1. Potret Krisis Ruang Sulawesi
Working Paper
Disusun oleh:
Seknas Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP)
Makassar, SLPP Tokalekaju, SLPP Sulawesi Barat, SLPP Sulawesi Tengah, dan SLPP Sulawesi Utara
2. Pengantar
Dari kurun waktu 2003 – 2013, hampir setiap tahunnya sekitar 500.000 petani terlempar dari
tanahnya. Lahan pertanian pangan yang menghidupi 91,9 juta jiwa hanya bertambah sebanyak
2,96 persen dari 7,77 juta hektar pada tahun 1986 menjadi 8 juta hektar pada tahun 2012.
Sementara lahan perkebunan yang dimiliki sedikit orang meningkat sebanyak 144 persen, dari
8,77 juta hektar menjadi 21,41 juta hektar dalam kurun waktu yang sama (Sumber kedaulatan di
atas data yang rapuh, Kompas cetak 2 Desember 2015). Data yang disajikan oleh Kompas
tersebut menunjukan bagaimana kegagalan pemerintah Indonesia dalam memastikan dan
menjamin penghidupan petani. Pembangunan Negara yang dilandaskan pada pertumbuhan
ekonomi semata dengan mengkonversi tanah–tanah petani menjadi industri ekstraktif. Tulisan
pendek ini hendak menceritakan berbagai krisis sosial ekolgis yang terjadi di tingkat tapak. Cerita
dari temuan lapang dalam studi kasus di lima wilayah yaitu Sulawesi Barat, Tengah, Selatan dan
Utara. Krisis ekologis dan upaya penyingkiran petani dari tanahnya yang diakibatkan oleh
pertama : regulasi pemerintah daerah yang memberikan porsi lebih besar untuk investasi skala
besar. Regulasi ini secara terstruktur dilakukan melalui pengalokasian ruang yang diatur dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Cerita dari lapang menunjukan bahwa kebanyakan masyarakat mengalami proses proses
exclusion secara masiv karena efek kerusakan ekologis sebagai dampak dari industri ekstraktif
tersebut, yang paling nyata dihadirkan dalam beberapa catatan dari lapang yaitu bencana alam
(banjir) yang menimpa beberapa wilayah pasca hadirnya industri tambang maupun perkebunan
sawit. Dampak lain yaitu krisis air yang menyebabkan terganggunya pertanian masyarakat harus
dialami oleh masyarakat yang secara tidak langsung berada dilokasi tambang. Seperti halnya
yang terjadi di Maros dan Sulawesi Barat.
Bagi beberapa wilayah sawit dianggap sebagai komoditas penyumbang pendapatan yang cukup
besar bagai pemerintah daerah tetapi hal tersebut tidak terjadi di Sulawesi Barat, sawit tidak
memberikan kontribusi yang signifikan bagi masyarakat maupun pemerintah daerah, alih alih
menyebabkan konflik karena sistem mitra yang merugikan petani. Hampir terjadi disebagian
besar wilayah Sulawesi, telah terjadi penurunan jumlah areal pertanian akibat konversi lahan
produktif. Sebagian besar hasil pemetaan partisipatif yang telah dilakukan menunjukan fakta
bahwa dari total seluruh PP, 57 % nya mengalami tumpang tindih dengan ijin yang didominasi 43
% nya oleh tambang. Konsesi tambang mendapatkan porsi ijin terbanyak di Pulau Sulawesi
dengan angka mencapai 4.7 juta ha.
3. Berdasarkan hasil pengolahan data spasial ruang Pulau Sulawesi, diperoleh pembagian alokasi
ruang Pulau Sulawesi sebagai berikut; dari total luasan Pulau Sulawesi seluas 18 juta ha, 38 %
atau sekitar 7 juta ha lebih merupakan areal penggunaan lain (APL), kedua terbesar
dialokasikan untuk hutan lindung sebesar 26 % atau sekitar 4.7 juta ha yang kemudian diikuti
oleh Hutan produksi terbatas serta hutan produksi konservasi 20 % (3,7 juta ha). Sisanya diisi
oleh kawasan pelestarian dan konservasi alam sebayak 10 %.
Prosentase ruang diatas
menunjukkan porsi alokasi yang
besar bagi investasi baik dalam
kawasan maupun diluar kawasan
hutan melalui APL. Menelusuri
bagaimana dan jenis apa saja
penggunaan APL dan Kawasan
Hutan bisa menunjukan bagaimana
kerusakan ekologi maupun
penyingkiran petani dimulai yang
berujung pada krisis. Seperti halnya
cerita soal krisis di Pulau lainnya di
Indonesia. Kerusakan selalu
berawal dari pemberian konsesi
pada industri ektraktif atau perkebunan skala besar. Hal ini yang juga terjadi pada Pulau
Sulawesi, tambang dan sawit menjadi penyebab utama dalam kontribusi merusak dan
memiskinkan masyarakat. Dalam catatan triwulan BKPM pada periode 2010 – 2012,
menyebutkan sektor pertambangan dan perkebunan merupakan sektor yang dalam tiga tahun
terakhir masuk sebagai sektor dominan dalam investasi di koridor ekonomi Sulawesi.
Struktur Alokasi Ruang Sulawesi
4. Sulawesi & Izin Konsesi
Hampir separuhnya atau tepatnya sebanyak 54 % dari seluruh daratan Pulau Sulawesi telah habis
dibagi oleh ijin, baik tambang, hak guna usaha, HPH dan HTI. Tambang menempati peringkat
pertama yaitu sebanyak 25 % atau sebanyak hampir 5 juta ha. Kedua terbesar diberikan untuk
konsesi Migas sebesar 2, 2 juta ha. Kemudian diikuti oleh ijin HPH, HTI dan HGU. Pertambangan
ada di seluruh propinsi Sulawesi dengan jumlah terbesar ada pada propinsi Sulawesi tengah dan
Sulawesi Tenggara.
Tabel 1. Jenis Konsesi Ekstraksi Sumberdaya Alam
No Konsesi Luas (Ha)
1 Tambang 4,782,990.30
2 Perkebunan Sawit 273,728.98
3 IUPHHKHA/HPH 1,679,532.53
4 IUPHHKHB/HTI 456,130.63
5 HGU 334,119.13
6 MIGAS 2,611,702.56
Total 10.138.204,13
5. Tambang di Bumi Celebes
Dari sumber data yang diperoleh
mengenai jumlah dan luas konsensi
Minerba di Sulawesi hingga tahun 2013,
tercatat terdapat hingga 1.256 IUP yang
telah dikeluarkan dengan total luas
mencapai 4.629.325,25 Ha. Dari seluruh
konsensi minerba yang ada di Sulawesi
pada data yang telah dikompilasi
tersebut, lima (5) konsensi
pertambangan terluas adalah
pertambangan 1) Emas; 2) Nikel; 3) Besi;
4) Logam Dasar; dan 5) Batubara (lihat
tabel 4). Sedangkan lima (5) jumlah
konsensi terbanyak adalah untuk
komoditas 1) Nikel; 2) Emas; 3) Batuan,
Batu Andesit, Kerikil, Pasir & Tanah
Tabel 2. Jumlah & Luas Konsensi Minerba di Sulawesi
No. IUP & KK
Jumlah
Konsensi
Luas Konsensi
(Ha)
1 IUP Sulawesi Tenggara 473 993.221,93
2 IUP Sulawesi Selatan 202 246.332,44
3 IUP Sulawesi Barat 79 34.107,22
4 IUP Sulawesi Tengah 354 1.676.843,27
5 IUP Sulawesi Utara 94 239.107,24
6 IUP Gorontalo 41 246.674,45
7 IUP Lintas Propinsi 1 44.067,00
8 Kontrak Karya 12 548.971,70
Total 1.256 4.629.325,25
Sumber Data diolah oleh ARC, 2012 :
ĄĹ
Ô
Ľ
Į Ń Đ Ĺ
ŃĮ Ò
Ī Ï H
RPQ
Q
-2013) Rekapitulasi dan Verifikasi IUP Tahap I
Bulan Juni 2011 s/d Tahap VIII Bulan Januari 2013
Æ
Č
ĔČČ
Ńİ ŇŃĮ Ó
Ĺ
Ï H
RPQ
SI Daftar Izin Usaha Pertambangan Yang Telah
Dikeluarkan Per Bulan Maret 2011, diakses di http://eiti.ekon.go.id
pada tanggal 6 Juni 2013
ĄĹ
Ô
Ľ
Į Ń Đ Ĺ
ŃĮ Ò
Ī Ï H
RPQ
Q
I Indonesia Mineral and Coal Mining Company
Profile 2011, Jakarta, Ditjen Minerba Kementerian ESDM
Timbunan; 4) Besi; dan 5) Aspal. Jika melihat antara tabel 4 dan 5 serta membandingkan
mineral logam sebagai komoditas pertambangan primer dan sekunder yang ada pada kedua
tabel tersebut maka jelas terlihat bahwa Emas, Nikel, dan Besi merupakan komoditas tambang
mineral logam penting dalam usaha eksplorasi dan eksploitasi pertambangan di Sulawesi
hingga saat ini.
Tambang dan dampaknya terhadap Kesehatan Masyarakat
Penderita ISPA hingga tahun 2013 di Kabupaten Maros meningkat hingga jumlah 10.885 orang. Sementara
berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Puspaham & Walhi Sultra, menunjukan peningkatan jumlah
penderita Infeksi saluran pernafasan, TB Paru – Paru selama periode 2005 - 2009. Pada tahun 2009 saja, di
kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka, jumlah pengidap ISPA mencapai 20.588. Hal ini seiring dengan
praktek tambang. Sama hal nya yang terjadi di Kabupaten
Ditjen Minerba (2011-2013)
EITI Indonesia (2013)
Ditjen Minerba (2011)
6. Sawit & Kerusakan Lingkungan
Konsesi untuk perkebunan besar khususnya sawit mengalami kenaikan hampir di seluruh
wilayah di Indonesia dan termasuk di Pulau Sulawesi. Berdasarkan luasan penguasaan
perkebunan besar seluruh Indonesia, pada tahun 2008 didominasi oleh perkebunan sawit yang
diperkirakan mencapai 79% atau sekitar 4,5 juta ha. Sementara dari total luasan perkebunan
sawit, 61% dikuasai oleh perkebunan besar, dan sisanya dikuasai oleh rumah tangga petani (39%)
(Booth 2012). Menurut data Ditjen Perkebunan, areal perkebunan kelapa sawit tersebar di 17
provinsi meliputi wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Sektor industri minyak kelapa sawit
(Crude Palm Oil/CPO) Indonesia
terus tumbuh pesat dari tahun ke
tahun. Hingga saat ini Indonesia
masih menempati posisi teratas
sebagai negara produsen CPO
terbesar dunia, dengan produksi
sebesar 21,8 juta ton pada 2010. Dari
total produksi tersebut diperkirakan
hanya sekitar 25% sekitar 5,45 juta
ton yang dikonsumsi oleh pasar
domestik. Sebagai penghasil CPO
terbesar di dunia, Indonesia terus
mengembangkan pasar ekspor baru
untuk memasarkan produksinya dan
memperbesar pasar yang sudah ada.
Misalnya Pakistan, Bangladesh, dan
Eropa Timur serta China.
7. Data statisik pertanian menunjukan trend perluasan areal sawit Sulawesi yang fluktuatif yaitu
kenaikan dan penurunan angka perluasan areal perkebunan sawit. Secara konsisten, propinsi
Sulawesi Tengah mengalami peningkatan perluasan areal sawit termasuk Sulawesi Tenggara,
tetapi perluasan paling tinggi ada di propinsi Sulawesi Tengah. Pada tahun 2013, Sulawesi
Selatan yang mengalami penurunan perluasan areal sawit. Peta sebaran sawit menunjukan
bahwa sebaran perkebunan sawit juga berbanding lurus dengan konflik.
Tambang, Sawit dan Bencana
Petani di dua desa disekitar tambang PT Semen Bosowa yaitu Desa Tukamasea dan Desa Baruga terpaksa
menjual lahan pertanianya karena lahan pertaniannya tidak bisa lagi ditanami. Desa Salenrang, Kelurahan
Leang
-leang, Desa T
ukamasea dan Desa Baruga mulai kesulitan mendapatkan air, baik untuk irigasi maupun
untuk untuk dikonsumsi . Data luas lahan pertanian milik masyarakat per 2010 menunjukan penurunan
yang signifikan, selama kurang lebih 6 tahun lahan masyarakat yang telah berkurang di Kabupaten Maros
seluas 6.635 ha.
Praktek perkebunan sawit di Mamuju Utara telah menyebabkan tercemarnya sungai karena limbah yang
diberasal dari pabrik CPO. Masyarakat mengakui pasca adanya sawit;Sungai Bayu, Sungai Pedanda, Sungai
Moi dan Sungai Pasangkayuberair keruh dan berwarna coklat sepanjang tahun sementara ikan– ikan lokal
“Massapi” yang biasa ada, saat ini telah menghilang.
Cerita dari Lapang
Tambang, Sawit dan Kerusakan DAS Sulawesi Barat
Luas Sulawesi Barat mencapai
1,660,370.71, dengan total Izin
Usaha Pertambangan mencapai
71 izin dengan total luasan
472.895,87 ha. Selain IUP,
Sulawesi Barat memberikan ijin
perkebunan sawit mencapai 19
kepada perusahaan perkebunan
sawit dengan total luasan
101.595,35 ha. Sulawesi Barat
memiliki Daerah Aliran Sungai
(DAS) sebanyak 153. Dengan
praktek perkebunan sawit
sekala luas di Sulawesi Barat
telah terbukti mencemari sungai
yang ada di Sulawesi Barat.
Berdasarkan peta analisis
dihasilkan bahwa 19 DAS
dengan total luasan 901.410,71 ha terancam tercemar khususnya oleh limbah yang dihasilkan
oleh pabrik CPO. Sementara, DAS yang terancam oleh praktek industri ektraktif tambang
diperkirakan seluas 1.025.922,66 ha yaitu meliputi 60 DAS yang berada di Sulawesi Barat.
8. Sulawesi Tenggara : Pulau kecil dalam genggaman tambang
Pulau Wawonii
memiliki luas hanya
1.513,98 km, oleh
karenanya masuk
dalam kategori
Pulau Kecil.
Sementara
Pemerintah Daerah
Kabupeten Konawe
menetapkan 18 IUP
yang berlaku
dengan luas total,
salah satunya yaitu
IUP PT. Derawan
Berjaya Mining
berdasarkan SK
Bupati Konawe
Nomor:63/2007, luas
IUP: 10.070 ha, dan 342,17 ha terindikasi masuk dalam kawasan hutan lindung. Walhi Sulawesi
Tenggara mencatat bahwa izin ini tidak saja akan merugikan masyarakat tetapi berpotensi besar
menghasilkan bencana ekologis. Mengingat Pulau Wawonii merupakan pulau kecil dengan
ketrebatasan wilayah dan air, hal ini akan berdampak pada terancamnya ketersediaan produksi
pangan.
9. Tambang Maros
Keseluruhan luas Maros mencapai 146.177,42 ha, dengan pembagian ruang diantaranya Hutan
Lindung sebesar 10 %, Hutan Produksi 10,5 %, HPT 6.5 %, Taman Nasional mencapai 20%.
Sementara izin tambang yang diberikan oleh Pemerintah Daerah mencapai 9.668 ha. Dari
luasan izin tersebut 53 % mengambil ruang Hutan Produksi yaitu seluas 5170 ha sementara
tambang juga mengambil alokasi hutan lindung sebesar 14 % atau sama dengan 1.398 ha dan
Hutan Produksi terbatas seluas 504.99 ha atau sekitar 5 %.
Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Utara yang ditetapkan tahun
2014 semakin mempertegas bahwa daerah ini merupakan 'surganya' penambang emas.
Sebanyak 7 (tujuh) wilayah diperuntukkan sebagai kawasan pertambangan yakni 1). Tapal
Batas Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Manado. 2). Tapal batas Kabupaten Minahasa
Utara dan Kota Bitung. 3). Tapal batas Kabupaten Minahasa Utara dan Kabupaten Minahasa.
4). Tapal Batas Kabupaten Minahasa Tenggara dan Kabupate Minahasa Selatan. 5). Tapal
batas Kabupaten Minahasa Tenggara dan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. 6). Tapal
Batas Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dan Bolaang Mongondow Selatan dan 7). Tapal
Batas Kabupaten Bolaang Mongondow dan Kota Kotamobagu. Sejak tahun 2010 hingga saat
ini, sebanyak 74 % dari total propinsi Sulawesi Utara telah dikapling untuk pertambangan emas.
Emas di Semenanjung Minahasa
10. Secara keseluruhan dari ± 1.395,610 hektar luas wilayah bagian timur Sulawesi Tengah telah
diserahkan untuk dikuasai oleh 115 izin konsesi dengan luasan mencapai 846.045 hektar yang
beroperasi di dalam kawasan hutan dan APL serta Wilayah Transmigrasi dan KTM. Dimana areal
transmigrasi dan KTM yang diklaim konsesi tersebut seluas 196.098 hektar. Olehnya, kebijakan
pada sektor ini telah menyisahkan 549.565 hektar atau 39 dari luas total bagian timur Sulawesi
Tengah. Dengan pembagian 396.283 hektar hutan yang tersisa dan 153.997 hektar lahan yang
yang tersisa dimana didalammya merupakan ruang kelola rakyat.
Wilayah Kelola Rakyat dan Penyingkiran Petani
Hasil Pemetaan Partisipatif (PP) di Pulau Sulawesi yang terdokumentasi seluas 829.659 ha yang
sebagian besar tersebar di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil tumpang
susun wilayah pemetaan partisipatif dengan semua ijin konsensi yang ada di Pulau Sulawesi
diperoleh hampir setengah dari wilayah PP tersebut tumpang tindih atau sekitar ijin konsesi
pertambangan, migas, perkebunan dan kehutanan. Sekitar 43.5 % wilayah masyarakat yang
tumpang tindih dengan ijin tambang, 6 % tumpang tindih dengan ijin migas, 4.3 % tumpang tindih
dengan HGU termasuk didalamnya ijin perkebunan sawit dan HPH sebesar 3 %.
Proses pelepasan atau penurunan produktivitas petani terhadap lahan tidak hanya disebabkan
secara langsung oleh peng-kaplingan ruang untuk ijin atau penetapan kawasan hutan,
melainkan turut disebabkan dari dampak pengelolaan ijin usaha ektraksi sumberdaya alam skala
luas yang mendorong terjadinya bencana alam maupun krisis air.
Krisis Lahan Bagian Timur Sulawesi Tengah
²Apa dan bagaimana proses penyingkiran dan/atau pelepasan petani dari wilayah kelola dapat dibaca pada laporan
lapangan yang ditulis SLPP se-Sulawesi.
11. Seperti diketahui, 60% rumah tangga di Sulawesi merupakan rumah tangga pertanian dimana
26,04% merupakan rumah tangga buruh tani. Dari hasil pengolahan data sebaran persentase
keluarga pertanian, keluarga buruh pertanian, dan ijin IUP menunjukkan adanya korelasi yang
cukup signifikan perubahan sumber pendapatan utama rakyat pedesaan akibat perluasan
konsesi industri ekstraktif skala luas. Pada sebagian kasus, kehadiran konsesi industri
ekstraktif menyebabkan penurunan jumlah rumah tangga pertanian disatu sisi dan disisi lain
menambah jumlah keluarga buruh tani di pedesaan.
12. Rekomendasi Kebijakan Pemulihan Krisis atas Ruang
1. Meminta agar Pemerintah Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota segera menyelesaikan
tumpang tindih alokasi ruang, dan konflik agraria akibat kebijakan dan praktek ekstraksi
sumberdaya lahan di wilayah kelola masyarakat.
2. Segera dibentuk badan penyelesaian konflik ruang dan sumberdaya alam dan revisi
RTRWP dan RTRWK di tingkat Propinsi yang bersifat ad-hoc dan sistematis.
3. Melibatkan secara penuh partisipasi rakyat dan organisasi masyarakat sipil di wilayah
konflik dalam menata ulang hak penguasaan dan pengelolaan wilayah kelola dan
sumberdaya alam secara lestari dan berkelanjutan.
4. Perlunya komitmen politik pemulihan krisis atas ruang tertuang dalam dokumen
kebijakan dan RPJMD di suluruh pemerintah daerah.
5. Mendorong agar seluruh instansi pemerintah terkait di tingkat pusat dan daerah untuk
dapat mengintegrasikan peta dari hasil pemetaan patisipatif dan perencanaan tata guna
lahan berkelanjutan secara partisipatif dalam perumusan perencanaan pembangunan
wilayah.