SlideShare a Scribd company logo
1 of 10
Download to read offline
MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF; TEORI YANG MENDASARI DAN
  PRAKTEKNYA DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR DAN
                  SEKOLAH LANJUTAN

                                         Dwi Priyo Utomo
                              Pogram Studi Pendidikan Matematika
                               Universitas Muhammadiyah Malang
                                    dwipuumm@yahoo.com

                                              Abstract
     In general, mathematics and science learning in schools is still conventional. Teacher-
     centered learning result in students is less active, therefore we need to be shifted in such a
     way that it becomes more centered on students. Cooperative learning is group work is
     managed and organized so that students work together in small groups to achieve effective
     academic goals and social. Cooperative learning model appears to be an answer to that
     question. This study aims to determine: 1) what are the theories that support the model of
     cooperative learning; and 2) why does cooperative learning model needs to be applied.
     Based on the discourse analysis, it can be concluded that the basic theories wich become
     the cooperative learning model are: 1) psychology cognitive-constructivist theory of Piaget
     and Vygotsky; and 2) Dewey's Theory of Social Psychology, Thelan, Allport, and Lewin.
     From the various considerations and empirical evidence shows that cooperative learning
     model needs to be applied in teaching and learning in schools at various levels and various
     fields of study, including mathematics and sciences. This kind of learning model has some
     benefits when compared with conventional learning, including a) the attainment of higher
     academic learning outcomes, b) is more conducive to improving inter-relationships
     (friendships), c) are more psychologically healthy, increase your confidence and social
     skills.

     Kata kunci: Pembelajaran kooperatif, pembelajran konvensional, terpusat pada peserta
     didik.

PENDAHULUAN

Pada umumnya, pembelajaran matematika dan sains di sekolah masih bersifat
konvensional. Pembelajaran konvensional biasanya menggunakan pembelajaran yang
bersifat langsung atau disebut sebagai model pembelajaran langsung atau sinonim
dengan pembelajaran ekspositori. Model pembelajaran ini memiliki berbagai ciri. Dua
diantara cirri-ciri tersebut adalah: pembelajan yang terpusat pada guru dan memiliki
urutan pembelajaran: penejelasan -- contoh-contoh---latihan ---- balikan (Borich, 1992).
Borich (1992) menunjukkan ciri-ciri pembelajaran langsung, yaitu: 1) pembelajaran
pada kelas besar; 2) pengorganisasian pembelajaran seputar pertanyaan yang diajukan
guru; 3) latihan yang rinci dan berlebihan; 4) penyajian materi berupa fakta, aturan dan
prosedur baru yang harus dikuasai sebelum fakta, atudan atau prosedur berikutnya
disajikan; dan 5) susunan tugas formal kelas untuk memaksimalkan latihan dan
praktek. Lebih jauh Borich mengngungkapkan bahwa dengan pembelajaran langsung
pada kelas besar ini, maka guru akan membagi informasi dan perhatian kepada seluruh
peserta didik dalam kelas tersebut. Keadaan demikian tidak memungkinkan guru untuk
memperhatikan dan “melayani” masing-masing peserta didik secara baik. Dengan
demikian, pembelajaran langsung menganggap bahwa karakteristik peserta didik adalah
homogen.




                                                                                                      1
Pembelajaran yang terpusat pada guru mengakibatkan peserta didik kurang aktif,
oleh karena itu perlu digeser sedemikian rupa sehingga menjadi lebih terpusat pada
peserta didik. Demikian pula adanya asumsi bahwa seluruh peserta didik di kelas
mempunyai karakteristik sama membawa konsekuensi pada pemberian perlakuan
belajar yang serba sama pula pada mereka, sehingga mengurangi kesempatan mereka
untuk berkembang sesuai perbedaan yang dimilikinya. Menurut Murphy, seorang
psikolog kenamaan, berpandangan bahwa proses belajar terjadi karena adanya interaksi
antara organisme yang dasarnya bersifat individual dengan lingkungan khusus tertentu (
Suryabrata, 2002).
        Untuk mempertegas adanya pengaruh kepribadian peserta didik terhadap proses
belajar mengajar, Erikson dalam Borich (1992), Gage dan Berliner (1984)
mengemukakan bahwa setiap peserta didik akan melewati tiga tahapan “krisis”
kepribadian selama bersekolah. Pertama, krisis pencapaian lawan rendah diri
(accomplishment versus inferiority), yang dapat terjadi selama disekolah dasar. Kedua,
krisis identitas lawan kebingungan (identity versus confusion) yang kadang-kadang
terjadi selama di sekolah menengah. Ketiga, krisis keakraban lawan keterasingan
(intimacy versus isolation) yang terjadi di awal kedewasaan.
        Orang tua dan guru mempunyai peran penting pada masa krisis pencapaian
lawan rendah diri di sekolah dasar. Pada masa ini orang tua maupun guru diperlukan
untuk memberikan dorongan semangat kepada peserta didik sehingga ia merasa mampu
(accomplishment). Bila dorongan dan dukungan yang ia terima kurang cukup, maka
akan berkembang rasa rendah diri (inferiority) pada diri peserta didik. Rasa cemas yang
berlebihan terhadap kegagalan (karena malu pada teman, takut pada ancaman orang tua)
akan mengakibatkan peserta didik mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-
tugasnya (Borich, 1992). Oleh karena itu, guru dituntut untuk mengatur standar
tantangan belajar yang cukup tinggi namun jangan terlalu sukar untuk dicapai oleh
peserta didik. Guru dituntut pula untuk mengembangkan kepercayaan diri (self-
confidence) dan harga diri (self-esteem) peserta didik dengan jalan memberikan tugas
yang menantang yang dapat meraka selesaikan.
        Erikson dalam Seifert (1991) memberikan alternatif bagaimana mewujudkan
pembelajaran yang baik. Pertama, berikan tugas dan aktivitas yang diinginkan dan yang
dapat dikerjakannya. Tingkatkan semangatnya dengan jalan mengurangi tingkat
kompetisi dan yakinkan bahwa setiap peserta didik mampu menyelesaikannya.
Sampaikan pesan bahwa semua peserta didik dalah pemenang. Kedua, kuatkan usaha
dan ketekunanny.a. bagi peserta didik yang mengalami kesulitan, bantu peserta didik
tersebut sehingga terpecahkan masalah pertamanya kemudian pastikan ia berkonsentrasi
pada masalah berikutnya sampai selesai. Saran erikson tersebut bukan berarti bahwa
kompetisi sama sekali harus dihilangkan, namun kompetisi seharusnya hanya digunakan
sewajarnya (sparingly) dan pada kondisi yang cocok (Johnson dan Johnson, 1987).
Kompetisi yang tidak diberikan pada kondisi yang cocok akan mengakibatkan rasa
rendah diri (inferiority) pada peserta didik yang tidak berhasil dalam tugas. Kompetisi
klas dapat dilakukan pada dua kondisi berikut. Pertama, pada klas yang memiliki
motivasi dan kemampuan yang sama dan, kedua, hasil-hasil kompetisi tidak perlu
dianggap terlalu serius. Kalau dua kondisin ini tidak dipenuhi, maka peserta didik akan
enggan dan mungkin menolak untuk untuk mengerjakan tugas-tugas dikemudian hari
(Seifert, 1991).
        Model pembelajaran kooperatif nampaknya merupakan jawaban atas pertanyaan
tersebut. Pembelajaran kooperatif adalah kerja kelompok yang terkelola dan


                                                                                     2
terorganisasikan sedemikian sehingga peserta didik bekerja sama dalam kelompok kecil
untuk mencapai tujuan-tujuan akademik, effektif dan sosial (Johnson dan Johnson,
1989). Dalam model pembelajaran kooperatif terdapat lima prinsip yang harus
tercermin didalamnya.. lima prinsip tersebut adalah : 1) saling ketergantungan positif; 2)
tanggung jawab perseorangan; 3) tatap muka; 4) komunikasi antar anggota; dan 5)
evaluasi proses kelompok (Lie, 2000). Dalam menyelesaikan tugasnya, peserta didik
yang satu membutuhkak peserta didik yang lain, karena mereka bekerja dalam satu
team. Masing-masing peserta didik memiliki tanggung jawab untuk memberikan
kontribusi pada kelompoknya. Peserta didik yang paham terhadap salah satu tugas harus
membantu peserta didik lain yang belum memahami tugas tersebut. Demikian pula
peserta didik yang belum paham harus meminta penjelasan kepada yang telah paham.
Mereka juga harus berinteraksi satu sama lainnya melalui tatap muka dan komunikasi.
Evaluasi dilakukan baik secara individual maupun kelompok. Prinsip-prinsip
pembelajaran demikian akan mengeliminasi kompetisi yang menimbulkan krisis
kepribadian seperti frustasi, kecemasan yang berlebihan, dan rasa rendah diri yang
berujubg pada motivasi belajar yang rendah.
       Dari uraian diatas, nampak bahwa model pembelajaran koopertif dapat menjadi
solusi alternatif dalam mengurangi dampak krisis kepribadian sebagaiman yang
dikemukakan oleh Erikson. Namun demikian, kenyataan didalm praktek pembelajaran
matematika dan sains di sekolah masih enggan meninggalkan model pembelajaran
langsung. Mengapa keengganan ini terjadi? apakah karena teori yang mendasari
pembelajaran koopertif berbeda dengan dasar teori pembeljaran konvensional yang
selama ini digunakan? apakah karena kurang cukup bukti dan pertimbangan untuk
menerapkannya?
       Permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut; 1) teori-teori apa
sajakah yang mendukung model pembelajaran kooperatif ?; 2) mengapa model
pembelajaran kooperatif perlu diterapkan?

PEMBAHASAN
Teori-Teori pendukung Model Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran konvensional atau pembelajaran langsung mempunyai sandaran
teori psikologi behavioristik dan teori pembelajaran sosial, sedangkan model
pembelajaran kooperatif memiliki basis pada teori psikologi kognitif dan teori
pembelajaran sosial (Arends, 1997). Fokus pembelajaran kooperatif tidak saja tertumpu
pada apa yang dilakukan peserta didik tetapi juga pada apa yang dipikirkan peserta
didik selama aktivitas belajar berlangsung. Informasi yang ada pada kurikulum tidak
ditransfer begitu saja oleh guru kepada peserta didik, tetapi peserta didik difasilitasi dan
dimotivasi untuk berinteraksi dengan peserta didik lain dalam kelompok, dengan guru
dan dengan bahan ajar secara optimal agar ia mampu mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri.
         Dari uraian di atas nampak bahwa guru bukanlah sebagai pusat pembelajaran,
sumber utama pembelajaran, serta pentransfer pengetahuan sebagaimana terjadi pada
pembelajaran konvensional. Pusat pembelajaran telah bergeser dari guru ke peserta
didik. Dalam model pembelajaran kooperatif, guru berperan sebagai fasilitator,
penyedia sumber belajar bagi peserta didik, pembimbing peserta didik dalam belajar




                                                                                          3
kelompok, pemberi motivasi peserta didik dalam memecahkan masalah, dan sebagai
pelatih peserta didik agar memiliki ketrampilan kooperatif.
        Teori yang menjadi pendukung model pembelajaran kooperatif ini adalah: 1)
Teori Psikologi Kognitif-Konstruktivistik (Piaget dan Vygotsky), dan 2) Teori Psikologi
Sosial (Dewey, Thelan, Allport, dan Lewin).

1. Teori Psikologi Kognitif -Konstruktivistik
   Jean Piaget dan Lev Vygotsky merupakan dua ahli psikologi kognitif yang besar
   sumbangannya dalam mendukung pengembangan pembelajaran kooperatif
   (http://.users.muohio.edu/shermanlw/wolf_chapter-draft3-25.html).      Sumbangan
   pemikiran dan penelitian dari kedua ahli tersebut serta kaitannya dengan model
   pembelajaran kooperatif dijelaskan dalam uraian berikut.
   a. Teori Piaget
       Piaget (dalam Slavin, 2000) memandang bahwa setiap anak memiliki rasa ingin
       tahu bawaan yang mendorongnya untuk berinteraksi dengan lingkungannya.
       Baik lingkungan fisik maupun sosialnya. Piaget meyakini bahwa pengalaman
       secara fisik dan pemanipulasian lingkungan akan mengembangkan
       kemampuannya. Ia juga mempercayai bahwa interaksi sosial dengan teman
       sebaya, khususnya dalam mengemukakan ide dan berdiskusi akan membantunya
       memperjelas hasil pemikirannya dan menjadikan hasil pemikirannya lebih logis.
       (Slavin, 2000). Melalui pertukaran ide dengan teman lain, seorang anak yang
       sebelumnya memiliki pemikiran subyektif terhadap sesuatu yang diamati akan
       merubah pemikirannya menjadi obyektif Aktivitas berpikir anak seperti itu
       terorganisasi dalam suatu struktur kognitif (mental) yang disebut dengan
       "scheme" atau pola berpikir (patterns of behavior or thinking).
                Berkaitan dengan pandangan Piaget dalam hal pembelajaran, Duckworth
       (Slavin, 1995) mengemukakan bahwa pedagogi yang balk harus melibatkan
       anak pada situasi di mana anak mandiri melakukan percobaan, dalarn arti anak
       mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi tanda-
       tanda, memanipulasi simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri
       jawabannya, mencocokkan apa yang la temukan dan membandingkan
       temuannya dengan anak lain.
   b. Teori Vygotsky
       Lev Semionovich Vygotsky, seorang ahli psikologi Rusia memiliki kesamaan
       dengan Piaget (ahli psikologi dan biologi dari Switzerland) dalam memandang
       perkembangan kognitif anak Vygotsky memandang bahwa akuisisi "sistem
       isyarat" (sign system) terjadi dalam sekuen tahapan yang invarian untuk setiap
       anak sebagaimana disampaikan oleh Piaget. Namun, Vygotsky berbeda dalam
       memandang "pemicu" perkembangan kognitif anak. Ia meyakini bahwa
       perkembangan kognitif anak terkait sangat kuat dengan masukan dari orang lain.
       Vygotsky mendasarkan karyanya pada dua ide utama. Pertama, perkembangan
       intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks pengalaman historis
       dan budaya anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat
       (sign system) di mana ia tumbuh. Sistem isyarat mengacu kepada simbol-simbol
       yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang bertikir, berkomunikasi dan
       memecahkan masalah. Teori Vygotsky di atas mempunyai dua implikasi utama
       dalam pembelajaran, yaitu, perlunya pengelola pembelajaran secara kooperatif
       dengan pengelompokkan peserta didik secara heterogen dari sisi kemampuan


                                                                                     4
akademik, dan kedua, pendekatan pembelajaran yang menekankan pentingnya
       scaffolding, dengan menekankan pentingnya tanggung jawab peserta didik pada
       tugas belajarnya. (Slavin, 2000).
               Vygotsky menekankan pentingnya peranan lingkungan kebudayaan dan
       interaksi sosial dalam perkembangan sifat-sifat dan tipe-tipe manusia. Menurut
       Vygotsky (Slavin, 2000), peserta didik belajar melalui interaksi dengan orang
       dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Interaksi sosial ini memacu
       terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta didik.
       Pada setting kooperatif, peserta didik dihadapkan pada proses berpikir teman
       sebaya mereka. Tutorial oleh teman yang lebih kompeten akan sangat efektif
       dalam mendorong petrtumbuhan daerah perkembangan proximal (Zone of
       Proximal Development) anak.
               Vygotsky yakin bahwa tujuan belajar akan tercapai jika anak belajar
       menyelesaikan tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut
       masih berada dalam daerah perkembangan terdekat mereka. Daerah
       perkembangan terdekat adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat
       perkembangan orang saat ini. Zone of Proximal Development (ZPD) adalah jarak
       antara tingkat perkembangan aktual, yang ditentukan melalui penyelesaian
       masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial anak, yang
       ditentukan melalui pemecahan masalah dengan bimbingan (scaffolding) orang
       dewasa atau teman sebaya. Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik bekerja di
       dalam daerah perkembangan terdekat mereka, tugas-tugas yang tidak dapat
       mereka selesaikan sendiri akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan
       (scaffolding) orang dewasa atau teman sebaya.
Konstruktivisme
Piaget dan Vygotsky adalah dua ahli psikologi yang sekaligus dua orang konstruktivis.
Vygotsky yang memiliki latar belakang hidup masyarakat sosialis lebih cenderung
menekankan pentingnya konstruksi sosial, sementara Piaget yang seorang biologist
lebih cenderung menekankan pentingnya konstruksi personal. Teori tentang konstruksi
pengetahuan oleh kognisi sendiri ini -- disebut juga teori kontruktivistik atau teori
kognitif-konstruktivistik, sangat populer di masa sekarang ini dan juga merupakan basis
teori dari model pembelajaran kooperatif (Arends, 1997).
        Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi
kognitif melalui aktivitas seseorang. Kaum konstruktivisme beranggapan bahwa
pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuan
mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan
mereka.
        Doolittle & Camp (1999) mendasarkan pada pendapat Von Glasprsfeld,
Garrison, Gergen, Dewey, dll, mengemukakan bahwa terdapat 4 prinsip epistemologi
yang esensial dari konstruktivisme, yaitu: 1) pengetahuan tidak dihimpun secara pasif,
tetapi merupakan hasil dari kesadaran (kognizing) aktif individual; 2) kognisi
merupakan proses adaptif yang berfungsi membuat perilaku individual lebih
bersemangat pada lingkungan tertentu yang diberikan; 3) mengorganisasi kognisi dan
membuat pengertian (sense) dari pengalaman seseorang, dan bukan sutu proses untuk
mengubah suatu representasi akukrat dari kenyataan; 4) pengetahuan berakar dalam
konstruksi biologis/neurologis dan dalam interaksi sosial, budaya clan bahasa.




                                                                                     5
Teori Psikologi Sosial
1. Teori John Dewey dan Herbert Thelan
   Menurut Dewey (Arends, 1997), kelas seharusnya merupakan cermin dari
   masyarakat luas dan berfungsi sebagai laboratorium belajar dalam kehidupan nyata.
   Dewey menegaskan bahwa guru perlu menciptakan sistem sosial yang bercirikan
   demokrasi dan proses ilmiah dalam lingkungan belajar peserta didik dalarn kelas.
   Tanggung jawab utama guru adalah memotivasi peserta didik untuk belajar secara
   kooperatif dan memikirkan masalah-masalah sosial yang penting setiap hari.
   Bersamaan dalam aktivitasnya rnemecahkan masalah di kelompoknya, peserta didik
   belajar prinsip-prinsip demokrasi melalui interaksi dengan peserta didik lain.
           Beberapa tahun setelah Dewey, Thelan (dalam Arends, 1997) berpendapat
   bahwa kelas haruslah merupakan laboratorium atau miniatur demokrasi yang
   bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial dan masalah antar pribadi. Thelan
   tertarik dengan dinamika kelompok dan rnengernbangkan bentuk yang lebih rinci
   dan terstruktur dari penyelidikan kelompok, dan mempersiapkan dasar konseptual
   untuk pengembangan pembelajaran kooperatif (Arends, 1997).
2. Teori Gordon Allport
   Aliport (Arends, 1997) berpandangan bahwa hukum saja tidaklah cukup untuk
   mengurangi kecurigaan dan meningkatkan penerimaan secara baik antar kelompok.
   Pandangan Allport dikenal dengan "The Nature of Prejudice". Untuk mengurangi
   kecurigaan dan meningkatkan penerimaan satu sama lain adalah dengan jalan
   mengumpulkan mereka (antar suku atau ras) dalam satu lokasi, kontak langsung dan
   bekerjasama antar mereka.
           Shlomo Sharan dan koleganya menyimpulkan adanya tiga kondisi dasar
   untuk memformulasikan pandangan Allport untuk mengurangi kecurigaan antar
   kelompok dan meningkatkan penerimaan antar mereka. Tiga kondisi tersebut
   adalah: 1) kontak langsung antar suku atau ras; 2) dalam seting tertentu, mereka
   bekerjasama dan berperan aktif dalam kelompok; 3) dalam seting tersebut, mereka
   secara resmi menyetujui adanya kerjasama (Arends, 1997).
3. Teori Kurt Lewin
   Kurt Lewin yang lahir pada tahun 1890 di Polandia ini dapat dipandang sebagai
   Bapak Psikologi Sosial. (http://.users.muohio. edu/shermanlw/wolf_ chapter-draft3-
   25.html). Lewin sangat tertarik pada masalah-masalah pergerakan yang dinamis
   dalam kelompok (group dynamics movement), terutama tentang resolusi konflik
   sosial yang terjadi di antara para peserta didik. Dalam suatu kelompok, ada dua
   kernungkinan yang dapat terjadi, yaitu: mendorong penerimaan sosial (promote
   social acceptance) atau meningkatkan jarak/ketegangan sosial (increase social
   distance). Pandangan-pandangan Lewin tentang dinamika kelompok ini kemudian
   dikembangkan oleh para peserta didikpeserta didiknya. D. Johnson, E. Aronson, R.
   Schmuck dan L. Sherman adalah generasi ke-tiga dari Lewin (peserta didik dari
   peserta didik Lewin) yang turut mengembangkan pandangan-pandangan Lewin
   tersebut di atas.
           Para penerus Lewin mencari cara bagaimana memfasilitasi integrasi dan
   memajukan hubungan antar manusia, mendorong demokrasi dan mengurangi
   timbulnya konflik. Dari sini muncul berbagai strategi pembelajaran kooperatif. Para
   penerus Lewin (terutama generasi kedua dan ketiga Lewin) mengembangkan
   berbagai teknik pembelajaran kooperatif yang menggabungkan pandangan teori
   psikologi sosial dari Lewin dan psikologi kognitif. Deutsch (dalam Slavin, 1995)


                                                                                    6
mengembangkan prinsip "ketergantungan" (interdpendence), yang kemudian ia bagi
   menjadi ketergantungan positip dan negatif. Johnson & Johnson mengembangkan
   "creative conflict" dan Slavin dengan "group contingencies".
           Banyak hasil penelitian Lewin yang mengetengahkan pentingnya partisipasi
   aktif dalam kelompok untuk mempelajari ketrampilan baru, mengembangkan sikap
   baru, dan memperoleh pengetahuan. Hasil penelitiannya juga menunjukkan betapa
   produktifnya kelompok bila anggota-anggotanya berinteraksi dan kemudian saling
   merefleksikan pengalaman-pengalamannya. (Johnson & Johnson, 2000).
Rasional Perlunya Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif
1. Praktek-Praktek dalam Pembelajaran
   Setiap model pembelajaran biasanya dicirikan oleh adanya tiga struktur yang
   termuat dalam pembelajaran itu. Tiga struktur tersebut adalah struktur tugas,
   struktur tujuan dan struktur penghargaan. Struktur tugas mengacu pada bagaimana
   pembelajaran diorganisasikan dan jenis kegiatan yang dilakukan peserta didik.
   Sedangkan struktur tujuan mengacu pada jenis ketergantungan yang dibutuhkan
   peserta didik pada saat mereka mengerjakan tugas. Biasanya dibedakan atas struktur
   tujuan individualistik, kompetitif dan kooperatif. Struktur tujuan disebut
   individualistik bila dalam mencapai tujuan belajarnya peserta didik tidak
   memerlukan interaksi dengan orang lain. Sedangkan pada struktur tujuan kompetitif
   peserta didik dapat mencapai tujuan jika dan hanya jika orang lain tidak mencapai
   tujuan tersebut. Pada struktur tujuan kooperatif, peserta didik dapat mencapai
   tujuannya jika dan hanya jika peserta didik lain dengan siapa mereka bekerja sama
   mencapai tujuan tersebut. Analog dengan struktur tujuan, struktur penghargaan juga
   dibedakan dalam tiga struktur, yaitu struktur penghargaan individual, kompetitif dan
   struktur penghargaan kooperatif.
           Pada sekolah-sekolah dengan model pembelajaran yang berstruktur tujuan
   kompetitif, maka kelas di sekolah itu akan terbagi menjadi dua bagian. Pertama
   adalah bagian peserta didik yang sukses berkompetisi dan sebagian besar yang
   lainnya hanya puas dengan predikat rata-rata, (Lie, 2000). Sebagian peserta didik
   dengan predikat rata-rata tersebut dianggap "kurang berhasil" dibandingkan
   segelintir peserta didik yang "berhasil". Rasa rendah diri akan sangat mungkin
   muncul pada sebagian besar peserta didik yang berpredikat rata-rata tersebut. Krisis
   rendah diri ini yang oleh Erikson disarankan agar dihindarkan jauh-jauh dari diri
   peserta didik.
           Dalam praktek pembelajaran juga sering dijumpai guru memberikan
   berbagai pujian kepada beberapa peserta didik di hadapan peserta didik yang lain
   karena peserta didik tersebut mempunyai prestasi akademik yang menonjol.
   Ungkapan seperti "Jalal, masak soal begini saja tidak bisa", "Jalil itu lho hebat" atau
   yang senada dengan itu sering terjadi di kelas. Situasi seperti ini tidak membuat Jalal
   bangkit, melainkan tambah putus asa. Hal ini akan diperparah, kalau di rumah juga
   dianggap anak bodoh oleh orangtuanya. Kalah berkompetisi di kelas dan penilaian
   kurang mampu dari orang di sekitarnya akan mengkondisikan dia untuk
   menganggap dirinya memang tak mampu.
           Praktek-praktek membentuk "kelas unggulan" atau "kelas akselerasi" di
   beberapa sekolah juga membawa dampak terhadap meningkatnya krisis rendah diri
   sebagian besar peserta didik. Pengelompokkan kelas unggulan jelas akan
   memunculkan kelas yang tidak unggul. Apalagi kalau ada urutan kelas mulai dari


                                                                                        7
kelas paling unggul dengan kelas paling tidak unggul. Pengelompokkan kelas
   seperti itu setidaknya akan berdampak pada tiga hal. Pertama, sikap peserta didik di
   kelas unggul akan nampak "arogan" dan mungkin terkesan "sombong". Kedua,
   peserta didik di kelas tidak unggul akan merasa rendah diri dan merasa tidak
   beruntung. Ketiga, sebagian guru merasa enggan mengajar di kelas kurang unggul
   dan begitu sebaliknya
           Kehadiran peserta didik pandai di dalam kelas atau di kelas unggulan, akan
   membawa “'rasa tidak senang " pada peserta didik yang kurang pandai atau kelas
   bukan unggulan. Hai ini disebabkan karena kehadiran peserta didik pandai akan
   membawa dampak pada pemberian atribut kurang pandai pada diri peserta didik
   yang kurang. Banyak penelitian menyebutkan bahwa keberadaan peserta didik
   pandai justru tidak menyenangkan bagi peserta didik yang lain, karena peserta didik
   yang lain tidak memperoleh manfaat dan keberadaannya. Berbeda halnya dengan
   keberadaan peserta didik yang pintar menyanyi atau pintar olah raga.
   Keberadaannya tidak merugikan peserta didik yang lain, bahkan akan mengangkat
   nama baik kelasnya.
           Praktek-praktek pembelajaran dan dampaknya sebagaimana diuraikan di atas
   menunjukkan bahwa pembelajaran senngkali lebih dipandang sebagai ajang
   kompetensi dari pada wahana melatih peserta didik untuk bekerja sama secara
   kooperatif.
2. Hasil - Hasil Penelitian Pembelajaran Kooperatif

           Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar akademik peserta
   didik pada pembelajaran kooperatif lebih unggul dibandingkan dengan hasil belajar
   akademik pada pembelajaran konvensional. Slavin (dalam Nur, 2000)
   mengemukakan bahwa dari 45 laporan penelitian, 37 di antaranya menunjukkan
   bahwa hasil belajar akademik peserta didik pada kelas dengan pembelajaran
   kooperatif lebih tinggi dari kelas konvensional. Delapan diantaranya tidak ada
   perbedaan. Jadi tidak ada satupun yang menunjukkan pengaruh negatif. Telaah
   Slavin didasarkan alas penelitian pembelajaran kooperatif mulai tahun 1972 sampai
   tahun 1986 di sekolah-sekolah kota, pinggiran dan pedesaan di Amerika Serikat.
   reneiitian tersebut di atas dilakukan pada semua jenjang keias sekolah dasar pada
   bidang studi matematika sains, bahasa, geografi dan ilmu sosial.
           Keberhasilan penerapan pembelajaran kooperatif juga dilaporkan oleh Puma,
   Jones, Rock dan Fernandes (1993) mengemukakan bahwa 79% dari guru SD dan
   62% dari guru SL terus menerapkan model pembelajaran kooperatif pada kelas yang
   dibinanya. Hal ini dikarenakan pembelajaran kooperatif disamping unggul dalam
   mempengaruhi hasil belajar akademik, juga dalam pencapaian tujuan sosial dan
   affektif peserta didik. Dari berbagai hasil penelitian eksperimental dan korelasional
   membuktikan bahwa pembelajaran kooperatif lebih unggul dalam beberapa hal
   dibandingkan dengan pembelajaran lain yang bersifat kompetitif dan individualistik.
   Keunggulan dimaksud adalah: a) pencapaian hasil belajar akademik lebih tinggi; b)
   lebih peduli dan mendukung hubungan pertemanan; c) lebih sehat secara psikologis,
   meningkatkan kompetensi sosial dan lebih meningkatkan kepercayaaan diri.
   (http://www. clcrc. com/pages/cl.html)
           Hasil penelitian lain berasal dari Ong Eng Tek (1998) yang melakukan
   penelitian eksperimental dengan membandingkan model pembelajaran kooperatif
   dengan konvensional pada bidang studi matematika di kelas 4 SD di Malaysia. Hasil


                                                                                      8
penelitian tersebut menunjukkan bahwa hasil belajar akademik peserta didik pada
   pembelajaran kooperatif lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan hasil
   belajar, dengan model pembelajaran konvensional.

KESIMPULAN
Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya,
kesimpulan yang dapat dikemukakan di sini adalah: Teori-teori yang menjadi sandaran
model pembelajaran kooperatif adalah: 1) Teori Psikologi Kognitif-Konstruktivistik dari
Piaget dan Vygotsky; dan 2) Teori Psikologi Sosial dari Dewey, Thelan, Allport, dan
Lewin.
        Fokus pembelajaran kooperatif tidak saja tertumpu pada apa yang dilakukan
peserta didik tetapi juga pada apa yang dipikirkan peserta didik selama aktivitas belajar
berlangsung. Informasi yang ada pada kurikulum tidak ditransfer begitu saja oleh guru
kepada peserta didik, tetapi peserta didik difasilitasi dan dimotivasi untuk beninteraksi
dengan peserta didik lain dalam kelompok, dengan guru dan dengan bahan ajar secara
optimal agar ia mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
        Dari berbagai pertimbangan dan bukti empirik menunjukkan bahwa model
pembelajaran kooperatif perlu diterapkan dalam pembelajaran di sekolah di berbagai
tingkatan dan berbagai bidang studi, termasuk bidang studi matematika dan sains.
Model Pembelajaran ini unggul dalam berbagai hal jika dibandingkan dengan
pembelajaran konvensional, di antaranya: a) pencapaian hasil belajar akademik lebih
tinggi; b) lebih kondusif untuk meningkatkan hubungan antar (pertemanan); c) lebih
sehat secara psikologis, meningkatkan kepercayaan diri dan ketrampilan sosial.


DAFTAR PUSTAKA

Arends, Richard I. (1997). Classroom Instruction and Management. New York: Mc
        Graw Hill.
………………… (2001). Learning to Teach. New York : Mc Graw Hill.
Borich, Gary D. (1992). Effective Teaching methods. New York: Macmillan Publishing
        Co.
Dayakisni, T. dan Hudaniah. (2003). Psikologi Sosial. (edisi Revisi). Malang: UMM
        Press.
Doolttle, Peter E., & Camp, William G. (1999). Constructivism: The Career and
         Technical Education Perspective. Journal of Vocational and Technical
         Education Perspective. Volume 16, Number l 1999.
Gage, N.L. dan Berliner, David C. (1984). Educational Psychology. Boston : Houghton
         Miflin Co.
http://www. users. muohio. edu/shermanlw/wol f_chapter-draft3-25. Htm.
http://wwwm successforall.met/resource/researce/cooplearn.htm.
Johnson, D. W. & Johnson, F. P. (2000). Joining Together. Group Theory and Group
         Skills. Boston: Allyn and Bacon.
Johnson, D.W. & Johnson, R.T. (tanpa tahun). An Overview of Cooperative Learning.
         http://www.clerc.com/pat;es/asses.html, download 14/07/2002.


                                                                                       9
Johnson, D.W. & Johnson, RT. (1989). Cooperation and Competion: Theory and
        Research.       Edina,     MN:      Interaction Book     Company.
        http://www.clcrc.com/pages/cl.html.
Lie, Anita. (2002). Cooperative Learning. Mempraktikkan Cooperative Learning di
          Ruang-Ruang Kelas. Jakarta : Grasindo.
Nur, M.(2000). Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : University Press.
Ong Eng Tek. (1998). The effect of Cooperative Learning on the Mathematics
          Achievement of Form 4 Students in A Malaysian Secondary School. Journal of
          Science and Mathematics Education Southeast Asia SEAMEO, Regional
          Centre in Science and Mathematics. Penang, Malaysia. Vol. XXI. No. 2.
          December 1998.
Sears, David O. (1991). Psikologi Sosial. Edisi 5. Jilid 2. Alih Bahasa Michael
          Adryanto. Jakarta : Erlangga.
Seifert, Kelvin L. (1991). Educational Psychology. Boston : Houghton Miflin Co.
Slavin, Robert E. (1995). Cooperative Learning. Theory, Reasearch, and Practice.
          Second Edition. Massachusetts: Allyn & Bacon Co.
Slavin, Robert E. (2000). Educational Psychology: Theory and Practice. Massachusetts:
          Allyn & Bacon Publishers.
Suryabrata, Sumadi. (2002). Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Tim Penyusun Kamus. (1999). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.




                                                                                   10

More Related Content

What's hot

Model pembelajaran generatif
Model pembelajaran generatifModel pembelajaran generatif
Model pembelajaran generatifAchyar Mounthead
 
16 pengembangan model pembelajaran ctl smp--2006
16 pengembangan model pembelajaran ctl smp--200616 pengembangan model pembelajaran ctl smp--2006
16 pengembangan model pembelajaran ctl smp--2006syifaul123
 
S d0451 0606586_chapter2(1)
S d0451 0606586_chapter2(1)S d0451 0606586_chapter2(1)
S d0451 0606586_chapter2(1)Muhamad Jamil
 
59 model pembelajaran dan 15 metode pembelajaran
59 model pembelajaran dan 15 metode pembelajaran59 model pembelajaran dan 15 metode pembelajaran
59 model pembelajaran dan 15 metode pembelajaranDaly Indra
 
Pembelajaran kontekstual
Pembelajaran kontekstualPembelajaran kontekstual
Pembelajaran kontekstualputri-uki
 
Model-Model Pembelajaran dalam Strategi dan Metode Pembelajaran.
Model-Model Pembelajaran dalam Strategi dan Metode Pembelajaran.Model-Model Pembelajaran dalam Strategi dan Metode Pembelajaran.
Model-Model Pembelajaran dalam Strategi dan Metode Pembelajaran.New Mubarok
 
Tugas makalah Andi
Tugas makalah AndiTugas makalah Andi
Tugas makalah Andianirsu
 
Apakah itu pengajaran
Apakah itu pengajaranApakah itu pengajaran
Apakah itu pengajaranDidie Patient
 
Definisi model, metode, pendekatan dan strategi pembelajaran
Definisi model, metode, pendekatan dan strategi pembelajaranDefinisi model, metode, pendekatan dan strategi pembelajaran
Definisi model, metode, pendekatan dan strategi pembelajaranDani Novita Rahma
 

What's hot (20)

Model pembelajaran generatif
Model pembelajaran generatifModel pembelajaran generatif
Model pembelajaran generatif
 
Advance organizer
Advance organizerAdvance organizer
Advance organizer
 
Kelompok ii pbl
Kelompok ii pblKelompok ii pbl
Kelompok ii pbl
 
16 pengembangan model pembelajaran ctl smp--2006
16 pengembangan model pembelajaran ctl smp--200616 pengembangan model pembelajaran ctl smp--2006
16 pengembangan model pembelajaran ctl smp--2006
 
S d0451 0606586_chapter2(1)
S d0451 0606586_chapter2(1)S d0451 0606586_chapter2(1)
S d0451 0606586_chapter2(1)
 
59 model pembelajaran dan 15 metode pembelajaran
59 model pembelajaran dan 15 metode pembelajaran59 model pembelajaran dan 15 metode pembelajaran
59 model pembelajaran dan 15 metode pembelajaran
 
Metode ctl
Metode ctlMetode ctl
Metode ctl
 
Pembelajaran kontekstual
Pembelajaran kontekstualPembelajaran kontekstual
Pembelajaran kontekstual
 
Model-Model Pembelajaran dalam Strategi dan Metode Pembelajaran.
Model-Model Pembelajaran dalam Strategi dan Metode Pembelajaran.Model-Model Pembelajaran dalam Strategi dan Metode Pembelajaran.
Model-Model Pembelajaran dalam Strategi dan Metode Pembelajaran.
 
Jurnal lengkap sekali
Jurnal lengkap sekaliJurnal lengkap sekali
Jurnal lengkap sekali
 
Model sosial
Model sosialModel sosial
Model sosial
 
Tugas makalah Andi
Tugas makalah AndiTugas makalah Andi
Tugas makalah Andi
 
Pp rt
Pp rtPp rt
Pp rt
 
Apakah itu pengajaran
Apakah itu pengajaranApakah itu pengajaran
Apakah itu pengajaran
 
Pembelajaran Secara Kontekstual
Pembelajaran Secara KontekstualPembelajaran Secara Kontekstual
Pembelajaran Secara Kontekstual
 
Bab ii ok
Bab ii okBab ii ok
Bab ii ok
 
Model pembelajaran part ii
Model pembelajaran part iiModel pembelajaran part ii
Model pembelajaran part ii
 
Ppt ctl dan paikem
Ppt ctl dan paikemPpt ctl dan paikem
Ppt ctl dan paikem
 
Definisi model, metode, pendekatan dan strategi pembelajaran
Definisi model, metode, pendekatan dan strategi pembelajaranDefinisi model, metode, pendekatan dan strategi pembelajaran
Definisi model, metode, pendekatan dan strategi pembelajaran
 
Modul (kb 6) contextual
Modul (kb 6) contextualModul (kb 6) contextual
Modul (kb 6) contextual
 

Viewers also liked

Dermatoglyphic anomalies and neurocognitive deficits in sibling
Dermatoglyphic anomalies and neurocognitive deficits in siblingDermatoglyphic anomalies and neurocognitive deficits in sibling
Dermatoglyphic anomalies and neurocognitive deficits in siblingCA. Sanjay Ruia
 
Dermatoglyphics in diabetes mellitus of type 2
Dermatoglyphics in diabetes mellitus of type 2Dermatoglyphics in diabetes mellitus of type 2
Dermatoglyphics in diabetes mellitus of type 2CA. Sanjay Ruia
 
Dermatoglyphics in pulmonary tuberculosis
Dermatoglyphics in pulmonary tuberculosisDermatoglyphics in pulmonary tuberculosis
Dermatoglyphics in pulmonary tuberculosisCA. Sanjay Ruia
 
Chimica3 sobrero dimero ppt
Chimica3 sobrero dimero pptChimica3 sobrero dimero ppt
Chimica3 sobrero dimero pptEleonora Ferrara
 
Chimica 1 sobrero sintesi lofina ppt
Chimica 1 sobrero sintesi lofina pptChimica 1 sobrero sintesi lofina ppt
Chimica 1 sobrero sintesi lofina pptEleonora Ferrara
 

Viewers also liked (6)

Dermatoglyphic anomalies and neurocognitive deficits in sibling
Dermatoglyphic anomalies and neurocognitive deficits in siblingDermatoglyphic anomalies and neurocognitive deficits in sibling
Dermatoglyphic anomalies and neurocognitive deficits in sibling
 
Dermatoglyphics in diabetes mellitus of type 2
Dermatoglyphics in diabetes mellitus of type 2Dermatoglyphics in diabetes mellitus of type 2
Dermatoglyphics in diabetes mellitus of type 2
 
Child brain
Child brainChild brain
Child brain
 
Dermatoglyphics in pulmonary tuberculosis
Dermatoglyphics in pulmonary tuberculosisDermatoglyphics in pulmonary tuberculosis
Dermatoglyphics in pulmonary tuberculosis
 
Chimica3 sobrero dimero ppt
Chimica3 sobrero dimero pptChimica3 sobrero dimero ppt
Chimica3 sobrero dimero ppt
 
Chimica 1 sobrero sintesi lofina ppt
Chimica 1 sobrero sintesi lofina pptChimica 1 sobrero sintesi lofina ppt
Chimica 1 sobrero sintesi lofina ppt
 

Similar to TEORI DAN PRAKTIK PEMBELAJARAN KOOPERATIF

TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN INOVATIF.ppt
TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN INOVATIF.pptTEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN INOVATIF.ppt
TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN INOVATIF.pptLim Salawat
 
Skripsi penerapan pembelajaran think
Skripsi penerapan pembelajaran thinkSkripsi penerapan pembelajaran think
Skripsi penerapan pembelajaran thinkmasyasinpunya
 
Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar Matematika
Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar MatematikaProblem Based Learning Terhadap Hasil Belajar Matematika
Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar Matematikaguestf6b63af
 
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED INSTRUCTIONS PADA SISWA SMA DENGAN...
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED INSTRUCTIONS PADA SISWA SMA DENGAN...PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED INSTRUCTIONS PADA SISWA SMA DENGAN...
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED INSTRUCTIONS PADA SISWA SMA DENGAN...Dunia Komputer
 
Bab II PTK Oimpiade matematika pada Polinomial
Bab II PTK Oimpiade matematika pada PolinomialBab II PTK Oimpiade matematika pada Polinomial
Bab II PTK Oimpiade matematika pada PolinomialAri Sanjaya
 
Peran kepemimpinan guru dalam berkomunikasi efektif untuk mengatasi masalah b...
Peran kepemimpinan guru dalam berkomunikasi efektif untuk mengatasi masalah b...Peran kepemimpinan guru dalam berkomunikasi efektif untuk mengatasi masalah b...
Peran kepemimpinan guru dalam berkomunikasi efektif untuk mengatasi masalah b...Linda Rosita
 
Makalah model konsiderasi
Makalah model konsiderasiMakalah model konsiderasi
Makalah model konsiderasisintaroyani
 
model model pembelajaran yang bisa dicontoh
model model pembelajaran yang bisa dicontohmodel model pembelajaran yang bisa dicontoh
model model pembelajaran yang bisa dicontohmustamin17
 
AKSI NYATA_TOPIK 4 Satrio Fajar Prianto.docx
AKSI NYATA_TOPIK 4 Satrio Fajar Prianto.docxAKSI NYATA_TOPIK 4 Satrio Fajar Prianto.docx
AKSI NYATA_TOPIK 4 Satrio Fajar Prianto.docxsatrioFajarP
 
Makalah model pengawasan laku
Makalah model pengawasan lakuMakalah model pengawasan laku
Makalah model pengawasan lakusintaroyani
 
Diferesiasi pembeldjaran.pptx
Diferesiasi pembeldjaran.pptxDiferesiasi pembeldjaran.pptx
Diferesiasi pembeldjaran.pptxssuser535474
 
Proposal ptk fisika hukum newton
Proposal ptk fisika hukum newtonProposal ptk fisika hukum newton
Proposal ptk fisika hukum newtonEKO SUPRIYADI
 

Similar to TEORI DAN PRAKTIK PEMBELAJARAN KOOPERATIF (20)

Model model pembelajaran
Model model pembelajaranModel model pembelajaran
Model model pembelajaran
 
Bab 1 5 jadi
Bab 1 5 jadiBab 1 5 jadi
Bab 1 5 jadi
 
TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN INOVATIF.ppt
TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN INOVATIF.pptTEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN INOVATIF.ppt
TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN INOVATIF.ppt
 
Skripsi penerapan pembelajaran think
Skripsi penerapan pembelajaran thinkSkripsi penerapan pembelajaran think
Skripsi penerapan pembelajaran think
 
Problematika sejarah
Problematika sejarahProblematika sejarah
Problematika sejarah
 
Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar Matematika
Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar MatematikaProblem Based Learning Terhadap Hasil Belajar Matematika
Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar Matematika
 
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED INSTRUCTIONS PADA SISWA SMA DENGAN...
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED INSTRUCTIONS PADA SISWA SMA DENGAN...PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED INSTRUCTIONS PADA SISWA SMA DENGAN...
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED INSTRUCTIONS PADA SISWA SMA DENGAN...
 
Bab II PTK Oimpiade matematika pada Polinomial
Bab II PTK Oimpiade matematika pada PolinomialBab II PTK Oimpiade matematika pada Polinomial
Bab II PTK Oimpiade matematika pada Polinomial
 
Ppt
PptPpt
Ppt
 
Peran kepemimpinan guru dalam berkomunikasi efektif untuk mengatasi masalah b...
Peran kepemimpinan guru dalam berkomunikasi efektif untuk mengatasi masalah b...Peran kepemimpinan guru dalam berkomunikasi efektif untuk mengatasi masalah b...
Peran kepemimpinan guru dalam berkomunikasi efektif untuk mengatasi masalah b...
 
Makalah model konsiderasi
Makalah model konsiderasiMakalah model konsiderasi
Makalah model konsiderasi
 
model model pembelajaran yang bisa dicontoh
model model pembelajaran yang bisa dicontohmodel model pembelajaran yang bisa dicontoh
model model pembelajaran yang bisa dicontoh
 
AKSI NYATA_TOPIK 4 Satrio Fajar Prianto.docx
AKSI NYATA_TOPIK 4 Satrio Fajar Prianto.docxAKSI NYATA_TOPIK 4 Satrio Fajar Prianto.docx
AKSI NYATA_TOPIK 4 Satrio Fajar Prianto.docx
 
Makalah model pengawasan laku
Makalah model pengawasan lakuMakalah model pengawasan laku
Makalah model pengawasan laku
 
Diferesiasi pembeldjaran.pptx
Diferesiasi pembeldjaran.pptxDiferesiasi pembeldjaran.pptx
Diferesiasi pembeldjaran.pptx
 
Pkp matematika juita ut raha
Pkp matematika juita ut rahaPkp matematika juita ut raha
Pkp matematika juita ut raha
 
Bagian ii
Bagian ii Bagian ii
Bagian ii
 
Proposal ptk fisika hukum newton
Proposal ptk fisika hukum newtonProposal ptk fisika hukum newton
Proposal ptk fisika hukum newton
 
Skripsi NHT (Power Point)
Skripsi NHT (Power Point)Skripsi NHT (Power Point)
Skripsi NHT (Power Point)
 
Laporan kti bahadiman
Laporan kti bahadimanLaporan kti bahadiman
Laporan kti bahadiman
 

Recently uploaded

Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaAbdiera
 
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.aechacha366
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...jumadsmanesi
 
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptMateri power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptAcemediadotkoM1
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...MarwanAnugrah
 
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxalat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxRioNahak1
 
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.pptPertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.pptNabilahKhairunnisa6
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxsudianaade137
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfTaqdirAlfiandi1
 
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKAPPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKARenoMardhatillahS
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam KelasMembuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam KelasHardaminOde2
 
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxMODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxarnisariningsih98
 
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptxMTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptxssuser0239c1
 
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfPanduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfandriasyulianto57
 
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaDinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaEzraCalva
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdftsaniasalftn18
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuHANHAN164733
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdfShintaNovianti1
 
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiIntanHanifah4
 

Recently uploaded (20)

Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Matematika Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
 
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
PUEBI.bahasa Indonesia/pedoman umum ejaan bahasa Indonesia pptx.
 
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
UNGGAH PEGANGAN LOKAKARYA DAN PENDAMPINGAN INDIVIDU DALAM KEGIATAN PEMBEKALAN...
 
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .pptMateri power point Kepemimpinan leadership .ppt
Materi power point Kepemimpinan leadership .ppt
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
 
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptxalat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
alat-alat liturgi dalam Gereja Katolik.pptx
 
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.pptPertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
Pertemuan 3-bioavailabilitas-dan-bioekivalensi.ppt
 
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptxPanduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
Panduan Substansi_ Pengelolaan Kinerja Kepala Sekolah Tahap Pelaksanaan.pptx
 
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdfAKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
AKSI NYATA Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di Kelas (1).pdf
 
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKAPPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
PPT TEKS TANGGAPAN KELAS 7 KURIKUKULM MERDEKA
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam KelasMembuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
 
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxMODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
 
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptxMTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
MTK BAB 5 PENGOLAHAN DATA (Materi 2).pptx
 
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdfPanduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
Panduan Mengisi Dokumen Tindak Lanjut.pdf
 
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup BangsaDinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
Dinamika perwujudan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
 
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus PerilakuCatatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
Catatan di setiap Indikator Fokus Perilaku
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
 
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
 

TEORI DAN PRAKTIK PEMBELAJARAN KOOPERATIF

  • 1. MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF; TEORI YANG MENDASARI DAN PRAKTEKNYA DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR DAN SEKOLAH LANJUTAN Dwi Priyo Utomo Pogram Studi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Malang dwipuumm@yahoo.com Abstract In general, mathematics and science learning in schools is still conventional. Teacher- centered learning result in students is less active, therefore we need to be shifted in such a way that it becomes more centered on students. Cooperative learning is group work is managed and organized so that students work together in small groups to achieve effective academic goals and social. Cooperative learning model appears to be an answer to that question. This study aims to determine: 1) what are the theories that support the model of cooperative learning; and 2) why does cooperative learning model needs to be applied. Based on the discourse analysis, it can be concluded that the basic theories wich become the cooperative learning model are: 1) psychology cognitive-constructivist theory of Piaget and Vygotsky; and 2) Dewey's Theory of Social Psychology, Thelan, Allport, and Lewin. From the various considerations and empirical evidence shows that cooperative learning model needs to be applied in teaching and learning in schools at various levels and various fields of study, including mathematics and sciences. This kind of learning model has some benefits when compared with conventional learning, including a) the attainment of higher academic learning outcomes, b) is more conducive to improving inter-relationships (friendships), c) are more psychologically healthy, increase your confidence and social skills. Kata kunci: Pembelajaran kooperatif, pembelajran konvensional, terpusat pada peserta didik. PENDAHULUAN Pada umumnya, pembelajaran matematika dan sains di sekolah masih bersifat konvensional. Pembelajaran konvensional biasanya menggunakan pembelajaran yang bersifat langsung atau disebut sebagai model pembelajaran langsung atau sinonim dengan pembelajaran ekspositori. Model pembelajaran ini memiliki berbagai ciri. Dua diantara cirri-ciri tersebut adalah: pembelajan yang terpusat pada guru dan memiliki urutan pembelajaran: penejelasan -- contoh-contoh---latihan ---- balikan (Borich, 1992). Borich (1992) menunjukkan ciri-ciri pembelajaran langsung, yaitu: 1) pembelajaran pada kelas besar; 2) pengorganisasian pembelajaran seputar pertanyaan yang diajukan guru; 3) latihan yang rinci dan berlebihan; 4) penyajian materi berupa fakta, aturan dan prosedur baru yang harus dikuasai sebelum fakta, atudan atau prosedur berikutnya disajikan; dan 5) susunan tugas formal kelas untuk memaksimalkan latihan dan praktek. Lebih jauh Borich mengngungkapkan bahwa dengan pembelajaran langsung pada kelas besar ini, maka guru akan membagi informasi dan perhatian kepada seluruh peserta didik dalam kelas tersebut. Keadaan demikian tidak memungkinkan guru untuk memperhatikan dan “melayani” masing-masing peserta didik secara baik. Dengan demikian, pembelajaran langsung menganggap bahwa karakteristik peserta didik adalah homogen. 1
  • 2. Pembelajaran yang terpusat pada guru mengakibatkan peserta didik kurang aktif, oleh karena itu perlu digeser sedemikian rupa sehingga menjadi lebih terpusat pada peserta didik. Demikian pula adanya asumsi bahwa seluruh peserta didik di kelas mempunyai karakteristik sama membawa konsekuensi pada pemberian perlakuan belajar yang serba sama pula pada mereka, sehingga mengurangi kesempatan mereka untuk berkembang sesuai perbedaan yang dimilikinya. Menurut Murphy, seorang psikolog kenamaan, berpandangan bahwa proses belajar terjadi karena adanya interaksi antara organisme yang dasarnya bersifat individual dengan lingkungan khusus tertentu ( Suryabrata, 2002). Untuk mempertegas adanya pengaruh kepribadian peserta didik terhadap proses belajar mengajar, Erikson dalam Borich (1992), Gage dan Berliner (1984) mengemukakan bahwa setiap peserta didik akan melewati tiga tahapan “krisis” kepribadian selama bersekolah. Pertama, krisis pencapaian lawan rendah diri (accomplishment versus inferiority), yang dapat terjadi selama disekolah dasar. Kedua, krisis identitas lawan kebingungan (identity versus confusion) yang kadang-kadang terjadi selama di sekolah menengah. Ketiga, krisis keakraban lawan keterasingan (intimacy versus isolation) yang terjadi di awal kedewasaan. Orang tua dan guru mempunyai peran penting pada masa krisis pencapaian lawan rendah diri di sekolah dasar. Pada masa ini orang tua maupun guru diperlukan untuk memberikan dorongan semangat kepada peserta didik sehingga ia merasa mampu (accomplishment). Bila dorongan dan dukungan yang ia terima kurang cukup, maka akan berkembang rasa rendah diri (inferiority) pada diri peserta didik. Rasa cemas yang berlebihan terhadap kegagalan (karena malu pada teman, takut pada ancaman orang tua) akan mengakibatkan peserta didik mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas- tugasnya (Borich, 1992). Oleh karena itu, guru dituntut untuk mengatur standar tantangan belajar yang cukup tinggi namun jangan terlalu sukar untuk dicapai oleh peserta didik. Guru dituntut pula untuk mengembangkan kepercayaan diri (self- confidence) dan harga diri (self-esteem) peserta didik dengan jalan memberikan tugas yang menantang yang dapat meraka selesaikan. Erikson dalam Seifert (1991) memberikan alternatif bagaimana mewujudkan pembelajaran yang baik. Pertama, berikan tugas dan aktivitas yang diinginkan dan yang dapat dikerjakannya. Tingkatkan semangatnya dengan jalan mengurangi tingkat kompetisi dan yakinkan bahwa setiap peserta didik mampu menyelesaikannya. Sampaikan pesan bahwa semua peserta didik dalah pemenang. Kedua, kuatkan usaha dan ketekunanny.a. bagi peserta didik yang mengalami kesulitan, bantu peserta didik tersebut sehingga terpecahkan masalah pertamanya kemudian pastikan ia berkonsentrasi pada masalah berikutnya sampai selesai. Saran erikson tersebut bukan berarti bahwa kompetisi sama sekali harus dihilangkan, namun kompetisi seharusnya hanya digunakan sewajarnya (sparingly) dan pada kondisi yang cocok (Johnson dan Johnson, 1987). Kompetisi yang tidak diberikan pada kondisi yang cocok akan mengakibatkan rasa rendah diri (inferiority) pada peserta didik yang tidak berhasil dalam tugas. Kompetisi klas dapat dilakukan pada dua kondisi berikut. Pertama, pada klas yang memiliki motivasi dan kemampuan yang sama dan, kedua, hasil-hasil kompetisi tidak perlu dianggap terlalu serius. Kalau dua kondisin ini tidak dipenuhi, maka peserta didik akan enggan dan mungkin menolak untuk untuk mengerjakan tugas-tugas dikemudian hari (Seifert, 1991). Model pembelajaran kooperatif nampaknya merupakan jawaban atas pertanyaan tersebut. Pembelajaran kooperatif adalah kerja kelompok yang terkelola dan 2
  • 3. terorganisasikan sedemikian sehingga peserta didik bekerja sama dalam kelompok kecil untuk mencapai tujuan-tujuan akademik, effektif dan sosial (Johnson dan Johnson, 1989). Dalam model pembelajaran kooperatif terdapat lima prinsip yang harus tercermin didalamnya.. lima prinsip tersebut adalah : 1) saling ketergantungan positif; 2) tanggung jawab perseorangan; 3) tatap muka; 4) komunikasi antar anggota; dan 5) evaluasi proses kelompok (Lie, 2000). Dalam menyelesaikan tugasnya, peserta didik yang satu membutuhkak peserta didik yang lain, karena mereka bekerja dalam satu team. Masing-masing peserta didik memiliki tanggung jawab untuk memberikan kontribusi pada kelompoknya. Peserta didik yang paham terhadap salah satu tugas harus membantu peserta didik lain yang belum memahami tugas tersebut. Demikian pula peserta didik yang belum paham harus meminta penjelasan kepada yang telah paham. Mereka juga harus berinteraksi satu sama lainnya melalui tatap muka dan komunikasi. Evaluasi dilakukan baik secara individual maupun kelompok. Prinsip-prinsip pembelajaran demikian akan mengeliminasi kompetisi yang menimbulkan krisis kepribadian seperti frustasi, kecemasan yang berlebihan, dan rasa rendah diri yang berujubg pada motivasi belajar yang rendah. Dari uraian diatas, nampak bahwa model pembelajaran koopertif dapat menjadi solusi alternatif dalam mengurangi dampak krisis kepribadian sebagaiman yang dikemukakan oleh Erikson. Namun demikian, kenyataan didalm praktek pembelajaran matematika dan sains di sekolah masih enggan meninggalkan model pembelajaran langsung. Mengapa keengganan ini terjadi? apakah karena teori yang mendasari pembelajaran koopertif berbeda dengan dasar teori pembeljaran konvensional yang selama ini digunakan? apakah karena kurang cukup bukti dan pertimbangan untuk menerapkannya? Permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut; 1) teori-teori apa sajakah yang mendukung model pembelajaran kooperatif ?; 2) mengapa model pembelajaran kooperatif perlu diterapkan? PEMBAHASAN Teori-Teori pendukung Model Pembelajaran Kooperatif Model pembelajaran konvensional atau pembelajaran langsung mempunyai sandaran teori psikologi behavioristik dan teori pembelajaran sosial, sedangkan model pembelajaran kooperatif memiliki basis pada teori psikologi kognitif dan teori pembelajaran sosial (Arends, 1997). Fokus pembelajaran kooperatif tidak saja tertumpu pada apa yang dilakukan peserta didik tetapi juga pada apa yang dipikirkan peserta didik selama aktivitas belajar berlangsung. Informasi yang ada pada kurikulum tidak ditransfer begitu saja oleh guru kepada peserta didik, tetapi peserta didik difasilitasi dan dimotivasi untuk berinteraksi dengan peserta didik lain dalam kelompok, dengan guru dan dengan bahan ajar secara optimal agar ia mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Dari uraian di atas nampak bahwa guru bukanlah sebagai pusat pembelajaran, sumber utama pembelajaran, serta pentransfer pengetahuan sebagaimana terjadi pada pembelajaran konvensional. Pusat pembelajaran telah bergeser dari guru ke peserta didik. Dalam model pembelajaran kooperatif, guru berperan sebagai fasilitator, penyedia sumber belajar bagi peserta didik, pembimbing peserta didik dalam belajar 3
  • 4. kelompok, pemberi motivasi peserta didik dalam memecahkan masalah, dan sebagai pelatih peserta didik agar memiliki ketrampilan kooperatif. Teori yang menjadi pendukung model pembelajaran kooperatif ini adalah: 1) Teori Psikologi Kognitif-Konstruktivistik (Piaget dan Vygotsky), dan 2) Teori Psikologi Sosial (Dewey, Thelan, Allport, dan Lewin). 1. Teori Psikologi Kognitif -Konstruktivistik Jean Piaget dan Lev Vygotsky merupakan dua ahli psikologi kognitif yang besar sumbangannya dalam mendukung pengembangan pembelajaran kooperatif (http://.users.muohio.edu/shermanlw/wolf_chapter-draft3-25.html). Sumbangan pemikiran dan penelitian dari kedua ahli tersebut serta kaitannya dengan model pembelajaran kooperatif dijelaskan dalam uraian berikut. a. Teori Piaget Piaget (dalam Slavin, 2000) memandang bahwa setiap anak memiliki rasa ingin tahu bawaan yang mendorongnya untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Baik lingkungan fisik maupun sosialnya. Piaget meyakini bahwa pengalaman secara fisik dan pemanipulasian lingkungan akan mengembangkan kemampuannya. Ia juga mempercayai bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya dalam mengemukakan ide dan berdiskusi akan membantunya memperjelas hasil pemikirannya dan menjadikan hasil pemikirannya lebih logis. (Slavin, 2000). Melalui pertukaran ide dengan teman lain, seorang anak yang sebelumnya memiliki pemikiran subyektif terhadap sesuatu yang diamati akan merubah pemikirannya menjadi obyektif Aktivitas berpikir anak seperti itu terorganisasi dalam suatu struktur kognitif (mental) yang disebut dengan "scheme" atau pola berpikir (patterns of behavior or thinking). Berkaitan dengan pandangan Piaget dalam hal pembelajaran, Duckworth (Slavin, 1995) mengemukakan bahwa pedagogi yang balk harus melibatkan anak pada situasi di mana anak mandiri melakukan percobaan, dalarn arti anak mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi tanda- tanda, memanipulasi simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri jawabannya, mencocokkan apa yang la temukan dan membandingkan temuannya dengan anak lain. b. Teori Vygotsky Lev Semionovich Vygotsky, seorang ahli psikologi Rusia memiliki kesamaan dengan Piaget (ahli psikologi dan biologi dari Switzerland) dalam memandang perkembangan kognitif anak Vygotsky memandang bahwa akuisisi "sistem isyarat" (sign system) terjadi dalam sekuen tahapan yang invarian untuk setiap anak sebagaimana disampaikan oleh Piaget. Namun, Vygotsky berbeda dalam memandang "pemicu" perkembangan kognitif anak. Ia meyakini bahwa perkembangan kognitif anak terkait sangat kuat dengan masukan dari orang lain. Vygotsky mendasarkan karyanya pada dua ide utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks pengalaman historis dan budaya anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat (sign system) di mana ia tumbuh. Sistem isyarat mengacu kepada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang bertikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah. Teori Vygotsky di atas mempunyai dua implikasi utama dalam pembelajaran, yaitu, perlunya pengelola pembelajaran secara kooperatif dengan pengelompokkan peserta didik secara heterogen dari sisi kemampuan 4
  • 5. akademik, dan kedua, pendekatan pembelajaran yang menekankan pentingnya scaffolding, dengan menekankan pentingnya tanggung jawab peserta didik pada tugas belajarnya. (Slavin, 2000). Vygotsky menekankan pentingnya peranan lingkungan kebudayaan dan interaksi sosial dalam perkembangan sifat-sifat dan tipe-tipe manusia. Menurut Vygotsky (Slavin, 2000), peserta didik belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta didik. Pada setting kooperatif, peserta didik dihadapkan pada proses berpikir teman sebaya mereka. Tutorial oleh teman yang lebih kompeten akan sangat efektif dalam mendorong petrtumbuhan daerah perkembangan proximal (Zone of Proximal Development) anak. Vygotsky yakin bahwa tujuan belajar akan tercapai jika anak belajar menyelesaikan tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan terdekat mereka. Daerah perkembangan terdekat adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan orang saat ini. Zone of Proximal Development (ZPD) adalah jarak antara tingkat perkembangan aktual, yang ditentukan melalui penyelesaian masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial anak, yang ditentukan melalui pemecahan masalah dengan bimbingan (scaffolding) orang dewasa atau teman sebaya. Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik bekerja di dalam daerah perkembangan terdekat mereka, tugas-tugas yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan (scaffolding) orang dewasa atau teman sebaya. Konstruktivisme Piaget dan Vygotsky adalah dua ahli psikologi yang sekaligus dua orang konstruktivis. Vygotsky yang memiliki latar belakang hidup masyarakat sosialis lebih cenderung menekankan pentingnya konstruksi sosial, sementara Piaget yang seorang biologist lebih cenderung menekankan pentingnya konstruksi personal. Teori tentang konstruksi pengetahuan oleh kognisi sendiri ini -- disebut juga teori kontruktivistik atau teori kognitif-konstruktivistik, sangat populer di masa sekarang ini dan juga merupakan basis teori dari model pembelajaran kooperatif (Arends, 1997). Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi kognitif melalui aktivitas seseorang. Kaum konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Doolittle & Camp (1999) mendasarkan pada pendapat Von Glasprsfeld, Garrison, Gergen, Dewey, dll, mengemukakan bahwa terdapat 4 prinsip epistemologi yang esensial dari konstruktivisme, yaitu: 1) pengetahuan tidak dihimpun secara pasif, tetapi merupakan hasil dari kesadaran (kognizing) aktif individual; 2) kognisi merupakan proses adaptif yang berfungsi membuat perilaku individual lebih bersemangat pada lingkungan tertentu yang diberikan; 3) mengorganisasi kognisi dan membuat pengertian (sense) dari pengalaman seseorang, dan bukan sutu proses untuk mengubah suatu representasi akukrat dari kenyataan; 4) pengetahuan berakar dalam konstruksi biologis/neurologis dan dalam interaksi sosial, budaya clan bahasa. 5
  • 6. Teori Psikologi Sosial 1. Teori John Dewey dan Herbert Thelan Menurut Dewey (Arends, 1997), kelas seharusnya merupakan cermin dari masyarakat luas dan berfungsi sebagai laboratorium belajar dalam kehidupan nyata. Dewey menegaskan bahwa guru perlu menciptakan sistem sosial yang bercirikan demokrasi dan proses ilmiah dalam lingkungan belajar peserta didik dalarn kelas. Tanggung jawab utama guru adalah memotivasi peserta didik untuk belajar secara kooperatif dan memikirkan masalah-masalah sosial yang penting setiap hari. Bersamaan dalam aktivitasnya rnemecahkan masalah di kelompoknya, peserta didik belajar prinsip-prinsip demokrasi melalui interaksi dengan peserta didik lain. Beberapa tahun setelah Dewey, Thelan (dalam Arends, 1997) berpendapat bahwa kelas haruslah merupakan laboratorium atau miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial dan masalah antar pribadi. Thelan tertarik dengan dinamika kelompok dan rnengernbangkan bentuk yang lebih rinci dan terstruktur dari penyelidikan kelompok, dan mempersiapkan dasar konseptual untuk pengembangan pembelajaran kooperatif (Arends, 1997). 2. Teori Gordon Allport Aliport (Arends, 1997) berpandangan bahwa hukum saja tidaklah cukup untuk mengurangi kecurigaan dan meningkatkan penerimaan secara baik antar kelompok. Pandangan Allport dikenal dengan "The Nature of Prejudice". Untuk mengurangi kecurigaan dan meningkatkan penerimaan satu sama lain adalah dengan jalan mengumpulkan mereka (antar suku atau ras) dalam satu lokasi, kontak langsung dan bekerjasama antar mereka. Shlomo Sharan dan koleganya menyimpulkan adanya tiga kondisi dasar untuk memformulasikan pandangan Allport untuk mengurangi kecurigaan antar kelompok dan meningkatkan penerimaan antar mereka. Tiga kondisi tersebut adalah: 1) kontak langsung antar suku atau ras; 2) dalam seting tertentu, mereka bekerjasama dan berperan aktif dalam kelompok; 3) dalam seting tersebut, mereka secara resmi menyetujui adanya kerjasama (Arends, 1997). 3. Teori Kurt Lewin Kurt Lewin yang lahir pada tahun 1890 di Polandia ini dapat dipandang sebagai Bapak Psikologi Sosial. (http://.users.muohio. edu/shermanlw/wolf_ chapter-draft3- 25.html). Lewin sangat tertarik pada masalah-masalah pergerakan yang dinamis dalam kelompok (group dynamics movement), terutama tentang resolusi konflik sosial yang terjadi di antara para peserta didik. Dalam suatu kelompok, ada dua kernungkinan yang dapat terjadi, yaitu: mendorong penerimaan sosial (promote social acceptance) atau meningkatkan jarak/ketegangan sosial (increase social distance). Pandangan-pandangan Lewin tentang dinamika kelompok ini kemudian dikembangkan oleh para peserta didikpeserta didiknya. D. Johnson, E. Aronson, R. Schmuck dan L. Sherman adalah generasi ke-tiga dari Lewin (peserta didik dari peserta didik Lewin) yang turut mengembangkan pandangan-pandangan Lewin tersebut di atas. Para penerus Lewin mencari cara bagaimana memfasilitasi integrasi dan memajukan hubungan antar manusia, mendorong demokrasi dan mengurangi timbulnya konflik. Dari sini muncul berbagai strategi pembelajaran kooperatif. Para penerus Lewin (terutama generasi kedua dan ketiga Lewin) mengembangkan berbagai teknik pembelajaran kooperatif yang menggabungkan pandangan teori psikologi sosial dari Lewin dan psikologi kognitif. Deutsch (dalam Slavin, 1995) 6
  • 7. mengembangkan prinsip "ketergantungan" (interdpendence), yang kemudian ia bagi menjadi ketergantungan positip dan negatif. Johnson & Johnson mengembangkan "creative conflict" dan Slavin dengan "group contingencies". Banyak hasil penelitian Lewin yang mengetengahkan pentingnya partisipasi aktif dalam kelompok untuk mempelajari ketrampilan baru, mengembangkan sikap baru, dan memperoleh pengetahuan. Hasil penelitiannya juga menunjukkan betapa produktifnya kelompok bila anggota-anggotanya berinteraksi dan kemudian saling merefleksikan pengalaman-pengalamannya. (Johnson & Johnson, 2000). Rasional Perlunya Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif 1. Praktek-Praktek dalam Pembelajaran Setiap model pembelajaran biasanya dicirikan oleh adanya tiga struktur yang termuat dalam pembelajaran itu. Tiga struktur tersebut adalah struktur tugas, struktur tujuan dan struktur penghargaan. Struktur tugas mengacu pada bagaimana pembelajaran diorganisasikan dan jenis kegiatan yang dilakukan peserta didik. Sedangkan struktur tujuan mengacu pada jenis ketergantungan yang dibutuhkan peserta didik pada saat mereka mengerjakan tugas. Biasanya dibedakan atas struktur tujuan individualistik, kompetitif dan kooperatif. Struktur tujuan disebut individualistik bila dalam mencapai tujuan belajarnya peserta didik tidak memerlukan interaksi dengan orang lain. Sedangkan pada struktur tujuan kompetitif peserta didik dapat mencapai tujuan jika dan hanya jika orang lain tidak mencapai tujuan tersebut. Pada struktur tujuan kooperatif, peserta didik dapat mencapai tujuannya jika dan hanya jika peserta didik lain dengan siapa mereka bekerja sama mencapai tujuan tersebut. Analog dengan struktur tujuan, struktur penghargaan juga dibedakan dalam tiga struktur, yaitu struktur penghargaan individual, kompetitif dan struktur penghargaan kooperatif. Pada sekolah-sekolah dengan model pembelajaran yang berstruktur tujuan kompetitif, maka kelas di sekolah itu akan terbagi menjadi dua bagian. Pertama adalah bagian peserta didik yang sukses berkompetisi dan sebagian besar yang lainnya hanya puas dengan predikat rata-rata, (Lie, 2000). Sebagian peserta didik dengan predikat rata-rata tersebut dianggap "kurang berhasil" dibandingkan segelintir peserta didik yang "berhasil". Rasa rendah diri akan sangat mungkin muncul pada sebagian besar peserta didik yang berpredikat rata-rata tersebut. Krisis rendah diri ini yang oleh Erikson disarankan agar dihindarkan jauh-jauh dari diri peserta didik. Dalam praktek pembelajaran juga sering dijumpai guru memberikan berbagai pujian kepada beberapa peserta didik di hadapan peserta didik yang lain karena peserta didik tersebut mempunyai prestasi akademik yang menonjol. Ungkapan seperti "Jalal, masak soal begini saja tidak bisa", "Jalil itu lho hebat" atau yang senada dengan itu sering terjadi di kelas. Situasi seperti ini tidak membuat Jalal bangkit, melainkan tambah putus asa. Hal ini akan diperparah, kalau di rumah juga dianggap anak bodoh oleh orangtuanya. Kalah berkompetisi di kelas dan penilaian kurang mampu dari orang di sekitarnya akan mengkondisikan dia untuk menganggap dirinya memang tak mampu. Praktek-praktek membentuk "kelas unggulan" atau "kelas akselerasi" di beberapa sekolah juga membawa dampak terhadap meningkatnya krisis rendah diri sebagian besar peserta didik. Pengelompokkan kelas unggulan jelas akan memunculkan kelas yang tidak unggul. Apalagi kalau ada urutan kelas mulai dari 7
  • 8. kelas paling unggul dengan kelas paling tidak unggul. Pengelompokkan kelas seperti itu setidaknya akan berdampak pada tiga hal. Pertama, sikap peserta didik di kelas unggul akan nampak "arogan" dan mungkin terkesan "sombong". Kedua, peserta didik di kelas tidak unggul akan merasa rendah diri dan merasa tidak beruntung. Ketiga, sebagian guru merasa enggan mengajar di kelas kurang unggul dan begitu sebaliknya Kehadiran peserta didik pandai di dalam kelas atau di kelas unggulan, akan membawa “'rasa tidak senang " pada peserta didik yang kurang pandai atau kelas bukan unggulan. Hai ini disebabkan karena kehadiran peserta didik pandai akan membawa dampak pada pemberian atribut kurang pandai pada diri peserta didik yang kurang. Banyak penelitian menyebutkan bahwa keberadaan peserta didik pandai justru tidak menyenangkan bagi peserta didik yang lain, karena peserta didik yang lain tidak memperoleh manfaat dan keberadaannya. Berbeda halnya dengan keberadaan peserta didik yang pintar menyanyi atau pintar olah raga. Keberadaannya tidak merugikan peserta didik yang lain, bahkan akan mengangkat nama baik kelasnya. Praktek-praktek pembelajaran dan dampaknya sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bahwa pembelajaran senngkali lebih dipandang sebagai ajang kompetensi dari pada wahana melatih peserta didik untuk bekerja sama secara kooperatif. 2. Hasil - Hasil Penelitian Pembelajaran Kooperatif Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar akademik peserta didik pada pembelajaran kooperatif lebih unggul dibandingkan dengan hasil belajar akademik pada pembelajaran konvensional. Slavin (dalam Nur, 2000) mengemukakan bahwa dari 45 laporan penelitian, 37 di antaranya menunjukkan bahwa hasil belajar akademik peserta didik pada kelas dengan pembelajaran kooperatif lebih tinggi dari kelas konvensional. Delapan diantaranya tidak ada perbedaan. Jadi tidak ada satupun yang menunjukkan pengaruh negatif. Telaah Slavin didasarkan alas penelitian pembelajaran kooperatif mulai tahun 1972 sampai tahun 1986 di sekolah-sekolah kota, pinggiran dan pedesaan di Amerika Serikat. reneiitian tersebut di atas dilakukan pada semua jenjang keias sekolah dasar pada bidang studi matematika sains, bahasa, geografi dan ilmu sosial. Keberhasilan penerapan pembelajaran kooperatif juga dilaporkan oleh Puma, Jones, Rock dan Fernandes (1993) mengemukakan bahwa 79% dari guru SD dan 62% dari guru SL terus menerapkan model pembelajaran kooperatif pada kelas yang dibinanya. Hal ini dikarenakan pembelajaran kooperatif disamping unggul dalam mempengaruhi hasil belajar akademik, juga dalam pencapaian tujuan sosial dan affektif peserta didik. Dari berbagai hasil penelitian eksperimental dan korelasional membuktikan bahwa pembelajaran kooperatif lebih unggul dalam beberapa hal dibandingkan dengan pembelajaran lain yang bersifat kompetitif dan individualistik. Keunggulan dimaksud adalah: a) pencapaian hasil belajar akademik lebih tinggi; b) lebih peduli dan mendukung hubungan pertemanan; c) lebih sehat secara psikologis, meningkatkan kompetensi sosial dan lebih meningkatkan kepercayaaan diri. (http://www. clcrc. com/pages/cl.html) Hasil penelitian lain berasal dari Ong Eng Tek (1998) yang melakukan penelitian eksperimental dengan membandingkan model pembelajaran kooperatif dengan konvensional pada bidang studi matematika di kelas 4 SD di Malaysia. Hasil 8
  • 9. penelitian tersebut menunjukkan bahwa hasil belajar akademik peserta didik pada pembelajaran kooperatif lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan hasil belajar, dengan model pembelajaran konvensional. KESIMPULAN Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, kesimpulan yang dapat dikemukakan di sini adalah: Teori-teori yang menjadi sandaran model pembelajaran kooperatif adalah: 1) Teori Psikologi Kognitif-Konstruktivistik dari Piaget dan Vygotsky; dan 2) Teori Psikologi Sosial dari Dewey, Thelan, Allport, dan Lewin. Fokus pembelajaran kooperatif tidak saja tertumpu pada apa yang dilakukan peserta didik tetapi juga pada apa yang dipikirkan peserta didik selama aktivitas belajar berlangsung. Informasi yang ada pada kurikulum tidak ditransfer begitu saja oleh guru kepada peserta didik, tetapi peserta didik difasilitasi dan dimotivasi untuk beninteraksi dengan peserta didik lain dalam kelompok, dengan guru dan dengan bahan ajar secara optimal agar ia mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Dari berbagai pertimbangan dan bukti empirik menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif perlu diterapkan dalam pembelajaran di sekolah di berbagai tingkatan dan berbagai bidang studi, termasuk bidang studi matematika dan sains. Model Pembelajaran ini unggul dalam berbagai hal jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, di antaranya: a) pencapaian hasil belajar akademik lebih tinggi; b) lebih kondusif untuk meningkatkan hubungan antar (pertemanan); c) lebih sehat secara psikologis, meningkatkan kepercayaan diri dan ketrampilan sosial. DAFTAR PUSTAKA Arends, Richard I. (1997). Classroom Instruction and Management. New York: Mc Graw Hill. ………………… (2001). Learning to Teach. New York : Mc Graw Hill. Borich, Gary D. (1992). Effective Teaching methods. New York: Macmillan Publishing Co. Dayakisni, T. dan Hudaniah. (2003). Psikologi Sosial. (edisi Revisi). Malang: UMM Press. Doolttle, Peter E., & Camp, William G. (1999). Constructivism: The Career and Technical Education Perspective. Journal of Vocational and Technical Education Perspective. Volume 16, Number l 1999. Gage, N.L. dan Berliner, David C. (1984). Educational Psychology. Boston : Houghton Miflin Co. http://www. users. muohio. edu/shermanlw/wol f_chapter-draft3-25. Htm. http://wwwm successforall.met/resource/researce/cooplearn.htm. Johnson, D. W. & Johnson, F. P. (2000). Joining Together. Group Theory and Group Skills. Boston: Allyn and Bacon. Johnson, D.W. & Johnson, R.T. (tanpa tahun). An Overview of Cooperative Learning. http://www.clerc.com/pat;es/asses.html, download 14/07/2002. 9
  • 10. Johnson, D.W. & Johnson, RT. (1989). Cooperation and Competion: Theory and Research. Edina, MN: Interaction Book Company. http://www.clcrc.com/pages/cl.html. Lie, Anita. (2002). Cooperative Learning. Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta : Grasindo. Nur, M.(2000). Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : University Press. Ong Eng Tek. (1998). The effect of Cooperative Learning on the Mathematics Achievement of Form 4 Students in A Malaysian Secondary School. Journal of Science and Mathematics Education Southeast Asia SEAMEO, Regional Centre in Science and Mathematics. Penang, Malaysia. Vol. XXI. No. 2. December 1998. Sears, David O. (1991). Psikologi Sosial. Edisi 5. Jilid 2. Alih Bahasa Michael Adryanto. Jakarta : Erlangga. Seifert, Kelvin L. (1991). Educational Psychology. Boston : Houghton Miflin Co. Slavin, Robert E. (1995). Cooperative Learning. Theory, Reasearch, and Practice. Second Edition. Massachusetts: Allyn & Bacon Co. Slavin, Robert E. (2000). Educational Psychology: Theory and Practice. Massachusetts: Allyn & Bacon Publishers. Suryabrata, Sumadi. (2002). Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Tim Penyusun Kamus. (1999). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. 10