Teks tersebut membahas mengenai perumusan sanksi pidana dalam hukum pidana umum dan administratif, penjelasan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan pembentukan peraturan perundang-undangan. Secara garis besar, teks tersebut menjelaskan perbedaan sanksi pidana dalam hukum pidana umum dan administratif serta tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan menurut UU No
1. Nama : Tita Novitasari (11140460000046)
Kelas : C Muamalat, Syariah dan Hukum
Semester : III (Tiga)
Jawaban:
1. Perumusan sanksi pidana dalam aturan pidana umum dan aturan pidana
administratif
Sanksi atau sanction menurut Black’s Law Dictionary Seventh Edition adalah a penalty of
coercive measurre that result from failure to comply with a law, rule, or order (a sanction
for discovery abuse).1 Di Indonesia, secara umum dikenal sekurang-kurangnya tiga jenis
sanksi hukum yaitu:
1. sanksi hukum pidana
2. sanksi hukum perdata
3. sanksi hukum administratif
Dalam hukum pidana, sanksi hukum disebut hukuman. Menurut R. Soesilo hukuman
adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis
kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.
Sedangkan sanksi administratif adalah sanski yang dikenakan terhadap pelanggaran
administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat administratif.2 Dalam Black’s
Law Dictionary kata administrative crime atau pidana administratif berarti an offense
consisting of a violation of an administrative rule or regulation that carries with a criminal
sanction.3 Menurut Barda Nawawi Arief dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana,
pidana administratif merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana
1 Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Editor in Chief Bryan A. Corner, (United State of America: West
Publishing 2004).
2m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4be012381c490/sanksi-hukum-pidana-(pidana,-perdata,-dan-
administratif) Tangal. 9 Desember 2015
3 Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Editor in Chief Bryan A. Corner, (United State of America: West
Publishing, 2004), hal. 399
2. sebagai sarana untuk menegakan atau melaksanakan hukum administrasi.4 Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia administrasi adalah kegiatan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintah.
Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
perumusan sanksi pidana dalam hukum pidana umum dituliskan atau dirangkai di bagian
ketentuan umum. Sedangkan dalam hukum/aturan administratif, ketentuan mengenai sanksi
pidana administratif dirumuskan di BAB V dan perumusannya bergantung pada ketentuan
umum. Jika ketentuan umum dalam aturan administratif menghendaki adanya ketentuan
pidana sehingga ketentuan pidana dalam aturan administratif tersebut diperlukan maka
ketentuan pidana tersebut bisa dirumuskan terpisah dari ketentuan umum yakni di BAB V
tentang Ketentuan Pidana. Sanksi pidana dalam hukum administratif juga bersifat
ringan/sedang.
Pada umumnya sanksi administratif berupa:5
- Denda, misalnya diatur dalam PP No. 28 Tahun 2008
- Pembekuan hingga pencabutan sertifikat dan/atau izin, misalnya yang diatur dalam
Permenhub (Peraturan Menteri Perhubungan) No. KM 26 Tahun 2009
- Perhentian sementara layanan administrasi hingga pengurangan jatah produksi,
misalnya yang diatur dalam Keputusan KPPU No. 252/KPPU/KEP/VII/2008 Tahun
2008
tindak pidana dalam hukum administratif hanya sebatas pelanggaran bukan kejahatan.
Berikut aturan mengenai hal ini:
BAB V
KETENTUAN PIDANA
Pasal 33
4 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakrie, 2003), hal. 15.
5 m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4be012381c490/sanksi-hukum-pidana-(pidana,-perdata,-dan-
administratif) Tangal. 9 Desember 2015
3. 1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal......dipidana dengan pidana kurungan
paling lama……atau denda paling banyak Rp…………, 00.
2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
2. Penjelasan Pasal 2 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sudah tepatkah menurut Ilmu Perundang-undangan?
BAB II
TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Setiap orang dalam Pasal 2 ayat (1) di atas merupakan orang perseorangan (individu) dan
korporasi (Pasal satu ayat (3)). Berdasarkan ketentuan KUHP korporasi tidak dapat
melakukan tindak pidana, namun terdapat pengecualian untuk tindak pidana korupsi yang
diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999, dalam UU tersebut disebutkan bahwa korporasi pun
termasuk ke dalam “setiap orang” sehingga dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 2
ayat (1). Hal ini tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena dalam
UU No. 10 Tahun 2004 disebutkan bahwa tindak pidana dapat dilakukan oleh orang-
perorangan atau oleh korporasi. Lebih jauh lagi, dalam UU tersebut ditentukan bahwa
pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada:
a. Badan hukum, perseroan, perkumpulan, atau yayasan;
4. b. mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana atau yang
bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana; atau
c. kedua-duanya
Sanksi dalam Pasal 2 dan 3
Dalam KUHP menentukan jika suatu perbuatan dilakukan karena jabatan dan menyalahi
wewenang maka diberlakukan pemberatan pidana yakni sanksinya mesti lebih berat,
sementara dalam pada Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang merupakan perbuatan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 tetapi dilakukan dengan menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan,
ancaman/sanksinya malah lebih ringan dibandingkan pada Pasal 2.6
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
Yang digaris bawahi merupakan sanksi yang mestinya lebih berat ketimbang sanksi
yang tercantum dalam Pasal 2 namun ternyata lebih ringan. Maka dapat dipastikan
bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam KUHP.
Maka berdasarkan uraian di atas, menurut Haryadi dalam Jurnalnya yang berjudul Tinjauan
Yuridis Perumusan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Dalam Perspektif
Tujuan Pemidanaan (Maret 2014) rumusan Pasal 3 terhadap Pasal 2 UU No. 31 Tahun
6 Haryadi, Tinjauan Yuridis Perumusan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No.20 Tahun 2001 Dalam PerspektifTujuan Pemidanaan,
Jurnal Ilmu Hukum, Maret 2014.
5. 1999 perlu ditinjau ulang. Usulan penguatan Pasal-Pasal tersebut dapat disoroti dari
berbagai aspek dalam Hukum pidana yaitu:
1. Aspek Orang atau pelaku tindak pidana: dari aspek pelaku perumusan usulan Pasal ini
tidak ada perubahan dari rumusan Pasal sebenarnya yaitu setiap orang yang secara
melawan hukum dan pada Pasal 3 aspek pelakunya adalah setiap orang memangku
jabatan.
2. Dalam merumuskan kualifikasi suatu Pasal harus betul-betul diperhatikan dengan
cermat kualifikasi yuridisnya karena penentuan kualifikasi yuridis ini akan
menentukan konsekwensi yuridisnya.
3. Aspek Perumusan Sanksi: Dalam merumuskan suatu sanksi pidana dalam suatu
perundang-undangan harus tetap memperhatikan kaedah-kaedah umum. Setiap
perumusan ketentuan pidana dalam UU di luar KUHP harus tetap berada dalam
koridor sistem hukum pidana materiel (sistem pemidanaan substantif) yang berlaku
saat ini. Sistem hukum pidana materiel terdiri dari keseluruhan sistem peraturan
perundang-undangan (statutory rules) yang ada di dalam KUHP (sebagai induk aturan
umum) dan UU khusus diluar KUHP.
3. Pembentukan Peraturan Perundang undangan
Mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan ini, semuanya sudah diatur dalam
UU RI No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam
UU tersebut yakni dalam BAB V Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tahapan
pertama ialah persiapan terlebih dahulu. Bagian kesatu BAB V tersebut terdiri dari Pasal 17
sampai Pasal 23. Dalam Pasal 17 dijelaskan mengenai ketentuan bahwa rancangan undang-
undang mesti berdasarkan pada prolegnas (Program Legislasi Nasional), jadi pihak yang
berwenang dalam legislasi (DPR, Presiden, dan DPD) tidak bisa semena-mena langsung
membuat suatu peraturan perundang-undangan melainkan mesti berdasarkan pada program
legislasi nasional yang sudah disusun sebelumnya. Namun dalan keadaan tertentu, lembaga
legislasi juga dapat membuat peraturan perundang-undangan di luar prolegnas.
Pada intinya, persiapan yang dilakukan oleh lembaga legislasi itu meliputi:
6. apa yang sudah dijelaskan mengenai Pasal 17 di atas;
pihak yang menyiapkan rancangan undang-undang dari Presiden (Pemerintah) yang
dalam hal ini ialah menteri (Pasal 18);
pihak yang menyiapkan rancangan undang-undang dari DPR dan DPD (Pasal 19);
pengajuan rancangan undang-undang yang dilakukan oleh Presiden kepada
pimpinan DPR dengan surat Presiden (Pasal 20);
penyampaian rancangan undang-undang yang dilakukan DPR kepada Presiden
dengan surat pimpinan DPR, presiden menugasi menteri yang bertugas dan
bertanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan untuk mewakilinya
dalam pembahasan rancangan undang-undang (Pasal 21);
pihak yang menyebarluaskan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR
yang dalam hal ini ialah Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat dan instansi
Pemrakarsa untuk rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden (Pasal 22);
penyampaian materi dalam rancangan undang-undang yang jika materi yang
disampaikan oleh DPR dan Presiden sama maka yang dibahas ialah rancangan
undang-undang yang disampaikan oleh DPR sedangkan untuk rancangan undang-
undang yang disampaikan oleh Presiden hanya digunakan sebagai bahan untuk
dipersandingkan (Pasal 23).
Untuk persiapan pembentukan rancangan undang-undang ini Presiden menetapkan
Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
Pasal 6 ayat (1) Peraturan Presiden tersebut menyatakan bahwa dalam penyusunan
Rancangan Undang-Undang, Pemrakrasa membentuk Panitia Antardepartemen. Lebih
lanjut dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) dinyatakan bahwa keanggotaan Panitia
Antardepartemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Departemen dan
Lembaga Pemerintahan nondepartemen yang terkait dengan substansi rancangan undang-
7. undang, serta wakil dari departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
peraturan perundang-undangan.7
Sedangkan untuk pihak yang menjadi Panitia Antardepartemen (PAD) diatur dalam Pasal 7
ayat (3) Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005. Pada intinya, pihak yang menjadi Panitia
Antardepartemen adalah yang menguasai permasalahan yang berkaitan dengan materi
rancangan undang-undang yang akan dibentuk. PAD tersebut ditunjuk oleh
Menteri/pimpinan Lembaga berdasarkan permintaan dari Menteri/pimpinan Lembaga yang
memprakarsai penyusunan peraturan perundang-undangan.
Tahap selanjutnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ialah pembahasan
rancangan undang-undang. Pasal 32 UU No. 10 Tahun 2004:
Pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden atau Menteri yang sudah ditugasi.
Kemudian untuk keikutsertaan DPD dalam pembahasan undang-undang diatur dalam Pasal
65 UU No. 12 Tahun 2011:
1) Pembahasan Rancangan Undang-undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden
atau menteri yang ditugasi.
2) Pembahasan Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berkaitan dengan (a) otonomi daerah, (b) hubungan pusat dan daerah, (c)
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, (d) pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, dan (e) perimbangan pusat dan daerah,
dilakukan dengan mengikutsertakan DPD.
3) Keikutsertaan DPD dalam Pembahasan Rancangan Undang-undang sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat satu.
4) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana
dimaksud dalam ayat 2 dan 3 diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi
materi muatan Rancangan Undang-undang yang dibahas.
7 Setio Sapto Nugroho (Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian Sekretariat
Negara), Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,(Jakarta, 2009), hal. 13-14
8. 5) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang
tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Tahap selanjutnya dalam pembentukan Undang-undang adalah Pengesahan RUU.
Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 37 UU No. 10 Tahun 2004 sebagai berikut:
Pasal 37
2) Rancangan undang-undang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden, disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada
Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
3) Penyampaian Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) terhitung sejak persetujuan
bersama.
Pasal 38
1) Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 disahkan oleh
Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30
hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden
2) Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, maka rancangan undang-
undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
3) Dalam hal sahnya rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
maka kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah
berdasarkan, ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
9. 4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum Pengundangan naskah
Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
dalam Pasal 3 dan 4 Peraturan Presiden No.1 Tahun 2007 dinyatakan bahwa naskah RUU
disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara untuk ditanda tangani oleh Presiden, penomoran
dan tahun juga dilakukan oleh Mensekneg setelah Presiden mensahkannya, dan terakhir
Mensekneg akan menyampaikan RUU yang baru disahkan tersebut untuk diundangkan.
Tahap selanjutnya ialah Pengundangan dan penyebarluasan. Ketentuan UU No.12 Tahun
2011, Pasal 81: Agar setiap orang mengetahuinya maka setiap undang-undang harus
diundangkan dengan menempatkannya dalam lembaran-lembaran resmi Negara, yaitu (a)
Lembaran Negara Republik Indonesia dan (b) Tambahan Lembaran Negara Repubilk
Indonesia.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan peraturan perundang-
undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pengundangan ini dilakukan oleh menteri yang bertugas menyelenggarakan urusan
pemerintah di bidang hukum. Setiap peraturan yang sudah diundangkan dalam lembaran
negara bersifat mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam UU
yang bersangkutan.
Dalam UU No. 10 Tahun 2004 dinyatakan bahwa agar setiap orang mengetahuinya,
Peraturan Perundangan-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran
Daerah, dan Berita Daerah (Pasal 45).
Tahap penyebarluasan meliputi penyebarluasan UU dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia melalui media elektronik, koran, dan lain
sebagainya. Contohnya penyebarluasan UU yang dilakukan oleh media hukumonline.com.
10. Kesimpulan: Tahapan pembentukan UU berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 (pada
umumnya) ialah 1). Persiapan Pembentukan Undang-undang; 2). Pembahasan Rancangan
Undang-undang; 3). Pengesahan Rancangan Undang-undang; 4). Pengundangan; 5).
Penyebarluasan.
Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas
Dalam Pasal 17 UU No. 10 Tahun 2004 ayat (3) dinyatakan; Dalam keadaan tertentu,
Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di
luar Program Legislasi Nasional. Ketentuan ini kemudian diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 3 yang
menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, Pemrakarsa dapat menyusun rancangan
undang-undang di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin
prakarsa kepada Presiden, dengan sisertai penjelasan mengenai konsepsi pengaturan
rancangan undang-undang yang meliputi:
a. urgensi dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan;
c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang ingin diatur; dan
d. jangkauan serta arah pengaturan;
adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah:
e. menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang menjadi undang-
undang;
f. melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi
g. mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;
h. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu
rancangan undang-undang yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi
Dewan Perwakilan Rakyat dan Menteri.
Agar rancangan undang-undang yang disampaikan Pemrakarsa tidak berbenturan dengan
rancangan undang-undang yang berdasarkan Prolegnas maka Pemrakarsa wajib
11. mengkonsultasikan konsepsi tersebut kepada Menteri Hak Asasi Manusia dan Menteri
Hukum. Kemudian Menteri Hak Asasi Manusia dan Menteri Hukum mengoordinasikan
pembahasan konsepsi rancangan undang-undang dengan pejabat yang berwenang
mengambil keputusan, ahli hukum, dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari
lembaga Pemrakarsa dan departemen/lembaga terkait lainnya. Selain itu apabila dipandang
perlu, koordinasi dapat dilakukan pula dengan melibatkan perguruan tinggi dan/atau
organisasi. Jika konsepsi tersebut sudah dibahas oleh para pihak tersebut serta sudah
diperoleh keharmonisan, kebulatan, dan kemantapan maka Pemrakarsa menyampaikan
konsepsi rancangan undang-undang kepada Presiden untuk disetujui. Setelah disetujui oleh
Presiden, selanjutnya Pemrakarsa membentuk Panitia Antardepartemen.8
8 Setio Sapto Nugroho (Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian Sekretariat
Negara), Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta, 2009), hal. 14-16