti dijelaskan oleh
diagram 1. Tahap pertama adalah diagnosa dan analisa kemiskinan. Pada tahap ini
akan dilakukan pengukuran tingkat kemiskinan, penargetan dan penentuan jenis
11
13. kebijakan atau program yang ingin dibuat dan hasil yang diharapkan pada tahap ini
adalah dimengertinya karateristik dan faktor yang mempengaruhi kemiskinan.
Ada dua prinsip dasar yang digunakan dalam melakukan penargetan atau menentukan
kelompok yang ingin diberi intervensi, yaitu pernargetan langsung dan penargetan
berdasarkan wilayah. Dalam penargetan langsung akan diketahui dengan jelas siapa
dan dimana lokasi keluarga miskin. Biasanya jenis penargetan ini mengalami
kesulitan dalam identifikasi sehingga memerlukan survei khusus seperti yang
dilakukan pemerintah sebelum mengucurkan bantuan tunai langsung. Kemudian
penargetan berdasarkan wilayah biasanya dilakukan dengan memilih wilayah yang
memiliki rata-rata pendapatan terkecil. Masalah yang timbul dari pernargetan jenis ini
adalah rawan terhadap kebocoran atau terdapatnya orang yang tidak miskin dalam
kelompok penerima bantuan. Hal ini dikarenakan pada wilayah ini seluruh
masyarakatnya dianggap miskin. Penargetan jenis ini dapat dilakukan dengan bantuan
peta kemiskinan.
Diagram 1. Proses perumusan kebijakan pengentasan kemiskinan
Diagnosa & Analisa Tujuan Kebijakan
Kemiskinan Pengentasan Kemiskinan
Perencanaan &
Monitoring & Evaluasi pengimplentasian
Kebijakan Kebijakan
Dari target yang telah dipilih dapat diketahui jenis kebijakan atau program apa yang
paling sesuai dengan kebutuhan. Secara umum kebijakan atau program pengentasan
kemiskinan dapat dibagi menjadi dua kelompok besar (ADB dan Bappenas 2007).
Pertama, adalah program-program yang memang hanya diperuntukkan bagi orang
miskin. Jika program jenis ini berhasil dilaksanakan maka seluruh manfaatnya bisa
dinikmati orang miskin. Program jenis ini akan sangat tergantung pada penargetan
awal untuk menghindari terjadinya salah sasaran dalam bantuan. Contoh dari program
jenis ini adalah raskin dan bantuan tunai langsung.
Kedua, adalah program-program yang diperuntukkan untuk semua orang akan tetapi
jika dilaksanakan dengan baik maka kelompok miskin akan mendapat keuntungan
yang lebih banyak dari kelompok lainnya. Contoh dari jenis program ini adalah
pemberdayaan puskesmas, penyediaan obat generik dan pembebasan uang iuran
sekolah. Berdasarkan dua jenis pilihan tersebut, dapat dikatan bahwa penargetan
12
14. langsung hanya diperlukan untuk program khusus bagi orang miskin sedangkan
program bagi semua orang hanya memerlukan penargetan secara wilayah.
Setelah mengidentifikasi kunci dari masalah kemiskinan maka perumusan kebijakan
berlanjut pada tahap berikutnya yaitu menentukan tujuan, target dan indikator yang
ingin dicapai. Dalam proses perumusan kebijakan ada perbedaan definisi dari
ketiganya (Poverty Reduction Strategy Workshop 2000). Tujuan adalah sasaran yang
ditetapkan, misalnya tujuan dari program pengetasan kemiskinan adalah penurunan
angka kemiskinan. Indikator adalah alat pengukur kemajuan yang biasa dibagi
menjadi empat dari tahap perumusan awal sampai dengan ketika program berakhir.
Keempat indikator tersebut adalah indikator input, output, hasil dan dampak. Masing-
masing indikator akan dijelaskan pada diagram 2. Sedangkan target adalah nilai
indikator yang ditetapkan untuk dicapai pada satuan waktu tertentu. Contoh dari target
adalah pemerintah Indonesia menargetkan angka kemiskinan akan turun menjadi 8.2
persen pada tahun 2009.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan target. Pertama, tujuan
yang ingin dicapai harus menyesuaikan dengan standar di internasional. Dalam kasus
penentuan tujuan program pengentasan kemiskinan tujuan nasional harus sesuai
dengan tujuan MDGs. Kedua, dalam menentukan tujuan perlu memperhatikan
distribusi pendapatan. Ketiga, tujuan ditentukan melalui proses partisipasi semua
pihak. Keempat, tujuan ditentukan dengan menentukan ukuran pencapaian atau
benchmark berdasarkan waktu yang tersedia. Kelima, dalam menentukan tujuan agar
lebih tepat sasaran harus berdasarkan pada beberapa ukuran kemiskinan berbeda.
Keenam, tujuan harus dibuat secara spesifik dengan program agar proses monitoring
menjadi lebih mudah.
Kemudian ada beberapa karakteristik yang diperlukan dalam menentukan indikator
yang baik(Poverty Reduction Strategy Workshop 2000), yaitu:
1. indikator merupakan pengukuran kemajuan yang langsung, jelas dan relevan
2. Indikator memperhatikan perbedaan antar daerah, waktu dan juga sensitif
terhadap perubahan kebijakan dan program
3. Indikator tidak dapat dengan mudah untuk dimanipulasi
4. Indikator dapat diukur dengan efisien pada interval waktu yang diinginkan.
13
15. Diagram 2. Jenis Indikator
Mengukur tujuan takhir,
perbaikan tingkat kesejahteraan
Indikator Dampak dan standar hidup
Contoh: Peningkatan kualitas
pendidikan
Mengukur hasil
Indikator Hasil (qualitas dan kuantitas)
dari barang dan jasa yang dihasilkan
Contoh: Peningkatan enrollment rate
Mengukur jumlah dari barang
Indikator Output
dan jasa yang dihasilkan oleh input
Contoh: peningkatan jumlah
fasilitas pengajaran
Indikator Input Mengukur alokasi sumber daya
yang akan dialokasikan di program
Contoh: Dana untuk BOS
Sumber: Poverty Reduction Strategy Workshop 2000
Setelah menetukan tujuan, indikator dan target pada tahap ketiga dari perumusan
kebijakan adalah merancang dan mengimplementasikan program. Hasil yang
diharapkan dalam proses merancang program adalah peraturan, petunjuk pelaksanaan,
dan petunjuk teknis. Sedangkan tahap pengimplementasian program akan dimulai
dengan sosialisasi program pada tahap awal, lalu dilanjutkan oleh monitoring selama
program berlangsung dan diakhiri oleh evaluasi ketika program berakhir.
Ada beberapa perbedaan mendasar antara monitoring dan evaluasi. Monitoring
dilakukan untuk menyediakan informasi apakah kebijakan atau program
diimplementasikan sesuai rencana dalam upaya mencapai tujuan. Monitoring
merupakan alat manajemen yang efektif karena jika dalam pengimplementasian
program berbeda dari rencana maka monitoring dapat mengidentifikasi dimana letak
masalahnya untuk kemudian dicari penyelesaiannya. Dalam banyak kasus program
bantuan monitoring seringkali dihindarkan oleh pelaksana karena monitoring dapat
segera mendeteksi adanya penyimpangan atas program.
Evaluasi berfungsi untuk melihat dampak dengan mengisolasi efek dari suatu
intervensi. Pada pelaksanaanya evaluasi memerlukan data dan metodologi yang lebih
komplek dari monitoring. Evaluasi sendiri dapat berupa dampak apakah proram
mencapai tujuan awal, proses bagaimana program dilaksanakan dan apasaja
8
16. keuntungan yang diterima oleh peserta atau juga analisa biaya dari program itu
sendiri. Lalu untuk mendapatkan evaluasi yang baik diperlukan data baseline sebagai
acuan dan melakukan perencanaan evaluasi sedari awalseperti menetapkan tujuan,
metodologi, jadwal, dan pembiayaan. Kemudian metode yang paling baik dalam
evaluasi adalah kombinasi dari metode kuntitatif dan kualitatif.
Satu catatan penting mengenai monitoring dan evaluasi adalah partisipasi semua
pihak karena kegiatan ini sebenarnya merupakan tanggung jawab bersama. Jadi dalam
melaksanakan kedua kegiatan ini perlu adanya sinergi dari semua pihak seperti
departemen terkait, penyelenggara, penerima bantuan, universitas, masyarakat, NGO
dan tentunya donor sebagai salah satu sumber pendanaan.
Perumusan kebijakan secara tepat dalam membuat program pengentasan kemiskinan
bukan segalanya karena program tersebut juga harus berkelanjutan. Oleh karena itu
diperlukan dua stategi untuk membuat program menjadi berkelanjutan, yaitu strategi
di sisi produksi dan penghidupan. Sisi produksi ini menangani masalah yang berkaitan
dengan aktivitas untuk memdorong kelompok miskin memperoleh pendapatan.
Bentuk intervensi yang dilakukan dapat berupa melibatkan mereka dalam kegiatan
produksi atau dunia kerja. Melibatkan kelompok miskin dalam kegiatan produksi
bermaksud mendorong mereka untuk membuka usaha kecil atau mikro dengan
menyediakan bantuan terhadap akses modal, pelatihan tehnologi sederhana,
infrastuktur pendukung seperti jalan di daerah pedesaan, dan mempermudah
pengurusan izin usaha.
Melibatkan orang miskin pada dunia kerja dapat dilakukan dengan memberi pelatihan
ketrampilan dasar dan regulasi pasar kerja yang mendukung terutama mengenai sektor
informal yang banyak menyerap kelompok ini. Lebih lanjut mendorong usaha kecil
dan menengah (UKM) juga dapat membantu kelompok miskin lebih terlibat dalam
dunia kerja. Hal ini dikarenakan UKM yang biasanya dimiliki oleh orang yang hampir
miskin punya kecenderungan untuk mempekerjakan orang miskin. Jadi dengan
mendorong UKM akan ada lebih banyak lapangan kerja bagi kelompok miskin.
Pada bagian penghidupan bagi orang miskin dua tujuan yang dapat dicapai. Pertama,
untuk menjadi jaring pengaman selama periode dimana kelompok miskin masih hidup
dibawah garis kemiskinan. Kedua, untuk memastikan bahwa generasi mendatang bisa
keluar dari perangkap kemiskinan. Contoh dari penghidupan bagi orang miskin adalah
perlindungan sosial dan bantuan tunai bersyarat.
Contoh Kasus: BOS dan BLT
Setelah mempelajari proses perumusan pembuatan kebijakan dan bagaimana
membuat kebijakan tersebut menjadi berkelanjutan maka penting pula untuk
membahas program pengentasan kemiskinan yang telah ada. Dengan menganalisa
program-program tersebut dapat diketahui kelemahan dan kekuatan yang kemudian
dapat menjadi pelajaran dalam merancang program yang lebih baik dimasa depan.
Dua program pengentasan kemiskinan yang akan dibahas pada bagian ini adalah
bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan tunai langsung (BLT). Kedua
program ini dirancang untuk mengurangi angka kemiskinan akibat pencabuta subsidi
BBM oleh pemerintah.
9
17. BOS sendiri diarahkan secara spesifik untuk siswa sekolah dasar dan menengah
pertama dari rumah tangga miskin namun bantuannya diberikan kepada sekolah.
Besarnya dana yang diberikan kepada sekolah sangat tergantung pada jumlah siswa di
sekolah. Dana yang dianggarkan oleh pemerintah untuk program ini relatif cukup
besar, misalnya untuk periode bulan Juni sampai dengan desember 2005 adalah
sebesar Rp. 5,3 trilyun dan pada tahun 2006 dianggarkan sebesar 11 trilyun atau
meningkat lebih dari dua kali dari tahun sebelumnya. Jumlah uang yang diterima oleh
setiap siswa adalah berkisar dari Rp. 235.000,00 – Rp. 324.500,00 per tahun (tabel 1).
Tabel 1. Target dan Alokasi Biaya Bantuan Operasional Sekolah
Target dan Biaya per Unit
Jenjang Pendidikan Jumlah Siswa Rp/Murid/Tahun
SD/MI/SDLB 28.779.709 235.000,-
SMP/MTs/SMPLB 10.625.816 324.500,-
Salafiyah setingkat SD 108.177 235.000,-
Salafiyah setingkat SMP 114.433 324.500,-
Sumber: www.depkominfo.go.id/download/BOS_KOMINFO_WAPRES.ppt
Adanya perbedaan tujuan dari program BOS yang tercantum pada buku petunjuk
pelaksanaan program tahun 2005 dan 2006 membuat dualisme pemahaman terhadap
program (SMERU 2006b). Pada buku petunjuk 2005 tidak secara spesifik menyatakan
bahwa BOS diperuntukkan untuk anak dari keluarga miskin sehingga pada tahap
pertama program timbul pemahaman bahwa program ini diperuntukkan untuk
menyediakan fasilitas sekolah gratis untuk semua orang. Oleh karena itu demi
penyempurnaan pada buku petunjuk 2006 secara tegas di tulis bahwa prioritas
program ini adalah untuk anak dari keluarga miskin.
Pada petunjuk BOS tertulis bahwa program memiliki monitoring dan evaluasi yang
bersifat internal dan eksternal yang bertujuan menjadi sumber informasi yang berguna
untuk pengambil kebijakan dalam memperbaiki program. Internal monitoring dan
evaluasi dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Departemen Agama sebagai
pelaksana program di setiap daerah administrasi mulai dari tingkat pusat sampai
dengan tingkat kabupaten atau kota. Sedangkan eksternal monitoring dilaksanakan
oleh institusi pengawasan yang relevan yang meliputi:
1. Tim monitoring independent, seperti oerguruan tinggi, DPR ata tim lain yang
secara khusus dibentuk untuk itu
2. Elemen masyarakat, seperti komite sekolah, NGO dan organisasi
kemasyarakatan lainnya
3. Badan pengawas, seperti BPK, BPKP, Irjen dan Bawasda
4. Unit pengaduan masyarakat diberbagai tingkat
Hasil dari kajian cepat yang dilakukan SMERU (2006b) di beberapa daerah sampel
menemukan bahwa monitoring dan evaluasi biasanya tidak mengikuti atau terlambat
dari jadwal yang ditetapkan karena adanya keterlambatan pendistribusian dana.
Standarisasi hasil dari monitoring dan evaluasi tidak dapat dilakukan karena tidak
adanya kesamaan kualitas, tingkat kedalaman dan fokus studi. Kemudian adanya
banyak lembaga yang terlibat maka proses monitoring dan evaluasi selain memberi
10
18. efek positif berupa mengurangi kemungkinan korupsi juga memberikan efek negatif
yaitu menyebabkan kesulitan bagi program manager untuk berkembang dan
menyesuaikan BOS dengan kondisi daerah.
Ketidakefektifan dari kegiatan monitoring dan evaluasi BOS sendiri bukan hanya
bersumber dari kesalahan dalam melakukan dua kegiatan ini tetapi juga akibat dari
perumusan program yang kurang matang. Hal ini terlihat dari berbagai kelemahan
yang muncul selama proses implementasi program seperti tidak ada verifikasi
kehadiran siswa dalam penentuan besarnya jumlah uang yang dikucurkan, tidak
adanya target disetiap tahapnya seperti telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya dan
tidak efektifnya program sosialiasi.
Bantuan tunai langsung (BLT) bertujuan menjaga tingkat konsumsi rumah tangga
miskin akibat peningkatan 120 persen rata-rata harga BBM pada bulan Oktober 2005.
Program BLT menberikan bantuan kepada rumah tangga yang dianggap masuk
kategori miskin uang sebesar Rp.100 ribu setiap bulan yang dibayarkan setiap tiga
bulan selama satu tahun. Pada tahap pertama program ini sekitar 15,5 juta rumah
tangga menerima bantuan dengan total dana yang disalurkan sebesar Rp. 4,6 trilyun
(Presentasi Menteri Negara PPN/Kepala BAPPENAS 2005). Setiap rumah tangga
miskin yang telah di survei sebelumnya diberikan kartu identitas untuk mengambil
bantuan di kantor pos diwilayah tinggal mereka.
Tabel 2. Target Bantuan Tunai Langsung
Garis Kemiskinan
(orang/Bulan) Jumlah
Rp. 120.000,- 16 juta orang
4 juta RT
Rp. 150.000,- 40 juta orang
(Garis kemiskinan di sekitar ini) 10 juta RT
Rp. 175.000,- 62 juta orang
(Hampir miskin) 15.5 Juta RT
Sumber: presentasi Menteri Negara PPN/Kepala BAPPENAS 2005
SMERU (2006a) dalam kajian cepatnya mencatat bahwa ada beberapa masalah yang
timbul dalam pelaksanaan BLT seperti adanya kesalahan dalam penargetan, masalah
pendistribusian kartu kompensasi, tidak berfungsinya institusi yang menangani
opengaduan dan monitoring program, lemahnya koordinasi, komunikasi dan
sosialisasi program. Kesalahan dalam penargetan menyebabkan terjadinya kebocoran
dan tidak tercovernya rumah tangga yang benar-benar miskin. Hal ini disebabkan oleh
waktu yang sangat terbatas untuk mendesain program. Selain itu kesalahan penargetan
juga terjadi karena pendataan yang tidak tepat akibat dari kapasitas dan subjektivitas
enumerator yang berbeda-beda disetiap daerah, screening prosedur dan verifikasi
yang tidak berjalan dengan baik dan indikator kemiskinan yang tidak adaptif terhadap
kondisi lokal (SMERU 2006a). Penetapan sistem kuota pada enumerator juga
membuat proses pendataan menjadi kurang tepat sasaran.
11
19. Sebagai evaluasi program BLT beberapa hal harus dilakukan seperti memperbaiki
kualitas dari administrasi program dan perencanaan dari program itu sendiri terutama
yang berkaitan dengan masalah penargetan. Dampak yang diukur dari program seperti
ini seharusnya lebih mengarah pada peningkatan akumulasi kapital terutama yang
mempengaruhi mutu SDM, seperti apakah ada perbaikan kualitas pendidikan seperti
peningkatan enrollment dan absen dari siswa yang keluarganya menerima bantuan.
Lebih lanjut program seperti BLT ini sendiri sebenarnya tidak terlalu bermanfaat
dimasa depan karena menciptakan ketergantungan bagi kelompok miskin. Dalam
kontek pengentasan kemiskinan selalu lebih baik memberi umpan daripada ikan.
Kemudian trend yang berkembang di dunia sendiri lebih mengarah pada bantuan
bersyarat seperti Progessa yang diberlakukan di Meksiko.
Kesimpulan
Pada tahun 2006, tingkat kemiskinan Indonesia masih jauh lebih tinggi atau lebih dua
kali lebih besar dari apa yang ditargetkan dalam MDGs, yaitu penurunan jumlah
penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan sebesar 7,2 persen pada tahun 2015
(MDGs Report 2005). Masih panjangnya jalan Indonesia mencapai target pengentasan
kemiskinan memerlukan usaha dan komitmen yang lebih dari pemerintah. Bentuk-
bentuk kebijakan dan program yang ada dirasakan masih kurang efektif mengatasi
kemiskinan. Kemudian dalam proses memformulasikan kebijakan diperlukan
berbagai persiapan dan pentahapan.
Pada persiapan pembuatan kebijakan diketahui bahwa ada lima faktor yang
berkorelasi dengan kemiskinan di Indonesia. Faktor-faktor ini adalah pendidikan,
jenis pekerjaan, gender, akses terhadap pelayanan dasar dan infrastruktur dan lokasi
geografis. Dimana perbaikan pada faktor-faktor ini akan memberi efek positif dalam
usaha pengentasan kemiskinan, yaitu meningkatkan kesempatan pada orang miskin
untuk memperoleh pendapatan.
Secara umum proses pembuatan kebijakan dapat dibagi menjadi empat yaitu diagnosa
dan analisa kemiskinan, pembuatan tujuan kebijakan, perencanaan dan
pengimplementasian kebijakan dan monitoring dan evaluasi kebijakan. Setiap tahapan
ini mempunyai peran yang penting dalam menetukan keberhasilan suatu kebijakan.
Dan ketidak efektifan satu tahap akan berakibat pada tidak tercapainya tujuan atau
malah menjadi kegagalan bagi kebijakan tersebut. Hal ini juga yang menjadi
penyebab dua program pengentasan kemiskinan yang ada seperti BOS dan BLT
menjadi tidak sepenuhnya mencapai tujuan awal. Walaupun kedua program ini tidak
dapat dikatakan gagal tapi hasil yang lebih optimal seharusnya dapat dicapai. Lebih
lanjut dalam dalam usaha membuat program pengentasan kemiskinan menjadi
berkelanjuta diperlukan penekana pada dua aspek yaitu sisi produksi dan sisi
penghidupan. Dimana sisi produksi berkaitan dengan upaya melibatkan orang miskin
dalam kegiatan produksi dan dunia kerja.
12
20. Daftar Pustaka Modul 1
ILO, 2004, ‘Gender and Poverty’, A Series of Policy Recommendations Decent Work and
Poverty Reduction in Indonesia.
Pelaksanaan Penyaluran Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM bidang Pendidikan,
(www.depkominfo.go.id/download/BOS_KOMINFO_WAPRES.ppt )
Poverty Reduction Strategies Workshop, 2000, Poverty Monitoring and evaluation for poverty
reduction strategies, Ulaanbaatar,
(http://siteresources.worldbank.org/INTPRS1/Resources/Presentations/pmeprsnt.pdf)
Presentasi Menteri Negara PPN/Kepala BAPPENAS, 2005, ‘Subsidi Langsung Tunai (SLT)
Kepada Rumah Tangga Miskin,
(www.depkominfo.go.id/download/01_Cash_Transfer_8___formatted_humas.ppt )
Sida, 1996, Promoting Sustainable Livelihoods. Stockholm: Swedish International Co-operation
Development Agency.
Sudaryanto, T. dan Rusastra, I.W., 2006, ‘Kebijakan Strategis Usaha Pertanian dalam Rangka
Peningkatan Produksi dan Pengentasan Kemiskinan’, Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Suryahadi, A., Surydarma, D., dan Sumarto, S., 2006, ‘Economic Growth and Poverty Reduction
in Indonesia: The Effects of Location and Sectoral Componentsof Growth, Working Paper,
Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta.
Tim Smeru, 2006a, ‘A Rapid Appraisal of The Implementation of the 2005 Direct Cash Transfer
Program in Indonesia: A Case Studyin Five Kabupaten/Kota’, Research Report, Lembaga
Penelitian SMERU, Jakarta.
Tim Smeru, 2006b, ‘A Rapid Appraisal of The PKPS-BBM Education Sector: School
Operational Assistance (BOS)’, Research Report, Lembaga Penelitian SMERU, Jakarta.
The World Bank, 2006, ‘Making the New Indonesia work for the poor’, The World Bank.
UNDP, 2005, ‘The Indonesia MDG Report 2005’, (http://undp.or.id/pubs/imdg2005/)
13
21. Modul 2 :
“Sistem Monitoring yang Efektif dalam Strategi
Penanggulangan Kemiskinan”
Disiapkan oleh: Wenefrida Widyanti dan Sudarno Sumarto
(Lembaga Penelitian SMERU)
Tujuan Modul 2:
Setelah mengikuti pelatihan berisi modul ini, peserta diharapkan memiliki
pengetahuan dan keterampilan dasar untuk:
1. Memberikan pemahaman kepada peserta mengenai pentingnya sistem
monitoring dalam perencanaan dan implementasi program/strategi, khususnya
yang terkait dengan penanggulangan/pengurangan kemiskinan,
2. Memberikan pemahaman kepada peserta mengenai kerangka kerja
(framework) sistem monitoring yang efektif (unsur, tahapan, dan
persyaratannya) dan pengimplementasiannya, dan
3. Memberikan pemahaman yang lebih baik kepada peserta mengenai sistem
monitoring dalam konteks yang lebih nyata dengan memberikan contoh-
contoh konkrit sistem monitoring yang ada, seperti MDGs, monitoring tingkat
kemiskinan BPS, dan sistem pemantauan kesejahteraan oleh masyarakat.
14
22. Daftar Isi Modul 2:
Halaman
1. Pendahuluan ........................................................................................................... 16
1.1 Posisi dan Keterkaitan Sistem Monitoring dan Evaluasi (M&E) dalam Strategi
Proyek .............................................................................................................. 16
1.2 Sistem Monitoring: Apa, Mengapa, dan Bagaimana? ...................................... 18
1.3 Persoalan Klasik Monitoring............................................................................. 20
1.4 Pendekatan Pengumpulan Data untuk Monitoring ........................................... 21
2. Kerangka Kerja Konseptual Sistem Monitoring ................................................ 22
2.1 Apa itu Kerangka Kerja Logis (Logical Framework Approach—LFA) ........... 22
2.2 Matriks Kerangka Kerja Logis (Logical Framework Matrix—LFM) sebagai
Produk LFA...................................................................................................... 24
2.3 Kegunaan dan Penggunaan LFA dalam Monitoring dan Evaluasi ................... 27
3. Penyusunan dan Pengembangan Sistem Monitoring dalam Strategi
Penanggulangan Kemiskinan........................................................................ 27
4. Contoh-contoh Sistem Monitoring dalam Strategi Penanggulangan
Kemiskinan ..................................................................................................... 30
4.1 Monitoring Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals –
MDGs).............................................................................................................. 30
4.2 Penelusuran Kemiskinan di Indonesia .............................................................. 31
4.3 Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh Masyarakat (SPKM).......................... 33
5. Penutup ................................................................................................................... 38
Daftar Pustaka ........................................................................................................... 40
15
23. 1 Pendahuluan
Tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan, serta mengangkat
harkat dan martabat manusia. Kemiskinan merupakan bentuk ketidaksejahteraan,
yang cenderung menurunkan harkat dan martabat manusia, sehingga keberhasilan
dalam mengurangi kemiskinan merupakan indikator keberhasilan pembangunan yang
terpenting. Salah satu elemen penting dalam kegiatan penanggulangan kemiskinan
adalah monitoring dan evaluasi. Kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) ini akan
membantu memberikan pemahaman tentang persoalan kemiskinan, serta
mengidentifikasi kendala-kendala dan kegiatan/intervensi di waktu yang lalu dalam
upaya penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian upaya penanggulanagn bisa
dilakukan secara lebih efektif. Monitoring pada umumnya merupakan bagian dari
suatu sistem yang mencakup evaluasi, atau lebih banyak dikenal sebagai Sistem
Monitoring dan Evaluasi (M&E). Sistem M&E tidak berdiri sendiri tetapi merupakan
bagian dari suatu strategi. Pada umumnya, suatu strategi mencakup perencanaan,
pelaksanaan atau implementasi berbagai program/proyek, dan sistem M&E. Kaitan
antara sistem M&E dalam strategi suatu proyek, pemahaman mengenai apa itu sistem
M&E, bagaimana menyusun dan melaksanakannya, serta mengapa sistem M&E
diperlukan, akan dibahas secara lebih rinci dalam modul ini. Modul singkat ini hanya
membahas mengenai sistem monitoring, sedangkan evaluasi akan dibahas pada modul
tersendiri. Modul singkat sistem monitoring yang efektif dalam strategi
penanggulangan kemiskinan ini dimaksudkan untuk: pertama, memberikan
pemahaman kepada peserta mengenai pentingnya system monitoring dalam
perencanan dan implementasi program/strategi, khususnya program penanggulangan
kemiskinan; kedua, memberikan pemahaman kepada peserta mengenai kerangka kerja
(framework) sistem monitoring yang efektif (unsur, tahapan, dan persyaratannya) dan
pelaksanaannya; ketiga, memberikan pemahaman yang lebih baik kepada peserta
mengenai sistem monitoring dalam konteks yang lebih nyata dengan memberikan
contoh-contoh konkrit system monitoring yang ada, seperti MDGs, monitoring tingkat
kemiskinan, serta pemantauan kesejahteraan oleh masyarakat.
1.1 Posisi dan Keterkaitan Sistem Monitoring dan Evaluasi (M&E) dalam
Strategi Proyek
Seperti telah disebutkan sebelumnya, sistem M&E pada umumnya tidak berdiri
sendiri tetapi merupakan bagian dari suatu sistem yang lebih luas, yaitu strategi,
dalam hal ini adalah strategi penanggulangan kemiskinan.
Gambar 1 memperlihatkan bagaimana posisi dan keterkaitan sistem M&E dalam
strategi proyek. Penentuan konsep atau rancangan strategi, seperti tujuan yang ingin
dicapai dan bagaimana mencapainya haruslah menjadi titik awal penyusunan strategi
proyek. Selanjutnya, dari konsep mengenai apa tujuan dan bagaimana cara mencapai
tujuan tersebut, disusun suatu sistem M&E, detil rencana operasional program-
program, serta keluaran (output), hasil (outcome), dan dampak (impact) yang
diharapkan. Penentuan keluaran, hasil, dan dampak dari suatu strategi proyek dalam
tahap perencanaan sangat penting karena jika hal tersebut dibandingkan dengan
kondisi aktual yang dicapai akan mencerminkan perubahan, yang sekaligus
merupakan ukuran keberhasilan suatu proyek. Hal tersebut merupakan fungsi pokok
sistem M&E dalam kaitannya dengan strategi proyek.
Gambar 1 juga memperlihatkan tahap-tahap sistem M&E secara rinci, yang
mencakup:
16
24. (i) pengembangan sistem M&E dengan mengidentifikasi apa saja informasi
yang dibutuhkan. Penyusunan dan pengembangan sistem ini harus mengacu
pada tujuan (apa yang ingin dicapai) dan cara pencapaian (mekanisme
pelaksanaan) yang ditetapkan,
(ii) pengumpulan dan manajemen informasi yang erat kaitannya dengan
pengukuran indikator keluaran, hasil, dan dampak program/proyek. Di
samping itu juga perlu dilakukan pengecekan terhadap pelaksanaan
operasional di lapangan,
(iii) refleksi hal-hal kritis yang perlu diperbaiki dari para pemangku kepentingan
(stakeholders). Dari data/informasi yang dikumpulkan perlu dianalisis dan
direfleksikan oleh semua pemangku kepentingan, yang hasilnya digunakan
untuk perbaikan dan pengembangan sistem M&E, dan
(iv) komunikasi dan pelaporan hasil dari pelaksanaan semua kegiatan
monitoring dan evaluasi kepada para pemangku kepentingan. Komunikasi
dan pelaporan hasil tersebut semestinya dimanfaatkan sebagai masukan baik
untuk perbaikan pelaksanaan tahap-tahap berikutnya dari kegiatan
program/proyek yang sedang berjalan maupun pelaksanaan program/proyek
serupa di masa yang akan datang.
Di samping itu, Gambar 1 menunjukkan bahwa perencanaan, yang mencakup tujuan
dan bagaimana mencapainya, merupakan dasar atau basis bagi penyusunan rencana
operasional yang lebih rinci. Penyusunan rencana operasional tersebut sangat penting
dalam pelaksanaan atau implementasi program/proyek karena akan menentukan
keluaran, hasil, dan dampaknya. Selanjutnya, untuk mengukur tingkat perkembangan
dan pencapaian keluaran, hasil, dan dampak program/proyek terhadap tujuan yang
ditetapkan perlu adanya indikator-indikator yang relevan dan terukur. Oleh karena itu,
dalam penyusunan sistem M&E yang baik, indikator-indikator untuk setiap tahapan
harus didefinisikan dengan jelas. Tambahan pula, Gambar 1 memperlihatkan bahwa
informasi yang berasal dari rencana operasional yang rinci dan data yang
dikumpulkan dari keluaran, hasil, dan dampak proyek merupakan salah satu masukan
bagi pengembangan sistem M&E. Dari informasi/data tersebut, sistem M&E
diperbaiki secara terus menerus, yang selanjutnya menjadi masukan dalam perbaikan
strategi proyek (IFAD, 2002).
17
25. Strategi Proyek
Perencanaan APA yang akan dicapai dan BAGAIMANA tujuan tersebut dicapai
Basis Basis
Perbaikan mutual untuk
untuk
Sistem Pengembangan Sistem
M&E
Detil rencana operasional
M&E Informasi
Perbaikan terus-menerus
Implementasi
Pengumpulan & Manajemen
Data lapangan
Informasi
Keluaran, hasil, dan
Refleksi hal-hal kritis yang dampak proyekC
perlu diperbaiki
Komunikasi & pelaporan hasil
Perbaikan melalui M&E
Sumber: IFAD (2002)
Gambar 1 Kaitan Sistem Monitoring dan Evaluasi (M&E) dalam Strategi
Proyek
1.2 Sistem Monitoring: Apa, Mengapa, dan Bagaimana?
Sebelum membahas sistem monitoring lebih lanjut, terlebih dahulu perlu dipahami
apa itu sistem monitoring, mengapa sistem monitoring diperlukan, dan bagaimana
menyusun dan melakukan sistem monitoring yang efektif sesuai konteks, dalam hal
ini penanggulangan kemiskinan.
1.2.1 Apa itu Sistem Monitoring
Sistem monitoring dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pengumpulan
data/informasi secara reguler dan terus-menerus yang dapat menghasilkan indikator-
indikator perkembangan dan pencapaian suatu kegiatan program/proyek terhadap
tujuan yang ditetapkan. Indikator-indikator tersebut diperuntukkan bagi manajemen
dan pemangku kepentingan (stakeholders) suatu program/proyek yang sedang
berjalan.
Sistem monitoring mencakup penelusuran pelaksanaan sistem yang dapat
dipertanggungjawabkan terhadap target kinerja yang jelas dan konsisten, laporan
kemajuan, dan identifikasi masalah. Secara umum, sistem monitoring (dan evaluasi)
terdiri dari empat komponen, yaitu: tujuan (goal), sasaran (target), indikator
(indicator), dan masukan (input). Masing-masing komponen tersebut dapat dijelaskan
seperti berikut:
(i) tujuan (goal) adalah sebuah objektif (pada umumnya untuk kurun waktu yang
panjang) yang ingin dicapai oleh suatu negara atau sekelompok orang,
kebanyakan dinyatakan dengan ukuran nonteknis (bersifat kualitatif), seperti
mengurangi kemiskinan dan kelaparan,
(ii) sasaran (target) adalah tingkat pencapaian yang terukur (umumnya berupa
18
26. ukuran kuantitatif) yang ingin dicapai suatu negara atau sekelompok orang pada
suatu waktu tertentu, misalnya menurunkan tingkat kemiskinan hingga setengah
dari tingkat kemiskinan 1990 pada 2015,
(iii) indikator adalah alat ukur untuk melihat tingkat pencapaian output terhadap
sasaran dan tujuan yang ditetapkan, seperti persentase penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan pada suatu waktu tertentu, dan
(iv) aktivitas/masukan (input) adalah berbagai bentuk sumber daya dan kegiatan
yang perlu dilakukan untuk mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan,
misalnya program-program penanggulangan kemiskinan.
Salah satu contoh sistem monitoring yang banyak dikenal adalah tujuan
pembangunan milenium (Millenium Development Goals—MDGs). MDGs –yang
merupakan deklarasi bersama 189 negara anggota PBB pada September 2000–
mencakup 8 tujuan, 18 sasaran yang diukur dengan menggunakan 48 indikator (untuk
kebutuhan pengukuran pencapaian di tingkat regional/lokal, indikator tersebut dapat
dikembangkan sesuai kondisi lokal). Di samping itu, MDGs juga memiliki batas
waktu pencapaian, yaitu 2015.
1.2.2 Apa Manfaat Monitoring?
Monitoring pada umumnya dilakukan dengan mengumpulkan data/informasi secara
reguler dan terus-menerus –yang menghasilkan indikator-indikator perkembangan dan
pencapaian– sehingga hasilnya sangat bermanfaat untuk menilai apakah sebuah
program/kebijakan dijalankan sesuai rencana dan apakah tujuan yang ditetapkan dapat
dicapai. Di samping itu, indikator-indikator yang dihasilkan juga sangat membantu
dalam pengambilan keputusan yang tepat waktu dan bertanggung gugat (akuntabel),
serta bermanfaat sebagai masukan baik bagi perbaikan program/proyek yang sedang
berjalan maupun pembelajaran bagi program serupa di masa mendatang.
1.2.3 Mengapa Monitoring Diperlukan?
Dari manfaat monitoring seperti disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa sistem
monitoring yang efektif sangat diperlukan untuk menjawab beberapa pertanyaan, di
antaranya
(i) apakah tujuan yang ditetapkan akan (cenderung) dapat dicapai? Mengapa dan
mengapa tidak?
(ii) apakah hambatan-hambatan yang ada dalam pelaksanaan/implementasi
program/proyek?
(iii) apakah koordinasi yang dilakukan efektif?
(iv) apakah terdapat kesenjangan dalam implementasi, dan bagaimana
mengatasinya?
Peran sistem monitoring dalam strategi penanggulangan kemiskinan dapat dijelaskan
dengan Gambar 2 berikut ini. Dari alur yang ada dalam gambar tersebut, terlihat
bahwa hasil monitoring dan evaluasi (monev) akan mengarah kembali ke
bagian/tahap awal strategi, atau dengan kata lain hasil monev bermanfaat untuk
membantu memberikan pemahaman kemiskinan, serta mengidentifikasi kendala-
kendala dan kegiatan/aktivitas di waktu yang lalu. Selanjutnya, prosedur tersebut
akan berulang kembali pada tahapan lainnya seperti terlihat dalam gambar.
19
27. Pemahaman kemiskinan,
kendala-kendala, dan aktivitas yang lalu
Setting prioritas dan tujuan
Pendefinisian strategi dan pemilihan
aksi
Sistem Monitoring
Pemilihan indikator dan target
Implementasi
Monitoring & evaluasi
Gambar 2 Peran Sistem Monitoring dalam Strategi Penanggulangan
Kemiskinan
Sumber: Presentasi ’Poverty Monitoring System’ oleh Francesca Bastagli & Aline Coudouel,
Poverty Reduction Group, PREM, 7 Mei 2004.
1.2.4 Bagaimana Melakukan Monitoring yang Baik dan Efektif?
Sistem monitoring yang baik dan efektif dirancang sebelum suatu program/proyek
dijalankan atau dengan kata lain terintegrasi dengan perencanaan program/proyek.
Monitoring yang dilakukan (kebanyakan dilakukan pada saat program/proyek sedang
berjalan—ongoing) sebaiknya dilakukan oleh suatu tim multisektoral yang kompeten
untuk menentukan:
(i) sesuai tidaknya program yang dijalankan dengan perencanaan dan anggaran,
(ii) problem-problem yang dihadapi dan kemungkinan pemecahannya, dan
(iii) perlu tidaknya penyesuaian (adjustment) agar tujuan yang diharapkan dapat
tercapai.
Selain mempertimbangkan metode dan pendekatan yang akan digunakan, monitoring
yang efektif juga harus mencakup sistem pelaporan yang terkoordinasi. Tambahan
pula, perlu dipikirkan perimbangan antara jenis dan banyaknya indikator yang
digunakan, tingkat pemilahan (aggregat) indikator, serta metode, frekuensi, waktu
dan/atau periode pengumpulan data yang berdampak pada besarnya biaya monitoring
terhadap keseluruhan anggaran proyek.
1.3 Persoalan Klasik Monitoring
Selama ini sistem monitoring banyak mengalami kendala yang mengurangi
keefektifan sistem tersebut, seperti:
(i) pembagian peran dan tanggung jawab antarpelaku yang kurang jelas,
20
28. (ii) tanggung jawab tidak dialokasikan dengan jelas/secara efisien,
(iii) penegakan aturan-aturan formal lemah yang berdampak pada lemahnya
koordinasi sehingga terjadi duplikasi, persaingan, kesenjangan dan penundaan
pelaksanaan tanggung jawab,
(iv) informasi kurang sahih dan tidak relevan (ketidaksesuaian antara informasi
yang dibutuhkan dan informasi yang disediakan), dan
(v) informasi sulit diperoleh, lemah dalam pelaporan, dan diseminasi yang kurang
sehingga data kurang dimanfaatkan oleh pihak-pihak terkait (Bastagli,
Francesca dan Aline Coudouel, 2004).
Karena kendala-kendala tersebut di atas, hasil monitoring seringkali tidak
dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu, pembentukan dan penataan
kelembagaan yang baik merupakan bagian terpenting untuk menjamin kelancaran arus
informasi, yang selanjutnya sangat menentukan keberhasilan monitoring, diseminasi,
dan pemanfaatan hasilnya.
1.4 Pendekatan Pengumpulan Data untuk Monitoring
Untuk mengukur input, proses, output, hasil (outcomes), dan dampak perkembangan
proyek, program, atau strategi diperlukan indikator kinerja (performance indicators).
Oleh karena itu, pengumpulan data yang dilakukan, baik pendekatan maupun
metodenya, harus mengacu pada indikator-indikator yang akan diukur.
Sistem M&E acapkali dilihat sebagai suatu pekerjaan statistik karena terkait dengan
berbagai indikator –pada umumnya kuantitatif– yang digunakan untuk melihat
pencapaian sasaran dan tujuan. Dalam praktik, pengumpulan data untuk monitoring
dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan/atau kualitatif.
Metode pengumpulan datanya pun bervariasi tergantung pada jenis pendekatan yang
dipilih.
Untuk pendekatan kuantitatif, pengumpulan data dapat dilakukan dengan
menggunakan statistik yang tersedia baik dari hasil survei maupun sensus,
pengumpulan data dengan metode survei terhadap sampel dari populasi yang diamati
baik yang bersifat khusus/berkala maupun rutin. Monitoring yang didasarkan pada
data kuantitatif pada umumnya lebih berorientasi pada hasil atau tingkat pencapaian
(ukuran kinerja) dan kurang mempertimbangkan proses. Adapun monitoring yang
didasarkan pada data kualitatif –baik data dari pengamatan lapangan, wawancara
mendalam, metode partisipatoris, diskusi kelompok terarah (focus group discussion—
FGD), maupun metode-metode kualitatif lainnya– pada umumnya tidak semata-mata
berorientasi pada hasil, tetapi juga proses. Selain itu, indikator kualitatif lebih mampu
menggambarkan karakteristik yang sulit dideskripsikan dengan ukuran numerik.
Untuk memperjelas uraian di atas, Tabel 1 berikut ini menyajikan contoh indikator-
indikator yang diukur melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif untuk setiap
elemen sistem M&E.
21
29. Tabel 1 Contoh Indikator Kuantitatif dan Kualitatif dalam Monitoring dan
Evaluasi
Komponen M&E Kuantitatif Kualitatif
Pengeluaran untuk Tingkat kecukupan
Input
pendidikan dasar kurikulum
Kualitas kondisi mengajar
Keluaran Jumlah guru SD
di kelas
Tingkat partisipasi dan putus Tingkat kepuasan metode
Hasil
sekolah (drop-out) pengajaran
Tingkat perubahan
Tingkat melek aksara
Dampak persepsi pemberdayaan
(literacy rate)
dan status kemiskinan
Sumber: Sumber: UN Development Group (2005).
Secara umum sistem monitoring diarahkan untuk menjawab efektivitas program,
proyek, atau strategi. Oleh karena itu, di samping pengumpulan data/informasi untuk
mendapatkan indikator input, output, dan hasil, sistem monitoring (dan evaluasi) perlu
dilengkapi dengan cost benefit dan cost effectiveness analysis (IBRD/The World
Bank, 2004).
2 Kerangka Kerja Konseptual Sistem Monitoring
Sistem monitoring (dan evaluasi) kebanyakan dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kerangka kerja logis (logical framework approach—LFA) yang
dijelaskan berikut ini.
2.1 Apa itu Kerangka Kerja Logis (Logical Framework Approach—LFA)
LFA merupakan suatu alat bantu (tool) yang bersifat analitis bagi para perencana atau
manajer dalam:
(i) melakukan analisis situasional pada tahap penyiapan program,
(ii) menetapkan suatu hirarki logis dari tujuan yang ingin dicapai,
(iii) mengidentifikasi potensi risiko upaya pencapaian tujuan dan hasil yang
berkelanjutan,
(iv) menetapkan suatu cara agar keluaran dan hasil proyek dapat dimonitor dan
dievaluasi dengan baik,
(v) menyajikan rangkuman proyek dalam format yang standar, dan
(vi) memonitor dan mengkaji ulang pelaksanaan proyek (AusAid, 2003).
Dengan kata lain, LFA mencakup analisis masalah (problem analysis), analisis
pemangku kepentingan (stakeholder analysis), pengembangan suatu hirarki logis dari
objektif (objective analysis), identifikasi risiko yang mungkin terjadi, dan pemilihan
strategi implementasi yang diunggulkan. Hasil pendekatan analitis ini berupa suatu
matriks yang biasa disebut matriks kerangka kerja logis (logical framework matrix—
LFM). Matriks ini merupakan rangkuman apa saja yang akan dilakukan dan
bagaimana melakukannya, asumsi-asumsi yang digunakan, dan bagaimana keluaran
dan hasil dari kegiatan-kegiatan akan dimonitor dan dievaluasi (AusAid, 2003).
22
30. LFA pada umumnya terdiri dari empat elemen utama, yaitu:
(i) masukan (inputs),
(ii) keluaran (outputs),
(iii) hasil (outcomes), dan
(iv) dampak (impact).
Secara hirarki, keempat elemen dari kerangka kerja konseptual tersebut di atas
digambarkan dalam Gambar 3. Masukan (input) berupa sumber daya, seperti sumber
daya manusia, finansial, dan sarana-sarana fisik lainnya, merupakan prasyarat
pelaksanaan kegiatan-kegiatan proyek. Kegiatan-kegiatan tersebut menghasilkan
keluaran (output) berupa barang dan jasa. Untuk melihat kecukupan masukan dan
volume hasil dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan diperlukan ukuran, yaitu
indikator, yang pada kedua tahapan/fase ini menggunakan indikator antara
(intermediate indicators). Dari rangkaian proses tersebut, selanjutnya diperoleh hasil
(outcomes) dan dampak (impact) yang pada umumnya baru dapat dilihat setelah kurun
waktu tertentu tergantung dari jenis proyek. Untuk mengukur dua element terakhir
tersebut digunakan indikator akhir (final indicators).
Untuk memperjelas hubungan keempat elemen tersebut di atas diberikan suatu contoh
di bidang pendidikan. Masukan dalam hal ini dapat berupa sumber daya manusia,
finansial, dan fisik yang tersedia. Elemen ini dapat diukur dengan indikator seperti
nilai anggaran atau pengeluaran untuk pendidikan serta ketersediaan sarana prasarana
terkait. Keluaran dari kegiatan yang didukung oleh masukan tersebut dapat dilihat dari
banyaknya bangunan sekolah, buku pelajaran, dan perlengkapan sekolah lainnya.
Adapun elemen hasil yang menggambarkan akses, pemanfaatan, dan tingkat kepuasan
pelayanan pendidikan dapat dilihat dari indikator-indikator seperti tingkat partisipasi
per jenjang pendidikan, tingkat putus sekolah, dan tingkat melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Adapun dampak dari semua proses di atas dapat diukur
dengan menggunakan indikator akhir pada tingkatan atau cakupan yang lebih luas,
misalnya tingkat melek huruf.
Dampak pada standar
Dampak (Impact) kehidupan
Indikator akhir (final
indicators)
Siapakah penerima manfaat?
Hasil (Outcomes) (akses, pemanfaatan dan
tingkat kepuasan)
Produk (barang & jasa) yang
Keluaran (Output) dihasilkan oleh suatu projek
Indikator antara
(intermediate indicators)
Masukan (Input) Sumber daya yang tersedia
bagi aktivitas proyek
Gambar 3 Kerangka Kerja Konseptual Sistem Monitoring dan Evaluasi
Sumber: World Bank (2003).
23
31. 2.2 Matriks Kerangka Kerja Logis (Logical Framework Matrix—LFM)
sebagai Produk LFA
Konsep LFA tersebut selanjutnya dituangkan dalam suatu matriks kerangka kerja
logis (logical framework matrix—LFM) secara terstruktur dan sistematis dalam
pengisiannya seperti ditunjukkan Tabel 2. LFM memuat semua komponen LFA
sehingga matriks tersebut juga dapat dikatakan sebagai rangkuman rancangan proyek.
Dalam pengisian sel-sel matriks tersebut digunakan dua macam kerangka pikir logis,
yaitu logika vertikal dan logika horisontal. Logika vertikal digunakan untuk
mengidentifikasi proyek yang akan dijalankan, mengklarifikasi hubungan sebab
akibat (if-then causality), serta menentukan asumsi-asumsi penting yang mendasari
dan ketidakpastian/risiko yang mungkin terjadi di luar kontrol (necessary-sufficient
condition). Adapun logika horisontal mendefinisikan bagaimana tujuan/objektif yang
ditetapkan dalam deskripsi proyek dapat diukur dan bagaimana ukuran tersebut
diverifikasi. Di samping itu, logika horisontal juga membantu menentukan komponen
pokok dalam monitoring dan evaluasi, seperti menentukan indikator yang digunakan
untuk mengukur perkembangan pencapaian tujuan dan means of verifications—MoV
yang mendeskripsikan dengan jelas sumber data/informasi yang dibutuhkan, metode,
siapa yang bertanggung jawab, dan waktu (frekuensi dan periode) pengumpulan
datanya (AusAid, 2003).
Tabel 2 berikut ini menunjukkan struktur LFM dan urutan pengisiannya dengan
menggunakan kedua logika berpikir seperti dijelaskan sebelumnya. Pertama kali
ditetapkan goal dari proyek yang akan dijalankan, kemudian diikuti penetapan tujuan,
keluaran, dan jenis aktivitas/masukan dari proyek tersebut. Dalam menentukan
aktivitas, keluaran, dan sasaran perlu dilengkapi dengan asumsi-asumsi penting yang
mendasari penetapan ketiga hal tersebut secara berturut-turut. Seperti telah disebutkan
sebelumnya, baik tujuan, sasaran, keluaran, maupun aktivitas/masukan harus disertai
dengan indikator-indikator kinerja yang terukur sesuai dengan masing-masing tahapan
atau elemen LFM, termasuk bagaimana indikator diukur (metode dan sumber data).
Di samping itu, untuk memperjelas agenda aktivitas proyek perlu disusun rencana dan
jadwal kerja sesuai dengan cakupan kegiatan.
Tabel 2 Struktur Matriks Kerangka Kerja Logis (LFM) dan Urutan
Pengisiannya
Means of
Verification/MoV
Deskripsi Proyek Indikator Kinerja Asumsi
(sumber data &
metode)
1. Goal 8. Indikator 9. Means of
Verification (MoV)
2. Purpose/objective 10. Indikator 11. Means of 7. Asumsi
output Verification (MoV)
3. Output 12. Indikator input 13. Means of 6. Asumsi
Verification (MoV)
4. Activities Jadwal Rencana kerja 5. Asumsi
Cakupan kegiatan Laporan kerja dan
keuangan
Sumber: Diadaptasi dari AusAid (2003)
24
32. Bilamana proyek yang dirancang berskala besar dan/atau memiliki cakupan yang luas,
maka proyek dapat dibagi dalam beberapa komponen atau subproyek. Untuk setiap
komponen/subproyek perlu ditetapkan objektif yang harus pula dilengkapi dengan
elemen LFA lainnya seperti indikator, MoV, dan asumsi. Dalam matriks, objektif dari
tiap-tiap komponen/subproyek ditempatkan di bawah objektif proyek tersebut (pada
baris ketiga dari tabel).
Selanjutnya, Tabel 3 menyajikan tipe aktivitas M&E dan tingkat informasi yang
dikumpulkan untuk tiap-tiap elemen M&E dalam LFM.
Tabel 3 LFM dan Aktivitas Monitoring dan Evaluasi (M&E)
Hirarki logframe Tipe aktivitas M&E Tingkat informasi
Goal Evaluasi ex-post Hasil/dampak
Evaluasi pada saat
proyek selesai
Purpose Hasil/efektivitas
(completion) dan sedang
berjalan (ongoing)
Monitoring dan tinjauan
Output Keluaran
(review)
Activities Monitoring Masukan/Keluaran
Sumber: Diadaptasi dari AusAid (2003)
Untuk melengkapi gambaran jenis-jenis informasi yang dibutuhkan dalam monitoring,
Tabel 4 menyajikan contoh kebutuhan informasi monitoring, khususnya monitoring
kesejahteraan dan kemiskinan. Selain menampilkan jenis informasi dan sumber data,
tabel tersebut juga menampilkan frekuensi atau periode pengumpulan data dan tingkat
pemilahannya.
25
33. Tabel 4 Contoh Kebutuhan Informasi untuk Monitoring Kesejahteraan dan
Kemiskinan
Sumber
Informasi
Frekuensi/ informasi yang
Isu yang dibahas yang Pemilahan
periode mungkin
diperlukan
diperoleh
Monitoring Input
Tinjauan Statistik Tahunan Provinsi, Data keuangan
pengeluaran keuangan dan kabupaten/kota dan anggaran
publik anggaran
Apakah
pengalokasian
sumber daya
sesuai dengan
peruntukan/pe-
rencanaannya
Monitoring Keluaran (Output) Program
Apakah aktivitas Catatan Tahunan Provinsi, Catatan
penanggulangan mengenai kabupaten/kota administratif
kemiskinan pelayanan
diimplementasika yang tersedia,
n sesuai dengan pembangunan
perencanaan? fasilitas, dll
Monitoring Penerima/Sasaran Program (Beneficiary)
Apakah Jarak Provinsi, Survei
masyarakat ke fasilitas Tah kabupaten/kot ketersediaan
miskin (rumah unan a, kelompok layanan atau
memiliki akses tangga atau sosial ekonomi indikator
terhadap komunitas) kesejahteraan
pelayanan/pro-
gram yang lebih
baik?
Apakah Provinsi, Survei
mereka Tingka Tah kabupaten/kot ketersediaan
menggunakan- t unan a, kelompok layanan atau
nya? penggunaan sosial ekonomi indikator
/ kesejahteraan
pemanfaata
n (misalnya
APK/APM)
Apakah Tingkat Provinsi, Survei
pelayanan/pro- kepuasan Tahunan kabupaten/kot indikator
gram sesuai? a, kelompok kesejahteraan
sosial ekonomi dan PPA
26
34. 2.3 Kegunaan dan Penggunaan LFA dalam Monitoring dan Evaluasi
Seperti disebutkan sebelumnya, penyusunan dan pengembangan sistem M&E dengan
menggunakan LFA dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
(i) informasi yang dibutuhkan,
(ii) alat bantu (tool) yang ada dan yang dibutuhkan,
(iii) output yang dihasilkan dan siapa yang menghasilkannya, dan
(iv) sumber daya apa saja yang dibutuhkan dalam implementasi program.
Oleh karena itu, pendekatan tersebut sangat membantu untuk mengidentifikasi data yang
diperlukan, serta menetapkan program dan kerangka kerja institusional. Dengan menggunakan
LFA, kebutuhan informasi dapat dikelompokkan menjadi empat kategori berdasarkan
peruntukannya, yaitu
(i) monitoring input, dilakukan untuk memonitor sumber daya yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Data dapat diperoleh dari catatan
keuangan, personil, dan material,
(ii) monitoring program, dilakukan untuk memonitor jenis dan pelaksanaan program. Data
dapat diperoleh dari catatan administratif dan data statistik terkait,
(iii) monitoring penerima program (beneficiary), dilakukan untuk memonitor ketepatan
sasaran, penggunaan, dan kesesuaian program dengan kebutuhan masyarakat miskin.
Data diperoleh melalui survei atau pengumpulan data yang spesifik,
(iv) evaluasi dampak, dilakukan untuk memonitor dampak program terhadap kondisi
kesejahteraan atau tingkat kemiskinan. Seperti halnya monitoring penerima program, data
untuk evaluasi dampak diperoleh melalui survei atau pengumpulan data yang spesifik.
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa LFA sebaiknya digunakan pada saat:
(i) pengidentifikasian dan penentuan aktivitas yang sesuai dengan cakupan program nasional,
(ii) penyiapan rancangan program/proyek secara sistematis dan logis,
(iii) penilaian rancangan program/proyek,
(iv) implementasi program/proyek yang disetujui, dan
(v) pengkajian perkembangan dan kinerja program/proyek.
3 Penyusunan dan Pengembangan Sistem Monitoring dalam Strategi Penanggulangan
Kemiskinan
Terdapat suatu pertanyaan terkait dengan konteks penanggulangan kemiskinan dan sistem
monitoring sebagai pengantar pembahasan bagian ini, yaitu apakah strategi penanggulangan
kemiskinan yang dijalankan efektif. Untuk menakar efektivitas suatu strategi penanggulangan
kemiskinan diperlukan suatu sistem monitoring yang mampu:
(i) melihat perkembangan kemiskinan antarwaktu dan/atau antarwilayah,
(ii) mengukur perubahan yang terjadi sebagai hasil pelaksanaan strategi program
penanggulangan kemiskinan, dan
(iii) memberikan gambaran secara menyeluruh berkaitan dengan tingkat relevansi, efektivitas,
dan efisiensi dari strategi yang dijalankan.
Dengan demikian, sistem monitoring strategi penanggulangan kemiskinan semestinya dapat
digunakan, antara lain untuk:
(i) mendukung pengambilan keputusan/kebijakan penanggulangan kemiskinan, penentuan
27
35. prioritas anggaran, serta pemutakhiran dan pengembangan strategi penanggulangan
kemiskinan,
(ii) mendukung akuntabilitas pilihan-pilihan kebijakan yang diambil pemerintah serta
dampaknya terhadap kemiskinan, dan
(iii) mempromosikan dialog berdasarkan fakta (evidence-based dialogue) antara pemerintah,
masyarakat sipil, serta donor atas kebijakan dan prioritas pembangunan (Bedi et al., 2006).
Mengingat manfaat dan peran sistem M&E yang penting dalam suatu strategi, termasuk di
antaranya strategi penanggulangan kemiskinan, maka penyusunan atau perencanaan sistem
tersebut harus dipersiapkan dengan baik. Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam penyusunan
sistem M&E adalah:
(i) menentukan tujuan, mekanisme, dan informasi yang dibutuhkan untuk monitoring (dan
evaluasi) kondisi kemiskinan,
(ii) mengatur mekanisme koordinasi kelembagaan dan sistem pelaporan,
(iii) menentukan metode pengumpulan data/informasi,
(iv) menentukan pihak yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan data, jangka waktu dan
frekuensi pengumpulan data, serta alokasi sumber daya, dan
(v) menetapkan mekanisme sharing dan diseminasi data/informasi.
Salah satu hal penting dalam penyusunan sistem monitoring adalah penetapan indikator.
Indikator sebagai tolok ukur kinerja dalam sistem monitoring perlu ditentukan pada tahap
persiapan, demikian pula halnya dengan sumber datanya. Data yang digunakan dapat berasal
dari data yang telah ada sebelumnya ataupun data yang dikumpulkan secara khusus sesuai
dengan rancangan program yang akan dimonitor dan dievaluasi. Bila data akan dikumpulkan
melalui survei, terdapat beberapa hal penting perlu diperhatikan, di antaranya, sampel dan teknik
penarikan sampel (juga perlu mempertimbangkan tingkat pemilahan/agregasi yang diharapkan),
metode dan instrumen, serta frekuensi dan waktu pengumpulan data.
Di samping itu, perlu juga diperhatikan kaidah ‘SMART’ dalam penentuan atau pembentukan
indikator tiap-tiap elemen/komponen sistem monitoring dan evaluasi, yaitu
(i) specific, harus dapat mengukur perubahan kondisi sesuatu yang akan diukur secara
spesifik,
(ii) measurable, terukur, dapat diagregasikan, dan memungkinkan untuk dianalisis lebih lanjut,
(iii) attainable, tidak sulit dalam pemerolehan/pengumpulan data/informasinya (terutama dari
segi waktu dan sumber daya),
(iv) relevant, terkait dengan informasi yang dibutuhkan, dan
(v) timely, tepat waktu dalam pengumpulan data dan pelaporan hasilnya.
Dalam menyusun dan/atau mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi, terdapat beberapa
hal yang harus dihindari, seperti
(i) tujuan dan sasaran yang tidak jelas (apa saja yang diinginkan dalam rangka mencapai
tujuan secara keseluruhan dan apa saja yang ingin dilakukan),
(ii) tolok ukur kinerja yang tidak jelas, tidak konsisten, dan sering berubah-ubah,
(iii) indikator yang tidak benar/tepat sehingga menghasilkan ukuran yang tidak tepat pula,
(iv) data terlalu sulit dikumpulkan, dan
(v) kurang dilibatkannya para penerima manfaat dan pemangku kepentingan kunci.
Gambar 4 berikut ini merupakan contoh pengintegrasian sistem monitoring dan evaluasi, dalam
hal ini MDGs dalam kaitannya dengan program pembangunan nasional yang salah satu di
28
36. antaranya memprioritaskan pengurangan kemiskinan. Perencanaan pembangunan, baik jangka
panjang, menengah, maupun jangka pendek (tahunan) dilatari oleh MDGs dan konvensi
internasional lainnya. Dalam agenda jangka menengah (2004—2005), pemerintah menetapkan
pengurangan kemiskinan sebagai salah satu agenda yang diprioritaskan, yang harus
diintegrasikan dalam perencanaan pembangunan baik di pusat maupun daerah.
Agenda Pembangunan Nasional 2004-2009
1. Mewujudkan Indonesia yg aman &damai
2. Mewujudkan Indonesia yg adil &
demokratis
MDGs & konvensi RPJP
3. Mewujudkan Indonesia yang sejahtera:
Internasional
lainnya a. Menurunnya jumlah penduduk miskin
dan pengangguran terbuka
RPJM b. Meningkatnya kualitas SDM
c. Meningkatnya kualitas lingk. &
Renstra pengelolaan SDA
d. Meningkatkan kualitas & kuantitas
infrastruktur
Program-program
Sektoral RKP
Penanggulangan Kemiskinan
Program-program selalu menjadi prioritas utama
Regional
IMPLEMENTASI
APBN PENANGGULANGAN
KEMISKINAN
APBD
Gambar 4 Pengintegrasian MDGs dalam Kerangka Program Pembangunan Nasional
Di samping menyusun kerangka kerja program pembangunan nasional, yang menempatkan
pengurangan kemiskinan sebagai salah satu agenda atau prioritas utama, disusun pula suatu
pengaturan kelembagaan (institutional arrangement) dalam pelaksanaannya seperti terlihat
dalam Gambar 5. Dalam bagan tersebut terlihat bahwa Komite Penanggulangan Kemiskinan
(KPK) bertugas untuk melakukan pemantauan (monitoring) dan pelaporan pelaksanaan
penanggulangan kemiskinan. Untuk melaksanakan tugasnya, KPK membentuk kelompok kerja
(pokja) yang beranggotakan Bappenas, kementerian/lembaga terkait, Kementerian Keuangan,
BPS, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi, lembaga
penelitian, media massa, dan masyarakat. Adapun Kementerian Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional sebagai koordinator pokja bidang perencanaan makro bertanggung
jawab untuk melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan (KPK, 2005).
29
37. Gambar 5 Pengaturan Kelembagaan dalam Sistem Monitoring dan Evaluasi
Sumber: KPK, 2005.
4 Contoh-contoh Sistem Monitoring dalam Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Untuk memperjelas pemahaman mengenai sistem monitoring, berikut ini diberikan beberapa
contoh sistem monitoring yang terkait dengan strategi penanggulangan kemiskinan di Indonesia,
yaitu monitoring MDGs, penelusuran kemiskinan di Indonesia, dan Sistem Pemantauan
Kesejahteraan oleh Masyarakat (SPKM).
4.1 Monitoring Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals –
MDGs)
Subbagian ini tidak akan membahas semua tujuan pembangunan milenium (Millenium
Development Goals—MDGs) yang mencakup 8 butir, namun hanya membatasi pada goal
pertama yang terkait langsung dengan kemiskinan dan kelaparan. Goal pertama MDGs
mencakup dua target yang akan dipilih sebagai salah satu contoh sistem monitoring. Seperti
diketahui, target pertama MDGs adalah menurunkan proporsi penduduk miskin menjadi
setengahnya dalam tahun 1990—2015 dan target kedua adalah menurunkan proporsi penduduk
yang menderita kelaparan menjadi setengahnya dalam tahun 1990—2015. Dari kedua target
tersebut, ditentukan beberapa indikator seperti ditunjukkan oleh Tabel 5. Untuk melihat tingkat
pencapaian tujuan, perlu dilakukan penghitungan indikator-indikator yang telah ditetapkan
secara rutin. Dalam tabel berikut juga disajikan sumber data yang digunakan untuk menyusun
indikator yang ditetapkan.
30