SlideShare a Scribd company logo
1 of 89
Download to read offline
1
Tata Kelola Kolaboratif :
(Collaborative Governance)
Menata Kolaborasi Pemangku Kepentingan
Oswar Mungkasa1
When collaborating,
“the government sometimes needs to play the role of participant
rather than leader and learner rather than teacher”
(Smith, 2004)2
.
I. Sejarah Tata Kelola Kolaboratif
Istilah Collaborative Governance yang diterjemahkan menjadi Tata Kelola Kolaboratif muncul
ketika terjadi pergeseran dari Old Public Administration (OPA) ke paradigma baru yaitu New Public
Management (NPM). Penyebutan government kemudian berganti menjadi governance. Perubahan
istilah ini bertujuan untuk mendemokrasikan administrasi publik, karena ketika menggunakan istilah
government penekanannya lebih kepada institusi pemerintah, berbeda ketika bergeser menjadi
governance terdapat penekanan adanya keterlibatan non-pemerintah, yaitu kelompok kepentingan dan
masyarakat (Sari, 2014).
Tabel. 1
Perbandingan Government dan Governance
No Unsur Government Governance
1 Pengertian badan/lembaga/fungsi yang
dijalankan oleh suatu organ
tertinggi dalam suatu negara.
cara penggunaan atau
pelaksanaan.
2 Sifat hubungan Hirarki, dalam arti yang
memerintah berada di atas,
sedangkan warga yang diperintah
berada di bawah.
Heterarki, dalam arti terdapat
kesetaraan dan hanya berbeda
dalam fungsi.
3 Komponen yang terlibat Sebagai subjek hanya ada satu
yaitu institusi pemerintah.
Tiga komponen yang terlibat,
yaitu pemerintah, swasta, dan
masyarakat.
4 Pemegang peran
dominan.
Pemerintah. Semua memegang peran sesuai
fungsinya masing-masing.
5 Efek yang diharapkan Kepatuhan warga negara Keterlibatan warga negara
6 Hasil akhir yang
diharapkan.
Pencapaian tujuan negara melalui
kepatuhan warga negara.
Pencapaian tujuan negara dan
masyarakat melalui partisipasi
sebagai warga negara maupun
sebagai warga masyarakat.
Sumber : Wasistiono (2009) dalam Febrian (2018).
Perkembangan paradigma ilmu Administrasi Publik setidaknya mengalami 4 (empat) tahapan,
sebagaimana dikutip dari Chemma (2003), yaitu
1
Bekerja di Bappenas
2
Ralph Smith, Part 1: Lessons from the Homelessness Initiative in Policy Development and Implementation in Complex
Files. Ottawa: Canada School of Public Service.2004.
2
(i) Administrasi Publik Tradisional (Traditional Public Administration), berorientasi hirarki,
keberlanjutan, ketidakberpihakan, standarisasi, rasional-legal, otoritas, dan profesionalitas
(ii) Manajemen Publik (Public Management), terfokus pada efisiensi pemakaian sumberdaya,
efektivitas, berorientasi pelanggan dan kekuatan pasar dan lebih peduli kepentingan masyarakat,
serta memberi peran swasta.
(iii) Manajemen Publik Baru (New Public Management), terfokus pada fleksibilitas, pemberdayaan,
inovasi, berorientasi hasil, out-sourcing dan contract out, promosi etika profesi, serta
manajemen berbasis kinerja. Menekankan pada peran institusi negara menuju pengelolaan
layanan pubik yang lebih pro pasar.
Pada paradigma NPM terjadi pergeseran dari kebijakan dan administrasi menuju
pengelolaan bergaya swasta. Masyarakat diposisikan sebagai pelanggan dan pemerintah
berperan mengarahkan (Mutiarin dan Arif (2014) dalam Jahro (2019)).
(iv) Tata Kelola (Governance), suatu sistem nilai, kebijakan, dan kelembagaan dengan pengelolaan
urusan ekonomi, sosial dan politik melalui kerjasama masyarakat, pemerintah dan swasta.
Paradigma ini memromosikan people center development (pembangunan berbasis masyarakat),
yang mengutamakan proses masyarakat dapat mengungkapkan kepentingannya,
mempertemukan perbedaan, dan menjalankan hak serta kewajibannya.
Pemerintah memainkan peran penciptaan kondisi politik dan hukum yang mendukung,
swasta menyediakan lapangan kerja, serta masyarakat madani menyelenggarakan hubungan
sosial dan politik secara sehat (Harmawan, 2016).
II. Tata Kelola (Governance)
Jika dilihat awal kemunculannya, istilah governance pertama kali dihadirkan pada tahun 1980
oleh World Bank untuk menganalisis reformasi kelembagaan dan pentingnya keberadaan pemerintah
yang lebih baik dan efesien di negara-negara Afrika (Maldonado, 2010). Sejak kemunculan pertama,
diskusi mengenai governance terus berkembang dengan pesat (Febrian, 2018).
Sedarmayanti (2009) menjelaskan bahwa istilah governance mengandung makna tindakan,
fakta, pola, dan kegiatan atau penyelenggaraan pemerintahan, yang berarti bahwa governance adalah
suatu kegiatan (proses). Istilah governance tidak hanya bermakna sebagai suatu kegiatan, tetapi juga
mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan penyelenggaraan dan bisa juga
diartikan pemerintahan (Jahro, 2019).
Dwipayana dkk. (2003) menjelaskan bahwa governance tidak sama dengan goverment
(pemerintah) dalam arti sebagai lembaga, tetapi governance adalah proses kepemerintahan dalam arti
yang luas. Kalau goverment dilihat sebagai “mereka” maka governance adalah “kita”. Goverment
mengandung pengertian seolah hanya politisi dan pemerintahlah yang mengatur, melakukan sesuatu,
memberikan pelayanan, sementara sisa dari “kita: adalah penerima yang pasif”. Sementara
governance meleburkan perbedaan antara “pemerintah” dan yang “diperintah” karena kita semua
adalah bagian dari proses governance (Dewi, 2012)
Lebih lanjut Sedarmayati (2009) mengartikan governance sebagai kualitas hubungan antara
pemerintah dan masyarakat yang dilayani dan dilindunginya, yang mencakup 3 (tiga) ranah yaitu state
(negara atau pemerintahan), private sectors (swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat).
Selanjutnya, Rochman dalam Sedarmayanti (2009) menyatakan governance adalah mekanisme
pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh pemerintah dan non-
3
pemerintah dalam satu usaha bersama (Jahro, 2019).
Dengan demikian, Kooiman, 1993 dalam Sedarmayanti (2009), mengartikan governance
sebagai serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam
berbagai bidang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas
kepentingan tersebut (Jahro, 2019).
Sedarmayanti (2003) lebih lanjut menjelaskan bahwa berdasar definisi United Nation
Development Program (UNDP) dijelaskan Governance sebagai pelaksanaan kewenangan politik,
ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah bangsa. Oleh karena itu, institusi dari
governance meliputi tiga pihak yaitu negara atau pemerintah (state), swasta atau dunia usaha (private
sector) dan masyarakat (society) yang saling berhubungan dan menjalankan fungsinya masing-masing
(Dewi, 2012).
Sementara Sumarto (2004) menegaskan bahwa dalam konsep governance, pemerintah hanya
menjadi salah satu pelaku dan tidak selalu menjadi yang paling menentukan. Implikasinya, peran
pemerintah sebagai pembangun maupun penyedia jasa pelayanan dan infrastruktur akan bergeser
menjadi pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memasilitasi pelaku lain dari komunitas dan
swasta untuk ikut aktif melakukan upaya tersebut (Dewi, 2012).
Sehingga menurut Dwiyanto (2005), governance menunjuk pada pengertian bahwa kekuasaan
tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance menekankan pada
pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah dan institusi lain yakni Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), perusahaan swasta maupun warga negara. Meskipun perspektif
governance mengimplikasikan terjadinya pengurangan peran pemerintah, pemerintah sebagai
institusi tidak bisa ditinggalkan begitu saja (Dewi, 2012). Secara khusus Kooiman dkk (2005)
menambahkan 3 (tiga) pilar tata kelola yakni koordinasi, kolaborasi dan konsultasi (Bowo, 2009).
Dengan demikian, menurut Bevir (2006) pada dasarnya governance merupakan transformasi
sistem tata kelola yang mencakup
(i) Perubahan dari sistem hirarki dan pasar menjadi sistem jaringan dan kemitraan
(ii) Menjalin keterhubungan administrasi negara dengan masyarakat sipil
(iii) Perubahan sistem administrasi yang mengandalkan campur tangan dan pengendalian menjadi
pengarahan dan koordinasi
(iv) Perubahan kegiatan pemerintahan dari pengaturan dan perintah ke negosiasi dan diplomasi.
(v) Pelibatan pemangku kepentingan non-pemerintah dalam proses penyusunan kebijakan dan
pelayanan publik.
Lebih lanjut Chotary dan Stoker (2009) mendefinisikan governance adalah tentang aturan main
penyusunan keputusan bersama diantara keberagaman pelaku dan organsiasi, dan tidak terdapat
sistem kendali formal yang mampu mendikte pola hubungan antara pelaku dan organisasi.
Berdasarkan pada definisi Chotary dan Stoker, dapat disimpulkan bahwa governance memiliki
4 (empat) elemen utama. Pertama, elemen aturan (rule). Kedua, elemen kebersamaan. Ketiga, elemen
pembuat keputusan. Keempat, tidak terdapat sistem kendali formal yang bisa mendikte pola kerjasama
dan dampak yang diperoleh (Febrian, 2018).
Secara umum, definisi tata kelola kemudian dijabarkan dalam setidaknya 6 (enam) prinsip dasar,
yaitu
(i) Negara (baca: pemerintah) tetap bermain sebagai figur kunci namun tidak mendominasi, yang
4
memiliki kapasitas untuk mengoordinasi (bukan mobilisasi) pelaku pada institusi semi non-
pemerintah untuk mencapai tujuan publik 

(ii) Kekuasaan yang dimiliki negara harus ditransformasikan dari yang semula dipahami sebagai
“kekuasaan atas” menjadi “kekuasaan untuk” menyelenggarakan kepentingan, serta memenuhi
kebutuhan dan menyelesaikan masalah publik. 

(iii) Negara, LSM, swasta dan masyarakat lokal merupakan pelaku yang memiliki posisi dan peran
yang saling menyeimbangkan – untuk tidak menyebut setara. 

(iv) Negara harus mampu mendesain ulang struktur dan kultur organisasinya agar siap dan mampu
menjadi katalisator bagi institusi lainnya untuk menjalin sebuah kemitraan yang kokoh, otonom,
dan dinamis
(v) Negara harus melibatkan semua pilar masyarakat dalam proses kebijakan mulai dari formulasi,
implementasi dan evaluasi kebijakan, serta pemberian layanan publik 

(vi) Negara harus mampu meningkatkan kualitas tanggapan, adaptasi dan akuntabilitas publik dalam
penyelenggaraan kepentingan, pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian masalah publik (Dewi,
2012).
Pemaknaan senada tentang tata kelola disampaikan oleh Nurhaeni (2010), yang dirangkum
dalam 3 (tiga) dimensi yaitu:
(i) kelembagaan, yang menjelaskan bahwa tata kelola merupakan sebuah sistem yang melibatkan
banyak pemangku kepentingan (multistakeholders), baik dari pemerintah maupun non-
pemerintah dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan untuk menanggapi masalah dan
kebutuhan publik.
(ii) nilai yang menjadi dasar dalam penggunaan kekuasaan. Nilai administrasi publik yang
tradisional seperti efisiensi dan efektifitas telah bergeser menjadi nilai keadilan sosial,
kebebasan dan kemanusiaan.
(iii) proses yang mencoba menjelaskan berbagai unsur dan lembaga pemerintah menaggapi berbagai
masalah publik yang muncul di lingkungannya (Dewi, 2012).
Ditambahkan oleh Peters dan Pierre (1998), tata kelola setidaknya memiliki 4 (empat) elemen
dasar, yaitu:
(i) Dominasi jaringan (the domination of network). Didalam kebijakan formal, pemerintahan
didominasi oleh pelaku yang memiliki pengaruh, terkait proses produksi barang dan jasa publik.
(ii) Kapasitas negara yang semakin menurun untuk melakukan kendali langsung (the state’s
declining capaciy for direct control). Meskipun pemerintah tidak lagi melakukan kendali
terpusat atas kebijakan publik tetapi tetap memiliki kekuatan untuk memengaruhi. Kekuatan
negara kini dikaitkan dengan kemampuan berunding dengan para pelaku dalam jejaring
kebijakan. Para anggota jejaring semakin diterima sebagai mitra setara dalam proses
penyusunan kebijakan.
(iii) Memadukan sumberdaya publik dan swasta (the blending of public and private resources).
Pemangku kepentingan publik dan swasta bekerjasama untuk memperoleh sumberdaya.
Sebagai contoh, menggunakan perusahaan swasta untuk implementasi kebijakan
memungkinkan pemerintah untuk menghindari beberapa masalah prosedural dan akuntabilitas
5
yang mahal serta memakan waktu. Perusahaan swasta dapat bernegosiasi dengan pemerintah
untuk membiayai kegiatan yang menguntungkan kepentingan publik tapi tidak mungkin untuk
dibiayai oleh swasta sendiri.
(iv) Penggunaan beberapa instrumen (use of multiple instrument). Ini berarti peningkatan keinginan
untuk mengembangkan dan menggunakan metode non-tradisional untuk menyusun dan
melaksanakan kebijakan publik. Hal ini juga diterapkan melalui perangkat tidak langsung,
seperti insentif pajak untuk memengaruhi perilaku (Febrian, 2018).
Rangkuman mengenai definisi tata kelola juga disebutkan oleh Bovaird dan Loffler (2003)
sebagai berikut:
(i) Mengasumsikan bahwa masalah bersama tidak lagi dapat diselesaikan hanya oleh pemilik
kewenangan publik tetapi memerlukan kerja sama dengan pihak lain.
(ii) Berkaitan dengan aturan formal (konstitusi, undang-undang, peraturan) dan aturan informal
(kode etik, adat istiadat, tradisi), tetapi mengasumsikan bahwa negosiasi antara para pemangku
kepentingan, yang ingin menggunakan kekuasaannya, dapat mengubah pentingnya aturan
tersebut.
(iii) Tidak lagi hanya berfokus pada struktur pasar sebagai upaya kendali, seperti dalam pendekatan
new public management konvensional. Hirarki (seperti birokrasi) dan jaringan kerja sama juga
dipertimbangkan dalam situasi yang tepat.
(iv) Mengakui bahwa ciri dalam interaksi sosial (misalnya transparansi, integritas, kejujuran)
cenderung berasal dalam diri mereka, bukan sekedar sebuah logika input dan output semata.
(v) Secara inheren bersifat politis, berkaitan dengan hubungan para pemangku kepentingan yang
berusaha untuk menjalankan kekuasaan atas satu sama lain sehingga tidak dapat diserahkan
begitu saja kepada para pembuat keputusan (Hadi, 2018).
Adapun tata kelola (governance) yang baik menurut UNDP (United Nations Development
Programme) mempunyai karakteristik sebagai berikut (Rondinelli, 2007):
a. Keterlibatan (participation), semua orang memiliki suara dalam pengambilan keputusan, baik
langsung maupun melalui institusi perantara yang mewakili kepentingannya.
b. Aturan Hukum (rule of law), harus ditegakkan secara adil dan tanpa pandang bulu, terutama
menyangkut hukum hak asasi manusia.
c. Keterbukaan (transparency) didasarkan pada informasi yang terbuka. Proses, institusi, dan
informasi harus dapat diakses secara langsung bagi mereka yang berkepentingan.
d. Tanggapan (responsiveness). Institusi dan proses yang ada harus diarahkan untuk melayani
kepentingan pemangku kepentingan.
e. Orientasi Konsensus (consensus orientation). Perlu adanya proses mediasi untuk mencapai
kesepakatan luas yang dianggap terbaik menurut kelompok, dan sedapat mungkin sesuai
kebijakan dan prosedur.
f. Kesetaraan (equity). Semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau
mempertahankan kesejahteraannya.
g. Keberhasilgunaan dan Keberdayagunaan (effectiveness and efficiency). Proses dan institusi
yang ada perlu memenuhi kebutuhan yang sedapat mungkin sesuai dengan kebutuhan serta
berusaha memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki.
6
h. Pertanggungjawaban (accountability). Para pengambil keputusan di institusi pemerintah,
swasta, dan masyarakat sipil harus mampu mempertanggungjawabkan keputusan termasuk
kepada para pemangku kepentingan.
i. Visi Strategis (strategic vision). Para pemimpin dan masyarakat memiliki pandangan yang luas
dan berjangka panjang menyangkut tata kelola yang baik (good governance) dan pembangunan
manusia (human development), dengan memerhatikan sejarah, budaya, dan kerumitan sosial
budaya yang melatarbelakanginya (Sari, 2014).
Melengkapi karakteristik tata kelola yang baik dari UNDP, Suwandi (2006) menampilkan dari
sudut pandang yang sedikit berbeda,, yaitu:
i) Interaksi, mencakup tiga mitra yaitu; pemerintah, swasta dan masyarakat dengan model
pemerintahan (governing models); co-managing, costeering, dan co-guiding of actors dalam
pengaturan kehidupan sosial politik dan sosial-ekonomi.
ii) Komunikasi, menyangkut jaringan multi-sistem (pemerintah, swasta, dan masyarakat) yang
melakukan sinerji untuk menghasilkan keluaran yang berkualitas.
iii) Proses Pemaksaaan Sendiri (self enforcing processes), yang menjelaskan bahwa sistem
pemerintahan mandiri (self governing) adalah kunci untuk mengatasi kerumitan dalam keadaan
perubahan lingkungan dan dinamika masyarakat yang tinggi.
iv) Keseimbangan Kekuatan (balance of forces), menyangkut konsep tata kelola yang menciptakan
dinamika, kesatuan dalam kerumitan, keseimbangan dan kerjasama untuk menciptakan
pertumbuhan berkelanjutan, perdamaian dan keadilan.
v) Kebergantungan (interdependence), ketika tata kelola menciptakan saling ketergantungan yang
dinamis antara pemerintah, swasta dan masyarakat melalui koordinasi, fasilitasi dan
peningkatan proses tata kelola (Sari, 2014).
III. Kolaborasi
Secara epistemologi, sebagaimana dikutip dari Wanna (2008), kata kolaborasi berasal dari
bahasa Inggris yaitu ‘co-labour’ yang artinya bekerja bersama. Pada abad ke-19 kata kolaborasi mulai
digunakan ketika industrialisasi mulai berkembang. Organisasi pada masa itu menjadi semakin
kompleks. Divisi sebagai bagian struktur organisasi mulai dibentuk untuk memudahkan pembagian
tugas bagi tenaga kerja. Kerumitan organisasi menjadi titik awal sering digunakannya kolaborasi
dalam berbagai organisasi (Arrozaaq, 2017).
Tentunya menjadi penting mengetahui manfaat sekaligus alasan dari upaya kolaborasi
sebagaimana dijelaskan oleh Fendt (2010) bahwa terdapat 3 (tiga) alasan mengapa organisasi
melakukan kolaborasi, yaitu:
(i) Sebuah organisasi tidak dapat menyelesaikan tugas tertentu tanpa bantuan pihak lain
(ii) Manfaat bagi organisasi dapat lebih besar jika dibandingkan dengan bekerja sendiri
(iii) biaya produksi dapat menjadi lebih rendah sehingga produk menjadi lebih murah dan memiliki
daya saing pasar (Arrozaaq, 2017).
Keban (2007) dalam Mutiarin dan Arif (2014) menyebutkan bahwa manajemen kolaboratif
mampu menjadikan birokrasi berkinerja lebih baik dan institusi yang menjalankannya mendapat
manfaat antara lain.
(a) Terbentuk kekuatan yang lebih besar, sehingga memiliki kemampuan yang lebih besar pula
7
dalam mengatasi permasalahan yang rumit. 

(b) Tercapai kemajuan yang lebih tinggi karena adanya pertukaran informasi, pengetahuan dan
technical know-how.
(c) Menjadi lebih berdaya.
(d) Mengurangi dan mencegah konflik. 

(e) Menumbuhkan rasa keadilan dan saling percaya. 

(f) Mendorong upaya keberlanjutan pemecahan masalah secara bersama.
(g) Mengikis ego daerah dan sektoral (Jahro, 2019).
Secara umum kolaborasi adalah hubungan antarorganisasi yang saling berpartisipasi dan saling
menyetujui untuk bersama mencapai tujuan, berbagi informasi, berbagi sumberdaya, berbagi manfaat,
dan bertanggungjawab dalam pengambilan keputusan bersama untuk menyelesaikan berbagai
masalah (Lai, 2011).
Morse dan Stephens (2012) menekankan bahwa kolaborasi merupakan pendukung pelaksanaan
tata kelola yang menekankan kealamian proses kesepakatan dari berbagai pemangku kepentingan
yang tidak hanya dari pemerintah tetapi juga melibatkan masyarakat maupun lembaga non-pemerintah
dalam tindakan bersama dan kerjasama (Jahro, 2019).
Sementara O’Flynn dan Wanna (2008) menekankan sisi deskriptif/pragmatis yang berfokus
pada realitas praktis untuk bekerja dengan atau melalui orang lain, atau sisi normatif/intrinsik yang
menekankan usaha partisipatif dan pengembangan hubungan kepercayaan. Ditambahkan juga bahwa
kolaborasi biasanya dipandang sebagai sesuatu yang positif karena bersifat kreatif, transformasional,
dan melibatkan hasil yang bermanfaat (Hadi, 2018).
Ditambahkan pula oleh Barbara Gray (Emerson dan Nabatchi, 2015) bahwa upaya
berkolaborasi berfokus menyelesaikan serangkaian masalah yang tidak dapat diselesaikan secara
individual. Selain itu, Richard Margerum (Emerson dan Nabatchi 2015) menyatakan melalui
kolaborasi para pemangku kepentingan berupaya untuk membangun konsensus dan mengembangkan
jejaring sehingga tujuan bersama dapat terwujud (Hadi, 2018)
Dwiyanto (2010) menjelaskan konsep kolaborasi sebagai kerjasama yang bersifat kolaboratif
melibatkan kerjasama yang intensif, termasuk adanya upaya secara sadar untuk melakukan
penyesuaian dalam tujuan, strategi, agenda, sumberdaya dan aktivitas. Kedua institusi yang pada
dasarnya memiliki tujuan yang berbeda membangun visi bersama (shared vision) dan berusaha
mewujudkan secara bersama-sama. Untuk itu, dilakukan penyatuan atau setidaknya aliansi secara
vertikal mulai dari sasaran, strategi sampai dengan aktivitas dalam rangka mencapai tujuan bersama
yang diyakini lebih bernilai dari tujuan yang dimiliki oleh masing-masing (Dewi, 2012).
Secara lebih rinci, CIFOR/PILI (2005) menegaskan kolaborasi dimaknai sebagai kebersamaan,
kerjasama, berbagi tugas, kesetaraan, tanggungjawab diantara pemangku kepentingan yang memiliki
kesamaan tujuan, dan persepsi, kemauan berproses, saling memberi manfaat, kejujuran, kasih sayang
serta berbasis masyarakat (Bowo, 2009)
Menariknya bahwa kolaborasi tidak mengenal batas waktu atau periode tertentu, selama masih
ada urusan yang memiliki singgungan atau irisan dengan pihak lain maka kolaborasi masih tetap
diperlukan. Kolaborasi melibatkan beberapa pihak mulai dari tingkat individu, kelompok kerja, dan
organisasi (Whitford, 2010).
8
Dwiyanto (2011) menambahkan bahwa ketika berkolaborasi para pemangku kepentingan tetap
memiliki kewenangan mengambil keputusan dan mengelola organisasinya secara independen walau
tetap mematuhi kesepakatan bersama (Febrian, 2016).
Walaupun demikian, Agranoff dan McGuire (2003:182-184) mengungkapkan bahwa sangatlah
dipahami apabila para pihak yang bekerja bersama dalam kolaborasi karena adanya elemen
kohesifitas sebagai berikut:
i) Saling Percaya (trust), tujuan bersama dan saling ketergantungan.
ii) Tujuan yang sama (shared belief and common purpose), berarti adanya saling percaya pada
tujuan yang sama.
iii) Perubahan Cara Pandang (shifting mindset) dan komitmen, menunjukkan adanya kerangka
berpikir, persepsi, dan cara bekerja yang serupa.
iv) Kepemimpinan dan kemampuan memandu, yang bermakna mampu menerapkan prinsip arahan
minimal sebagai pengganti perintah dan kendali (Febrian, 2018).
Ansell and Gash (2008) menjelaskan bahwa kolaborasi secara umum bisa dibedakan ke dalam
2 (dua) pengertian, yaitu : kolaborasi dalam arti proses, dan kolaborasi dalam arti normatif. Pengertian
kolaborasi dalam arti sebuah proses merupakan serangkaian proses atau cara mengatur/mengelola
atau memerintah secara institusional. Dalam pengertian ini, sejumlah institusi, pemerintah maupun
non pemerintah ikut dilibatkan sesuai dengan porsi kepentingan dan tujuannya. Sedangkan dalam
pengertian normatif, merupakan aspirasi atau tujuan filosofi bagi pemerintah untuk mencapai
interaksinya dengan para mitranya.
Lebih lanjut, Wildavsky (O’Flynn dan Wanna, 2008) menyebutkan bahwa pemahaman
mengenai konsep kolaborasi terdiri dari 5 (lima) aspek yang saling melengkapi satu sama lain, yaitu
(i) melibatkan kerja sama untuk membangun kesamaan, meningkatkan konsistensi dan
menyelaraskan kegiatan antarpelaku.
(ii) menjadi proses negosiasi, melibatkan kesiapan untuk berkompromi, dan melakukan pertukaran.
(iii) melibatkan peran pengawasan, pengecekan, koordinasi bersama dan koordinasi terpusat.
(iv) melibatkan kekuatan dan paksaan, serta memiliki kemampuan untuk memaksakan hasil atau
memaksakan preferensi seseorang pada orang lain hingga batas tertentu.
(v) melibatkan komitmen dan niat di masa depan, perilaku, perencanaan, atau persiapan yang
prospektif untuk menyelaraskan kegiatan.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa kolaborasi mencakup keterlibatan, pengembangan
motivasi internal dan komitmen pribadi, keputusan, tujuan organisasi atau tujuan strategis (Hadi,
2018).
Ditambahkan oleh Carpenter (2009) yang menyebutkan terdapat 8 (delapan) karakteristik
kolaborasi, yaitu:
a. Partisipasi tidak dibatasi dan tidak hirarkis.
b. Pemangku kepentingan bertanggungjawab dalam memastikan pencapaian kesuksesan.
c. Mempunyai tujuan yang masuk akal.
d. Mempunyai pendefinisian masalah.
e. Pemangku kepentingan saling mendidik atau mengajar satu sama lain.
f. Mempunyai identifikasi dan pengujian terhadap berbagai pilihan.
g. Pelaksanaan solusi didistribusikan kepada beberapa pemangku kepentingan
9
h. Pemangku kepentingan selalu mengetahui perkembangan situasi
Melengkapi karakteristik Carpenter, dinyatakan oleh Yaffee dan Wondolleck (2003) bahwa
prinsip kolaborasi mencakup setidaknya 7 (tujuh) prinsip, yaitu:
a. Terbuka dan saling menghormati
b. Pembagian peran jelas dan bertanggungjawab
c. Hubungan kerja efektif
d. Membangun kearifan lokal
e. Menghormati perbedaan dan keragaman
f. Berkelanjutan dan adaptif
g. Memperhatikan kepentingan yang lebih luas
Melengkapi beragam definisi di atas, John Donahue (2004) menyampaikan bahwa kolaborasi
dapat dikenali berdasar aspek atau dimensi, yaitu:
a. Formalitas. Hubungan kolaborasi dapat dilembagakan secara formal atau informal, namun
bentuk kelembagaan formal dibutuhkan untuk memudahkan jika diperlukan pengakuan.
Ketersediaan informasi tentang peserta atau anggota kelompok kerja, prosedur, dan tujuan,
cukup untuk menunjukkan kadar formalitas jejaring kolaborasi ini.
b. Durasi. Sebagian kolaborasi besifat permanen, tetapi juga ada yang bersifat sementara hanya
sampai tujuan kolaborasi tercapai.
c. Fokus. Kolaborasi bisa dibuat untuk satu tujuan yang tidak rumit, tetapi bisa juga dibuat untuk
suatu tujuan yang luas dan rumit.
d. Keberagaman pemangku kepentingan. Dibutuhkan setidaknya satu anggota dari instansi
pemerintah dan satu instansi non-pemerintah. Semakin beragam pemangku kepentingan, baik
insitusi pemerintah, swasta dan lembaga masyarakat, kolaborasi menjadi lebih rumit.
e. Valensi. Valensi adalah istilah kimia untuk menunjukkan banyaknya kemungkinan jumlah
hubungan yang terjadi bila anggota kolaborasi semakin banyak. Oleh karena itu, dibutuhkan
pemetaan pemangku kepentingan berdasarkan keterkaitan dengan isu.
f. Stabilitas vs Volatilitas. Kolaborasi dapat dikatakan stabil apabila anggotanya memiliki nilai
serta pandangan yang sama akan tujuan yang ingin dicapai. Kolaborasi akan menjadi bergejolak
dan tidak nyaman apabila anggotanya memiliki norma dan tujuan yang berbeda satu dengan
yang lain. Kolaborasi yang tidak stabil akan menghabiskan banyak waktu dan energi hanya
untuk menjaga hubungan sesama.
g. Inisiatif. Insiatif hendaknya berada pada pihak yang mewakili suara rakyat. Bila demokrasi
berfungsi dengan baik, maka instansi pemerintah yang mendapatkan otorisasi untuk menangani
masalah ini berhak untuk menentukan obyektif yang akan dicapai, tentunya didukung oleh
pemangku kepentingan lainnya.
h. Problem driven vs Opportunity driven. Kolaborasi dapat bersifat defensif, bertujuan untuk
menyelesaikan masalah bersama, atau bisa juga bersifat ofensif, bersama-sama mencari
peluang.
Menurut Djumara (2008), berdasar pada pembelajaran penerapan kolaborasi, disepakati bahwa
setidaknya kolaborasi terbentuk oleh 5 (lima) komponen utama, yaitu
(i) Budaya kolaboratif (collaborative culture). Seperangkat nilai dasar yang membentuk tingkah
laku dan sikap dari para pelaku kolaborasi.
10
(ii) Kepemimpinan Kolaboratif (collaborative leadership). Suatu kebersamaan yang merupakan
fungsi situasi dan bukan sekedar hirarki dari setiap posisi yang melibatkan setiap orang dalam
organisasi.
(iii) Visi Strategis (strategic vision). Prinsip yang menjadi panduan dan tujuan organisasi
(iv) Collaborative Team Process. Sekumpulan proses kerja non birokrasi yang dikelola oleh tim
kolaborasi
(v) Struktur Kolaboratif (collaborative structure). Proses kolaborasi yang didukung oleh perangkat
yang memadai (terutama sistem informasi dan sumberdaya manusia) guna memastikan
keberhasilan tempat kerja yang kolaboratif.
Merujuk pada definisi yang banyak ragamnya, Thomson dan Perry (2007) merangkumnya
dalam bentuk 5 (lima) dimensi kunci kolaborasi yaitu:
(i) Tata Kelola (governance): Para pihak yang berkolaborasi harus memahami cara membuat
keputusan bersama tentang aturan perilaku dan hubungan bersama.
(ii) Administrasi (administration): Kolaborasi bukanlah usaha ‘self administering’. Organisasi
berkolaborasi untuk mencapai tujuan tertentu. Struktur administratif tersebut berbeda secara
konseptual dari pemerintahan.
(iii) Otonomi Organisasi (organizational autonomy). Dimensi kolaborasi ini menjelaskan dua
dinamika dalam upaya kolaboratif yakni mempertahankan identitas yang berbeda dan
wewenang organisasi yang dipisahkan dari identitas kolaboratif.
(iv) Kebersamaan (mutualisme) : Kebersamaan berakar pada saling ketergantungan. Organisasi
yang berkolaborasi berhubungan yang saling menguntungkan didasarkan atas perbedaan
kepentingan atau kepentingan bersama.
(v) Norma (norms) : Timbal balik dan kepercayaan, terkait erat secara konseptual (Junaidi, 2018).
Selanjutnya, Wanna (O’Flynn dan Wanna, 2008) juga menyebutkan bahwa secara konseptual
terdapat 2 (dua) dimensi dari kolaborasi. Pertama, skala atau tingkat kolaborasi yang mengategorikan
pola aktivitas berdasar tingkat komitmen, mulai dari tertinggi sampai terendah. Kedua, konteks,
tujuan, pilihan dan motivasi para pemangku kepentingan yang ingin berkolaborasi. Uraian
selengkapnya pada Tabel berikut.
Tabel 2
Konteks, Tujuan, Pilihan dan Motivasi Kolaborasi
Konteks dan Tujuan Pilihan/Kemungkinan Motivasi
Dimensi kekuatan Kolaborasi bersifat paksaan Keterlibatan persuasif dan
sukarela dalam berkolaborasi
Tingkat komitmen Kolaborasi yang memiliki arti
dan bersifat substantif
Kolaborasi tanpa makna
Internalisasi budaya Komitmen filosofis terhadap
kolaborasi dengan
mengembangan budaya
kolaboratif
Tidak ada komitmen nyata
untuk berkolaborasi karena
kolaborasi dilihat hanya
sebagai alat atau instrumen
yang tersedia
Dimensi strategis Kolaborasi untuk alasan
positif dan menguntungkan
Kolaborasi untuk strategi
preventif atau negatif
Dimensi means-ends Kolaborasi sebagai tahapan,
sarana, dan proses yang wajar
Kolaborasi yang berorientasi
hasil akhir
11
Konteks dan Tujuan Pilihan/Kemungkinan Motivasi
Dimensi tujuan Tujuan bersama; niat bersama,
strategi dan hasil konsensual
Tujuan bersaing; berbagai
alasan untuk berpartisipasi
dalam kolaborasi
Visibilitas dan dimensi
kesadaran
Bentuk kerjasama yang
terbuka pada publik;
kesadaran kolaborasi tinggi
Kolaborasi tersembunyi;
ketidaksadaran kolaborasi
Penerapan masalah Kolaborasi untuk masalah
sederhana; tujuan dan
tanggung jawab sederhana
Kolaborasi yang tidak
menghasilkan solusi
Sumber: O’Flynn dan Wanna, 2008
Dipahami bersama bahwa upaya berkolaborasi tidak mudah untuk dijalankan sehingga
dibutuhkan katalis yang berfungsi memudahkan terwujudnya kolaborasi dari beragam pemangku
kepentingan tersebut. Setidaknya dikenali terdapat 6 (enam) katalis kolaborasi sebagai berikut
(Mungkasa, 2020)3
.
i) Katalis Pertama. Strategi Bersama (co-designed strategy)
Pemangku kepentingan berkeinginan terlibat ketika melihat gambaran besar, situasi
menguntungkan semua pihak, berbagi nilai, mempunyai alasan penting untuk bertindak, dan
ketika memahami kontribusinya terhadap perubahan. Hal ini semua terangkum dalam Strategi
Bersama (co-design strategy) yang dikembangkan bersama oleh seluruh pemangku kepentingan
yang terlibat.
Strategi bersama (co-design strategy) memastikan bahwa dalam perjalanan waktu, seluruh
pemangku kepentingan mematuhi strategi dan melaksanakannya. Setidaknya dipahami terdapat
3 (tiga) hal yang menyumbang terhadap keberhasilan Strategi Bersama, yaitu (i) Kejelasan
tujuan, (ii) keterlibatan pemangku kepentingan, dan (iii) bertanggungjawab terhadap hasil.
 Kejelasan Tujuan (goal clarity)
Kejelasan tujuan dihasilkan dari serangkaian tahapan, yang dimulai dari penelitian
bersama terkait kondisi terkini oleh seluruh pemangku kepentingan, kemudian berkembang
menjadi visi bersama, dan selanjutnya visi diterjemahkan menjadi tujuan.
Tujuan awal mungkin disesuaikan berdasar pengalaman dan keahlian pemangku
kepentingan lain. Ketika tujuan sudah jelas, pemangku kepentingan membutuhkan
kesepakatan bersama terhadap dampak dan tonggak keberhasilan (milestones). Dukungan
dari petinggi organisasi, pimpinan lembaga kolaborasi atau politisi, dapat memperkuat
penetapan tujuan dan pelaksanaannya.
 Inklusifitas Skala Besar (broad inclusivity)
Kolaborasi sewajarnya dibangun perlahan, dimulai dari kelompok inti dan kemudian
perlahan melibatkan lebih banyak pelaku, baik pemangku kepentingan yang lemah maupun
kuat sejak awal. Khususnya pihak yang kuat perlu dibuat tertarik, sementara yang lemah
diperkuat agar suaranya dapat terdengar. Menjadi penting menetapkan proses pembuatan
keputusan termasuk juga organisasi tata kelola yang inklusif dan mewakili beragam
pemangku kepentingan.
3
Disarikan dari Bab 6 Stewarding Sustainability Transformations dalam Petra Kuenkel. Multi-stakeholder
Collaboration. Stewarding Sustainability Transformations. An Emerging Theori and Practice of SDG Implementation.
Springer, Scham, Swiss, 2019.
12
 Kesepakatan Pertanggungjawaban (agreed accountability)
Ketika kolaborasi telah terbangun kemudian bergerak menuju pelaksanaan,
kesepakatan tentang kejelasan peran dan tanggungjawab menjadi penting sekali. Bergerak
dari visi kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaannya yang membuahkan hasil,
membutuhkan kesepakatan terhadap tonggak keberhasilan dan hasil pemantauan. Hal ini
mencakup kesepakatan terhadap alokasi sumberdaya dan keterbukaan aliran dana.
Pada keadaan tertentu, inisiatif beragam pemangku kepentingan membutuhkan
pembentukan organisasi legal dalam upaya pelaksanaannya
ii) Katalis Kedua. Penyelenggaraan Bersama (cooperative delivery)
Inisiatif beragam pemangku kepentingan memerlukan sistem kolaborasi kohesif di seputar
isu bersama, disertai tujuan dan batasan kolaborasi yang jelas. Hal ini mendorong pemangku
kepentingan merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar.
Kemitraan membutuhkan pendampingan, khususnya jika kreatifitas tingkat tinggi perlu
dipertahankan. Protokol, batasan, dan wilayah perlu diperhatikan, dan pendekatan terkait
konflik perlu disepakati. Para pelaku, khususnya dalam kelompok inti pemangku kepentingan,
yang menjalankan proses perubahan, membutuhkan keahlian dalam mendesain dan mengelola
proses.
Kejelasan terhadap proses perencanaan, penyamaan strategi semua mitra, menjaga tujuan
tetap terjaga agar pemangku kepentingan tetap terhubung dengan aspirasi mereka dan
pengelolaan proses secara profesional, berujung pada terbangunnya kepercayaan,
memunculkan tekad, komitmen dan ketekunan sehingga menjadikan mitra tetap terlibat.
Kolaborasi memungkinkan penyelenggaraan bersama yang mengarahkan timbulnya
tanggungjawab bersama terhadap hasil dan kerja keras. Pengelolaan kualitas keterlibatan
pemangku kepentingan, pengembangan jejaring, dan memastikan proses berorientasi hasil
berkontribusi terhadap keberhasilan penyelenggaraan bersama.
 Keterlibatan berkualitas (quality engagement)
Pengelolaan keterlibatan secara bertahap dipandang penting baik bagi mitra utama
maupun pemangku kepentingan terkait. Kehandalan perencanaan dan proses pelaksanaan
berkontribusi terhadap peningkatan kepercayaan, yang merupakan persyaratan pelaksanaan
efektif.
Pada inisiatif yang lebih rumit, proses ini perlu didukung sekretariat profesional yang
membantu mengelola proses dan harapan.
 Pengembangan Jejaring (network building)
Pengembangan jejaring akan memperkuat kohesi diantara pemangku kepentingan
terkait. Selain itu, dukungan lembaga dan politik tingkat tinggi memudahkan terwujudnya
tujuan bersama.
 Orientasi Hasil (result orientation)
Konsultasi dan dialog menjadi penting bagi kolaborasi beragam pemangku
kepentingan, tetapi bukan sekedar “talking circles” (hanya bicara), yang membuat para
pelaku kehilangan minat dan daya tahan. Orientasi berkelanjutan menuju hasil nyata dan
hasil segera menjaga keterlibatan dan inisiatif.
Hal ini membutuhkan alokasi sumberdaya memadai bagi pemangku kepentingan lintas
13
organisasi yang mendorong inisiatif kolaborasi, termasuk sumberdaya keuangan bagi
sekretariat.
iii) Katalis Ketiga. Penemuan yang Mudah Diadaptasi (adaptive innovation)
Pada awalnya, sebagian besar upaya pemangku kepentingan terfokus pada penyelesaian
masalah daripada penemuan. Tetapi desain proses yang baik dan keterpaduan beragam keahlian,
akhirnya kadang mendorong peralihan ke pendekatan berfokus penemuan. Pendekatan berfokus
penemuan berikut insentifnya, keberagaman sumber dana, pendanaan berbasis hasil dapat
mendukung penemuan baru.
Peningkatan kapasitas baik pengetahuan, maupun keahlian, membantu memperkuat suara
kelompok pemangku kepentingan yang lemah dan memperbaiki kualitas kontribusinya.
Mekanisme belajar bersama menjamin akuntabilitas mitra dan memungkinkan hasilnya menjadi
bagian dari temuan yang berkualitas dan dimanfaatkan dalam proses kolaborasi.
Seringkali inisiatif kolaborasi menghasilkan prototipe temuan yang mudah diadaptasi yang
menjamin pendekatan baru sebagai bagian dari upaya bersama. Mendorong desain kreatif
sebagaimana juga pengelolaan pengetahuan yang memadai dan perencanaan yang mumpuni
berkontribusi terhadap cara baru yang dihasilkan secara bersama.
 Prototipe kreatif (creative prototyping)
Inisiatif beragam pemangku kepentingan perlu membuka kesempatan bagi penemuan
solusi kreatif bersama, berikut cara, metodologi, atau pendekatan baru lainnya. Ketika
sistem kolaborasi telah tercipta, dimungkinkan untuk menjelajah keluar dari zona nyaman.
Konflik, sebagian besar dipicu oleh pemangku kepentingan kritis, sebaiknya diperbolehkan
sebab mendorong penyelesaian di luar kebiasaan.
 Pengelolaan Pengetahuan (knowledge management)
Inisiatif kolaborasi membutuhkan pengetahuan pemangku kepentingan bahkan
pengetahuan baru mendorong timbulnya ide baru. Pengalaman dan keahlian dari berbagai
pihak, wilayah, atau isu seringkali memberi pandangan baru bagi penyelesaian masalah
 Kelenturan Perencanaan (planning flexibility)
Inisiatif kolaborasi sebaiknya menghasilkan rencana yang fleksibel untuk menangkap
perubahan dan pandangan baru. Dibutuhkan mekanisme penggabungan strategi baru dan
kesempatan berhadapan dengan krisis.
iv) Katalis Keempat. Komunikasi Dialogis (dialogic communication)
Inisiatif beragam pemangku kepentingan untuk berkolaborasi, menciptakan hubungan
antara masyarakat yang tidak saling kenal dan biasanya tidak bekerjasama, sehingga
pengelolaan proses komunikasi adalah kunci.
Kemajuan tidak dibangun dari meyakinkan orang lain untuk mengikuti tujuan, strategi,
atau rencana aksi yang telah ditetapkan, tetapi lebih pada keinginan merundingkan jalan
menuju masa depan. Proses ini membutuhkan tata kelola dan standar minimum bagi
keterlibatan mitra dalam proses dan memungkinkan suara berbeda terwakili.
Perbedaan kekuatan tak terhindarkan. Namun jika kolaborasi bersifat inklusif,
perimbangan kekuatan seringkali bergeser. Komunikasi berkualitas dan dialog terstruktur
baik membuat inisiatif beragam pemangku kepentingan lebih dihargai. Hal ini tergantung
pada seberapa baik pemangku kepentingan mendengarkan dan keterbukaan komunikasi
14
diantara pemangku kepentingan dan masyarakat luas.
Kepercayaan terbangun sejalan dengan diterimanya rekomendasi, input, pembelajaran
dari para pemangku kepentingan. Kolaborasi memungkinkan komunikasi dialogis yang
memastikan bahwa para pelaku bergerak keluar dari kepentingan masing-masing dan
menghasilkan solusi bersama.
Mendorong dialog terstruktur, menetapkan mekanisme tata kelola dan memastikan
pembelajaran bersama berkontribusi pada keberhasilan transformasi perbedaan menjadi
solusi bersama.
 Dialog Terstruktur (structured dialogue).
Pengelolaan proses penetapan kesepakatan dan tujuan bersama merupakan bagian
penting dalam kolaborasi beragam pemangku kepentingan. Biasanya dalam bentuk
lokakarya evaluasi dan perencanaan atau pertemuan lebih besar.
Fasilitasi profesional dan masukan bagi strategi komunikasi bersama menjadi suatu
keniscayaan. Seluruh pendapat perlu didengar, kesepakatan didokumentasikan secara
terbuka, dan pemangku kepentingan perlu tetap dijaga keterlibatannya dalam seluruh
kegiatan.
Selanjutnya, ekosistem kolaborasi memerlukan pengaturan komunikasi terbuka dan
disetujui baik diantara pemangku kepentingan maupun dengan pihak luar.
 Mekanisme Tata Kelola (governance mechanism).
Pengambilan keputusan, evaluasi proses, dan mekanisme penyelesaian konflik
membutuhkan semacam pengaturan tata kelola untuk memastikan keseluruhan
pengetahuan dan sumberdaya termanfaatkan dengan baik.
Pada kolaborasi pemangku kepentingan yang sederhana hanya dibutuhkan kesepakatan
pengambilan keputusan. Tetapi pada proses yang lebih rumit, dibutuhkan struktur formal
seperti komite pengarah, lembaga penasehat, dan prosedur penyelesaian konflik. Semua
harus terwakili.
 Pembelajaran Bersama (collective learning)
Pentingnya pembelajaran bersama kadang disepelekan dalam kolaborasi, ketika
sebagian besar pelaku sedang sibuk dalam pelaksanaan. Bentuknya dapat berupa evaluasi
proses dan strategi bersama secara berkala dan dapat menghasilkan kesepakatan bersama
terhadap keluaran dan pemantauan dampak. Dibutuhkan upaya menciptakan budaya belajar
diantara pemangku kepentingan yang terlibat.
v) Katalis Kelima. Dampak Kontekstual (contextual impact)
Inisiatif beragam pemangku kepentingan tidak hanya terfokus pada hasil nyata tetapi juga
sewajarnya pada keluasan dampak yang menjamin pemangku kepentingan tetap terlibat.
Termasuk mempertimbangkan keberadaan inisiatif sejenis lainnya sebagai pelengkap, bahkan
dimungkinkan kolaborasi baik yang relatif sama maupun yang saling bergantung satu sama
lain.
 Pengelolaan Kontekstual (Context Management)
Inisiatif kolaborasi, khususnya pada tahap awal, membutuhkan pengetahuan tentang
pendekatan pihak lain pada kegiatan yang sama maupun kegiatan pelengkap. Hal ini
membutuhkan dukungan riset atau pertukaran informasi. Pada inisiatif yang lebih rumit,
15
pengelolaan kontekstual juga mengacu pada keterpaduan kegiatan lokal dan global.
 Peningkatan Kapasitas (capacity development)
Peluang keberhasilan inisiatif kolaborasi meningkat ketika seluruh pemangku
kepentingan terlibat dalam berbagi pengetahuan dan keahlian terkait. Saling mendukung
satu sama lain terkait penguatan pengetahuan, dan peningkatan kapasitas pelaku
kolaborasi, seringkali diabaikan sebagai faktor pendukung keberhasilan.
 Perhatian pada Dampak (impact focus)
Inisiatif kolaborasi beragam pemangku kepentingan dipandang rumit dan seringkali
membutuhkan upaya yang sangat keras. Sehingga hasil segera dan nyata menjadi harapan
semua pihak, namun dalam kenyataannya pencapaian konsensus membutuhkan waktu
lama. Para pemangku kepentingan yang terlibat perlu mengembalikan perhatian terhadap
dampak ke dalam agenda secara berkala. Hal ini dilakukan pada saat evaluasi strategi atau
kegiatan pembelajaran dan dibutuhkan lebih dari sekedar pengukuran dampak tetapi juga
kejelasan kontribusi terhadap sistem yang lebih besar.
vi) Katalis Keenam. Nilai Bersama (collective value)
Inisiatif kolaborasi beragam pemangku kepentingan dibangun berdasarkan meningkatnya
kesadaran akan tanggungjawab masa depan dan nilai bersama. Kesadaran ini berdasar pada
pemikiran tentang keseimbangan pemanfaatan alam, kerusakan lingkungan, atau
ketimpangan sosial.
Inisiatifinitidak akanberhasiltanpa empatiyang memadaiterhadap pemangku kepentingan
lainnya. Pertentangan karena perhatian yang berbeda membayangi kolaborasi beragam
pemangku kepetingan.
Mempertahankan keterlibatan pelaku dilakukan melalui desain proses yang mengakui
perbedaan dan memungkinkan para pelaku mengungkapkan perbedaan keinginan dan
kemampuan. Hal ini memudahkan timbulnya saling percaya yang merupakan pendorong
keberhasilan kolaborasi. Selain juga berkontribusi terhadap meningkatnya kesadaran adanya
saling ketergantungan antara kegiatan.
a. Pendekatan Penghargaan (appreciative approach)
Perhatian terhadap integritas dan harga diri seluruh mitra merupakan isu penting,
sebagai cara baru dalam bekerja bersama. Konflik dengan mudah dapat diselesaikan jika
terdapat saling menghargai satu sama lain. Termasuk kepedulian terhadap kendala yang
dihadapi oleh lembaga pemangku kepentingan yang terlibat.
b. Keseimbangan Kekuatan dan Pengaruh (Balancing Power and Influence)
Inisiatif kolaborasi beragam pemangku kepentingan berkaitan dengan perbedaan
kekuatan. Mengabaikan atau memandang remeh perbedaan ini merusak hubungan antara
para pemangku kepentingan. Penguatan mitra yang lebih lemah, memastikan suaranya
dapat terdengar, sehingga dapat terwakili, dan berkontribusi terhadap hasil kolaborasi,
merupakan keniscayaan.
c. Pemahaman Bersama (Mutual Understanding)
Pemangku kepentingan dalam inisiatif kolaborasi memerlukan upaya keras untuk
memahami pandangan mitra terhadap isu tertentu. Hal ini tidak mudah, terutama terdapat
kemungkinan beberapa mitra terkungkung oleh pandangannya selama ini, bahkan
16
mempunyai pengalaman buruk dengan mitra lainnya, atau dimanfaatkan untuk menyerang
pemangku kepentingan lain.
Keterbukaan dalam memahami kondisi, dan situasi yang mempengaruhi pandangan,
pemangku kepentingan lain menjadi suatu kebutuhan yang dapat membantu mempercepat
terwujudnya pemahaman bersama.
Tabel 3
Enam Katalis Kolaborasi dan Usulan Langkah
Katalis Kolaborasi Usulan Langkah
1. Strategi Bersama
(co-designed Strategy)
Memastikan dalam perjalanan
waktu seluruh pemangku
kepentingan menjalankan
strategi dan pelaksanaannya.
1.1 Kejelasan Tujuan (goal clarity)
- pengelolaan proses kejelasan tujuan yang muncul
- pembedahan kondisi saat ini secara bersama
- pengembangan visi secara bersama
- pengembangan teori perubahan secara bersama
- pengembangan kesepakatan terhadap dampak
dan tonggak/milestones secara bersama
- pengembangan dukungan tingkat tinggi
1.2 Inklusifitas Skala Besar (broad inclusivity)
- pengembangan cara memperkuat mitra yang
lebih lemah
- pengambilan keputusan inklusif
- pengembangan organisasi tata kelola dan pengendali
yang inklusif dan mewakili semua
- pengembangan organisasi pengelola yang sesuai
1.3 Kesepakatan Pertanggungjawaban
(agreed accountability)
- penetapan tanggungjawab dan peran yang jelas
- penetapan prosedur pertanggungjawaban
- penyepakatan bersama tentang tonggak
keberhasilan
- penyepakatan bersama tentang hasil pemantauan
dan struktur laporan
- pelaksanaan evaluasi bersama
- pengembangan keterbukaan keuangan dan aturan
memadai
- penyiapan aturan hukum memadai
2. Penyelenggaraan Bersama
(cooperative delivery)
Memastikan kerjasama antara
pemangku kepentingan dikelola
baik dan saling memperkuat
2.1 Pengelolaan Berkualitas
(quality engagement)
- pelibatan bertahap dari mitra utama dan
pemangku kepentingan terkait
- pengambilan keputusan terbuka
- proses perencanaan dan pelaksanaan yang handal
- pemanfaatan dukungan
- pembentukan sekretariat
17
Katalis Kolaborasi Usulan Langkah
2.2 Pengembangan Jejaring
(network building)
- perhatian terhadap pengembangan keterikatan
yang memadai diantara mitra dan pemangku
kepentingan yang terlibat
- pengembangan dukungan kelembagaan dan politis
tingkat tinggi
- pengembangan jejaring aksi antara pemangku
kepentingan kunci
- pembentukan struktur jejaringantara organisasi
mitra
- pengelolaan hubungan dengan pengelola lembaga
kolaborasi
2.3 Orientasi Hasil (result orientation)
- pembentukan sekretariat atau kelompok inti
antarmitra yang mapan, berfungsi baik dan
mempunyai mandat
- perhatian pada pelaksanaan bersama
- orientasi pada hasil awal dan nyata
- penyediaan alokasi sumberdaya memadai
3. Penemuan yang Mudah Diadaptasi
(adaptive innovation)
Memastikan pengembangan
bersama prototipe transformasi dan
perhatian pada kesempatan yang
timbul
3.1 Prototipe Kreatif
(creative prototyping)
- pengelolaan proses kreasi bersama
- pencarian solusi bersama yang kreatif
- pembelajaran pengalaman dan cara pandang
dunia yang berbeda
- penciptaan mekanisme pembelajaran bersama
yang kreatif
- perencanaan yang fleksibel dan dapat beradaptasi
- penyiapan menantang zona nyaman
3.2 Pengelolaan Pengetahuan
(knowledge management)
- penetapan keahlian dan pengalaman yang menjadi
tolok ukur
- pemaduan teknik dan keahlian berkualitas tinggi
- pengkinian pengetahuan terus menerus
- pengembangan dan perluasan kapasitas kolaborasi
- pemaparan terhadap solusi dan kecenderungan
terkini
- pembangunan laboratorium inovasi
18
Katalis Kolaborasi Usulan Langkah
3.3 Kelenturan Perencanaan
(planning flexibility)
- pengembangan mekanisme adaptasi strategi
kegiatan secara bersama
- pengembangan mekanisme pengaduan
- pengelolaan ketidaksepakatan dan perkembangan
tak terduga
- pemberian perhatian pada kesempatan krisis yang
timbul
4. Komunikasi Dialogis
(dialogic communication)
Memastikan sistem komunikasi yang
menerima keberagaman dan
keberadaan jejaring
4.1 Dialog Terstruktur
(structured dialogue)
- pengelolaan pengembangan kesepakatan dan
pembentukan tujuan bersama
- pengembangan komunikasi dan dialog terstruktur
berkualitas tinggi
- pengembangan aturan terbuka dari komunikasi
dalam dan di luar sistem kolaborasi
- pengembangan partisipasi pemangku kepentingan
yang sahih
4.2 Tata Kelola (governance)
- pemantapan sistem transformasi kolaborasi
beragam pelaku
- penyiapan susunan tata kelola yang mencakup
beragam pihak dan kolaboratif
- pemanfaatan sumberdaya dan pengetahuan yang
saling melengkapi
- pengembangan rancangan komunikasi yang
memadukan beragam pandangan
- pengakuan beragam kompetensi dan sumberdaya
pemangku kepentingan
- penyertaan beragam tingkatan pemangku
kepentingan (lokal/nasional/internasional)
4.3 Mekanisme Pembelajaran
(learning mechanism)
- peninjauan bersama terhadap peran, tujuan dan
prosedur
- peninjauan proses dan strategi bersama secara
berkala
- pengembangan proses, hasil dan pemantauan
dampak secara bersama
- evaluasi dampak internal dan eksternal
19
Katalis Kolaborasi Usulan Langkah
5. Dampak Kontekstual
(contextual impact)
Memastikan kesesuaian dan
menyatunya inisiatif
5.1 Pengelolaan Kontekstual
(context management)
- pengkinian berkala pengetahuan terkait
- mempertimbangkan inisiatif sejenis
- pemaduan terencana kegiatan lokal dan global
- pengelolaan komunikasi antara mitra lokal dan
global
- pengembangan Meta-collaboration dalam jejaring
transformasi
5.2 Peningkatan Kapasitas
(capacity development)
- pengembangan kapasitas tertentu
- penguatan proses kompetensi dan transformasi
literasi seluruh pihak terlibat
- pemberian dukungan bagi pendekatan kolaboratif
yang menjangkau tiap lembaga
- penguatan pelaksanaan yang saling melengkapi
- pemanfatan kekuatan dan keahlian dari lembaga
pemangku kepentingan
5.3 Perhatian pada Dampak
(impact focus)
- pemokusan pada manfaat bersama
- peninjauan strategi bersama secara berkala
- pengembangan ukuran dampak
- penegasan kontribusi terhadap sistem yang lebih
besar
- pengembangan strategi perluasan yang disepakati,
- perhatian pada strategi jangka panjang
6. Nilai Bersama (collective alue)
Memastikan pengaruh dan
keterpaduan kelompok pemangku
kepentingan lebih lemah yang
berimbang
6.1 Pendekatan Penghargaan
(appreciative approach)
- pengakuan terhadap tujuan individu
- perhatian pada integritas dan harga diri semua
mitra
- perhatian dan penghargaan pada kendala
organisasi
- penghargaan terhadap kontribusi mitra yang lebih
lemah
6.2 Keseimbangan Kekuatan dan Pengaruh
(balance of power and influence)
- perhatian pada perbedaan kemampuan
- penguatan mitra yang lebih lemah
- penyusunan mekanisme melibatkan kelompok
pemangku kepentingan yang lebih lemah
- pemokusan pada solusi menang-menang
- pemberian advokasi pada kelompok pemangku
kepentingan yang lebih lemah
20
Sumber: disarikan dari Kuenkel, 2019.
Sebagaimana dipahami bahwa kolaborasi melibatkan pemerintah dan pemangku kepentingan
non-pemerintah. Etzkowitz (2002) dalam laporan Organisation for Economic Co-Operation and
Development (2013) menggambarkan 2 (dua) model penjelas hubungan antara pemerintah, swasta,
dan perguruan tinggi yakni model statis dan model laissez-faire.
Pada model statis, pemerintah memiliki peran yang dominan membangun kemitraan karena
kedua bidang lainnya dianggap lemah. Sedangkan pada model laissez-faire, tiap elemen lebih mandiri,
akademisi (perguruan tinggi) sebagai produsen pengetahuan baru, swasta (industri) bertanggung
jawab atas penyerapan serta aplikasi pengetahuan, dan pemerintah menetapkan regulasi atau peraturan
(Iyoega, 2020).
Dalam perspektif organisasi, kolaborasi juga merupakan salah satu pendekatan yang berperan
dalam upaya pemecahan masalah konflik selain pengabaian (avoiding), ketegasan-bersaing
(assertiveness-competiting), kerjasama-akomodatif (cooperativeness-accomodating), kompromi
(compromising) sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1 berikut.
Kelima bentuk pemecahan konflik tersebut dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut :
1. Pengabaian, tindakan untuk “menghindari” dalam arti mengacuhkan konflik dengan anggapan
pihak lawan tidak mempunyai kekuatan signifikan.
2. Kompetisi, tindakan untuk memuaskan kepentingan sendiri tanpa pertimbangan pihak lain,
yang dianggap melakukan hal yang sama.
3. Akomodasi, tindakan untuk meredakan tekanan pihak lain dengan cara mendahulukan
kepentingan pihak lain.
4. Kompromi, tindakan bersama bersifat jalan tengah, tanpa memuaskan semua pihak, karena
masing-masing pihak berkorban untuk memenuhi kepuasan pihak lain.
5. Kolaborasi, tindakan para pihak yang berkonfllik untuk menghasilkan tindakan yang
memuaskan semua pihak sebagai tindakan “menang-menang” (Sari, 2014)
Katalis Kolaborasi Usulan Langkah
6.3 Pemahaman Bersama
(mutual understanding)
- pemahaman memadai tentang misi, pilihan cara
bekerja, dan kendala organisasi mitra
- pengembangan struktur organisasi untuk
mendengarkan suara pemangku kepentingan yang
beragam
- pemaparan terhadap cara pandang dunia, kondisi
kehidupan dankendala kelompok berbeda
- peyusunan mekanisme rekonsiliasi
21
Gambar 1
Beragam Bentuk Pemecahan konflik
Sumber; Sari, 2014.
IV. Tata Kelola Kolaboratif
4.1 Pemahaman, dan Konsep
Emerson dan Nabatchi (2015) menyebutkan lahirnya konsep Tata Kelola Kolaboratif tidak
terlepas dari masalah yang tidak mampu diselesaikan oleh pemerintah seorang diri karena terdapat
informasi yang tidak lengkap atau kontadiktif, lingkungan yang berubah dengan cepat, dan
meningkatnya ketergantungan antarpemangku kepentingan (Hadi, 2018).
Sementara Margeum dalam Arimami (2017) menyatakan setidaknya terdapat 3 (tiga) hal yang
dilakukan dalam tata kelola kolaboratif, yaitu (i) kolaborasi dalam mengatasi masalah tertentu, (ii)
kolaborasi organisasi dalam memengaruhi penentuan prioritas dalam perencanaan, dan (iii) kolaborasi
kebijakan untuk mencapai solusi kebijakan pemerintah yang terpadu.
Selanjutnya Ansell and Gash (2009) melanjutkan bahwa secara umum Tata Kelola Kolaboratif
muncul secara adaptif atau dengan diciptakan secara sadar karena alasan: (i) kompleksitas dan saling
ketergantungan antarinstitusi, (ii) konflik antarkelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit
diredam, dan (iii) upaya mencari cara baru untuk mencapai legitimasi politik. Namun, justru sifatnya
yang adaptif (sengaja diciptakan) yang menuntut pemecahan dari berbagai pihak terkait maka
dimungkinkan bentuk Tata Kelola Kolaboratif akan mencakup banyak bentuk, antara lain dalam hal
manajemen, kebijakan komunitas, keterlibatan wakil rakyat, negosiasi regulasi, dan perencanaan
kolaborasi serta keragaman bentuk berbagai pemangku kepentingan yang terlibat secara normatif
(Dewi, 2012).
23
Figure 1. Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument86
This model is known as the Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument
(TKI).87 Five conflict-handling modes are described: competing, collaborating,
compromising, avoiding, and accommodating.88 Each of the five modes
represents a different balance of assertiveness and cooperativeness describing
how conflict is handled. While this model was originally intended to identify styles
of individuals, similar conflict-handling modes may be applied to organizations as
well. This model can be used as a descriptive representation of how
organizations engage in conflict and what dimensions are being emphasized.
Using the TKI, it is possible to quantify how conflict is being enacted on the
distributive and integrative dimensions.
86 Ed Batista, “Conflict Modes and Managerial Styles,” 2007, accessed November 8, 2014,
http://www.edbatista.com/2007/01/conflict_modes_.html.
87 Kenneth W. Thomas and Ralph H. Kilmann, “An Overview of the Thomas-Kilmann Conflict
Mode Instrument,” 2009–2015, http://www.kilmanndiagnostics.com/overview-thomas-kilmann-
conflict-mode-instrument-tki.
88 Kenneth W. Thomas, “Conflict and Conflict Management: Reflections and Update,”
Journal of Organizational Behavior 13, no. 3 (May 1992): 266.
22
Hetherington (2006) menyebutkan inisiatif tata kelola kolaboratif ini sebenarnya sebagai upaya
pemerintah di seluruh dunia untuk mengatasi berbagai tantangan yang berkembang dalam kehidupan
bernegara. Konsep ini merupakan bentuk inovasi dan pertanggungjawaban pemerintah terhadap
masyarakat yang selama ini cenderung menganggap bahwa pemerintah boros dan gagal untuk
mewakili kepentingan masyarakat (Bowo, 2009).
Menurut Ansell dan Gash (2007) collaborative governance (tata kelola kolaboratif) adalah cara
pengelolaan pemerintahan yang melibatkan secara langsung pemangku kepentingan non-pemerintah,
berorientasi pada konsensus, dan musyawarah dalam proses pengambilan keputusan bersama, yang
memiliki tujuan untuk membuat atau melaksanakan kebijakan dan program publik. Dalam hal ini
penekanannya adalah pada pencapaian derajat konsensus di antara para pemangku kepentingan (Sari,
2014).
Dari alasan dan definisi tersebut, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu
(i) Tata kelola adalah sebuah proses, bisa formal maupun informal. Proses formal melibatkan
adanya perjanjian secara hukum di antara para pihak, sedangkan proses informal hanya
memerlukan komitmen diantara para pemangku kepentingan untuk bekerja bersama.
(ii) Kemitraan sangat penting dalam proses tata kelola. Besarnya peserta dan tipe kemitraan
ditentukan oleh pengaturan tata kelola tersebut. Kemitraan harus melibatkan masyarakat,
komunitas, organisasi masyarakat setempat, instansi pemerintah dan swasta.
(iii) Tata kelola mensyaratkan pengambilan keputusan bersama oleh para pemangku kepentingan
berdasar konsensus, walaupun persetujuan secara konsensus itu tidak selamanya dapat
terpenuhi.
(iv) Tata kelola adalah sebuah metoda baru tata pemerintahan yang tidak sama dengan proses
pemerintahan selama ini. Proses ini melibatkan berbagai lapisan pemerintah; pemerintah daerah
dan pemerintah pusat saling berkoordinasi dengan melibatkan pemangku kepentingan lainnya,
dalam organisasi dan proses yang otonom dan diakui (Gibson, 2011).
Kolaborasi juga menyiratkan adanya keterlibatan pelaku non-pemerintah untuk turut serta
bertanggungjawab dalam melahirkan kebijakan. Dalam sebuah kolaborasi, semua pemangku
kepentingan akan terlibat dalam pengambilan keputusan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Freeman
(1997) seperti yang dikutip oleh Ansell dan Gash (2007), semua pemangku kepentingan terlibat dalam
setiap tahapan pengambilan keputusan. Seperti yang dicontohkan oleh Freeman, dewan penasihat
dalam sebuah lembaga atau komisi seyogyanya turut dalam proses pengambilan keputusan, barulah
kelembagaan tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah tata kelola kolaboratif (Mahadi, 2019).
Kriteria lainnya yang perlu diperhatikan pada tata kelola kolaboratif adalah formalitas.
Sebagaimana dikatakan oleh Walter dan Petr (2000) yang dikutip oleh Ansell dan Gash (2007) bahwa
tata kelola kolaboratif mengindikasikan adanya formalitas dalam setiap kegiatan, struktur dan
sumberdaya yang digunakan. Hubungan yang formal ini dilembagakan dalam sebuah organisasi
dengan struktur yang formal, kegiatan dan agenda yang terstruktur.
Aspek lain dari tata kelola kolaboratif adalah fokusnya kepada isu kebijakan publik. Fokus
kepada isu publik ini membedakan tata kelola kolaboratif dengan proses pengambilan keputusan
lainnya yang menggunakan pendekatan konsensus, seperti misalnya resolusi sengketa ataupun bentuk
mediasi lainnya.
23
Dalam konteks kebijakan publik, Haq (2015) menyatakan nilai dasar tata kelola kolaboratif
yakni orientasi konsensus dalam pengambilan keputusan (tujuan), kepemimpinan kolektif dalam
kelembagaan (struktur), komunikasi multi arah dalam hubungan kemanusiaan (interaksi) dan berbagi
sumberdaya dalam aksi (proses). Nilai dasar tersebut menjadi satu kesatuan yang terintegrasi pada
setiap tahapan kebijakan publik.
Ansell dan Gash cenderung untuk menggunakan istilah governance ketimbang management
karena kata governance lebih luas maknanya, mencakup berbagai aspek dalam proses memerintah
atau governing, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, pembuatan kebijakan dan manajemen.
Sedangkan kata kolaborasi atau collaborative lebih mengindikasikan adanya pengertian musyawarah
dan konsensus dalam setiap pengambilan keputusan. Sementara kata partisipatori atau interaktif lebih
mengindikasikan pendekatan pengambilan keputusan yang menggunakan prinsip adversarialism dan
managerialism.
Pengambilan keputusan dengan menggunakan pendekatan adversarialisme adalah pendekatan
menang atau kalah. Managerialisme adalah pendekatan pengambilan keputusan atau pembuatan
kebijakan secara unilateral, yaitu tertutup dan dilakukan oleh seorang pengambil kebijakan atau
pembuat keputusan yang biasanya adalah pimpinan organisasi, atau sekelompok individu atau pakar
yang memang ditunjuk untuk melakukan hal tersebut. Kedua pendekatan ini. konsultasi secara
langsung dengan para pemangku kepentingan, akan tetapi dalam pengambilan keputusan, mereka
tidak melibatkan lagi pemangku kepentingan (Mahadi, 2019).
Tidak seperti definisi yang diberikan oleh Ansell dan Gash, definisi yang diberikan oleh
Emerson dan Nabatchi (2015) tidak membatasi tata kelola kolaboratif hanya pada pengaturan formal,
pengaturan yang diprakarsai oleh negara, dan keterlibatan antara pemangku kepentingan pemerintah
dan non-pemerintah. Emerson dan Nabatchi menggunakan istilah multipartner governance yang
dapat mencakup kemitraan antara negara, swasta, maupun masyarakat.
Multipartner governance tersebut dapat dilihat melalui empat bentuk hubungan collaborative
governance sebagaimana disebutkan oleh Wanna (O’Flynn dan Wanna, 2008) yang terdiri atas: (i)
kolaborasi di dalam pemerintahan yang melibatkan berbagai agen dan pemain; (ii) kolaborasi antara
pemerintah yang melibatkan instansi dari berbagai yurisdiksi; (iii) kolaborasi antara pemerintah dan
penyedia barang dan jasa pihak ketiga eksternal; serta (iv) kolaborasi antara pemerintah dan warga
perorangan atau klien.
Sebuah usaha kolaborasi dapat digolongkan sebagai tata kelola kolaboratif jika memenuhi
syarat, sebagaimana dicetuskan oleh Zadek (2008), yakni:
a. merupakan manifestasi dari beragam standar yang dipegang oleh masing-masing pemangku
kepentingan 

b. lebih dari satu ragam pemangku kepentingan yang terlibat dan tidak boleh terlibat akibat
keterpaksaan yang ditekankan oleh pemangku kepentingan tertentu 

c. meliputi satu atau lebih bagian yang sangat penting dalam pemerintahan (seperti desain,
implementasi, dan aturan) (Diani, 2017).
24
Seigler (2011) menambahkan 8 (delapan) prinsip utama dalam penerapan tata kelola kolaboratif,
yang menekankan keterlibatan masyarakat umum, yaitu
a. warga masyarakat harus turut dilibatkan dalam produksi barang publik
b. masyarakat harus mampu memobilisasi sumberdaya dan aset untuk memecahkan masalah publik
c. tenaga professional harus berbagi keahlian untuk memberdayakan warga masyarakat
d. kebijakan harus menghadirkan musyawarah publik
e. kebijakan harus mengandung kemitraan kolaboratif yang berkelanjutan
f. kebijakan harus strategis
g. kebijakan harus mengubah kelembagaan untuk pemberdayaan masyarakat dan pemecahan
masalah publik
h. kebijakan harus mengandung pertanggungjawaban (Donny, dan Inayanti, 2018).
Dikutip dari bukunya Collaborative Governance-Private Roles For Public Goals In Turbulent
Times, Donahue dan Zeckhauser (2011) menyatakan bahwa tata kelola kolaboratif mencakup 4
(empat) hal yaitu :
a. Kolaborasi Produktivitas (collaboration for productivity)
b. Kolaborasi Informasi (collaboration for information)
c. Kolaborasi Legitimasi (collaboration for legitimacy)
Legitimasi adalah seberapa jauh masyarakat mau menerima dan mengakui kewenangan,
keputusan atau kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin. Dalam konteks legitimasi, maka
hubungan antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin lebih ditentukan oleh keputusan
masyarakat untuk menerima atau menolak kebijakan yang diambil oleh sang pemimpin.
d. Kolaborasi Sumberdaya (collaboration for resources)
Tata kelola kolaboratif membedakan dirinya dengan kemitraan melalui peran pemerintah di
dalamnya. Dalam kemitraan, pemerintah bekerja dengan membangun jejaring, koalisi, dan
kemitraan yang bertujuan menciptakan pelayanan yang efektif dengan hubungan pemerintah ke
masyarakat. Pada tata kelola kolaboratif, pemerintah bekerja bersama swasta dan elemen
masyarakat untuk mencapai tujuan publik (Ervianti, 2018).
Sejauh ini, tata kelola kolaboratif masih dipandang sebagai solusi yang dapat dilakukan untuk
menyelesaikan masalah publik. Wanna (O’Flynn dan Wanna, 2008) menyatakan bahwa melalui tata
kelola kolaboratif, pemerintah dapat mempertimbangkan kembali strategi yang tepat untuk mencapai
hasil yang diinginkan.
Scott (2016) menjelaskan 2 (dua) alasan umum tata kelola kolaboratif dipandang sebagai solusi
yang tepat. Pertama, pemahaman suatu permasalahan terlihat secara lebih terpadu, tanggap,
memberikan legitimasi yang lebih besar, serta dapat mengurangi ketidakpercayaan publik pada
pemerintahan. Keterlibatan pemerintah, swasta, maupun masyarakat ini dinilai lebih efektif daripada
usaha yang dilakukan oleh satu institusi saja. Kedua, mendorong motivasi bersama sehingga setiap
pemangku kepentingan yang terlibat dapat melakukan tindakan masing-masing untuk meningkatkan
efektivitas. Dengan demikian, tata kelola kolaboratif membantu pembuat kebijakan dan manajer
publik untuk memperbaiki disain dan implementasi kebijakan/program yang secara langsung
berdampak pula terhadap hasil yang diharapkan.
Keterlibatan pemangku kepentingan non-pemerintah khususnya swasta dalam kolaborasi
mempunyai alasan tersendiri. Sebagaimana dijelaskan oleh Donahue dan Zeckhauser (2006) bahwa
25
terdapat beberapa alasan bagi pemerintah untuk melibatkan swasta dalam pencapaian tujuan publik,
yaitu
(i) Sumber daya (resources). Keterbatasan sumberdaya atau kekurangan kemampuan untuk
memobilisasi sumberdaya merupakan alasan yang paling sederhana dan sering digunakan oleh
pemerintah berkolaborasi dengan swasta. Swasta dihadirkan oleh pemerintah untuk
menyediakan sumberdaya yang dimaksud untuk mencapai tujuan publik. Dengan demikian,
kebutuhan sumberdaya dapat tercukupi dan pemerintah dapat mencapai tujuan publik tersebut.
(ii) Produktivitas (productivity). Produktifitas swasta dianggap jauh lebih baik dibandingkan
dengan pemerintah. Semakin tinggi tingkat produktivitas yang dapat dihasilkan oleh swasta,
maka semakin kuat alasan berkolaborasi.
(iii) Informasi (information). Swasta memiliki informasi yang tidak dimiliki oleh pemerintah,
namun keterbatasan anggaran pemerintah membatasi kemampuannya dalam memperoleh data
dimaksud. Sementara tentu saja swasta juga berkepentingan memperoleh data pemerintah
sepanjang diperbolehkan. Kolaborasi memudahkan terjadinya pertukaran data.
(iv) Legitimasi (legitimacy). Kolaborasi antara pemerintah dan swasta dapat dijadikan jalan untuk
meningkatkan dukungan masyarakat terhadap kebijakan atau program pemerintah.
4.2 Pemangku Kepentingan (stakeholders)
Salah satu komponen penting dalam tata kelola kolaboratif adalah pemangku kepentingan.
Istilah stakeholders pertama kali dikenalkan oleh Stanford Research Institute pada tahun 1963
(Friedman dan Miles, 2006). Awal munculnya konsep ini adalah untuk mengklasifikasikan dan
mengevaluasi konsep kinerja perusahaan (Caroll, 1991). Lebih lanjut, Freeman berpendapat bahwa
pemahaman hubungan antara kelompok dan individu yang mempengaruhi atau terpengaruhi oleh
organisasi adalah sarana menilai keefektifan organisasi dalam mencapai tujuan (Arrozaaq, 2017).
Stakeholder yang diterjemahkan mejadi pemangku kepentingan adalah individu, kelompok
organisasi baik laki-laki atau perempuan yang memiliki kepentingan, terlibat atau dipengaruhi (positif
atau negatif) oleh suatu kegiatan pembangunan (Hertifah (2003). Hal serupa juga dikemukakan oleh
Scheemer (2000) yang menyebutkan pemangku kepentingan sebagai perorangan, kelompok,
organisasi yang berkepentingan terhadap kebijakan yang sedang dalam proses penyusunan.
Sedangkan Gonsalves dkk. (Iqbal, 2007) mendeskripsikan pemangku kepentingan sebagai pihak yang
memberikan dampak dan/atau yang terkena oleh dampak dari suatu program, kebijakan, dan/atau
kegiatan pembangunan. Pemangku kepentingan bisa individu, komunitas, kelompok sosial, atau suatu
lembaga yang terdapat dalam setiap tingkatan golongan masyarakat (Arrozaaq, 2017).
Lebih lanjut dikatakan bahwa pemangku kepentingan merupakan kelompok atau individu yang
dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi (Freeman, 1984). Fase
simetris, “dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh” berarti terdapat individu atau kelompok yang
menganggap dirinya sebagai pemangku kepentingan dari sebuah organisasi, tanpa
mempertimbangkan untuk menjadi pemangku kepentingan. Selain itu, banyak kelompok yang
dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi, tetapi dukungan mereka tidak dianggap atau
diperlukan untuk terus ada (Arrozaaq, 2017).
Sehingga konotasi pemangku kepentingan bermakna sebagai para pihak baik
perorangan/komunitas/organisasi yang terkait, terdampak maupun memberi dampak oleh atau
terhadap sebuah isu/kegiatan/program/situasi, tanpa perlu terlibat langsung.
26
Walaupun seringkali pemangku kepentingan digambarkan hanya terwakili oleh 3 (tiga) elemen,
namun dikenal juga Model Penta yang mencantumkan 5 (lima) pemangku kepentingan dalam tata
kelola kolaboratif. Kelimanya adalah (i) masyarakat umum; (ii) bisnis (komersil, nir laba, semi
komersil); (iii) lembaga pendidikan seperti sekolah, universitas, pusat riset, akademisi dan lembaga
kebudayaan; (iv) organisasi masyarakat sipil; (v) pemerintah. Gambar berikut dapat membantu
menjelaskan.
Gambar 2
Lima Pilar Tata Kelola Kolaboratif
Sumber: Bernardi (2015)
4.3 Tahapan Tata Kelola Kolaboratif
Tirrel dan Clay (2010) merangkum pengalaman berkolaborasi dalam bentuk rancangan tahapan
kegiatan menjadi 5 (lima) tahapan, yaitu
(a) Tahap 1 Penjajakan
Pada tahap ini pertemuan antara pemangku kepentingan dilakukan secara formal dan informal
seperti pertemuan dalam bentuk curah pendapat, rapat dan pembagian informasi. Termasuk
diskusi tentang peninjauan opini.

(b) Tahap 2: Pembentukan
Kolaborasi menjadi kenyataan. Penyepakatan terhadap prosedur dan struktur operasional.
Disamping itu, tujuan telah dirumuskan dan kegiatan bersama dikembangkan.
Gambar 3
73
of university is revitalized; university becomes more catalytic and active; and secondly it has
the task to facilitate the creation of new forms of relations with the other incoming actors: no-
profit sector, social innovators, citizens and other institutions such as schools, academies,
research and cultural centers. In this penta model, enter five actors that can be considered the
five souls of the collaborative governance:
1. Citizens and social innovators
2. Business (profit, low-profit, non-profit)
3. Cognitive institutions (schools, universities, research centers, academia,
cultural institutions)
4. Civil society organizations (social parties and third-sector actors)
5. Public authorities
The image below shows the graphics used by LabGov to explain the co-existence of these
five pillars:
Figure 7 The five pillars of the collaborative governance. Source: LabGov.
129
Etzkowitz and Leydesdorff (1995 and 2000) proposed the model of a Triple Helix of university-industry-
government relations for explaining structural developments in knowledge-based economies.
27
Model Siklus Hidup Kolaborasi
Sumber: Tirrel dan Clay (2010)
(c) Tahap 3: Pertumbuhan.

Penekanan pada pengaturan terhadap prioritas dan perencanaan. Sudah dilakukan upaya untuk
memperjuangkan konsensus, formulasi dan implementasi.

(d) Tahap 4: Pendewasaan
Pengembangan mulai dilakukan. Kemapanan dana partisipasi dan akses. Semua strategi
didesain dengan basis berkelanjutan. Hasil kolaborasi disampaikan kepada semua pihak dan
tujuan kolaborasi dinilai.

(e) Tahap 5 : Akhir
Kolaborasi sudah bekerja secara ideal dan sempurna. Tercapai kepuasan dari masing-masing
pihak atas hasil yang dilakukan. Kolaborasi sukses menyelesaikan masalah, namun ketika
terjadi penurunan kegiatan maka dilakukan pembaruan (Khusna, 2017).
Tabel 3
Tahapan Kegiatan Kolaborasi Konvensional dan Kolaborasi Strategis
Tahapan Kolaborasi
Kegiatan Kolaborasi
Konvensional
Praktik Kolaborasi Strategis
Tahap Pertama
Penjajakan (exploration)
 Diskusi dan pertemuan
dengan agenda isu publik
 Pengumpulan informasi
 Kemitraan terbentuk atau
berlanjut dengan focus
kepentingan bersama
 Keputusan kolaborasi
strategis
 Pemetaan calon peserta
 Peserta terpilih dan kapasitas
sumberdaya terpetakan
 Kampiun memimpin
Tahap Kedua
Peresmian (formalization)
 Mengembangkan struktur
dan prosedur kolaborasi, dan
memulai kegiatan
 Mempertajam misi dan visi
 Menciptakan struktur dan
proses yang menjamin
28
Tahapan Kolaborasi
Kegiatan Kolaborasi
Konvensional
Praktik Kolaborasi Strategis
 Menetapkan parameter dan
harapan peserta
 Mengembangkan tujuan dan
rencana kegiatan dan
memulainya
keterlibatan beragam
pemangku kepentingan
 Membangun kepercayaan
melalui komunikasi
 Menemukenali dan
mempercepat keberhasilan
awal
Tahap Ketiga
Pertumbuhan
 Melanjutkan perencanaan
dan penetapan prioritas
 Strategi pelaksanaan dan
pemantauan berkala
 Penambahan peserta baru
 Menghindari cara berpikir
birokratis
 Mendorong inovasi dan
kreatifitas
 Menekankan kerjasama dan
berbagai kesamaan
pemahaman
 Memokuskan diseminasi
informasi dan umpan balik
Tahap Keempat
Pendewasaan (maturity)
 Memantapkan sumberdaya
 Evaluasi rencana dan revisi
strategi berlanjut
 Kolaborasi kegiatan
 Menyeimbangkan
kemapanan dengan inovasi
 Berorientasi hasil dan
digerakkan oleh tujuan
 Mengembangkan
kepemimpinan yang lebih
kuat
Tahap Kelima : Akhir
A. Penutup
B. Penolakan
C. Pembaharuan
 Pengenalan
 Berbagi hasil
 Pembatalan kehadiran
 Kegalauan peserta
 Ketidakpastian sumberdaya
 Jalan di tempat
 Penerimaan peserta baru dan
peserta lama tetap
berhubungan
 Tujuan diklarifikasi atau
direvisi
 Bertindak sengaja
 Mencari bantuan ahli
 Mendokumentasikan proses,
peserta dan dampak
 Terbuka
 Diagnosa ‘penyakit’
 Mencari masukan dari luar
 Menciptakan proses analisis
berdasar fakta
 Membawa pandangan baru
 Pertemuan berkala
 Musyawarah membangun
kembali struktur dan proses
 Mengembalikan legitimasi
Sumber: Tirrel dan Clay (2010) dalam Khusna (2017).
Selanjutnya menurut Ratner (2012), di dalam tata kelola kolaboratif terdapat 3 (tiga) fokus
tahapan yang merupakan proses kolaborasi dalam tata kelola pemerintahan, yaitu (i) Mendengarkan;
(ii) Dialog; dan (iii) Memilih (Irawan, 2017). Selengkapnya pada Gambar 4 berikut ini:
Gambar 4
29
Tahapan Penilaian dan Rencana Kegiatan Tata Kelola Kolaboratif
Sumber : Ratner (2012) dalam Irawan (2017)
(a) Saling Mendengarkan (identifying obstacles and opportunities)
Pemerintah dan pemangku kepentingan lain melakukan identifikasi berbagai jenis hambatan
yang akan dihadapi selama proses tata kelola pemerintahan. Para pemangku kepentingan saling
berbagi isu, peluang penyelesaian, dan ketersediaan sumberdaya masing-masing.
(b) Berdialog (debating strategies for influence)
Pemangku kepentingan yang terlibat dalam tata kelola pemerintahan melakukan dialog
mengenai langkah paling efektif memecahkan permasalahan berikut pihak yang mampu
mendukungnya.
(c) Memilih (planning collaborative actions).
Para pemangku kepentingan yang terlibat mulai melakukan perencanaan pelaksanaan strategi
yang telah disepakati pada tahap sebelumnya, seperti langkah awal yang akan dilakukan dalam
proses kolaborasi antarpemangku kepentingan yaitu pemerintah, pihak swasta dan masyarakat.
Kemudian mengidentifikasi perangkat pemantauan dan evaluasi setiap proses yang dilakukan
dan menentukan langkah untuk menjaga proses kolaborasi agar terus berlangsung dalam jangka
30
panjang.
Donahue dan Zeckhauser (2011) menambahkan bahwa tata kelola kolaboratif bukan merupakan
proses yang terjadi satu kali secara linier, melainkan terjadi sebagai suatu siklus yang terdiri dari
komponen analisis (analyze), penetapan (assign), desain (design), dan penilaian (assess) sebagaimana
diperlihatkan melalui Gambar 5 di bawah ini.
Gambar 5
Tahap Tata Kelola Kolaboratif
Sumber: Donahue dan Zeckhauser (2011)
(a) Analisis (analyze)
Langkah pertama adalah menyimak situasi. Dimulai dengan pemahaman tentang tujuan dan
target organisasi pemerintah dan memperhatikan status quo yang dihadapi oleh pemerintah.
Pemerintah juga perlu memetakan pemangku kepentingan non pemerintah yang potensial
dilibatkan untuk mencapai tujuan publik.
(b) Penetapan (assign)
Penetapan berupa pemilihan pemangku kepentingan yang tepat sesuai dengan kapasitasnya.
Penetapan dalam bentuk penugasan memberikan keleluasaan kepada pemangku kepentingan
non-pemerintah untuk menentukan posisi yang diinginkan.
(c) Desain (Design)
Pada tahapan ini, dilakukan penjelasan tentang hak dan kewajiban yang dimiliki para pemangku
kepentingan yang terlibat, berikut bentuk pelaksanaan dan waktu. Namun demikian, pada
praktiknya, tahap ini seringkali tumpang tindih dengan tahap analisis (analyze) dan penetapan
(assign). Hal ini disebabkan seringkali para pemangku kepentingan bersaing menjadi mitra
pemerintah.
(d) Penilaian (Assess)
Tahap penilaian ini ditentukan kinerja pelaksanaan kesepakatan dan dampaknya terhadap
pencapaian tujuan yang disepakati pada awal proses kolaborasi. Pengawasan menjadi kata
kunci.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa keempat komponen siklus yang terjadi dalam proses tata
kelola kolaboratif dapat berubah dengan cepat atau lambat, namun tidak akan pernah berhenti selama
proses kolaboratif tersebut berjalan.
Yaffee dan Wondolleck (2003) menegaskan agar memperoleh hasil yang maksimal dalam
31
melakukan kolaborasi, maka diperlukan beberapa tahapan penting dengan diantaranya memokuskan
pada pengembangan media komunikasi dan mekanisme kelola konflik. Selengkapnya sebagai berikut;
a. Inisiasi dan motivasi
b. Media komunikasi/informasi
c. Analisis bersama terhadap situasi
d. Negosiasi dan kesepakatan diantara pemangku kepentingan
e. Membangun kapasitas perubahan
f. Kemitraan dan analisis pelaksanaaan
g. Membuat dan memelihara proses
h. Membuat dan mendorong mekanisme kelola konflik
Sementara Morse and Stephens (2012) membagi tahapan tata kelola kolaboratif menjadi 4
(empat) tahapan, yaitu: Penilaian (assesment), Inisiasi (initiation), Musyawarah (deliberation), dan
Pelaksanaan (implementation) (Arianti, dan Satlita, 2018). Selanjutnya Jahro (2019) merinci tahapan
Morse dan Stephens sebagai berikut.
(i) Penafsiran (assessment), yang membahas kondisi awal yang sangat memengaruhi keberhasilan
kolaborasi antarpemangku kepentingan. Tahapan penilaian ini berfokus pada mengidentifikasi
perlunya kolaborasi dan kemungkinan pelaksanaannya, yang mencakup kegiatan:
(a) Memahami faktor kontekstual seperti sejarah kerjasama dan insentif kelembagaan atau
kendala kerjasama
(b) Identifikasi pemangku kepentingan berikut peran masing-masing
(c) Kesepakatan umum mengenai isu, masalah atau tujuan bersama yang hendak dicapai
(d) Pentingnya kolaborasi dan komitmen melaksanakan kolaborasi untuk menciptakan solusi.
(ii) Inisiasi (initiation). Tahapan ini mencakup identifikasi pendukung dan perannya yang mungkin
akan berperan membantu sumberdaya manusia dan dana, kegiatan rapat pemangku kepentingan
untuk membangun kelompok kerja. Tahap inisiasi lebih menekankan pada keterampilan lunak
penyelenggaraan kerja sama, membangun kerjasama dan membentuk tim. Selain juga
menyepakati proses kolaborasi.
(iii) Musyawarah (deliberation). Tahapan ini mencakup kegiatan membangun aturan dasar atau
menetapkan peraturan dasar. Selain itu, musyawarah dan dialog sebagai bagian proses
pembelajaran bersama yang bertujuan untuk menciptakan dan mengeksplorasi pilihan. Akhirnya,
tahapan musyawarah dapat mencapai kesepakatan kolaboratif atau perjanjian kerjasama.
(iv) Implementasi yang termasuk didalamnya kegiatan seperti
a. Merancang struktur tata kelola
b. Membangun dukungan konstituen
c. Menyepakati peran dan kontribusi dalam pelaksanaan
d. Memantau perjanjian atau kesepakatan, mengevaluasi hasil dan mengelola kerja sama
Tahapan ini merupakan tahapan menentukan keberlangsungan sebuah kolaborasi.
Sementara Kuenkel (2014) memperkenalkan Model Perubahan Dialogis (the Dialogue Change
Model) bagi desain proses transformasi yang diluncurkan oleh Collective Leadership Institute
(Mugkasa, 2020)
Secara umum terdapat 4 (empat) tahapan pengembangan kolaborasi yaitu (i) Tahap Pertama
berupa Penjelajahan dan Pelibatan Ekosistem Kolaborasi (exploring and engaging); (ii) Tahap Kedua
32
berupa Pengembangan dan Peresmian Ekosistem Kolaborasi (building and formalizing); (iii) Tahap
Ketiga berupa Pelaksanaan dan Evaluasi Kolaborasi (implementing and evaluating); (iv) Tahap
Keempat berupa Pengembangan Lanjutan, Replikasi, atau Pelembagaan Kolaborasi (developing
further Replicating or Institutionalizing).
(i) Tahap Pertama. Penjelajahan dan Pelibatan Ekosistem Kolaborasi
Tahapan pertama mempersiapkan sebuah sistem kelembagaan kolaborasi para pelaku
yang luwes, termasuk mencakup peningkatan kapasitas para pencetus terkait kandungan isu.
Hal ini menyangkut dukungan petinggi dalam proses perubahan, kepekaan kelompok
pemangku kepentingan terhadap perubahan, dan membantu pelaku kunci dengan dialog dan
peningkatan kompetensi sehingga mempunyai kemampuan mengatur kolaborasi secara
sistematis.
Pengelolaan hubungan, termasuk saling percaya, saling memahami, dan keterkaitan
dengan tujuan lebih besar adalah kunci utama pada tahap pertama. Diupayakan agar kesulitan
yang dihadapi nantinya tidak akan banyak seperti ketidaksepakatan tentang mekanisme tata
kelola, rencana pelaksanaan, atau prosedur pemantauan.
Pembentukan organisasi atau struktur perwakilan tidak memperoleh banyak perhatian.
Fokusnya pada membangun laboratorium lapangan diantara berbagai pemangku kepentingan.
Tahap ini merupakan awal pergeseran pola interaksi yang kurang berfungsi menjadi
pengaturan kembali hubungan yang menjadi dasar timbulnya fungsi kolaborasi. Perhatian
utama pada pelibatan masyarakat dalam upaya pemecahan masalah.
Pola interaksi yang timbul pada tahapan ini adalah
a. Kelompok inti dengan keinginan kuat menyelesaikan masalah secara bersama-sama
b. Menguatnya resonansi perubahan diantara pemangku kepentingan
c. Meningkatnya pemahaman terhadap kendala situasi sekarang.
d. Pandangan terhadap masa depan yang akan berbeda diantara pemangku kepentingan
e. Penggerak perubahan dalam bentuk kelompok inti yang merasa bertanggungjawab
terhadap inisiatif kolaborasi dan memahami konteks sepenuhnya
(ii) Tahap Kedua. Membangun dan Meresmikan Ekosistem Kolaborasi
Tahap kedua termasuk meresmikan bentuk konsultasi dan kerjasama diantara pemangku
kepentingan dan memastikan peran dan tanggungjawab pelaksanaan. Visi yang ditetapkan
pada tahap 1 diuji, disaring, dan disepakati oleh seluruh pelaku.
Tahap 2 seringkali memerlukan penelaahan bersama terhadap kenyataan terkini dan
visi, perubahan tujuan atau kondisi masa depan. Kesepakatan, rencana dan struktur
sumberdaya manusia yang diperlukan ditetapkan. Jika struktur kurang ditekankan pada tahap
ini, misal melalui kepastian tujuan, perjanjian, peran, dan tanggungjawab, maka peluang
munculnya ekosistem kolaborasi menjadi hilang.
Gambar 6
Model Perubahan Dialogis
33
bagi Rancangan Proses Transformasi
Sumber: Kuenkel, 20
Pola hubungan yang muncul pada tahap ini sebagai berikut.
a. Ekosistem kolaborasi pemangku kepentingan terkonsolidasi secara bertahap
b. Tujuan dan proses jelas termasuk mekanisme pembelajaran dan prosedur
pertanggungjawaban.
(iii) Tahap Ketiga. Pelaksanaan dan Evaluasi Kolaborasi.
Tahap ini terfokus pada penyelesaian, kemudian kemajuan atau hasil dievaluasi.
Pemangku kepentingan melaksanakan kegiatan bersama atau berkoordinasi. Sebagian besar
inisiatif kolaborasi mencanangkan pertemuan pemangku kepentingan secara berkala dengan
agenda evaluasi kemajuan dan penyesuaian strategi pelaksanaan.
Pemantauan dan evaluasi serta mekanisme pembelajaran terus menerus perlu
dibiasakan sehingga penyesuaian strategi dapat dilakukan bersama. Jika keduanya, baik
struktur (misal rencana pelaksanaan, pemantauan dan struktur tata kelola, mekanisme
pembelajaran dan lainnya) dan proses (misal berbagi hasil, merayakan keberhasilan dan
lainnya), tidak memperoleh perhatian pada tahap ini, pelaku cenderung berhenti, kehilangan
rasa memiliki, berhenti melaksanakan, mulai berkonflik, atau mulai bekerja sendiri-sendiri.
Keahlian pelaku kunci dalam mengelola keseimbangan dinamis antara komunikasi dan
penyampaian hasil bersama menjadikan proses kolaborasi yang rumit menjadi efektif
pelaksanaannya.
34
Pola hubungan yang muncul pada tahap ini sebagai berikut.
a. Sebuah sistem kolaborasi pemangku kepentingan yang berfungsi baik
b. Pembentukan identitas yang menghasilkan kembali keinginan bersama yang
menjadikan seluruh pemangku kepentingan merasa bagian dari gerakan perubahan yang
lebih besar
c. Rancangan proses yang membentuk ruang inovasi dan pembelajaran
d. Struktur dialog terpadu yang melayani tujuan berbeda seperti pembelajaran, peninjauan
kembali, inovasi dan evaluasi.
(iv) Tahap Empat. Pengembangan Lanjutan, Replikasi dan Pelembagaan Kolaborasi
Tahap 4 terkait upaya membawa inisiatif kolaborasi ke tahap selanjutnya, memperluas
kegiatan, dan menghasilkan struktur tahan lama bagi perubahan yang diharapkan. Termasuk
faktor keberhasilan dan pembentukan masyarakat pembuat perubahan.
Hal ini juga dapat mencakup kerjasama berbagai inisiatif kolaborasi pemangku
kepentingan yang berbeda. Pada beberapa kejadian, dibutuhkan pengembangan struktur
keterlibatan pemangku kepentingan dan struktur pengelolaan pengetahuan yang
memungkinkan pelaku kunci memindahkan pengalamannya ke inisiatif lainnya.
Keberhasilan perlu dirayakan, partisipasi dan kontribusi pemangku kepentingan
sewajarnya dihargai. Ketika inisiatif kolaborasi dikembangkan lebih jauh, pemangku
kepentingan baru perlu dimasukkan ke dalam proses, khususnya ketika pelaksanaan
perubahan diserahkan pada pihak ketiga.
Proses dari inisiatif yang masih longgar ke bentuk yang lebih resmi tidaklah mudah.
Replikasi atau pelembagaan sering membutuhkan struktur pengelolaan profesional.
Perubahan peran dan struktur pengambilan keputusan seharusnya menjadi lebih efisien.
Struktur pengelola saat ini membutuhkan legitimasi dan kredibilitas tambahan.
Pola interaksi yang muncul pada tahap ini sebagai berikut.
a. Sebuah sistem kolaborasi pemangku kepentingan terpadu dengan struktur dan tata
kelola pemangku kepentingan tahan lama
b. Mekanisme pembaharuan dan inovasi
c. Sebuah sistem pelibatan pelaku di luar sistem kolaborasi yang awal
d. Sebuah catatan keberhasilan dan dampak
Terkait proses kolaborasi, terdapat setidaknya 3 (tiga) model yaitu (i) Model Perubahan
Dialogis/Dialogic Change Model (Kuenkel dkk, 2011); (ii) Siklus Kemitraan/Partnering Cycle
(Tennyson, 2011); (iii) Dampak Bersama/Collective Impact (Kania dan Kramer. 2011).
Selengkapnya pada Tabel berikut.
Tabel 4
Model Proses Kolaborasi Beragam Pemangku Kepentingan
Tahapan
Model Perubahan Dialogis/
Dialogic Change Model
(Kuenkel dkk, 2011)
Siklus Kemitraan/
Partnering Cycle
(Tennyson, 2011)
Dampak Bersama/
Collective Impact
(Kania dan Kramer. 2011)
Pengamatan dan pelibatan
(Exploring and Engaging)
Pelingkupan dan pengembangan
(Scoping and building)
Pengembangan ide dan dialog
(Generate ideas and dialogue)
35
Tahapan
Model Perubahan Dialogis/
Dialogic Change Model
(Kuenkel dkk, 2011)
Siklus Kemitraan/
Partnering Cycle
(Tennyson, 2011)
Dampak Bersama/
Collective Impact
(Kania dan Kramer. 2011)
I
- Memahami keadaan
- Memahami perbedaan
pandangan pemangku
kepentingan
- melibatkan dalam diskusi
persiapan
- meningkatkan kesiapan aksi
- mengembangkan kasus
- identifikasi tujuan dan visi
- penetapan lingkup
- perencanaan kegiatan
- melibatkan masyarakat
dalam diskusi
- identifikasi kesamaan nilai
- menyiapkan kelompok inti
yang akan mengawal
- membangun hubungan dan
saling percaya
II
Pengembangan dan Peresmian
(building and formalizing)
Pengelolaan dan Pemeliharaan
(managing and maintaining)
Permulaan aksi
(initiate action)
- menetapkan tujuan dan
komitmen
- menyediakan sumberdaya
- menyepakati perjanjian
formal
- proses perencanaan
- pelaksanaan bersama
- tahapan pelaksanaan
- ditandai dengan upaya
mobilisasi, pelembagaan dan
penyediaan
- mengenali kampiun
- membentuk kelompok
lintas sektor
- memetakan lansekap
- memanfaatkan data bagi
pengembangan kasus
- memasilitasi masyarakat
yang tidak terjangkau
- analisis basis data
pengembangan isu
III
Pelaksanaan dan Evaluasi
(implementing and evaluating)
Peninjauan kembali
dan Perbaikan
(reviewing and revising)
Pengaturan Dampak
(organize for impact)
- pelaksanaan kegiatan yang
disepakati
- mengembangkan contoh
kasus
- evaluasi kemajuan dan
hasil
- kegiatan dinilai, ditinjau
kembali, dan jika
memungkinkan di perbaiki
- menbangun infrastruktur
(pendukung dan proses)
- mengembangkan agenda
umum (tujuan umum dan
strategi)
- melibarkan masyarakat dan
mengembangkan keinginan
masyarakat
- menetapkan ukuran
bersama (indikator, ukuran
dan pendekatan)
IV
Pengembangan lebih jauh,
replikasi atau pelembagaan
(developing further,
replicating or
institutionalizing)
Mempertahankan hasil
(sustaining outcomes)
Aksi dan Dampak
Berkelanjutan
(sustain action and impact)
- meningkatkan dialog ke
tahap berikutnya
- memperbesar atau replikasi
kegiatan dialog
- menciptakan lembaga
bertahan lama untuk
perubahan
- mitra tetap bertahan
- kegiatan diperbesar
- menetapkan dan refine,
mendukung pelaksanaan
(penjajaran tujuan dan
strategi)
- mempertahankan
keterlibatan dan melakukan
advokasi
- mengumpulkan,
menelusuri, dan
menyampaikan laporan
(mempelajari dan
memperbaiki proses)
Sumber : Kuenkel, 2011.
36
4.4 Kriteria dan Ukuran Keberhasilan
Ansell dan Gash (2009), menyatakan bahwa terdapat 6 (enam) kriteria untuk mewujudkan
sebuah tata kelola kolaboratif;
(i) Kolaborasi diprakarsai oleh institusi pemerintah
(ii) Peserta kolaborasi terdiri dari institusi pemerintah dan non-pemerintah.
(iii) Semua peserta turut dalam proses pengambilan keputusan
(iv) Forum kolaborasi dibentuk secara resmi dan bertemu secara regular
(v) Forum kolaborasi membuat keputusan secara konsensus.
(vi) Fokus kolaborasi adalah pada kebijakan dan pengelolaan publik.
Keenam kriteria ini terdapat dalam sebuah proses tata kelola kolaboratif, walaupun bukanlah
jaminan bahwa kolaborasi akan berhasil, akan tetapi setidaknya kriteria ini merupakan komponen
utama dalam sebuah proses tata kelola kolaboratif.
Menurut De Seve dalam Dewi (2012), terdapat beberapa kriteria mengukur keberhasilan sebuah
kolaborasi dalam tata kelola, yaitu:
a. Tipe Struktur Jejaring (networked structure) menjelaskan konsep keterkaitan antarelemen yang
menyatu mencerminkan unsur fisik dari jejaring yang ditangani. Beberapa bentuk struktur
jejaring seperti hub dan spokes, bintang, dan cluster (kumpulan terangkai dan terhubung) yang
dapat dimanfaatkan.
Milward dan Provan (2007) mengategorikan bentuk struktur jejaring dalam 3 (tiga) bentuk
yaitu self governance, lead organization dan network administrative organization (NAO). Hub
dan spoke mirip lead organization, sedang bintang disamakan dengan self governance, dan
cluster lebih dekat pada NAO, walaupun sebenarnya model ini merupakan campuran antara self
governance dan lead organization.
Model self governance ditandai dengan struktur tanpa entitas administratif namun demikian
tiap pemangku kepentingan berpartisipasi dalam jejaring, dan pengelolaan dilakukan oleh semua
anggota.
Kelebihan dari model self-governance adalah bahwa semua pemangku kepentingan yang
terlibat dalam jejaring ikut berpartisipasi aktif, memiliki komitmen dan mudah membentuk
jaringan. Namun, kelemahan dari model ini adalah ketidakefisienan berbentuk seringnya
mengadakan pertemuan sedangkan pembuatan keputusan sangat terdesentralisir sehingga sulit
mencapai konsensus. Juga disyaratkan agar bisa efektif, para pemangku kepentingan yang terlibat
sebaiknya sedikit saja sehingga memudahkan saling komunikasi dan saling memantau masing-
masing secara intensif (Milward dan Provan, 2007 dalam Sudarmo, 2011). Ini berarti bahwa
jumlah anggota yang relatif kecil atau terbatas sangat berpengaruh terhadap efektivitas sebuah
kolaborasi atau jaringan yang mengambil bentuk self-governance.
Model lead organization ditandai dengan adanya entitas administratif (dan juga manajer
yang mengelola jejaring) sebagai anggota jejaring atau penyedia pelayanan. Model ini sifatnya
lebih tersentralisir dibandingkan dengan model self govenance. Kelebihannya, model ini bisa
efisien dan arah jaringannya jelas. Namun, masalah yang dihadapi dalam model ini adalah adanya
dominasi oleh lembaga utama (lead organization), dan kurang adanya komitmen dari para
pemangku kepentingan yang tergabung dalam jejaring. Disarankan juga agar jejaring lebih
optimal, para anggota dalam jejaring sebaiknya cukup banyak (Milward and Provan, 2007 dalam
37
Sudarmo, 2011). Keefektifan model ini mengandalkan dukungan dari pemangku kepentingan
atau anggota lainnya dalam menjalankan aktivitasnya, sehingga semakin banyak dukungan
semakin efektif sebuah kolaborasi yang mengadopsi model ini.
Namun demikian, jejaring tidak boleh membentuk hirarki karena justru tidak akan efektif,
dan struktur jejaring harus bersifat organis dengan struktur organisasi jejaring yang serata
mungkin, yakni tidak ada hirarki kekuasaan, dominasi dan monopoli; semuanya setara baik dalam
hal hak, kewajiban, tanggung jawab, otoritas dan kesempatan untuk pencapaian tujuan bersama
(Jones , 2004 dalam Sudarmo, 2011).
Model network administrative organization ditandai dengan adanya entitas administratif
secara tegas, yang dibentuk untuk mengelola jejaring, bukan sebagai penyedia layanan dan
pengelolanya memperoleh gaji. Model ini merupakan campuran model self-governance dan
model lead organization.
b. Komitmen terhadap Tujuan Bersama (commitment to a common purpose), mengacu pada alasan
keberadaan sebuah jejaring yaitu perhatian dan komitmen untuk mencapai tujuan positif. Tujuan
ini biasanya terlihat dalam misi umum suatu organisasi pemerintah.
c. Saling Percaya diantara Pemangku Kepentingan (trust among the participants) yang terangkai
dalam jejaring. Saling percaya didasarkan pada hubungan profesional atau sosial; keyakinan
bahwa para pemangku kepentingan memercayakan pada informasi atau usaha dari pemangku
kepentingan lainnya dalam suatu jejaring untuk mencapai tujuan bersama.
Bagi lembaga pemerintah, unsur ini sangat penting untuk meyakini terpenuhinya mandat
legislatif atau aturan dan mitra sesama pemerintah maupun mitra non-pemerintah dapat dipercaya
untuk menjalankan kegiatan yang telah disetujui bersama.
Jika terjadi saling curiga dan bahkan saling memfitnah, menjadi bukti bahwa kolaborasi telah
berada di ambang titik akhir. Vangen and Huxham (2003) menyatakan bahwa kepercayaan dan
rasa hormat adalah penting jika kolaborasi ingin sukses.
d. Tata kelola (governance) termasuk: (i) saling percaya diantara para pemangku kepentingan, (ii)
terdapat syarat keterlibatan, (iii) kesepakatan aturan main yang jelas, dan (iv) kebebasan
menentukan cara kolaborasi.
Sebuah kolaborasi dapat berlangsung lancar ketika terdapat kepastian atau kejelasan dalam
tata kelola, yang setidaknya mencakup
(i) batasan dan kekhususan (boundary dan exclusivity), yang menegaskan keanggotaan; yang
menunjukkan kejelasan keikutsertaan dalam jejaring dan luar jejaring;
(ii) aturan (rules) yang menegaskan sejumlah pembatasan perilaku anggota komunitas berikut
ancaman perilaku menyimpang (tidak sesuai atau bertentangan dengan kesepakatan yang
telah disetujui bersama); dengan demikian terdapat aturan main yang jelas terhadap
kegiatan yang diperbolehkan, terdapat ketegasan terhadap penyimpangan batas
kesepakatan.
Hal ini menegaskan bahwa dalam kolaborasi terdapat aturan main yang disepakati
bersama oleh seluruh pemangku kepentingan yang menjadi anggota dari jejaring tersebut;
hal yang harus dilakukan dan tidak dilakukan sesuai aturan main yang disepakati
(iii) Penentuan Sendiri (self determination), yakni kebebasan untuk menentukan cara dan siapa
menjalankan jejaring; ini berarti bahwa model kolaborasi yang dibentuk menentukan cara
38
kolaborasi. Dengan kata lain, cara kerja sebuah kolaborasi ditentukan oleh model
kolaborasi yang diadopsi;
(iv) pengelolaan jejaring (network management) yakni berkenaan dengan resolusi
penolakan/tantangan, alokasi sumberdaya, kendali kualitas, dan pemeliharaan organisasi.
Merupakan penegasan ciri sebuah kolaborasi yang efektif adalah dukungan
sepenuhnya oleh semua anggota jejaring tanpa pertentangan dalam pencapaian tujuan,
ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan memenuhi persyaratan
serta ketersediaan sumber keuangan secara memadai dan berkesinambungan, terdapat
penilaian kinerja terhadap setiap anggota yang berkolaborasi, dan mempertahankan tiap
anggota organisasi tetap adaptif dan berjalan secara berkesinambungan sesuai dengan visi
dan misinya masing-masing tanpa mengganggu kolaborasi itu sendiri.
e. Akses terhadap Kekuasaan (access to authority), yakni merupakan ketersediaan ukuran,
ketentuan dan prosedur yang jelas dan diterima secara luas. Jadi, tersedia aturan kewenangan
yang jelas dan diterima oleh para pemangku kepentingan untuk menjalankan peran sesuai
kewenangannya.
f. Berbagi Tanggungjawab (distributive accountability/responsibility) yakni berbagi tata kelola
(penataan, pengelolaan, secara bersama-sama dengan pemangku kepentingan lainya) dan berbagi
sejumlah pengambilan keputusan kepada seluruh anggota jaringan; sehingga berbagi
tanggungjawab untuk mencapai hasil yang diinginkan. Jika para anggota tidak terlibat dalam
menentukan tujuan jejaring dan tidak berkeinginan membawa sumberdaya dan otoritas ke dalam
jejaring, maka kemungkinan jejaring akan gagal mencapai tujuan
g. Berbagi informasi (information sharing), yakni kemudahan akses bagi para anggota,
perlindungan privasi (kerahasiaan identitas pribadi seseorang), dan keterbatasan akses bagi yang
bukan anggota sepanjang bisa diterima oleh semua pihak. Kemudahan akses ini bisa mencakup
sistem, perangkat lunak dan prosedur yang mudah dan aman untuk mengakses informasi.

h. Akses Sumberdaya (access to resources), yakni ketersediaan sumber keuangan, teknis, manusia
dan sumberdaya lainnya yang diperlukan untuk mencapai tujuan jejaring (Ervianti, 2018).
Sementara secara umum indikator kesuksesan dalam proses tata kelola kolaborasi meliputi
mengikutsertakan semua; transparan dan bertanggung jawab; efektif dan adil; menjamin supremasi
hukum; menjamin bahwa prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat;
dan memperhatikan yang lemah dalam pengambilan keputusan (Ervianti, 2018).
Sebuah penelitian di Amerika menunjukkan bahwa keterhubungan diantara elemen struktur dan
proses; motivasi; dan hubungan perorangan ternyata berpengaruh besar terhadap keberhasilan
kolaborasi.
Struktur yang terbentuk dan proses yang memudahkan mendorong terjadinya keterlibatan yang
bermanfaat buat pemangku kepentingan, yang kemudian dapat menambah atau bahkan menimbulkan
motivasi keterlibatan dalam kolaborasi. Demikian sebaliknya motivasi yang ada ditunjang oleh
struktur dan proses yang memudahkan akan mendorong pemangku kepentingan untuk terlibat dalam
kolaborasi sepenuhnya.
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif
Tata Kelola Kolaboratif

More Related Content

What's hot

Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)
Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)
Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)Raja Matridi Aeksalo
 
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik Dadang Solihin
 
Perencanaan Pembangunan Daerah
Perencanaan Pembangunan Daerah Perencanaan Pembangunan Daerah
Perencanaan Pembangunan Daerah Dadang Solihin
 
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...Ian Setiawan
 
Etika Administrasi Publik
Etika Administrasi PublikEtika Administrasi Publik
Etika Administrasi PublikSiti Sahati
 
Isu dan Masalah Perencanaan Pembangunan Daerah
Isu dan Masalah Perencanaan Pembangunan DaerahIsu dan Masalah Perencanaan Pembangunan Daerah
Isu dan Masalah Perencanaan Pembangunan DaerahDadang Solihin
 
Pendekatan perencanaan pembangunan
Pendekatan perencanaan pembangunanPendekatan perencanaan pembangunan
Pendekatan perencanaan pembangunanQiu El Fahmi
 
Sistem, Proses, Mekanisme, dan Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional Sesua...
Sistem, Proses, Mekanisme, dan Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional Sesua...Sistem, Proses, Mekanisme, dan Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional Sesua...
Sistem, Proses, Mekanisme, dan Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional Sesua...Dadang Solihin
 
3 proses perumusan kebijakan
3 proses perumusan kebijakan3 proses perumusan kebijakan
3 proses perumusan kebijakanMuh Firyal Akbar
 
Partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakatPartisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakatabu hanafie
 
Beberapa pertanyaan dalam perencanaan pembangunan
Beberapa pertanyaan dalam perencanaan pembangunanBeberapa pertanyaan dalam perencanaan pembangunan
Beberapa pertanyaan dalam perencanaan pembangunanYuca Siahaan
 
BIROKRASI [Sebuah Perbandingan]
BIROKRASI [Sebuah Perbandingan]BIROKRASI [Sebuah Perbandingan]
BIROKRASI [Sebuah Perbandingan]Siti Sahati
 
Planning theory in Waster Management
Planning theory in Waster ManagementPlanning theory in Waster Management
Planning theory in Waster Managementbramantiyo marjuki
 
TEORI-TEORI SIKLUS KEBIJAKAN
TEORI-TEORI SIKLUS KEBIJAKANTEORI-TEORI SIKLUS KEBIJAKAN
TEORI-TEORI SIKLUS KEBIJAKANFahrul Azmi
 

What's hot (20)

Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)
Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)
Model dan pendekatan dalam analisis kebijakan publik (public policy)
 
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik
Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik
 
Analisis Kebijakan Publik
Analisis Kebijakan PublikAnalisis Kebijakan Publik
Analisis Kebijakan Publik
 
Analisis kebijakan publik
Analisis kebijakan publikAnalisis kebijakan publik
Analisis kebijakan publik
 
Perencanaan Pembangunan Daerah
Perencanaan Pembangunan Daerah Perencanaan Pembangunan Daerah
Perencanaan Pembangunan Daerah
 
Sistem Administrasi Negara RI
Sistem Administrasi Negara RISistem Administrasi Negara RI
Sistem Administrasi Negara RI
 
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
 
Etika Administrasi Publik
Etika Administrasi PublikEtika Administrasi Publik
Etika Administrasi Publik
 
Pertemuan ke 3 - perencanaan sosial
Pertemuan ke 3 - perencanaan  sosialPertemuan ke 3 - perencanaan  sosial
Pertemuan ke 3 - perencanaan sosial
 
Isu dan Masalah Perencanaan Pembangunan Daerah
Isu dan Masalah Perencanaan Pembangunan DaerahIsu dan Masalah Perencanaan Pembangunan Daerah
Isu dan Masalah Perencanaan Pembangunan Daerah
 
Pendekatan perencanaan pembangunan
Pendekatan perencanaan pembangunanPendekatan perencanaan pembangunan
Pendekatan perencanaan pembangunan
 
Sistem, Proses, Mekanisme, dan Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional Sesua...
Sistem, Proses, Mekanisme, dan Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional Sesua...Sistem, Proses, Mekanisme, dan Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional Sesua...
Sistem, Proses, Mekanisme, dan Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional Sesua...
 
3 proses perumusan kebijakan
3 proses perumusan kebijakan3 proses perumusan kebijakan
3 proses perumusan kebijakan
 
model model analisis kebijakan publik
model model analisis kebijakan publikmodel model analisis kebijakan publik
model model analisis kebijakan publik
 
Partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakatPartisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakat
 
Beberapa pertanyaan dalam perencanaan pembangunan
Beberapa pertanyaan dalam perencanaan pembangunanBeberapa pertanyaan dalam perencanaan pembangunan
Beberapa pertanyaan dalam perencanaan pembangunan
 
BIROKRASI [Sebuah Perbandingan]
BIROKRASI [Sebuah Perbandingan]BIROKRASI [Sebuah Perbandingan]
BIROKRASI [Sebuah Perbandingan]
 
Planning theory in Waster Management
Planning theory in Waster ManagementPlanning theory in Waster Management
Planning theory in Waster Management
 
Isu isu strategis dan agenda pembangunan rt rpjmn 2020-2024
Isu isu strategis dan agenda pembangunan rt rpjmn 2020-2024Isu isu strategis dan agenda pembangunan rt rpjmn 2020-2024
Isu isu strategis dan agenda pembangunan rt rpjmn 2020-2024
 
TEORI-TEORI SIKLUS KEBIJAKAN
TEORI-TEORI SIKLUS KEBIJAKANTEORI-TEORI SIKLUS KEBIJAKAN
TEORI-TEORI SIKLUS KEBIJAKAN
 

Similar to Tata Kelola Kolaboratif

Paper: kajian government network gresik dalam program the Sunan giri award di...
Paper: kajian government network gresik dalam program the Sunan giri award di...Paper: kajian government network gresik dalam program the Sunan giri award di...
Paper: kajian government network gresik dalam program the Sunan giri award di...Farid Ma'ruf
 
Bab 3 penampilan kebijakan pemerintah
Bab  3 penampilan kebijakan pemerintahBab  3 penampilan kebijakan pemerintah
Bab 3 penampilan kebijakan pemerintahnurul khaiva
 
FASE DALAM ADMINISTRASI PUBLIK
FASE DALAM ADMINISTRASI PUBLIKFASE DALAM ADMINISTRASI PUBLIK
FASE DALAM ADMINISTRASI PUBLIKMasayu Juwita
 
Pergeseran paradigma-adm-publik-ke-governance
Pergeseran paradigma-adm-publik-ke-governancePergeseran paradigma-adm-publik-ke-governance
Pergeseran paradigma-adm-publik-ke-governancetrio Saputra
 
Pemerintahan dan pemerintah (PKN) kelas XI ipa
Pemerintahan dan pemerintah (PKN) kelas XI ipaPemerintahan dan pemerintah (PKN) kelas XI ipa
Pemerintahan dan pemerintah (PKN) kelas XI ipaMahardhika WiJaya
 
Good governance sebagai agenda reformasi
Good governance sebagai agenda reformasiGood governance sebagai agenda reformasi
Good governance sebagai agenda reformasiEly Goro Leba
 
Kewarrganegaraan 666666
Kewarrganegaraan 666666Kewarrganegaraan 666666
Kewarrganegaraan 666666Ardi88
 
Konsep good governance
Konsep good governanceKonsep good governance
Konsep good governanceAsvif Ma'rufah
 
Good governence p yopi
Good governence p yopiGood governence p yopi
Good governence p yopianandaTD
 
RMK julfana jainal.docx
RMK  julfana jainal.docxRMK  julfana jainal.docx
RMK julfana jainal.docxJulfanajainal
 
Penguatan Partisipasi Masyarakat Adat Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di...
Penguatan Partisipasi Masyarakat Adat Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di...Penguatan Partisipasi Masyarakat Adat Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di...
Penguatan Partisipasi Masyarakat Adat Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di...Tri Widodo W. UTOMO
 
GOOD_GOVERNANCE-SESI-IV-IPD-UGJ-21 (1).ppt
GOOD_GOVERNANCE-SESI-IV-IPD-UGJ-21 (1).pptGOOD_GOVERNANCE-SESI-IV-IPD-UGJ-21 (1).ppt
GOOD_GOVERNANCE-SESI-IV-IPD-UGJ-21 (1).pptERROLWATTIMENA1
 
5.-HUBUNGAN-ADMINISTRASI-NEGARADENGAN-PERBANDINGANADMINISTRASI-NEGARA.pptx
5.-HUBUNGAN-ADMINISTRASI-NEGARADENGAN-PERBANDINGANADMINISTRASI-NEGARA.pptx5.-HUBUNGAN-ADMINISTRASI-NEGARADENGAN-PERBANDINGANADMINISTRASI-NEGARA.pptx
5.-HUBUNGAN-ADMINISTRASI-NEGARADENGAN-PERBANDINGANADMINISTRASI-NEGARA.pptxLubnaSafaraz
 
Tgas pkn good governance
Tgas pkn good governanceTgas pkn good governance
Tgas pkn good governanceUkhty Shèýza
 
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...Operator Warnet Vast Raha
 
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...murianda
 
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...Operator Warnet Vast Raha
 
GOOD_GOVERNANCE-SESI-IV-IPD-UGJ-21.ppt
GOOD_GOVERNANCE-SESI-IV-IPD-UGJ-21.pptGOOD_GOVERNANCE-SESI-IV-IPD-UGJ-21.ppt
GOOD_GOVERNANCE-SESI-IV-IPD-UGJ-21.pptBayuSapto
 

Similar to Tata Kelola Kolaboratif (20)

Paper: kajian government network gresik dalam program the Sunan giri award di...
Paper: kajian government network gresik dalam program the Sunan giri award di...Paper: kajian government network gresik dalam program the Sunan giri award di...
Paper: kajian government network gresik dalam program the Sunan giri award di...
 
Bab 3 penampilan kebijakan pemerintah
Bab  3 penampilan kebijakan pemerintahBab  3 penampilan kebijakan pemerintah
Bab 3 penampilan kebijakan pemerintah
 
FASE DALAM ADMINISTRASI PUBLIK
FASE DALAM ADMINISTRASI PUBLIKFASE DALAM ADMINISTRASI PUBLIK
FASE DALAM ADMINISTRASI PUBLIK
 
Pergeseran paradigma-adm-publik-ke-governance
Pergeseran paradigma-adm-publik-ke-governancePergeseran paradigma-adm-publik-ke-governance
Pergeseran paradigma-adm-publik-ke-governance
 
Pemerintahan dan pemerintah (PKN) kelas XI ipa
Pemerintahan dan pemerintah (PKN) kelas XI ipaPemerintahan dan pemerintah (PKN) kelas XI ipa
Pemerintahan dan pemerintah (PKN) kelas XI ipa
 
Good governance sebagai agenda reformasi
Good governance sebagai agenda reformasiGood governance sebagai agenda reformasi
Good governance sebagai agenda reformasi
 
Kewarrganegaraan 666666
Kewarrganegaraan 666666Kewarrganegaraan 666666
Kewarrganegaraan 666666
 
Konsep good governance
Konsep good governanceKonsep good governance
Konsep good governance
 
Good governence p yopi
Good governence p yopiGood governence p yopi
Good governence p yopi
 
RMK julfana jainal.docx
RMK  julfana jainal.docxRMK  julfana jainal.docx
RMK julfana jainal.docx
 
Penguatan Partisipasi Masyarakat Adat Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di...
Penguatan Partisipasi Masyarakat Adat Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di...Penguatan Partisipasi Masyarakat Adat Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di...
Penguatan Partisipasi Masyarakat Adat Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di...
 
GOOD_GOVERNANCE-SESI-IV-IPD-UGJ-21 (1).ppt
GOOD_GOVERNANCE-SESI-IV-IPD-UGJ-21 (1).pptGOOD_GOVERNANCE-SESI-IV-IPD-UGJ-21 (1).ppt
GOOD_GOVERNANCE-SESI-IV-IPD-UGJ-21 (1).ppt
 
5.-HUBUNGAN-ADMINISTRASI-NEGARADENGAN-PERBANDINGANADMINISTRASI-NEGARA.pptx
5.-HUBUNGAN-ADMINISTRASI-NEGARADENGAN-PERBANDINGANADMINISTRASI-NEGARA.pptx5.-HUBUNGAN-ADMINISTRASI-NEGARADENGAN-PERBANDINGANADMINISTRASI-NEGARA.pptx
5.-HUBUNGAN-ADMINISTRASI-NEGARADENGAN-PERBANDINGANADMINISTRASI-NEGARA.pptx
 
Governance-Manajemen
Governance-ManajemenGovernance-Manajemen
Governance-Manajemen
 
Tgas pkn good governance
Tgas pkn good governanceTgas pkn good governance
Tgas pkn good governance
 
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
 
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
 
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
Prinsip prinsip-good-governance-dalam-tata-kelola-kepemerintahan-desa-studi-d...
 
BAB II.docx
BAB II.docxBAB II.docx
BAB II.docx
 
GOOD_GOVERNANCE-SESI-IV-IPD-UGJ-21.ppt
GOOD_GOVERNANCE-SESI-IV-IPD-UGJ-21.pptGOOD_GOVERNANCE-SESI-IV-IPD-UGJ-21.ppt
GOOD_GOVERNANCE-SESI-IV-IPD-UGJ-21.ppt
 

More from Oswar Mungkasa

Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan PanganUrun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan PanganOswar Mungkasa
 
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...Oswar Mungkasa
 
Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...Oswar Mungkasa
 
Sudah saatnya mempopulerkan upcycling
Sudah saatnya mempopulerkan upcyclingSudah saatnya mempopulerkan upcycling
Sudah saatnya mempopulerkan upcyclingOswar Mungkasa
 
Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...
Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...
Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...Oswar Mungkasa
 
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...Oswar Mungkasa
 
Fakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERA
Fakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERAFakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERA
Fakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERAOswar Mungkasa
 
Pedoman kepemimpinan bersama
Pedoman kepemimpinan bersama Pedoman kepemimpinan bersama
Pedoman kepemimpinan bersama Oswar Mungkasa
 
Memudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentingan
Memudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentinganMemudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentingan
Memudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentinganOswar Mungkasa
 
MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...
MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...
MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...Oswar Mungkasa
 
Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...
Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...
Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...Oswar Mungkasa
 
PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...
PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...
PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...Oswar Mungkasa
 
Bekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaran
Bekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaranBekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaran
Bekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaranOswar Mungkasa
 
LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...
LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...
LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...Oswar Mungkasa
 
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...Oswar Mungkasa
 
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...Oswar Mungkasa
 
Presentation. Collaboration Towards A Resilient Jakarta
Presentation. Collaboration Towards A Resilient JakartaPresentation. Collaboration Towards A Resilient Jakarta
Presentation. Collaboration Towards A Resilient JakartaOswar Mungkasa
 
Pengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasi
Pengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasiPengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasi
Pengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasiOswar Mungkasa
 
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015Oswar Mungkasa
 
Pembangunan Air Minum dan Sanitasi di Indonesia
Pembangunan Air Minum dan Sanitasi di IndonesiaPembangunan Air Minum dan Sanitasi di Indonesia
Pembangunan Air Minum dan Sanitasi di IndonesiaOswar Mungkasa
 

More from Oswar Mungkasa (20)

Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan PanganUrun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan Pangan
 
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...
 
Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Pengembangan Wilayah Berkelanjutan. Konsep, Pra...
 
Sudah saatnya mempopulerkan upcycling
Sudah saatnya mempopulerkan upcyclingSudah saatnya mempopulerkan upcycling
Sudah saatnya mempopulerkan upcycling
 
Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...
Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...
Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...
 
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...
 
Fakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERA
Fakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERAFakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERA
Fakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERA
 
Pedoman kepemimpinan bersama
Pedoman kepemimpinan bersama Pedoman kepemimpinan bersama
Pedoman kepemimpinan bersama
 
Memudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentingan
Memudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentinganMemudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentingan
Memudahkan upaya kolaborasi beragam pemangku kepentingan
 
MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...
MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...
MAKALAH. Bekerja dari Rumah (working from home). Menuju Tatanan Baru Era Covi...
 
Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...
Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...
Bekerja jarak jauh (telecommuting/Working from home/WFH). Konsep-Penerapan-Pe...
 
PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...
PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...
PRESENTATION. Public Lecture "Jakarta's Response to COVID 19: Strategy-Lesson...
 
Bekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaran
Bekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaranBekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaran
Bekerja jarak jauh (telecommuting). Konsep, penerapan dan pembelajaran
 
LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...
LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...
LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...
 
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksana Tugas Deputi Gubernur DKI Jakarta bid...
 
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...
Laporan. Pelaksanaan Kegiatan Kedeputian Gubernur DKI Jakarta bidang Tata Rua...
 
Presentation. Collaboration Towards A Resilient Jakarta
Presentation. Collaboration Towards A Resilient JakartaPresentation. Collaboration Towards A Resilient Jakarta
Presentation. Collaboration Towards A Resilient Jakarta
 
Pengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasi
Pengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasiPengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasi
Pengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasi
 
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
 
Pembangunan Air Minum dan Sanitasi di Indonesia
Pembangunan Air Minum dan Sanitasi di IndonesiaPembangunan Air Minum dan Sanitasi di Indonesia
Pembangunan Air Minum dan Sanitasi di Indonesia
 

Tata Kelola Kolaboratif

  • 1. 1 Tata Kelola Kolaboratif : (Collaborative Governance) Menata Kolaborasi Pemangku Kepentingan Oswar Mungkasa1 When collaborating, “the government sometimes needs to play the role of participant rather than leader and learner rather than teacher” (Smith, 2004)2 . I. Sejarah Tata Kelola Kolaboratif Istilah Collaborative Governance yang diterjemahkan menjadi Tata Kelola Kolaboratif muncul ketika terjadi pergeseran dari Old Public Administration (OPA) ke paradigma baru yaitu New Public Management (NPM). Penyebutan government kemudian berganti menjadi governance. Perubahan istilah ini bertujuan untuk mendemokrasikan administrasi publik, karena ketika menggunakan istilah government penekanannya lebih kepada institusi pemerintah, berbeda ketika bergeser menjadi governance terdapat penekanan adanya keterlibatan non-pemerintah, yaitu kelompok kepentingan dan masyarakat (Sari, 2014). Tabel. 1 Perbandingan Government dan Governance No Unsur Government Governance 1 Pengertian badan/lembaga/fungsi yang dijalankan oleh suatu organ tertinggi dalam suatu negara. cara penggunaan atau pelaksanaan. 2 Sifat hubungan Hirarki, dalam arti yang memerintah berada di atas, sedangkan warga yang diperintah berada di bawah. Heterarki, dalam arti terdapat kesetaraan dan hanya berbeda dalam fungsi. 3 Komponen yang terlibat Sebagai subjek hanya ada satu yaitu institusi pemerintah. Tiga komponen yang terlibat, yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat. 4 Pemegang peran dominan. Pemerintah. Semua memegang peran sesuai fungsinya masing-masing. 5 Efek yang diharapkan Kepatuhan warga negara Keterlibatan warga negara 6 Hasil akhir yang diharapkan. Pencapaian tujuan negara melalui kepatuhan warga negara. Pencapaian tujuan negara dan masyarakat melalui partisipasi sebagai warga negara maupun sebagai warga masyarakat. Sumber : Wasistiono (2009) dalam Febrian (2018). Perkembangan paradigma ilmu Administrasi Publik setidaknya mengalami 4 (empat) tahapan, sebagaimana dikutip dari Chemma (2003), yaitu 1 Bekerja di Bappenas 2 Ralph Smith, Part 1: Lessons from the Homelessness Initiative in Policy Development and Implementation in Complex Files. Ottawa: Canada School of Public Service.2004.
  • 2. 2 (i) Administrasi Publik Tradisional (Traditional Public Administration), berorientasi hirarki, keberlanjutan, ketidakberpihakan, standarisasi, rasional-legal, otoritas, dan profesionalitas (ii) Manajemen Publik (Public Management), terfokus pada efisiensi pemakaian sumberdaya, efektivitas, berorientasi pelanggan dan kekuatan pasar dan lebih peduli kepentingan masyarakat, serta memberi peran swasta. (iii) Manajemen Publik Baru (New Public Management), terfokus pada fleksibilitas, pemberdayaan, inovasi, berorientasi hasil, out-sourcing dan contract out, promosi etika profesi, serta manajemen berbasis kinerja. Menekankan pada peran institusi negara menuju pengelolaan layanan pubik yang lebih pro pasar. Pada paradigma NPM terjadi pergeseran dari kebijakan dan administrasi menuju pengelolaan bergaya swasta. Masyarakat diposisikan sebagai pelanggan dan pemerintah berperan mengarahkan (Mutiarin dan Arif (2014) dalam Jahro (2019)). (iv) Tata Kelola (Governance), suatu sistem nilai, kebijakan, dan kelembagaan dengan pengelolaan urusan ekonomi, sosial dan politik melalui kerjasama masyarakat, pemerintah dan swasta. Paradigma ini memromosikan people center development (pembangunan berbasis masyarakat), yang mengutamakan proses masyarakat dapat mengungkapkan kepentingannya, mempertemukan perbedaan, dan menjalankan hak serta kewajibannya. Pemerintah memainkan peran penciptaan kondisi politik dan hukum yang mendukung, swasta menyediakan lapangan kerja, serta masyarakat madani menyelenggarakan hubungan sosial dan politik secara sehat (Harmawan, 2016). II. Tata Kelola (Governance) Jika dilihat awal kemunculannya, istilah governance pertama kali dihadirkan pada tahun 1980 oleh World Bank untuk menganalisis reformasi kelembagaan dan pentingnya keberadaan pemerintah yang lebih baik dan efesien di negara-negara Afrika (Maldonado, 2010). Sejak kemunculan pertama, diskusi mengenai governance terus berkembang dengan pesat (Febrian, 2018). Sedarmayanti (2009) menjelaskan bahwa istilah governance mengandung makna tindakan, fakta, pola, dan kegiatan atau penyelenggaraan pemerintahan, yang berarti bahwa governance adalah suatu kegiatan (proses). Istilah governance tidak hanya bermakna sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan penyelenggaraan dan bisa juga diartikan pemerintahan (Jahro, 2019). Dwipayana dkk. (2003) menjelaskan bahwa governance tidak sama dengan goverment (pemerintah) dalam arti sebagai lembaga, tetapi governance adalah proses kepemerintahan dalam arti yang luas. Kalau goverment dilihat sebagai “mereka” maka governance adalah “kita”. Goverment mengandung pengertian seolah hanya politisi dan pemerintahlah yang mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan, sementara sisa dari “kita: adalah penerima yang pasif”. Sementara governance meleburkan perbedaan antara “pemerintah” dan yang “diperintah” karena kita semua adalah bagian dari proses governance (Dewi, 2012) Lebih lanjut Sedarmayati (2009) mengartikan governance sebagai kualitas hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang dilayani dan dilindunginya, yang mencakup 3 (tiga) ranah yaitu state (negara atau pemerintahan), private sectors (swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat). Selanjutnya, Rochman dalam Sedarmayanti (2009) menyatakan governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh pemerintah dan non-
  • 3. 3 pemerintah dalam satu usaha bersama (Jahro, 2019). Dengan demikian, Kooiman, 1993 dalam Sedarmayanti (2009), mengartikan governance sebagai serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai bidang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan tersebut (Jahro, 2019). Sedarmayanti (2003) lebih lanjut menjelaskan bahwa berdasar definisi United Nation Development Program (UNDP) dijelaskan Governance sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah bangsa. Oleh karena itu, institusi dari governance meliputi tiga pihak yaitu negara atau pemerintah (state), swasta atau dunia usaha (private sector) dan masyarakat (society) yang saling berhubungan dan menjalankan fungsinya masing-masing (Dewi, 2012). Sementara Sumarto (2004) menegaskan bahwa dalam konsep governance, pemerintah hanya menjadi salah satu pelaku dan tidak selalu menjadi yang paling menentukan. Implikasinya, peran pemerintah sebagai pembangun maupun penyedia jasa pelayanan dan infrastruktur akan bergeser menjadi pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memasilitasi pelaku lain dari komunitas dan swasta untuk ikut aktif melakukan upaya tersebut (Dewi, 2012). Sehingga menurut Dwiyanto (2005), governance menunjuk pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance menekankan pada pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah dan institusi lain yakni Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perusahaan swasta maupun warga negara. Meskipun perspektif governance mengimplikasikan terjadinya pengurangan peran pemerintah, pemerintah sebagai institusi tidak bisa ditinggalkan begitu saja (Dewi, 2012). Secara khusus Kooiman dkk (2005) menambahkan 3 (tiga) pilar tata kelola yakni koordinasi, kolaborasi dan konsultasi (Bowo, 2009). Dengan demikian, menurut Bevir (2006) pada dasarnya governance merupakan transformasi sistem tata kelola yang mencakup (i) Perubahan dari sistem hirarki dan pasar menjadi sistem jaringan dan kemitraan (ii) Menjalin keterhubungan administrasi negara dengan masyarakat sipil (iii) Perubahan sistem administrasi yang mengandalkan campur tangan dan pengendalian menjadi pengarahan dan koordinasi (iv) Perubahan kegiatan pemerintahan dari pengaturan dan perintah ke negosiasi dan diplomasi. (v) Pelibatan pemangku kepentingan non-pemerintah dalam proses penyusunan kebijakan dan pelayanan publik. Lebih lanjut Chotary dan Stoker (2009) mendefinisikan governance adalah tentang aturan main penyusunan keputusan bersama diantara keberagaman pelaku dan organsiasi, dan tidak terdapat sistem kendali formal yang mampu mendikte pola hubungan antara pelaku dan organisasi. Berdasarkan pada definisi Chotary dan Stoker, dapat disimpulkan bahwa governance memiliki 4 (empat) elemen utama. Pertama, elemen aturan (rule). Kedua, elemen kebersamaan. Ketiga, elemen pembuat keputusan. Keempat, tidak terdapat sistem kendali formal yang bisa mendikte pola kerjasama dan dampak yang diperoleh (Febrian, 2018). Secara umum, definisi tata kelola kemudian dijabarkan dalam setidaknya 6 (enam) prinsip dasar, yaitu (i) Negara (baca: pemerintah) tetap bermain sebagai figur kunci namun tidak mendominasi, yang
  • 4. 4 memiliki kapasitas untuk mengoordinasi (bukan mobilisasi) pelaku pada institusi semi non- pemerintah untuk mencapai tujuan publik 
 (ii) Kekuasaan yang dimiliki negara harus ditransformasikan dari yang semula dipahami sebagai “kekuasaan atas” menjadi “kekuasaan untuk” menyelenggarakan kepentingan, serta memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan masalah publik. 
 (iii) Negara, LSM, swasta dan masyarakat lokal merupakan pelaku yang memiliki posisi dan peran yang saling menyeimbangkan – untuk tidak menyebut setara. 
 (iv) Negara harus mampu mendesain ulang struktur dan kultur organisasinya agar siap dan mampu menjadi katalisator bagi institusi lainnya untuk menjalin sebuah kemitraan yang kokoh, otonom, dan dinamis (v) Negara harus melibatkan semua pilar masyarakat dalam proses kebijakan mulai dari formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan, serta pemberian layanan publik 
 (vi) Negara harus mampu meningkatkan kualitas tanggapan, adaptasi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan kepentingan, pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian masalah publik (Dewi, 2012). Pemaknaan senada tentang tata kelola disampaikan oleh Nurhaeni (2010), yang dirangkum dalam 3 (tiga) dimensi yaitu: (i) kelembagaan, yang menjelaskan bahwa tata kelola merupakan sebuah sistem yang melibatkan banyak pemangku kepentingan (multistakeholders), baik dari pemerintah maupun non- pemerintah dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan untuk menanggapi masalah dan kebutuhan publik. (ii) nilai yang menjadi dasar dalam penggunaan kekuasaan. Nilai administrasi publik yang tradisional seperti efisiensi dan efektifitas telah bergeser menjadi nilai keadilan sosial, kebebasan dan kemanusiaan. (iii) proses yang mencoba menjelaskan berbagai unsur dan lembaga pemerintah menaggapi berbagai masalah publik yang muncul di lingkungannya (Dewi, 2012). Ditambahkan oleh Peters dan Pierre (1998), tata kelola setidaknya memiliki 4 (empat) elemen dasar, yaitu: (i) Dominasi jaringan (the domination of network). Didalam kebijakan formal, pemerintahan didominasi oleh pelaku yang memiliki pengaruh, terkait proses produksi barang dan jasa publik. (ii) Kapasitas negara yang semakin menurun untuk melakukan kendali langsung (the state’s declining capaciy for direct control). Meskipun pemerintah tidak lagi melakukan kendali terpusat atas kebijakan publik tetapi tetap memiliki kekuatan untuk memengaruhi. Kekuatan negara kini dikaitkan dengan kemampuan berunding dengan para pelaku dalam jejaring kebijakan. Para anggota jejaring semakin diterima sebagai mitra setara dalam proses penyusunan kebijakan. (iii) Memadukan sumberdaya publik dan swasta (the blending of public and private resources). Pemangku kepentingan publik dan swasta bekerjasama untuk memperoleh sumberdaya. Sebagai contoh, menggunakan perusahaan swasta untuk implementasi kebijakan memungkinkan pemerintah untuk menghindari beberapa masalah prosedural dan akuntabilitas
  • 5. 5 yang mahal serta memakan waktu. Perusahaan swasta dapat bernegosiasi dengan pemerintah untuk membiayai kegiatan yang menguntungkan kepentingan publik tapi tidak mungkin untuk dibiayai oleh swasta sendiri. (iv) Penggunaan beberapa instrumen (use of multiple instrument). Ini berarti peningkatan keinginan untuk mengembangkan dan menggunakan metode non-tradisional untuk menyusun dan melaksanakan kebijakan publik. Hal ini juga diterapkan melalui perangkat tidak langsung, seperti insentif pajak untuk memengaruhi perilaku (Febrian, 2018). Rangkuman mengenai definisi tata kelola juga disebutkan oleh Bovaird dan Loffler (2003) sebagai berikut: (i) Mengasumsikan bahwa masalah bersama tidak lagi dapat diselesaikan hanya oleh pemilik kewenangan publik tetapi memerlukan kerja sama dengan pihak lain. (ii) Berkaitan dengan aturan formal (konstitusi, undang-undang, peraturan) dan aturan informal (kode etik, adat istiadat, tradisi), tetapi mengasumsikan bahwa negosiasi antara para pemangku kepentingan, yang ingin menggunakan kekuasaannya, dapat mengubah pentingnya aturan tersebut. (iii) Tidak lagi hanya berfokus pada struktur pasar sebagai upaya kendali, seperti dalam pendekatan new public management konvensional. Hirarki (seperti birokrasi) dan jaringan kerja sama juga dipertimbangkan dalam situasi yang tepat. (iv) Mengakui bahwa ciri dalam interaksi sosial (misalnya transparansi, integritas, kejujuran) cenderung berasal dalam diri mereka, bukan sekedar sebuah logika input dan output semata. (v) Secara inheren bersifat politis, berkaitan dengan hubungan para pemangku kepentingan yang berusaha untuk menjalankan kekuasaan atas satu sama lain sehingga tidak dapat diserahkan begitu saja kepada para pembuat keputusan (Hadi, 2018). Adapun tata kelola (governance) yang baik menurut UNDP (United Nations Development Programme) mempunyai karakteristik sebagai berikut (Rondinelli, 2007): a. Keterlibatan (participation), semua orang memiliki suara dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui institusi perantara yang mewakili kepentingannya. b. Aturan Hukum (rule of law), harus ditegakkan secara adil dan tanpa pandang bulu, terutama menyangkut hukum hak asasi manusia. c. Keterbukaan (transparency) didasarkan pada informasi yang terbuka. Proses, institusi, dan informasi harus dapat diakses secara langsung bagi mereka yang berkepentingan. d. Tanggapan (responsiveness). Institusi dan proses yang ada harus diarahkan untuk melayani kepentingan pemangku kepentingan. e. Orientasi Konsensus (consensus orientation). Perlu adanya proses mediasi untuk mencapai kesepakatan luas yang dianggap terbaik menurut kelompok, dan sedapat mungkin sesuai kebijakan dan prosedur. f. Kesetaraan (equity). Semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau mempertahankan kesejahteraannya. g. Keberhasilgunaan dan Keberdayagunaan (effectiveness and efficiency). Proses dan institusi yang ada perlu memenuhi kebutuhan yang sedapat mungkin sesuai dengan kebutuhan serta berusaha memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki.
  • 6. 6 h. Pertanggungjawaban (accountability). Para pengambil keputusan di institusi pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil harus mampu mempertanggungjawabkan keputusan termasuk kepada para pemangku kepentingan. i. Visi Strategis (strategic vision). Para pemimpin dan masyarakat memiliki pandangan yang luas dan berjangka panjang menyangkut tata kelola yang baik (good governance) dan pembangunan manusia (human development), dengan memerhatikan sejarah, budaya, dan kerumitan sosial budaya yang melatarbelakanginya (Sari, 2014). Melengkapi karakteristik tata kelola yang baik dari UNDP, Suwandi (2006) menampilkan dari sudut pandang yang sedikit berbeda,, yaitu: i) Interaksi, mencakup tiga mitra yaitu; pemerintah, swasta dan masyarakat dengan model pemerintahan (governing models); co-managing, costeering, dan co-guiding of actors dalam pengaturan kehidupan sosial politik dan sosial-ekonomi. ii) Komunikasi, menyangkut jaringan multi-sistem (pemerintah, swasta, dan masyarakat) yang melakukan sinerji untuk menghasilkan keluaran yang berkualitas. iii) Proses Pemaksaaan Sendiri (self enforcing processes), yang menjelaskan bahwa sistem pemerintahan mandiri (self governing) adalah kunci untuk mengatasi kerumitan dalam keadaan perubahan lingkungan dan dinamika masyarakat yang tinggi. iv) Keseimbangan Kekuatan (balance of forces), menyangkut konsep tata kelola yang menciptakan dinamika, kesatuan dalam kerumitan, keseimbangan dan kerjasama untuk menciptakan pertumbuhan berkelanjutan, perdamaian dan keadilan. v) Kebergantungan (interdependence), ketika tata kelola menciptakan saling ketergantungan yang dinamis antara pemerintah, swasta dan masyarakat melalui koordinasi, fasilitasi dan peningkatan proses tata kelola (Sari, 2014). III. Kolaborasi Secara epistemologi, sebagaimana dikutip dari Wanna (2008), kata kolaborasi berasal dari bahasa Inggris yaitu ‘co-labour’ yang artinya bekerja bersama. Pada abad ke-19 kata kolaborasi mulai digunakan ketika industrialisasi mulai berkembang. Organisasi pada masa itu menjadi semakin kompleks. Divisi sebagai bagian struktur organisasi mulai dibentuk untuk memudahkan pembagian tugas bagi tenaga kerja. Kerumitan organisasi menjadi titik awal sering digunakannya kolaborasi dalam berbagai organisasi (Arrozaaq, 2017). Tentunya menjadi penting mengetahui manfaat sekaligus alasan dari upaya kolaborasi sebagaimana dijelaskan oleh Fendt (2010) bahwa terdapat 3 (tiga) alasan mengapa organisasi melakukan kolaborasi, yaitu: (i) Sebuah organisasi tidak dapat menyelesaikan tugas tertentu tanpa bantuan pihak lain (ii) Manfaat bagi organisasi dapat lebih besar jika dibandingkan dengan bekerja sendiri (iii) biaya produksi dapat menjadi lebih rendah sehingga produk menjadi lebih murah dan memiliki daya saing pasar (Arrozaaq, 2017). Keban (2007) dalam Mutiarin dan Arif (2014) menyebutkan bahwa manajemen kolaboratif mampu menjadikan birokrasi berkinerja lebih baik dan institusi yang menjalankannya mendapat manfaat antara lain. (a) Terbentuk kekuatan yang lebih besar, sehingga memiliki kemampuan yang lebih besar pula
  • 7. 7 dalam mengatasi permasalahan yang rumit. 
 (b) Tercapai kemajuan yang lebih tinggi karena adanya pertukaran informasi, pengetahuan dan technical know-how. (c) Menjadi lebih berdaya. (d) Mengurangi dan mencegah konflik. 
 (e) Menumbuhkan rasa keadilan dan saling percaya. 
 (f) Mendorong upaya keberlanjutan pemecahan masalah secara bersama. (g) Mengikis ego daerah dan sektoral (Jahro, 2019). Secara umum kolaborasi adalah hubungan antarorganisasi yang saling berpartisipasi dan saling menyetujui untuk bersama mencapai tujuan, berbagi informasi, berbagi sumberdaya, berbagi manfaat, dan bertanggungjawab dalam pengambilan keputusan bersama untuk menyelesaikan berbagai masalah (Lai, 2011). Morse dan Stephens (2012) menekankan bahwa kolaborasi merupakan pendukung pelaksanaan tata kelola yang menekankan kealamian proses kesepakatan dari berbagai pemangku kepentingan yang tidak hanya dari pemerintah tetapi juga melibatkan masyarakat maupun lembaga non-pemerintah dalam tindakan bersama dan kerjasama (Jahro, 2019). Sementara O’Flynn dan Wanna (2008) menekankan sisi deskriptif/pragmatis yang berfokus pada realitas praktis untuk bekerja dengan atau melalui orang lain, atau sisi normatif/intrinsik yang menekankan usaha partisipatif dan pengembangan hubungan kepercayaan. Ditambahkan juga bahwa kolaborasi biasanya dipandang sebagai sesuatu yang positif karena bersifat kreatif, transformasional, dan melibatkan hasil yang bermanfaat (Hadi, 2018). Ditambahkan pula oleh Barbara Gray (Emerson dan Nabatchi, 2015) bahwa upaya berkolaborasi berfokus menyelesaikan serangkaian masalah yang tidak dapat diselesaikan secara individual. Selain itu, Richard Margerum (Emerson dan Nabatchi 2015) menyatakan melalui kolaborasi para pemangku kepentingan berupaya untuk membangun konsensus dan mengembangkan jejaring sehingga tujuan bersama dapat terwujud (Hadi, 2018) Dwiyanto (2010) menjelaskan konsep kolaborasi sebagai kerjasama yang bersifat kolaboratif melibatkan kerjasama yang intensif, termasuk adanya upaya secara sadar untuk melakukan penyesuaian dalam tujuan, strategi, agenda, sumberdaya dan aktivitas. Kedua institusi yang pada dasarnya memiliki tujuan yang berbeda membangun visi bersama (shared vision) dan berusaha mewujudkan secara bersama-sama. Untuk itu, dilakukan penyatuan atau setidaknya aliansi secara vertikal mulai dari sasaran, strategi sampai dengan aktivitas dalam rangka mencapai tujuan bersama yang diyakini lebih bernilai dari tujuan yang dimiliki oleh masing-masing (Dewi, 2012). Secara lebih rinci, CIFOR/PILI (2005) menegaskan kolaborasi dimaknai sebagai kebersamaan, kerjasama, berbagi tugas, kesetaraan, tanggungjawab diantara pemangku kepentingan yang memiliki kesamaan tujuan, dan persepsi, kemauan berproses, saling memberi manfaat, kejujuran, kasih sayang serta berbasis masyarakat (Bowo, 2009) Menariknya bahwa kolaborasi tidak mengenal batas waktu atau periode tertentu, selama masih ada urusan yang memiliki singgungan atau irisan dengan pihak lain maka kolaborasi masih tetap diperlukan. Kolaborasi melibatkan beberapa pihak mulai dari tingkat individu, kelompok kerja, dan organisasi (Whitford, 2010).
  • 8. 8 Dwiyanto (2011) menambahkan bahwa ketika berkolaborasi para pemangku kepentingan tetap memiliki kewenangan mengambil keputusan dan mengelola organisasinya secara independen walau tetap mematuhi kesepakatan bersama (Febrian, 2016). Walaupun demikian, Agranoff dan McGuire (2003:182-184) mengungkapkan bahwa sangatlah dipahami apabila para pihak yang bekerja bersama dalam kolaborasi karena adanya elemen kohesifitas sebagai berikut: i) Saling Percaya (trust), tujuan bersama dan saling ketergantungan. ii) Tujuan yang sama (shared belief and common purpose), berarti adanya saling percaya pada tujuan yang sama. iii) Perubahan Cara Pandang (shifting mindset) dan komitmen, menunjukkan adanya kerangka berpikir, persepsi, dan cara bekerja yang serupa. iv) Kepemimpinan dan kemampuan memandu, yang bermakna mampu menerapkan prinsip arahan minimal sebagai pengganti perintah dan kendali (Febrian, 2018). Ansell and Gash (2008) menjelaskan bahwa kolaborasi secara umum bisa dibedakan ke dalam 2 (dua) pengertian, yaitu : kolaborasi dalam arti proses, dan kolaborasi dalam arti normatif. Pengertian kolaborasi dalam arti sebuah proses merupakan serangkaian proses atau cara mengatur/mengelola atau memerintah secara institusional. Dalam pengertian ini, sejumlah institusi, pemerintah maupun non pemerintah ikut dilibatkan sesuai dengan porsi kepentingan dan tujuannya. Sedangkan dalam pengertian normatif, merupakan aspirasi atau tujuan filosofi bagi pemerintah untuk mencapai interaksinya dengan para mitranya. Lebih lanjut, Wildavsky (O’Flynn dan Wanna, 2008) menyebutkan bahwa pemahaman mengenai konsep kolaborasi terdiri dari 5 (lima) aspek yang saling melengkapi satu sama lain, yaitu (i) melibatkan kerja sama untuk membangun kesamaan, meningkatkan konsistensi dan menyelaraskan kegiatan antarpelaku. (ii) menjadi proses negosiasi, melibatkan kesiapan untuk berkompromi, dan melakukan pertukaran. (iii) melibatkan peran pengawasan, pengecekan, koordinasi bersama dan koordinasi terpusat. (iv) melibatkan kekuatan dan paksaan, serta memiliki kemampuan untuk memaksakan hasil atau memaksakan preferensi seseorang pada orang lain hingga batas tertentu. (v) melibatkan komitmen dan niat di masa depan, perilaku, perencanaan, atau persiapan yang prospektif untuk menyelaraskan kegiatan. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa kolaborasi mencakup keterlibatan, pengembangan motivasi internal dan komitmen pribadi, keputusan, tujuan organisasi atau tujuan strategis (Hadi, 2018). Ditambahkan oleh Carpenter (2009) yang menyebutkan terdapat 8 (delapan) karakteristik kolaborasi, yaitu: a. Partisipasi tidak dibatasi dan tidak hirarkis. b. Pemangku kepentingan bertanggungjawab dalam memastikan pencapaian kesuksesan. c. Mempunyai tujuan yang masuk akal. d. Mempunyai pendefinisian masalah. e. Pemangku kepentingan saling mendidik atau mengajar satu sama lain. f. Mempunyai identifikasi dan pengujian terhadap berbagai pilihan. g. Pelaksanaan solusi didistribusikan kepada beberapa pemangku kepentingan
  • 9. 9 h. Pemangku kepentingan selalu mengetahui perkembangan situasi Melengkapi karakteristik Carpenter, dinyatakan oleh Yaffee dan Wondolleck (2003) bahwa prinsip kolaborasi mencakup setidaknya 7 (tujuh) prinsip, yaitu: a. Terbuka dan saling menghormati b. Pembagian peran jelas dan bertanggungjawab c. Hubungan kerja efektif d. Membangun kearifan lokal e. Menghormati perbedaan dan keragaman f. Berkelanjutan dan adaptif g. Memperhatikan kepentingan yang lebih luas Melengkapi beragam definisi di atas, John Donahue (2004) menyampaikan bahwa kolaborasi dapat dikenali berdasar aspek atau dimensi, yaitu: a. Formalitas. Hubungan kolaborasi dapat dilembagakan secara formal atau informal, namun bentuk kelembagaan formal dibutuhkan untuk memudahkan jika diperlukan pengakuan. Ketersediaan informasi tentang peserta atau anggota kelompok kerja, prosedur, dan tujuan, cukup untuk menunjukkan kadar formalitas jejaring kolaborasi ini. b. Durasi. Sebagian kolaborasi besifat permanen, tetapi juga ada yang bersifat sementara hanya sampai tujuan kolaborasi tercapai. c. Fokus. Kolaborasi bisa dibuat untuk satu tujuan yang tidak rumit, tetapi bisa juga dibuat untuk suatu tujuan yang luas dan rumit. d. Keberagaman pemangku kepentingan. Dibutuhkan setidaknya satu anggota dari instansi pemerintah dan satu instansi non-pemerintah. Semakin beragam pemangku kepentingan, baik insitusi pemerintah, swasta dan lembaga masyarakat, kolaborasi menjadi lebih rumit. e. Valensi. Valensi adalah istilah kimia untuk menunjukkan banyaknya kemungkinan jumlah hubungan yang terjadi bila anggota kolaborasi semakin banyak. Oleh karena itu, dibutuhkan pemetaan pemangku kepentingan berdasarkan keterkaitan dengan isu. f. Stabilitas vs Volatilitas. Kolaborasi dapat dikatakan stabil apabila anggotanya memiliki nilai serta pandangan yang sama akan tujuan yang ingin dicapai. Kolaborasi akan menjadi bergejolak dan tidak nyaman apabila anggotanya memiliki norma dan tujuan yang berbeda satu dengan yang lain. Kolaborasi yang tidak stabil akan menghabiskan banyak waktu dan energi hanya untuk menjaga hubungan sesama. g. Inisiatif. Insiatif hendaknya berada pada pihak yang mewakili suara rakyat. Bila demokrasi berfungsi dengan baik, maka instansi pemerintah yang mendapatkan otorisasi untuk menangani masalah ini berhak untuk menentukan obyektif yang akan dicapai, tentunya didukung oleh pemangku kepentingan lainnya. h. Problem driven vs Opportunity driven. Kolaborasi dapat bersifat defensif, bertujuan untuk menyelesaikan masalah bersama, atau bisa juga bersifat ofensif, bersama-sama mencari peluang. Menurut Djumara (2008), berdasar pada pembelajaran penerapan kolaborasi, disepakati bahwa setidaknya kolaborasi terbentuk oleh 5 (lima) komponen utama, yaitu (i) Budaya kolaboratif (collaborative culture). Seperangkat nilai dasar yang membentuk tingkah laku dan sikap dari para pelaku kolaborasi.
  • 10. 10 (ii) Kepemimpinan Kolaboratif (collaborative leadership). Suatu kebersamaan yang merupakan fungsi situasi dan bukan sekedar hirarki dari setiap posisi yang melibatkan setiap orang dalam organisasi. (iii) Visi Strategis (strategic vision). Prinsip yang menjadi panduan dan tujuan organisasi (iv) Collaborative Team Process. Sekumpulan proses kerja non birokrasi yang dikelola oleh tim kolaborasi (v) Struktur Kolaboratif (collaborative structure). Proses kolaborasi yang didukung oleh perangkat yang memadai (terutama sistem informasi dan sumberdaya manusia) guna memastikan keberhasilan tempat kerja yang kolaboratif. Merujuk pada definisi yang banyak ragamnya, Thomson dan Perry (2007) merangkumnya dalam bentuk 5 (lima) dimensi kunci kolaborasi yaitu: (i) Tata Kelola (governance): Para pihak yang berkolaborasi harus memahami cara membuat keputusan bersama tentang aturan perilaku dan hubungan bersama. (ii) Administrasi (administration): Kolaborasi bukanlah usaha ‘self administering’. Organisasi berkolaborasi untuk mencapai tujuan tertentu. Struktur administratif tersebut berbeda secara konseptual dari pemerintahan. (iii) Otonomi Organisasi (organizational autonomy). Dimensi kolaborasi ini menjelaskan dua dinamika dalam upaya kolaboratif yakni mempertahankan identitas yang berbeda dan wewenang organisasi yang dipisahkan dari identitas kolaboratif. (iv) Kebersamaan (mutualisme) : Kebersamaan berakar pada saling ketergantungan. Organisasi yang berkolaborasi berhubungan yang saling menguntungkan didasarkan atas perbedaan kepentingan atau kepentingan bersama. (v) Norma (norms) : Timbal balik dan kepercayaan, terkait erat secara konseptual (Junaidi, 2018). Selanjutnya, Wanna (O’Flynn dan Wanna, 2008) juga menyebutkan bahwa secara konseptual terdapat 2 (dua) dimensi dari kolaborasi. Pertama, skala atau tingkat kolaborasi yang mengategorikan pola aktivitas berdasar tingkat komitmen, mulai dari tertinggi sampai terendah. Kedua, konteks, tujuan, pilihan dan motivasi para pemangku kepentingan yang ingin berkolaborasi. Uraian selengkapnya pada Tabel berikut. Tabel 2 Konteks, Tujuan, Pilihan dan Motivasi Kolaborasi Konteks dan Tujuan Pilihan/Kemungkinan Motivasi Dimensi kekuatan Kolaborasi bersifat paksaan Keterlibatan persuasif dan sukarela dalam berkolaborasi Tingkat komitmen Kolaborasi yang memiliki arti dan bersifat substantif Kolaborasi tanpa makna Internalisasi budaya Komitmen filosofis terhadap kolaborasi dengan mengembangan budaya kolaboratif Tidak ada komitmen nyata untuk berkolaborasi karena kolaborasi dilihat hanya sebagai alat atau instrumen yang tersedia Dimensi strategis Kolaborasi untuk alasan positif dan menguntungkan Kolaborasi untuk strategi preventif atau negatif Dimensi means-ends Kolaborasi sebagai tahapan, sarana, dan proses yang wajar Kolaborasi yang berorientasi hasil akhir
  • 11. 11 Konteks dan Tujuan Pilihan/Kemungkinan Motivasi Dimensi tujuan Tujuan bersama; niat bersama, strategi dan hasil konsensual Tujuan bersaing; berbagai alasan untuk berpartisipasi dalam kolaborasi Visibilitas dan dimensi kesadaran Bentuk kerjasama yang terbuka pada publik; kesadaran kolaborasi tinggi Kolaborasi tersembunyi; ketidaksadaran kolaborasi Penerapan masalah Kolaborasi untuk masalah sederhana; tujuan dan tanggung jawab sederhana Kolaborasi yang tidak menghasilkan solusi Sumber: O’Flynn dan Wanna, 2008 Dipahami bersama bahwa upaya berkolaborasi tidak mudah untuk dijalankan sehingga dibutuhkan katalis yang berfungsi memudahkan terwujudnya kolaborasi dari beragam pemangku kepentingan tersebut. Setidaknya dikenali terdapat 6 (enam) katalis kolaborasi sebagai berikut (Mungkasa, 2020)3 . i) Katalis Pertama. Strategi Bersama (co-designed strategy) Pemangku kepentingan berkeinginan terlibat ketika melihat gambaran besar, situasi menguntungkan semua pihak, berbagi nilai, mempunyai alasan penting untuk bertindak, dan ketika memahami kontribusinya terhadap perubahan. Hal ini semua terangkum dalam Strategi Bersama (co-design strategy) yang dikembangkan bersama oleh seluruh pemangku kepentingan yang terlibat. Strategi bersama (co-design strategy) memastikan bahwa dalam perjalanan waktu, seluruh pemangku kepentingan mematuhi strategi dan melaksanakannya. Setidaknya dipahami terdapat 3 (tiga) hal yang menyumbang terhadap keberhasilan Strategi Bersama, yaitu (i) Kejelasan tujuan, (ii) keterlibatan pemangku kepentingan, dan (iii) bertanggungjawab terhadap hasil.  Kejelasan Tujuan (goal clarity) Kejelasan tujuan dihasilkan dari serangkaian tahapan, yang dimulai dari penelitian bersama terkait kondisi terkini oleh seluruh pemangku kepentingan, kemudian berkembang menjadi visi bersama, dan selanjutnya visi diterjemahkan menjadi tujuan. Tujuan awal mungkin disesuaikan berdasar pengalaman dan keahlian pemangku kepentingan lain. Ketika tujuan sudah jelas, pemangku kepentingan membutuhkan kesepakatan bersama terhadap dampak dan tonggak keberhasilan (milestones). Dukungan dari petinggi organisasi, pimpinan lembaga kolaborasi atau politisi, dapat memperkuat penetapan tujuan dan pelaksanaannya.  Inklusifitas Skala Besar (broad inclusivity) Kolaborasi sewajarnya dibangun perlahan, dimulai dari kelompok inti dan kemudian perlahan melibatkan lebih banyak pelaku, baik pemangku kepentingan yang lemah maupun kuat sejak awal. Khususnya pihak yang kuat perlu dibuat tertarik, sementara yang lemah diperkuat agar suaranya dapat terdengar. Menjadi penting menetapkan proses pembuatan keputusan termasuk juga organisasi tata kelola yang inklusif dan mewakili beragam pemangku kepentingan. 3 Disarikan dari Bab 6 Stewarding Sustainability Transformations dalam Petra Kuenkel. Multi-stakeholder Collaboration. Stewarding Sustainability Transformations. An Emerging Theori and Practice of SDG Implementation. Springer, Scham, Swiss, 2019.
  • 12. 12  Kesepakatan Pertanggungjawaban (agreed accountability) Ketika kolaborasi telah terbangun kemudian bergerak menuju pelaksanaan, kesepakatan tentang kejelasan peran dan tanggungjawab menjadi penting sekali. Bergerak dari visi kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaannya yang membuahkan hasil, membutuhkan kesepakatan terhadap tonggak keberhasilan dan hasil pemantauan. Hal ini mencakup kesepakatan terhadap alokasi sumberdaya dan keterbukaan aliran dana. Pada keadaan tertentu, inisiatif beragam pemangku kepentingan membutuhkan pembentukan organisasi legal dalam upaya pelaksanaannya ii) Katalis Kedua. Penyelenggaraan Bersama (cooperative delivery) Inisiatif beragam pemangku kepentingan memerlukan sistem kolaborasi kohesif di seputar isu bersama, disertai tujuan dan batasan kolaborasi yang jelas. Hal ini mendorong pemangku kepentingan merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar. Kemitraan membutuhkan pendampingan, khususnya jika kreatifitas tingkat tinggi perlu dipertahankan. Protokol, batasan, dan wilayah perlu diperhatikan, dan pendekatan terkait konflik perlu disepakati. Para pelaku, khususnya dalam kelompok inti pemangku kepentingan, yang menjalankan proses perubahan, membutuhkan keahlian dalam mendesain dan mengelola proses. Kejelasan terhadap proses perencanaan, penyamaan strategi semua mitra, menjaga tujuan tetap terjaga agar pemangku kepentingan tetap terhubung dengan aspirasi mereka dan pengelolaan proses secara profesional, berujung pada terbangunnya kepercayaan, memunculkan tekad, komitmen dan ketekunan sehingga menjadikan mitra tetap terlibat. Kolaborasi memungkinkan penyelenggaraan bersama yang mengarahkan timbulnya tanggungjawab bersama terhadap hasil dan kerja keras. Pengelolaan kualitas keterlibatan pemangku kepentingan, pengembangan jejaring, dan memastikan proses berorientasi hasil berkontribusi terhadap keberhasilan penyelenggaraan bersama.  Keterlibatan berkualitas (quality engagement) Pengelolaan keterlibatan secara bertahap dipandang penting baik bagi mitra utama maupun pemangku kepentingan terkait. Kehandalan perencanaan dan proses pelaksanaan berkontribusi terhadap peningkatan kepercayaan, yang merupakan persyaratan pelaksanaan efektif. Pada inisiatif yang lebih rumit, proses ini perlu didukung sekretariat profesional yang membantu mengelola proses dan harapan.  Pengembangan Jejaring (network building) Pengembangan jejaring akan memperkuat kohesi diantara pemangku kepentingan terkait. Selain itu, dukungan lembaga dan politik tingkat tinggi memudahkan terwujudnya tujuan bersama.  Orientasi Hasil (result orientation) Konsultasi dan dialog menjadi penting bagi kolaborasi beragam pemangku kepentingan, tetapi bukan sekedar “talking circles” (hanya bicara), yang membuat para pelaku kehilangan minat dan daya tahan. Orientasi berkelanjutan menuju hasil nyata dan hasil segera menjaga keterlibatan dan inisiatif. Hal ini membutuhkan alokasi sumberdaya memadai bagi pemangku kepentingan lintas
  • 13. 13 organisasi yang mendorong inisiatif kolaborasi, termasuk sumberdaya keuangan bagi sekretariat. iii) Katalis Ketiga. Penemuan yang Mudah Diadaptasi (adaptive innovation) Pada awalnya, sebagian besar upaya pemangku kepentingan terfokus pada penyelesaian masalah daripada penemuan. Tetapi desain proses yang baik dan keterpaduan beragam keahlian, akhirnya kadang mendorong peralihan ke pendekatan berfokus penemuan. Pendekatan berfokus penemuan berikut insentifnya, keberagaman sumber dana, pendanaan berbasis hasil dapat mendukung penemuan baru. Peningkatan kapasitas baik pengetahuan, maupun keahlian, membantu memperkuat suara kelompok pemangku kepentingan yang lemah dan memperbaiki kualitas kontribusinya. Mekanisme belajar bersama menjamin akuntabilitas mitra dan memungkinkan hasilnya menjadi bagian dari temuan yang berkualitas dan dimanfaatkan dalam proses kolaborasi. Seringkali inisiatif kolaborasi menghasilkan prototipe temuan yang mudah diadaptasi yang menjamin pendekatan baru sebagai bagian dari upaya bersama. Mendorong desain kreatif sebagaimana juga pengelolaan pengetahuan yang memadai dan perencanaan yang mumpuni berkontribusi terhadap cara baru yang dihasilkan secara bersama.  Prototipe kreatif (creative prototyping) Inisiatif beragam pemangku kepentingan perlu membuka kesempatan bagi penemuan solusi kreatif bersama, berikut cara, metodologi, atau pendekatan baru lainnya. Ketika sistem kolaborasi telah tercipta, dimungkinkan untuk menjelajah keluar dari zona nyaman. Konflik, sebagian besar dipicu oleh pemangku kepentingan kritis, sebaiknya diperbolehkan sebab mendorong penyelesaian di luar kebiasaan.  Pengelolaan Pengetahuan (knowledge management) Inisiatif kolaborasi membutuhkan pengetahuan pemangku kepentingan bahkan pengetahuan baru mendorong timbulnya ide baru. Pengalaman dan keahlian dari berbagai pihak, wilayah, atau isu seringkali memberi pandangan baru bagi penyelesaian masalah  Kelenturan Perencanaan (planning flexibility) Inisiatif kolaborasi sebaiknya menghasilkan rencana yang fleksibel untuk menangkap perubahan dan pandangan baru. Dibutuhkan mekanisme penggabungan strategi baru dan kesempatan berhadapan dengan krisis. iv) Katalis Keempat. Komunikasi Dialogis (dialogic communication) Inisiatif beragam pemangku kepentingan untuk berkolaborasi, menciptakan hubungan antara masyarakat yang tidak saling kenal dan biasanya tidak bekerjasama, sehingga pengelolaan proses komunikasi adalah kunci. Kemajuan tidak dibangun dari meyakinkan orang lain untuk mengikuti tujuan, strategi, atau rencana aksi yang telah ditetapkan, tetapi lebih pada keinginan merundingkan jalan menuju masa depan. Proses ini membutuhkan tata kelola dan standar minimum bagi keterlibatan mitra dalam proses dan memungkinkan suara berbeda terwakili. Perbedaan kekuatan tak terhindarkan. Namun jika kolaborasi bersifat inklusif, perimbangan kekuatan seringkali bergeser. Komunikasi berkualitas dan dialog terstruktur baik membuat inisiatif beragam pemangku kepentingan lebih dihargai. Hal ini tergantung pada seberapa baik pemangku kepentingan mendengarkan dan keterbukaan komunikasi
  • 14. 14 diantara pemangku kepentingan dan masyarakat luas. Kepercayaan terbangun sejalan dengan diterimanya rekomendasi, input, pembelajaran dari para pemangku kepentingan. Kolaborasi memungkinkan komunikasi dialogis yang memastikan bahwa para pelaku bergerak keluar dari kepentingan masing-masing dan menghasilkan solusi bersama. Mendorong dialog terstruktur, menetapkan mekanisme tata kelola dan memastikan pembelajaran bersama berkontribusi pada keberhasilan transformasi perbedaan menjadi solusi bersama.  Dialog Terstruktur (structured dialogue). Pengelolaan proses penetapan kesepakatan dan tujuan bersama merupakan bagian penting dalam kolaborasi beragam pemangku kepentingan. Biasanya dalam bentuk lokakarya evaluasi dan perencanaan atau pertemuan lebih besar. Fasilitasi profesional dan masukan bagi strategi komunikasi bersama menjadi suatu keniscayaan. Seluruh pendapat perlu didengar, kesepakatan didokumentasikan secara terbuka, dan pemangku kepentingan perlu tetap dijaga keterlibatannya dalam seluruh kegiatan. Selanjutnya, ekosistem kolaborasi memerlukan pengaturan komunikasi terbuka dan disetujui baik diantara pemangku kepentingan maupun dengan pihak luar.  Mekanisme Tata Kelola (governance mechanism). Pengambilan keputusan, evaluasi proses, dan mekanisme penyelesaian konflik membutuhkan semacam pengaturan tata kelola untuk memastikan keseluruhan pengetahuan dan sumberdaya termanfaatkan dengan baik. Pada kolaborasi pemangku kepentingan yang sederhana hanya dibutuhkan kesepakatan pengambilan keputusan. Tetapi pada proses yang lebih rumit, dibutuhkan struktur formal seperti komite pengarah, lembaga penasehat, dan prosedur penyelesaian konflik. Semua harus terwakili.  Pembelajaran Bersama (collective learning) Pentingnya pembelajaran bersama kadang disepelekan dalam kolaborasi, ketika sebagian besar pelaku sedang sibuk dalam pelaksanaan. Bentuknya dapat berupa evaluasi proses dan strategi bersama secara berkala dan dapat menghasilkan kesepakatan bersama terhadap keluaran dan pemantauan dampak. Dibutuhkan upaya menciptakan budaya belajar diantara pemangku kepentingan yang terlibat. v) Katalis Kelima. Dampak Kontekstual (contextual impact) Inisiatif beragam pemangku kepentingan tidak hanya terfokus pada hasil nyata tetapi juga sewajarnya pada keluasan dampak yang menjamin pemangku kepentingan tetap terlibat. Termasuk mempertimbangkan keberadaan inisiatif sejenis lainnya sebagai pelengkap, bahkan dimungkinkan kolaborasi baik yang relatif sama maupun yang saling bergantung satu sama lain.  Pengelolaan Kontekstual (Context Management) Inisiatif kolaborasi, khususnya pada tahap awal, membutuhkan pengetahuan tentang pendekatan pihak lain pada kegiatan yang sama maupun kegiatan pelengkap. Hal ini membutuhkan dukungan riset atau pertukaran informasi. Pada inisiatif yang lebih rumit,
  • 15. 15 pengelolaan kontekstual juga mengacu pada keterpaduan kegiatan lokal dan global.  Peningkatan Kapasitas (capacity development) Peluang keberhasilan inisiatif kolaborasi meningkat ketika seluruh pemangku kepentingan terlibat dalam berbagi pengetahuan dan keahlian terkait. Saling mendukung satu sama lain terkait penguatan pengetahuan, dan peningkatan kapasitas pelaku kolaborasi, seringkali diabaikan sebagai faktor pendukung keberhasilan.  Perhatian pada Dampak (impact focus) Inisiatif kolaborasi beragam pemangku kepentingan dipandang rumit dan seringkali membutuhkan upaya yang sangat keras. Sehingga hasil segera dan nyata menjadi harapan semua pihak, namun dalam kenyataannya pencapaian konsensus membutuhkan waktu lama. Para pemangku kepentingan yang terlibat perlu mengembalikan perhatian terhadap dampak ke dalam agenda secara berkala. Hal ini dilakukan pada saat evaluasi strategi atau kegiatan pembelajaran dan dibutuhkan lebih dari sekedar pengukuran dampak tetapi juga kejelasan kontribusi terhadap sistem yang lebih besar. vi) Katalis Keenam. Nilai Bersama (collective value) Inisiatif kolaborasi beragam pemangku kepentingan dibangun berdasarkan meningkatnya kesadaran akan tanggungjawab masa depan dan nilai bersama. Kesadaran ini berdasar pada pemikiran tentang keseimbangan pemanfaatan alam, kerusakan lingkungan, atau ketimpangan sosial. Inisiatifinitidak akanberhasiltanpa empatiyang memadaiterhadap pemangku kepentingan lainnya. Pertentangan karena perhatian yang berbeda membayangi kolaborasi beragam pemangku kepetingan. Mempertahankan keterlibatan pelaku dilakukan melalui desain proses yang mengakui perbedaan dan memungkinkan para pelaku mengungkapkan perbedaan keinginan dan kemampuan. Hal ini memudahkan timbulnya saling percaya yang merupakan pendorong keberhasilan kolaborasi. Selain juga berkontribusi terhadap meningkatnya kesadaran adanya saling ketergantungan antara kegiatan. a. Pendekatan Penghargaan (appreciative approach) Perhatian terhadap integritas dan harga diri seluruh mitra merupakan isu penting, sebagai cara baru dalam bekerja bersama. Konflik dengan mudah dapat diselesaikan jika terdapat saling menghargai satu sama lain. Termasuk kepedulian terhadap kendala yang dihadapi oleh lembaga pemangku kepentingan yang terlibat. b. Keseimbangan Kekuatan dan Pengaruh (Balancing Power and Influence) Inisiatif kolaborasi beragam pemangku kepentingan berkaitan dengan perbedaan kekuatan. Mengabaikan atau memandang remeh perbedaan ini merusak hubungan antara para pemangku kepentingan. Penguatan mitra yang lebih lemah, memastikan suaranya dapat terdengar, sehingga dapat terwakili, dan berkontribusi terhadap hasil kolaborasi, merupakan keniscayaan. c. Pemahaman Bersama (Mutual Understanding) Pemangku kepentingan dalam inisiatif kolaborasi memerlukan upaya keras untuk memahami pandangan mitra terhadap isu tertentu. Hal ini tidak mudah, terutama terdapat kemungkinan beberapa mitra terkungkung oleh pandangannya selama ini, bahkan
  • 16. 16 mempunyai pengalaman buruk dengan mitra lainnya, atau dimanfaatkan untuk menyerang pemangku kepentingan lain. Keterbukaan dalam memahami kondisi, dan situasi yang mempengaruhi pandangan, pemangku kepentingan lain menjadi suatu kebutuhan yang dapat membantu mempercepat terwujudnya pemahaman bersama. Tabel 3 Enam Katalis Kolaborasi dan Usulan Langkah Katalis Kolaborasi Usulan Langkah 1. Strategi Bersama (co-designed Strategy) Memastikan dalam perjalanan waktu seluruh pemangku kepentingan menjalankan strategi dan pelaksanaannya. 1.1 Kejelasan Tujuan (goal clarity) - pengelolaan proses kejelasan tujuan yang muncul - pembedahan kondisi saat ini secara bersama - pengembangan visi secara bersama - pengembangan teori perubahan secara bersama - pengembangan kesepakatan terhadap dampak dan tonggak/milestones secara bersama - pengembangan dukungan tingkat tinggi 1.2 Inklusifitas Skala Besar (broad inclusivity) - pengembangan cara memperkuat mitra yang lebih lemah - pengambilan keputusan inklusif - pengembangan organisasi tata kelola dan pengendali yang inklusif dan mewakili semua - pengembangan organisasi pengelola yang sesuai 1.3 Kesepakatan Pertanggungjawaban (agreed accountability) - penetapan tanggungjawab dan peran yang jelas - penetapan prosedur pertanggungjawaban - penyepakatan bersama tentang tonggak keberhasilan - penyepakatan bersama tentang hasil pemantauan dan struktur laporan - pelaksanaan evaluasi bersama - pengembangan keterbukaan keuangan dan aturan memadai - penyiapan aturan hukum memadai 2. Penyelenggaraan Bersama (cooperative delivery) Memastikan kerjasama antara pemangku kepentingan dikelola baik dan saling memperkuat 2.1 Pengelolaan Berkualitas (quality engagement) - pelibatan bertahap dari mitra utama dan pemangku kepentingan terkait - pengambilan keputusan terbuka - proses perencanaan dan pelaksanaan yang handal - pemanfaatan dukungan - pembentukan sekretariat
  • 17. 17 Katalis Kolaborasi Usulan Langkah 2.2 Pengembangan Jejaring (network building) - perhatian terhadap pengembangan keterikatan yang memadai diantara mitra dan pemangku kepentingan yang terlibat - pengembangan dukungan kelembagaan dan politis tingkat tinggi - pengembangan jejaring aksi antara pemangku kepentingan kunci - pembentukan struktur jejaringantara organisasi mitra - pengelolaan hubungan dengan pengelola lembaga kolaborasi 2.3 Orientasi Hasil (result orientation) - pembentukan sekretariat atau kelompok inti antarmitra yang mapan, berfungsi baik dan mempunyai mandat - perhatian pada pelaksanaan bersama - orientasi pada hasil awal dan nyata - penyediaan alokasi sumberdaya memadai 3. Penemuan yang Mudah Diadaptasi (adaptive innovation) Memastikan pengembangan bersama prototipe transformasi dan perhatian pada kesempatan yang timbul 3.1 Prototipe Kreatif (creative prototyping) - pengelolaan proses kreasi bersama - pencarian solusi bersama yang kreatif - pembelajaran pengalaman dan cara pandang dunia yang berbeda - penciptaan mekanisme pembelajaran bersama yang kreatif - perencanaan yang fleksibel dan dapat beradaptasi - penyiapan menantang zona nyaman 3.2 Pengelolaan Pengetahuan (knowledge management) - penetapan keahlian dan pengalaman yang menjadi tolok ukur - pemaduan teknik dan keahlian berkualitas tinggi - pengkinian pengetahuan terus menerus - pengembangan dan perluasan kapasitas kolaborasi - pemaparan terhadap solusi dan kecenderungan terkini - pembangunan laboratorium inovasi
  • 18. 18 Katalis Kolaborasi Usulan Langkah 3.3 Kelenturan Perencanaan (planning flexibility) - pengembangan mekanisme adaptasi strategi kegiatan secara bersama - pengembangan mekanisme pengaduan - pengelolaan ketidaksepakatan dan perkembangan tak terduga - pemberian perhatian pada kesempatan krisis yang timbul 4. Komunikasi Dialogis (dialogic communication) Memastikan sistem komunikasi yang menerima keberagaman dan keberadaan jejaring 4.1 Dialog Terstruktur (structured dialogue) - pengelolaan pengembangan kesepakatan dan pembentukan tujuan bersama - pengembangan komunikasi dan dialog terstruktur berkualitas tinggi - pengembangan aturan terbuka dari komunikasi dalam dan di luar sistem kolaborasi - pengembangan partisipasi pemangku kepentingan yang sahih 4.2 Tata Kelola (governance) - pemantapan sistem transformasi kolaborasi beragam pelaku - penyiapan susunan tata kelola yang mencakup beragam pihak dan kolaboratif - pemanfaatan sumberdaya dan pengetahuan yang saling melengkapi - pengembangan rancangan komunikasi yang memadukan beragam pandangan - pengakuan beragam kompetensi dan sumberdaya pemangku kepentingan - penyertaan beragam tingkatan pemangku kepentingan (lokal/nasional/internasional) 4.3 Mekanisme Pembelajaran (learning mechanism) - peninjauan bersama terhadap peran, tujuan dan prosedur - peninjauan proses dan strategi bersama secara berkala - pengembangan proses, hasil dan pemantauan dampak secara bersama - evaluasi dampak internal dan eksternal
  • 19. 19 Katalis Kolaborasi Usulan Langkah 5. Dampak Kontekstual (contextual impact) Memastikan kesesuaian dan menyatunya inisiatif 5.1 Pengelolaan Kontekstual (context management) - pengkinian berkala pengetahuan terkait - mempertimbangkan inisiatif sejenis - pemaduan terencana kegiatan lokal dan global - pengelolaan komunikasi antara mitra lokal dan global - pengembangan Meta-collaboration dalam jejaring transformasi 5.2 Peningkatan Kapasitas (capacity development) - pengembangan kapasitas tertentu - penguatan proses kompetensi dan transformasi literasi seluruh pihak terlibat - pemberian dukungan bagi pendekatan kolaboratif yang menjangkau tiap lembaga - penguatan pelaksanaan yang saling melengkapi - pemanfatan kekuatan dan keahlian dari lembaga pemangku kepentingan 5.3 Perhatian pada Dampak (impact focus) - pemokusan pada manfaat bersama - peninjauan strategi bersama secara berkala - pengembangan ukuran dampak - penegasan kontribusi terhadap sistem yang lebih besar - pengembangan strategi perluasan yang disepakati, - perhatian pada strategi jangka panjang 6. Nilai Bersama (collective alue) Memastikan pengaruh dan keterpaduan kelompok pemangku kepentingan lebih lemah yang berimbang 6.1 Pendekatan Penghargaan (appreciative approach) - pengakuan terhadap tujuan individu - perhatian pada integritas dan harga diri semua mitra - perhatian dan penghargaan pada kendala organisasi - penghargaan terhadap kontribusi mitra yang lebih lemah 6.2 Keseimbangan Kekuatan dan Pengaruh (balance of power and influence) - perhatian pada perbedaan kemampuan - penguatan mitra yang lebih lemah - penyusunan mekanisme melibatkan kelompok pemangku kepentingan yang lebih lemah - pemokusan pada solusi menang-menang - pemberian advokasi pada kelompok pemangku kepentingan yang lebih lemah
  • 20. 20 Sumber: disarikan dari Kuenkel, 2019. Sebagaimana dipahami bahwa kolaborasi melibatkan pemerintah dan pemangku kepentingan non-pemerintah. Etzkowitz (2002) dalam laporan Organisation for Economic Co-Operation and Development (2013) menggambarkan 2 (dua) model penjelas hubungan antara pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi yakni model statis dan model laissez-faire. Pada model statis, pemerintah memiliki peran yang dominan membangun kemitraan karena kedua bidang lainnya dianggap lemah. Sedangkan pada model laissez-faire, tiap elemen lebih mandiri, akademisi (perguruan tinggi) sebagai produsen pengetahuan baru, swasta (industri) bertanggung jawab atas penyerapan serta aplikasi pengetahuan, dan pemerintah menetapkan regulasi atau peraturan (Iyoega, 2020). Dalam perspektif organisasi, kolaborasi juga merupakan salah satu pendekatan yang berperan dalam upaya pemecahan masalah konflik selain pengabaian (avoiding), ketegasan-bersaing (assertiveness-competiting), kerjasama-akomodatif (cooperativeness-accomodating), kompromi (compromising) sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1 berikut. Kelima bentuk pemecahan konflik tersebut dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut : 1. Pengabaian, tindakan untuk “menghindari” dalam arti mengacuhkan konflik dengan anggapan pihak lawan tidak mempunyai kekuatan signifikan. 2. Kompetisi, tindakan untuk memuaskan kepentingan sendiri tanpa pertimbangan pihak lain, yang dianggap melakukan hal yang sama. 3. Akomodasi, tindakan untuk meredakan tekanan pihak lain dengan cara mendahulukan kepentingan pihak lain. 4. Kompromi, tindakan bersama bersifat jalan tengah, tanpa memuaskan semua pihak, karena masing-masing pihak berkorban untuk memenuhi kepuasan pihak lain. 5. Kolaborasi, tindakan para pihak yang berkonfllik untuk menghasilkan tindakan yang memuaskan semua pihak sebagai tindakan “menang-menang” (Sari, 2014) Katalis Kolaborasi Usulan Langkah 6.3 Pemahaman Bersama (mutual understanding) - pemahaman memadai tentang misi, pilihan cara bekerja, dan kendala organisasi mitra - pengembangan struktur organisasi untuk mendengarkan suara pemangku kepentingan yang beragam - pemaparan terhadap cara pandang dunia, kondisi kehidupan dankendala kelompok berbeda - peyusunan mekanisme rekonsiliasi
  • 21. 21 Gambar 1 Beragam Bentuk Pemecahan konflik Sumber; Sari, 2014. IV. Tata Kelola Kolaboratif 4.1 Pemahaman, dan Konsep Emerson dan Nabatchi (2015) menyebutkan lahirnya konsep Tata Kelola Kolaboratif tidak terlepas dari masalah yang tidak mampu diselesaikan oleh pemerintah seorang diri karena terdapat informasi yang tidak lengkap atau kontadiktif, lingkungan yang berubah dengan cepat, dan meningkatnya ketergantungan antarpemangku kepentingan (Hadi, 2018). Sementara Margeum dalam Arimami (2017) menyatakan setidaknya terdapat 3 (tiga) hal yang dilakukan dalam tata kelola kolaboratif, yaitu (i) kolaborasi dalam mengatasi masalah tertentu, (ii) kolaborasi organisasi dalam memengaruhi penentuan prioritas dalam perencanaan, dan (iii) kolaborasi kebijakan untuk mencapai solusi kebijakan pemerintah yang terpadu. Selanjutnya Ansell and Gash (2009) melanjutkan bahwa secara umum Tata Kelola Kolaboratif muncul secara adaptif atau dengan diciptakan secara sadar karena alasan: (i) kompleksitas dan saling ketergantungan antarinstitusi, (ii) konflik antarkelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam, dan (iii) upaya mencari cara baru untuk mencapai legitimasi politik. Namun, justru sifatnya yang adaptif (sengaja diciptakan) yang menuntut pemecahan dari berbagai pihak terkait maka dimungkinkan bentuk Tata Kelola Kolaboratif akan mencakup banyak bentuk, antara lain dalam hal manajemen, kebijakan komunitas, keterlibatan wakil rakyat, negosiasi regulasi, dan perencanaan kolaborasi serta keragaman bentuk berbagai pemangku kepentingan yang terlibat secara normatif (Dewi, 2012). 23 Figure 1. Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument86 This model is known as the Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument (TKI).87 Five conflict-handling modes are described: competing, collaborating, compromising, avoiding, and accommodating.88 Each of the five modes represents a different balance of assertiveness and cooperativeness describing how conflict is handled. While this model was originally intended to identify styles of individuals, similar conflict-handling modes may be applied to organizations as well. This model can be used as a descriptive representation of how organizations engage in conflict and what dimensions are being emphasized. Using the TKI, it is possible to quantify how conflict is being enacted on the distributive and integrative dimensions. 86 Ed Batista, “Conflict Modes and Managerial Styles,” 2007, accessed November 8, 2014, http://www.edbatista.com/2007/01/conflict_modes_.html. 87 Kenneth W. Thomas and Ralph H. Kilmann, “An Overview of the Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument,” 2009–2015, http://www.kilmanndiagnostics.com/overview-thomas-kilmann- conflict-mode-instrument-tki. 88 Kenneth W. Thomas, “Conflict and Conflict Management: Reflections and Update,” Journal of Organizational Behavior 13, no. 3 (May 1992): 266.
  • 22. 22 Hetherington (2006) menyebutkan inisiatif tata kelola kolaboratif ini sebenarnya sebagai upaya pemerintah di seluruh dunia untuk mengatasi berbagai tantangan yang berkembang dalam kehidupan bernegara. Konsep ini merupakan bentuk inovasi dan pertanggungjawaban pemerintah terhadap masyarakat yang selama ini cenderung menganggap bahwa pemerintah boros dan gagal untuk mewakili kepentingan masyarakat (Bowo, 2009). Menurut Ansell dan Gash (2007) collaborative governance (tata kelola kolaboratif) adalah cara pengelolaan pemerintahan yang melibatkan secara langsung pemangku kepentingan non-pemerintah, berorientasi pada konsensus, dan musyawarah dalam proses pengambilan keputusan bersama, yang memiliki tujuan untuk membuat atau melaksanakan kebijakan dan program publik. Dalam hal ini penekanannya adalah pada pencapaian derajat konsensus di antara para pemangku kepentingan (Sari, 2014). Dari alasan dan definisi tersebut, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu (i) Tata kelola adalah sebuah proses, bisa formal maupun informal. Proses formal melibatkan adanya perjanjian secara hukum di antara para pihak, sedangkan proses informal hanya memerlukan komitmen diantara para pemangku kepentingan untuk bekerja bersama. (ii) Kemitraan sangat penting dalam proses tata kelola. Besarnya peserta dan tipe kemitraan ditentukan oleh pengaturan tata kelola tersebut. Kemitraan harus melibatkan masyarakat, komunitas, organisasi masyarakat setempat, instansi pemerintah dan swasta. (iii) Tata kelola mensyaratkan pengambilan keputusan bersama oleh para pemangku kepentingan berdasar konsensus, walaupun persetujuan secara konsensus itu tidak selamanya dapat terpenuhi. (iv) Tata kelola adalah sebuah metoda baru tata pemerintahan yang tidak sama dengan proses pemerintahan selama ini. Proses ini melibatkan berbagai lapisan pemerintah; pemerintah daerah dan pemerintah pusat saling berkoordinasi dengan melibatkan pemangku kepentingan lainnya, dalam organisasi dan proses yang otonom dan diakui (Gibson, 2011). Kolaborasi juga menyiratkan adanya keterlibatan pelaku non-pemerintah untuk turut serta bertanggungjawab dalam melahirkan kebijakan. Dalam sebuah kolaborasi, semua pemangku kepentingan akan terlibat dalam pengambilan keputusan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Freeman (1997) seperti yang dikutip oleh Ansell dan Gash (2007), semua pemangku kepentingan terlibat dalam setiap tahapan pengambilan keputusan. Seperti yang dicontohkan oleh Freeman, dewan penasihat dalam sebuah lembaga atau komisi seyogyanya turut dalam proses pengambilan keputusan, barulah kelembagaan tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah tata kelola kolaboratif (Mahadi, 2019). Kriteria lainnya yang perlu diperhatikan pada tata kelola kolaboratif adalah formalitas. Sebagaimana dikatakan oleh Walter dan Petr (2000) yang dikutip oleh Ansell dan Gash (2007) bahwa tata kelola kolaboratif mengindikasikan adanya formalitas dalam setiap kegiatan, struktur dan sumberdaya yang digunakan. Hubungan yang formal ini dilembagakan dalam sebuah organisasi dengan struktur yang formal, kegiatan dan agenda yang terstruktur. Aspek lain dari tata kelola kolaboratif adalah fokusnya kepada isu kebijakan publik. Fokus kepada isu publik ini membedakan tata kelola kolaboratif dengan proses pengambilan keputusan lainnya yang menggunakan pendekatan konsensus, seperti misalnya resolusi sengketa ataupun bentuk mediasi lainnya.
  • 23. 23 Dalam konteks kebijakan publik, Haq (2015) menyatakan nilai dasar tata kelola kolaboratif yakni orientasi konsensus dalam pengambilan keputusan (tujuan), kepemimpinan kolektif dalam kelembagaan (struktur), komunikasi multi arah dalam hubungan kemanusiaan (interaksi) dan berbagi sumberdaya dalam aksi (proses). Nilai dasar tersebut menjadi satu kesatuan yang terintegrasi pada setiap tahapan kebijakan publik. Ansell dan Gash cenderung untuk menggunakan istilah governance ketimbang management karena kata governance lebih luas maknanya, mencakup berbagai aspek dalam proses memerintah atau governing, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, pembuatan kebijakan dan manajemen. Sedangkan kata kolaborasi atau collaborative lebih mengindikasikan adanya pengertian musyawarah dan konsensus dalam setiap pengambilan keputusan. Sementara kata partisipatori atau interaktif lebih mengindikasikan pendekatan pengambilan keputusan yang menggunakan prinsip adversarialism dan managerialism. Pengambilan keputusan dengan menggunakan pendekatan adversarialisme adalah pendekatan menang atau kalah. Managerialisme adalah pendekatan pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan secara unilateral, yaitu tertutup dan dilakukan oleh seorang pengambil kebijakan atau pembuat keputusan yang biasanya adalah pimpinan organisasi, atau sekelompok individu atau pakar yang memang ditunjuk untuk melakukan hal tersebut. Kedua pendekatan ini. konsultasi secara langsung dengan para pemangku kepentingan, akan tetapi dalam pengambilan keputusan, mereka tidak melibatkan lagi pemangku kepentingan (Mahadi, 2019). Tidak seperti definisi yang diberikan oleh Ansell dan Gash, definisi yang diberikan oleh Emerson dan Nabatchi (2015) tidak membatasi tata kelola kolaboratif hanya pada pengaturan formal, pengaturan yang diprakarsai oleh negara, dan keterlibatan antara pemangku kepentingan pemerintah dan non-pemerintah. Emerson dan Nabatchi menggunakan istilah multipartner governance yang dapat mencakup kemitraan antara negara, swasta, maupun masyarakat. Multipartner governance tersebut dapat dilihat melalui empat bentuk hubungan collaborative governance sebagaimana disebutkan oleh Wanna (O’Flynn dan Wanna, 2008) yang terdiri atas: (i) kolaborasi di dalam pemerintahan yang melibatkan berbagai agen dan pemain; (ii) kolaborasi antara pemerintah yang melibatkan instansi dari berbagai yurisdiksi; (iii) kolaborasi antara pemerintah dan penyedia barang dan jasa pihak ketiga eksternal; serta (iv) kolaborasi antara pemerintah dan warga perorangan atau klien. Sebuah usaha kolaborasi dapat digolongkan sebagai tata kelola kolaboratif jika memenuhi syarat, sebagaimana dicetuskan oleh Zadek (2008), yakni: a. merupakan manifestasi dari beragam standar yang dipegang oleh masing-masing pemangku kepentingan 
 b. lebih dari satu ragam pemangku kepentingan yang terlibat dan tidak boleh terlibat akibat keterpaksaan yang ditekankan oleh pemangku kepentingan tertentu 
 c. meliputi satu atau lebih bagian yang sangat penting dalam pemerintahan (seperti desain, implementasi, dan aturan) (Diani, 2017).
  • 24. 24 Seigler (2011) menambahkan 8 (delapan) prinsip utama dalam penerapan tata kelola kolaboratif, yang menekankan keterlibatan masyarakat umum, yaitu a. warga masyarakat harus turut dilibatkan dalam produksi barang publik b. masyarakat harus mampu memobilisasi sumberdaya dan aset untuk memecahkan masalah publik c. tenaga professional harus berbagi keahlian untuk memberdayakan warga masyarakat d. kebijakan harus menghadirkan musyawarah publik e. kebijakan harus mengandung kemitraan kolaboratif yang berkelanjutan f. kebijakan harus strategis g. kebijakan harus mengubah kelembagaan untuk pemberdayaan masyarakat dan pemecahan masalah publik h. kebijakan harus mengandung pertanggungjawaban (Donny, dan Inayanti, 2018). Dikutip dari bukunya Collaborative Governance-Private Roles For Public Goals In Turbulent Times, Donahue dan Zeckhauser (2011) menyatakan bahwa tata kelola kolaboratif mencakup 4 (empat) hal yaitu : a. Kolaborasi Produktivitas (collaboration for productivity) b. Kolaborasi Informasi (collaboration for information) c. Kolaborasi Legitimasi (collaboration for legitimacy) Legitimasi adalah seberapa jauh masyarakat mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan atau kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin. Dalam konteks legitimasi, maka hubungan antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin lebih ditentukan oleh keputusan masyarakat untuk menerima atau menolak kebijakan yang diambil oleh sang pemimpin. d. Kolaborasi Sumberdaya (collaboration for resources) Tata kelola kolaboratif membedakan dirinya dengan kemitraan melalui peran pemerintah di dalamnya. Dalam kemitraan, pemerintah bekerja dengan membangun jejaring, koalisi, dan kemitraan yang bertujuan menciptakan pelayanan yang efektif dengan hubungan pemerintah ke masyarakat. Pada tata kelola kolaboratif, pemerintah bekerja bersama swasta dan elemen masyarakat untuk mencapai tujuan publik (Ervianti, 2018). Sejauh ini, tata kelola kolaboratif masih dipandang sebagai solusi yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah publik. Wanna (O’Flynn dan Wanna, 2008) menyatakan bahwa melalui tata kelola kolaboratif, pemerintah dapat mempertimbangkan kembali strategi yang tepat untuk mencapai hasil yang diinginkan. Scott (2016) menjelaskan 2 (dua) alasan umum tata kelola kolaboratif dipandang sebagai solusi yang tepat. Pertama, pemahaman suatu permasalahan terlihat secara lebih terpadu, tanggap, memberikan legitimasi yang lebih besar, serta dapat mengurangi ketidakpercayaan publik pada pemerintahan. Keterlibatan pemerintah, swasta, maupun masyarakat ini dinilai lebih efektif daripada usaha yang dilakukan oleh satu institusi saja. Kedua, mendorong motivasi bersama sehingga setiap pemangku kepentingan yang terlibat dapat melakukan tindakan masing-masing untuk meningkatkan efektivitas. Dengan demikian, tata kelola kolaboratif membantu pembuat kebijakan dan manajer publik untuk memperbaiki disain dan implementasi kebijakan/program yang secara langsung berdampak pula terhadap hasil yang diharapkan. Keterlibatan pemangku kepentingan non-pemerintah khususnya swasta dalam kolaborasi mempunyai alasan tersendiri. Sebagaimana dijelaskan oleh Donahue dan Zeckhauser (2006) bahwa
  • 25. 25 terdapat beberapa alasan bagi pemerintah untuk melibatkan swasta dalam pencapaian tujuan publik, yaitu (i) Sumber daya (resources). Keterbatasan sumberdaya atau kekurangan kemampuan untuk memobilisasi sumberdaya merupakan alasan yang paling sederhana dan sering digunakan oleh pemerintah berkolaborasi dengan swasta. Swasta dihadirkan oleh pemerintah untuk menyediakan sumberdaya yang dimaksud untuk mencapai tujuan publik. Dengan demikian, kebutuhan sumberdaya dapat tercukupi dan pemerintah dapat mencapai tujuan publik tersebut. (ii) Produktivitas (productivity). Produktifitas swasta dianggap jauh lebih baik dibandingkan dengan pemerintah. Semakin tinggi tingkat produktivitas yang dapat dihasilkan oleh swasta, maka semakin kuat alasan berkolaborasi. (iii) Informasi (information). Swasta memiliki informasi yang tidak dimiliki oleh pemerintah, namun keterbatasan anggaran pemerintah membatasi kemampuannya dalam memperoleh data dimaksud. Sementara tentu saja swasta juga berkepentingan memperoleh data pemerintah sepanjang diperbolehkan. Kolaborasi memudahkan terjadinya pertukaran data. (iv) Legitimasi (legitimacy). Kolaborasi antara pemerintah dan swasta dapat dijadikan jalan untuk meningkatkan dukungan masyarakat terhadap kebijakan atau program pemerintah. 4.2 Pemangku Kepentingan (stakeholders) Salah satu komponen penting dalam tata kelola kolaboratif adalah pemangku kepentingan. Istilah stakeholders pertama kali dikenalkan oleh Stanford Research Institute pada tahun 1963 (Friedman dan Miles, 2006). Awal munculnya konsep ini adalah untuk mengklasifikasikan dan mengevaluasi konsep kinerja perusahaan (Caroll, 1991). Lebih lanjut, Freeman berpendapat bahwa pemahaman hubungan antara kelompok dan individu yang mempengaruhi atau terpengaruhi oleh organisasi adalah sarana menilai keefektifan organisasi dalam mencapai tujuan (Arrozaaq, 2017). Stakeholder yang diterjemahkan mejadi pemangku kepentingan adalah individu, kelompok organisasi baik laki-laki atau perempuan yang memiliki kepentingan, terlibat atau dipengaruhi (positif atau negatif) oleh suatu kegiatan pembangunan (Hertifah (2003). Hal serupa juga dikemukakan oleh Scheemer (2000) yang menyebutkan pemangku kepentingan sebagai perorangan, kelompok, organisasi yang berkepentingan terhadap kebijakan yang sedang dalam proses penyusunan. Sedangkan Gonsalves dkk. (Iqbal, 2007) mendeskripsikan pemangku kepentingan sebagai pihak yang memberikan dampak dan/atau yang terkena oleh dampak dari suatu program, kebijakan, dan/atau kegiatan pembangunan. Pemangku kepentingan bisa individu, komunitas, kelompok sosial, atau suatu lembaga yang terdapat dalam setiap tingkatan golongan masyarakat (Arrozaaq, 2017). Lebih lanjut dikatakan bahwa pemangku kepentingan merupakan kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi (Freeman, 1984). Fase simetris, “dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh” berarti terdapat individu atau kelompok yang menganggap dirinya sebagai pemangku kepentingan dari sebuah organisasi, tanpa mempertimbangkan untuk menjadi pemangku kepentingan. Selain itu, banyak kelompok yang dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi, tetapi dukungan mereka tidak dianggap atau diperlukan untuk terus ada (Arrozaaq, 2017). Sehingga konotasi pemangku kepentingan bermakna sebagai para pihak baik perorangan/komunitas/organisasi yang terkait, terdampak maupun memberi dampak oleh atau terhadap sebuah isu/kegiatan/program/situasi, tanpa perlu terlibat langsung.
  • 26. 26 Walaupun seringkali pemangku kepentingan digambarkan hanya terwakili oleh 3 (tiga) elemen, namun dikenal juga Model Penta yang mencantumkan 5 (lima) pemangku kepentingan dalam tata kelola kolaboratif. Kelimanya adalah (i) masyarakat umum; (ii) bisnis (komersil, nir laba, semi komersil); (iii) lembaga pendidikan seperti sekolah, universitas, pusat riset, akademisi dan lembaga kebudayaan; (iv) organisasi masyarakat sipil; (v) pemerintah. Gambar berikut dapat membantu menjelaskan. Gambar 2 Lima Pilar Tata Kelola Kolaboratif Sumber: Bernardi (2015) 4.3 Tahapan Tata Kelola Kolaboratif Tirrel dan Clay (2010) merangkum pengalaman berkolaborasi dalam bentuk rancangan tahapan kegiatan menjadi 5 (lima) tahapan, yaitu (a) Tahap 1 Penjajakan Pada tahap ini pertemuan antara pemangku kepentingan dilakukan secara formal dan informal seperti pertemuan dalam bentuk curah pendapat, rapat dan pembagian informasi. Termasuk diskusi tentang peninjauan opini.
 (b) Tahap 2: Pembentukan Kolaborasi menjadi kenyataan. Penyepakatan terhadap prosedur dan struktur operasional. Disamping itu, tujuan telah dirumuskan dan kegiatan bersama dikembangkan. Gambar 3 73 of university is revitalized; university becomes more catalytic and active; and secondly it has the task to facilitate the creation of new forms of relations with the other incoming actors: no- profit sector, social innovators, citizens and other institutions such as schools, academies, research and cultural centers. In this penta model, enter five actors that can be considered the five souls of the collaborative governance: 1. Citizens and social innovators 2. Business (profit, low-profit, non-profit) 3. Cognitive institutions (schools, universities, research centers, academia, cultural institutions) 4. Civil society organizations (social parties and third-sector actors) 5. Public authorities The image below shows the graphics used by LabGov to explain the co-existence of these five pillars: Figure 7 The five pillars of the collaborative governance. Source: LabGov. 129 Etzkowitz and Leydesdorff (1995 and 2000) proposed the model of a Triple Helix of university-industry- government relations for explaining structural developments in knowledge-based economies.
  • 27. 27 Model Siklus Hidup Kolaborasi Sumber: Tirrel dan Clay (2010) (c) Tahap 3: Pertumbuhan.
 Penekanan pada pengaturan terhadap prioritas dan perencanaan. Sudah dilakukan upaya untuk memperjuangkan konsensus, formulasi dan implementasi.
 (d) Tahap 4: Pendewasaan Pengembangan mulai dilakukan. Kemapanan dana partisipasi dan akses. Semua strategi didesain dengan basis berkelanjutan. Hasil kolaborasi disampaikan kepada semua pihak dan tujuan kolaborasi dinilai.
 (e) Tahap 5 : Akhir Kolaborasi sudah bekerja secara ideal dan sempurna. Tercapai kepuasan dari masing-masing pihak atas hasil yang dilakukan. Kolaborasi sukses menyelesaikan masalah, namun ketika terjadi penurunan kegiatan maka dilakukan pembaruan (Khusna, 2017). Tabel 3 Tahapan Kegiatan Kolaborasi Konvensional dan Kolaborasi Strategis Tahapan Kolaborasi Kegiatan Kolaborasi Konvensional Praktik Kolaborasi Strategis Tahap Pertama Penjajakan (exploration)  Diskusi dan pertemuan dengan agenda isu publik  Pengumpulan informasi  Kemitraan terbentuk atau berlanjut dengan focus kepentingan bersama  Keputusan kolaborasi strategis  Pemetaan calon peserta  Peserta terpilih dan kapasitas sumberdaya terpetakan  Kampiun memimpin Tahap Kedua Peresmian (formalization)  Mengembangkan struktur dan prosedur kolaborasi, dan memulai kegiatan  Mempertajam misi dan visi  Menciptakan struktur dan proses yang menjamin
  • 28. 28 Tahapan Kolaborasi Kegiatan Kolaborasi Konvensional Praktik Kolaborasi Strategis  Menetapkan parameter dan harapan peserta  Mengembangkan tujuan dan rencana kegiatan dan memulainya keterlibatan beragam pemangku kepentingan  Membangun kepercayaan melalui komunikasi  Menemukenali dan mempercepat keberhasilan awal Tahap Ketiga Pertumbuhan  Melanjutkan perencanaan dan penetapan prioritas  Strategi pelaksanaan dan pemantauan berkala  Penambahan peserta baru  Menghindari cara berpikir birokratis  Mendorong inovasi dan kreatifitas  Menekankan kerjasama dan berbagai kesamaan pemahaman  Memokuskan diseminasi informasi dan umpan balik Tahap Keempat Pendewasaan (maturity)  Memantapkan sumberdaya  Evaluasi rencana dan revisi strategi berlanjut  Kolaborasi kegiatan  Menyeimbangkan kemapanan dengan inovasi  Berorientasi hasil dan digerakkan oleh tujuan  Mengembangkan kepemimpinan yang lebih kuat Tahap Kelima : Akhir A. Penutup B. Penolakan C. Pembaharuan  Pengenalan  Berbagi hasil  Pembatalan kehadiran  Kegalauan peserta  Ketidakpastian sumberdaya  Jalan di tempat  Penerimaan peserta baru dan peserta lama tetap berhubungan  Tujuan diklarifikasi atau direvisi  Bertindak sengaja  Mencari bantuan ahli  Mendokumentasikan proses, peserta dan dampak  Terbuka  Diagnosa ‘penyakit’  Mencari masukan dari luar  Menciptakan proses analisis berdasar fakta  Membawa pandangan baru  Pertemuan berkala  Musyawarah membangun kembali struktur dan proses  Mengembalikan legitimasi Sumber: Tirrel dan Clay (2010) dalam Khusna (2017). Selanjutnya menurut Ratner (2012), di dalam tata kelola kolaboratif terdapat 3 (tiga) fokus tahapan yang merupakan proses kolaborasi dalam tata kelola pemerintahan, yaitu (i) Mendengarkan; (ii) Dialog; dan (iii) Memilih (Irawan, 2017). Selengkapnya pada Gambar 4 berikut ini: Gambar 4
  • 29. 29 Tahapan Penilaian dan Rencana Kegiatan Tata Kelola Kolaboratif Sumber : Ratner (2012) dalam Irawan (2017) (a) Saling Mendengarkan (identifying obstacles and opportunities) Pemerintah dan pemangku kepentingan lain melakukan identifikasi berbagai jenis hambatan yang akan dihadapi selama proses tata kelola pemerintahan. Para pemangku kepentingan saling berbagi isu, peluang penyelesaian, dan ketersediaan sumberdaya masing-masing. (b) Berdialog (debating strategies for influence) Pemangku kepentingan yang terlibat dalam tata kelola pemerintahan melakukan dialog mengenai langkah paling efektif memecahkan permasalahan berikut pihak yang mampu mendukungnya. (c) Memilih (planning collaborative actions). Para pemangku kepentingan yang terlibat mulai melakukan perencanaan pelaksanaan strategi yang telah disepakati pada tahap sebelumnya, seperti langkah awal yang akan dilakukan dalam proses kolaborasi antarpemangku kepentingan yaitu pemerintah, pihak swasta dan masyarakat. Kemudian mengidentifikasi perangkat pemantauan dan evaluasi setiap proses yang dilakukan dan menentukan langkah untuk menjaga proses kolaborasi agar terus berlangsung dalam jangka
  • 30. 30 panjang. Donahue dan Zeckhauser (2011) menambahkan bahwa tata kelola kolaboratif bukan merupakan proses yang terjadi satu kali secara linier, melainkan terjadi sebagai suatu siklus yang terdiri dari komponen analisis (analyze), penetapan (assign), desain (design), dan penilaian (assess) sebagaimana diperlihatkan melalui Gambar 5 di bawah ini. Gambar 5 Tahap Tata Kelola Kolaboratif Sumber: Donahue dan Zeckhauser (2011) (a) Analisis (analyze) Langkah pertama adalah menyimak situasi. Dimulai dengan pemahaman tentang tujuan dan target organisasi pemerintah dan memperhatikan status quo yang dihadapi oleh pemerintah. Pemerintah juga perlu memetakan pemangku kepentingan non pemerintah yang potensial dilibatkan untuk mencapai tujuan publik. (b) Penetapan (assign) Penetapan berupa pemilihan pemangku kepentingan yang tepat sesuai dengan kapasitasnya. Penetapan dalam bentuk penugasan memberikan keleluasaan kepada pemangku kepentingan non-pemerintah untuk menentukan posisi yang diinginkan. (c) Desain (Design) Pada tahapan ini, dilakukan penjelasan tentang hak dan kewajiban yang dimiliki para pemangku kepentingan yang terlibat, berikut bentuk pelaksanaan dan waktu. Namun demikian, pada praktiknya, tahap ini seringkali tumpang tindih dengan tahap analisis (analyze) dan penetapan (assign). Hal ini disebabkan seringkali para pemangku kepentingan bersaing menjadi mitra pemerintah. (d) Penilaian (Assess) Tahap penilaian ini ditentukan kinerja pelaksanaan kesepakatan dan dampaknya terhadap pencapaian tujuan yang disepakati pada awal proses kolaborasi. Pengawasan menjadi kata kunci. Dengan demikian dapat dilihat bahwa keempat komponen siklus yang terjadi dalam proses tata kelola kolaboratif dapat berubah dengan cepat atau lambat, namun tidak akan pernah berhenti selama proses kolaboratif tersebut berjalan. Yaffee dan Wondolleck (2003) menegaskan agar memperoleh hasil yang maksimal dalam
  • 31. 31 melakukan kolaborasi, maka diperlukan beberapa tahapan penting dengan diantaranya memokuskan pada pengembangan media komunikasi dan mekanisme kelola konflik. Selengkapnya sebagai berikut; a. Inisiasi dan motivasi b. Media komunikasi/informasi c. Analisis bersama terhadap situasi d. Negosiasi dan kesepakatan diantara pemangku kepentingan e. Membangun kapasitas perubahan f. Kemitraan dan analisis pelaksanaaan g. Membuat dan memelihara proses h. Membuat dan mendorong mekanisme kelola konflik Sementara Morse and Stephens (2012) membagi tahapan tata kelola kolaboratif menjadi 4 (empat) tahapan, yaitu: Penilaian (assesment), Inisiasi (initiation), Musyawarah (deliberation), dan Pelaksanaan (implementation) (Arianti, dan Satlita, 2018). Selanjutnya Jahro (2019) merinci tahapan Morse dan Stephens sebagai berikut. (i) Penafsiran (assessment), yang membahas kondisi awal yang sangat memengaruhi keberhasilan kolaborasi antarpemangku kepentingan. Tahapan penilaian ini berfokus pada mengidentifikasi perlunya kolaborasi dan kemungkinan pelaksanaannya, yang mencakup kegiatan: (a) Memahami faktor kontekstual seperti sejarah kerjasama dan insentif kelembagaan atau kendala kerjasama (b) Identifikasi pemangku kepentingan berikut peran masing-masing (c) Kesepakatan umum mengenai isu, masalah atau tujuan bersama yang hendak dicapai (d) Pentingnya kolaborasi dan komitmen melaksanakan kolaborasi untuk menciptakan solusi. (ii) Inisiasi (initiation). Tahapan ini mencakup identifikasi pendukung dan perannya yang mungkin akan berperan membantu sumberdaya manusia dan dana, kegiatan rapat pemangku kepentingan untuk membangun kelompok kerja. Tahap inisiasi lebih menekankan pada keterampilan lunak penyelenggaraan kerja sama, membangun kerjasama dan membentuk tim. Selain juga menyepakati proses kolaborasi. (iii) Musyawarah (deliberation). Tahapan ini mencakup kegiatan membangun aturan dasar atau menetapkan peraturan dasar. Selain itu, musyawarah dan dialog sebagai bagian proses pembelajaran bersama yang bertujuan untuk menciptakan dan mengeksplorasi pilihan. Akhirnya, tahapan musyawarah dapat mencapai kesepakatan kolaboratif atau perjanjian kerjasama. (iv) Implementasi yang termasuk didalamnya kegiatan seperti a. Merancang struktur tata kelola b. Membangun dukungan konstituen c. Menyepakati peran dan kontribusi dalam pelaksanaan d. Memantau perjanjian atau kesepakatan, mengevaluasi hasil dan mengelola kerja sama Tahapan ini merupakan tahapan menentukan keberlangsungan sebuah kolaborasi. Sementara Kuenkel (2014) memperkenalkan Model Perubahan Dialogis (the Dialogue Change Model) bagi desain proses transformasi yang diluncurkan oleh Collective Leadership Institute (Mugkasa, 2020) Secara umum terdapat 4 (empat) tahapan pengembangan kolaborasi yaitu (i) Tahap Pertama berupa Penjelajahan dan Pelibatan Ekosistem Kolaborasi (exploring and engaging); (ii) Tahap Kedua
  • 32. 32 berupa Pengembangan dan Peresmian Ekosistem Kolaborasi (building and formalizing); (iii) Tahap Ketiga berupa Pelaksanaan dan Evaluasi Kolaborasi (implementing and evaluating); (iv) Tahap Keempat berupa Pengembangan Lanjutan, Replikasi, atau Pelembagaan Kolaborasi (developing further Replicating or Institutionalizing). (i) Tahap Pertama. Penjelajahan dan Pelibatan Ekosistem Kolaborasi Tahapan pertama mempersiapkan sebuah sistem kelembagaan kolaborasi para pelaku yang luwes, termasuk mencakup peningkatan kapasitas para pencetus terkait kandungan isu. Hal ini menyangkut dukungan petinggi dalam proses perubahan, kepekaan kelompok pemangku kepentingan terhadap perubahan, dan membantu pelaku kunci dengan dialog dan peningkatan kompetensi sehingga mempunyai kemampuan mengatur kolaborasi secara sistematis. Pengelolaan hubungan, termasuk saling percaya, saling memahami, dan keterkaitan dengan tujuan lebih besar adalah kunci utama pada tahap pertama. Diupayakan agar kesulitan yang dihadapi nantinya tidak akan banyak seperti ketidaksepakatan tentang mekanisme tata kelola, rencana pelaksanaan, atau prosedur pemantauan. Pembentukan organisasi atau struktur perwakilan tidak memperoleh banyak perhatian. Fokusnya pada membangun laboratorium lapangan diantara berbagai pemangku kepentingan. Tahap ini merupakan awal pergeseran pola interaksi yang kurang berfungsi menjadi pengaturan kembali hubungan yang menjadi dasar timbulnya fungsi kolaborasi. Perhatian utama pada pelibatan masyarakat dalam upaya pemecahan masalah. Pola interaksi yang timbul pada tahapan ini adalah a. Kelompok inti dengan keinginan kuat menyelesaikan masalah secara bersama-sama b. Menguatnya resonansi perubahan diantara pemangku kepentingan c. Meningkatnya pemahaman terhadap kendala situasi sekarang. d. Pandangan terhadap masa depan yang akan berbeda diantara pemangku kepentingan e. Penggerak perubahan dalam bentuk kelompok inti yang merasa bertanggungjawab terhadap inisiatif kolaborasi dan memahami konteks sepenuhnya (ii) Tahap Kedua. Membangun dan Meresmikan Ekosistem Kolaborasi Tahap kedua termasuk meresmikan bentuk konsultasi dan kerjasama diantara pemangku kepentingan dan memastikan peran dan tanggungjawab pelaksanaan. Visi yang ditetapkan pada tahap 1 diuji, disaring, dan disepakati oleh seluruh pelaku. Tahap 2 seringkali memerlukan penelaahan bersama terhadap kenyataan terkini dan visi, perubahan tujuan atau kondisi masa depan. Kesepakatan, rencana dan struktur sumberdaya manusia yang diperlukan ditetapkan. Jika struktur kurang ditekankan pada tahap ini, misal melalui kepastian tujuan, perjanjian, peran, dan tanggungjawab, maka peluang munculnya ekosistem kolaborasi menjadi hilang. Gambar 6 Model Perubahan Dialogis
  • 33. 33 bagi Rancangan Proses Transformasi Sumber: Kuenkel, 20 Pola hubungan yang muncul pada tahap ini sebagai berikut. a. Ekosistem kolaborasi pemangku kepentingan terkonsolidasi secara bertahap b. Tujuan dan proses jelas termasuk mekanisme pembelajaran dan prosedur pertanggungjawaban. (iii) Tahap Ketiga. Pelaksanaan dan Evaluasi Kolaborasi. Tahap ini terfokus pada penyelesaian, kemudian kemajuan atau hasil dievaluasi. Pemangku kepentingan melaksanakan kegiatan bersama atau berkoordinasi. Sebagian besar inisiatif kolaborasi mencanangkan pertemuan pemangku kepentingan secara berkala dengan agenda evaluasi kemajuan dan penyesuaian strategi pelaksanaan. Pemantauan dan evaluasi serta mekanisme pembelajaran terus menerus perlu dibiasakan sehingga penyesuaian strategi dapat dilakukan bersama. Jika keduanya, baik struktur (misal rencana pelaksanaan, pemantauan dan struktur tata kelola, mekanisme pembelajaran dan lainnya) dan proses (misal berbagi hasil, merayakan keberhasilan dan lainnya), tidak memperoleh perhatian pada tahap ini, pelaku cenderung berhenti, kehilangan rasa memiliki, berhenti melaksanakan, mulai berkonflik, atau mulai bekerja sendiri-sendiri. Keahlian pelaku kunci dalam mengelola keseimbangan dinamis antara komunikasi dan penyampaian hasil bersama menjadikan proses kolaborasi yang rumit menjadi efektif pelaksanaannya.
  • 34. 34 Pola hubungan yang muncul pada tahap ini sebagai berikut. a. Sebuah sistem kolaborasi pemangku kepentingan yang berfungsi baik b. Pembentukan identitas yang menghasilkan kembali keinginan bersama yang menjadikan seluruh pemangku kepentingan merasa bagian dari gerakan perubahan yang lebih besar c. Rancangan proses yang membentuk ruang inovasi dan pembelajaran d. Struktur dialog terpadu yang melayani tujuan berbeda seperti pembelajaran, peninjauan kembali, inovasi dan evaluasi. (iv) Tahap Empat. Pengembangan Lanjutan, Replikasi dan Pelembagaan Kolaborasi Tahap 4 terkait upaya membawa inisiatif kolaborasi ke tahap selanjutnya, memperluas kegiatan, dan menghasilkan struktur tahan lama bagi perubahan yang diharapkan. Termasuk faktor keberhasilan dan pembentukan masyarakat pembuat perubahan. Hal ini juga dapat mencakup kerjasama berbagai inisiatif kolaborasi pemangku kepentingan yang berbeda. Pada beberapa kejadian, dibutuhkan pengembangan struktur keterlibatan pemangku kepentingan dan struktur pengelolaan pengetahuan yang memungkinkan pelaku kunci memindahkan pengalamannya ke inisiatif lainnya. Keberhasilan perlu dirayakan, partisipasi dan kontribusi pemangku kepentingan sewajarnya dihargai. Ketika inisiatif kolaborasi dikembangkan lebih jauh, pemangku kepentingan baru perlu dimasukkan ke dalam proses, khususnya ketika pelaksanaan perubahan diserahkan pada pihak ketiga. Proses dari inisiatif yang masih longgar ke bentuk yang lebih resmi tidaklah mudah. Replikasi atau pelembagaan sering membutuhkan struktur pengelolaan profesional. Perubahan peran dan struktur pengambilan keputusan seharusnya menjadi lebih efisien. Struktur pengelola saat ini membutuhkan legitimasi dan kredibilitas tambahan. Pola interaksi yang muncul pada tahap ini sebagai berikut. a. Sebuah sistem kolaborasi pemangku kepentingan terpadu dengan struktur dan tata kelola pemangku kepentingan tahan lama b. Mekanisme pembaharuan dan inovasi c. Sebuah sistem pelibatan pelaku di luar sistem kolaborasi yang awal d. Sebuah catatan keberhasilan dan dampak Terkait proses kolaborasi, terdapat setidaknya 3 (tiga) model yaitu (i) Model Perubahan Dialogis/Dialogic Change Model (Kuenkel dkk, 2011); (ii) Siklus Kemitraan/Partnering Cycle (Tennyson, 2011); (iii) Dampak Bersama/Collective Impact (Kania dan Kramer. 2011). Selengkapnya pada Tabel berikut. Tabel 4 Model Proses Kolaborasi Beragam Pemangku Kepentingan Tahapan Model Perubahan Dialogis/ Dialogic Change Model (Kuenkel dkk, 2011) Siklus Kemitraan/ Partnering Cycle (Tennyson, 2011) Dampak Bersama/ Collective Impact (Kania dan Kramer. 2011) Pengamatan dan pelibatan (Exploring and Engaging) Pelingkupan dan pengembangan (Scoping and building) Pengembangan ide dan dialog (Generate ideas and dialogue)
  • 35. 35 Tahapan Model Perubahan Dialogis/ Dialogic Change Model (Kuenkel dkk, 2011) Siklus Kemitraan/ Partnering Cycle (Tennyson, 2011) Dampak Bersama/ Collective Impact (Kania dan Kramer. 2011) I - Memahami keadaan - Memahami perbedaan pandangan pemangku kepentingan - melibatkan dalam diskusi persiapan - meningkatkan kesiapan aksi - mengembangkan kasus - identifikasi tujuan dan visi - penetapan lingkup - perencanaan kegiatan - melibatkan masyarakat dalam diskusi - identifikasi kesamaan nilai - menyiapkan kelompok inti yang akan mengawal - membangun hubungan dan saling percaya II Pengembangan dan Peresmian (building and formalizing) Pengelolaan dan Pemeliharaan (managing and maintaining) Permulaan aksi (initiate action) - menetapkan tujuan dan komitmen - menyediakan sumberdaya - menyepakati perjanjian formal - proses perencanaan - pelaksanaan bersama - tahapan pelaksanaan - ditandai dengan upaya mobilisasi, pelembagaan dan penyediaan - mengenali kampiun - membentuk kelompok lintas sektor - memetakan lansekap - memanfaatkan data bagi pengembangan kasus - memasilitasi masyarakat yang tidak terjangkau - analisis basis data pengembangan isu III Pelaksanaan dan Evaluasi (implementing and evaluating) Peninjauan kembali dan Perbaikan (reviewing and revising) Pengaturan Dampak (organize for impact) - pelaksanaan kegiatan yang disepakati - mengembangkan contoh kasus - evaluasi kemajuan dan hasil - kegiatan dinilai, ditinjau kembali, dan jika memungkinkan di perbaiki - menbangun infrastruktur (pendukung dan proses) - mengembangkan agenda umum (tujuan umum dan strategi) - melibarkan masyarakat dan mengembangkan keinginan masyarakat - menetapkan ukuran bersama (indikator, ukuran dan pendekatan) IV Pengembangan lebih jauh, replikasi atau pelembagaan (developing further, replicating or institutionalizing) Mempertahankan hasil (sustaining outcomes) Aksi dan Dampak Berkelanjutan (sustain action and impact) - meningkatkan dialog ke tahap berikutnya - memperbesar atau replikasi kegiatan dialog - menciptakan lembaga bertahan lama untuk perubahan - mitra tetap bertahan - kegiatan diperbesar - menetapkan dan refine, mendukung pelaksanaan (penjajaran tujuan dan strategi) - mempertahankan keterlibatan dan melakukan advokasi - mengumpulkan, menelusuri, dan menyampaikan laporan (mempelajari dan memperbaiki proses) Sumber : Kuenkel, 2011.
  • 36. 36 4.4 Kriteria dan Ukuran Keberhasilan Ansell dan Gash (2009), menyatakan bahwa terdapat 6 (enam) kriteria untuk mewujudkan sebuah tata kelola kolaboratif; (i) Kolaborasi diprakarsai oleh institusi pemerintah (ii) Peserta kolaborasi terdiri dari institusi pemerintah dan non-pemerintah. (iii) Semua peserta turut dalam proses pengambilan keputusan (iv) Forum kolaborasi dibentuk secara resmi dan bertemu secara regular (v) Forum kolaborasi membuat keputusan secara konsensus. (vi) Fokus kolaborasi adalah pada kebijakan dan pengelolaan publik. Keenam kriteria ini terdapat dalam sebuah proses tata kelola kolaboratif, walaupun bukanlah jaminan bahwa kolaborasi akan berhasil, akan tetapi setidaknya kriteria ini merupakan komponen utama dalam sebuah proses tata kelola kolaboratif. Menurut De Seve dalam Dewi (2012), terdapat beberapa kriteria mengukur keberhasilan sebuah kolaborasi dalam tata kelola, yaitu: a. Tipe Struktur Jejaring (networked structure) menjelaskan konsep keterkaitan antarelemen yang menyatu mencerminkan unsur fisik dari jejaring yang ditangani. Beberapa bentuk struktur jejaring seperti hub dan spokes, bintang, dan cluster (kumpulan terangkai dan terhubung) yang dapat dimanfaatkan. Milward dan Provan (2007) mengategorikan bentuk struktur jejaring dalam 3 (tiga) bentuk yaitu self governance, lead organization dan network administrative organization (NAO). Hub dan spoke mirip lead organization, sedang bintang disamakan dengan self governance, dan cluster lebih dekat pada NAO, walaupun sebenarnya model ini merupakan campuran antara self governance dan lead organization. Model self governance ditandai dengan struktur tanpa entitas administratif namun demikian tiap pemangku kepentingan berpartisipasi dalam jejaring, dan pengelolaan dilakukan oleh semua anggota. Kelebihan dari model self-governance adalah bahwa semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam jejaring ikut berpartisipasi aktif, memiliki komitmen dan mudah membentuk jaringan. Namun, kelemahan dari model ini adalah ketidakefisienan berbentuk seringnya mengadakan pertemuan sedangkan pembuatan keputusan sangat terdesentralisir sehingga sulit mencapai konsensus. Juga disyaratkan agar bisa efektif, para pemangku kepentingan yang terlibat sebaiknya sedikit saja sehingga memudahkan saling komunikasi dan saling memantau masing- masing secara intensif (Milward dan Provan, 2007 dalam Sudarmo, 2011). Ini berarti bahwa jumlah anggota yang relatif kecil atau terbatas sangat berpengaruh terhadap efektivitas sebuah kolaborasi atau jaringan yang mengambil bentuk self-governance. Model lead organization ditandai dengan adanya entitas administratif (dan juga manajer yang mengelola jejaring) sebagai anggota jejaring atau penyedia pelayanan. Model ini sifatnya lebih tersentralisir dibandingkan dengan model self govenance. Kelebihannya, model ini bisa efisien dan arah jaringannya jelas. Namun, masalah yang dihadapi dalam model ini adalah adanya dominasi oleh lembaga utama (lead organization), dan kurang adanya komitmen dari para pemangku kepentingan yang tergabung dalam jejaring. Disarankan juga agar jejaring lebih optimal, para anggota dalam jejaring sebaiknya cukup banyak (Milward and Provan, 2007 dalam
  • 37. 37 Sudarmo, 2011). Keefektifan model ini mengandalkan dukungan dari pemangku kepentingan atau anggota lainnya dalam menjalankan aktivitasnya, sehingga semakin banyak dukungan semakin efektif sebuah kolaborasi yang mengadopsi model ini. Namun demikian, jejaring tidak boleh membentuk hirarki karena justru tidak akan efektif, dan struktur jejaring harus bersifat organis dengan struktur organisasi jejaring yang serata mungkin, yakni tidak ada hirarki kekuasaan, dominasi dan monopoli; semuanya setara baik dalam hal hak, kewajiban, tanggung jawab, otoritas dan kesempatan untuk pencapaian tujuan bersama (Jones , 2004 dalam Sudarmo, 2011). Model network administrative organization ditandai dengan adanya entitas administratif secara tegas, yang dibentuk untuk mengelola jejaring, bukan sebagai penyedia layanan dan pengelolanya memperoleh gaji. Model ini merupakan campuran model self-governance dan model lead organization. b. Komitmen terhadap Tujuan Bersama (commitment to a common purpose), mengacu pada alasan keberadaan sebuah jejaring yaitu perhatian dan komitmen untuk mencapai tujuan positif. Tujuan ini biasanya terlihat dalam misi umum suatu organisasi pemerintah. c. Saling Percaya diantara Pemangku Kepentingan (trust among the participants) yang terangkai dalam jejaring. Saling percaya didasarkan pada hubungan profesional atau sosial; keyakinan bahwa para pemangku kepentingan memercayakan pada informasi atau usaha dari pemangku kepentingan lainnya dalam suatu jejaring untuk mencapai tujuan bersama. Bagi lembaga pemerintah, unsur ini sangat penting untuk meyakini terpenuhinya mandat legislatif atau aturan dan mitra sesama pemerintah maupun mitra non-pemerintah dapat dipercaya untuk menjalankan kegiatan yang telah disetujui bersama. Jika terjadi saling curiga dan bahkan saling memfitnah, menjadi bukti bahwa kolaborasi telah berada di ambang titik akhir. Vangen and Huxham (2003) menyatakan bahwa kepercayaan dan rasa hormat adalah penting jika kolaborasi ingin sukses. d. Tata kelola (governance) termasuk: (i) saling percaya diantara para pemangku kepentingan, (ii) terdapat syarat keterlibatan, (iii) kesepakatan aturan main yang jelas, dan (iv) kebebasan menentukan cara kolaborasi. Sebuah kolaborasi dapat berlangsung lancar ketika terdapat kepastian atau kejelasan dalam tata kelola, yang setidaknya mencakup (i) batasan dan kekhususan (boundary dan exclusivity), yang menegaskan keanggotaan; yang menunjukkan kejelasan keikutsertaan dalam jejaring dan luar jejaring; (ii) aturan (rules) yang menegaskan sejumlah pembatasan perilaku anggota komunitas berikut ancaman perilaku menyimpang (tidak sesuai atau bertentangan dengan kesepakatan yang telah disetujui bersama); dengan demikian terdapat aturan main yang jelas terhadap kegiatan yang diperbolehkan, terdapat ketegasan terhadap penyimpangan batas kesepakatan. Hal ini menegaskan bahwa dalam kolaborasi terdapat aturan main yang disepakati bersama oleh seluruh pemangku kepentingan yang menjadi anggota dari jejaring tersebut; hal yang harus dilakukan dan tidak dilakukan sesuai aturan main yang disepakati (iii) Penentuan Sendiri (self determination), yakni kebebasan untuk menentukan cara dan siapa menjalankan jejaring; ini berarti bahwa model kolaborasi yang dibentuk menentukan cara
  • 38. 38 kolaborasi. Dengan kata lain, cara kerja sebuah kolaborasi ditentukan oleh model kolaborasi yang diadopsi; (iv) pengelolaan jejaring (network management) yakni berkenaan dengan resolusi penolakan/tantangan, alokasi sumberdaya, kendali kualitas, dan pemeliharaan organisasi. Merupakan penegasan ciri sebuah kolaborasi yang efektif adalah dukungan sepenuhnya oleh semua anggota jejaring tanpa pertentangan dalam pencapaian tujuan, ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan memenuhi persyaratan serta ketersediaan sumber keuangan secara memadai dan berkesinambungan, terdapat penilaian kinerja terhadap setiap anggota yang berkolaborasi, dan mempertahankan tiap anggota organisasi tetap adaptif dan berjalan secara berkesinambungan sesuai dengan visi dan misinya masing-masing tanpa mengganggu kolaborasi itu sendiri. e. Akses terhadap Kekuasaan (access to authority), yakni merupakan ketersediaan ukuran, ketentuan dan prosedur yang jelas dan diterima secara luas. Jadi, tersedia aturan kewenangan yang jelas dan diterima oleh para pemangku kepentingan untuk menjalankan peran sesuai kewenangannya. f. Berbagi Tanggungjawab (distributive accountability/responsibility) yakni berbagi tata kelola (penataan, pengelolaan, secara bersama-sama dengan pemangku kepentingan lainya) dan berbagi sejumlah pengambilan keputusan kepada seluruh anggota jaringan; sehingga berbagi tanggungjawab untuk mencapai hasil yang diinginkan. Jika para anggota tidak terlibat dalam menentukan tujuan jejaring dan tidak berkeinginan membawa sumberdaya dan otoritas ke dalam jejaring, maka kemungkinan jejaring akan gagal mencapai tujuan g. Berbagi informasi (information sharing), yakni kemudahan akses bagi para anggota, perlindungan privasi (kerahasiaan identitas pribadi seseorang), dan keterbatasan akses bagi yang bukan anggota sepanjang bisa diterima oleh semua pihak. Kemudahan akses ini bisa mencakup sistem, perangkat lunak dan prosedur yang mudah dan aman untuk mengakses informasi.
 h. Akses Sumberdaya (access to resources), yakni ketersediaan sumber keuangan, teknis, manusia dan sumberdaya lainnya yang diperlukan untuk mencapai tujuan jejaring (Ervianti, 2018). Sementara secara umum indikator kesuksesan dalam proses tata kelola kolaborasi meliputi mengikutsertakan semua; transparan dan bertanggung jawab; efektif dan adil; menjamin supremasi hukum; menjamin bahwa prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat; dan memperhatikan yang lemah dalam pengambilan keputusan (Ervianti, 2018). Sebuah penelitian di Amerika menunjukkan bahwa keterhubungan diantara elemen struktur dan proses; motivasi; dan hubungan perorangan ternyata berpengaruh besar terhadap keberhasilan kolaborasi. Struktur yang terbentuk dan proses yang memudahkan mendorong terjadinya keterlibatan yang bermanfaat buat pemangku kepentingan, yang kemudian dapat menambah atau bahkan menimbulkan motivasi keterlibatan dalam kolaborasi. Demikian sebaliknya motivasi yang ada ditunjang oleh struktur dan proses yang memudahkan akan mendorong pemangku kepentingan untuk terlibat dalam kolaborasi sepenuhnya.