Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang pelaksanaan diklat kepemimpinan tingkat IV untuk membentuk kompetensi kepemimpinan dan pemimpin perubahan.
2. Salah satu materi diklatnya adalah tentang standar etika publik yang diajarkan melalui berbagai metode interaktif.
3. Tujuan akhir dari materi tersebut adalah agar peserta dapat menginternalisasi dan mengaktual
UUD NRI TAHUN 1945 TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN PASAL 28D AYAT 1
Bahan ajar etika publik
1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Tujuan Penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan Tingkat IV adalah membentuk
kompetensi kepemimpinan operasional dan membentuk pemimpin perubahan
pada pejabat struktural eselon IV yang akan berperan dan melaksanakan tugas
dan fungsi kepemerintahan di instansinya masing-masing. Untuk mencapai
tujuan tersebut maka kompetensi yang dibangun pada Diklat Kepemimpinan
Tingkat IV adalah kompetensi kepemimpinan operasional yaitu kemampuan
membuat perencanaan kegiatan instansi dan memimpin keberhasilan
implementasi pelaksanaan kegiatan tersebut, yang diindikasikan dengan
kemampuan : (1) Membangun karakter dan sikap prilaku integritas sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan kemampuan untuk menjunjung
tinggi etika public, taat pada nilai-nilai, norma, moralitas, dan bertanggung jawab
dalam memimpin unit instansinya ; (2) Membuat perencanaan pelaksanaan
kegiatan instansinya ; (3) Melakukan kolaborasi secara internal dan eksternal
dalam mengelola tugas-tugas organisasi kearah efektifitas dan efisiensi
pelaksanaan kegiatan instansi ; (4) Melakukan inovasi sesuai bidang tugasnya
guna mewujudkan pelaksanaan kegiatan yang lebih efektif dan efisien ; (5)
Mengoptimalkan seluruh potensi sumberdaya internal dan eksternal organisasi
dalam implementasi kegiatan unit instansinya.
Untuk itu diperlukan pemahaman tentang bagaimana seorang aparatur
pemerintah berperilaku dihadapan publik dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 20 Tahun
2015, Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan
Kepemimpinan Tingkat IV Bab II mengenai struktur kurikulum, bahwa salah satu
mata diklat dari Agenda Tahap I Self Mastery, salah satunya adalah Standar
Etika Publik. Deskripsi mata diklat tersebut adalah membekali peserta dengan
kemampuan mengaktualisasikan etika publik dalam mengelola pelaksanaan
kegiatan instansi melalui pembelajaran akuntabilitas, etika, dan aktualisasi
akuntabilitas dan etika. Mata Diklat disajikan secara interaktif melalui metoda
ceramah interaktif, diskusi, studi kasus, simulasi, menonton film pendek, studi
lapangan, dan demonstrasi. Keberhasilan peserta dinilai dari kemampuannya
mengaktualisasikan akuntabilitas dan etika dalam mengelola pelaksanaan
kegiatan instansinya/di unit kerjanya. Alokasi waktu yang ditempuh untuk
mata diklat ini adalah 6 Sesi (18 JP), dengan hasil belajar yang ingin dicapai
adalah setelah mengikuti pembelajaran ini para peserta diharapkan mampu
mengakualisasikan standar etika publik dalam mengelola pelaksanaan kegiatan
instansi.
2. 2
B. Deskripsi Singkat
Mata Diklat ini membekali peserta dengan kemampuan mengaktualisasikan
etika publik dalam mengelola pelaksanaan tugas dan fungsi unit kerjanya
melalui pembelajaran akuntabilitas, etika, dan aktualisasi akuntabilitas dan etika.
Mata Diklat disajikan secara interaktif melalui metoda ceramah interaktif, diskusi,
studi kasus, simulasi, menonton film pendek, studi lapangan, dan demonstrasi.
Keberhasilan peserta dinilai dari kemampuannya mengaktualisasikan
akuntabilitas dan etika dalam mengelola pelaksanaan kegiatan instansinya.
C. Hasil Belajar
Setelah mengikuti pembelajaran ini para peserta diharapkan mampu
mengakualisasikan standar etika publik dalam mengelola pelaksanaan tugas di
instansi/unit kerjanya.
D. Indikator Hasil Belajar
Indikator-indikator hasil belajar adalah:
1. Peserta dapat menjelaskan standar etika publik
2. Peserta dapat menginternalisasi standar etika publik
3. Peserta dapat mengaktualisasikan standar etika publik dalam mengelola
pelaksanaan unit kerjanya.
E. Materi Pokok
Materi pokok yang dibahas pada modul ini adalah:
1. Definisi, Lingkup, dan Dimensi Etika Publik
2. Internalisasi standar etika publik
3. Aktualisasi standar etika publik dalam mengelola tugas dan fungsi
unit kerjanya.
F. Manfaat
Berbekal hasil belajar pada modul Standar Etika Publik, peserta diharapkan
dapat mengakualisasikan standar etika publik dalam mengelola pelaksanaan
kegiatan instansi/fungsi unit kerjanya.
3. 3
BAB II
DEFINISI LINGKUP DAN DIMENSI ETIKA PUBLIK
Setelah membaca Bab ini, peserta Diklat diharapkan mampu menjelaskan tentang
definisi, lingkup, dan dimensi etika publik.
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat
internasional di perlukan suatu sistem yang mengatur bagaimana seharusnya
manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling
menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan
lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-
masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa
merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan
sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak
asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di
masyarakat kita. Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat
kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana
yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik,
berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah
dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti yang dirumuskan
oleh beberapa ahli berikut ini: pertama, Drs. O.P. Simorangkir : etika atau etik
sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
Kedua, Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang
tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang
dapat ditentukan oleh akal. Ketiga, Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang
filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku
manusia dalam hidupnya.
Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika
memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian
tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan
bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu
kitauntuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan
yangpelru kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala
aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi
beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.
A. Pengertian dan Fungsi Etika
1. Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan
kewajiban moral. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1995) : etika
adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat. Menurut Maryani dan Ludigdo (2001), etika adalah
seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur prilaku
manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang
dianut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi.
4. 4
Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”,
yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya
berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa
Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga
adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan
yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.Etika
dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-
hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian
perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem
nilai-nilai yang berlaku. Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu:
Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan
hidup (sila) yang lebih baik (su). Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika
berarti ilmu akhlak. Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat
yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia.
Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan
bagaimana manusia bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh
bermacam – macam norma. Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma
hukum, norma agama, norma moral dan norma sopan santun. Filsuf
Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelaskan tentang
pembahasan Etika, sebagai berikut: Terminius Techicus, Pengertian etika
dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang
mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia.
Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara
dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in
human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu
tingkah laku atau perbuatan manusia Pengertian dan definisi Etika dari para
filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:
a. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan
dan sifat dari hak (The principles of morality, including the science of
good and the nature of the right)
b. Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian
utama dari kegiatan manusia. (The rules of conduct, recognize in
respect to a particular class of human actions)
c. Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai
individual. (The science of human character in its ideal state, and moral
principles as of an individual).
d. Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban(The science of duty)
2. Fungsi Etika.
5. 5
Etika tidak langsung membuat manusia menjadi lebih baik, itu ajaran
moral, melainkan etika merupakan sarana untuk memperoleh orientasi
kritis berhadapan dengan pelbagai moralitas yang membingungkan. Etika
ingin menampilkan ketrampilan intelektual yaitu ketrampilan untuk
berargumentasi secara rasional dan kritis. Orientasi etis ini diperlukan
dalam mengabil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme. Pluralisme
moral diperlukan karena:
a. pandangan moral yang berbeda-beda karena adanya perbedaan
suku, daerah budaya dan agama yang hidup berdampingan;
b. modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan nilai
kebutuhan masyarakat yang akibatnya menantang pandangan moral
tradisional;
c. berbagai ideologi menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan,
masing-masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana
manusia harus hidup.
Etika secara umum dapat dibagi menjadi etika umum yang berisi prinsip
serta moral dasar dan etika khusus atau etika terapan yang berlaku
khusus. Etika khusus ini masih dibagi lagi menjadi etika individual dan
etika sosial. Etika sosial dibagi menjadi:
a. Sikap terhadap sesama;
b. Etika keluarga
c. Etika profesi misalnya etika untuk pustakawan, arsiparis,
dokumentalis, pialang informasi
d. Etika politik
e. Etika lingkungan hidup serta
f. Kritik ideologi
Fungsi Etika:
a Sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan
berbagai moralitas yang membingungkan.
b. Etika ingin menampilkan keterampilan intelektual yaitu keterampilan
untuk berargumentasi secara rasional dan kritis.
c. Orientasi etis ini diperlukan dalam mengambil sikap yang wajar dalam
suasana pluralisme.
Selain memiliki fungsi, maka etika juga memiliki manfaat sebaga
berikut:
6. 6
a. Dapat membantu suatu pendirian dalam beragam pandangan dan
moral.
b. Dapat membantu membedakan mana yang tidak boleh dirubah dan
mana yang boleh dirubah.
c. Dapat membantu seseorang mampu menentukan pendapat.
d. Dapat menjembatani semua dimensi atau nilai-nilai.
B. Pentingnya Etika Dalam Organisasi
Ada kaitan antara pengertian etika dan pengertian organisasi. Dari sini bisa
dilihat mengapa etika penting dalam kehidupan organisasi.
Sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya, etika diartikan sebagai
nilainilai atau norma-norma yang mendasari perilaku manusia. Etika juga dapat
diartikan sebagai pemikiran atau filsafat moral. Sementara itu, organisasi
diartikan sebagai sekelompok orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan-
tujuan tertentu. Organisasi juga dapat diartikan sebagai proses penyusunan dan
pengalokasian kerja, kewenangan, sumber-sumber daya kepada anggota-
anggota organisasi agar mereka dapat mencapai tujuan-tujuan organisasi
secara efektif dan efisien (Stoner d.k.k 1992: 9).
Tentu saja dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu, organisasi memperhatikan
prinsip-prinsip yang harus diikuti agar organisasi dapat mencapai tujuan-
tujuannya. Prinsip-prinsip itu biasanya menyangkut baik aspek-aspek teknis
(spesialisasi, hierarkhi, prosedur kerja, hukum, ganjaran, dan sebagainya)
maupun aspek-aspek nonteknis (peraturan, etika, kode etik, keinginan, perilaku,
dan sebagainya). Dari sini dapat dilihat kaitan antara etika dan organisasi.
Organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya memerlukan antara lain etika
(baca: kode etik) agar organisasi dapat melayani kepentingan masyarakat dan
menjaga keluhuran organisasi. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa
alasan mengapa etika dalam kehidupan organisasi sangat penting.
Pertama, etika memungkinkan organisasi memilih dan menyepakati nilai-nilai
moral yang harus dijunjung tinggi oleh setiap anggota organisasi sesuai dengan
tujuan-tujuan organisasi. Nilai-nilai moral ini akan dipakai sebagai acuan atau
pedoman dalam berperilaku bagi semua anggota organisasi. Kedua, karena
etika mengetengahkan nilai-nilai universal yang disepakati oleh semua anggota
organisasi, dalam organisasi etika dapat menjembatani konflik moralitas
antaranggota organisasi yang berbeda latar belakang suku, agama, ras, dan
budaya. Ketiga, etika yang dapat dilaksanakan secara efektif oleh organisasi
akan meningkatkan citra dan reputasi organisasi dan akan melanggengkan
eksistensi organisasi.
C. Etika Kepemimpinan Aparatur
Dalam era demokratisasi dan reformasi dewasa ini pengembangan perilaku
kepemimpinan kepemerintahan menuntut kelincahan dalam mengembangkan
7. 7
pendekatan yang bebas dan kecenderungan dominasi, serta berusaha
mengarahkan orientasi kepada masyarakat luas dengan meningkatkan
kepekaan untuk mendengarkan aspirasi yang berkembang termasuk saran,
tanggapan, keluhan bahkan kritik terhadap penyelenggaraan kepemerintahan
publik. Untuk itu diperlukan peningkatan seperangkat kapasitas kompetensi
aparatur sebagai berikut :
1. Kepekaan Terhadap Situasi Lingkungan
Yaitu kemampuan untuk mengamati perkembangan yang terjadi di tengah
masyarakat, sehingga bisa secara tepat mengantisipasi kecenderungan
perubahan yang akan dihadapi. Untuk maksud itu seorang pemimpin harus
terus berusaha menghimpun data dan informasi dalam rangka proses
belajar untuk memperluas wawasan dalam berbagai bidang permasalahan
kepemerintahan secara obyektif dan aktual. Dengan demikian seorang
pemimpin aparatur selalu berada pada posisi yang tepat dalam semua
situasi dan memberi respons sesuai dengan tantangan yang dihadapi.
Kepekaan dari segi kepemimpinan dapat dianggap sebagai unsurutama
yang menentukan kualitas dari suatu pemerintahan.
2. Pengayom dan Pelindung atas Moral Masyarakat
Yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri agar tidak terjebak melakukan
sesuatu yang dapat menciptakan atau meningkatkan keresahan dalam
masyarakat. Seorang pemimpin yang demokratis tidak akan menghasut
masyarakat untuk melakukan tindakan dengan cara-cara yang tidak etis
melanggar HAM atau dengan kekerasan yang akan menimbulkan
keresahan, kerusakan moral dalam masyarakat demi melaksanakan
kebijakan perubahan. Tanggung jawab menjaga kepercayaan masyarakat
atas sistem ketertiban dan keamanan yang berlaku, terletak pada setiap
pemimpin yang demokratis.
3. Keterbukaan Pikiran
Kemampuan untuk memahami bahwa dalam kehidupan pemerintahan
khususnya dalam pertarungan kepentingan, tidak ada “kebenaran” yang
bersifat tunggal, dan tidak ada suatu kelompok yang memiliki hak dan
monopoli atas dasar kebenaran. Dalam kehidupan pemerintahan, apa yang
disebut kebenaran bersifat relatif, dan karena itu tidak mungkin dimonopoli
dimonopoli oleh suatu kelompok. Kapasitas untuk melihat segala sesuatu
dengan pikiran terbuka merupakan jalan lurus menuju toleransi atas
perbedaan pendapat yang menjadi salah satu cirri dari praktek demokrasi. Ia
juga menjadi modal untuk bersikap jujur menerima pendapat pihak lain jika
ternyata lebih rasional dan tepat. Perilaku kepemimpinan aparatur yang tidak
mampu menampung berbagai pendapat pihak lain dan tidak toleran
terhadap perilaku yang menegaskan adanya oposisi adalah wujud dari sikap
kesewenang-wenangan atau otoritarianisme.
4. Memperhatikan Aspirasi Masyarakat.
Yaitu kemampuan untuk dekat bersedia memperhatikan kepentingan orang
banyak. Dalam demokrasi dukungan orang banyak merupakan salah satu
kunci pokok bagi keberhasilan seseorang pemimpin aparatur. Seorang
pemimpin aparatur bersedia untuk mendengar suara, mempelajari harapan
8. 8
dan aspirasi mereka serta menerjemahkannya ke dalam serangkaian
tindakan dan kebijakan publik. Di lingkungan pemerintahan yang demokratis
efektifitas kepemimpinan selalu diukur melalui keberhasilan seseorang
membawakan fungsi-fungsi utama pemerintahan itu sendiri yakni :
pelayanan atau service, pemberdayaan atau empowerment dan
pembangunan atau development. Dalam fungsi pemberdayaan terkandung
tujuan untuk menciptakan masyarakat mandiri dan dalam fungsi
pembangunan terkandung tujuan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.
(Ryaas Rasyid; 1996, 98-104) bagi kehidupan seseorang dan organisasi dan
menyangkut berbagai prinsip yang menjadi landasan bagi perwujudan nilai-
nilai tersebut dalam berbagai hubungan yang terjadi antar manusia dan
lingkungan hidup.
D. Nilai-Nilai Etika Publik
Sebagaimana diketahui, Birokrasi atau Administrasi Publik memiliki kewenangan
bebas untuk bertindak (discretionary power atau freies ermessen) dalam rangka
memberikan pelayanan umum (public service) serta menciptakan kesejahteraan
masyarakat (bestuurzorg). Untuk itu, kepada birokrasi diberikan kekuasaan
regulatif, yakni tindakan hukum yang sah untuk mengatur kehidupan masyarakat
melalui instrumen yang disebut kebijakan publik (public policy). Perumusan
(formulation) dan penerapan (implementation) kebijakan public ini harus
dilakukan sebaik mungkin, sebab suatu kebijakan pemerintah tidak hanya
mengandung konsekuensi yuridis semata, tetapi juga konsekuensi etis atau
moral.
Sebagai suatu produk hukum, kebijakan publik berisi perintah (keharusan) atau
larangan. Barangsiapa yang melanggar perintah atau melaksanakan perbuatan
tertentu yang dilarang, maka ia akan dikenakan sanksi tertentu pula. Inilah
implikasi yuridis dari suatu kebijakan publik. Dengan kata lain, pendekatan
yuridis terhadap kebijakan publik kurang memperhatikan aspek dampak dan /
atau kemanfaatan dari kebijakan tersebut. Itulah sebabnya, sering kita saksikan
bahwa kebijakan pemerintah sering ditolak oleh masyarakat (public veto) karena
kurang mempertimbangkan dimensi etis dan moral dalam masyarakat. Beberapa
contoh konkrit kebijakan yang tidak populer dimata masyarakat adalah :
pembangunan waduk, pengurangan / penghapusan subsidi BBM / TDL,
peningkatan tunjangan struktural pejabat tinggi, pembentukan lembaga-lembaga
ekstra struktural yang membebani anggaran, dan sebagainya. Dikaitkan dengan
definisi etika sebagaimana disebutkan diatas, maka suatu kebijakan publik
hendaknya tidak hanya menonjolkan nilai-nilai BENAR – SALAH, tetapi harus
lebih dikembangkan kepada sosialisasi nilai-nilai BAIK – BURUK. Sebab, suatu
tindakan yang benar menurut hukum, belum tentu baik secara moral dan etis.
E. Dimensi Etika Publik
1. Pelayanan publik yang berkualitas dan relevan meliputi :
a. Prosedur pelayanan harus mudah dimengerti, mudah
dilaksanakan sehingga tidak berbelit-belit.
b. Pelayanan diberikan dengan kejelasan dan kepastian
9. 9
c. Pemberian pelayanan diusahakan agar efektif dan efisien
d. Pemberian pelayanan memperhatikan kecepatan dan ketepatan
waktu yang ditentukan
e. Pelanggan setiap saat mudah mendapatkan informasi
f. Dalam melayani pelangan diperlakukan motto
2. Tindakan integritas publik meliputi strategi pelayanan prima yang
mengacu pada kepuasan pelanggan melalui :
a. Implementasi visi dan misi pada semua tingkat pelayanan
b. Hakikat pelayanan disepakati untuk dilaksanakan oleh semua
aparatur
c. Dalam pelaksanaan pelayanannnya di dukung sistem dan
lingkungan yang dapat memotivasi anggota organisasi
d. Pelaksanaan pelayanan publik di dukung sumber daya manusia,
dana dan teknologi yang canggih
e. Pelayanan publik dapat berhasil guna apabila organisasi
menerbitkan standar pelayanan publik yang dapat dijadikan
pedoman dalam melayani pelanggan.
3. Modalitas meliputi akuntabilitas, transparansi dan netralitas
F. Tuntutan Etika Publik dan Kompetensi
Pelayanan yang memberikan kepuasan pelanggan dan sendi pelayanan
umum harus memperhatikan :
1. Kesederhanaan, prosedural/tatacara pelayanan diselenggarakan
secara mudah., lancar, cepat dan mudah dilaksanakan.
2. Kejelasan dan kepastian mengenai prosedur, persyaratan pelayanan,
rincian biaya, jadual/waktu, hak dan kewajiban.
3. Keamanan, proses dan hasil pelayanan umum
4. Keterbukaan, prosedur/tata cara, waktu penyelesaian, rincian biaya
dan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka.
5. Efisien dalam persyaratan pelayanan umum dan proses persyaratan
dalam kelengkapan persyaratan.
6. Ekonomis mengenai biaya pelayanan dengan memperhatikan nilai
barang atau jasa, kondisi dan kemampuan masyarakat srta ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Keadilan yang merata dan perlakuan yang adil.
8. Ketepatan waktu, pelaksanaan pelayanan
Tuntutan etika publik harus dimbangai dengan kompetensi anggota organisasi
dalam pelaksanaan tugasnya yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan
meliputi :
1. Akurasi pelayanan
2. Kesopanan
3. Tanggungjawab
4. Kelengkapan
5. Kemudahan dalam mendapatkan pelayanan
6. Variasi model pelayanan
7. Pelayanan pribadi
8. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan
10. 10
BAB III
INTERNALISASI STANDAR ETIKA PUBLIK
Setelah membaca Bab ini, peserta Diklat diharapkan mampu menjelaskan tentang
Internalisasikan standar etika publik
A. Tantangan Dalam Internalisasi Standar Etika Publik.
Faktor-faktor yang besaral dari dalam negeri, yang menjadi penyebab
memudarnya pelaksanaan etika kehidupan berbangsa itu, sebagaimana
terungkap dalam Latar Belakang TAP MPR Nomor VII MPR/ 2001 tersebut
antara lain sebagai berikut :
1. Masih lemahnya penghayatan dan pengamalan agama dan munculnya
pemahaman terhadap ajaran agama yang kelirudan sempit, serta tidak
harmonisnya pola inreksi antara umat beragama.
2. Sistem sentralisasi pemerintahan di masa lampau yang mengakibatkan
terjadinya penumpukan kekuasan di Pusat dan pengabaian terhadap
kepentingan daerah dan timbulnya fanatisme kedaerahan.
3. Tidak berkembangnya pemahaman dan penghargaaan atas
kebinekaan dan kemajemukan dalam kehidupan berbangsa.
4. Terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam lingkup luas dan dalam kurun
waktu yang panjang, melewati ambang batas kesabaran masyarakat
secara sosial yang berasal dari kebijakan publik dan munculnya perilaku
ekonomi yang bertentangan dengan moralitas dan etika.
5. Kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian pemimpin
dan tokoh bangsa.
6. Tidak berjalannya penegakkan hukum secara optimal, dan lemahnya
control sosial untuk merngendalikan perilaku yang menyimpang dari etika
yang secara alamiah masih hidup di tengah-tengag masyarakat.
7. Adanya keterbatasan kemampuan budaya local, daerah, dan nasional
dalam merespons pengaruh negative dan budaya luar.
8. Meningkatnya prositusi, media pornografi, perjudian, serta pemakaian,
peredaran, dan penyelundupan obat-obatan terlarang.
Sedangkan faktor-faktor yang berasal dari luar negeri meliputi, antara lain, (1)
pengaruh globalisasi kehidupan yang semakin meluas dengan persaingan
antar bangsa yang semakin tajam, (2) makin kuatnya intensitas intervensi
kekuatan global dalam perumusan kebijakan nasional.
11. 11
Faktor-faktor yang menjadi penghambat dan sekaligus menjadi ancaman
tersebut dinyatakan akan dapat mengakibatkan bangsa Indonesia mengalami
kemunduran dan ketidakmampuan dalam mengaktualisasikan segenap
potensi yang dimilikinya untuk mencapai persatua, mengembangkan
kemandirian, keharmonisan dan kemajuan. Oleh sebab itu, diperlukan upaya
sungguh-sungguh untuk mengingatkan kembali warga bangsa dan
mendorong revitalisasi khazanah etika dan moral yang telah ada dan bersemi
dalam masyarakat sehingga menjadi salah satu acuan dasar dalam
kehidupan berbangsa. Tentu saja dalam hal ini tidak terkecuali bagi Pegawai
Negeri Sipil sebagai unsure aparatur negara, abdi negara dan abdi
masyarakat.
B. Korupsi dan Konflik Kepentingan.
1. Menurut Fockema Andreae kata korupsi dari bahasa
Latin corruption atau corruptus (Webster Student Dictionary, 1960).
Selajutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal dari kata asal
corrumpere, yaitu suatu kata lain yang lebih tua.
Dari bahasa latin inilah diserap kedalam banyak bahasa dinegara-negara
Eropa, seperti Inggris yaitu Corruption, corrupt, Perancis yaitu Corruption,
dan Belanda Corruptie (korruptie). Dari bahasa Belanda inilah kita
menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia “korupsi”
2. Secara harfiah korupsi mempunyai arti kebusukan,
keburukan, kebejatan, dapt diusap, tidak bermoral,penyimpangan dari
kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina dan memfitnah.
3. The Lexicon Webster Dictionary “Corruption (L.
Corruption (n-)) : The act of corrupting, or the state of being corrupt :
putrefactive decomposition of intehrity, corrupt or dishonest proceedings,
bribery, pervesion from a state of purity, debasement, as of language, a
debased from a word.”
4. Kamus umum bahasa Indonesia (W. J. S Poerwoarminto)
: Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan sebaginya.
5. Kamus Lengkap Inggris – Indonesia, Indonesia – Inggris,
S. Wojowasito – W.J.S Poerwodarminto : Kejahatan, Kebusukan, dapat
diusap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak jujuran.
6. Economic Development Institute of the World bank,
“National Integrity System Country Studies” mengatakan : “an abuse of
entrused power by politicians civil servant for personal gain”.
Malaysia mempunyai aturan tentang anti korupsi, mereka tidak memakai kata
korupsi melainkan memkai istilah rusuah yang diambil dari bahasa Arab yaitu
riswah. Di Indonesia, jika orang membicarakan korupsi pasti yang dipikirkan
dan yang dikatakan, hanya mengenai perbuatan yang buruk, jelek, rusak,
12. 12
dengan macam-mcam artinya menurut waktu, tempat, dan suku, demikian
juga dengan bangsa-bangsa lain.
Langkah-langkah pembentukan peraturan tentang pemberantasan korupsi di
Indonesia telah dimulai beberapa tahun perjalanan sejarah bangsa Indonesia
sejak meraih kemerdekannya, sebagai upaya membrantas tindak pidana
korupsi. Dan istilah korupsi sebagai istilah yuridis diawalai pada tahun 1957
pada saat dikeluarkannya Peraturan Penguasaan Militer yang berlaku di
daerah kekuasaan Angkatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/ PM/ 06/
1957).
Peraturan pemberantasan Korupsi mengalami empat masa sejak tahun 1957
sampai saat ini sebagai berikut :
1. Masa Peraturan Militer
a. Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/ PM/ 06/ 1957 yang
dikeluarkan oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk
daerah kekuasaan Angkatan Darat.
Konsiderans peraturan ini mengatakan :
“ Bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaga-usaha
memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan kauangan dan
perekonomian negara, yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi,
perlu segera menetapkan suatu cara kerja untuk dapat menerobos
kemacetan dalam usaha-usaha membrantas korupsi “
b. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/ PM/ 08/ 1957 Tentang
Pemilikan Harta Benda, tanggal 27 Mei 1957 yang merubah dan
menyempurnakan Peraturan Penguasa Militer No PRT/ PM/ 06/ 1957.
c. Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/ Pm/ 011/ 1957 Tentang
Wewenang Penguasa Militer dalam menyita barang-barang, tanggal 1
juli 1957.
d. Peraturan Penguasa Perang Ousat Kepala Staf Angkatan Darat
No.PRT/ PEPERPU/ 013/ 1958 tanggal 16 April 1958. peraturan ini
dikeluarkan pada waktu seluruh wilayah negra Republik Indonesia
dinyatakan dalam keadaan perang berdasar Undang-undang No. 74
tahun 1957 jo. Undang-undang No. 79 tahun 1957, dalam rangka
pembrantasan tindak pidana korupsi tersebut.
e. Dalam konsideran peraturan ini, khususnya pada butir a dikatakan :
“Bahwa perkara-perkara pidana yang mempergunakan modal atau
kelonggaran-kelonggaran lainnya dari masyarakat misalnya bank,
koperasi, wakaf dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan
kedudukan si pembuat pidana, perlu diadakan tambahan beberapa
13. 13
aturan pidana pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat
memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi”
f. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan laut No.
PRT/ Z/ I/7/ 1958 Tanggal 17 April 1958.Peraturan ini dikeluarkan pada
waktu seluruh wilayah negara Republik Indonesia dinyatakan dalam
keadaan perang berdasarkan Undang-undang No. 74 Tahun 1957 jo.
Undang-Undang No. 79 Tahun 1957, dalam rangka pemberantasan
tinadk pidana korupsi tersebut.
Dalam konsideran peraturan ini, khusunya pada butir a dikatakan:
“Bahwa perkara-perkara pidana yang mempergunakan modal dan atau
kelonggran-kelonggaran lainnya dari masyarakat misalnya bank,
koperasi, wakaf dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan
kedudukan si pembuat pidana, perlu diadakan tambahan beberapa
aturan pidana pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat
memebrantas perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi”
g. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No.
PRT/Z/I?7?1958 Tanggal 17 April 1958.
2. Masa Undang-Undang No. 24/ Prp/ Tahun 1960 Tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang ini melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 menjadi
undang-Undang no. 20 Prp Tahun 1960. Undang-Undang ini dibuat
mengingat peraturan Penguasa Perang Puysat tersebut hanya berlaku
untuk sementara (temporer), maka Pemerintah Republik Indonesia
menganggap bahwa peraturan Penguasa Perang Pusat yang
dimaksud perlu dig anti dengan peraturan perundang-undangan yang
berbentuk Undang-Undsang.
Konsiderans Undang-undang ini mengatakan :
“Bahwa perkara-perkara pidana yang menyangkut keuangan negara
atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan
atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari negara atau masyarakat
misalnya bank, koperasi, wakaf dan lain-lain atau yang bersangkutan
dengan kedudukan si pembuat pidana, perlu diadakan tambahan
beberapa aturan pidana pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan
yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi”
14. 14
3. Masa Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan
tindak Pidana Korupsi (LNRI 1971-19 : TLNRI 2958).
Undang-Undang ini dimaksudkan sebagai upaya penyempurnaan
terhadap undang-undang yang ada sebagaimana dimuat secara tegas
dalam diktumnya sebagai berikut :
“Bahwa Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 Tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi berhubun dengan
perkembanagn masyarakat kurang mencukupi untuk dapat mencapai
hasil yang diharapkan, dan oleh karenanya undang-undang itu perlu
diganti”.
4. Masa Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dalam konsideransnya mengataka
“Bahwa Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tenrang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan
undang undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru
sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantars
tindak pidana korupsi”
Yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantas Tindak Pidana Korupsi, yang konsiderans butir a
dan b nya berbunyi :
“Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas,
tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara
luas sehingga tindak pidana korupsi perlu di golongkan sebagai
kejahatan yang pemberantasnya harus dilakukan secara luar biasa”
“Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum menghindari
keragaman penafsiran hukum, dan memberikan perlindungan terhadap
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil
dalam memberantas tindak pidana korupsi perlu diadakan perubahan
atas undang-undang no. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantas Tindak
Pidana Korupsi”
Dari berbagai konsiderans sebagaimana tersebut, tercermin suatu
proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang ditujukan agar
hukum pidana khusus lebih efektif untuk menangkal korupsi. Lebih dari
itu, merupakan komitmen positif dari penyelenggara negara untuk aktif
berusaha memberantas korupsi. Komitmen ini diwujudkan dengan cara
15. 15
mengganti peraturan perundang-undangan yang dianggap kurang
akomodatif terhadap permasalahan penanganan tindak pidana korupsi
(Yudi Kristian hal 15)
Undang-Undang ini diikuti dengan Undang-Undang no. 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan
peraturan pelaksanaan lannya seperti misalnya Peraturan Pemerintah
No. 71 Tahun 2000 Tentang tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Perhargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantas Tindak Pidana Korupsi, Impres no. 5 Tahun 2004
Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Salah satu faktor penyebab korupsi di Indonesia adalah adanya konflik
kepentingan yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara. Pemahaman yang
tidak seragam mengenai konflik kepentingan menimbulkan penafsiran yang
beragam dan berpengaruh terhadap performa kinerja Penyelenggara
Negara. Untuk itu maka disusunlah Panduan Penanganan
Konflik Kepentingan ini dengan maksud untuk:
• Menyediakan kerangka acuan bagi penyelenggara negara untuk
mengenal, mengatasi dan menangani konflik kepentingan;
• Menciptakan budaya pelayanan publik yang dapat menangani situasi-
situasi konflik kepentingan secara transparan dan efisien tanpa
mengurangi kinerja Penyelenggara Negara yang bersangkutan;
• Mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di kalangan penyelenggara
negara.
Apa yang Dimaksud dengan Konflik Kepentingan?
Konflik kepentingan adalah situasi dimana seorang penyelenggara negara
yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan
perundangundangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas
setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat
mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya.
Siapa Penyelenggara Negara?
Penyelenggara negara dalam hal ini adalah seseorang yang menjabat atau
memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menyelenggarakan fungsi-
fungsi negara dalam wilayah hukum negara dan mempergunakan anggaran
yang seluruhnya atau sebagian berasal dari negara, misalnya pejabat
negara, pejabat publik, penyelenggara pelayanan publik dan berbagai istilah
lainnya yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Termasuk
didalamnya semua pejabat yang menyelenggarakan fungsi-fungsi negara
16. 16
baik dalam cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, aparat penegak
hukum, organ ekstra struktural (seperti KPK, KPU, Komisi Yudisial, dll),
pelaksana pelayanan publik, penilai, pengawas, pimpinan Bank Indonesia,
penyelenggara negara di BUMN/BHMN/BLU/BUMD.
Bentuk-bentuk Konflik Kepentingan
Beberapa bentuk konflik kepentingan yang sering terjadi dan dihadapi oleh
Penyelenggara Negara antara lain adalah:
• Situasi yang menyebabkan seseorang menerima gratifikasi atau
pemberian/penerimaan hadiah atas suatu keputusan/jabatan;
• Situasi yang menyebabkan penggunaan asset jabatan/instansi untuk
kepentingan pribadi/golongan;
• Situasi yang menyebabkan informasi rahasia jabatan/ instansi
dipergunakan untuk kepentingan pribadi/golongan;
• Perangkapan jabatan di beberapa lembaga/instansi/perusahaan yang
memiliki hubungan langsung atau tidak langsung, sejenis atau tidak
sejenis, sehingga menyebabkan pemanfaatan suatu jabatan untuk
kepentingan jabatan lainnya;
• Situasi dimana seorang penyelenggara negara memberikan akses khusus
kepada pihak tertentu misalnya dalam rekrutmen pegawai tanpa mengikuti
prosedur yang seharusnya;
• Situasi yang menyebabkan proses pengawasan tidak mengikuti prosedur
karena adanya pengaruh dan harapan dari pihak yang diawasi;
• Situasi dimana kewenangan penilaian suatu obyek kualifikasi dimana
obyek tersebut merupakan hasil dari si penilai;
• Situasi dimana adanya kesempatan penyalahgunaan jabatan
• Post employment (berupa trading influence, rahasia jabatan);
• Situasi dimana seorang penyelenggara negara menentukan sendiri
besarnya gaji/remunerasi;
• Moonlighting atau outside employment (bekerja lain diluar pekerjaan
pokoknya);
• Situasi untuk menerima tawaran pembelian saham pihak masyarakat,
• Situasi yang memungkinkan penggunaan diskresi yang menyalahgunakan
wewenang.
17. 17
Sumber Penyebab Konflik Kepentingan
Sumber penyebab konflik kepentingan antara lain adalah:
1. Kekuasaan dan kewenangan Penyelenggara Negara yang diperoleh dari
peraturan perundangundangan;
2. Perangkapan jabatan, yaitu seorang Penyelenggara Negara menduduki dua
atau lebih jabatan publik sehingga tidak bisa menjalankan jabatannya secara
profesional, independen dan akuntabel;
3. Hubungan afiliasi, yaitu hubungan yang dimiliki oleh seorang Penyelenggara
Negara dengan pihak tertentu baik karena hubungan darah, hubungan
perkawinan maupun hubungan pertemanan yang dapat mempengaruhi
keputusannya;
4. Gratifikasi, yaitu pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang,
barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cumacuma dan fasilitas lainnya;
5. Kelemahan sistem organisasi, yaitu keadaan yang menjadi kendala bagi
pencapaian tujuan pelaksanaan kewenangan penyelenggara negara yang
disebabkan karena aturan, struktur dan budaya organisasi yang ada;
6. kepentingan pribadi (Vested Interest), yaitu keinginan/kebutuhan seorang
penyelenggara negara mengenai suatu hal yang bersifat pribadi.
C. Pejabat Publik dan Dilema Etika
Para penyelenggara Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 28 tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme, adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislative, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya
berkaitan dengan penyelenggara negara sesuai dengan ktentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Para penyelenggara negara, termasuk PNS, sebelum memangku jabatannta
diwajibkan untuk mengangkat sumaph/ janji sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Presiden dan Wakil Presiden, Anggota dan Pimpinan Lembaga Tertinggi dan
Tinggi Negara lainnya juga diwajibkan untuk mengangkat sumpah/ janji
sebelum menjalankan jabatannya itu.
18. 18
Para Menteri, Kepala LPND, Gubernur, Bupati, Walikota beserta para wakil
mereka, serta para Pejabat Eselon dan Pejabat Fungsional dan jabatan-
jabatan lainnya juga diwajibkan untuk mengangkat sumpah/ janji.
Sumpah/ janji inilah yang menjadi kesepakatan dan komitmen terhadap nilai-
nilai, standar-standar sebagai kode etik jabatan.
Dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Pasal
5 ditetapkan mengenai kewajiban Setiap Penyelenggara Negara sebagai
berikut :
1. Mengucapkan sumapah/ janji sesuai dengan agamanya sebelum
memangku jabatan.
2. Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat.
3. Melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah
menjabat.
4. Tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
5. melaksanakan tugas tanpa menbeda-bedakan suku, agama, ras, dan
golongan.
6. Melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak
melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan
pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan
imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku,
7. Bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme
serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan hak sebagai penyelenggara negara di atur Pasal 4 UU No. 28
Tahun 1999, yang meliputi hak-hak :
1. Menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas lainya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. menggunakan hak jawab terhadap setiap teguran, tindakan dari atasnya,
ancaman hukuman, dan kritik masyarakat.
3. Menyampaikan pendapat di muka umum secara bertanggung jawab
sesuai dengan wewenangnya, dan
4. Mendapatkan hak-hak lain dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut ditegaskan ketentuan
bahwa : Hubungan antar Penyelenggara Negara dilaksanakan dengan
mentaati norma-norma kelembagaan, kesopanan, kesusilaan, dan etika yang
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Bagi PNS yang
duduk dalam Jabatan Struktural Eselon V sampai dengan Eselon I pada
19. 19
dasarnya masih berlaku ketentuan Disiplin sebagai etika perilaku dalam
jabatan, sebagimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun
1980, seperti telah diuraikan sebelumnya, selain ketentuan dalam UU Nomor
28 Tahun 1999 tersebut di atas.
Pada kenyataannya, kecenderungan yang terjadi dewasa ini cukup
mengherankan, karena ternyata perbedaan pandangan mengenai etika
tersebut tampaknya sangat tipis, bahkan tedapat kecenderungan adanya
upaya menerapkan sistem etika pemerintahan secara global. Dalam hal ini,
kita bias melihat kenyataan bahwa perubahan paradigma pemerintahan yang
terjadi dewasa ini ternyata sangat bersifat global.
Promosi mengenai nilai-nilai Good Governance, ternyata bukan hanya di
negara-negara berkembang yang pemerintahannya dinilai korup, tetapi
ternyata juga dikembangkan di negara-negara maju sekalipun, baik di dataran
Eropa maupun Amerika.
Kesamaan trend dalam pengembangan etika pemerintahan tampaknya dipicu
permasalahan yang relative sama yaitu korupsi, antara lain seperti menerima
suap.
Banyak kasus di berbagai negara maju di Asia, Amerika, dan Eropa dimana
salah seorang Pejabat Tinggi Negara harus mengundurkan diri dari
jabatannya, karena telah terbukti menerima suap. Selain itu, kode etik yang
juga sama antara lain : larangan untuk membocorkan atau menyebarluaskan
informasi rahasia negara, mendahulukan kepentingan pribadi daripada
kepentingan negra dan masyarakat, dan kewajiban untuk mematuhi dan
melaksanakan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta
ketentuan lainya yang berlaku.
Mengapa kecenderungan adanya kesamaan dalam pengaturan mengenai
etika pemerintahan tersebut muncul di berbagai negara, tampaknya berkaitan
erat dengan fugsi atau keberadaan aparatur pemerintah dalam melayani
masyarakat, dimana kejujuran (fairness) dan netralitas menjadi persyaratan
yang memerlukan tingkat disiplin tertentu yang kurang lebih sama diberbagai
negara latar belakang yang berbeda sekalipun.
Itulah sebabnya, dewasa ini kita dapat membandingkan dalam criteria yang
kurang lebih sama perbedaan kualitas pemerintahaan antar negara, yang
dapat dijadiakan ukuran bagi para investor untuk mengukur tingkat
keberhasilan investasinya di berbagai negara. Dalam hal ini kita dapat menilai
bahwa meskipun ada kesamaan dalam meletakan dasar-dasar nilai etika
pemerintahan, tetapi pada kenyataannya prateknya di berbagai negara
sungguh-sungguh berbeda. Tingkat kepatuhan terhadap kode etik atau nilai-
20. 20
nilai etika pemerintahan di berbagai negara sangat bervariasi, sebagai variasi
kita dapat lihat dalam berbagai informasi hasil survey internasional. Dari
variasi tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa semakin tinggi perbedaan
antara kode etik yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan
dengan kenyataan praktek administrasi pemerintahan, semakin rendah
kualitas penyelenggaraan administrasi pemerintah di negara yang
bersangkutan.
Negara yang mengalami kondisi demikian, tentu saja harus melakukan
berbagai upaya perbaikan atau reformasi, agar pemerintah tidak kehilangan
kepercayaan masyarakat dan sekaligus mempertahankan kredibilitasnya
dalam pergaulan antar negara.
Nilai-nilai keperuntahan yang baik atau Good Governance yang dewasa ini
telah menjadi trend atau kecenderungan global sebgai etika dalam
pemerintahan secara umum menekankan bahwa penyelenggaraan
kepemerintahan negra harus merupakan keseimbangan interaksi dan
keterlibatan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat (civil society).
Nilai-nilai atau prinsip harus dianut dan dikembangkan dalam ptaktek
penyelenggaraan keperintahan yang baik (good Governance) menurut Badan
PBB untuk Pembangunan atau UNDP (1997) sebagaimana dikutip Suhady
dan Fernanda dalam modul Diklatpim Tingkat IV: “Dasar-Dasar
Kepemerintahan Yang Baik”. Adalah mencakup;
1. Partisipasi: setiap orang atau setiap warga masyarakat, baik laki-laki
maupun perempuan harus memiliki hak suara yang sama dalam proses
pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga
perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masing-masing.
Partisipasi yang luas ini perlu dibangun dalam suatu tatanan kebebasan
berserikat dan berpendapat, secara kebebasan untuk berpatisipasi
secara konstruktif;
2. Aturan Hukum (Rule of Law): kerangka atuan hukum dan perundang-
undangan huruslah berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh
tanpa memihak kepada siapapun (impartially), terutama aturan hukum
tentang hak-hak asasi manusia;
3. Transparasi : Transparasi harus dibangun dalam kerangka kebebasan
aliran informasi. Berbagai proses, kelembagaan, dan informasi harus
dapat diakses bebas oleh mereka yang membutuhkannya, dan
informasinya harus dapat disediakan secara memadai dan mudah
dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan
evaluasi;
21. 21
4. Daya Tanggap (Responsiveness) : Setiap intitusi dan prosesnya harus
diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang
berkepentingan (Stakeholders).
5. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation) Penerintah yang baik
(Good governance) akan bertindak sebagai penengah (mediator) bagi
berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai consensus atau
kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan
jika dimungkinkan juga dapat diberikan terhadap berbagai kebijakan dan
prosedur yang akan ditetapkan pemerintah;
6. Berkeadilan (equity) : Pemerintah yang baik akan memberikan
kesempatan yang sama baik terhadap laki-laki maupun perempuan
dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas
hidupnya;
7. Efektivitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency): Setiap proses
kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang
benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemenfaatan yang
sebaik-baiknya berbagi sumber-sumber yang tersedia;
8. Akuntabilitas (Accountability) : Para pengambil keputusan (decision
makers) dalam organisasi sektor publik (pemerintah), swasta, dan
masyarakat madani memiliki pertanggung jawaban (akuntabilitas)
kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para
pemilik (stakeholders). Pertanggung jawaban tersebut berbeda-beda,
bergantung apakah jenis keputusan organisasi itu bersifat internal atau
bersifat eksternal.
9. Bervisi Strategis (Strategic Vision) : Para pemimpin dan msyarakat
memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang
penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dan
pembangunan manusia (human development), bersamaan dengan
dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut. Mereka juga
memahami aspek-aspek histories, cultural, dan kompleksitas sosial yang
mendasari perspektif mereka;
10. Saling Keterkaitan (Interrelated): bahwa keseluruhan cirri good
governance tersebut di atas saling memperkuat dan saling terkait
(mutually reinforcing) dan tidak bias berdiri sendiri. Misaknya, informasi
semakin mudah diakses berarti transparani semakin baik, tingkat
partisipasi semakin luas, dan proses pengambilan keputusan akan
semakin efektif. Partisipasi yang semakin luas akan berkontribusi
kepada dua hal, yaitu terhadap pertukaran informasi yang diperlukan
bagi pengambilan keputusan, dan untuk memperkuat keabsahan atau
legitimasi atas berbagai keputusan yang ditetapkan. Tingkat legitimitasi
keputusan yang kuat pada gilirannya akan mendorong efektifitas
pelaksanaannya, dan sekaligus mendorong peningkatan partisipasi
dalam pelaksanannya. Dan kelembagaan responsive haruslah
22. 22
transparan dan berpungsi sesuai dengan aturan hukum dan perundang-
undangan yang berlaku agar keberpungsiannya itu dapat dinilai
berkeadilan.
D. Pilihan Etis Dalam Internalisasi Standar Etika Publik
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, etika organisasi pemerintah
adalah batasan pola sikap dan perilaku aparatur pemerintah dan setiap
kebijakan dan tindakannya yang dapat diterima secara umum oleh lingkungan
masyarakat di dalam negara yang bersangkutan. Bahkan sebenarnya, dengan
arus globalisasi dewasa ini maka standar etika tersebut harus pula dapat
diterima oleh lingkungan masyarakat global. Jika tidak, maka negara yang
bersangkutan akan dikucilkan dari pergaulan dunia. Untuk itu, maka dalam
upaya menyusun standar-standar etika organisasi dan aparatur pemerintah,
peranan masyarakat melalui lembaga-lembaga perwakilannya menjadi
narasumber yang penting dan strategis. Melalui serangkaian proses komunikasi
interaktif dengan berbagai lapisan masyarakat beserta lembaga-lembaga yang
merepsentasikan mereka, pemerintah dapat mengidentifikasi apa saja harapan-
harapan dan tuntutan masyarakat terhadap unstitusi pemerintah dan aparatur
penyelenggara pemerintahannya
Situasi yang dihadapi seseorang di mana keputusan mengenai perilaku yang
layak harus dibuat (Arens). Korupsi merupakan penyalahgunaan kepercayaan
dan kekuasaan jabatan publik untuk kepentingan pribadi, keluarga, teman,
kelompok atau partai politik.
Perbaikan sektor publik sebaiknya tidak hanya menekankan Good Governance,
tetapi juga pembangunan kembali institusi politik dan ekonomi dengan
menciptakan budaya etika dalam organisasi. Korupsi yang mengakar membuat
tugas etika publik untuk membangun integritas pejabat publik semakin sulit,
untuk itu membangun integritas tidak cukup hanya mengandalkan kualitas moral
tetapi harus dimulai dengan membangun budaya etika organisasi. Pelayanan
Publik yang profesional membutuhkan tidak hanya kompetensi teknik dan
leadership, namun juga kompetensi etika. Tanpa kompetensi etika, pejabat
cenderung menjadi tidak peka, tidak peduli dan diskriminatif, terutama pada
masyarakat yang tidak beruntung. Etika publik merupakan refleksi kritis yang
mengarahkan bagaimana nilai-nilai (kejujuran, solidaritas, keadilan, kesetaraan,
dll) dipraktikan dalam wujud keprihatian dan kepedulian terhadap kesejahteraan
masyarakat atau kebaikan orang lain.
E. Integrasi Nilai-Nilai Dalam Pelaksanaan Kegiatan dan Pengambilan
Keputusan
23. 23
Pelaksanaan integritas nilia-nilai berkaitan dengan penyelengaraan pelayanan
public karena pelayanan public pada hakekatnya adalah pemberian pelayanan
prima kepada masyarakat karena merupakan perwujudan kewajiban aparatur
pemerintah sebagai abdi masyarakat. Pedoman umum penyelanggaraan
pelayanan public antara lainmemuat asas pelayanan public sebagai berikut :
a. Transparasi : bersifat terbuka, mudah dapat diakses oleh semua pihak yang
membutuhakan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti;
b. Akuntabilitas : dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. Kondisional : Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima
p[elayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas.
d. Partisipatif : Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan public dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan
masyarakat;
e. Kesamaan hak : Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan ras, suku,
agama golongan, gender dan status ekonomi;
f. Keseimbangan hak dan kewajiban : Pemberi dan penerima pelayanan public
harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Adapun yang menjadi prinsip[ pelayanan public adalah sebagai berikut :
a. Kesederhanaan : Prosedur pelayanan public tidak berbelit-belit, mudah
dipahami dan mudah dilaksanakan;
b. Kejelasan : Prinsip ini mencakup :
1) Persyaratan teknis dan administrative pelayanan public;
2) Unit kerja/ pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam
memberikan pelayanan penyelesaian keluhan/ persoalan/ sengketa
dalam pelaksanaan pelayanan public;
3) Rincian biaya pelayanan public dan tata cara pembayaran.
c. Kepastian waktu : Pelaksanaan pelayanan public dapat diselesaikakan dlam
kurun waktu yang telah ditentukan, dan sah ;
d. Akurasi : Produk pelayanan public diterima dengan benar, tepat dan sah ;
e. Keamanan : Proses dan produk pelayanan public memberikan rasa aman dan
kepastian hukum;
f. Tanggungjawab : Pimpinan penyelenggara pelayanan public atau pejabat
yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan
penyelesaian keluhan/ persoalan dalam pelaksanaan pelayanan public.
g. Kelengkapan sarana dan prasarana : Tersedianya sarana dan prasarana
kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk
penyediaan teknologi telekomunikasi dan informasi ( telematika ).
h. Kemudahan akses : Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang
memadai , mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan
teknologi, telekomunikasi dan informatika.
24. 24
i. Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan : Pemberi pelayaanan harus
bersikap disiplin, sopan, santun, ramah serta memberikan pelayanan dengan
ikhlas.
j. Kenyamanan : Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang
tunggu yang nyaman, bersih, rapih, lingkungan yang indah dan sehat serta
dilengkapi fasilitas pendukung pelayanan, seperti parker, toilet, tempat
ibadah, dan lain-lain.
BAB IV
AKTUALISASI STANDAR ETIKA PUBLIK DALAM MENGELOLA
PELAKSANAAN KEGIATAN INSTANSI
Setelah membaca Bab ini, peserta Diklat diharapkan mampu menjelaskan tentang
aktualisasi standar etika publik dalam mengelola kegiatan instansi
A. Etika Publik dan Pelayanan Publik
Mustopadidjaja (1997) dalam tulisnya yang berjudul “Format Pemerintahan
Menghadapi Abad 21” dalam Jurnal Administrasi dan Pembangunan, edisi
khusus, Volume1, No. 2 Tahun 1997, hal 17 menyatakan bahwa salah satu
prinsip dalam pemerintahan adalah pelayanan, yaitu semangat untuk
25. 25
melayani masyarakat (a spirit of public service), dan menjadi mitra
masyarakat (partner of society). Untuk mewujudkan hal itu, maka diperlukan
suatu proses perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan melalui
“pembudayaan kode etik (code of ethical conducts) yang didasarkan pada
dukungan lingkungan (enabling strategy) yang diterjemahkan ke dalam
standar tingkah laku yang dapat diterima umum, dan dijadikan acuan perilaku
aparatur pemerintaah baik di pusat maupun didaerah-daerah.”
(Mustopadidjaja, 1997
1. Penekanan nilai dan norma, serta prinsip moral, maka etika publik
membentuk integritas pelayanan publik
2. Moral dalam etika publik menuntut lebih dari kompetensi teknis karena harus
mampu mengidentifikasi masalah-masalah dan konsep etika yang khas dalam
pelayanan publik
3. Etika publik mengarahkan analisa Polsosbud dalam perspektif pencarian
sistematik bentuk pelayanan publik dengan memperhitungkan interaksi antara
nilai-nilai masyaralat dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh lembaga-
lembaga publik.
B. Aktualisasi Etika Publik Untuk Melawan Korupsi
Pemerintah dan seluruh jajarannya di negara manapun sering menjadi obyek
kritikan masyarakat karena berbagai kelemahan yang dirunjukannya. Ini
adalah resiko dan sektor publik, khususnya dalam lingkungan demokrasi,
menghadapi kondisi masyarakat yang sangat bervariasi, kompleks, dan
dinamis. Organisasi pemerintahan pada umumnya dirancang sebagai sistem
birokrasi yang besar dan berorientasi kepada aturan-aturan hukum dan
perundang-undangan, serta prosedur yang baku, sehingga dalam
interaksinya dengan masyarakat cenderung kaku, rumit, lamban, bahkan
korup.
Dalam kondisi masyarakat seperti sekarang ini, pemerintah di negara
manapun telah cenderung menentukan arah dan komitmen melakukan
reformasi dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahannya. Salah
satu sumber inspirasi perubahan tersebut antara lain adalah tulisan David
Osborne dan ted Gaebler (1992) yang berjudul “ Reinventing Government:
How Entepreneurid Spirit is Transforming the Public sector” alas an mengapa
pemerintah perlu melakukan perubahan, salah satunya adalah bahwa sitem-
sistem dalam pemerintahan tidak cukup efektif membentuk kompetensi dan
kualitas sumber daya manusia yang handal. Sebaliknya sistem dalam
pemerintahan telah cenderung membentuk para birokrat menjadi kurang
responsive, lamban, berorientasi pada status-quo, korup dan sebagainya.
26. 26
Sehingga sistem-sistem yang ada dalam pemerintahan harus dirubah, bukan
manusianya.
1. Korupsi merupakan penyalahgunaan kepercayaan dan kekuasaan
jabatan publik untuk kepentingan pribadi, keluarga, teman, kelompok atau
partai politik.
2. Perbaikan sektor publik sebaiknya tidak hanya menekankan Good
Governance, tetapi juga pembangunan kembali institusi politik dan ekonomi
dengan menciptakan budaya etika dalam organisasi.
3. Korupsi yang mengakar membuat tugas etika publik untuk membangun
integritas pejabat publik semakin sulit, untuk itu membangun integritas tidak
cukup hanya mengandalkan kualitas moral tetapi harus dimulai dengan
membangun budaya etika organisasi.
C. Etika Publik dan Modalitas
Kualitas pemenuhan atau perwujudan nilai-nilai atau norma-norma sikap dan
perilaku pemerintah dalam setiap kebijakan dan tindakannya, yang dapat
diterima oleh masyarakat luas. Ini tidak berarti bahwa pemerintah sama sekali
tidak memiliki standar etika pemerintahan, akan tetapi dimendi pelaksanaan
etika tersebut mungkin yang perlu ditingkatkan.
Dengan demikian etika publik dan modalitas dapat meningkatkan kualitas
perwujudan atau pemenuhan batasan-batasan nilai atau norma sikap dan
perilaku dalam memuaskan dan membangun kepercayaan masyarakat.
Karena ntanpa kepercayaan masyarakat, pemerintah di manapun tidak akan
mampu menjalankan pemerintahanya secara befektif dan efisien.
1. Pemerintah bersih adalah syarat kemajuan suatu bangsa. Pemerintahan
korup menyebabkan kemiskinan, sumber diskriminasi, rentan konflik dan
penyalahgunaan kekuasaan. Korupsi disebabkan lemahnya integritas pejabat
publik, kurangnya partisipasi dan lemahnya pengawasan
2. Membangun integritas publik pejabat dan politisi harus disertai perbaikan
sistem akuntabilitas dan transparansi yang didukung modalitas etika publik,
yaitu bagaimana bisa bertindak baik atau berperilaku sesuai standar etika.
a) Cara bagaimana etika bisa berfungsi atau bekerja?
b) Struktur seperti apa yang mampu mengorganisir tindakan agar sesuai
dengan etika?
c) Infrastruktur semacam apa yang dibutuhkan agar etika publik
berfungsi?
3. Unsur-unsur modalitas etika yang menopang akuntabilitas dan transparansi:
27. 27
a) Kerangka penafsiran baru yang dibentuk berkat budaya etika dalam
organisasi, pelatihan etika, komisi etika, evaluasi kerja yang fokus pada
audit etika
b) Norma yang dirumuskan dalam hukum, aturan atau kebiasaan, bisa
berupa sanksi yang tegas, hukum antikorupsi kode etik yang disusun
dengan keikutsertaan representasi, mekanisme pelaporan, hotlines,
ombudsman
c) Pengawasan dalam bentuk auidit internal, audit independen,
mekanisme whistle-blowing, rotasi jabatan, media, dan kontrol civil
society.
4. Akuntabilitas berarti pemerintah harus bertanggungjawab secara moral,
hukum dan politik atas kebijakan dan tindakan-tindakannya kepada rakyat.
Tiga aspek dalam akuntabilitas:
a) Tekanan akuntabilitas pada pertanggungjawaban kekuasaan melalui
keterbukaan pemerintah atau adanya akses informasi bagi pihak luar
organisasi pemerintah
b) Memahami akuntabilitas sekaligus sebagai tanggungjawab dan
liabilitas sehingga tekanan lebih pada sisi hukum, ganti rugi dan
organisasi
c) Tekanan lebih banyak pada hak warga negara untuk bisa mengoreksi
dan ambil bagian dalam kebijakan publik sehingga akuntabilitas
disamakan dengan transparansi.
5. Transparansi dipahami bahwa organisasi pemerintah bisa
mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan dengan memberikan
informasi yang relevan atau laporan terbuka terhadap pihak luar atau
organisasi mandiri (legislator, auditor, publik) dan dipublikasikan.
6. Keterlibatan civil society di dalam proses pengambilan kebijakan publik
semakin besar dengan kemajuan teknologi karena modernisasi pelayanan
pelayanan publik mengembangkan e-Governance, sekaligus merupakan cara
dalam melawan korupsi dan mendorong terciptanya pejabat publik yang
beretika dan berintegritas.
7. Prinsip etika publik terdiri dari
a) Transparansi mengandung arti bahwa peraturan, prosedur, pelaksanaan
harus jelas dan lengkap dan dapat diketahui oleh pihak-pihak yang
melaksanakan;
b) Para Pejabat Publik baik pemerintah maupun pihak-pihak yang terlelibat
dapat mengetahui sekaligus mengawasi agar tidak terjadi
penyimpangan maupun peluang korupsi;
c) Para pejabat yang berperan harus memiliki pengetahuan dan
kompetensi dalam masalah pengadaan Barang dan jasa pemerintah;
d) Agar dana publik dan uang Negara dapat dipertanggung jawabkan
dengan benar.
28. 28
D. Etika Publik dan Integritas Publik.
1. Integritas publik dalam arti sempit tidak melakukan korupsi atau kecurangan;
2. Secara luas, tindakan sesuai nilai, tujuan dan kewajibannya untuk
memecahkan dilema moral yang tercermin dalam kesederhanaan hidup;
3. Atau kualitas dari pejabat publik yang sesuai nilai, standar, aturan moral yang
diterima masyarakat;
4. Etika publik, niat baik yang didukung oleh institusi sosial seperti hukum,
aturan, kebiasaan, dan sistem pengawasan;
5. Pembentukan moral, niat baik yang didukung oleh lingkungan dan
pengalaman yang menyediakan infrastruktur etika berupa sarana yang
mendorong dan memberi sanksi bagi yang melanggar norma-norma dalam
pelayanan publik
DAFTAR PUSTAKA
Indrawijaya, Adam I (1986), Perilaku Organisasi. Bandung,
Penerbit Sinar Baru.
Japan Associaton For Civil Service Training and Education, “How To Win Public
Confidence As Government Officials”: 100 Sheets For Effective And
Effeicient Public Administration.
29. 29
Mustopadidjaja, AR ( 1997), “Transformasi Manajemen Menghadapi Globalisasi
Ekonomi”. Dalam Jurnal Administrasi dan Pembangunan, Vol. I. No. I 997
ISSN. 1410-5101, PP PERSADI, Jakarta
Mustopadidjaja, AR, dan Desi Fernanda, (2002), Manajemen Pembangunan
Nasional: Kebijakan, Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengawasan, makalah
Disampaikan pada Susukomsos TNI-TA 1999/2000, SESKO TNI, LAN-RI,
Bandung, 28 Februari 2000.
Nainggolan, H, (1983), Pembinaan Pegawai Negeri Sipil, Jakarta, PT. Inaltu.
Osborne, David and Ted Gaebler, (1992), Reinventing Government: How
Entrepreneurial Spirit is Transformisng The Public Sector, Reading,
Massachusetts: Addisonwesley Publishing Co. Inc.
Siduman, Drs, (2001), Modul Dklat Prajabatan Golongan III: Kepegawaian,
Jakarta, LAN-RI.
Suhady, Idup dan Desi Fernanda, Modul Diklatpim Tingakt IV: Dasar-Dasar
Kepemerintahan Yang Baik, Jakarta, LAN-RI
Supriyadi, Gering, Drs, MM. (2001), Modul Diklat Prajabatan Golongan III:
“Etika Borokrasi”, Jakarta, LAN-RI.
Sayafiie, Inu Kencana, Djamaludin Tanjung, dan Supardan Mendeong, (1999),
Ilmu Administrasi Publik, Jakarta. Penerbit Rineka Cipta.
UNDP, 1997, Governance for Sustainable Development – A Policy Document,
New York: UNDP, 1999, UNDP and Governance: Experlences and
Lesson Learned Series No. 1, New York: UNDP Management
Development and Governance Divisioan, Downloaded Internet document file.
Wallis, Melcolm, (1989), Bureaucracy: Its Roles Un The Rhird Worid Development,
basing stoke: London, McMillian Publisher Ltd.
31. 31
ETIKA PUBLIK
MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
KEPEMIMPINAN TINGKAT IV
Lembaga Administrasi Negara – Republik Indonesia
Jakarta, 2014
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ………………………………………………………........ iii
DAFTAR ISI ………………………………………………………...................... v
i
32. 32
BAB I PENDAHULUAN
A. Pendahuluan ……………………………..............................
B. Deskripsi Singkat ………………………...............................
C. Hasil Belajar …………………………….... ………………….
D. Indikator Hasil Belajar ...........................................................
E. Materi Pokok……………………………………………………
F. Manfaat ………………………………………………………..
BAB II DEFINI LINGKUP DAN DIMENSI ETIKA PUBLIK
G. Pengertian dan Fungsi Etika ……………………………......
H. Pentingnya Etika Dalam Organisasi………………………....
I. Etika Kepemimpinan Aparatur……………………………....
J. Nilai-Nilai Etika Publik ................................
K. Dimensi Etika Publik……………………………………………
L. Tuntutan Etika Publik dan Kompetensi
BAB III INTERNALISASI STANDAR ETIKA PUBLIK……………………..
A. Tantangan Dalam Internalisasi Standar Etika Publik
B. Korupsi dan Konflik Kepentingan …………………..
C. Pejabat Publik dan Dilema Etika……………………….
D. Pilihan Etis Dalam Internalisasi Standar Etika Publik
E. Integrasi Nilai-Nilai Dalam Pelaksanaan Kegiatan dan Pengambilan
Keputusan …………………………………………………………
BAB IV DIMENDI ETIKA PUBLIK DALAM ORGANISASI PEMERINTAH
A. Etika Publik dan Pelayanan Publik ………………………………
B. Aktualisasi Etika Publik Untuk Melawan Korupsi…………….
C. Etika Publik dan Modalitas………………………………………...
D. Etika Publik dan Integritas Publik....................................
ii