2. Perencanaan Penggunaan
Lahan Berkelanjutan (PPLB) di
Kecamatan Timpah dan Rampi
Jaringan Kerja Pemetaan
Partisipatif
Penulis :
Riza Harizajudin
Dewi Sutejo
Ade Ikhsan
Rahmat Sulaiman
Hamsaluddin
Andi Inda Fatinaware
Working Paper
4. 3
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
Daftar Isi
EXECUTIVE SUMMARY 6
I. PENDAHULUAN 8
II. METODE PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN 12
II.1. Tahap Pertama: Pengumpulan Data Dan Pengolahan............................................................13
II.1.1 Sosial Ekonomi....................................................................................................................................15
II.1.2. Kewilayahan dan Land Tenure...........................................................................................................15
II.1.3. Adat dan Kelembagaan.....................................................................................................................15
II.1.4. Bio-fisik...............................................................................................................................................16
II.1.5. Kebijakan...........................................................................................................................................16
II.1.6. Perencanaan Daerah..........................................................................................................................17
II.2. Tahap Kedua: Analisis Data....................................................................................................17
II.3. Tahap Ketiga: Integrasi...........................................................................................................17
II.4. Peningkatan Kapasitas............................................................................................................18
III. KARAKTERISTIK SOSIAL-EKOLOGI WILAYAH 20
III.1. Kecamatan Timpah................................................................................................................20
III.1.1 Karakteristik Biofisik Wilayah Timpah.................................................................................................20
III.1.2 Kependudukan dan Sosial Ekonomi Warga.......................................................................................21
III.1.3 Sistem Penguasaan dan Pemanfaatan Lahan Komunitas...................................................................22
III.2. Kecamatan Rampi..................................................................................................................23
III.2.1 Karakteristik Biofisik Wilayah Rampi...................................................................................................23
III.2.2 Kependudukan dan Sosial Ekonomi Warga.......................................................................................23
III.2.3 Sistem Penguasaandan Pemanfaatan Lahan Komunitas....................................................................25
IV. ANALISIS PPLB DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI 28
IV.1. Kebijakan Penataan Ruang.....................................................................................................28
IV.2. Tingkat Kesesuaian Penggunaan Lahan.................................................................................29
IV.2.1. Kecamatan Timpah...........................................................................................................................29
IV.2.2. Kecamatan Rampi.............................................................................................................................34
IV.3. Perencanaan Ruang (PPLB) di Tingkat Komunitas..................................................................38
IV.3.1. Kecamatan Timpah...........................................................................................................................38
IV.3.2. Kecamatan Rampi.............................................................................................................................39
IV.4. Integrasi PPLB/SLUP dan Kebijakan RT RW Kabupaten........................................................40
IV.4.1. PPLB/SLUP dan Draft RTRWK Kapuas, Kalimantan Tengah..............................................................40
IV.4.2. PPLB/SLUP Rampi, Luwu Utara Sulawesi Selatan..............................................................................41
V. PENUTUP 42
Kesimpulan....................................................................................................................................42
Rekomendasi.................................................................................................................................42
Daftar Pustaka................................................................................................................................43
5. 4 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
Working paper ini terselesaikan dengan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu Jaringan
Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) menyampaikan terima kasih kepada Tim Peneliti yang
terdiri dari Riza Harijazudin, Handiman Rico, dan Andi Inda Fatinaware. Tim Pendamping SLUP
yang terdiri dari Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Tokalekaju, Perkumpulan Walacea,
SLPP Kalimantan Tengah, POKKER SHK dan Yayasan Petak Danum (YPD). Tim Pengolah Data
Spasial Ade Ihkzan, Rahmat Sulaiman, dan Hamsaluddin. Secara khusus ucapan terima kasih
ditujukan kepada Masyarakat Rampi dan Timpah, Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu Utara,
Sulawesi Selatan dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada OXFAM NOVIB atas dukungan pelaksanaan
Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan di dua kabupaten.
Dokumentasi
SLUP,
2014
UCAPAN TERIMAKASIH
7. 6 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
EXECUTIVE SUMMARY
Perencanaan penggunaan lahan merupakan proses yang kompleks, beragam bentuk dan melibatkan
proses politik yang rumit. Konteks Indonesia, perencanaan dan distribusi alokasi tata guna lahan
tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pada prakteknya, kebanyakan penyusunan
RTRW Kabupaten seringkali tidak melihat kondisi faktual masyarakat. Alih-alih mendatangkan keadilan
ruang bagi masyarakat, penyusunan RTRW Kabupaten sebagaimana diatur dalam UU No.26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang dijadikan sebagai arena pembagian konsesi bagi investasi skala besar.
Disisi lain, komunitas peDesaan telah memiliki konsep ruang tersendiri berdasarkan pengetahuan dan
kearifan setempat yang seharusnya bisa dijadikan sebagai acuan dalam proses penyusunan RTRWK.
Konsep dan praktek penggunaan ruang komunitas harus diakomodir dalam proses penyusunan RTRW
Kabupaten, agar dapat menghasilkan RTRW yang demokratis dan mengedepankan prinsip keadilan atas
ruang. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) - sebuah lembaga non pemerintah yang memfokuskan
pada pendampingan komunitas lokal dalam pemetaan dan advokasi tata ruang - bersama komunitas
lokal di Kecamatan Timpah, Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah dan Kecamatan Rampi, Kabupaten
Luwu Utara Sulawesi Selatan telah melakukan kegiatan Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan
(PPLB). Kegiatan PPLB ini dilakukan dengan maksud mendukung dan memberi masukan kritis pada
pengaturan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan RTRW mewujudkan penggunaan dan pemanfaatan tanah agar
sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam RTRW; sertamenjamin kepastian hukum untuk menguasai,
menggunakan dan memanfaatkan lahan bagi masyarakat sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan.
Perencanaan Sustainable Land Use Planing (SLUP) atau Penggunaan Lahan Berkelanjutan (PPLB)
merupakan perencanaan penggunaan lahan dengan menekankan pada proses partisipatif,
menggunakan metode pemetaan partisipatif dan perencaan tata guna lahan yang lebih mendetail.
Proses PPLB menekankan pada lima dimensi yaitu aspek sosial, budaya, lingkungan, ekonomi dan
pemerintahan. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) dalam proses ini berlaku sebagai fasilitator
Working
Paper
2015
Dokumentasi
SLUP,
2014
8. 7
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
yang mendampingi proses perencanaan dan membangun kesepakatan, capaian serta hasil. Tahapan
dalam melakukan PPLB diawali dengan proses membangun kesepakatan di level Desa, Kecamatan
hingga kabupaten. Proses selanjutnya berupa pengumpulan data, pengolahan dan analisis yang
menghasilkan dokumen PPLB. Dokumen PPLB menjadi salah satu bahan diskusi dan acuan dalam
proses integrasi dalam RPJM Desa hingga RTRWK.
Perencanaan tata guna lahan berkelanjutan dibangun melalui pendokumentasian pengetahuan lokal
masyarakat mengenai “ruang hidupnya” mencakup sumber – sumber penghidupan dan wilayah
lindung komunitas. Hal ini untuk memastikan keberlanjutan layanan alam bagi generasi selanjutnya.
Hasil dari PPLB disusun secara sistematis dan menekankan kaidah akademik sebagai salah satu masukan
yang dapat didiskusikan serta diintegrasikan dalam dokumen RTRW. Proses membangun kesepakatan
dilakukan melalui forum diskusi ruang dari Desa, Kecamatan hingga kabupaten. Forum ini menjadi
media komunikasi, penyebaran informasi bahkan penyelesaian masalah khususnya dalam dan antar
Desa.
Dari proses PPLB di Kecamatan Rampi memberikan pengalaman soal pentingnya PPLB dalam
menjembatani proses mediasi konflik batas Desa. Pada level Kabupaten, PPLB memberikan
masukan kritis soal keberadaan masyarakat adat Rampi yang bergantung pada sumberdaya hutan
tetapi tetap mempraktekan nilai-nilai lokal yaitu Ma’bingkai. Sementara dalam RTRWK Luwu Utara,
wilayah Kecamatan Rampi masuk dalam kawasan strategis tambang. Sementara proses PPLB Timpah
memberikan masukan yang kritis terhadap draft RTRWK yang masih dibahas oleh DPRD. Sebagian
besar wilayah Timpah merupakan gambut, sementara kebijakan pemerintah daerah yang memberikan
izin sawit kepada perusahaan dianggap sebagai ancaman. PPLB menunjukan tingkat kesesuaian
penggunaan lahan masyarakat dengan draft RTRWK hanya sebesar 29%. Hal positifnya, Pemerintah
Daerah Kapuas menyambut baik masukan serta proses integrasi data PPLB dalam pembahasan draft
RTRWK. Proses ini dihasilkan melalui forum diskusi ruang yang melibatkan SKPD melalui PPLB.
Working
Paper
2015
9. 8 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
I. PENDAHULUAN
Penguasaan Ruang oleh masyarakat di Indonesia secara legal hanya diperbolehkan di luar kawasan
hutan atau sering disebut Areal Penggunaan Lain (APL). Namun pada kenyataannya APL pun sudah
banyak dibebani oleh perizinan perkebunan maupun pertambangan. Putusan MK No. 35 tahun
2012 setidaknya memberikan peluang bagi masyarakat adat karena saat ini bahwa hutan adat adalah
hutan hak dan bukan hutan negara. Namun dalam implementasinya untuk mewujudkan penguasaan
hal tersebut bukanlah hal yang mudah.Karena perencanaan atas apa, untuk apa, oleh siapa, dan
untuk siapa adalah bukan pertanyaan-pertanyaan yang netral, tetapi bersifat politis (Savitri 2012).
Kebijakan penataan ruang bersifat top down dimulai dengan penunjukan kawasan hutan dan
kemudian diturunkan menjadi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dalam prakteknya menunjukkan
perebutan ruang antara Kementerian dan pemerintah daerah.Pelibatan partisipasi masyarakat
lebih bersifat semu telah menutup peluang masyarakat yang berada di dalam atau di pinggir
kawasan tersebut untuk terlibat dalam menentukan arah pemanfaatan ruang di wilayah mereka
sendiri. Padahal, komunitas sejak lama telah memiliki model-model pemanfaatan ruang sendiri
berdasarkan kearifan lokal yang memperhitungkan karakteristik alam dan sosial-ekologi. Kearifan
lokal ini sebenarnya berpotensi besar dalam menyumbangkan dasar pemikiran pemerintah dalam
penyusunan kebijakan ruang oleh pemerintah.
Menghindari tumpang tindih klaim (konflik ruang) dan memastikan konsep dan praktek penggunaan
ruang komunitas diakomodasi dalam proses penyusunan RTRW dibutuhkan sebuah pendekatan
baru guna menghasilkan penyusunan RTRW yang demokratis dan mengedepankan prinsip keadilan
atas ruang. Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan (selanjutnya disingkat PPLB) menawarkan
perubahan paradigma pendekatan pembangunan Desa yang selama ini lebih ditentukan oleh
(kebijakan) dari pusat (top down). PPLB mendorong masyarakat menjadi subjek perencana yang
didukung oleh pemerintahan daerah. Melalui PPLB, penyelengaraan pemerintahan daerah tidak
lagi dijalankan dengan menggunakan ‘command and rule paradigm’ seperti masa lalu tetapi pada
participatory approach. Dengan memberi akses pada masyarakat seluas-luasnya untuk berpartisipasi
dalam perencanaan maka semakin tinggi rasa kepemilikan terhadap hasil-hasil pembangunan itu
sendiri.
Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan (PPLB) merupakan perencanaan penggunaan
lahan secara partisipatif yang menekankan pada lima dimensi yaitu aspek sosial, budaya,
lingkungan, ekonomi dan Kebijakan/peraturan. Perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan
mempertimbangkan batasan biospera dan kebutuhan akan keseimbangan dari aspek sosial,
budaya dan penggunaan sumberdaya secara ekonomi (Chalifour 2007). PPLB menekankan pada
optimalisasi pengelolaan lahan berkelanjutan yaitu dengan memperhatikan kemampuan lahan
berdasarkan kesesuaian pemanfaatan dan penggunaanya termasuk kemampuan/kapasitas sumber
daya. Kesesuaian lahan yang dimaksud adalah kecocokan karakteristik wilayah yang dibentuk oleh
karakteristik biofisik terhadap tanaman tertentu. Setiap wilayah memiliki tingkat kecocokan masing
– masing dengan tanaman tertentu, namun kecocokan tersebut bukan satu-satunya dasar dalam
penyusunan ruang. Aspek hukum, penguasaan faktual dan aspirasi komunitas menjadi dasar penting
lainnya dalam penyusunan.
10. 9
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) bersama komunitas lokal di Kecamatan Timpah,
Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah dan Kecamatan Rampi, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi
Selatan telah melakukan kegiatan Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan (PPLB). Kegiatan
PPLB ini dilakukan dengan maksud mendukung dan memberi masukan kritis pada proses pengaturan
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan lahan bagi kegiatan pembangunan yang sesuai dengan
RTRW; mewujudkan penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan
dalam RTRW; serta menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan dan memanfaatkan
lahan bagi masyarakat sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan.
Wilayah Kecamatan Timpah terdiri dari 9 Desa (Petak Puti’, Aruk, Lawang Kajang, Timpah, Lungkuh
Layan, Danau Pantau, Lawang Kamah, Batapah, dan Tumbang Randang) merupakan salah satu
Kecamatan yang masuk dalam rencana mega proyek ambisius food estate PLG 1 Juta Hektar. Secara
penguasaan dan pola ruang didominasi oleh kawasan hutan termasuk didalamnya cagar alam yang
menutup akses pengelolaan di wilayah tersebut. Sementara itu areal-areal non hutan sudah dikapling
untuk perizinan perkebunan kelapa sawit termasuk juga kawasan hutan produksinya. Secara sosial
masyarakat Timpah merupakan masyarakat adat yang masih kuat dalam menjalankan aturan adat.
Masyarakat masih tergantung pada sumber daya alam sekitar yaitu hutan dan sungai. Dipilihnya
lokasi Timpah dalam kegiatan ini setidaknya dapat memberikan gambaran model pengelolaan
berkelanjutan di dataran rendah bergambut yang banyak ditemui di daerah perDesaan lainnya di
Indonesia.
Wilayah Kecamatan Rampi terdiri dari 6 Desa yaitu Desa Sulaku, Leboni, Onondowa, Dodolo, Rampi,
dan Tedeboe. Kecamatan Rampi berada pada gugusan pegunungan Tokalekaju yang merupakan
pegunungan hutan purba yang masih tersisa di Sulawesi. Secara hidrologis Rampi merupakan daerah
hulu dari 4 Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu Balease, Kalaena, Lariang Hulu dan Poso. Lariang
hulu merupakan DAS terbesar di Luwu Utara juga menjadi bagian dari tiga propinsi lainya; yaitu
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.Kawasan ini memiliki fungsi strategis dalam
siklus hidrologis dan ekosistem pengunungan dataran tinggi. Masyarakat Rampi direkatkan dengan
filosofi MEBINGKA’I yang mana didalam Mebingka’i, adat, agama dan pemerintah merupakan tiga
pilar penting yang menopang keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat. Pendapatan terbesar
masyarakat Rampi berasal dari sektor pertanian, tanaman padi merupakan jenis tanaman pangan
yang paling banyak dikembangkan di Kecamatan Rampi. Rampi menjadi salah satu contoh
pembelajaran berharga bagaimana memperlakukan ruang sebagai sebuah penunjang kehidupan
yang lebih baik dan berkelanjutan bagi masa depan. Dengan dipilihnya dua lokasi sebagai site
belajar kegiatan PPLB ini diharapkan dapat menjadi alternatif rujukan kepada para pihak khususnya
pemerintah daerah dalam menyusun RTRW yang menjamin akses komunitas terhadap lahan dan
keberlanjutan ekologi setempat. Working paper ini disusun berdasarkan rekaman hasil analisis
sementara dan dokumentasi dari proses PPLB yang berlangsung di dua lokasi kegiatan. Dengan
demikian, diharapkan dokumen working paper ini dapat dijadikan bahan kajian (belajar) bersama
para pihak dan sebagai proses yang tidak terpisahkan dari seluruh rangkaian kegiatan PPLB di
Timpah dan Rampi.
13. 12 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
II. Metode Perencanaan
Penggunaan Lahan
Berkelanjutan
Gambar 2. Alur Proses Penyusunan Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan
14. 13
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
penggunaan lahan. Survei dan pengumpulan data
lapangan akan fokus pada wilayah KecamatanTimpah
dan Rampi secara sistematis akan dikaji dalam bentuk
aplikasi keruangan yang mencakup seluruh wilayah
Desa dalam batasan Kecamatan.
• Data Sekunder, sebagai bahan penunjang
kegiatan identifikasi maupun analisis akan
dilakukan pengumpulan data sekunder, data ini
meliputi data yang telah ada pada pemerintah,
LSM dan Akademisi yang pernah meneliti terkait
dengan wilayah.
• Data Primer, untuk memberikan gambaran yang
lebih nyata terhadap potensi dan permasalahan
pengelolaan sumber daya alam Desa dan
aktifitas perekonomian secara cepat digunakan
pendekatan RRA (Rapid Rural Appraisal) dengan
instrumen seperti: analisis pola ruang mencakup
peta transek profil landscape, analisa pola
waktu, profil sejarah kampung, kelender musim,
analisa pola alir meliputi diagram alir input-
output dan diagram alir dampak, analisa pola
keputusan meliputi pohon keputusan. Analisis
ini juga memerlukan data primer yang orisinil
maka pengumpulan data ini juga melakukan
wawancara mendalam (indepth interview),
dengan mengunakan interview guide dan jenis
pertanyaan (quisioner rumah tangga) dan aspirasi
rencana pengelolaan sumber daya alam menurut
perspektif masyarakat.
II.1. Tahap Pertama:
Pengumpulan Data Dan
Pengolahan
Pada tahapan awal dilakukan diskusi bersama
dengan masyarakat untuk mendeseminasikan model
perencanaan penggunaan berkelanjutan. Hal ini
dilakukan agar terbangun kesepahaman, tujuan,
perencanaan serta aksi bersama antara masyarakat
dengan fasilitator. Agar hasil perencanaan ini dapat
diterima oleh pemerintah maka penting untuk
membangun hal yang sama seperti masyarakat.
Pemerintah sebagai pengambil kebijakan keruangan
diharapkan mengetahui sejak awal bagaimana proses
ini dibangun, berperan, dan terakhir bisa menerima dan
mengadopsi hasil PPLB ini menjadi bagian kebijakan
keruangan di daerah.
Tahapan Selanjutnya yang dibangun adalah
pengumpulan data. Pemetaan partisipatif
dijadikan tools untuk menyepakati batas wilayah,
pendokumentasian kondisi kewilayah – sosial,
media untuk
memahami kondisi wilayah dan
memproyeksikannya kemasa
depan. Peta merupakan
alat yang membantu
mempermudah untuk melakukan
hal
tersebut dibandingkan tulisan maupun tabular.
Data pendukung yang dikumpulkan yaitu data primer
dan data skunder, kedua jenis data tersebut akan saling
mendukung dalam proses penyusunan perencanaan
Dokumentasi
SLUP,
2014
Identifikasi Batas Wilayah peta Desa Onondoa
15. 14 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
Berikut data yang dikumpulkan beserta sumbernya
PERTIMBANGAN PENGOLAHAN/METODE SUMBER DATA
PRIMER
SOSIAL
EKONOMI
Ekonomi Rumah Tangga Wawancara mendalam, kuisener Data Desa, Masyarakat
Mata pencaharian Kalender Musim, Wawancara, Data Desa, Masyarakat
Kependudukan Tabular, Spasial Data Desa, BPS
Kelembagaan Wawancara Data Desa, Masyarakat
KEWILAYAH
Sejarah Asal Usul Dokumentasi Spatial, Wawancara Tokoh masyarakat
Batas Wilayah Wawancara, Pemetaan
Partisipatif
Masyarakat
Sistem Kepemilikan
&Pemanfaatan lahan
Tinjau Lapangan, Diskusi
terfokus
Masyarakat
Karakteristik Lahan menurut
masyarakat
Tinjau Lapangan, Diskusi
terfokus
Masyarakat, Peta Tanah
Aturan lokal dalam pengelolaan
Sumber Daya Alam
Diskusi terfokus Masyarakat
Sarana dan Prasarana Wawancara, Pemetaan
Partisipatif
Masyarakat
ADAT
DAN
KELEMBAGAAN
Aturan Adat terkait sosial dan
pengelolaan sumber daya alam
Wawancara Kelembagaan Adat
Kelembagaan Adat Wawancara Kelembagaan Adat
Pengambilan Keputusan
terutama dalam penggunaan
lahan dan sumber daya alam
Wawancara Kelembagaan Adat
SEKUNDER
BIOFISIK
Ketinggian Analisis Spasial RBI, SRTM/DEM
Kelerengan Analisis Spasial RBI, SRTM/DEM
Iklim Analisis Spasial Klimatologi, Peta Isohyet
Jenis Tanah Analisis Spasial Puslitanak
Kedalaman Gambut Analisis Spasial Wetland, Puslitanak
Geologi Analisis Spasial Badan Geologi Kementerian
ESDM
Hidrologi (Daerah Aliran Sungai) Analisis Spasial Peta DAS Dephut
Hidrologi (Sungai) Analisis Spasial RBI 1:50.000 BIG
Morfologi Analisis Spasial Landsystem, BIG
Tutupan Lahan Analisis Spasial Citra landsat 8, Kementerian LH &
Kehutanan
KEBIJAKAN
Kawasan Hutan Analisis Spasial Kementerian LH & Kehutanan
RTRWN-RTRWP–RTRW
Kabupaten
Analisis Spasial Dirjen Penataan Ruang, Bappeda
Provinsi dan Kabupaten
Perizinan Tambang Analisis Spasial Dinas Pertambangan dan Energi,
Bappeda
Perizinan Perkebunan Analisis Spasial BPN, Dinas Perkebunan
IUPHHKHA Analisis Spasial Kementerian LH & Kehutanan
IUPHHKHT Analisis Spasial Kementerian LH & Kehutanan
Moratorium Analisis Spasial Kementerian LH & Kehutanan
PERENCANAAN
DAERAH
RPJMD Kabupaten Narasi Bappeda
RPJM Desa Narasi Desa
DATA LAINNYA, SPESIFIK DAERAH
Tabel 1. Data Primer dan Sekunder Penggunaan Lahan
16. 15
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
II.1.1 Sosial Ekonomi
Data sosial ekonomi dikumpulkan dari data primer dan
sekunder, walaupun sudah tersedia data sekunder biasa
akan dilakukan klarifikasi kembali dengan masyarakat
sehingga lebih valid. Penggalian dilakukan dengan
wawancara dengan informan kunci, survei rumah
tangga dan diskusi kelompok.
a. Ekonomi Rumah Tangga
Terkait dengan survei rumah tangga dengan
jumlah sampel 10%, penentuan sampel
ditentukan bersama dengan masyarakat secara
proporsional dengan kategori tertentu. Kategori
berdasarkan mata pencaharian masyarakat, tingkat
kesejahteraan, tingkat status sosial masyarakat.
Kategori ini bisa ditambahkan tergantung dari
kesepakatan bersama. Pengumpulan data
dilakukan oleh tim dari masyarakat yang telah
dilatih dan didampingi oleh fasilitator. Struktur
data telah dirumuskan oleh tim PPLB, namun
dalam penggaliannya bersifat terbuka.
b. Mata Pencaharian
Pengumpulan data mata pencaharian dilakukan
dengan diskusi kelompok dengan masyarakat.
Pengkategorian terdiri dari mata pencaharian
utama dan sampingan. Untuk mata pencaharian
tertentu akan dibuat lebih detail, misalnya mata
pencaharian tani. Akan diturunkan lagi pertanian
jenis apa saja kemudian proporsinya. Untuk
membantu proses diskusi akan dibuat kalender
musim dan pohon sumber kehidupan & mata
pencaharian.
c. Kependudukan
Data kependudukan diambil berdasarkan kondisi
sekarang dan 10 tahun kebelakang sebagai
pembanding. Data-data diperoleh dari Desa,
Kecamatan maupun badan statistik. Data ini
kemudian di klarifikasi bersama terutama oleh
pimpinan-pimpinan Desa. Data kependudukan
yang diambil antara lain jumlah penduduk, jumlah
keluarga, jumlah penduduk berdasarkan jenis
kelamin dan usia, jumlah penduduk yang lahir
dan meninggal, jumlah penduduk yang masuk
maupun keluar.
e. Kelembagaan
Penggalian data dilakukan dengan wawancara
dengan orang kunci, diskusi terfokus, diskusi
dengankelembagaandanpenguruskelembagaan.
Data yang dikumpulkan berupa organisasi formal
dan non formal, kedudukan kelembagaan di mata
masyarakat, peran-peran apa saja yang terkait
langsung dengan penggunaan lahan.
II.1.2. Kewilayahan dan Land Tenure
Data terkait dengan kewilayahan didapat dari
kegiatan pemetaan partisipatif, diskusi kelompok serta
wawancara dengan tokoh kunci. Kegiatan pemetaan di
Kecamatan Timpah dan Rampi sudah sebagian besar
dilakukan oleh masyarakat dengan pendampingan
oleh organisasi non pemerintah di wilayah tersebut.
Kegiatan pemetaan partisipatif merupakan sebuah
rangkaian beberapa kegiatan mulai dari deseminasi
informasi, pertemuan kampung, pelatihan pemetaan
dan penggalian data non spasial, penggalian sejarah
asal usul, pengambilan data lapangan, penggalian
model dan pemetaan penggunaan lahan, penyepakatan
batas antar Desa sampai dengan pengesahan peta.
II.1.3. Adat dan Kelembagaan
Data terkait dengan adat dan kelembagaan didapat
dari kegiatan diskusi kelompok serta wawancara
dengan tokoh kunci. Informasi pokok yang digali
bersama warga terkait filosofi adat terhadap ruang, tata
kelola ruang dan kelembagaan pengelolaan sumber
daya alam berdasarkan adat/pengetahuan lokal yang
masih berlaku saat ini dimasing-masing komunitas.
17. 16 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
II.1.4. Bio-fisik
Lahan memiliki keterbatasan dalam memenuhi harapan
manusia terhadap lahan yang ada. Penggunaan lahan
yang melampaui kemampuannya akan berdampak
penggunaan lahan tidak berkelanjutan dan akhirnya
berpotensi terjadinya bencana ekologis. PPLB
mencoba menggali pemahaman masyarakat terhadap
kondisi bio-fisik di wilayah mereka dan mengumpulkan
data sekunder biofisik serta mendiskusikannya.
Harapannyamasyarakat dapat lebih mengenal dan
memahami terhadap karakteristik biofisik wilayahnya.
Analisis fisik dan lingkungan dengan menelaah
kemampuan dan kesesuaian lahan agar penggunaan
lahan dalam pengembangan wilayah dapat
dilakukan secara optimal dan tetap memperhatikan
kesesimbangan ekosistem dan sosial. Adapun data
bio-fisik yang digali adalah:
a. Topografi
Data yang diolah berdasarkan dari peta Rupa Bumi
Indonesia dengan skala 1:50.000 Badan Informasi
Geospasial. Peta yang dihasilkan adalah sebaran
ketinggian dan kelerengan. Bentukan medan
diambil dari peta sistem Lahan dengan diverifikasi
dengan peta RBI dan oleh masyarakat.
b. Iklim
Data iklim dikumpulkan berdasarkan hasil
pengamatan di stasiun klimatologi terdekat
dengan wilayah yang direncanakan. Data yang
dikumpulkan berupa curah hujan, bulan basah,
bulan kering. Penggalian ditingkat masyarakat
dilakukan diskusi terkait waktu musim hujan –
kemarau dengan beberapa tahun terakhir.
c. Tanah
Jenis tanah yang terbentuk erat hubungannya
dengan bahan induk (geologi), lklim dan keadaan
medannya.
d. Hidrologi
Jenis data yang diolah seperti data sungai,
kanal maupun danau. Bentuk sungai dan
lainnya didapatkan dari peta RBI dan dilakukan
pengecekan melalui pemetaan partisipatif disertai
dengan pelengkapan penamaan. Data yang
lainnya yaitu delianasi daerah aliran sungai, data
didapat dari peta Daerah Aliran Sungai yang
diverifikasi dengan pengolahan dari peta RBI.
e. Sistem Lahan, tipe ekosistem dan
bentang alam
Data sistem lahan diperoleh dari pengamatan
langsung bersama warga, diskusi terarah
kelompok, wawancara dengan informan kunci
serta data sekunder yang dikeluarkan oleh badan/
dinas pemerintah terkait.
f. Tutupan Lahan
Data tutupan lahan diperoleh berdasarkan citra
satelit yang kemudian diinterpretasi dengan GIS
dan dilakukan diskusi serta cek lapangan bersama
masyarakat. Tutupan lahan juga akan membantu
proses deliniasi penggunaan lahan. Sebagai
pembanding dilakukan overlay dengan tutupan
lahan dari instansi lain seperti yang dikeluarkan
oleh pemerintah.
g. Geologi,
Data berupa peta geologi dibutuhkan untuk
mengetahui batuan dasar yang akan menjadi
tumpuan dan sumber daya alam wilayah kajian,
serta beberapa kemungkinan potensi terjadinya
bencana. Data geologi mencakup jenis batuan,
litologinya, struktur geologi.
II.1.5. Kebijakan
Data kebijakan yang dikumpulkan antara lain,
Kawasan Hutan, RTRWP, RTRWK, Ijin Konsesi, dan
kebijakan Moratorium. Data kawasan hutan dibutuhkan
untuk melihat fungsi ruang menurut kehutanan.
Fungsi ruang nantinya akan berpengaruh terhadap
hak kepemilikan dan hak kelola. Sebuah kawasan
ditetapkan sebagai kawasan hutan berarti masyarakat
hanya boleh mengelola itupun yang bukan cagar
alam. Data kawasan hutan bisa didapatkan di web gis
kementerian kehutanan maupun dari dinas kehutanan
18. 17
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
setempat. Selain itu, dalam penyusunan PPLB harus
memperhatikan RTRW Provinsi dan Kabupaten.
Data yang dikumpulkan merupakan peta-peta RTRW
dan Peraturan Daerah, data diolah dengan GIS dan
kemudian didiskusikan bersama dengan masyarakat.
Sementara data ijin konsesi dan moratorium diperoleh
data peta yang dikeluarkan oleh Kementerian
Kehutanan (saat ini bernama Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan).
II.1.6. Perencanaan Daerah
RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah) merupakan dokumen perencanaan
pembangunan daerah untuk jangka periode selama 5
( lima ) tahunan yang berisi penjabaran dari visi, misi,
dan program kepala daerah dengan berpedoman pada
RPJP Daerah serta memperhatikan RPJM Nasional1
.
Idealnya sebuah RPJMD merupakan penyerapan apa
yang dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga arah
pembangunan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
setempat. Secara umum RPJM banyak menyentuh
bagian struktur ruang dan non fisik lainnya.
RPJM Desa merupakan dokumen perencanaan
pembangunan Desa selama 6 tahun, RPJM kemudian
dijabarkan dalam rencana kerja pemerintahan Desa.
Menurut aturannya RPJM disusun secara partisipatif
bersama masyarakat. Harapannya RPJM merupakan
jabaran kebutuhan riil dimasyarakat dan merupakan
kebijakan di tingkat supra Desa.
Data yang didapat menjadi review dan sinkronisasi
dengan perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan.
RPJM Desa yang umumnya membahas pembangunan
infrastruktur dan peningkatan kapasitas masyarakat
akan menjadi analisis apakah sudah sesuai dengan
PPLB, apakah perencanaan infrastruktur sudah
memenuhi kebutuhan minimal sebuah pola ruang.
Analisis dilakukan bersama antara pemerintah dan
masyarakat.
1 Pasal 1 Angka 4 UU Nomor 17 Tahun 2007 Tentang ” Ren-
cana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-
2025 ”
II.2. Tahap Kedua:Analisis Data
Masyarakat bersama fasilitator merumuskan kesesuaian
lahan dengan kondisi biofisik. Ada beberapa faktor
yang bisa dijadikan masyarakat sebagai indikator
seperti warna tanah dan jenis tanahnya, letak/lokasinya
dapat dilihat dari topografinya, misalnya wilayah
dataran/rata, perbukitan, dan hutan.
II.3. Tahap Ketiga:Integrasi
Integrasi merupakan tahapan yang menentukan capaian
dan target dari akhir proses SLUP. Integrasi dilakukan
dalam tiga ranah yaitu pada level Desa, antar Desa
– Kecamatan dan muara akhirnya pada pemerintah
daerah. Proses ini dilakukan dengan melakukan
pembentukan forum ruang dan pertemuan secara
berkala dalam mendiskusikan berbagai masalah terkait
“ruang”. Forum memiliki anggota yang merupakan
perwakilan dari masyarakat yaitu tokoh masyarakat,
tokoh adat, aparatur Desa dan perempuan.
a. Integrasi di dalam Desa
Dokumen SLUP yang telah dihasilkan melalui
tahap pertama dan kedua dapat menjadi bahan
dan dasar dalam penyusunan RPJM Desa. Jika
RPJMDes telah tersedia maka dokumen SLUP
berfungsi sebagai bahan evaluasi bersama apakah
dokumen yang telah disusun telah sesuai dengan
kebutuhan serta aspirasi masyarakat. Dokumen
yang termasuk di dalamnya peta menjadi acuan
bersama dalam perencanaan Desa karena dapat
memperlihatkan data yang cukup baik spasial
maupun non spasial dengan proses partisipatif
didalamnya sehingga menghindari konflik antar
warga.
b. Integrasi dan Sinkronisasi antar Desa
Setelah proses kesepakatan selesai pada
tingkat kampung, maka tahapan selanjutnya
adalah membangun kesepakatan antar Desa
untuk mensinkronisasi data dalam satu cakupan
Kecamatan. Proses ini menghadirkan perwakilan
masing–masing Desa. Agar mempermudah
19. 18 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
proses komunikasi antar Desa dan kabupaten,
forum tata ruang level Kecamatan dibutuhkan
sebagai media komunikasi. Forum ini yang akan
berfungsi sebagai forum diskusi “ruang” serta
menjadi corong komunikasi kepada pemerintah
daerah khususnya terkait pemantauan dan
evaluasi kebijakan penataan dan pemanfaatan
ruang daerah. Forum komunikasi tata ruang
dilevel Kecamatan membantu memfasilitasi
penyelesaian konflik batas Desa di Kecamatan
Rampi dan Timpah. Selain itu, menjajaki peluang
skema pengelolaan hutan yang ada.
C. Integrasi Kebijakan Kabupaten
Muara akhir SLUP harus ada pada integrasi dalam
rencana tata ruang kabupaten/propinsi. Untuk
mencapai integrasi, diperlukan beberapa tahapan.
Yaitu, Pertama; proses mempromosikan SLUP
kepada pemerintah daerah yang dilakukan melalui
keterlibatan perwakilan pemerintah daerah dalam
kegiatan inisiasi SLUP. Kedua; menyampaikan
dokumen SLUP kepada pemerintah daerah
melalui workshop hasil. Ketiga; pelatihanSLUP
atau perencanaan tata guna berkelanjutan
bagi pemerintah daerah yang mencakup SKPD
setempat (Bappeda, Dinas Kehutanan, Dinas
Pertanian dan Perkebunan, Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desa/Kelurahan, dan lainnya).
Pelatihan ini dalam rangka memastikan pemerintah
daerah mengetahui terminologi dan metodologi
SLUP yang memungkinkan proses integrasi
dengan RTRWK. Dan keempat; memfasilitasi atau
mengintegrasikan pembentukan forum ruang
dilevel kabupaten. Tahapan ini dilakukan melalui
proses komunikasi/lobi, advokasi yang intensif
dengan pemerintah daerah. Dua opsi yang
ditawarkan adalah pertama membentuk forum
tata ruang Kabupaten yang melibatkan SKPD
serta perwakilan masyarakat dan NGO. Forum
ini mengintegrasikan Badan Koordinasi Penataan
Ruang Daerah yang telah ada dengan forum yang
diinisiasi oleh masyarakat dan NGO lokal. Opsi
kedua yaitu dengan melakukan pertemuan secara
rutin dalam rangka memastikan perencanaan tata
guna lahan masyarakat menjadi salah satu fokus
dalam rencana kerjanya.
II.4. Peningkatan Kapasitas
Peningkatan kapasitas, berbagi pengetahuan dan
keterampilan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dalam setiap proses PPLB. Partisipasi masyarakat untuk
mengikuti proses PPLB akan menjadi lebih baik dengan
pengetahuan dan keterampilan yang mencukupi.
Peningkatan kapasitas dilakukan diberikan kepada
masyarakat, tokoh adat, aparat pemerintah Desa –
Kecamatan – kabupaten serta NGO lokal. Harapan
besar, PPLB tidak berhenti pada program ini saja
namun bisa diteruskan oleh masyarakat dalam proses
pelaksanaan, review, pemantauan dan evaluasi. Bagi
pihak pemerintah, diharapkan pengetahuan dan
keterampilan dapat memacu mereka untuk melakukan
hal sama di daerah lain. NGO lokal yang terlibat
diharapkan memiliki kemampuan yang sama agar
diwaktu mendatang bisa memfasilitasi daerah lainnya.
Peningkatan kapasitas dilakukan secara formal dan
informal. Pelatihan formal yang dilakukan seperti
pelatihan pemetaan partisipatif, penggalian dan
analisis sosial ekonomi, pembuatan profil Desa,
pelatihan PPLB, pelatihan GIS dasar untuk pemerintah
kabupaten.Pelatihan non formal dilakukan melalui
pendampingan, asistensi dan diskusi terfokus. Dalam
melakukan peningkatan kapasitas, kesimbangan
gender menjadi perhatian utama.
Dokumentasi
SLUP,
2014
Pelatihan GIS bersama SKPD Luwu Utara
21. 20 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
III. Karakteristik
Sosial-Ekologi
Wilayah
III.1. Kecamatan Timpah
Kecamatan Timpah berada di Kabupaten Kapuas
Provinsi Kalimantan Tengah terdiri dari 9 Desa yaitu (1)
Petak Puti’, (2) Aruk, (3) Lawang Kajang (4) Timpah (5)
Lungkuh Layan, (6) Danau Pantau, (7) Lawang Kamah (8)
Batapah(9) Tumbang Randang. Kecamatan ini memiliki
kekhasan tersendiri dari segi biofisik dan kondisi sosial.
Berada di dataran rendah yang cenderung datar dengan
lahan yang didominasi gambut. Akses untuk mencapai
ibukota Kecamatan dari ibukota Kabupaten dapat dilalui
dengan jalur darat yang sudah teraspal baik dengan
bisa dilewati oleh kendaraan roda empat sepanjang
tahun. Selain dari jalur darat, ibukota Kecamatan dapat
ditempuh dengan jalur sungai Kapuas, namun jalur ini
sudah mulai ditinggalkan.Hampir semua Desa sudah
dapat dilewati oleh kendaraan roda empat walaupun
sebagian masih merupakan jalan tanah.
Wilayah Kecamatan Timpah merupakan salah satu
Kecamatan yang masuk dalam bencana besar proyek
ambisius food estate PLG 1 Juta Hektar. Secara
penguasaan dan pola ruang didominasi oleh kawasan
hutan termasuk didalamnya cagar alam yang menutup
akses pengelolaan di wilayah tersebut. Sementara
itu areal-arean non hutan sudah di kapling untuk
perizinan perkebunan kelapa sawit termasuk juga
kawasan hutan produksinya. Secara sosial, masyarakat
Timpah merupakan masyarakat adat yang masih kuat
menjalankan aturan adat. Masyarakat masih tergantung
pada sumber daya alam sekitar yaitu hutan dan sungai.
III.1.1 Karakteristik Biofisik Wilayah Timpah
Kecamatan Timpah berada diketinggian antara 2
-50 meter dari permukaan laut. Umumya wilayah ini
merupakan datar dan sangat landai dengan luasan
lebih dari 89%, sisanya hanya sampai miring. Wilayah ini
terletak pada daerah yang berikim panas dan lembab,
karena secara geografis masih terletak disekitar
khatulistiwa dengan curah hujan tinggi. Suhu berkisar
antara 230
C dengan maksimal 310
C . Curah hujan di
Kecamatan Timpah antara 2000 -3500 mm/tahun.
Secara garis besar, jenis tanah di Kecamatan Timpah
adalah Tanah Glei, Podsol, Podsolik, Organosol
(umumnya merupakan gambut).Tingkat keasaman
tanah di wilayah ini terdiri dari extremely acid (4.0-4.5),
strongly acid (5.1-5.5) dan very strongly acid (4.6-5.0).
Sedangkan pada bagian bawah ditemukan keasaman
tanah excessively acid (<4.0), extremely acid (4.0-4.5),
strongly acid (5.1-5.5) dan very strongly acid (4.6-5.0).
Gambut secara khusus dibahas di Kecamatan Timpah
karena kawasan ini terdapat kurang lebih 71 ribu
lahan gambut. Kedalaman gambut didaerah ini mulai
dari 50 cm sampai dengan lebih dari 300 cm dengan
yang terluas antara 100-200 cm sekitar 57%, 50-100
cm sekitar 29%, kedalam lebih 300 cm hanya 1% saja.
Gambut menjadi faktor pembatas dalam pemanfaatan
lahan oleh masyarakat. Pemanfaatan untuk budidaya
hanya mampu di kedalaman sampai dengan 100 cm
itupun harus dilihat lagi lapisan bawahnya.
22. 21
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
Kecamatan Timpah masuk dalam dua DAS yaitu
Kapuas dan bagian kecil dari Barito. Sungai Kapuas
merupakan sungai utama yang melintasi Kecamatan
ini. Sistem hidrologi buatan oleh masyarakat dengan
membuat kanal-kanal sebagai jalur transportasi ke
lahan pertanian. Ada banyak danau yang menjadi
sumber penghidupan masyarakat.
Formasi– formasi batuan induk dari Kecamatan Timpah
tergolong tua. Formasi yang ada di wilayah ini adalah
sebagai berikut : Endapan Aluvial (umumnya berada
di pinggir sungai besar), Formasi Dohoor (berada
setelah endapan Aluvial sampai dengan batas timur
barat –timur Desa) Formasi Warukin (berada dibagian
hulu), Formasi Pamuluan (Tomp). Patahan ada terdapat
di dua lokasi di Desa Betapah, patahan ini berpotensi
terjadinya tanah longsor di daerah tersebut.
Sistem Lahan di Kecamatan Timpah terdiri dari dataran,
jalur kelokan, lembah, rawa-rawa dan teras-teras (70%).
Teras-teras merupakan teras-teras berpasir tertutup
gambut dangkal dan teras-teras berpasir berombak.
Dataran terdiri dari Bawin, Tewai Baru dan Teweh
Bentukan medan rawa, secara sitem lahan terbagi
dua macam yaitu gambut yang merupakan rawa-rawa
gambut yang dalam dengan permukaan biasanya
melengkung dan Mendawai yang merupakan rawa
gambut dangkal. Umumnya berada di pinggir sungai
besar.
III.1.2 Kependudukan dan Sosial Ekonomi
Warga
Jumlah penduduk Kecamatan Timpah pada tahun
2013 berjumlah 9.548 terdiri dari 4.928 jiwa laki-laki
dan 4620 Jiwa perempuan dan 2.309 Kepala Keluarga.
Pertumbuhan penduduk belum mencapai 1%
bahkan ada Desa yang pertumbuhannya minus. Pola
pemukiman penduduk Timpah umumnya berbentuk
pola linier. Bentuk pola linier ini diperlihatkan oleh
suatu pemukiman yang berkelompok dengan pola
perkembangan membentuk dan memanjang sepanjang
tepian jalur-jalur aliaran sungai dan jaringan jalan
yang ada. Namun di Kecamatan Timpah yang umum
ditemuai adalah linier dengan mengikuti pola jalur
sungai. Sungai bagi masyarakat masih dijadikan urat
nadi lalu lintas kegiatan sosial ekonomi penduduknya.
Pemukiman yang umumnya di bantaran sungai atau
ditepi sungai merupakan karakteristik masyarakat yang
sudah temurun dilakukan. Sungai dijadikan sebagai
jalur transportasi, tempat mandi, cuci, menangkap ikan
dan aktivitas lainnya khususnya di sepanjang sungai
Kapuas.
Sarana pendidikan yang ada di Kecamatan ini terdiri
dari 9 Taman Kanak-Kanak, 16 Sekolah Dasar, 5 Sekolah
Menengah Pertama, 1 Sekolah Menengah Kejuruan
dan 1 Sekolah Menengah Atas. Sarana kesehatan
yang ada di Kecamatan ini terdiri dari 24 buah terdiri 1
Dokumentasi
SLUP,
2014
23. 22 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
Puskesmas, 8 Puskesmas Pembantu, 2 Poliklinik Desa,
10 Posyando dan 2 Poskesdes. Keberagaman dan
toleransi beragama tergambar dengan beragamnya
fasilitatas ibadah terdiri dari 4 mesjid, 3 surau, 14
gereja, 3 pura dan 6 balai kaharingan.
Mata pencaharian pokok masyarakat di Kecamatan
Timpah adalah bertani dan nelayan air tawar. Masyarakat
bertanam padi ladang dan sawah untuk pemenuhan
kebutuhan hidup mereka, selain itu juga mereka
berkebun karet sebagai sumber pendapatan. Ada
sekitar 670 lebih keluarga dengan penghasilan utama
karet. Sebagian masyarakat menjadi nelayan air tawar
sebagai mata pencaharian utama selebihnya menjadi
pencaharian sampingan. Menangkap ikan secara besar-
besaran dilakukan biasanya pada musim banjir dan
musim kemarau. Lokasi pencarian ikan di sungai, kanal
dan danau. Selain itu sebagian masyarakat juga mulai
membudidayakan ikan tawar. Menurut data statistik
tahun 2013, Kecamatan Timpah dapat menghasilkan
700 ton lebih ikan air tawar.
III.1.3 Sistem Penguasaan dan Pemanfaatan
Lahan Komunitas
Sebagian besar Masyarakat di Kecamatan Timpah
merupakan kelompok Dayak Ngaju. Dayak Ngaju
secara umum mengenal sistem lahan dan bagaimana
mereka memanfaatkannya. Misalnya Petak Katam
adalah tanah adat Dayak Ngaju berwarna kuning
muda yang berada dipinggir sungai, kemungkinan
bisa dibangun untuk permukiman masyarakat atau bisa
juga dijadikan sebagai perkebunan karet, cempedak,
durian, ramunia dan lain-lain. Adapula Petak Pamatang
sejenis tanah mineral (padat) yang bisa digunakan
untuk perladangan, tanaman rotan, karet, buah-buahan
dan lain-lain. Petak Sahep ini terdiri dari dua jenis, yang
pertama adalah tanah gambut tipis antara 50 cm – 1,5
cm, tanah ini masih bisa dijadikan tempat pertanian padi
gunung, sayur mayur, palawija dan juga bisa dijadikan
tempat perkebunan karet, rotan dan lain-lain dan tanah
sahep yang kedua adalah tanah gambut dalam diatas
dari 2 meter -16 meter, tanah gambut dalam ini tidak
bisa dimanfaatkan sebagai tempat perkebunan karet
atau pertanian, kawasan ini hanya bisa dikembangkan
tanaman hutan untuk industri, jelutung, rotan, gemur
dan jenis-jenis kayu yang cocok hidup dan yang
dianggap bermanfaat untuk kehidupan masyarakat
adat Dayak Ngaju. Petak Luwau adalah sejenis tanah
yang bergambut dalam sering terendam lama oleh
air dan bisa mencapai setengah tahun terkecuali baru
terlihat tanahnya apa bila musim kemarau panjang
yang mencapai 3 bulan-4 bulan lamanya2
.
Pemanfaatan lahan di Kecamatan Timpah terdiri dari
kawasan budidaya dan lindung. Budidaya dimanfaatkan
untuk perladangan, kebun (campuran, rotan, karet),
pemukiman, persawahan, lahan cadangan pertanian
dan perkebunan dan penggunaan untuk hasil hutan.
Kawasan lindung dimanfaatkan sebagai hutan (adat,
Desa, keramat), rawa, danau, dan lindung tradisional
lainnya. Adapun sistem kepemilikan lahan dan sumber
daya alam yang berlaku dimasyarakat secara umum
adalah sebagai berikut
• Kepemilikan individu. Lahan-lahan yang dimiliki
secara individu merupakan tanah disekitar rumah,
lahan perkebunan karet dan perkebunan lainnya.
• Kepemilikan warisan. Merupakan lahan-lahan
warisan dari orang tua namun belum dibagikan
menjadi kepemilikan individu. Umumnya tanah
ini dimiliki secara bersama oleh sebuah keluarga
• Kepemilikan kelompok. Merupakan lahan-lahan
yang dimiliki secara bersama-sama oleh kelompok
• Kepemilikan Desa. Merupakan lahan-lahan yang
belum digarap oleh masyarakat
• Kepemilikan adat
Legalitas kepemilikan lahan masih belum berupa
sertifikat. Kebanyakan masyarakat hanya memiliki
Surat Keterangan Tanah (SKT), Surat Pernyataan Tanah
(SPT), surat-surat ini dikeluarkan oleh Kepala Desa
dan Camat. Pergub No.13/2009. Damang di beri
kewenangan untuk mengeluarkan Surat Keterangan
Tanah Adat (SKTA). Bukti kepemilikan secara tradisional
dapat berupa tanam tumbuh dari tanah warisan, bekas
ladang maupun bekas tempat bekerja.
2. Disarikan dari tulisan Basri H. D di Borneoclimate
24. 23
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
III.2. Kecamatan Rampi
Kecamatan Rampi berada di Kecamatan Rampi,
Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan.
Secara administrasi dari 6 Desa yaitu (1) Sulaku,
(2) Leboni, (3) Onondowa, (4) Dodolo, (5) Rampi,
(6) Tedeboe. Kecamatan ini berada di gugusan
pegunungan Tokalekaju yang merupakan pegunungan
hutan purba yang masih tersisa di Sulawesi. Akses
ibukota Kecamatan dari ibukota kabupaten ditempuh
berapa lama dengan kendaraan roda dua atau dengan
berjalan kaki. Kondisi jalan yang ada sangat terjal
melewati tebing. Jalan yang menghubungkan antar
Desa Kecamatan umumnya merupakan jalan tanah
kecuali Desa Leboni dan Sulaku yang sebagian kecil
sudah dibeton. Kawasan ini memiliki fungsi strategis
dalam siklus hidrologis dan ekosistem pengunungan
dataran tinggi. Masyarakat Rampi direkatkan dengan
filosofi MEBINGKA’I yang mana didalam Mebingka’i:
adat, agama dan pemerintah merupakan tiga pilar
penting yang menopang keberlanjutan kehidupan
sosial masyarakat.Pendapatan terbesar masyarakat
Rampi berasal dari sektor pertanian, tanaman padi
merupakan jenis tanaman pangan yang paling banyak
dikembangkan di Kecamatan Rampi.
III.2.1 Karakteristik Biofisik Wilayah Rampi
Kecamatan Rampi berada diketinggian antara 767
mdpl sampai dengan diatas 2000 mdpl. Secara
bentuk medan wilayah Kecamatan Rampi dibagi
menjadi 5 (lima) satuan morpologi yang mencerminkan
keadaan topografi wilayahnya, yaitu dataran rendah,
berombak, berbukit, pegunungan sangat curam dan
terjal. Di wilayah Kecamatan Rampi kondisi curah
hujan tahunan berkisar antara 1300–3400 mm/tahun.
Secara hidrologis, Rampi merupakan daerah hulu dari
4 Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu Balease, Kalaena,
Lariang Hulu dan Poso. Lariang hulu merupakan DAS
terbesar di Luwu Utara yang juga masuk dalam di tiga
propinsi yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Barat. Prosentase DAS terbesar di Kecamatan
Luwu Utara adalah DAS Lariang Hulu seluas 101,917.12
ha atau sekitar 66.60 %.
Sementara kondisi geologi di Kecamatan Rampi disusun
oleh beberapa litologi muda – tua, jenis ganit kambuno
paling banyak mendominasi yaitu seluas 65,422.68 ha
atau sekitar 45.75 %. Wilayah Rampi secara khusus
dapat diklasifikasikan dalam empat bentang alam, yaitu
dataran, lembah alluvial, perbukitan dan pegunungan.
Bentang alam pegunungan mendominasi wilayah
Kecamatan Rampi, sekitar 79.67 % dari total luas
wilayah didominasi oleh hutan lahan kering primer
dengan luas 81879.3 ha atau sebanyak 53.37 % dari
luas keseluruhannya serta hutan lahan kering sekunder
dengan total luas 59160.86 atau sebesar 38.56%.
III.2.2 Kependudukan dan Sosial Ekonomi
Dokumentasi
SLUP,
2014
25. 24 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
Warga
Jumlah penduduk Kecamatan Rampi pada tahun 2013
berjumlah 3.146 jiwa terdiri dari 1.681 laki-laki dan
1.465 perempuan. Desa Onondowa memiliki jumlah
penduduk terbanyak yaitu 976 jiwa atau 31% dari
total jumlah penduduk Kecamatan. Desa Onondowa
merupakan pusat pemerintahan Kecamatan. Di
Kecamatan Rampi sebaran penduduk masih terpusat di
ibukota Kecamatan. Kepadatan penduduk Kecamatan
sebesar 2 jiwa/km2, Desa Sulaku merupakan Desa
yang terpadat di Kecamatan ini dengan kepadatan
4 jiwa/km2. Pertumbuhan penduduk antara 3% -
14% pertahun. Peningkatan jumlah jiwa penduduk
terbesar ada di Desa Onondoa yaitu 14,28%. Mata
pencaharian masyarakat Kecamatan Rampi adalah
petani dan sedikit yang bekerja disektor jasa. Pertanian
yang dikembangkan seperti pertanian persawahan
dan perladangan. Di sektor perkebunan masyarakat
berkebun kakao kopi. Masyarakat juga memanfaatkan
hasil hutan non kayu sebagai sumber penghidupan
mereka seperti rotan dan damar serta hasil hutan
lainnya.
Kondisi sarana, prasarana dan akses warga diwilayah
Kecamatan ini masih sebagian besar belum memadai.
Di Kecamatan ini terdapat TK sebanyak 7 buah dengan
perbandingan pengajar dan siswa 1:4. SD di seluruh
Desa dengan masing dengan rasio guru dan siswa 1:8.
Sekolah Menengah Pertama hanya terdapat di tiga
Desa dengan rasio guru dan siswa 1:11. Sedangkan
untuk sekolah menengah atas hanya ada satu di
ibukota Kecamatan dengan rasio guru dan siswa
1:15. Sedangkan sarana kesehatan hanya terdapat 1
puskesmas di Desa Sulaku, 3 pustu di Desa Dodolo,
Onodowa dan Tedeboe, serta memiliki poskesdes yang
terletak di Desa Leboni dan Rampi. Tenaga kesehatan
terdiri dari 1 orang dokter, 12 bidan, 5 perawat dan 12
dukun bayi belum terlatih. Sumber energi rumah tangga
untuk kebutuhan memasak masih mengandalkan kayu
bakar walaupun ada pula sebagian kecil keluarga yang
memakai gas. Listirk yang ada di Kecamatan ini hanya
dinikmati sebanyak 707 keluarga yang bersumber dari
non-PLN.
Secara kelembagaan adat wilayah ini terbagi 7 wilayah
lembaga Adat Onondoa, Lembaga Adat Sulaku,
lembaga Adat Leboni, Lembaga Adat Bangko / Rampi,
Lembaga Adat Mohale, Lembaga Adat Dodolo dan
Lembaga Adat Tede Boe (Porokiu dan Pongka). Masing-
masing lembaga adat di wilayah atau komunitasnya
dipimpin oleh Tokey Bola dan pimpinan adat tertinggi
dari Ketujuh wilayah lembaga adat ini dipimpin oleh
Tokey Tongko yang membawahi semua Tokey Bola.
Dalam menjalankan adat dan penerapan hukum adat
termasuk pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan
alam, Tokey Tongko dibantu oleh Kabilaha: Hakim;
Balaloe: Pengawal atau ajudan; Pongkalu: Menteri
pertanian; Topobeloi: Menteri Kehutanan; Towollia:
Menteri Kesehatan; Peka Allo: Menteri Penerangan;
Topononolu: Menteri Agama; Tadulako: Panglima
Perang; Pantua: Bendahara dan Tokey Bola: Kepala
wilayah adat di tingkat komunitas atau sekarang Desa.
Semua pimpinan adat adalah laki-laki begitupun
menteri-menterinya, kecuali menteri kesehatan atau
Peka Allo dibantu oleh seorang sando atau dukun
perempuan yang biasanya membantu persalinan.
Terlihat dalam struktur pemangku adat mulai dari Tokei
Tongko yang tertinggi atau pada level wilayah sampai
pada Tokei Bola di level kampung atau Desa, adalah
semua laki-laki.
Dokumentasi
SLUP,
2014
26. 25
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
III.2.3 Sistem Penguasaandan Pemanfaatan
Lahan Komunitas
Masyarakat Rampi umumnya masih mengenal
praktek pengelolaan/sumberdaya alam berdasarkan
pengetahuan lokal. Praktek pengelolaan yang
masih berlangsung diantaranya, yakni: Mokinete
yaitu mengelola lahan pada kawasan hutan dengan
peruntukan lahan untuk perkebunan, baik untuk padi
ladang, jagung, sayur-mayur, kacang-kacangan, vanili
dan kebun tahunan seperti kakao, kopi, durian dan
langsat. Marambai yaitu mengelola lahan dengan
menggunakan kerbau dalam proses pengolahan
tanah hingga layak untuk ditanami padi. Marambai ini
dilakukan dengan mengumpulkan puluhan ekor kerbau.
Moahu yaitu salah satu cara masyarakat Adat Rampi
dalam berburu binatang dengan menggunakan anjing
sebagai alat utuk memburu binatang seperti rusa, anoa
dan babi. Mokamba yaitu menangkap binatang buruan
seperti anoa, rusa, babi dan ayam hutan dan lainnya
dengan cara memasang jerat. Kegiatan Mokamba ini
dilakukan terkait dengan kelender musim. Mokomba
dilakukan sesuai dengan kebutuhan sehari-hari dan
tidak untuk dikomersialkan, kecuali pada hal-hal tertentu
untuk pemenuhan kebutuhan lainnya.Mapalanto
yaitu proses menangkap ikan di sungai dengan
menggunakan pancing. Adapun jenis ikan dipancing
adalah ikan belut. Modula yaitu salah satu kearifan
masyarakat adat Rampi khususnya masyarakat yang ada
di wilayah adat Tede Boe dalam memanfaatkan sumber
daya mineral, seperti mendulang emas. Mekonino,
yaitu mengolah kayu manis sebagai salahsatu kegiatan
dalam pengelolaan sumber daya hutan. Medama, yaitu
kegiatan menyadap getah damar.
Tata Guna Hutan dan Lahan
Kesadaran akan pentingnya melestarikan hutan dan
pemanfaatan lahan sudah dimiliki sejak nenek moyang
atau leluhur masyarakat Rampi. Hal ini terlihat dari
praktik yang dilakukan oleh masyarakat Rampi dalam
pemanfaatan hutan dan lahannya. Menurut masyarakat
Rampi, hutan dibagi dalam beberapa wilayah yakni
hutan primer atau dalam istilah lokal Wana yakni hutan
belum terjamah dan hutan sekunder diberi nama Lopo.
Lopo adalah hutan sekunder yang agak dekat dengan
perkampungan yang dimanfaatkan hasilnya atau telah
dikelola.
Dalam struktur kelembagaan adat, petugas atau
menteri kehutanan disebut Topobeloi yang bertugas
mengatur sistem dan pengelolaan hutan. Pengelolaan
hutan dibawah kewenangan Topobeloi, segala aktifitas
yang terkait kehutanan harus sepengetahuan dan
seijin Topobeloi, termasuk dalam membuka kebun di
kawasan hutan harus sepengetahuan Topobeloi dan
aktifitas diawali dengan ritual adat Rampi yang sudah
berlaku turun temurun. Bagi masyarakat yang akan
membuka hutan maka harus seijin dan dimulai oleh
Topobeloi, termasuk dalam mengambil rotan, kayu dan
hasil hutan lainnya. Sementara penataan lahan yang
berkelanjutan diatur dalam kelembagaan adat dibawah
pimpinan tertinggi Tokey Tongko yang membawahi
seluruh wilayan adat Rampi dan Tokey Bola di masing-
masing wilayah, serta dibantu oleh menteri-menteri
sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Tataguna yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
• Wana yaitu hutan primer yang belum terjamah
dan dikeramatkan.
• Lopo Ada’, yaitu hutan yang harus dilestarikan
karena di dalamnya terdapat hutan keramat,
bekas perkampungan tua, kuburan tua leluhur
mereka, hutan damar dan sebagainya.
• Lopo Wana’, yaitu hutan primer yang belum
pernah dikelola atau dimanfaatkan. Di dalam
hutan ini terdapat hasil-hasil hutan yang perlu
dijaga karena pemanfaatan tertentu terutama
untuk masa depan anak cucu.
• Lopo Ntodi, yaitu jenis hutan yang sudah pernah
dijadikan sebagai ladang, akan tetapi sudah lama
ditinggalkan dan sudah kembali menjadi hutan
dengan ciri-ciri sudah ditumbuhi oleh pohon-
pohon besar, rotan, palem, juga sudah terdapat
hewan-hewan buruan seperti anoa, babi, rusa dan
lainnya.
27. 26 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
• Lopo Lea’, yaitu bekas ladang yang telah
ditinggalkan selama 3-5 tahun. Lopo Lea’ ini
biasanya ditumbuhi oleh pohon-pohon kecil
dan semak belukar, bahkan biasanya masih
ada tanaman-tanaman budidaya yang tumbuh
misalnya tebu dan lainnya.
• Hollu, yaitu bekas ladang yang baru ditinggalkan
antara 1-2 tahun. Di Hollu biasanya masih ada
tanaman jangka pendek sejenis sayur-sayuran
seperti labu, mentimun, kacang panjang dan
lainnya.
• Lembo, yaitu lahan persawahan. Lembo
diatur oleh Pongkalu atau kepala pertanian.
Mulai dari rencana memulai menanam harus
dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan warga.
Penanaman pertama harus dimulai di sawah
Pongkalu, setelah itu baru boleh menanam di
sawah warga.
• Polamba’a, yaitu lahan yang diperuntukkan untuk
beternak sapi, kerbau dan kuda.
• Pebola’a, yaitu lahan untuk dijadikan sebagai
lokasi perkampungan.
• Petawua, yaitu lahan yang diperuntukkan untuk
menjadi lokasi kebun. Petawua terbagi dua,
pertama adalah Kinete’ diperuntukkan untuk
tanaman sejenis kopi, coklat dan tanaman keras
lainnya serta vanili, padi ladang dan yang ke dua
adalah Bela’ untuk tanaman seperti pisang dan
sayur-sayuran lainnya. Kebun atau ladang yang
telah beberapa kali digarap dan ditanami kembali
mereka sebut Hollu. Hollu di daerah lain di
Indonesia sama dengan ladang gilir atau praktik
ladang berpindah.
• Bola, yaitu area untuk pemukiman atau
perumahan. Setiap rumah memiliki pekarangan
atau halaman yang mereka sebut Kinta.
• Tomolitana yaitu lahan yang diproteksi atau
dilindungi karena terdapat tempat-tempat
bersejarah, seperti patung dan peralatan dari
batu pada jaman megalitikum.
Dokumentasi
SLUP,
2014
29. 28 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
IV. Analisis PPLB di Kecamatan
Timpah dan Rampi
IV.1. Kebijakan Penataan Ruang
Menurut undang-undang penataan ruang kebijakan
penataan ruang bersifat top down. Penataan ruang
selalu mengikuti arahan diatasnya.Dalam penyusunan
PPLB harus memperhatikan RTRW Provinsi dan
Kabupaten. Data yang dikumpulkan merupakan peta-
peta RTRW dan Peraturan Daerah, data diolah dengan
GIS dan kemudian didiskusikan bersama dengan
masyarakat.
RTRWP Kalimantan Tengah dan Kabupaten Kapuas
saat ini masih dalam tahap revisi sehingga terbuka
peluang masyarakat untuk melakukan pengusulan
tata ruang diwilayah mereka. Berdasarkan draft yang
sedang dibahas di DPRD Kabupaten Kapuas, ada
34% kawasan lindung dan 66% kawasan budidaya di
Kecamatan Timpah.
RTRWP Sulawesi Selatan sudah disahkan menjadi
peraturan daerah no.9 tahun 2009 Begitu pula dengan
RTRW Kabupaten Luwu Utara sudah disahkan menjadi
Perda No. 2 Tahun 2011.
Dalam peta RTRW kawasan strategis Kabupaten
Luwu Utara tahun 2009 – 2029, Kecamatan Rampi
masuk dalam potensi pertambangan bersama dengan
Kecamatan Seko dan Limbong. Sementara itu,
Kecamatan Rampi juga masuk dalam wilayah yang
rawan bencana, khususnya masuk dalam kategori
rawan banjir. Perda RTRW tertulis rencana perluasan
kebun sawit hingga 23.388,13 ha, dimana Rampi masuk
didalamnya.
Konsesi
Kawasan hutan di Kecamatan Timpah berdasarkan SK.
529/Menhut-II/2012. Kawasan bukan hutan atau Areal
Penggunaan Lain (APL) hanya 3% dari luasan. Kawasan
Suaka Alam-Pelestarian Alam mencapai 28%, sisanya
merupakan Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan
Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Konversi.
Konsesi perijinan yang diberikan pemerintah di
Kecamatan Timpah berupa Ijin Usaha Pengelolaan
Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUP-HHK-HA) seluas
107.694 Ha untuk 4 perusahaan namun yang aktif
hanya 3 perusahaan. Ijin pertambangan seluas 24.211
Ha untuk 3 jenis komoditi. Yang terbesar adalah Zircon
dengan proporsi 56 %, diikuti oleh barubara 48 %
dan emas 27%. Pertambangan batu bara mengancam
keberadaan hutan-hutan masyarakat yang difungsikan
sebagai kawasan lindung dan penggunaan terbatas.
Pertambangan emas begitu pula yang keberadaannya
di kawasan hutan masyarakat. Zircon mengancam
hutan, hutan keramat, kebun campuran, kebun karet,
kebun rotan dan wilayah-wilayah yang dicadangkan
untuk perluasan perkebunan karet dan campuran serta
wilayah pertanian lainnya.
Berdasarkan peta perizinan tahun 2012 terdapat 6
(enam) perizinan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan
Timpah. Namun sampai dengan sekarang baru satu
perusahaan yang baru bisa beroperasi, umumnya
terkendala status kawasan hutan. Perijinan Perkebunan
Kelapa sawit menyebar di Desa Petak Putih, Lawang
Kajang dan Timpah, Danau Pantau, Tumbang Randan
luasan konsesi perkebunan kelapa sawit diwilayah ini
52.794 atau 22% dari total luas Kecamatan.
30. 29
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
IV.2. Tingkat Kesesuaian
Penggunaan Lahan
IV.2.1. Kecamatan Timpah
Kemampuan lahan merupakan salah satu penting
bagian dalam penggunaan lahan. Lahan dapat
memberikan manfaat sesuai dengan yang diharapkan
jika penggunaan lahan tersebut sesuai dengan
kemampuannya. Dalam menghitung kesesuaian lahan
suatu wilayah, diperlukan analisis kondisi biofisik.
Analisis soal kesesuaian tidak hanya menekankan
pada hasil yang ekonomis tapi juga berdasarkan nilai-
nilai sosial yang berlaku. Selain itu, kesesuaian lahan
memperhatikan perlakuan sistem kearifan lokal dalam
pengelolaan lahan. Dari hasil analisis, dihasilkan peta
kesesuaian lahan sebagai berikut :
Kesesuaian Perencanaan Masyarakat Timpah
dengan Analisis Biofisik
• Penggunaan Lahan Areal Persawahan Luwao
Marabun. Lahan persawahan yang rencannya akan
dibangun untuk pertanian pangan masyarakat
dialokasikan sekitar 1.020 Ha. Dari keseluruhan
lahan tersebut ternyata secara biofisik yang sesuai
hanya 56% atau sekitar 574 Ha dan sisanya tidak
cocok untuk persawahan sekitar 44% atau sekitar
446 Ha.
• Kesesuaian hutan untuk budidaya kehutanan
hanya 12% atau 1.344 Ha. Sisanya cocok sebagai
hutan lindung dengan luasan kurang lebih 10.214
Ha atau 88%. Kondisinya saat ini, hutan dibiarkan
secara utuh oleh masyarakat. Pemanfaatannya
pun sangat terbatas untuk mengambil hasil hutan
non kayu.
• Hutan Keramat, merupakan kawasan yang
disakralkan oleh masyarakat setempat. Hutan ini
dimiliki secara bersama oleh masyarakat adat.
Hutan ini berfungsi sebagai kawasan perlindungan
tradisional religi masyarakat. Namun secara
biofisik, hutan ini masih dimungkinkan menjadi
kawasan budidaya kehutanan.
• Kebun Campuran, Kebun Karet dan Kebun
Rotan, Merupakan lahan budidaya perkebunan
masyarakat. Walaupun disebut mereka kebun
karet dan Rotan namun secara fisik bukanlah
perkebunan monokultur. Ada banyak jenis
tanaman lain yang tumbuh dan berkembang di
kebun tersebut. Secara biofisik, penggunaan
lahan tersebut diatas sudah sesuai.
• Lahan Perluasan Kebun Karet, Merupakan lahan
cadangan yang nantinya diperuntukan untuk
kebun karet masyarakat.Secara biofisik lahan ini
sesuai untuk kebun karet. Namun untuk jenis
komoditi lainnya seperti lada, nanas maupun
pisang masih mungkin dikembangkan.
• Perkebunan Kelapa Sawit, saat ini dikelola oleh
PT. KAL. Secara kondisi biofisik sebenarnya
kurang mendukung dikembangkan agar dapat
memberikan hasil yang ekonomis. Jika pun
dikembangkan maka perlu dilakukan perlakuan-
perlakuan khusus.
• Perikanan dan Pariwisata, Kawasan penggunaan
lahan perikanan dan pariwisata berada di danau
dan sekitar danau yang ada di Kecamatan Timpah.
Memang saat ini danau dimanfaatkan untuk
sumber perikanan tangkap dan belum dijadikan
kawasan budidaya. Keindahan dan keunikan
hubungan masyarakat dengan danau bisa menjadi
potensi pariwisata. Kawasan ini sebenarnya secara
biofisik sesuai untuk pengbangan budidaya
perhutanan, perikanan pasang surut, kebun sagu
dan pertanian lahan basah.
• Kawasan Pertambangan Masyarakat, Lahan
ini sebenarnya lebih cocok untuk pertanian
lahan basah dan kering. Selainitu, lahan ini juga
cocok untuk perikanan pasang surut, tanaman
kehutanan maupun tanaman sagu dengan luasan
656.2152828 Ha.
Beberapa penggunaan lahan yang belum
didokumentasikan yaitu seluas 15.140 Ha secara
biofisik, sesuai sebagai kawasan perlindungan
sebesar 97% atau sekitar 14.739,84 Ha. Sedangkan
sisanya seluas 400, 22 Ha bisa dikembangkan untuk
budidayapertanian lahan basah, lahan pertanian kering,
perikanan pasang surut, perhutanan, kebun karet dan
kelapa maupun kebun sagu.
31. 30 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
Penggunaan Lahan Masyarakat dengan RTRWK dan Kawasan Hutan
Gambar 3. Peta Perencanaan VS RTRWP Gambar 4. Peta Perencanaan dengan Kawasan Hutan
Untuk penggunaan lahan masyarakat dengan RTRWK dan kawasan hutan, maka dari hasil analisis diperoleh:
Berdasarkan hasil analisis SLUP dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, tingkat kesesuaian hanya mencapai
36 %, sementara yang tidak sesuai mencapai 64 %. Dari total 64 % luasan, 21 % atau seluas 48.529,09 ha
merupakan wilayah budidaya masyarakat yang masuk dalam kawasan lindung dalam RTRWP, sementara 43 % atau
seluas 102.480,76 ha hutan lidung dalam perencanaan masyarakat masuk dalam kawasan budidaya pemerintah.
Sementara kesesuaian perencanaan tata guna lahan Timpah dengan kawasan hutan, prosentase kesesuaian hanya
15 % atau sekitar 34.863,53 ha, sementara wilayah yang sesuai dengan prasyarat izin dari pemerintah seluas
49.480,73 ha atau sebanyak 21 % yaitu yang meliputi hutan produksi, hutan produksi konversi dan hutan produksi
terbatas. Ketidaksesuaian PPLB masyarakat Timpah dengan kawasan hutan mencapai 65 %, dengan kategori
kawasan budidaya dalam PPLB Timpah yang masuk dalam kawasan lindung pemerintah sebesar 21 % yaitu dengan
luasan 48.830,41 ha. Sementara kawasan lindung masyarakat dalam PPLB yang masuk dalam kawasan budidaya
seluas 44 % yaitu 103.467,17 ha.
32. 31
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
Gambar 5. Grafik Kesesuaian Perencanaan Vs Hutan
Konsesi kehutanan ini digunakan masyarakat untuk perladangan, kebun karet, kebun rotan, pemukiman dan
hutan baik itu hutan larangan, hutan adat dan secara adat dilindungi. Beberapa wilayah konsesi tersebut juga
direncanakan sebagai cadangan pertanian, cadangan perkebunan karet dan campuran, pembangunan sawah.
Potensi lahan yang hilang atau terganggu.
Gambar 6. Penggunaan Lahan Masyarakat dengan Pertambangan
33. 32 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
Kawasan pertambangan mengacam Hutan Keramat, Kebun Campuran-Karet-Rotan serta lahan cadangan lainnya.
Hutan yang terancam 13.638 Ha dan Hutan Keramat 3.198 Ha. Berdasarkan tumpang tindih antara peruntukan
kawasan dengan perijinan pertambangan yang terbesar berada di kawasan lindung sebesar 73%. Setidaknya ada
sekitar 10 perusahaan yang mendapatkan konsesi di wilayah ini. Pertambangan.Jenis komoditi pertambangan
yang di prduksi di Kecamatan Timpah yaitu Batubara, Emas dan Zircon. Komoditi primadona dari Kecamatan
Timpah adalah Zircon dengan proporsi hingga 56,5 %, diikuti oleh batubara sebanyak 48,25 % dan emas dengan
prosentase sebanyak 27 %. Izin tambang batubara diberikan untuk empat perusahaan yaitu Tri Utama Persada,
BQ Coal Mining, Agung Bara Prima dan Bunda Kandung, keempat perusahaan tersebut hampir menguasai
setengahnya dari wilayah konsesi.Tambang batu bara mengancam keberadaan hutan-hutan masyarakat yang
difungsikan lindung dan penggunaan terbatas. Begitu pula dengan tambang emas yang berada di kawasan hutan
masyarakat. Zircon mengancam hutan, hutan keramat, kebun campuran, kebun karet, kebun rotan dan wilayah-
wilayah yang dicadangkan untuk perluasan perkebunan karet dan campuran serta wilayah pertanian lainnya.
Gambar 7. Penggunaan Lahan Masyarakat dengan Perkebunan Gambar 8. Peta Perencanaan Masyarakat Vs Perkebunan
Di Kecamatan Timpah teridentifikasi ada 6 perusahaan perkebunan kelapa sawit, 1 perusahaan diantaranya
diindikasi sebagai perijinan di Kabupaten Barito utara. Jika ditumpang tindihkan dengan penggunaan lahan di
tingkat masyarakat maka perkebunan kelapa sawit akan mengancam sumber-sumber kehidupan masyarakat.
Secara penggunaan lahan (budidaya/lindung) ada kesesuaian sebanyak 68 % dan yang tidak sesuai sebesar 32
%.Namun secara langsung hanya ada satu yang kesesuaian dengan penggunaan lahan menurut masyarakat yaitu
lahan untuk plasma seluas 106 Ha.Kawasan Rencana Perkebunan yang dimaksud masyarakat bukanlah untuk
perusahaan besar swasta tapi dikembangkan untuk masyarakat. Tingkat keterancaman wilayah kelola masyarakat
yang jelas saat ini berupa kebun campuran seluas 685 Ha dan Kebun Karet 3.233 Ha. Sedangkan penggunaan
lahan lainnya masih bersifat perencanaan seperti pencadangan wilayah kelola budidaya masyarakat, perluasan
pemukiman,
34. 33
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
Lahan yang sama sekali tidak sesuai berupa danau dan sungai, walaupun kawasan ini akan di tidak akan dijadikan
kebun namun jika kebun terlalu dekat dengan sungai dan danau maka akan berpotensi terhadap ekosisitem
keduanya. Sumber daya perikanan yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat akan tergangu.
Pengalaman daerah lain seperti di Danau Sembuluh. Dahulu daerah ini penghasil ikan, namun sejak masuknya
perkebunan kelapa sawit disekitar danau maka ikan tidak semudah dulu ditemukan.
Penggunaan Lahan Masyarakat dengan PIPIB 6
PIPIB merupakan upaya pemerintah dalam melakukan pengurangan luasan dan penurunan kualitas hutan di
Indonesia.Pada kawasan tersebut diberlakukan penundaan ijin baru untuk semua jenis usaha berbasis lahan kecuali
proyek rehabilitasi dan proyek terkait dengan perubahan iklim.
PIPIB oleh masyarakat dimanfaatkan sebagai kawasan hutan yaitu hutan adat dan hutan Desa serta penggunaan
lainnya seperti rawa, dan marabun. Untuk kawasan budidaya dimanfaatkan sebagai kebun karet, kebun campuran,
kebun Rotan, pemukiman. Kawasan ini juga direncanakan oleh masyarakat sebagai kawasan perluasan pemukiman,
pengembangan budidaya pertanian, pencadangan kawasan perladangan, rencana perkebunan dan persawahan.
Pada kawasan tersebut sudah ada konsesi perkebunan kelapa sawit dengan luasan kurang lebih 349 Ha.
Dokumentasi
SLUP,
2014
35. 34 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
IV.2.2. Kecamatan Rampi
Secara umum, gambaran tingkat kesesuaian lahan di Kecamatan Rampi sebagai berikut: lokasi persawahan, kolam
berada di wilayah datar/rata dan dekat sungai sebagai sumber pengairan, padang pengembalaan pebukitan dan
tanah datar, sedangkan perkebunan terletak/berada di dataran yang lebih tingggi dan perbukitan.
Berikut ini beberapa contoh kesesuaian lahan berdasarkan penggunaannya :
No.
Penggunaan
Lahan
Kesesuaian Tanah/Lahan Keterangan
Cocok Tidak Cocok
1 Pertanian/
Persawahan
Tanah berwarna hitam atau
kehitaman
Tanah padat
Tanah yang ditumbuhi
alang-alang masih bisa
dipakai untuk persawahan
Jenis tanah dengan lumpur
yang agak putih atau
kekuningan
tanaman padi hanya bertahan selama
tiga kali panen atau selama tiga tahun
Lembab dan Berlumpur Letak sawah sebaiknya berada di
daerah yang lebih rendah dari sumber
air
2 Perkebunan Tanah berwarna hitam atau
kehitaman
Tanah berpasir - Lokasinya di perbukitan/ dataran
yang lebih tinggi
- Kadang juga ditemukan di wilayah
dataran/tanah rata
Tanah merah Tanah berwarna merah tidak begitu
baik tetapi jenis tanah ini masih cocok
untuk tanaman cengkeh. Hanya saja
tidak ada tanaman cengkeh di Rampi
Lapisan atas tanah
berwarna hitam tapi di
bawahnya berwarna merah
Jika ditanami dan setelah akar
mencapai tanah merah tersebut
tanaman perlahan lahan akan mati
3 Kolam Kolam ikan yang bagus
dengan lumpur berpasir
Tanah yang mengandung
unsur besi
Kadang di persawahan
Ciri lumpur merah Jika lahan tersebut difungsikan
sebagai kolam ikan maka ikan di kolam
tersebut akan susah untuk tumbuh
besar
4 Perkampungan/
Pemukiman
Penempatan pemukiman
mengikuti pemukiman
sebelumnya
Daerah yang memang
tidak pernah dijadikan
pemukiman sejak dulu
Wilayah lembah yang luas
dan tidak rawan longsor
Rawan longsor
Tabel 2. Kesesuaian lahan berdasarkan penggunaannya
Masyarakat Desa Rampi memiliki pengetahuan dalam memilih tanah yang baik khususnya untuk lokasi perkebunan
dan persawahan. Menurut mereka, tanah padat tidak baik untuk dijadikan lokasi perkebunan dan persawahan.
Selain itu ciri lahan yang tidak baik untuk lokasi persawahan adalah jenis tanah dengan lumpur yang agak putih
atau kekuningan jika tetap dikelola maka tanaman padi hanya bertahan selama tiga kali panen atau selama tiga
tahun setelah itu hasil pertanian akan menurun. Di Desa Leboni, penggunaan lahan untuk wilayah perkebunan bisa
36. 35
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
berupa perbukitan atau dataran dengan perpohonan
kayu yang kecil, warna tanah cenderung hitam.
Jenis tanah yang berpasir tidak cocok untuk lahan
perkebunan sebab sifatnya panas, begitu juga untuk
jenis tanah merah terkecuali untuk tanaman cengkeh.
Di lahan yang terdapat alang-alang dikategorikan
lahan yang kurang subur namun masih bisa dikelola,
biasanya jika pada dataran lahan seperti itu masih
dimanfaatkan untuk lahan persawahan. Lahan yang
cocok untuk persawahan ditandai dengan warna tanah
yang kehitaman, kondisi air yang ada baik pada tanah
ataupun melihat adanya sumber pengairan.
Perencanaan pembukaan lahan persawahan di Desa
Sulaku melihat kondisi tanah dengan warna agak hitam,
tanah selalu lembab dan berlumpur, juga dilihat dari
sumber mata air untuk dijadikan pengairan. sementara
pemukiman ditentukan dengan mengikuti pemukiman
sebelumnya. Sementara Desa Dodolo memiliki
penilaian yang sama seperti Desa lain, terhadap wilayah
yang baik untuk lokasi perkebunan dan persawahan.
Penentuan lahan perkebunan berdasarkan pada tanah
yang memiliki warna agak kehitam-hitaman. Sementara
tanah dengan warna agak kekuningan tidak bagus
untuk lahan perkebunan dan persawahan. Misalnya
pada lahan persawahan yang keluar lumpur warna
kekuningan maka hasil pertanian pada lahan tersebut
kurang bagus.Letak persawahan di daerah dataran
yang lebih rendah dari mata air. Lahan yang bagus
untuk pertanian dan perkebunan dicirikan dengan jenis
tanah yang berwarna kehitaman. Selain itu tanah merah
tidak bagus untuk lokasi perkebunan. Jika lapisan atas
tanah berwarna hitam dan dibawahnya berwarna merah
setelah akar mencapai tanah merah tersebut tanaman
perlahan lahan akan mati.
Kolam hanya bisa ditempat yang tidak mengandung
unsur besi, dengan ciri lumpur merah jika lahan tersebut
difungsikan sebagai kolam ikan, maka ikan di kolam
tersebut akan susah untuk tumbuh besar. Kolam ikan
yang bagus dengan lumpur berpasir. Mayarakat Desa
Dodolo menentukan wilayah pemukiman berdasarkan
tanah adat berdasarkan sejarah.
Desa Tede Boe memilih kesesuaian lahan berdasarkan
jenis tanah, untuk lokasi persawahan ataupun
perkebunan dipilih tanah dengan jenis warna hitam,
sementara tanah yang berwarna merah tidak cocok.
Biasanya lokasi persawahan ditentukan dengan melihat
apakah wilayah tersebut berair atau lembab. Sementara
untuk pemukiman masyarakat berada pada wilayah
lembah yang luas dan tidak terancam dari longsor.
Kesesuaian Lahan Perencanaan Masyarakat
Kecamatan Rampi
• Klasifikasi Hutan, masyarakat Rampi terbagi
menjadi dua yakni Wana/Hutan Primer seluas
128.728,19 Ha dan Lopo/Hutan Kelola seluas
15.053,54 ha. Masyarakat memanfaatkan hutan
untuk mengambil ramuan rumah, membangun
fasilitas umum serta memenuhi kebutahan
akan kayu bakar. Fungsi lindung berdasarkan
masyarakat sesuai dengan perencanaan
pemerintah daerah dalam RTRWK.
• Penggunaan Lahan untuk areal persawahan
terdiri dari sawah produktif seluas 452.05 Ha dan
rencana perluasan persawahan seluas 392,19
Ha. Berdasarkan kondisi fisik tanah yang berada
di punggung gunung yang tidak teratur diatas
batuan vulkanis basa, granit terjal, dataran lava
basa berbukit kecil, punggung bukit liner yang
terjal diatas tufa sedang/basa dan dasar lembah
kecil diantara bukti. Hanya sekitar 20,50 % yang
cocok sebagai areal persawahan atau skeitar
173.09 %. Perencanaan areal persawahan yang
tidak sesuai dibtuhakn perlakukan khusus agar
dapat dikelola dengan baik.
• Kebun masyarakat Rampi yang telah berproduksi
seluas 2.555,87 ha dan rencana perluasan sekitar
53,25 ha. Kondisi fisik tanah tersebut diantaranya
dataran lava basa berbukit kecil, punggung
bukit liner yang terjal di atas tufa sedang/basa,
punggung gunung granit terorientasi yang terjal
dan punggung bukit liner yang terjal diatas tufa
sedang/basa. Kategori tanaman yang cocok untuk
kebun berdasarkan kondisi biofisik diantaranya
adalah karet seluas 934,62 ha atau sekitar 35 %
dari total. Kategori tanaman cokelat, cengkeh dan
lada pada lokasi lahan yang sama seluas 625,58
ha atau sekitar 24 %. Untuk tanaman Nanas dan
Jambu Mete seluas 625,58 ha atau sekitar 24 %.
Sementara untuk Rotan seluas 883,97 ha atau 34
%. Selama ini masyarakat Rampi mengupayakan
beberapa jenis tanaman antara lain : Cokelat,
Kemiri, Kelapa, Pisang, Umbi-umbian, dan Sayur-
Mayur.
• Kebutuhan perluasan perkampungan di
Kecamatan Rampi mencapai 311,82 ha dan dari
total tersebut yang tidak sesuai mencapai 76 %
37. 36 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
Penggunaan Lahan Masyarakat dengan RTRWK dan Kawasan Hutan
Gambar 9. Peta Kesesuaian Lahan Masyarakat dengan Pola Ruang (RTRWK)
Gambar 10. Peta Kesesuaian Lahan Masyarakat dengan Kawasan Hutan
Kesesuaian kawasan budidaya dalam perencanaan masyarakat dengan RTRWK Luwu utara sebesar 20 % atau
sekitar atau sekitar 4.598,6 ha. Kategori sesuai dengan izin pemerintah sebanyak 35.5 %, wiliayah ini mencakup
area hutan produksi, sementara ketidaksesuaian kawasan budidya masyarakat sebanyak 45.42 % yaitu wilayah
budidaya yang masuk dalam hutan lindung dan kawasan potensi pertambangan dalam RTRWK. Sebaliknya wilayah
lindung dalam peta perencanaan masyarakat rampi yang dialokasikan sebagai kawasan budidaya dalam RTRWK
seluas 52.62 % atau 61.409 ha, sementara kawasan lindung masyarakat Rampi yang sesuai dengan lindung dalam
RTWRK hanya sebanyak 47.38 % yaitu seluas 55,289.54 ha.
Perencanaan penggunaan lahan masyarakat Rampi kemudian ditumpang tindihkan dengan peta kawasan hutan.
Wilayah budidaya berdasarkan perencanaan masyarakat yang sesuai dengan kawasan hutan yaitu sebesar 32.83
% atau seluas 7,930.45 ha, sementara yang sesuai dengan prasyarat izin karena dalam wilayah hutan produksi
terbatas yaitu 3,4 % saja dengan luasa 820,73 ha. Sementara wilayah lindung masyarakat Rampi yang masuk dalam
kawasan budidaya dalam kawasan hutan pemerintah sebanyak 69.23 % atau 89,127 ha, yang tidak sesuai sebesar
30.77 % atau 39603.7 ha.
38. 37
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
Penggunaan Lahan Masyarakat dengan Tambang
Gambar 11. Peta Ruang Masyarakat Vs Perijinan Tambang
Kecamatan Rampi memiliki potensi tambang emas yang melimpah, jumlah konsesi tambang emas yang telah
diberikan melalui izin kontrak karya dan izin usaha pertambangan mencapai 30,726.69 ha. Dari total luasan
tersebut, 75 % lebih masuk dalam wilayah hutan primer masyarakat Rampi, dan 24 % nya merupakan kawasan
budidaya masyarakat. Selain tambang yang akan merusak hutan lindung dan budidaya masyarakat, juga berpotensi
terhadap tersingkirnya perkampungan masyarakat Rampi karena berada dalam wilayah perkampungan masyarakat
Rampi. Tercatat perusahaan tambang yang mendapat ijin diantaranya PT Kalla Arebama dan PT Citra Palu Mineral.
Luas ijin terbanyak dikuasai oleh PT Citra Arebama sekitar 62 % nya, sementara sisanya sebanyak 38 % diperoleh
PT Kalla Arebama.
39. 38 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
IV.3. Perencanaan Ruang (PPLB) di Tingkat Komunitas
IV.3.1. Kecamatan Timpah
Gambar 12. Pola Penggunaan Ruang oleh Masyarakat
Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif ada 30 penamaan penggunaan lahan oleh masyarakat di Kecamatan
Timpah. Klasifikasi penggunaan lahan diatas jika di kelompok berdasarkan penggunaan yang serupa dapat di
kelompokkan menjadi :
Pola Dasar Pola Luas Prosentasi
Lindung Hutan Adat, Hutan Keramat, Hutan Desa, Hutan Rawa, Sopan Ireh Tego,
Kawasan Danau, Sungai
92.184,51 39%
Budidaya Kebun (Kebun Campuran Kebun Karet, Kebun Rotan, Wilaya Kelola
Masyarakat, Lahan Plasma, Kebun Sawit PT. KAL)
101.166,55 43%
Pertanian Pangan (kawasan perladangan gilir balik, persawahan)
Pemukiman dan pusat kegiatan (Pemukiman dan perluasan pemukiman,
Tempat Pembuangan Akhir)
No Data 43.321,74 18%
Tabel 3. Perencanaan Desa dan lokakarya Kecamatan
Secara umum penggunaan lahan berdasarkan klasifikasi pola ruang masih di dominasi oleh kawasan budidaya
berupa Kebun, Tanaman Pangan, Pertambangan, Pemukiman dan Sarana Umum lainnya. Kawasan ini mendapat
proporsi 43% dari total luasan wilayah. Beberapa wilayah budidaya juga berfungsi sebagai perlindungan setempat.
Kawasan lindung berupa kelompok hutan, danau dan hutan rawa maupun Sopan Ireh Tego dengan proporsi 39%
dari total luasan wilayah Kecamatan. Kawasan lindung ini sebenarnya dimanfaatkan juga oleh masyarakat seperti
untuk sumber daya perikanan masyarakat, pemanfaatan hasil hutan non kayu lainnya. Danau dan sungai dijadikan
kawasan perlindungan agar sumber perikanan tetap terjaga lestari.
40. 39
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
IV.3.2. Kecamatan Rampi
Gambar 13. Peta Pola Penggunaan Lahan Masyarakat Rampi
Pola penggunaan lahan di Kecamatan Rampi terdiri dari
Pola Dasar Pola Luas (Ha) Prosentasi
Lindung Hutan Lindung (Wana) 128.728,19 83,87%
Budidaya Kebun (Petawau) 2.553,53 15,71%
Hutan Budidaya (Lopo, Padama’a) 19866.35
Pertanian Pangan (Lembo/Sawah, Hollu/bekas ladang
dan tanaman sayuran)
844,24
Pemukiman dan pusat kegiatan (Pebola’a, Bandara) 154.46
Tempat Pengembalaan (Polamba’a) 575,12
Kolam (Wuhu) 115,80
Modula (tempat mendulang emas) 0,69
Pengembangan Baru Sawah, Perkebunan, Perkampungan, Peternakan 639,9 0,42%
Tabel 4. Pola penggunaan lahan di Kecamatan Rampi
Penggunaan lahan masyarakat di Kecamatan Rampi didominasi oleh kawasan lindung yaitu dengan porsi hingga
83,87 %.Semetara kawasan yang diperuntukan untuk budidaya seperi kebun, hutan budidaya, pertanian pangan,
pengembalaan, kolam dan pemukiman hanya sekitar 15,45 % nya saja. Untuk lainnya hanya sekitar 0,42 %. Kawasan
budidaya terbesar ada pada fungsi hutan budidaya, karena masyarakat masih bergantung pada hutan.Karena
lokasi Rampi yang masih terisolir maka konversi lahan belum banyak terjadi.Sementara karena bertambahnya
jumlah penduduk di Kecamatan rampi ada kebutuhan untuk memperluas wilayah pemukiman serta kebun.
41. 40 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
Rencana pengembangan di Kecamatan Rampi seperti :
No. Perencanaan Luas (Ha)
1. Pengembangan Sawah 392,19
2. Pengembangan Perkampungan 168,22
3. Pengembangan Perkebunan 52,25
4. Perternakan 26,94
Tabel 5. Rencana pengembangan di Kecamatan Rampi
PPLB/SLUP menjadidasar bagi
masyarakat dan pemerintah dalam
menentukan kebijakan ruangnya” (Ir.
Sanijan S Toembak, CES – Sekertaris
Daerah Kabupaten Kapuas)
Rencana pengembangan wilayah di Kecamatan Rampi
meliputi pengembangan area untuk pemukiman/
perkampungan, perluasan dan pengembangan
perkebunan, sawah dan peternakan. Wilayah yang
berpotensial untuk pengembangan padi menjadi salah
satu alas an perluasan tanaman padi selain alas an untuk
kebutahan lokal. Luas wilayah untuk pengembangan
sawah mecapai 392,19 ha. Desa Leboni memiliki
hutan primer paling luas di Kecamatan Rampi, Desa
Leboni akan meluaskan wilayah perkampunganya
yaitu sebanyak 38.99 ha, luas perkampungan saat
ini hanya seluas 27 ha. Desa Sulaku membutuhkan
perluasan kampung seluas 78.99 ha, luas kampong
yang ada saat ini sebesar 22.99 ha. Selain perluasan
kampung, Desa Sulaku membutuhkan perluasan
kebun seluas 52,64 ha dan ternak seluas 26.80 ha.
Desa Tedeboe membutuhkan perluasan sawah sluas
166.27 ha dan Desa Rampi membutuhkan seluas
21.45 ha untuk kampong dan 67.26 ha untuk sawah.
Semua perencanaan tersebut di susun berdasarkan
pengetahuan lokal mengenai kesesuaian lahan yang
telah diterapkan secara turun temurun.
IV.4. Integrasi PPLB/SLUP dan
Kebijakan RT RW Kabupaten
IV.4.1. PPLB/SLUP dan Draft RTRWK
Kapuas, Kalimantan Tengah
Rencana tata ruang daerah termasuk Perda yang
telah disahkan untuk propinsi Kalimantan Tengah
diantaranya yaitu Kabupaten Gunung Mas, Barito
Selatan, Kabupaten Lamandau, dan Kabupaten
Sukamara dari total 14 kabupaten/kotamadya.
Kabupaten dan Kotamadya Palangkaraya masih
berupa Draft Rencana Tata Ruang beserta Peraturan
Daerahnya. Sementara draft RTRW Kabupaten Kapuas
dalam proses pembahasan dengan DPRD. Draft
RTRWK yang telah tersusun masih mengacu pada
pada SK.529/2012 yang menunjuk kawasan areal hutan
seluas 15.300.000 ha. Draft masih dianggap belum
mengakomodir fakta di lapang serta banyak perubahan
yang telah terjadi. Berbagai pihak mendorong agar ada
proses review sekaligus peninjauan ulang pengukuhan
kawasan tersebut karena banyak wilayah hutan yang
diklaim merupakan wilayah kelola masyarakat terutama
untuk lahan pertanian dan perkebunan karet. PPLB
berkontribusi dalam menunjukan fakta wilayah dengan
dukungan data spasial dan non spasial yang telah
tersedia.
Respons Pemerintah Daerah Kapuas
terhadap PPLB/SLUP :
• Peta perencaan tata guna lahan bisa masuk
dalam rencana detail tata ruang (RDTR) dengan
memperlihatkan/menggunakan pendekatan
poligon.
• PPLB dimungkin secara langsung terintegrasi
dalam RTRWK karena memiliki kesamaan
nomenklatur dalam RTRWK.
• Data hasil PPLB bisa menjadi bahan kajian
Pemerintah DaerahKapuas dalam penataan ruang
kabupaten khususnya dalam penatabatasan
kawasan hutan dan pengajuan pelepasan kawasan
hutan termasuk dalam menyambut Undang –
Undang Desa No 6 Tahun 2014.
• PPLB memberikan proses pembelajaran
bagaimana menjamin pelibatan masyarakat
dalam perencanaan ruang yang disyaratkan
dalam kebijakan penataan ruang.
• Inisiasi pembentukan forum komunikasi tata
ruang tidak saja dilevel Kabupaten tetapi hingga
propinsi.
“ “
42. 41
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
IV.4.2. PPLB/SLUP Rampi, Luwu Utara Sulawesi Selatan.
Wilayah Rampi dalam pola ruang kabupaten Luwu Utara termasuk dalam klaim kawasan hutan lindung dan kawasan
budidaya. Kawasan lindung yakni dalam kategori kawasan rawan bencana, kawasan rawan tanah longsor dan
kawasan lindung geologi; kawasan budidaya yakni kawasan hutan produksi terbatas dan kawasan hutan produksi
yang dapat dikonversi. Sementara disisi lain, Kecamatan Rampi juga menjadi bagian dalam rencana kawasan
strategis yaitu pengembangan potensi pertambangan bersama dengan Kecamatan Seko dan Limbong. PPLB
memberikan gambaran rill soal implikasi negatif rencana tambang terhadap penghidupan masyarakat Rampi yang
masih memegang pengelolaan berbasis kearifan lokal. Oleh karenanya dokumen PPLB menjadi bagian penting
berkontribusi dalam rencana revisi RTRWK Luwu Utara pada tahun 2016.
Respons Pemerintah Daerah Luwu Utara terhadap SLUP :
• SLUP menggambarkan fakta wilayah aktual Kecamatan Rampi yang berkontribusi dalam penyusunan
pengajuan Areal Penggunaan Lain (APL) Kabupaten Luwu Utara
• Penguatan dan pendampingan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah dalam melakukan tugas dan
fungsinya
• Inisiasi MoU dengan Pemerintah Luwu Utara terkait dengan kerjasama dalam memperluas perencanaan tata
guna lahan berkelanjutan
• PPLB memberikan proses pembelajaran mengenai pentingnya data lapang yang akurat, proses partisipatif
yang berkontribusi sebagai media penyelesaian konflik, khususnya konflik batas.
• Rencana tindak lanjut pasca PPLB di Luwu Utara adalah insiasi rencana pemetaan partisipatif di 61 Desa dalam
3 Kecamatan dalam upaya memperjelas batas Desa oleh Badan Pembangunan Masyarakat Desa (BPMD).
“ “
Pemerintah Kabupaten Luwu Utara mengapresiasi program SLUP ini, mengingat
bahwa Kabupaten Luwu Utara sudah mengeluarkan perda tentang tata ruang wilayah
dan Peraturan Bupati tentang perencanaan partisipatif, kami berharap program
ini bisa direplikasi ke Desa-Desa dan Kecamatan-Kecamatan lainnya yang belum
melaksanakan”(IbuHj. Indah PutriIndriani, SIP, M.Si- Wakil BupatiLuwu Utara)
Dokumentasi
SLUP,
2014
Koferensi Pers SLUP JKPP bersama dengan
Wakil Bupati Luwu Utara dan Camat Rampi
43. 42 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
V. Penutup
Kesimpulan
• Masih ditemukan ada perbedaan antara batas Desa hasil pemetaan partisipatif dengan batas administrasi
pemerintah.
• Kawasan Hutan sebagai hutan negara dan konsep tenurial masyarakat menjadi potensi besar pertentangan
kepentingan dalam akses dan kepemilikan lahan di masyarakat. Titik kompromi yang dibangun dengan Hutan
Desa tapi tetap menerapkan model-model kearifan tradisional yang ada. Kecamatan Timpah hanya ada
2% yang bukan kawasan hutan sehingga perlu ada jalan/solusi bagi perluasan akses masyarakat terhadap
sumber daya khususnya hutan
• Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 maupun Peraturan Gubernur Kalimatan Tengah No. 13 tahun 2009 tentang
Tanah Adat Dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah sebagai dasar penegasan wilayah adat dan yang terkandung
di dalamnya
• Masyarakat telah memiliki pola-pola penggunaan ruang yang sudah ada dan terus dikembangkan sampai
sekarang seperti konsep pengelolaan tradisional dapat menjadi dasar dalam penyusunan RTRW Detail
Kecamatan
• Kebijakan pembangunan masa lalu telah mempengaruhi model-model pengelolaan tradisional masyarakat.
Upaya Pemerintah untuk rehabilitasi dan revitalisasi kawasan belum terimplementasikan.
• Berdasarkan hasil analisis SLUP, ditemukan ketidaksesuaian antara Rencana Tata Ruang Wilayah baik Provinsi
maupun Daerah denga perencanaan masyarakat. Tingkat kesesuaian perencaan masyarakat Timpah sebesar
36% Sementara yang tidak sesuai mencapai 64%. Kesesuaian kawasan budidaya masyarakat Rampi dengan
RTRWK hanya sekitar 20% Sebaliknya ketidaksesuaian kawasan RTRWK mencapai 52%.
Rekomendasi
• Tantangan kedepan bagi masyarakat di Kecamatan Timpah dan Rampi yaitu bagaimana membuktikan bahwa
mereka mampu mengelola lahan berkelanjutan dengan tetap memperhatikan keberlanjutan penghidupan
masyarat.
• Konsep-konsep tradisional dalam pengelolaan hutan perlu dipertahankan dan dikembangkan berdasarkan
perkembangan jaman dan tututan kebutuhan ekonomi masyarakat.
• Dalam penyusunan rencana tata ruang berkelanjutan masyarakat perlu mencari atau menggali kembali dasar
filosofi yang ada ditengah masyarakat
• Kondisi pembatas seperti kondisi fisik wilayah yang ada menjadi bagian yang diperhatikan dalam perencanaan
tata ruang berkelanjutan
• Batas wilayah Desa perlu segera diselesaikan dengan melibatkan pihak pemerintahaaan
• Pemerintah dalam menetapkan kebijakan penataan ruang diwilayah Kecamatan Timpah dan Rampi harus
mengakomodir perencanaan yang dibuat oleh masyarakat
• Perijinan pemanfaatan swasta skala luas penting untuk memperhatikan kondisi sosial, ekonomi masyarakat
setempat dan hak tenurial masyarakat
44. 43
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
Daftar Pustaka
Bappeda. 2005. Laporan Rencana Kegiatan Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kapuas. Kapuas:
Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas.
Bappeda. 2005. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Kapuas Tahun 2005-
2009. Kapuas: Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas.
Basri, H.D. 2013. Konsep Pengelolaan SDA Masyarakat Adat Dayak Ngaju dengan Menggunakan Kearifan
Lokal. http://berita.borneoclimate.info/2013/01/17/konsep-pengelolaan-sda-masyarakat-adat-dayak-ngaju-
dengan-menggunakan-kearifan-lokal/.
BPS [2014]. Kabupaten Kapuas Dalam Angka. Kapuas: Badan Pusat Statistik.
BPS [2014]. Kabupaten Kapuas Dalam Angka. Luwu Utara: Badan Pusat Statistik.
BPS [2014]. Statistik Daerah Kecamatan Rampi Kabupaten Luwu Utara, Luwu Utara: Badan Pusat Statistik.
BPS [2014]. Statistik Daerah Kecamatan Timpah Kabupaten Kapuas, Kapuas: Badan Pusat Statistik.
Chalifour. 2007. dalam AUMA (Alberta Urban Municipalities Association). 2007. Sustanaible Land Use Planning:
Analysis and Recomendations Suggested process overview.
Limin, H. Suwindo. 2006. Pemanfaatan Lahan Gambut Dan Permasalahannya. Palangkaraya: Centre For
International Cooperation In Management Of Tropical Peatland (CIMTROP) Universitas Palangka Raya.
Liswanti, N., Shantiko, B., Fripp, E., Mwangi, E. dan Laumonier, Y. 2012. Panduan praktis untuk survei mata
pencaharian sosial-ekonomi dan hak dan kepemilikan lahan untuk digunakan dalam perencanaan penggunaan
lahan kolaboratif yang berbasis ekosistem. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR)
Indonesia.
Muhajir, M [editor]. 2010. REDD di Indonesia: Ke mana akan melangkah. Jakarta: HuMa.
National Land Use Planning Commission. 1998. Guidelines for Participatory Village Land Use Management in
Tanzania. The United Republic of Tanzania.
Peta Rencana Pola Tata Guna Lahan Desa Petak Puti’ Kecamatan Timpah Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah.
2014. Tim Pola Tata Guna Lahan Desa KFCP.
Ritung S, Wahyunto, Agus F, Hidayat H. 2007. Panduan Evaluasi Kesesuaian Lahan dengan Contoh Peta Arahan
Penggunaan Lahan Kabupaten Aceh Barat. Bogor: Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre
(ICRAF) Indonesia.
Savitri, L .2011. Politik Ruang dan Penguasaan Tanah untuk Pangan. Jurnal Wacana Edisi 26 tahun XIII. Insist Press.
Yogyakarta
Setyowati, F.M, Riswan, S, dan Susiarti, S. 2005. Etnobotani Masyarakat Dayak Ngaju Di Daerah Timpah Kalimantan
Tengah. Jakarta: Pusat Penelitian Biologi – LIPI.
Subhany, Edy. 2010. Melihat Kembali Konsep Handil dan Sistem Pengelolaanya. Wahana Lingkungan Hidup
Kalimantan Tengah.
Wibowo, Adi. Analisis Ruang Dan Perencanaan Penataan Ruang Berkelanjutan Dalam Kerangka Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS). Depok: Pusat Penelitian Geografi Terapan Departemen Geografi, Universitas
Indonesia.
45. 44 PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BERKELANJUTAN (PPLB) DI KECAMATAN TIMPAH DAN RAMPI
Dokumentasi
SLUP,
2014
46. Perumahan Bogor Baru Taman
Jl. Cimanuk Blok B 7 No. 6
Kel. Tegal Gundil, Kec Bogor Utara, Kota Bogor - 16152
Tel. (0251) 8379 143, Fax (0251) 8379 143
www.jkpp.org