Sumber :
Maria. R et al. (2020).” Taxing Digital Economy through Online Marketplace in Indonesia” International Journal of Economics and Financial. Vol 10 • Issue 2
Template PPT = https://slidesgo.com/
2. Kebijakan Perpajakan Ekonomi Digital di Indonesia.
Secara umum, Pemerintah Indonesia telah menyadari
perkembangan pesat kegiatan e-commerce, sehingga diperlukan
regulasi yang komprehensif terkait pemenuhan hak dan kewajiban
yang serupa dengan badan usaha lain.
Keluarnya Perpres 74/2017 menunjukkan perhatian pemerintah
untuk mendukung percepatan dan pengembangan perdagangan
nasional berbasis elektronik (e-commerce), start up, dan
percepatan logistik dengan membuat Road Map e-commerce
terintegrasi yang disebut sebagai Sistem Perdagangan Nasional
Berbasis Elektronik 2017-2019 (SPNBE).
Road map tersebut mencakup beberapa aspek, seperti
penganggaran, perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan
dan sumber daya manusia, infrastruktur, komunikasi, logistik, dan
keamanan siber.
3. Ditegaskan pula bahwa SPNBE 2017-2019 sebagai landasan bagi pemerintah
pusat dan daerah untuk menyusun regulasi sektoral dan rencana percepatan
sistem e-commerce nasional. Selain itu, dokumen ini juga menjadi landasan
bagi para pemangku kepentingan untuk menjalankan sistem e-commerce.
Sebelum pedoman ini dirilis, Kementerian Komunikasi dan Informatika (2016)
mengklasifikasikan kegiatan e-commerce menjadi 3 kategori untuk
memudahkan pemantauan kegiatan, yaitu:
start-up atau bisnis
bayi,
usaha kecil dan
menengah (UKM) dan
didirikan.
4. Sebelumnya, Kementerian Perdagangan juga mengatur
kegiatan perdagangan, termasuk e-commerce
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014
tentang Perdagangan.
Peraturan tersebut bertujuan untuk mengedukasi
masyarakat agar memahami konsep perdagangan yang
sama dengan menggunakan sistem elektronik (PMSE)
13, melindungi dan memberikan asuransi bagi
pedagang, pengurus PMSE, dan konsumen.
Law on Commerce (UU Perdagangan) mendefinisikan
PMSE sebagai perdagangan dimana transaksi dilakukan
melalui seperangkat prosedur perangkat keras dan
elektronik.
Jenis pelaku usaha PMSE meliputi pedagang,
penyelenggara e-commerce (PPSE) seperti
penyelenggara komunikasi, publikasi elektronik,
penawaran elektronik, penyelenggara aplikasi transaksi
elektronik, penyelenggara jasa dan sistem aplikasi
pembayaran, dan penyelenggara sistem aplikasi jasa dan
pengiriman (pajak.go. id, 2014).
5. Lebih lanjut, terkait kepatuhan terhadap regulasi perpajakan, dijelaskan pula bahwa
transaksi dengan menggunakan e-commerce akan dikenakan pajak sesuai ketentuan
hukum yang berlaku.
Dalam konteks perpajakan, otoritas perpajakan Indonesia menjelaskan bahwa
pengenaan pajak atas transaksi e-commerce lebih cenderung merupakan kegiatan
perpajakan prosedural yang umum daripada mengenakan jenis pajak baru.
Oleh karena itu, perlakuan perpajakan pada e-commerce akan sama seperti pada
aktivitas perdagangan lainnya, tanpa adanya peraturan perpajakan khusus untuk e-
commerce.
Selain itu, regulasi Pajak Pertambahan Nilai Indonesia juga mengklasifikasikan
aktivitas e-commerce ke dalam 4 kategori meskipun e-commerce berkembang
pesat.
Pengelompokan ke dalam 4 kategori ini dibuat untuk memudahkan pilihan
pengklasifikasian jenis usaha dan kesederhanaan dalam pemenuhan kewajiban
perpajakannya, meskipun menandakan over simplification
6. Selain itu, pasar online harus melakukan tanggung jawab lain yang berisiko selain kegiatan bisnis inti mereka,
yaitu pemotongan pajak dan menyerahkannya kepada pemerintah sesuai dengan hukum yang berlaku.
Untuk usaha kecil dan mikro yang telah terdaftar di pasar online, rencana pemerintah ini berpotensi mengubah
moda pemasaran mereka yang selama ini tidak ditahan untuk mendapatkan pengembalian moda yang lebih tinggi
tidak dapat dengan mudah dideteksi oleh administrasi pajak Indonesia.
Pemerintah berencana untuk melibatkan pasar online sebagai pemotong pajak dari pedagang yang menjual
produk melalui platform mereka secara bruto. Bagi pemerintah, rencana ini akan memudahkan mereka dalam
mengumpulkan potensi penerimaan pajak dari transaksi volume tinggi antara pelanggan dan pedagang dengan
cara yang efisien.
Topik kali ini yaitu membahas tantangan pengenaan pajak atas transaksi besar-besaran pada ekonomi digital di
era digital ini dan bagaimana Otoritas Pajak Indonesia mengenakan pajak atas aktivitas ekonomi digital melalui
pasar online.
Alasan transaksi digital akan dikenakan pajak.
7. Kegiatan ekonomi digital berkembang pesat di
Indonesia. Berdasarkan informasi yang
dipublikasikan Kementerian Keuangan pada tahun
2017, sekitar 24,7 juta orang di Indonesia melakukan
transaksi pembelian secara online. Pasar online
semakin banyak karena transaksi online menjadi
sangat populer di kalangan masyarakat.
Potensi volume transaksi dari kegiatan ini diprediksi
akan meningkat pada tahun-tahun berikutnya
mengingat jumlah pengguna internet di Indonesia
pada tahun 2017 telah mencapai 132,7 juta orang,
dimana 106 juta diantaranya merupakan pengguna
media sosial.
Pada tahun 2018, nilai perdagangan e-commerce di
Indonesia menduduki peringkat ke-6 di kawasan Asia
Pasifik dengan pertumbuhan US $ 10,92 miliar atau
setara dengan Rp147,4 triliun. Berdasarkan analisis
Badan Kebijakan Fiskal, pada tahun 2017 penjualan
online telah mengambil porsi 3,5% dari porsi
penjualan eceran, mencapai 4,8% pada tahun 2019.
8. Pemerintah, khususnya otoritas keuangan melihat potensi pengenaan pajak
atas aktivitas transaksi online sangat besar. Mengutip pernyataan Direktorat
Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Direktorat
Jenderal Pajak (DJP), ada niat untuk menetapkan marketplace sebagai
pemotong pajak agar pemungutan pajak lebih mudah dilakukan. Apalagi
menurut Direktur Utama dari P2 Humas, pengaturan pasar sebagai pemotong
pajak dimaksudkan untuk memudahkan pekerjaan pemerintah dalam proses
identifikasi Wajib Pajak Pedagang.
9. Di sisi lain, DJP juga menyadari
bahwa rencana ini dapat memicu
perpindahan pedagang dari pasar
ke mode perdagangan lain.
Pemenuhan kewajiban yang sama
telah menjadi pertimbangan
dalam pengaturan pajak untuk
pasar yang serupa dengan
perdagangan konvensional
lainnya, meskipun pada
kenyataannya masih ada platform
non-pasar e-commerce yang
belum termasuk dalam skema
perpajakan.
Hal ini menjadi perhatian asosiasi
e-commerce Indonesia agar
regulasi pajak e-commerce tidak
hanya menyasar penjual dan
pembeli online di marketplace,
tetapi juga di platform lain seperti
media sosial dan aplikasi chat
untuk mencapai level permainan
bisnis yang setara. bidang.
Lapangan bermain yang setara
yang diharapkan oleh pihak bisnis
e-commerce tidak hanya antara
offline dan online, tetapi juga
mencakup pasar e-commerce dan
platform lain yang dikenakan
pajak secara bersamaan.
10. •Selain itu, perlu juga diperhatikan apakah pengenaan pajak di pasar akan berdampak pada penghapusan
multiplier effect, karena diuntungkan oleh pemerintah yang bergerak ke atas pada usaha mikro, kecil, menengah,
di mana sejumlah ekonomi aktor termasuk dalam pasar.
•Untuk marketplace merchant, pengenaan pajak kepada trader di platform mereka, dimana marketplace berfungsi
sebagai withholder akan mengurangi jumlah aktivitas di marketplace, yang sebelumnya didesain dengan
investasi yang mudah untuk menarik penjual sehingga mereka lebih memilih untuk memilih marketplace untuk
trading.
•Pajak yang dikenakan pada marketplace akan menyebabkan penjual yang telah bergabung dengan marketplace
berpindah ke mode penjualan media sosial yang belum “tercakup” oleh regulasi2.2 Sementara itu, menurut
pedagang marketplace, ketika penjual berpindah dari marketplace ke media sosial, mereka akan kehilangan
peluang dan peningkatan diterima, ketika mereka berada di pasar.
•Di sisi lain, sebagian besar pembeli cenderung lebih percaya jika transaksi dilakukan melalui marketplace karena
tidak adanya customer service dan kurangnya jaminan keamanan transaksi yang tersedia di platform lain. Selain
itu, juga lebih mudah menjangkau pasar di dalam pasar