SlideShare a Scribd company logo
1 of 11
Nama : Tita Novitasari (11140460000046)
Kelas : C Muamalat, Syariah dan Hukum
Semester : III (Tiga)
Jawaban:
1. Perumusan sanksi pidana dalam aturan pidana umum dan aturan pidana
administratif
Sanksi atau sanction menurut Black’s Law Dictionary Seventh Edition adalah a penalty of
coercive measurre that result from failure to comply with a law, rule, or order (a sanction
for discovery abuse).1 Di Indonesia, secara umum dikenal sekurang-kurangnya tiga jenis
sanksi hukum yaitu:
1. sanksi hukum pidana
2. sanksi hukum perdata
3. sanksi hukum administratif
Dalam hukum pidana, sanksi hukum disebut hukuman. Menurut R. Soesilo hukuman
adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis
kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.
Sedangkan sanksi administratif adalah sanski yang dikenakan terhadap pelanggaran
administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat administratif.2 Dalam Black’s
Law Dictionary kata administrative crime atau pidana administratif berarti an offense
consisting of a violation of an administrative rule or regulation that carries with a criminal
sanction.3 Menurut Barda Nawawi Arief dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana,
pidana administratif merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana
1 Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Editor in Chief Bryan A. Corner, (United State of America: West
Publishing 2004).
2m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4be012381c490/sanksi-hukum-pidana-(pidana,-perdata,-dan-
administratif) Tangal. 9 Desember 2015
3 Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Editor in Chief Bryan A. Corner, (United State of America: West
Publishing, 2004), hal. 399
sebagai sarana untuk menegakan atau melaksanakan hukum administrasi.4 Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia administrasi adalah kegiatan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintah.
Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
perumusan sanksi pidana dalam hukum pidana umum dituliskan atau dirangkai di bagian
ketentuan umum. Sedangkan dalam hukum/aturan administratif, ketentuan mengenai sanksi
pidana administratif dirumuskan di BAB V dan perumusannya bergantung pada ketentuan
umum. Jika ketentuan umum dalam aturan administratif menghendaki adanya ketentuan
pidana sehingga ketentuan pidana dalam aturan administratif tersebut diperlukan maka
ketentuan pidana tersebut bisa dirumuskan terpisah dari ketentuan umum yakni di BAB V
tentang Ketentuan Pidana. Sanksi pidana dalam hukum administratif juga bersifat
ringan/sedang.
Pada umumnya sanksi administratif berupa:5
- Denda, misalnya diatur dalam PP No. 28 Tahun 2008
- Pembekuan hingga pencabutan sertifikat dan/atau izin, misalnya yang diatur dalam
Permenhub (Peraturan Menteri Perhubungan) No. KM 26 Tahun 2009
- Perhentian sementara layanan administrasi hingga pengurangan jatah produksi,
misalnya yang diatur dalam Keputusan KPPU No. 252/KPPU/KEP/VII/2008 Tahun
2008
tindak pidana dalam hukum administratif hanya sebatas pelanggaran bukan kejahatan.
Berikut aturan mengenai hal ini:
BAB V
KETENTUAN PIDANA
Pasal 33
4 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakrie, 2003), hal. 15.
5 m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4be012381c490/sanksi-hukum-pidana-(pidana,-perdata,-dan-
administratif) Tangal. 9 Desember 2015
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal......dipidana dengan pidana kurungan
paling lama……atau denda paling banyak Rp…………, 00.
2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
2. Penjelasan Pasal 2 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sudah tepatkah menurut Ilmu Perundang-undangan?
BAB II
TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Setiap orang dalam Pasal 2 ayat (1) di atas merupakan orang perseorangan (individu) dan
korporasi (Pasal satu ayat (3)). Berdasarkan ketentuan KUHP korporasi tidak dapat
melakukan tindak pidana, namun terdapat pengecualian untuk tindak pidana korupsi yang
diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999, dalam UU tersebut disebutkan bahwa korporasi pun
termasuk ke dalam “setiap orang” sehingga dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 2
ayat (1). Hal ini tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena dalam
UU No. 10 Tahun 2004 disebutkan bahwa tindak pidana dapat dilakukan oleh orang-
perorangan atau oleh korporasi. Lebih jauh lagi, dalam UU tersebut ditentukan bahwa
pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada:
a. Badan hukum, perseroan, perkumpulan, atau yayasan;
b. mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana atau yang
bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana; atau
c. kedua-duanya
Sanksi dalam Pasal 2 dan 3
Dalam KUHP menentukan jika suatu perbuatan dilakukan karena jabatan dan menyalahi
wewenang maka diberlakukan pemberatan pidana yakni sanksinya mesti lebih berat,
sementara dalam pada Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang merupakan perbuatan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 tetapi dilakukan dengan menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan,
ancaman/sanksinya malah lebih ringan dibandingkan pada Pasal 2.6
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
 Yang digaris bawahi merupakan sanksi yang mestinya lebih berat ketimbang sanksi
yang tercantum dalam Pasal 2 namun ternyata lebih ringan. Maka dapat dipastikan
bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam KUHP.
Maka berdasarkan uraian di atas, menurut Haryadi dalam Jurnalnya yang berjudul Tinjauan
Yuridis Perumusan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Dalam Perspektif
Tujuan Pemidanaan (Maret 2014) rumusan Pasal 3 terhadap Pasal 2 UU No. 31 Tahun
6 Haryadi, Tinjauan Yuridis Perumusan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No.20 Tahun 2001 Dalam PerspektifTujuan Pemidanaan,
Jurnal Ilmu Hukum, Maret 2014.
1999 perlu ditinjau ulang. Usulan penguatan Pasal-Pasal tersebut dapat disoroti dari
berbagai aspek dalam Hukum pidana yaitu:
1. Aspek Orang atau pelaku tindak pidana: dari aspek pelaku perumusan usulan Pasal ini
tidak ada perubahan dari rumusan Pasal sebenarnya yaitu setiap orang yang secara
melawan hukum dan pada Pasal 3 aspek pelakunya adalah setiap orang memangku
jabatan.
2. Dalam merumuskan kualifikasi suatu Pasal harus betul-betul diperhatikan dengan
cermat kualifikasi yuridisnya karena penentuan kualifikasi yuridis ini akan
menentukan konsekwensi yuridisnya.
3. Aspek Perumusan Sanksi: Dalam merumuskan suatu sanksi pidana dalam suatu
perundang-undangan harus tetap memperhatikan kaedah-kaedah umum. Setiap
perumusan ketentuan pidana dalam UU di luar KUHP harus tetap berada dalam
koridor sistem hukum pidana materiel (sistem pemidanaan substantif) yang berlaku
saat ini. Sistem hukum pidana materiel terdiri dari keseluruhan sistem peraturan
perundang-undangan (statutory rules) yang ada di dalam KUHP (sebagai induk aturan
umum) dan UU khusus diluar KUHP.
3. Pembentukan Peraturan Perundang undangan
Mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan ini, semuanya sudah diatur dalam
UU RI No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam
UU tersebut yakni dalam BAB V Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tahapan
pertama ialah persiapan terlebih dahulu. Bagian kesatu BAB V tersebut terdiri dari Pasal 17
sampai Pasal 23. Dalam Pasal 17 dijelaskan mengenai ketentuan bahwa rancangan undang-
undang mesti berdasarkan pada prolegnas (Program Legislasi Nasional), jadi pihak yang
berwenang dalam legislasi (DPR, Presiden, dan DPD) tidak bisa semena-mena langsung
membuat suatu peraturan perundang-undangan melainkan mesti berdasarkan pada program
legislasi nasional yang sudah disusun sebelumnya. Namun dalan keadaan tertentu, lembaga
legislasi juga dapat membuat peraturan perundang-undangan di luar prolegnas.
Pada intinya, persiapan yang dilakukan oleh lembaga legislasi itu meliputi:
 apa yang sudah dijelaskan mengenai Pasal 17 di atas;
 pihak yang menyiapkan rancangan undang-undang dari Presiden (Pemerintah) yang
dalam hal ini ialah menteri (Pasal 18);
 pihak yang menyiapkan rancangan undang-undang dari DPR dan DPD (Pasal 19);
 pengajuan rancangan undang-undang yang dilakukan oleh Presiden kepada
pimpinan DPR dengan surat Presiden (Pasal 20);
 penyampaian rancangan undang-undang yang dilakukan DPR kepada Presiden
dengan surat pimpinan DPR, presiden menugasi menteri yang bertugas dan
bertanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan untuk mewakilinya
dalam pembahasan rancangan undang-undang (Pasal 21);
 pihak yang menyebarluaskan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR
yang dalam hal ini ialah Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat dan instansi
Pemrakarsa untuk rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden (Pasal 22);
 penyampaian materi dalam rancangan undang-undang yang jika materi yang
disampaikan oleh DPR dan Presiden sama maka yang dibahas ialah rancangan
undang-undang yang disampaikan oleh DPR sedangkan untuk rancangan undang-
undang yang disampaikan oleh Presiden hanya digunakan sebagai bahan untuk
dipersandingkan (Pasal 23).
Untuk persiapan pembentukan rancangan undang-undang ini Presiden menetapkan
Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
Pasal 6 ayat (1) Peraturan Presiden tersebut menyatakan bahwa dalam penyusunan
Rancangan Undang-Undang, Pemrakrasa membentuk Panitia Antardepartemen. Lebih
lanjut dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) dinyatakan bahwa keanggotaan Panitia
Antardepartemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Departemen dan
Lembaga Pemerintahan nondepartemen yang terkait dengan substansi rancangan undang-
undang, serta wakil dari departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
peraturan perundang-undangan.7
Sedangkan untuk pihak yang menjadi Panitia Antardepartemen (PAD) diatur dalam Pasal 7
ayat (3) Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005. Pada intinya, pihak yang menjadi Panitia
Antardepartemen adalah yang menguasai permasalahan yang berkaitan dengan materi
rancangan undang-undang yang akan dibentuk. PAD tersebut ditunjuk oleh
Menteri/pimpinan Lembaga berdasarkan permintaan dari Menteri/pimpinan Lembaga yang
memprakarsai penyusunan peraturan perundang-undangan.
Tahap selanjutnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ialah pembahasan
rancangan undang-undang. Pasal 32 UU No. 10 Tahun 2004:
Pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden atau Menteri yang sudah ditugasi.
Kemudian untuk keikutsertaan DPD dalam pembahasan undang-undang diatur dalam Pasal
65 UU No. 12 Tahun 2011:
1) Pembahasan Rancangan Undang-undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden
atau menteri yang ditugasi.
2) Pembahasan Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
berkaitan dengan (a) otonomi daerah, (b) hubungan pusat dan daerah, (c)
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, (d) pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, dan (e) perimbangan pusat dan daerah,
dilakukan dengan mengikutsertakan DPD.
3) Keikutsertaan DPD dalam Pembahasan Rancangan Undang-undang sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat satu.
4) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana
dimaksud dalam ayat 2 dan 3 diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi
materi muatan Rancangan Undang-undang yang dibahas.
7 Setio Sapto Nugroho (Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian Sekretariat
Negara), Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,(Jakarta, 2009), hal. 13-14
5) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang
tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Tahap selanjutnya dalam pembentukan Undang-undang adalah Pengesahan RUU.
Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 37 UU No. 10 Tahun 2004 sebagai berikut:
Pasal 37
2) Rancangan undang-undang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden, disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada
Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
3) Penyampaian Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) terhitung sejak persetujuan
bersama.
Pasal 38
1) Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 disahkan oleh
Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30
hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden
2) Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, maka rancangan undang-
undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
3) Dalam hal sahnya rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
maka kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah
berdasarkan, ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum Pengundangan naskah
Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
dalam Pasal 3 dan 4 Peraturan Presiden No.1 Tahun 2007 dinyatakan bahwa naskah RUU
disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara untuk ditanda tangani oleh Presiden, penomoran
dan tahun juga dilakukan oleh Mensekneg setelah Presiden mensahkannya, dan terakhir
Mensekneg akan menyampaikan RUU yang baru disahkan tersebut untuk diundangkan.
Tahap selanjutnya ialah Pengundangan dan penyebarluasan. Ketentuan UU No.12 Tahun
2011, Pasal 81: Agar setiap orang mengetahuinya maka setiap undang-undang harus
diundangkan dengan menempatkannya dalam lembaran-lembaran resmi Negara, yaitu (a)
Lembaran Negara Republik Indonesia dan (b) Tambahan Lembaran Negara Repubilk
Indonesia.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan peraturan perundang-
undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pengundangan ini dilakukan oleh menteri yang bertugas menyelenggarakan urusan
pemerintah di bidang hukum. Setiap peraturan yang sudah diundangkan dalam lembaran
negara bersifat mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam UU
yang bersangkutan.
Dalam UU No. 10 Tahun 2004 dinyatakan bahwa agar setiap orang mengetahuinya,
Peraturan Perundangan-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran
Daerah, dan Berita Daerah (Pasal 45).
Tahap penyebarluasan meliputi penyebarluasan UU dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia melalui media elektronik, koran, dan lain
sebagainya. Contohnya penyebarluasan UU yang dilakukan oleh media hukumonline.com.
Kesimpulan: Tahapan pembentukan UU berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 (pada
umumnya) ialah 1). Persiapan Pembentukan Undang-undang; 2). Pembahasan Rancangan
Undang-undang; 3). Pengesahan Rancangan Undang-undang; 4). Pengundangan; 5).
Penyebarluasan.
Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas
Dalam Pasal 17 UU No. 10 Tahun 2004 ayat (3) dinyatakan; Dalam keadaan tertentu,
Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di
luar Program Legislasi Nasional. Ketentuan ini kemudian diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 3 yang
menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, Pemrakarsa dapat menyusun rancangan
undang-undang di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin
prakarsa kepada Presiden, dengan sisertai penjelasan mengenai konsepsi pengaturan
rancangan undang-undang yang meliputi:
a. urgensi dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan;
c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang ingin diatur; dan
d. jangkauan serta arah pengaturan;
adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah:
e. menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang menjadi undang-
undang;
f. melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi
g. mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;
h. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu
rancangan undang-undang yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi
Dewan Perwakilan Rakyat dan Menteri.
Agar rancangan undang-undang yang disampaikan Pemrakarsa tidak berbenturan dengan
rancangan undang-undang yang berdasarkan Prolegnas maka Pemrakarsa wajib
mengkonsultasikan konsepsi tersebut kepada Menteri Hak Asasi Manusia dan Menteri
Hukum. Kemudian Menteri Hak Asasi Manusia dan Menteri Hukum mengoordinasikan
pembahasan konsepsi rancangan undang-undang dengan pejabat yang berwenang
mengambil keputusan, ahli hukum, dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari
lembaga Pemrakarsa dan departemen/lembaga terkait lainnya. Selain itu apabila dipandang
perlu, koordinasi dapat dilakukan pula dengan melibatkan perguruan tinggi dan/atau
organisasi. Jika konsepsi tersebut sudah dibahas oleh para pihak tersebut serta sudah
diperoleh keharmonisan, kebulatan, dan kemantapan maka Pemrakarsa menyampaikan
konsepsi rancangan undang-undang kepada Presiden untuk disetujui. Setelah disetujui oleh
Presiden, selanjutnya Pemrakarsa membentuk Panitia Antardepartemen.8
8 Setio Sapto Nugroho (Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian Sekretariat
Negara), Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta, 2009), hal. 14-16

More Related Content

What's hot

Evaluasi kebijakan perizinan pertambangan mineral dan batubara1(pusat han)
Evaluasi kebijakan perizinan pertambangan mineral dan batubara1(pusat han)Evaluasi kebijakan perizinan pertambangan mineral dan batubara1(pusat han)
Evaluasi kebijakan perizinan pertambangan mineral dan batubara1(pusat han)Researcher Syndicate68
 
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...Idik Saeful Bahri
 
Sumber sumber hukum acara pidana indonesia
Sumber sumber hukum acara pidana indonesiaSumber sumber hukum acara pidana indonesia
Sumber sumber hukum acara pidana indonesiaRoy Pangkey
 
Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2villa kuta indah
 
Diskusi 2 Teori Kriminologi 4302 Indra Sofian 042051183 - Copy.pdf
Diskusi 2 Teori Kriminologi 4302 Indra Sofian 042051183 - Copy.pdfDiskusi 2 Teori Kriminologi 4302 Indra Sofian 042051183 - Copy.pdf
Diskusi 2 Teori Kriminologi 4302 Indra Sofian 042051183 - Copy.pdfIndra Sofian
 
Pidana dan pemidanaan
Pidana dan pemidanaanPidana dan pemidanaan
Pidana dan pemidanaanSigit Riono
 
Usulan proposal penelitian
Usulan proposal penelitianUsulan proposal penelitian
Usulan proposal penelitianEkal Kurniawan
 
1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negaranurul khaiva
 
Salinan RUU KUHP FINAL, 4 Juli 2022.pdf
Salinan RUU KUHP FINAL, 4 Juli 2022.pdfSalinan RUU KUHP FINAL, 4 Juli 2022.pdf
Salinan RUU KUHP FINAL, 4 Juli 2022.pdfCIkumparan
 
Hukum Pidana Militer di Indonesia
Hukum Pidana Militer di IndonesiaHukum Pidana Militer di Indonesia
Hukum Pidana Militer di IndonesiaRatri nia
 
Hak asasi manusia dalam pancasila dan uud 1945 (modul pancasila)
Hak asasi manusia dalam pancasila dan uud 1945 (modul pancasila)Hak asasi manusia dalam pancasila dan uud 1945 (modul pancasila)
Hak asasi manusia dalam pancasila dan uud 1945 (modul pancasila)fikri asyura
 
Bab 6 pertanggungjawaban pidana
Bab 6   pertanggungjawaban pidanaBab 6   pertanggungjawaban pidana
Bab 6 pertanggungjawaban pidanaNuelimmanuel22
 
Contoh kasus mediasi_penal Hukum Pidana Fenti Anita Sari
Contoh kasus mediasi_penal Hukum Pidana Fenti Anita SariContoh kasus mediasi_penal Hukum Pidana Fenti Anita Sari
Contoh kasus mediasi_penal Hukum Pidana Fenti Anita SariFenti Anita Sari
 
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
HUKUM HUMANITER INTERNASIONALHUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
HUKUM HUMANITER INTERNASIONALALKATA
 
Leisure time graphic organizer
Leisure time graphic organizerLeisure time graphic organizer
Leisure time graphic organizermaynardteacher
 
PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis
PEMILUKADA dalam Perspektif FilosofisPEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis
PEMILUKADA dalam Perspektif FilosofisAgus Widiyanto
 
Hukum adat dan kearifan lokal
Hukum adat dan kearifan lokalHukum adat dan kearifan lokal
Hukum adat dan kearifan lokalyahyakelariquers
 

What's hot (20)

Evaluasi kebijakan perizinan pertambangan mineral dan batubara1(pusat han)
Evaluasi kebijakan perizinan pertambangan mineral dan batubara1(pusat han)Evaluasi kebijakan perizinan pertambangan mineral dan batubara1(pusat han)
Evaluasi kebijakan perizinan pertambangan mineral dan batubara1(pusat han)
 
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
Hukum perdata internasional - Kualifikasi dalam hukum perdata internasional (...
 
Sumber sumber hukum acara pidana indonesia
Sumber sumber hukum acara pidana indonesiaSumber sumber hukum acara pidana indonesia
Sumber sumber hukum acara pidana indonesia
 
Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2Hukum perdata internasional 2
Hukum perdata internasional 2
 
Diskusi 2 Teori Kriminologi 4302 Indra Sofian 042051183 - Copy.pdf
Diskusi 2 Teori Kriminologi 4302 Indra Sofian 042051183 - Copy.pdfDiskusi 2 Teori Kriminologi 4302 Indra Sofian 042051183 - Copy.pdf
Diskusi 2 Teori Kriminologi 4302 Indra Sofian 042051183 - Copy.pdf
 
Pidana dan pemidanaan
Pidana dan pemidanaanPidana dan pemidanaan
Pidana dan pemidanaan
 
Usulan proposal penelitian
Usulan proposal penelitianUsulan proposal penelitian
Usulan proposal penelitian
 
teori dan madzhab kriminologi
teori dan madzhab kriminologiteori dan madzhab kriminologi
teori dan madzhab kriminologi
 
Naskah akademik uu perlindungan_data_pribadi
Naskah akademik uu perlindungan_data_pribadiNaskah akademik uu perlindungan_data_pribadi
Naskah akademik uu perlindungan_data_pribadi
 
1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara
 
Salinan RUU KUHP FINAL, 4 Juli 2022.pdf
Salinan RUU KUHP FINAL, 4 Juli 2022.pdfSalinan RUU KUHP FINAL, 4 Juli 2022.pdf
Salinan RUU KUHP FINAL, 4 Juli 2022.pdf
 
Hukum Pidana Militer di Indonesia
Hukum Pidana Militer di IndonesiaHukum Pidana Militer di Indonesia
Hukum Pidana Militer di Indonesia
 
Hak asasi manusia dalam pancasila dan uud 1945 (modul pancasila)
Hak asasi manusia dalam pancasila dan uud 1945 (modul pancasila)Hak asasi manusia dalam pancasila dan uud 1945 (modul pancasila)
Hak asasi manusia dalam pancasila dan uud 1945 (modul pancasila)
 
Bab 6 pertanggungjawaban pidana
Bab 6   pertanggungjawaban pidanaBab 6   pertanggungjawaban pidana
Bab 6 pertanggungjawaban pidana
 
Contoh kasus mediasi_penal Hukum Pidana Fenti Anita Sari
Contoh kasus mediasi_penal Hukum Pidana Fenti Anita SariContoh kasus mediasi_penal Hukum Pidana Fenti Anita Sari
Contoh kasus mediasi_penal Hukum Pidana Fenti Anita Sari
 
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
HUKUM HUMANITER INTERNASIONALHUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
 
Leisure time graphic organizer
Leisure time graphic organizerLeisure time graphic organizer
Leisure time graphic organizer
 
HUGO DE GROOT
HUGO DE GROOTHUGO DE GROOT
HUGO DE GROOT
 
PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis
PEMILUKADA dalam Perspektif FilosofisPEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis
PEMILUKADA dalam Perspektif Filosofis
 
Hukum adat dan kearifan lokal
Hukum adat dan kearifan lokalHukum adat dan kearifan lokal
Hukum adat dan kearifan lokal
 

Similar to PERUNDANGAN

Bab II Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab II Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaBab II Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab II Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaAndy Susanto
 
Makalah pidana
Makalah pidanaMakalah pidana
Makalah pidanaangkat re
 
Tindak-Pidana-Korupsi-iiiPertemuan-3.ppt
Tindak-Pidana-Korupsi-iiiPertemuan-3.pptTindak-Pidana-Korupsi-iiiPertemuan-3.ppt
Tindak-Pidana-Korupsi-iiiPertemuan-3.pptAZIS50
 
Tindak-Pidana-Korupsi-Pertemuan-3.ppt
Tindak-Pidana-Korupsi-Pertemuan-3.pptTindak-Pidana-Korupsi-Pertemuan-3.ppt
Tindak-Pidana-Korupsi-Pertemuan-3.pptssuser0a01f91
 
INSTRUMEN MELAWAN PERDAGANGAN ORANG
INSTRUMEN MELAWAN PERDAGANGAN ORANGINSTRUMEN MELAWAN PERDAGANGAN ORANG
INSTRUMEN MELAWAN PERDAGANGAN ORANGPaul SinlaEloE
 
dasar hukum pidana bidang migas.pdf
dasar hukum pidana bidang migas.pdfdasar hukum pidana bidang migas.pdf
dasar hukum pidana bidang migas.pdfBUMIManilapai1
 
Undang undang komisi pemberantasan korupsi dan perubahannya
Undang undang komisi pemberantasan korupsi dan perubahannyaUndang undang komisi pemberantasan korupsi dan perubahannya
Undang undang komisi pemberantasan korupsi dan perubahannyaDollyFriendky
 
MATERI UNTIRTA 26 JANUARI 2023.pptx
MATERI UNTIRTA 26 JANUARI 2023.pptxMATERI UNTIRTA 26 JANUARI 2023.pptx
MATERI UNTIRTA 26 JANUARI 2023.pptxUbaidillah69
 
Hukum pidana khusus
Hukum pidana khususHukum pidana khusus
Hukum pidana khusussesukakita
 
Asas Hukum Pidana
Asas Hukum PidanaAsas Hukum Pidana
Asas Hukum PidanaNakano
 
Hukum pidana i
Hukum pidana iHukum pidana i
Hukum pidana iyahyaanto
 
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para AhliAsas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para AhliIca Diennissa
 
Field workstudy report
Field workstudy reportField workstudy report
Field workstudy reportAnnissa Curio
 
Ketika Hukum di negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di negeriku dikali NOLKetika Hukum di negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di negeriku dikali NOLatuulll
 

Similar to PERUNDANGAN (20)

hukum_pidana.pdf
hukum_pidana.pdfhukum_pidana.pdf
hukum_pidana.pdf
 
Hasil Pemantauan Kejaksaan Periode 2003-2004
Hasil Pemantauan Kejaksaan Periode 2003-2004Hasil Pemantauan Kejaksaan Periode 2003-2004
Hasil Pemantauan Kejaksaan Periode 2003-2004
 
Bab II Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab II Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidanaBab II Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
Bab II Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana
 
Makalah pidana
Makalah pidanaMakalah pidana
Makalah pidana
 
Tindak-Pidana-Korupsi-iiiPertemuan-3.ppt
Tindak-Pidana-Korupsi-iiiPertemuan-3.pptTindak-Pidana-Korupsi-iiiPertemuan-3.ppt
Tindak-Pidana-Korupsi-iiiPertemuan-3.ppt
 
Tindak-Pidana-Korupsi-Pertemuan-3.ppt
Tindak-Pidana-Korupsi-Pertemuan-3.pptTindak-Pidana-Korupsi-Pertemuan-3.ppt
Tindak-Pidana-Korupsi-Pertemuan-3.ppt
 
hfib1349588837.pptx
hfib1349588837.pptxhfib1349588837.pptx
hfib1349588837.pptx
 
INSTRUMEN MELAWAN PERDAGANGAN ORANG
INSTRUMEN MELAWAN PERDAGANGAN ORANGINSTRUMEN MELAWAN PERDAGANGAN ORANG
INSTRUMEN MELAWAN PERDAGANGAN ORANG
 
dasar hukum pidana bidang migas.pdf
dasar hukum pidana bidang migas.pdfdasar hukum pidana bidang migas.pdf
dasar hukum pidana bidang migas.pdf
 
Undang undang komisi pemberantasan korupsi dan perubahannya
Undang undang komisi pemberantasan korupsi dan perubahannyaUndang undang komisi pemberantasan korupsi dan perubahannya
Undang undang komisi pemberantasan korupsi dan perubahannya
 
Uu 04 2004 Pjls
Uu 04 2004 PjlsUu 04 2004 Pjls
Uu 04 2004 Pjls
 
MATERI UNTIRTA 26 JANUARI 2023.pptx
MATERI UNTIRTA 26 JANUARI 2023.pptxMATERI UNTIRTA 26 JANUARI 2023.pptx
MATERI UNTIRTA 26 JANUARI 2023.pptx
 
Hukum pidana khusus
Hukum pidana khususHukum pidana khusus
Hukum pidana khusus
 
Asas Hukum Pidana
Asas Hukum PidanaAsas Hukum Pidana
Asas Hukum Pidana
 
Ipu
IpuIpu
Ipu
 
Kapita selekta
Kapita selektaKapita selekta
Kapita selekta
 
Hukum pidana i
Hukum pidana iHukum pidana i
Hukum pidana i
 
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para AhliAsas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
Asas asas Hukum Pidana & Pengertian Perbuatan Pidana menurut Para Ahli
 
Field workstudy report
Field workstudy reportField workstudy report
Field workstudy report
 
Ketika Hukum di negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di negeriku dikali NOLKetika Hukum di negeriku dikali NOL
Ketika Hukum di negeriku dikali NOL
 

More from Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

More from Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (20)

AKTA JUAL BELI FIRMA DAN PERJANJIAN KERJASAMA
AKTA JUAL BELI FIRMA DAN PERJANJIAN KERJASAMA AKTA JUAL BELI FIRMA DAN PERJANJIAN KERJASAMA
AKTA JUAL BELI FIRMA DAN PERJANJIAN KERJASAMA
 
Rangkuman Kitab Muqadimah (Ibnu Khaldun)
Rangkuman Kitab Muqadimah (Ibnu Khaldun) Rangkuman Kitab Muqadimah (Ibnu Khaldun)
Rangkuman Kitab Muqadimah (Ibnu Khaldun)
 
Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak
Sistematika Penyelesaian Sengketa PajakSistematika Penyelesaian Sengketa Pajak
Sistematika Penyelesaian Sengketa Pajak
 
Akuntansi Musyarakah
Akuntansi MusyarakahAkuntansi Musyarakah
Akuntansi Musyarakah
 
Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan s...
Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan s...Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan s...
Urgensi Hukum Jaminan Syariah dalam Transaksi Akad Murabahah pada perbankan s...
 
Karakteristik Filsafat
Karakteristik FilsafatKarakteristik Filsafat
Karakteristik Filsafat
 
Qawaidh Fiqhiyyah: Adh-Dhararu Yuzal
Qawaidh Fiqhiyyah: Adh-Dhararu Yuzal Qawaidh Fiqhiyyah: Adh-Dhararu Yuzal
Qawaidh Fiqhiyyah: Adh-Dhararu Yuzal
 
Resensi Film "3: Alif Lam Mim" Film Dakwah yang Realistis
Resensi Film "3: Alif Lam Mim" Film Dakwah yang Realistis Resensi Film "3: Alif Lam Mim" Film Dakwah yang Realistis
Resensi Film "3: Alif Lam Mim" Film Dakwah yang Realistis
 
Gold or Fiat Money
Gold or Fiat MoneyGold or Fiat Money
Gold or Fiat Money
 
Hukum Dagang - Pasar Modal
Hukum Dagang - Pasar ModalHukum Dagang - Pasar Modal
Hukum Dagang - Pasar Modal
 
Branchless Banking Meningkatkan Market Share Perbankan Syariah
Branchless Banking Meningkatkan Market Share Perbankan Syariah Branchless Banking Meningkatkan Market Share Perbankan Syariah
Branchless Banking Meningkatkan Market Share Perbankan Syariah
 
Pengelolaan Dana Pajak Usaha Syariah
Pengelolaan Dana Pajak Usaha Syariah Pengelolaan Dana Pajak Usaha Syariah
Pengelolaan Dana Pajak Usaha Syariah
 
Diskusi Kelas: Hakim, Mukallaf, Taklif, dan aliran-aliran dalam Islam (Ushul ...
Diskusi Kelas: Hakim, Mukallaf, Taklif, dan aliran-aliran dalam Islam (Ushul ...Diskusi Kelas: Hakim, Mukallaf, Taklif, dan aliran-aliran dalam Islam (Ushul ...
Diskusi Kelas: Hakim, Mukallaf, Taklif, dan aliran-aliran dalam Islam (Ushul ...
 
Pertanyaan dan Jawaban seputar Hukum Perdata
Pertanyaan dan Jawaban seputar Hukum Perdata Pertanyaan dan Jawaban seputar Hukum Perdata
Pertanyaan dan Jawaban seputar Hukum Perdata
 
Akad Wadhiah dan Ariyah
Akad Wadhiah dan Ariyah Akad Wadhiah dan Ariyah
Akad Wadhiah dan Ariyah
 
Wirausaha Mengurangi Pengangguran dan Menambah Kesempatan Kerja
Wirausaha Mengurangi Pengangguran dan Menambah Kesempatan Kerja Wirausaha Mengurangi Pengangguran dan Menambah Kesempatan Kerja
Wirausaha Mengurangi Pengangguran dan Menambah Kesempatan Kerja
 
Batasan Pentetapan Margin Murabahah di Bank Syariah
Batasan Pentetapan Margin Murabahah di Bank SyariahBatasan Pentetapan Margin Murabahah di Bank Syariah
Batasan Pentetapan Margin Murabahah di Bank Syariah
 
Ilmu Perundang-Undangan, Norma Hukum, dan yang Lainnya
Ilmu Perundang-Undangan, Norma Hukum, dan yang Lainnya Ilmu Perundang-Undangan, Norma Hukum, dan yang Lainnya
Ilmu Perundang-Undangan, Norma Hukum, dan yang Lainnya
 
Concept of quality leader in islam
Concept of quality leader in islamConcept of quality leader in islam
Concept of quality leader in islam
 
Akad akad syariah
Akad akad syariahAkad akad syariah
Akad akad syariah
 

PERUNDANGAN

  • 1. Nama : Tita Novitasari (11140460000046) Kelas : C Muamalat, Syariah dan Hukum Semester : III (Tiga) Jawaban: 1. Perumusan sanksi pidana dalam aturan pidana umum dan aturan pidana administratif Sanksi atau sanction menurut Black’s Law Dictionary Seventh Edition adalah a penalty of coercive measurre that result from failure to comply with a law, rule, or order (a sanction for discovery abuse).1 Di Indonesia, secara umum dikenal sekurang-kurangnya tiga jenis sanksi hukum yaitu: 1. sanksi hukum pidana 2. sanksi hukum perdata 3. sanksi hukum administratif Dalam hukum pidana, sanksi hukum disebut hukuman. Menurut R. Soesilo hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana. Sedangkan sanksi administratif adalah sanski yang dikenakan terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat administratif.2 Dalam Black’s Law Dictionary kata administrative crime atau pidana administratif berarti an offense consisting of a violation of an administrative rule or regulation that carries with a criminal sanction.3 Menurut Barda Nawawi Arief dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana, pidana administratif merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana 1 Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Editor in Chief Bryan A. Corner, (United State of America: West Publishing 2004). 2m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4be012381c490/sanksi-hukum-pidana-(pidana,-perdata,-dan- administratif) Tangal. 9 Desember 2015 3 Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Editor in Chief Bryan A. Corner, (United State of America: West Publishing, 2004), hal. 399
  • 2. sebagai sarana untuk menegakan atau melaksanakan hukum administrasi.4 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia administrasi adalah kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintah. Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan perumusan sanksi pidana dalam hukum pidana umum dituliskan atau dirangkai di bagian ketentuan umum. Sedangkan dalam hukum/aturan administratif, ketentuan mengenai sanksi pidana administratif dirumuskan di BAB V dan perumusannya bergantung pada ketentuan umum. Jika ketentuan umum dalam aturan administratif menghendaki adanya ketentuan pidana sehingga ketentuan pidana dalam aturan administratif tersebut diperlukan maka ketentuan pidana tersebut bisa dirumuskan terpisah dari ketentuan umum yakni di BAB V tentang Ketentuan Pidana. Sanksi pidana dalam hukum administratif juga bersifat ringan/sedang. Pada umumnya sanksi administratif berupa:5 - Denda, misalnya diatur dalam PP No. 28 Tahun 2008 - Pembekuan hingga pencabutan sertifikat dan/atau izin, misalnya yang diatur dalam Permenhub (Peraturan Menteri Perhubungan) No. KM 26 Tahun 2009 - Perhentian sementara layanan administrasi hingga pengurangan jatah produksi, misalnya yang diatur dalam Keputusan KPPU No. 252/KPPU/KEP/VII/2008 Tahun 2008 tindak pidana dalam hukum administratif hanya sebatas pelanggaran bukan kejahatan. Berikut aturan mengenai hal ini: BAB V KETENTUAN PIDANA Pasal 33 4 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakrie, 2003), hal. 15. 5 m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4be012381c490/sanksi-hukum-pidana-(pidana,-perdata,-dan- administratif) Tangal. 9 Desember 2015
  • 3. 1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal......dipidana dengan pidana kurungan paling lama……atau denda paling banyak Rp…………, 00. 2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. 2. Penjelasan Pasal 2 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tepatkah menurut Ilmu Perundang-undangan? BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Setiap orang dalam Pasal 2 ayat (1) di atas merupakan orang perseorangan (individu) dan korporasi (Pasal satu ayat (3)). Berdasarkan ketentuan KUHP korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana, namun terdapat pengecualian untuk tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999, dalam UU tersebut disebutkan bahwa korporasi pun termasuk ke dalam “setiap orang” sehingga dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 2 ayat (1). Hal ini tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena dalam UU No. 10 Tahun 2004 disebutkan bahwa tindak pidana dapat dilakukan oleh orang- perorangan atau oleh korporasi. Lebih jauh lagi, dalam UU tersebut ditentukan bahwa pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada: a. Badan hukum, perseroan, perkumpulan, atau yayasan;
  • 4. b. mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana; atau c. kedua-duanya Sanksi dalam Pasal 2 dan 3 Dalam KUHP menentukan jika suatu perbuatan dilakukan karena jabatan dan menyalahi wewenang maka diberlakukan pemberatan pidana yakni sanksinya mesti lebih berat, sementara dalam pada Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang merupakan perbuatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 tetapi dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, ancaman/sanksinya malah lebih ringan dibandingkan pada Pasal 2.6 Pasal 3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).  Yang digaris bawahi merupakan sanksi yang mestinya lebih berat ketimbang sanksi yang tercantum dalam Pasal 2 namun ternyata lebih ringan. Maka dapat dipastikan bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam KUHP. Maka berdasarkan uraian di atas, menurut Haryadi dalam Jurnalnya yang berjudul Tinjauan Yuridis Perumusan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Dalam Perspektif Tujuan Pemidanaan (Maret 2014) rumusan Pasal 3 terhadap Pasal 2 UU No. 31 Tahun 6 Haryadi, Tinjauan Yuridis Perumusan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No.20 Tahun 2001 Dalam PerspektifTujuan Pemidanaan, Jurnal Ilmu Hukum, Maret 2014.
  • 5. 1999 perlu ditinjau ulang. Usulan penguatan Pasal-Pasal tersebut dapat disoroti dari berbagai aspek dalam Hukum pidana yaitu: 1. Aspek Orang atau pelaku tindak pidana: dari aspek pelaku perumusan usulan Pasal ini tidak ada perubahan dari rumusan Pasal sebenarnya yaitu setiap orang yang secara melawan hukum dan pada Pasal 3 aspek pelakunya adalah setiap orang memangku jabatan. 2. Dalam merumuskan kualifikasi suatu Pasal harus betul-betul diperhatikan dengan cermat kualifikasi yuridisnya karena penentuan kualifikasi yuridis ini akan menentukan konsekwensi yuridisnya. 3. Aspek Perumusan Sanksi: Dalam merumuskan suatu sanksi pidana dalam suatu perundang-undangan harus tetap memperhatikan kaedah-kaedah umum. Setiap perumusan ketentuan pidana dalam UU di luar KUHP harus tetap berada dalam koridor sistem hukum pidana materiel (sistem pemidanaan substantif) yang berlaku saat ini. Sistem hukum pidana materiel terdiri dari keseluruhan sistem peraturan perundang-undangan (statutory rules) yang ada di dalam KUHP (sebagai induk aturan umum) dan UU khusus diluar KUHP. 3. Pembentukan Peraturan Perundang undangan Mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan ini, semuanya sudah diatur dalam UU RI No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam UU tersebut yakni dalam BAB V Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tahapan pertama ialah persiapan terlebih dahulu. Bagian kesatu BAB V tersebut terdiri dari Pasal 17 sampai Pasal 23. Dalam Pasal 17 dijelaskan mengenai ketentuan bahwa rancangan undang- undang mesti berdasarkan pada prolegnas (Program Legislasi Nasional), jadi pihak yang berwenang dalam legislasi (DPR, Presiden, dan DPD) tidak bisa semena-mena langsung membuat suatu peraturan perundang-undangan melainkan mesti berdasarkan pada program legislasi nasional yang sudah disusun sebelumnya. Namun dalan keadaan tertentu, lembaga legislasi juga dapat membuat peraturan perundang-undangan di luar prolegnas. Pada intinya, persiapan yang dilakukan oleh lembaga legislasi itu meliputi:
  • 6.  apa yang sudah dijelaskan mengenai Pasal 17 di atas;  pihak yang menyiapkan rancangan undang-undang dari Presiden (Pemerintah) yang dalam hal ini ialah menteri (Pasal 18);  pihak yang menyiapkan rancangan undang-undang dari DPR dan DPD (Pasal 19);  pengajuan rancangan undang-undang yang dilakukan oleh Presiden kepada pimpinan DPR dengan surat Presiden (Pasal 20);  penyampaian rancangan undang-undang yang dilakukan DPR kepada Presiden dengan surat pimpinan DPR, presiden menugasi menteri yang bertugas dan bertanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan untuk mewakilinya dalam pembahasan rancangan undang-undang (Pasal 21);  pihak yang menyebarluaskan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR yang dalam hal ini ialah Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat dan instansi Pemrakarsa untuk rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden (Pasal 22);  penyampaian materi dalam rancangan undang-undang yang jika materi yang disampaikan oleh DPR dan Presiden sama maka yang dibahas ialah rancangan undang-undang yang disampaikan oleh DPR sedangkan untuk rancangan undang- undang yang disampaikan oleh Presiden hanya digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan (Pasal 23). Untuk persiapan pembentukan rancangan undang-undang ini Presiden menetapkan Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden. Pasal 6 ayat (1) Peraturan Presiden tersebut menyatakan bahwa dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang, Pemrakrasa membentuk Panitia Antardepartemen. Lebih lanjut dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) dinyatakan bahwa keanggotaan Panitia Antardepartemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Departemen dan Lembaga Pemerintahan nondepartemen yang terkait dengan substansi rancangan undang-
  • 7. undang, serta wakil dari departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.7 Sedangkan untuk pihak yang menjadi Panitia Antardepartemen (PAD) diatur dalam Pasal 7 ayat (3) Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005. Pada intinya, pihak yang menjadi Panitia Antardepartemen adalah yang menguasai permasalahan yang berkaitan dengan materi rancangan undang-undang yang akan dibentuk. PAD tersebut ditunjuk oleh Menteri/pimpinan Lembaga berdasarkan permintaan dari Menteri/pimpinan Lembaga yang memprakarsai penyusunan peraturan perundang-undangan. Tahap selanjutnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ialah pembahasan rancangan undang-undang. Pasal 32 UU No. 10 Tahun 2004: Pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden atau Menteri yang sudah ditugasi. Kemudian untuk keikutsertaan DPD dalam pembahasan undang-undang diatur dalam Pasal 65 UU No. 12 Tahun 2011: 1) Pembahasan Rancangan Undang-undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. 2) Pembahasan Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan (a) otonomi daerah, (b) hubungan pusat dan daerah, (c) pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, (d) pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, dan (e) perimbangan pusat dan daerah, dilakukan dengan mengikutsertakan DPD. 3) Keikutsertaan DPD dalam Pembahasan Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat satu. 4) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dan 3 diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi materi muatan Rancangan Undang-undang yang dibahas. 7 Setio Sapto Nugroho (Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian Sekretariat Negara), Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,(Jakarta, 2009), hal. 13-14
  • 8. 5) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Tahap selanjutnya dalam pembentukan Undang-undang adalah Pengesahan RUU. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 37 UU No. 10 Tahun 2004 sebagai berikut: Pasal 37 2) Rancangan undang-undang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. 3) Penyampaian Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) terhitung sejak persetujuan bersama. Pasal 38 1) Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden 2) Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, maka rancangan undang- undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. 3) Dalam hal sahnya rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan, ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • 9. 4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum Pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. dalam Pasal 3 dan 4 Peraturan Presiden No.1 Tahun 2007 dinyatakan bahwa naskah RUU disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara untuk ditanda tangani oleh Presiden, penomoran dan tahun juga dilakukan oleh Mensekneg setelah Presiden mensahkannya, dan terakhir Mensekneg akan menyampaikan RUU yang baru disahkan tersebut untuk diundangkan. Tahap selanjutnya ialah Pengundangan dan penyebarluasan. Ketentuan UU No.12 Tahun 2011, Pasal 81: Agar setiap orang mengetahuinya maka setiap undang-undang harus diundangkan dengan menempatkannya dalam lembaran-lembaran resmi Negara, yaitu (a) Lembaran Negara Republik Indonesia dan (b) Tambahan Lembaran Negara Repubilk Indonesia. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan peraturan perundang- undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Pengundangan ini dilakukan oleh menteri yang bertugas menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang hukum. Setiap peraturan yang sudah diundangkan dalam lembaran negara bersifat mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam UU yang bersangkutan. Dalam UU No. 10 Tahun 2004 dinyatakan bahwa agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundangan-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah (Pasal 45). Tahap penyebarluasan meliputi penyebarluasan UU dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia melalui media elektronik, koran, dan lain sebagainya. Contohnya penyebarluasan UU yang dilakukan oleh media hukumonline.com.
  • 10. Kesimpulan: Tahapan pembentukan UU berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 (pada umumnya) ialah 1). Persiapan Pembentukan Undang-undang; 2). Pembahasan Rancangan Undang-undang; 3). Pengesahan Rancangan Undang-undang; 4). Pengundangan; 5). Penyebarluasan. Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas Dalam Pasal 17 UU No. 10 Tahun 2004 ayat (3) dinyatakan; Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Program Legislasi Nasional. Ketentuan ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, Pemrakarsa dapat menyusun rancangan undang-undang di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden, dengan sisertai penjelasan mengenai konsepsi pengaturan rancangan undang-undang yang meliputi: a. urgensi dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang ingin diatur; dan d. jangkauan serta arah pengaturan; adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah: e. menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang menjadi undang- undang; f. melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi g. mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; h. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu rancangan undang-undang yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dan Menteri. Agar rancangan undang-undang yang disampaikan Pemrakarsa tidak berbenturan dengan rancangan undang-undang yang berdasarkan Prolegnas maka Pemrakarsa wajib
  • 11. mengkonsultasikan konsepsi tersebut kepada Menteri Hak Asasi Manusia dan Menteri Hukum. Kemudian Menteri Hak Asasi Manusia dan Menteri Hukum mengoordinasikan pembahasan konsepsi rancangan undang-undang dengan pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum, dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari lembaga Pemrakarsa dan departemen/lembaga terkait lainnya. Selain itu apabila dipandang perlu, koordinasi dapat dilakukan pula dengan melibatkan perguruan tinggi dan/atau organisasi. Jika konsepsi tersebut sudah dibahas oleh para pihak tersebut serta sudah diperoleh keharmonisan, kebulatan, dan kemantapan maka Pemrakarsa menyampaikan konsepsi rancangan undang-undang kepada Presiden untuk disetujui. Setelah disetujui oleh Presiden, selanjutnya Pemrakarsa membentuk Panitia Antardepartemen.8 8 Setio Sapto Nugroho (Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian Sekretariat Negara), Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta, 2009), hal. 14-16