teori dan aplikasi akuntansinya. kami menyadur aplikasi akuntansinya dari buku pak Rizal. musyarakah belum diminati masyarakat. oleh karenanya, jumlah transaksi musyarakah di perbankan syariah masih nol.
semoga bermanfaat :)
1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bermuamalah sangat dianjurkan bahkan diharuskan dalam islam. Karena dengan
bermuamalah umat Islam dapat membangun pondasi sosial yang kuat, baik dari individu
maupun masyarakat secara keseluruhan.
Salah satu cara agar menjadikan kegiatan muamalah menjadi lebih kuat struktur
serta memperluas cakupan kegiatannya adalah dengan bermusyarakah yakni akad
kerjasama antar pihak-pihak terkait dalam suatu kegiatan muamalah tertentu yang
diartikan sebagai kegiatan ekonomi.
Oleh karena hal tersebut, penulis rasa sangat penting untuk membahas secara
lebih mendalam tentang syirkah dalam kegiatan perekonomian umat Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari musyarakah ?
2. Apa saja rukun dan syarat musyarakah ?
3. Apakah dasar hukum dalam musyarakah ?
4. Apa saja macam-macam musyarakah ?
5. Bagaimanakah aplikasi musyarakah dalam perbankan syariah ?
6. Apa sajakah tujuan dan manfaat musyarakah ?
C. Tujuan
Dari perumusan masalah di atas, diharapkan akan dapat dicapai beberapa sasaran
sebagai tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1. Mengetahui dengan jelas pengertian dari musyarakah
2. Mengetahui rukun dan syarat musyarakah
3. Mengetahui dasar hukum dalam musyarakah
4. Mengetahui berbagai macam musyarakah
5. Mengetahui aplikasi musyarakah dalam perbankan syariah
6. Mengetahui penggambaran tujuan dan manfaat musyarakah
2. 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Musyarakah
Menurut Afzalur Rahman, seorang Deputy Secretary General in The Muslim
School Trust, secara bahasa Syirkah secara etimologis mempunyai arti pencampuran
(Ikhlitath), yakni persekutuan dua orang atau lebih, sehingga antara masing-masing sulit
dibedakan atau tidak dapat dipisahkan.1
Istilah lain dari musyarakah adalah sharikah
atau syirkah atau kemitraan.
Secara terminologis, menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, syirkah atau
musyarakah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam permodalan,
keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan
berdasarkan nisbah.2
PSAK No. 106 mendefinisikan musyarakah sebagai akad
kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-
masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi
berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana. Para
mitra bersama-sama menyediakan dana untuk mendanai sebuah usaha tertentu dalam
masyarakat, baik usaha yang sudah berjalan maupun yang baru, selanjutnya salah satu
mitra dapat mengembalikan dana tersebut dan bagi hasil yang telah disepakati
nisbahnya secara bertahap atau sekaligus kepada mitra lain. Investasi musyarakah dapat
dalam bentuk kas, setara kas atau aset nonkas.3
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dan dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.4
Dalam musyarakah, para mitra sama-sama menyediakan modal untuk
membiayai suatu usaha tertentu dan bekerja bersama mengelola usaha tersebut. Modal
1
Ramat Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 183.
2
Pasal 20 ayat (3)
3
Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2014), hlm. 150
4
Ibnu Rusy, Bidayatul Mujtahid, Babi Al Halabi, Cairo, tanpa tahun, jilid II, hlm. 253-257.
3. 3
yang ada harus digunakan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama
sehingga tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi atau dipinjamkan pada pihak
lain tanpa seizin mitra lainnya.5
Kontirbusi yang diberikan oleh setiap mitra tersebut, membuat para mitra tidak
bisa lepas tangan terhadap usaha yang dijalankan. Musyarakah bertujuan untuk
memaksimalkan keuntungan atau hasil dari usaha. Sebab musyarakah dapat mendukung
kemampuan akumulasi modal yang lebih besar, relasi bisnis yang lebih luas, keahlian
yang lebih beragam, wawasan yang lebih luas, dan lain sebagainya. Keuntungan yang
dibagikan kepada pemilik modal merupakan keuntungan riil, bukan dengan nilai
nominal yang telah ditetapkan sebelumnya seperti bunga (riba). Musyarakah merupakan
akad kerjasama dalam usaha tertentu, sehingga keuntungan yang akan didapat belum
bisa dipastikan di awal akad. Jika keuntungan ditentukan dalam nilai nominal, akan ada
pihak yang dirugikan dan pihak yang diuntungkan.
Pada dasarnya, atas modal yang ditanamkan tidak boleh ada jaminan dari mitra
lainnya karena bertentangan dengan prinsip untung muncul bersama risiko (al-ghunmu
bi al-ghurmi). Namun demikian untuk mencegah mitra melakukan kelalaian, melakukan
kesalahan yang disengaja atau melanggar perjanjian yang telah disepakati,
diperbolehkan meminta jaminan dari mitra lain atau pihak ketiga. Tentu saja jaminan ini
baru dicairkan apabila terbukti ia melakukan penyimpangan. PSAK No. 106 par 7
memberikan beberapa contoh yang disengaja yaitu: a) pelanggaran terhadap akad;
antara lain, penyalahgunaan dana investasi, manipulasi biaya, dan pendapatan
operasional; atau b) pelaksanaan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah.6
Selain musyarakah, terdapat juga kontrak investasi untuk bidang pertanian yang
pada prinsipnya sama dengan prinsip syirkah. Bentuk kontrak bagi hasil yang
diterapkan pada tanaman pertanian setahun dinamakan muzaraah. Bila bibitnya berasal
dari pemilik tanah, disebut mukhabarah. Sedangkan bentuk kontrak bagi hasil yang
diterapkan pada tanaman tahunan disebut musaqat.7
5
Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2014), hlm. 150
6
Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2014), hlm. 151
7
Adiwarman Kariem, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004), hlm.
4. 4
Contoh ilustrasi Akad Musyarakah: Bapak A sebagai pemilik Usaha Dagang
“Logam Indah” dan seorang ahli di bidang pengecoran logam, memiliki dana yang
terbatas untuk memenuhi perminataan atau pesanan pelanggan. Untuk itu Bapak A
datang ke Bapak C seorang tetangga dan pemilik “CV Maju Bersama” yang setuju
untuk menanamkan dananya untuk berusaha bersama dengan Bapak A. Bapak C
meminta bagi hasil dari kegiatan yang didanai oleh dana miliknya seebsar 10 % dari
penghasilan.
B. Dasar Hukum Musyarakah
1) Al-Quran
a) QS. al-Nisa’ [4]: 12
......
Artinya: “...Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu...”
b) QS. Shad [38]: 12
...
...
Arinya: ...“Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian
mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini"...
2) Hadis Nabi Saw
5. 5
َعَنََاَِبَََُرَيَرَةََرَفَعَهََقَالََرَسَوَلََاهللَصَلَىَاهللََعَلَيَِهََوََسَلَمََاَنََاهللََيَقَوَلََاَنَاَثَِالَثََالشَِرَيَكَِيََمَاَلََيَنَ
َاَحَدَهَاَصَِاحَبَهَ)اهَابوَداودو(ر
Artinya: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: sesunguhnya Allah Azza Wa
Jalla berfirman: aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya
tidak mengkhianati lainnya” (HR. Abu Daud).
Hadits Riwayat Abu Daud dan Hakim dan menshahihkan sanadnya. Maksudnya
Allah akan menjaga dan menolong dua orang yang bersekutu dan menurunkan berkah
pada pandangan mereka. Jika salah seorang yang bersekutu itu menghianati temanya,
Allah SWT akan menghilangkan pertolongan dan keberkahan tersebut.8
3) Ijmak Ulama
Ulama Islam telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global
walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.9
Ibnu Qudamah
dalam kitabnya al-Mughni telah berkata: “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap
legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan dalam beberapa
elemen darinya.10
4) Kaidah Fikih
َالَصَلََِفََالَمَعَامَلَِتََِالَبَاحَةََِاَلََاَنََيَدَلََدَِلَيَلََعَلَىَتَِرَِيَها
Artinya: “Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilaksanakan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.”
C. Rukun, Syarat, dan Ketentuan dalam Akad Musyarakah
8
Rahmat Syafe’i, Op.cit.
9
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adilatuh, Jilid IV, hlm. 793. Dikutip dari Syarif Hidayatullah,
Qawaid Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syariah Kontemporer: Muamalat,
Maliyyah Islamiyyah, Mu‟ashirah, (Jakarta: Gramata Publishing, 2012), hal. 121
10
Muhamad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2002), hlm. 91
6. 6
Hanafiyah berpendapat bahwa rukun syirkah hanya ada satu yaitu shighat (Ijab
dan Qabul), karena shighat lah yang mewujudkan adanya transaksi syirkah. Mayoritas
ulama berpendapat bawa rukun syirkah ada empat yaitu: shighat, dua orang yang
melakukan transaksi atau „aqidain, dan objek yang ditransaksikan. Sedangkan menurut
ijmak (kesepakatan) ulama syarat-syarat Syirkah ialah sebagai berikut:
Shigat
Aqidain
Objek syirkah; Modal syirkah
Nishbah
Shighat yaitu ungkapan yang keluar dari masing-masing kedua pihak yang
bertransaksi yang menunjukkan kehendak untuk melaksanakannya. Shighat terdiri dari
ijab dan qabul yang sah baik berupa perbuatan (serah terima) maupun ucapan. Ijab
qabul diartikan pula sebagai pernyataan dan ekspresi saling rida/rela di antara pihak-
pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
„Aqidain adalah dua pihak yang melakukan transaksi. Syirkah tidak sah kecuali
dengan adanya kedua belah pihak ini. Ketentuan untuk aqidain ini ialah layak untuk
melakukan transaksi (cakap hukum). Dalam Islam yang orang yang dianggap cakap
hukum yaitu orang yang sudah balig, berakal, pandai, dan tidak dicekal untuk
membelanjakan harta (tidak di bawah pengampuan).
Objek syirkah yakni modal pokok biasanya berupa harta atau kerja. Modal
pokok syirkah harus ada serta tidak boleh berupa harta yang terutang atau benda yang
tidak diketahui karena tidak dapat dijalankan atau dimanfaatkan. Ketentuan untuk
modal:11
1. Modal yang harus diberikan harus tunai.
2. Modal yang diserahkan dapat berupa uang tunai, emas, perak, aset
perdagangan, atau aset tidak berwujud seperti lisensi, hak paten, dan
sebagainya.
11
Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2014), hlm. 155-156
7. 7
3. Apabila modal yang diserahkan dalam bentuk nonkas, maka harus ditentukan
nilai tunainya terlebih dahulu dan harus disepakati bersama.
4. Modal yang diserahkan oleh setiap mitra harus dicampur. Tidak dibolehkan
pemisahan modal dari masing-masing pihak untuk kepentingan khusus.
Misalnya, yang satu khusus membiayai pembelian pembangunan, dan yang
lain untuk membiayai pembiayaan perlengkapan kantor.
5. Dalam kondisi normal, setiap mitra memiliki hak untuk mengelola aset
kemitraan.
6. Mitra tidak boleh meminjam uang atas nama usaha musyarakah, demikian juga
meminjamkan uang kepada pihak ketiga dari modal musyarakah,
menyumbang, atau menghadiahkan uang tersebut. Kecuali, mitra lain
menyepakatinya.
7. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan modal
itu untuk kepentingan sendiri.
8. Pada prinsipnya dalam musyarakah tidak boleh ada penjaminan modal,
seorang mitra tidak bisa menjamin modal mitra lainnya, karena musyarakah
didasarkan prinsip al-ghunmu bi al-ghurmi. Namun demikian seorang mitra
dapat meminta mitra lain menyediakan jaminan dan baru dapat dicairkan
apabila mitra tersebut melakukan kelalaian atau kesalahan yang disengaja.
9. Modal yang ditanamkan tidak boleh digunakan untuk membiayai proyek atau
investasi yang dilarang oleh syariah.
Adapun ketentuan untuk kerja yang disertakan dalam musyarakah adalah sebagai
berikut:12
1. Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan
musyarakah.
2. Tidak dibenarkan bila salah seorang di antara mitra menyatakan tidak ikut
serta menangani pekerjaan dalam kemitraan tersebut.
3. Meskipun porsi kerja antara mitra yang satu dengan yang lainnya tidak sama,
mitra yang porsi kerjanya lebih banyak boleh meminta keuntungan yang lebih
besar.
12
Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2014), hlm. 156
8. 8
4. Setiap mitra bekerja atas nama pribadi atau mewakili mitranya.
5. Para mitra harus menjalankan usaha yang sesuai syariah.
6. Seorang mitra yang melaksanakan pekerjaan di luar wilayah tugas yang ia
sepakati, berhak memperkerjakan orang lain untuk menangani pekerjaan
tersebut. Jika ia sendiri yang melakukan pekerjaan itu, ia berhak menerima
upah yang sama dengan yang dibayar untuk pekerjaan itu ditempat lain, karena
biaya pekerjaan tersebut merupakan tanggungan musyarakah.
7. Jika seorang mitra memperkerjakan pekerja lain untuk melaksanakan tugas
yang menjadi bagiannya, biaya yang timbul harus ditanggungnya sendiri.
Adapun ketentuan mengenai nishbah musyarakah adalah sebagai berikut:13
1. Nisbah diperlukan untuk pembagian keuntungan dan harus disepakati oleh
para mitra di awal akad sehingga risiko perselisihan di antara para mitra dapat
dihilangkan.
2. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
3. Keuntungan harus dapat dikuantifikasi dan ditentukan dasar perhitungan
keuntungan tersebut misalnya bagi hasil atau bagi laba.
4. Keuntungan yang dibagikan tidak boleh menggunakan nilai proyeksi akan
tetapi harus menggunakan nilai realisasi keuntungan.
5. Mitra tidak dapat menentukan bagian keuntungannya sendiri dengan
menyertakan nilai nominal tertentu karena hal ini sama dengan riba dan dapat
melanggar prinsip keadilan dan prinsip untung muncul bersama risiko (al-
ghunmu bi al-ghurmi).
6. Pada prinsipnya keuntungan milik para mitra namun diperbolehkan
mengalokasikan keuntungan pihak ketiga bila disepakati, misalnya untuk
organisasi kemanusiaan tertentu atau untuk cadangan (reserve).
Beberapa syarat musyarakah menurut Utsmani yang dikutip Askarya, antara lain :
a. Syarat akad. Karena musyarakah merupakan hubungan yang dibentuk oleh
para mitra melalui kontrak/akad yang disepakati bersama, otomatis empat
syarat akad yaitu, 1) Syarat berlakunya akad (In‟iqad); 2) Syarat sahnya Akad
13
Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2014), hlm. 156-157
9. 9
(Shihah); 3) Syarat terealisasinya akad (Nafadz); 4) Syarat lazim yang harus
dipenuhi misalnya para mitra usaha harus memenuhi syarat pelaku akad
(Ahliyahi) dan wilayah, akad harus dilaksanakan atas persetujuan para pihak
tanpa adanya tekanan, penipuan, atau penggambaran yang keliru dan
sebagainya.
b. Pembagian proporsi Keuntungan
Proporsi keuntungan yang dibagikan kepada mitra usaha harus disepakati
di awal kontrak atau akad. Jika proporsi belum ditetapkan, akad tidak sah
menurut syariah.
Rasio atau nisbah keuntungan untuk masing-masing mitra usaha harus
ditetapkan sesuai dengan keuntungan nyata (riil) yang diperoleh dari
usaha, dan tidak ditetapkan berdasarkan modal yang disertakan. Tidak
diperbolehkan untuk menetapkan lump sum untuk mitra tertentu atau
tingkat keuntungan tertentu yang dikaitkan dengan modal investasinya.
Contoh Jika A dan B bermitra dan sepakat bahwa A akan mendapatkan
bagian keuntungan setiap bulan sebesar Rp 100.00,00 dan sisanya
merupakan bagian keuntungan dari B maka kemitraan itu tidak sah.
Demikian pula jika disepakati bahwa A akan memperoleh 15% dari nilai
Investasinya, kemitraan itu tidak sah. Dasar yang benar untuk
mendistribusikan keuntungan adalah persentase yang disepakati dari
keuntungan yang benar-benar diperoleh dari usaha.
c. Penentuan proporsi keuntungan.
Dalam menentukan proposi keuntungan, terdapat beberapa pendapat dari para
ahli Hukum Islam. Sebagai berikut :
Imam Malik dan iman Syafi’i berpendapat bahwa proporsi keuntungan
dibagi di antara mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya
dalam akad sesuai dengan proporsi modal yang disertakan.
Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat
pula berbeda dari proporsi modal yang mereka sertakan.
Imam Abu Hanifah, yang dapat dikatakan sebagai pendapat tengah-tengah,
berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat berbeda dari proporsi
modal. Sebagai contoh: mitra yang memilih untuk menjadi mitra pasif
10. 10
(mitra yang tidak ikut mengurusi usaha), proporsi keuntungannya tidak
boleh melebihi proporsi modal yang disertakan. Dalam arti bahwa
keuntungan bisa saja berbeda dengan modal yang disertakan, atau
disesuaikan dengan kontribusi kerja yang disertakan. Abu Hanifah
memperkuat argumennya ini dengan perkataan Ali bin Abi Thalib:
”Keuntungan harus sesuai dengan yang mereka tentukan, sedangkan
kerugian harus proposional dengan modal mereka.”
Menurut Sri Nurhayati dan Wasilah, penetapan nisbah dalam akad musyarakah
dapat ditentukan dengan dua cara:
1. Pembagian keuntungan sesuai modal
Dengan cara ini, keuntungan harus dibagi di antara para mitra secara
proporsional sesuai modal yang disetorkan, tanpa memandang apakah
jumlah pekerjaan yang dilaksanakan oleh para mitra sama ataupun tidak
sama. Apabila salah satu pihak menyetorkan modal lebih besar, maka
pihak tersebut akan mendapatkan proporsi laba yang lebih besar. Jika para
mitra mengatakan “Keuntungan akan dibagi di antara kita”, berarti
keuntungan akan dialokasikan menurut porsi modal masing-masing mitra.
2. Pembagian keuntungan tidak proposional dengan modal
Dengan cara ini, dalam penentuan nisbah yang dipertimbangkan tidak
hanya modal yang disetorkan, tetapi juga tanggung jawab, pengalaman,
kompetensi, atau waktu kerja yang lebih panjang. Sebagaimana Ibnu
Qudamah menyatakan: “Pilihan dalam keuntungan dengan adanya kerja,
seseorang dari mereka mungkin lebih ahli dalam bisnis dari yang lain dan
ia mungkin lebih kuat dari yang lain dalam melaksanakan pekerjaan.
Karenanya ia diijinkan untuk menuntut keuntungan yang lebih banyak.”
d. Pembagian kerugian.
Para ahli Hukum Islam sepakat bahwa setiap mitra menanggung kerugian
sesuai dengan proporsi modal atau investasinya.
e. Sifat Modal
Sebagian besar ahli Hukum Islam berpendapat bahwa, modal yang
diinvestasikan oleh setiap mitra harus dalam bentuk modal liquid. Hal ini
11. 11
berarti bahwa akad musyarakah hanya dapat dengan uang dan tidak dapat
dengan komoditas.
f. Manajemen Musyarakah
Prinsip normal dari musyarakah bahwa setiap mitra mempunyai hak untuk ikut
serta dalam manajemen dan bekerja untuk perusahaan patungan ini. Namun
demikian, para mitra dapat pula sepakat bahwa manajemen perusahaan akan
dilakukan oleh salah satu dari mereka, dan mitra lain tidak akan menjadi bagian
dari musyarakah. Dalam kasus seperti ini, mitra pasif akan memperoleh bagian
keuntungan terbatas pada modal yang disertakannya saja. Jika para mitra sepakat
untuk bekerja di perusahaan, masing-masing mitra harus diperlakukan sebagai
agen dari mitra yang lain dalam semua urusan usaha serta keuntungan harus
disetujui bersama oleh seluruh mitra.
Ketentuan syar’i transaksi musyarakah yang dilakukan oleh lembaga perbankan
syariah mengacu pada fatwa DSN Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000. Dalam fatwa tersebut,
diatur berbagai hal terkait ijab kabul, ketentuan tentang pihak-pihak yang bertransaksi,
objek akad musyarakah, dan biaya operasional yang disengketakan. Secara detail, fatwa
DSN tentang transaksi musyarakah dibahas dalam bagian rukun transaksi musyarakah
tersebut.
D. Berakhirnya Akad Musyarakah
Musyarakah akan berakhir jika salah satu peristiwa terjadi, yaitu :
Setiap mitra memiliki hak untuk mengakhiri musyarakah kapan saja, setelah
menyampaikan pemberitahuan kepada mitra yang lain mengenai hal ini.
Jika salah seorang mitra meninggal pada saat musyarakah masih berjalan,
kontrak dengan almarhum berakhir/dihentikan. Ahli warisnya memiliki pilihan
untuk menarik bagian modalnya atau meneruskan kontrak musyarakah.
Jika salah satu mitra menjadi hilang ingatan atau menjadi tidak mampu
melakukan transaksi komersial, maka musyarakah berakhir.
Modal musyarakah hilang/habis.
12. 12
E. Macam-macam Musyarakah
Musyarakah dibagi menjadi dua macam, yaitu musyarakah hak milik (syarikah
al-amlak) dan musyarakah transaksional (syarikah al-uqud). Musyarakah hak milik
ialah persekutuan antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan suatu barang dengan
salah satu sebab kepemilikan, seperti jual beli, hibah, atau warisan. Musyarakah
transaksional ialah kerjasama antara orang yang bersekutu dalam modal dan
keuntungan.14
Musyarakah transaksional menurut mayoritas ulama terbagi menjadi 4
macam, yakni:
1. Musyarakah al-Inan, merupakan persekutuan antara dua orang atau lebih
dengan modal yang mereka miliki bersama untuk membuka usaha yang
mereka lakukan sendiri, lalu berbagi keuntungan bersama. Porsi modal yang
disertakan tidak harus sama atau identik.
2. Musyarakah al-Abdan, merupakan persekutuan antara dua pihak atau lebih
dalam usaha yang dilakukan dengan keahlian mereka, seperti kerjasama
persatuan dokter di klinik. Musyarakah ini disebut juga sebagia syirkah
shana „i wat taqabbul atau syirkah A‟mal.
3. Musyarakah al-Wujuh, merupakan persekutuan dua pihak atau lebih dalam
keuntungan dari apa yang mereka beli dengan nama baik mereka. Alur
transaksinya, diawali dengan persekutuan atau kerjasama antara dua pihak
atau lebih untuk membeli barang dengan nama baik salah satu atau semua
pihak yang bersekutu atau dengan kepercayaan pedagang kepada mereka
tanpa menggunakan uang (kredit). Kemudian, pihak yang membeli barang
tersebut menjualnya. Keuntungan yang didapat dari hasil penjualan
dibagikan kepada para pihak yang bersekutu dan pedagang. Jenis
musyarakah ini tidak membutuhkan modal karena pembelian dilakukan
secara kredit. Oleh karenanya, musyarakah ini sering disebut sebagai
musyarakah piutang.
4. Musyarakah al-Mufawadhah, merupakan persekutuan di mana masing-
masing pihak beraliansi memiliki jumlah modal dan usaha yang sama dari
mulai berjalannya persekutuan sampai akhir. Dengan demikian, syarat utama
14
Prof. Dr. Shalah as-Shawi dan Prof. Dr. Abdullah al-Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta:
Darul Hak, 2008), hlm. 145-146.
13. 13
dari jenis musyarakah ini adalah kesamaan modal yang disertakan, kerja,
tanggun jawab, dan beban utang dibagi masing-masing pihak.
Berdasarkan perubahan porsi modal orang yang bersekutu, musyarakah dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu musyarakah permanen dan musyarakah menurun.
Musyarakah permanen ialah musyarakah dengan ketentuan bagian modal setiap mitra
bersifat tetap hingga akhir masa akad. Musyarakah menurun atau musyarakah
mutanaqhisah ialah musyarakah dengan ketentuan bagian modal salah satu mitra akan
dialihkan bertahap kepada mitra lainnya, sehingga bagian modalnya akan menurun dan
pada akhir masa akad mitra lain tersebut akan menjadi pemilik penuh usaha itu.15
F. Aplikasi Musyarakah
Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah
dan bank syariah sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut.
Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil
yang telah disepkati untuk bank. Dalam hal ini, bank berperan sebagai mitra pasif,
artinya bank tidak mencampuri urusan nasabah dalam pengelolaan proyek. Pada
lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan
perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura16
. Penanaman modal
dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau
menjual barang sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.17
Adapun perusahaan modal ventrua adalah suatu badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan
pasangan usaha untuk jangka waktu tertentu, maksimal antara lima sampai sepuluh
tahun. Salah satu ciri dari perusahaan modal ventura adalah perusahaan modal ventura
15
Rizal Yahya, dkk, Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktek Kontemporer, (Jakarta: Salemba
Empat, 2012), hlm. 151.
16
Usaha atau kerjasama bisnis patungan atau kemitraan antara dua perusahaan atau lebih dalam proporsi
atau pembagian kepemilikan menurut kemampuan masing-masing.
17
Muhamad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2002), hlm. 93
14. 14
tidak hanya memberi bantuan berupa modal, tetapi juga terlibat dalam manajemen
perusahaan mitra.18
Alur transaksi musyarakah di Perbankan Syariah19
:
Pertama, dimulai dari pengajuan permohonan investasi musyarakah oleh nasabah
dengan mengisi formulir permohonan pembiayaan. Formulir tersebut diserahkan kepada
bank syariah beserta dokumen pendukung. Selanjutnya pihak bank melakukan evaluasi
kelayakan investasi musyarakah yang diajukan nasabah dengan menggunakan analisis 5
C (Character, Capacity, Capital, Commitment, dan Collateral). Kemudian, analisis
diikuti dengan verifikasi. Bila nasabah dan usaha dianggap layak, selanjutnya diadakan
perikatan dalam bentuk penandatanganan kontrak musyarakah dengan nasabah sebagai
mitra di hadapan notaris. Kontrak yang dibuat setidaknya memuat berbagai hal untuk
memastikan terpenuhinya rukun musyarakah.
Kedua, bank dan nasabah mengontribusikan modalnya masing-masing dan nasabah
sebagai mitra aktif mulai mengelola usaha yang disepakati berdasarkan kesepakatan dan
kemampuan terbaiknya.
Ketiga, hasil usaha dievaluasi pada waktu yang ditentukan berdasarkan kesepakatan.
Keuntungan yang diperoleh akan dibagi antara bank dan nasabah sesuai dengan porsi
yang telah disepakati. Seandainya terjadi kerugian yang tidak disebabkan oleh kelalain
18
Zaeni Asyhahdie, Hukum Bisnis, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2005), hlm. 120-122
19
Rizal Yahya, dkk, Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktek Kontemporer, (Jakarta: Salemba
Empat, 2012), hlm.154
Bank syariah
(Mitra Pasif)
4 a. Menerima porsi
laba
5. Menerima
kembalian modal 3. Membagi hasil usaha:
- Keuntungan dibagi sesuai nisbah
- Keruggian tanpa kelalaian
nasabah ditanggung sesuai modal
2. Pelaksanaan
Usaha Produktif
1. Negosiasi dan
Akad Musyarakah
4 b. Menerima
porsi laba
Nasabah (Mitra
Aktif)
15. 15
nasabah sebagai mitra aktif, maka kerugian ditanggung proposional terhadap modal
masing-masing mitra. Adapun kerugian yang disebabkan oleh kelalaian nasabah sebagai
mitra aktif sepenuhnya menjadi tanggung jawab nasabah.
Keempat, bank dan nasabah menerima porsi bagi hasil masing-masing berdasarkan
metode perhitungan yang disepakati.
Kelima, bank menerima pengembalian modalnya dari nasabah. Jika nasabah telah
mengembalikan semua modal milik bank, usaha selanjutnya menjadi milik nasabah
sepenuhnya.
Berdasarkan PSAK 106 paragraf 36 tentang akuntansi musyarakah, terdapat
beberapa hal yang perlu disajikan oleh bank sebagai mitra pasif terkait transaksi
musyarakah yang dilakukan sebagai berikut:
1. Kas atau aset yang diserahkan kepada mitra aktif disajikan sebagai investasi
musyarakah.
2. Keuntungan tangguhan dari selisih penilaian aset non-kas yang diserahkan pada
akhir nilai wajar disajikan sebagai pos lawan (contra account) dari investasi
musyarakah.
G. Perjurnalan Transaksi Musyarakah
Contoh: Pada tanggal 2 Februari 2015, Bu Nasibah menandatangani akad
pembiayaan usaha penggilingan padi (membeli padi, menggiling, selanjutnya menjual
beras) dengan Bank Murni Syariah (BMS) dengan skema musyarakah sebagai berikut:20
20
Rizal Yahya, dkk, Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktek Kontemporer, (Jakarta: Salemba
Empat, 2012), hlm. 156
16. 16
Nilai Proyek : Rp 80.000.000
Kontribusi Bank : Rp 60.000.000 (pembayaran tahap pertama sebesar Rp
35.000.000 dilakukan tanggal 12 Februari, pembayaran
tahap kedua sebesar Rp 25.000.000, dilakukan tanggal 2
Maret).
Kontribusi Bu Nasibah : Rp 20.000.000
Nisbah Bagi Hasil : Bu Nasibah 75% dan BMS 25%
Periode : 6 bulan
Biaya Administrasi : Rp 600.000 (1% dari pembiayaan bank)
Objek Bagi Hasil : Laba bruto (selisih harga jual beras dikurangi harga
pembelian padi)
Skema Pelaporan dan Pembayaran Porsi Bank: setiap tiga bulan (dua kali masa panen)
pada tanggal 2 Mei dan 2 Agustus 2015.
Skema Pelunasan Pokok: musyarakah permanen- dilunasi pada saat akad berakhir
tanggal 30 Agustus 2015.
Berikut perjurnalan untuk transaksi musyarakah di atas:
Dalam praktik perbankan, pada saat akad musyarakah disepakati, bank akan
membuka cadangan rekening investasi musyarakah untuk nasabah. Pada tanggal itu
juga, bank membebankan biaya administrasi dengan mendebit rekening nasabah.21
Jurnal untuk membuka cadangan investasi musyarakah untuk Bu Nasibah dan
pembebanan biaya administrasinya ialah sebagai berikut:
21
Rizal Yahya, dkk, Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktek Kontemporer, (Jakarta: Salemba
Empat, 2012), hlm. 156
17. 17
Tanggal Rekening Debit Kredit
02/02 Pos lawan komitmen administrasi pembiayaan 60.000.000
Kewajiban komitmen administrasi pembiayaan 60.000.000
Kas/rekening nasabah 600.000
Pendapatan administrasi 600.000
Pada tanggal 12 Februari, Bank mentransfer sebesar Rp. 35.000.000 ke rekening
Bu Nasibah sebagai pembayaran tahap pertama. Selanjutnya pada tanggal 2 Maret,
Bank Syariah menyerahkan dana tahap kedua sebesar Rp. 25.000.000.
Berikut jurnal transaksinya:
Tanggal Rekening Debit Kredit
12/02 Investasi musyarakah 35.000.000
Kas/rekening nasabah 35.000.000
Kewajiban komitmen administratif pembiayaan 35.000.000
Pos lawan komitmen administratif pembiayaan 35.000.000
02/03 Investasi musyarakah 25.000.000
Kas/rekening nasabah 25.000.000
Kewajiban komitmen administratif pembiayaan 25.000.000
Pos lawan komitmen administratif pembiayaan 25.000.000
Realisasi laba bruto Bu Nasibah selama dua kali masa panen yang dilaporkan pada
tanggal 2 Mei dan 2 Agustus 2015:
18. 18
No. Periode Jumlah Laba Bruto Porsi Bank 25% Tanggal pembayaran
1. Masa Panen I 14.000.000 3.500.000 02 Mei
2. Masa Panen II 16.000.000 4.000.000 02 Agustus
Pada tanggal 2 Mei, Bu Nasibah membayar bagi hasil untuk bank syariah:
Tanggal Rekening Debit Kredit
02/05 Kas/rekening nasabah 3.500.000
Pendapatan bagi hasil musyarakah 3.500.00
Bentuk jurnal penerimaan bagi hasil yang pembayarannya dilakukan saat 02 Agustus
sama saja dengan jurnal di atas.
Pada tanggal 2 Agustus yakni saat pelunasan, Bu Nasibah melunasi investasi
musyarakah sebesar Rp. 60.000.000. Jurnal transaksinya sebagai berikut:
Tanggal Rekening Debit Kredit
30/08 Kas/rekening nasabah 60.000.000
Investasi musyarakah 60.000.000
19. 19
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Investasi musyarakah sebagai akad kerja sama antara kedua belah pihak atau
lebih untuk menjalankan usaha tertentu dengan tujun mencapai keuntungan di masing-
masing pihak memberikan kontribusi modal dan kerja.Setiap mitra harus memberikan
kontribusi dalam pekerjaan dan ia menjadi wakil mitra lain yaitu sebagai agen bagi
usaha kemitraan.Oleh karena itu seorang mitra tidak bisa lepas tangan dari aktifitas
yang dilakukan mitra lainnya dalam menjalankan aktivitas bisnis yang normal.Apabila
usaha tersebut untung maka keuntungan tersebut akan dibagikan kepada para mitra
sesuai dengan nisbah yang telah disepakati bersama, sedangkan bila mengalami
kerugian maka akan dikontribusikan pada para mitra sesuai dengan porsi modal dari
setiap mitra.
Sepanjang seluruh rukun dan ketentuan syari’ahnya terpenuhi, musyarakah
adalah transaksi yang halal, hal ini berdasarkan sumber dari Al-Qur’an dan Hadits, serta
Ijmak Ulama.Untuk pencatatan akuntansi musyarakah telah diatur dalam PSAK No.106.
Tanggung jawab pencatatan berada di pihak mitra aktif sebagai pengelola. Namun, jika
mitra aktif memilih melakukannya sendiri, mitra aktif harus melakukannya secara
terpisah dengan catatan lainnya, minimal ada buku pembantu yang berfungsi untuk
melakukan pencatatan terpisah untuk transaksi musyarakah tersebut.
20. 20
Daftar Pustaka
Al-Quran al-Karim.
Ramat Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2001).
Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat,
2014).
Adiwarman Kariem, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004).
Syarif Hidayatullah, Qawaid Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan
Syariah Kontemporer: Muamalat, Maliyyah Islamiyyah, Mu‟ashirah, (Jakarta: Gramata
Publishing, 2012).
Muhamad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani,
2002).
Prof. Dr. Shalah as-Shawi dan Prof. Dr. Abdullah al-Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan
Islam, (Jakarta: Darul Hak, 2008).
Rizal Yahya, dkk, Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktek Kontemporer,
(Jakarta: Salemba Empat, 2012).
Zaeni Asyhahdie, Hukum Bisnis, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2005).
PSAK No. 106.