SlideShare a Scribd company logo
1 of 29
Download to read offline
1
EDISI #16 JULI 2015
Sumber gambar:
http://mungkopas.blogspot.com/
MUDIK
2
DUKUNG MAJALAH LENTERA NEWS
DENGAN DOA DAN DANA
Kunjungi kami di sini:
Bank Nasional Indonesia
Rek.No. 0307532799 a.n. Hubertus Agustus Lidy
/LENTERA-NEWS MAJALAHLENTERA.COM
daftarisi
Tajuk Redaksi3
Telisik
4
6 Lentera khusus
10 Embun katekese
14
Opini
22 Ilham sehat
Mudik ke Pohon Zaitun
19
Rumah Joss
16
Sastra
RP Hubertus Lidi, OSC [Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi], Ananta Bangun [Redaktur Tulis], ­Jansudin
Saragih [Redaktur Foto], Rina Malem Barus [Keuangan]
Penerbit: Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Medan (KOMSOS-KAM) ­Jalan S.Parman No. 107
Telp. +62614572457 , mp. 085361618545| www.majalahlentera.com | ­redaksi@majalahlentera.com ,
beritalentera@gmail.com | Facebook Fan Page: facebook.com/lentera-news
REDAKSI
Korupsi Kini Menjadi Mode
Pelanggaran Liturgi
Dalam Perayaan
­Ekaristi (bag. II)
Kepada Yang Terhormat,
Calon Medan 1
Serangan Semut
Sinta (bag. II)
24 Pollung
Gereja & Global Warming
(bag. II)
29 Lapo Aksara
Kapak Penebang Pohon
3
Redaksi
3
TAJUK REDAKSI
Satu peristiwa besar dalam bulan ini ialah
­perayaan Hari Raya Idul Fitri 1436 H. Tidak
­hanya bagi sahabat umat Muslim, ­Redaksi
Lentera News juga tergerak menyerap
­inspirasi dalam ­momentum ini. Diantaranya
ialah semangat mudik yang lazim­berlang-
sung semenjak ­moyang kita dahulu­.
Redaksi Lentera News sungguh berterima kasih
pada bapak Ahmad Kusaeni yang berkenan
­memberi sumbangsih gagasannya perihal mudik
ini. Tentang bagaimana kita bisa ­menyelami
­ihwal dan semangat mudik dari kacamata
eks ­Pemimpin Redaksi Lembaga Kantor Berita
­Nasional (LKBN) ANTARA tersebut. Lebih dari
­sekedar sebuah tindak mengepak pakaian dan
oleh-oleh saat hendak pulang ke kampung
­halaman.
Berbicara tentang kampung halaman, tentu tak
ada salahnya mengerjapkan pandang pada kota
Medan. Tempat di mana sebagian besar awak
redaksi dan para pembaca bercokol. Meskipun
jarak waktu masih cukup lama, Vinsensius ­Sitepu
telah menguak isi hatinya kepada para insan
yang hendak mencalon di Pilkada Kota Medan.
Harapan Vinsensius untuk menemukan calon
Pemimpinyangmumpunibersih,seirama­dengan
keprihatinan Pemimpin Redaksi RP Hubertus Lidi,
OSC. Tanpa tanggung, Romo Hubert ­mengupas
isu korupsi di Medan dan Sumatera Utara. Isu
yang kini menghangat seiring penangkapan
­Gubernur Sumut oleh KPK.
Sahabat pembaca Lentera News, dalam edisi Juli
2015 ini, kami kembali mengetengahkan dua­
­karya tulis Dian Purba. Baik dalam essay ­tentang
permasalahan global warming, dan ­karya
­sastra-nya yang terbalut dalam cerpen berjudul
‘Sinta’.
Jangan lupa sempatkan waktu melirik
­perenungan Bung Joss dalam artikelnya tentang
serangan semut.
Akhirul kata, kami Redaksi Lentera News juga
mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436
H bagi sahabat pembaca dan umat Muslim yang
merayakannya.
4
RP Hubertus Lidi, OSC
hubertuslidiosc@gmail.com
KORUPSI
KINI MENJADI MODE
TELISIK | KORUPSI
U
ngkapan Korupsi
­<Perbuatannya> dan
­Koruptor <Pelakukannya>
sudah ­sangat bersahabat dengan
kita. Hampir setiap hari media-
media sosial, baik cetak maupun
­elektronik menulis, ­memberitakan,
dan ­mempertontonkannya. ­Bahkan
­korupsi itu telah menghantar
­koruptornya, bak selebritis. Ia dinanti
dan dikerumuni oleh para kuli tinta
dari dalam dan luar negeri.
Sorotan lampu kamera serta kilapan
blitz membuat aura‘sang subyek’
­menjadi makin indah saja. Seragam yang
­membalut raganya,yang seharusnya
menjadi symbol aib malah menjadi
atribut yang membuat bahu orang yang
mengenakannya‘terangkat.’Laki ­maupun
perumpuan sama saja. Hal yang ­paling
mengejutkan masyarakat ­Indonesia
adalah beberapa orang yang bekerja
di bagian rana hukum justru menjadi
­subyek dan aktor utama ­korupsip.
Beberapa saudara yang berkerja di
­Depertemen yang berurusan dengan
‘hal-hal Suci’justru memanfaatkan
­pekerjaan yang ilahi itu untuk ­korupsi.
Berkenaan dengan gencarnya korupsi
di Indonesia, suatu waktu temanku
­berseloroh,“Wan sari-sari korupsi di
negaramu, kayanya udah meresap ke
­semua orang dan semua lini ­kehidupan
ini, termasuk kepadamu.”“Ohya?”
“Yalah….siapa tahu sumbangan, ­kolekte,
dan ucapan-ucapapan ­terimakasih
yang kamu dapat, adalah dari hasil
dari korupsi.”“Ah .. bisa-bisa saja kamu.
­Bagaimanapun masih ada orang baik
di tanah Indonesia ini, wan, ”aku
­membantah kata-katanya, yang senang
mengeneralisasikan hal itu.
5
Harian kota Medan,‘Analisa’, Jumat
10 Januari 2014, memberitakan
di halaman depan;“Hasil Iktisar
Badan Pemeriksaan Keuangan 2013.
­Sumatera Utara Provinsi Terkorup di
Indonesia. Potensi kerugiannya Rp.
400.100.810. 000,-, dengan jumlah
kasus 278”. Wah….. luar biasa menjadi
sebuah prestasi gemilang. Tentu kita
bedecak dalam ketidak mengertian…
..’koh bisa ya!’Gradasi paling atas.
­Koran yang sama, pada hari sama
pula di rubrik kota, hal 6, ­menulis bah-
wa korupsi sudah ­menjadi masalah
utama bangsa, bahkan sudah pada
tahap darurat. Luar biasa seakan kita
sedang hidup di dunia angkara murka
yang buram durjana.
Pertanyaan di balik ini semua adalah:
apakah pemberitaan, seremoni Pra
Penahanan, uniform, dan hukuman
penjara, dll itu mendatangkan efek
jera? Kita tetap berharap upaya-upaya
dari penegak hukum secara khusus
dari KPK, bisa membantu mengurangi
dan tidak menambah subyek yang
baru, lebih jauh dari itu menyiapkan
sebuah generasi yang bermental“say
no to corruption”
Secukupnya Vs Berlebihan
Ada sebuah Doa Katolik‘Bapa
Kami’yang selalu didoakan oleh
orang-orang Katolik pada setiap
­kesempatan. Dari sekian ­permohonan
yang termaktub dalam rumusan
doa itu, ada satu permohonan
yang berkaitan dengan Rezeki
atau Nafkah. Menarik kalau kita
­refleksikan ­bersama, berkaitan
dengan topik ­Korupsi. Para Jemaat
Katolik ­bermohon:“Berilah Kami
rezeki secukupnya pada hari ini.”
­Secukupnya dalam konteks ini adalah
yang wajar dan pas, sesuai den-
gan kebutuhan. Dengan kata lain
­menghindari mentalitas yang menim-
bun rezeki.
Para jemaat, berasumsi dalam
iman, bahwa mentalitas ­menimbun
rezeki yang berlebihan lawan
dari ­secukupnya membuat sang
­penimbun menjadi rakus alias tamak
dan tidak segan-segan mencaplok
hak orang lain demi ­memenuhi
hasrat serakahnya. ­Korupsi yang
­dipertontonkan ­sekarang ini
­adalah mode penimbunan harta
yang ­berlebihan dengan cara
­mencaplok hak orang lain sehingga
­menimbulkan kerugian pada pihak
lain. Mentalitas yang dipertotonkan
kepada kita adalah orang menjadi
tidak mau tahu dan tidak perduli
­dengan orang lain, yang penting diri
dan kroninya menikmati.
Aspek lain membuat sang ­penimbun
itu menjadi licik dan ­lihai. Licik dalam
konteks ini ialah ­memanfaatkan
kuasa dan wewenang yang
­dipercayakan kepadanya demi
­kepentingannya. Lihai dalam konteks
ini ialah­‘mengotak-ngatik’aturan
dan ­kebijakan demi membenarkan
dan memuluskan akal bulus alias
akal gundulnya. Yang menarik para
­tersangka korupsi dan koruptor selalu
berteriak hak azazi manusia, kala
mereka ditangkap oleh pihak-pihak
yang berwajib.
Tanpa sadar mereka sedang
­mempromosikan diri sebagai
Pejuang hak azazi yang merusak hak
azazi itu sendiri. Lagi-lagi temanku
­berkomentar:“Wan, kalau kepandaian
­berbohong, kelicikan dan ­kelihaian
para koruptor itu diformulasikan
­untuk sebuah kebaikan, pasti bangsa
ini maju dan rakyaknya sejahtera.
Benar juga sih!”
(bersambung)
Copyright ilustrasi: HarianTerbit.com
Pertanyaan di balik
ini semua adalah:
apakah pemberitaan,
seremoni pra Pena-
hanan, uniform, dan
hukuman penjara,
dll itu mendatangkan
efek jera?
“
6
LENTERA KHUSUS | MUDIK
M
udik adalah kata yang paling ­sering
diucapkan pada hari-hari terakhir
­menjelang Hari Raya Idul Fitri. Orang-
orangmembicarakanmudikdimanasaja,dilobi,
di lift, di tempat kerja, di mesjid atau ­mushola,
bahkan di dapur.
Sugianti, asisten rumah tangga di rumah saya, ­sejak
mempersiapkan sahur untuk puasa hari ­pertama sudah
sibuk merencanakan mudiknya. Ia ­membelanjakan uang
THR yang diberikan isteri saya untuk membeli android
dan langganan paket internet.
“Biar di kampung nanti gampang upload ­facebook dan
Instagram,” katanya dalam suatu obrolan ­dengan isteri
saya di dapur sambil mempersiapkan kolak pembuka
puasa.
Sugianti yang sudah bekerja di rumah lebih 3 tahun itu
cukup aktif di media sosial. Akun facebooknya dengan
nama alter “AiCko BarbIe-cweett” ramai diisi postingan
soal rencana mudik sesama asisten rumah tangga.
“Tiap buka fb..ngliat sttus otw otw otw. ­Kampung
halman muluk..... “Kok pda lbih awal ya ­pulangnya..
Ongkos.y msih murahh x..hahahaha,” ­begitu ­postingan
Sugianti yang ramai di-likes dan ­dikomentari teman-
temannya yang juga semangat 45 untuk pulang ke
­kampung ­halaman di Kendal, Jawa Tengah.
Sugianti dan Tuyono, sopir saya, adalah bagian dari 20
juta orang yang akan mudik dari Jakarta ke ­berbagai
daerah diTanah Air. Saya sendiri yang asal Lebak, daerah
di Banten yang hanya sekitar 80 km dari Jakarta, selalu
merasa kikuk kalau ada yang nanya apakah saya lebaran
ini mudik apa tidak.
MUDIK
KE POHON ZAITUN
oleh : Ahmad Kusaeni
7
“Saya nggak mudik, cuma geser pantat
ke Lebak,” begitu selalu jawaban saya.
Orang Betawi tentunya lebih kikuk dari
saya kalau ditanya soal mudik.
Mengapa banyak orang, tak peduli
­pembantu rumah tangga, sopir atau
­direktur, selalu bersemangat untuk
­mu­dik ­lebaran?
Jawabannya pasti beraneka ragam. Bisa
dijawab dari berbagai macam segi baik
itu agama, ekonomi, sosial dan budaya.
Sudah banyak kajian dari ipoleksosbud
hamkanas seperti itu.
Yang akan saya sampaikan di tulisan
ini adalah alasan yang dilatarbelakangi
­kajian dari bukuThomas L Friedman yang
berjudul “The Lexus and the Olive Tree
(Understanding Globalization)” ­terbitan
Anchor Book tahun 1999.
Friedman adalah kolumnis beken dari
koran The New York Times. Ia menulis
bahwa di zaman globalisasi sekarang
ini, ­meskipun orang sudah maju dan
hidup dalam teknologi tinggi, tetap saja
­memerlukan akar rumput budayanya
dan asal mula dirinya.
Lexus dan pohon zaitun adalah simbol
yang pas untuk menggambarkan kondisi
zaman globalisasi sekarang ini. Lexus
yang merupakan merk mobil termahal
dan tercanggih adalah simbol kemajuan.
Sedangkan pohon zaitun yang banyak
tumbuh di kawasan Israel dan Masjidil
Aqsa adalah simbol kepurbaan atau asal
muasal kemanusiaan.
Modernisasi,privatisasidan­pertumbuhan
ekonomi, serta ­perkembangan teknologi
memungkinkan orang untuk menikmati
kemajuan dan kehidupan yang tidak bisa
lagi dibatasi oleh ruang dan perbatasan.
Tapi, pohon zaitun tetap penting.
	
Pohon zaitun memanifestasikan akar
kita sebagai manusia, ia merupakan
jangkar tempat berlabuh kita, yang bisa
­mengidentifikasi kita dan ­menempatkan
titik kita di dunia ini. Pohon zaitun bisa
berbentuk keluarga, komunitas, suku
bangsa, atau yang paling mendasar
­adalah tempat yang kita sebut sebagai
“rumah”.
Kehangatan keluarga
Pohon zaitun adalah apa yang bisa
­memberikan kita kehangatan ­keluarga,
persahabatan, keintiman personal
dan ­ritual, kedalaman hubungan antar
­pribadi, silaturahmi, dan juga keamanan
dan­ketentramandiriketika­berhubungan
dengan “ayah, ibu, om, tante, kakek,
nenek, cucu, sepupu, kawan-kawan masa
kecil”.
Kitaberjuangkerasdalamkehidupankita,
meniti karier, bekerja, mencari nafkah
dan sesuap nasi. Sedikit demi sedikit kita
mengumpulkan harta dan kekayaan. Kita
berkelana, bermigrasi dan pindah kota.
	
Di tempat baru kita menjadi sesuatu,
­memiliki pekerjaan, dan juga kekayaan.
Tapi, sebagai manusia, kita tidak bisa
menjadi manusia yang utuh seutuhnya
sendirian.
Kita tidak bisa menjadi kaya sendirian.
Kita tidak bisa menjadi pintar sendirian.
Kita tidak bisa menjadi orang terhormat
sendirian.
	
Kita baru merasa komplit dan kaffah
­sebagai manusia bila ada manusia lain
yang mengakui dan ikut ­menikmati
apa yang kita miliki. Untuk itu kita
­membutuhkan akar, rumah, kampung,
yang bisa ­menjadi pohon zaitun kita.
	
Setahun sekali pada saat lebaran orang
merasa harus mudik. Ia kembali ke ­pohon
zaitunnya, akar kehidupannya yang
­purba, dan menyiraminya dengan air
yang mereka bawa, uang yang mereka
bagikan ke sanak saudara, atau sekadar
kisah suka dan duka menaklukan Jakarta.
Kembali ke akar itulah makna mudik
yang paling hakiki. Sejenak di kampung
halaman kita isi baterai kehidupan kita
yang kering kerontang untuk kembali ke
tempat pengelanaan kita.
	
Selamat mudik dan ­bersukacitalah
­kembalikeakarpurbamu,wahai­manusia.
(Akhmad Kusaeni adalah mantan ­Direktur
PemberitaanLKBNAntara,mendapat­Masterof
Arts dari Ateneo de Manila ­University, Filipina)
Copyright ilustrasi: Litbang.Depkes.go.id
Kita baru
­merasa ­komplit
dan ­kaffah
­sebagai
­manusia bila
ada ­manusia
lain yang
­mengakui dan
ikut ­menikmati
apa yang kita
­miliki.
Untuk itu kita
­membutuhkan
akar, rumah,
kampung, yang
bisa ­menjadi
pohon zaitun
kita
“
10
EMBUN KATAKESE | LITURGI
PELANGGARAN LITURGI
DALAM PERAYAAN EKARISTI
OLEH:
Katolisitas.org
11
Selama ­Liturgi
Sabda, ­sangat
­cocok ­disisipkan
saat ­hening
­sejenak,
­tergantung pada
­besarnya jemaat
yang ­berhimpun.
Saat ­hening
ini ­merupakan
­kesempatan
bagi umat ­untuk
­meresapkan
­sabda ­Allah
“
Pada edisi Juni lalu, telah ­dipaparkan
dua pelanggaran dalam bagian-bagian
Misa Kudus. Berikutnya akan kembali
dilanjutkan pada tiga ­pelanggaran
­lainnya yang umum terjadi.
3. Kurangnya saat hening.
Seharusnya:
PUMR 45 Beberapa kali dalam Misa
­hendaknya diadakan saat ­hening.
Saat hening juga ­merupakan bagian
­perayaan, tetapi arti dan ­maksudnya
berbeda-beda menurut makna ­bagian
yangbersangkutan.­Sebelum­pernyataan
tobat umat ­mawas diri, dan sesudah aja-
kan untuk doa ­pembuka umat berdoa
dalam hati. Sesudah bacaan dan homili
umat merenungkan sebentar amanat
yang didengar.Sesudah komuni umat
­memuji Tuhan dan berdoa dalam hati.
Bahkan sebelum perayaan ­Ekaristi,
­dianjurkan agar keheningan
­dilaksanakan dalam gereja, di ­sakristi,
dan di area sekitar gereja, sehingga
­seluruh umat dapat ­menyiapkan diri
untuk ­melaksanakan ibadat dengan
cara yang khidmat dan tepat.
PUMR 56 Liturgi Sabda haruslah dilak-
sanakan sedemikian rupa ­sehingga men-
dorong umat untuk ­merenung. Oleh ka-
rena itu, setiap bentuk ketergesa-gesaan
yang ­dapat mengganggu ­permenungan
harus ­sungguh ­dihindari. Selama
­Liturgi Sabda, sangat cocok ­disisipkan
saat ­hening sejenak, ­tergantung pada
­besarnya jemaat yang ­berhimpun. Saat
­hening ini ­merupakan ­kesempatan
bagi umat untuk ­meresapkan sabda
­Allah, ­dengan dukungan Roh Kudus,
dan ­untuk menyiapkan jawaban dalam
­bentuk doa. Saat hening ­sangat
tepat ­dilaksanakan sesudah bacaan
­pertama, sesudah bacaan kedua, dan
sesudah homili.
4. Diizinkannya seorang awam ­untuk
berkhotbah/ ­memberikan kesaksian
di dalam homili ­(misalnya untuk
mengisi homili Minggu ­Panggilan,
­homili di misa requiem, ataupun
­kesempatan khusus lainnya).
Seharusnya:
RS 64 Homili yang diberikan dalam
rangka perayaan Misa ­Kudus, dan yang
merupakan bagian utuh dari liturgi
itu “pada umumnya ­dibawakan oleh
Imam perayaan. Ia dapat ­menyerahkan
tugas ini kepada salah seorang imam
­konselebran, atau kadang-kadang, ter-
gantung situasi, kepada diakon, tetapi
tidak pernah kepada seorang awam….”
RS 66 Larangan terhadap orang
awam untuk berkhotbah dalam Misa,
­berlaku juga untuk para ­seminaris, ­untuk
­mahasiswa teologi dan ­untuk orang
yang telah diangkat dan ­dikenal ­sebagai
“asisten pastoral”; tidak boleh ada
­kekecualianuntukorangawamlain,atau
kelompok, ­komunitas atau ­perkumpulan
apa pun.
RS 74 Jika dipandang perlu bahwa
­kepada umat yang berkumpul di dalam
gereja, diberi instruksi atau ­kesaksian
tentang hidup Kristiani oleh seorang
awam, maka sepatutnya hal ini dibuat
di luar Misa. Akan tetapi jika ada alasan
kuat, maka dapat ­diizinkan bahwa suatu
instruksi atau kesaksian yang ­demikian
­disampaikan setelah Doa ­sesudah
­Komuni. Namun hal ini tidak boleh
­menjadi kebiasaan. Selain itu, instruksi
atau kesaksian itu tidak boleh bercorak
seperti sebuah homili, dan tidak boleh
homili dibatalkan ­karena ada acara
­dimaksud.
RS67Perlulahdiperhatikan­secara­khusus,
agar homili itu ­sungguh ­berdasarkan
misteri-misteri ­penebusan, dengan
menguraikan misteri-misteri iman serta
­patokanhidupKristiani,­bertitiktolakdari
bacaan-bacaan Kitab Suci serta teks-teks
liturgi ­sepanjang ­tahun liturgi, dan juga
memberi ­penjelasan tentang ­bagian
umum ­(Ordinarium) maupun ­bagian
khusus (Proprium) dala Misa ataupun
suatu perayaan gerejawi lain…..
5. Pemberian Salam Damai yang
­dilakukanterlalumeriahdan­panjang,
sampai imam turun dari panti imam.
Seharusnya:
RS 71 Perlu mempertahankan
­kebiasaan seturut Ritus Romawi, ­untuk
12
saling menyampaikan salam damai men-
jelang Komuni. Sesuai ­dengan tradisi Ritus
Romawi, ­kebiasaan ini ­bukanlah dimak-
sudkan ­sebagai ­rekonsiliasi atau pengam-
punan dosa, melainkan mau menyatakan
damai, persekutuan dan cinta sebelum
­menyambut Ekaristi Mahakudus. Segi re-
konsiliasi antara umat yang hadir ­lebih
diungkapkan dalam ­upacara ­tobat pada
awal Misa, ­khususnya dalam rumus per-
tama.
RS 72 “Salamdamaihendaknyadiberikan
oleh setiap orang hanya kepada mereka
yang terdekat dan dengan suatu cara yang
pantas.” “Imam boleh memberikan salam
damai kepada para pelayan, namun tidak
meninggalkan panti imam agar jalannya
perayaan jangan terganggu….”
Salam Damai perlu dipertahankan, han-
ya hal dinyanyikan atau tidak, itu tidak
secara eksplisit dinyatakan di dalam
dokumen Gereja. Bagi yang memilih
untuk ­menyanyikannya, dasarnya ka-
rena menganggap ­bahwa nyanyian itu
merupakan cara ­menyampaikan damai.
­Sedangkan yang tidak menyanyikannya,
­kemungkinan menganggap bahwa hal
dinyanyikannya Salam Damai tidak ek-
splisit disyaratkan dalam dokumen Ger-
eja, dan karena jika dinyanyikan malah
dapat mengganggu pusat perhatian saat
itu yang seharusnya difokuskan kepada
Kristus. Jika kelak ingin diseragamkan,
maka pihak KWI-lah yang berwenang un-
tuk menentukan apakah Salam Damai ini
akan dinyanyikan atau tidak dinyanyikan.
Pelanggaran dalam hal penerimaan
Komuni:
1. Umat mencelupkan sendiri Hosti ke
dalam piala anggur.
Seharusnya:
RS 94 Umat tidak diizinkan mengambil
sendiri–apalagimeneruskankepadaorang
lain- Hosti Kudus atau Piala kudus.
RS 104 Umat yang menyambut, tidak
­diberi izin untuk mencelupkan sendiri
hosti ke dalam piala; tidak boleh juga ia
­menerima hosti yang sudah dicelupkan itu
pada tangannya…..
PUMR 160 Umat tidak diperkenankan
mengambil sendiri roti kudus atau piala,
apalagi saling memberikannya antar
mereka. Umat menyambut entah sambil
berlutut atau sambil berdiri, sesuai dengan
ketentuan Konferensi Uskup…
Pada hakekatnya Komuni adalah ­sesuatu
yang “diberikan” oleh Kristus: ­“Terimalah
dan makanlah inilah Tubuh-Ku yang
­diserahkan bagi-Mu…. Terimalah dan
minumlah, inilah darah-Ku yang
­ditumpahkan bagimu….”. Jadi bukan
sesuatu yang dapat diambil sendiri.
2. Pengantin saling menerimakan
­Komuni.
Seharusnya, tidak boleh:
RS 94 Umat tidak diizinkan ­mengambil
sendiri- apalagi meneruskan kepada
orang lain- Hosti Kudus atau Piala kudus.
Dalam konteks ini harus ditinggalkan juga
­penyimpangan di mana kedua mempelai
saling menerimakan Komuni dalam misa
perkawinan.
Ekaristi kudus adalah kurban Kristus, dan
diberikan oleh Kristus (melalui imam
­ataupun petugas pembagi Komuni
tak ­lazim yang diberi tugas tersebut),
­sehingga bukan untuk saling diterimakan
oleh umat sendiri.
(bersambung...)
13
14
KOLOM “RUMAH JOSS” | SEMUT
Yoseph Tien
Wakil Ketua ­KomIsi
Kepemudaan di
­Keuskupan Agung
Medan
14
Pkl. 03.00 WIB, ketika saya baru saja
­tidur, tiba-tiba bagian punggung
­terasa nyeri, seperti disengat listrik.
­Terbangunlah saya secara spontan,
­rupanya ada banyak semut diatas
­tempat tidur, tepatnya dibawah ­bantal.
Serangan semut yang serupa, pada
malamminggukemarinjuga­membuat
istri saya harus terbangun tengah
malam, bahkan mengungsi ke kamar
anak-anak.
Pagi ini semut menyerang lagi. Dan kali
ini, titik serangan dan targetnya adalah
saya. Jitu! Hehehe...
Memang beberapa bulan terakhir
ini, semut sepertinya sedang ramai-
ramainya mengunjungi rumah kami.
Semut selalu ada pada hampir ­semua
penjuru rumah. Mungkin karena
­penghuni rumah kami manis-manis
dan segala isi rumahnya juga manis-
manis. Hahaha...
Setelah melakukan prosedur­‘pulbaket’
atau pengumpulan bahan dan
­keterangan, saya melihat sendiri
­bahwa rupanya satu-satunya jalan
masuk semut-semut tersebut adalah
melalu lubang angin pada dinding
­belakang dapur kami.
Setelah mengetahui locus tersebut,
berbagai cara kami lakukan ­untuk
menghadang pasukan merah mungil
ini. Mulai dari penggunaan baygon,
jeruk, kapur barus, dan entah ­apalagi.
Setelah operasi kami ­lakukan, ­mereka
hilang dan tak muncul, ­namun
­beberapajamkemudianatau­besoknya
mereka muncul lagi.
Akhirnya kami jadi terbiasa, bahkan
sepertinya kami mulai mengakrabi
mereka. Haha..! Kami tak pernah lagi
melakukan operasi penghadangan
atau operasi militer alias perang.
Tapi dua hari ini, tampaknya mereka
mulai menyerang ring satu, pusat ken-
dali nuklir, markas komando alias tem-
pat tidur pemilik rumah. Gawat!
Perang total tampaknya harus
­dimainkan! Semoga ada bantuan dari
para sahabat tentang strategi perang,
apakah perang gerilya atau strategi ala
Sun Tzu.
***
Belajar dari semut
Pagi ini setelah terbangun, saya
­membaca status facebook seorang
sahabat, tentang bagaimana caranya
seekor yang gajah mati dapat ­dimakan
semut dan jawaban tersuratnya
­semut makan secara ­perlahan-lahan
jawaban tersiratnya semut makan
­bersama-sama.
Pesan dari status kawan saya tersebut,
bahwa sebesar apapun ­masalahnya,
­selesaikan sedikit demi sedikit atau
­tahap demi tahap alias tak bisa
­sekaligus.
Saya kemudian teringat dengan ­semut
yang masuk ke rumah kami, bahwa
ternyata mereka melewati sebuah
tembok yang sangat tinggi, mungkin
ribuan kali panjang tubuhnya sendiri.
Tiada jalan mundur dalam diri semut.
Ketika mereka menghadapi masalah,
SERANGAN SEMUT
1515
tembok tinggi, mereka memanjatnya, naik ke
atas. Mereka maju terus, tidak meratapi ­tingginya
­tembok, apalagi balik kanan dan pulang. Bagi
­mereka pulang harus membawa hasil.
Perjuangan pasukan semut mengais atau ­mencari
makan, selalu dilakukan bersama-sama. Dan bila
panen tiba, mereka panen bersama-sama, lalu
menikmatinya juga bersama-sama.
Siapapun diantara pasukan semut tersebut, yang
pertama kali menemukan makanan, dia akan
­memanggil teman-temannya, para saudaranya
dan memberitahu bahkan mengantar teman
atau ­saudaranya menuju ke sumber makanan itu,
lalu bersama-sama mereka menikmati bahkan
­membawa pulang makanan tersebut.
Pada daerah-daerah dekat sumber makanan, ­semut
membangun sarang atau rumah mereka. Di sana,
mereka tinggal dan hidup bersama, bekerja dan
makan bersama. Semut tahu, bahwa mereka tak
bisa hidup sendiri, mereka harus hidup ­bersama
dan bekerja sama. Semut tahu, bahwa mereka harus
‘dekat sumber makanan’!
Dalam kehidupan sehari-hari, sedang dalam
­perjalanan apapun mereka, para semut akan ­selalu
­berhenti dan saling ‘berciuman’, saling menegur
sapasatusamalain.Semutjugatahuarti­pentingnya
komunikasi secara langsung! Kata demi kata, wajah
berhadapan wajah!
Jadi, kita bisa belajar tentang kehidupan dari
­perilaku semut:
1) Ketika menghadapi masalah, tetaplah maju
­terus menghadapi masalah tersebut dan per-
cayalah ­bahwa selalu ada jalan ke atas. Tembok
­tantangan adalah jalan naik mencapai puncak.
Pantang ­menyerah dan selalu berusaha mencari
‘lubang’ penyelesaian, itu penting. Setiap masalah
sebesar apapun, hendaknya diselesaikan tahap-
demi ­tahap secara cermat dan pasti.
2) Dalam hidup bersama, kerjasama dan
­sama-sama kerja sungguh merupakan sesuatu
yang mutlak dan mampu membuat kita melakukan
banyak hal besar.
3) Dalam hal rejeki, apapun bentuk dan warnanya,
semangatberbagihendaknyaselalu­diperjuangkan
terus menerus. Berapa banyakpun yang kita
­peroleh, selalu ada bagian orang lain di dalamnya.
4) Hidup bersama yang harmonis hanya ­terbangun
dari komunikasi efektif dan penuh cinta, yang
­terdorong dari semangat membuka diri dan
­menerima kelebihan-kekurangan sesama apa
­adanya. Dalam bekerja, semut selalu berbaris
­dengan rapi dan tertib.
5) Ketika menghadapi ‘musuh’, dan tak cukup
­bertahan saja, terpaksa harus menyerang,
seranglah mereka secara bertahap, mulai dari
pinggir-pinggir kemudian masuk ke tengah pada
‘pusat kendali nuklir’.
Para Sahabat Joss Terkasih,Semoga 5 pelajaran dari
semut ini bermanfaat mengawali Senin Ceria kita
masing-masing.
SERANGAN SEMUT....Serangkai Ancaman dan Tan-
tangan....Selalu Engkau Mampu Untuk Teruji! Per-
cayalah..!
Salam Joss..!
16
Vinsensius G.K. Sitepu
Founder Komunitas Mahapala
be_web2001@yahoo.com
OPINII | POLITIK
KEPADA YANG TERHORMAT,
CALON MEDAN 1
Saya lahir di Bandung pada tahun
1982. Sekadar“menumpang lahir”,
dari kota itu, setahun kemudian,
saya dibesarkan di Medan, kota
besar sarat hiruk pikuk. Hingga 32
tahun kemudian, saya adalah salah
satu dari warga Medan lainnya seba-
gai saksi hidup pembangunan yang
penuh dinamika. Maka, kepada para
calon pemimpin Medan, ­tulisanku
ini adalah lukisan luka di hati.
Engkau jangan menghempasnya,
jikalau tidak ingin kau sentuh. Saya
tahu pasti hatimu tahu, walau tidak
membacanya.
Tiga kalimat terakhir itu adalah
plesetan atas syair lagu apik yang
dibawakan oleh Hedi Yunus pada
tahun 1990-an, tentang curahan
isi hati seorang anak manusia
yang sedang jatuh cinta. Ia in-
gin ­diperhatikan dan ingin kasih
sayang. Sebagai sebuah pesan
­komunikasi, tiga kalimat itu paling
layak ­dikumandangkan ­menjelang
­perhelatan pemilihan Walikota
­Medan alias Medan 1, tentang
­beragam kegundahan banyak anak
Medan hebat mengenai kota yang
kian tidak ramah ini.
Mengharapkan Medan berubah
seperti yang tergambar dalam
benak kita, mestilah dimulai dari
­mendorong calon pemimpin
yang benar-benar memahami
hasrat ­paling hakiki orang Medan,
serta tentu saja setiap individu
warga yang harus kerap tertunduk
­bercermin, tidak berharap seratus
persen kepada pemimpin. Mimpi
idealnya adalah sifat kerjasama dan
komunikasi yang efektif di antara
17
Kami berharap
hidup hari
ini di Medan
­adalah mimpi
­buruk, ­tetapi
­kenyataannya
tidak. Sekuat
apapun kami
­mencubit, ia tetap
nyata.
Tanpa kejujuran,
ketulusan, serta
kerja nyata dan
tegas, calon Medan
1 akan tampak
kerdil dan rendah
di hadapan warga
“
pemimpin dan warga kota.
Sekali peristiwa dan setiap pertemuan
sebelumnya, termasuk beragam artikel
di halaman ini, kalau ­membincangkan
kota Medan, wacana yang selalu
mengemuka adalah, pertama jalan
kota yang rusak tidak terawat. Kedua,
orang Medan masih bisa hidup tanpa
walikota. Ketiga, orang Medan itu
­individualistis. Keempat, angkutan kota
terlalu banyak dan tidak digantikan
mass rapid transportation. Kelima,kok
sok kali menyebut Medan Kota
­Metropolitan? Keenam, di atas semua
itu, sebagian dari jajaran pemimpin
kota ini tidak ­memiliki kepedulian
yang tinggi, karena ­moralnya ­bobrok.
Dan ketujuh, masalah itu semakin
­bertambah. ­Ketujuh masalah itu
­berlangsung selama lebih dari dua
dekade. Bayangkan, 20 tahun!
Tentu saja kita iri dengan Kota Bogor
dan Bandung yang memiliki pemimpin
yang berhasil membuat gebrakan
­signifikan, walaupun permasalahan
mendasar kurang dalam tersentuh.
Medan, seperti Bogor dan Bandung
masih pening kepalanyamengurus
kemacetan lalu lintas. Padahal kalau
mau jujur, kalau pajak mobil ­sebagai
kendaraan mewah ­dinaikkan tiga kali
lipat, serta pembatasan ­kepemilikan
kendaraan bermotor roda dua
­dilakukan, kemacetan tidak akan
muncul. ­Kenyamanan bertransportasi
­digantikan dengan bus dalam kota
yang nyaman.
Kepadatan tinggi lalu lintas Medan
membawa preseden buruk dan
­berdampak negatif. Ambulans
yang seharusnya lekas membawa
pasien ke ­rumah sakit, harus pasrah
­“terjepit”di tengah jalan. Bunyi sirene
yang ­meraung lebih terasa seperti
­suara orang bodoh yang memelas.
­Sebelum terjepit meraung, ambulans
tentu saja sudah masuk ke lubang
­jalanan. Kalau saja pasiennya adalah
­seorang ­perempuan hamil, ia berisiko
­melahirkan di ­ambulan. Tetapi jujur,
saya berharap ada sapi di jalan yang
berkubang itu.
Di masa depan, Medan harus ber-
solek kemuliaan dan kesejahteraan-
nya dan saya yakin ini, bagi sebagian
orang ­adalah absurd. Di Medan kelak
tidak ada lagi kemacetan kendaraan
­bermotor yang menambah polusi
udara. Ia digantikan dengan budaya
bersepeda atau pilihan kendaraan
ramah lingkungan. Moda transportasi
publik lebih banyak, termasuk kereta
bawah tanah. Para pengusaha kecil
menjadi lebih tertib, karena pindah
dari trotoar ke tempat yang lebih layak,
rapi dan bersih. Pusat bisnis ini tentu
saja harus memiliki lahan parkir yang
luas, tidak seperti kondisi di pasar-pasar
tradisional saat ini. Dengan demikian
pelebaran atas jalan kota yang ­sempit
seperti sekarang ini dapat dapat
­dilakukan.
Wacana kedua dan ketiga ­berkorelasi
erat, bahwa seseorang akan
­menilai dirinya berdikari, tatkala
­muncul ­pemimpin kota yang tidak
­
berkompeten menata ­pembangunan
yang merata dan berkeadilan.
­Perkataan,“Kami bisa hidup tanpa
­pemimpin.”adalah pseudo-entity,
­tampak nyata, tetapi rapuh dalam
perjalanan. Benar orang Medan dapat
hidup tanpa walikota, karena ­walikota
tidak bekerja keras menghidupi
kota. Walikota yang bekerja layaknya
­kapitalis-manajerial dan bukan kapitalis
sejati menghasilkan Medan yang penuh
tikus yang rakus uang.
Kapitalis-manajerial mencari uang
untuk dirinya, sedangkan kapitalis sejati
mencetak uang sendiri bagi dirinya
termasuk orang lain, karena tipe ini
mengajak orang bekerja bersamanya,
lalu menularkan semangat bekerja itu
membentuk perusahaan lain. Itulah
semangat menjadi kupu-kupu, bukan
sekadar kepompong.
Anggapan karakter individualistis
­adalah resultan kepemimpinan kota
yang tidak akur dengan warganya.
Alhasil secara konkret dalam ­membuka
perusahaan rintisan ­misalnya, ­sulit
mencari rekan yang bisa diajak
­kerjasamanya. Yang membuat miris,
ide kita dicaplok lalu mendirikan
­perusahaan rintisan dengan karakter
yang serupa bersama rekanan lain
yang dipikirnya bisa dengan cepat
­mendulang laba. Mengapa tidak
18
­misalnya, dengan satu ide serupa dipadu-
kan dengan tujuan ­menghasilkan profit
besar, ketimbang ­terpecah-pecah bentuk
usaha yang kurang solid ­berencana.
Gambaran Medan tidak punya ­pemimpin
adalah gambaran ketidaktegasan
­pemimpin, seperti misalnya menertibkan
pedagang kaki lima dengan cara santun
atau misalnya mendidik pengendara
­kendaraan bermotor agar disiplin berhenti
di belakang garis zebra cross tatkala lampu
merah menyala. Ketidaktegasan pemimpin
adalah entitas nyata gagalnya pemimpin
berkomunikasi dengan warga. Pemimpin
gagal mengakomodir keinginan warga
untuk maju lebih baik, hingga dengan
soknyamemamerkan sebutan Medan
Kota Metropolitan. Bukankah itu sangat
­menjijikkan?
Tren dan pola pemimpin muda
Mengambil contoh menggembirakan
dari pemimpin kota Bima Arya Sugiarto
dan Ridwan Kamil adalah gambaran tren
dan pola kepemimpin publik yang paling
­mencolok di tengah perubahan dunia.
­Untuk menyebut yang lebih hebat adalah
si muda kaya raya seperti Mark Zucker-
berg, Sergey Brin dan Larry Page, dan
Merry Riana. Pemimpin muda ternama
dan kaya bukan tidak mungkin diusung
oleh ­kemajuan teknologi informasi, di
mana komunikasi berlangsung cair dan
relatif terbuka. Percepatan era itu lebih
cepat, sekitar 15 tahun perubahannya.
Bandingkan dengan Era Revolusi Industri
yang perlu waktu beberapa dekade untuk
mencapai kebulatannya.
Tren anak muda sebagai pemimpin adalah
cerminan bahwa orang-orang kini lebih
rasional memilih, bahwa orang-orang
lama yang didominasi orang-orang tua
yang lebih senior diasosiakan tak lagi
­berkompeten memimpin. Bahwa kondisi
ini didorong pula oleh faktor bonus
­demografi, di mana orang-orang ­Indonesia
berusia produktif sudah ­berjumlah
140 juta orang yang memiliki harapan
lebih baik tentang masa depannya. Ini
­artinya orang-orang muda lebih kreatif
­menelurkan beragam gagasan segar dan
punya tekad mewujudkannya.
Namun demikian, mengusung para
­pemimpin muda naik menjadi ­pemimpin
Kota Medan masih menyimpan ­halangan.
Sebut saja misalnya, anggapan bahwa
orang muda Medan tidak ­memiliki
­pengalaman memimpin serumit
­memimpin kota yang sarat birokratik.
­Pemimpin muda kota Medan selanjutnya
harus lahir dari kepemimpinan ­organisasi
kepemudaan yang juga kompleks
dan memiliki jam terbang tinggi pada
­program-program berkarakter penguatan
yang pernah dijalankannya. Pengalaman
memimpin organisasi di kampus, tentu
saja menjadi nilai tambah.
Harus diakui beragam organisasi
­kepemudaan di Medan, tetapi sepak
terjangnya tidak terlalu dirasakan oleh
masyarakat luas. Kalau mau ­jujur ­organisasi
kepemudaan di Medan masih banyak yang
pragmatis dan hanya ­mengunggulkan
kepentingan pribadi ­untuk naik ke
­tingkat berikutnya yang ­lebih tinggi. Ya,
­pokoknya geraknya di ­situ-situ saja. Saya
tidak ­mengatakan mereka jahat atau
­memiliki motif jangka ­pendek, namun
karena didera bisikan ­anggota lain, alhasil
­program organisasi tidak menjadi besar. Ia
sehausnya mengarah ke lembah, di mana
masyarakat merasakannya demi tujuan
jangka panjang.
Contoh misalnya, belum ada program kerja
organisasi kepemudaan yang mendorong
secara total perihal pengembangan
ekonomi kreatif di Medan. Orang-orang
Medan yang kreatif, seperti penyanyi justru
berangkat ke Jakarta untuk mengail rejeki,
tidak mengembangkan bersama kawan-
kawan di Medan untuk bersaing dengan
kota lain. Padahal kalau mau ditelisik lebih
jauh, potensi ekonomi kreatif tidak kalah
dengan anak muda di kota lainnya di
Indonesia.
Organisasi kepemudaan ataupun
­komunitas lain harus mengembangkan
program kerja mereka dalam wujud nyata
yang memiliki nilai kewirausahaan, ada
nilai tambah ekonomi. Jikalau seorang
anak Medan memiliki bakat membuat
­komik strip misalnya, mereka jangan
berhenti memamerkannya di media
sosial. Organisasi kepemudaan bersama
­perusahaan swasta mendorong mereka
menambah nilainya dalam bentuk visual
lainnya, seperti film animasi dalam format
iklan produk lokal atau dengan durasi yang
19
lebih panjang, tetapi berkonten budaya
Medan yang beragam.
Hal yang sama dapat diterapkan pada
bakat membuat peranti lunak mobile,
pembuat film dan lain-lain. Semuanya
dipadukan pada lembaga inkubator
yang menjembatani mereka dengan
para calon investor dalam ­membuat
startup company(perusahaan ­rintisan).
Tanpa pemanfaatan konsep itu
­potensi kreatif akan menjadi sia-sia
dan hanya berakhir di lemari. Pada
pokoknya, ­mesti ada entitas kota ini
yang ­mempunyai nyali besar untuk
menyusun kerangka besar masa depan,
tempat anak muda ini berkreasi dan
memiliki sikap berwirausaha.
Sekolah Wirausaha
Satu lagi pekerjaan rumah ­organisasi
kepemudaan dan komunitas di ­Medan,
dan tentu saja ini didorong oleh
­pemimpin-pemimpin senior lainnya
adalah menggagas sekolah ­wirausaha
secara serius. Sekolah dalam hal ini ada
kajian kurikulum yang tepat, bukan
sekadar workshop sehari-dua hari
yang ecek-ecek atau seminar yang
terkadang lebih mirip kuliah daripada
­mendekatkan mereka kepada dunia
nyata. Sekolah wirausaha ­bertujuan
mendidik perihal uang, utang, aset,
­liabilitas dan investasi. Rentang
­waktunya bisa 6 bulan ataupun 2 tahun.
Kelak jikalau sekolah ini berhasil, maka
bisa diterapkan dalam muatan lokal di
sekolah-sekolah. Peserta didik ­bukanlah
kaum mahasiswa, tetapi ibu rumah
tangga bahwa anak SD sekalipun.
Saya mengungkapkan ini, sebab karak-
ter bangsa kita ini masih ­bernyali pega-
wai, bukan pengusaha yang tidak bera-
ni mengambil resiko, yang tidak berani
berutang untuk sejahtera. Mental orang
Indonesia masih dihiasi pemikiran,
bahwa dengan bersekolah setinggi-
tingginya, maka mendapatkan gaji,
tunjangan dan bonus sebesar-besarnya.
Ketika gaji sudah tinggi pada perusa-
haan besar, ia merasa sudah menjadi
kapitalis, padahal ia tidak lebih adalah
kapitalis manajerial, bukan ­kapitalis
sejati yang bersandarkan diri pada cara
mengatasi resiko dan ­menghadapi rasa
takut dengan memiliki bisnis sendiri
dan berinvestasi di perusahaan lain.
Maaf pula kalau saya katakan
masyarakat kita masih terlalu
­bergantung pada pemerintah, berharap
menyediakan lapangan pekerjaan,
mendapatkan insentif dan mendorong
pemimpin kota menghadirkan investor
asing masuk. Padahal sesungguhnya
dengan menjadi pengusaha di negeri
sendiri, nilai tambahnya lebih besar
daripada mengajak perusahan asing
di tanah sendiri. Kita kurang terdorong
mengimbangi kinerja pemerintah yang
sebenarnya sudah cukup kompleks.
Mengapa tidak memulai membuang
sampah pada tempatnya, misalnya.
Bukankah perubahan sikap itu ­efektif
menghindari banjir di rumah kita,
daripada sekadar memaki-maki petu-
gas kebersihan yang enggan menyapu
pinggiran jalan kita?
Akhir kata ini yang harus saya
­sampaikan kepada calon Medan 1. Saya
dan segenap anak Medan ­memiliki
harapan besar kepada pemimpin kota
ini nantinya. Kami berharap hidup hari
ini di Medan adalah mimpi ­buruk, tetapi
kenyataannya tidak. Sekuat apapun
kami mencubit, ia tetap nyata. Tanpa
kejujuran, ketulusan, serta kerja nyata
dan tegas, calon Medan 1 akan tampak
kerdil dan rendah di hadapan warga
serta pasti akan tampak“sebelas dua
belas”dengan para pemimpin kota
ini sebelumnya yang berakhir dalam
­keterpurukan, membawa kota ini ke
jalan yang tidak jelas.
20
SASTRA | SINTA
19
Sinta
Toh setelah
­mencari-cari alasan
yang ­membuatnya
­menyukainya, dia
hanya menemukan
­kegantengan sematalah
penyebabnya.
“Tidak takut sendiri?”tanya Ganup.
“Sudah biasa.”
“Tadi sudah ke sopo yang itu,”
­sambung Ganup sembari menunjuk
ke sebelah kanannya,“atapnya bocor.”
Sinta mencoba memperhatikan
lebih dalam tamu tiba-tibanya itu.
Sedari tadi mereka nyaris tidak
­bertatapan. Ganup menghadap ke
sebelah sungai. Sinta menghadap
Ganup. Dengan begitu dia leluasa
menata diri. Terbersit sekilas ­angan.
­Sesungguhnya bukan angan.
­Semester silam tertera beberapa nilai
di rapornya yang mendatangkan
amarah ibunya. Dia merasa sudah
mengerahkan semua tenaga untuk
belajar. Di titik inilah dia menemukan
satu jalan terang.“Ganup,”bisiknya
dalam hati. Tiba-tiba Ganup berpaling
sempurna.“Semester depan kita akan
satu sekolah.”
Lama Sinta terdiam. Dia perhati-
kan lagi pria, yang entah kenapa,
dia rasai telah mencubit satu sisi
kecil hatinya. Cubitan kecil yang
mendatangkan asa. Dia kemudian
membayangkan bangku sekolah.
Lalu teringat guru-gurunya. Melintas-
lintas pula ­beberapa teman-teman
sekelas. ­Sekarang dia baru saja
­menambahkan satu teman baru di
daftar teman-temannya: Ganup.
“Aku akan dapat saingan baru.”Sinta
mencoba mencairkan kebekuan.
Ganup tidak membalas.
“Maksudku, aku akan sangat berun-
tung berteman denganmu.”
“Kita bahkan belum kenalan,”jawab
Ganup sembari mengumbar senyum.
Sinta mengulurkan tangan. Dia
tidak menyadari senyum simpulnya
­membuat teman barunya itu tak
segera menyambut tangannya.
“Kenapa?”tanya Sinta. Agak-agaknya
Ganup grogi. Sinta memang ayu.
­Semua ungkapan puja-puji ke
­bidadari kerap dialamatkan teman-
temannya kepadanya. Meski hidung
tidak bisa disebut mancung, kedua
mata itu sangat bening. Rambutnya
menyapu-nyapu keningnya. Warna
kulitnya yang tak begitu cerah
­berpadu dengan senyum renyah
ditambah pula tutur kata yang
­anggun membuat siapa saja yang
bersua dengannya serasa diawasi
bidadari-bidadari sorgawi karena satu
orang temannya sedang terdampar di
bumi.
Ganup tidak berencana sedikit pun
untuk menyerangnya dengan rayuan.
(bagian II)
Dian Purba
purbadian@gmail.com
21
Sesuatu yang sering dilakukan tiap kali
bertemu gadis cantik. Bukan karena dia
menggigil kedinginan, namun lebih-lebih
karena sesuatu alasan yang dia sendiri
pun tidak tahu.
“Padi-padi itu sudah menguning,”Ganup
mengalihkan suasana.“Belum bisa
­dipanen?”
“Semestinya sudah. Tapi anak tulangku
menikah hari ini.”
“Besok aku bisa ke mari lagi?”
“Besok hujan tidak akan turun lagi.”
Ganup tertawa.“Tidak untuk hujan, tapi
untuk padi itu,”seru Ganup. Sebelum
Sinta berhasil menyimpulkan, Ganup
kembali berujar,“Bapak sering cerita
tentang hauma. Aku rela tak digaji mem-
bantu Sinta manggotil [v].”
Sesingkat itu sesungguhnya ­perkenalan
mereka. Sore itu mereka berjalan
­beriringan di jalan sempit ke kampung.
Tentu saja hujan masih turun. Dua helai
daun pisang mereka tebas dan ­dijadikan
pengganti payung. Hampir-hampir
mereka tidak bercakap sepanjang jalan.
Pastilah Sinta terpeleset di jalan yang
sesekali licin. Dan pasti pulalah Ganup
bertindak semestinya melihat Sinta
nyaris terjatuh. Setelah itu ­kemudian
mereka tertawa bersama. Mereka
­kemudian mengambil ranting kayu dan
­memasukkan sandal mereka berdua ke
sana. Memilih bertelanjang kaki di jalan
licin sepertinya cukup ampuh. Parit di
dekat desa mereka manfaatkan mencuci
kaki dan membersihkan sandal mereka
yang kotor.
“Kalaupun besok tak mendapat ijin dari
orangtuamu ikut manggotil, harapan
­terakhirku hanyalah pada hujan,”ujar
Ganup sebelum jalan memisahkan
­mereka. Sebelum Sinta berpaling, tam-
pak jelas wajahnya memerah.
***
Masa panen sudah usai. Emak-emak
bahkan sudah menggiling gabah mereka
dan menjualnya untuk keperluan-
keperluan sekolah anak-anak. Banyak
orang kota yang berkunjung ke desa ini
berpendapat warga desa sesungguhnya
tidak mendapat untung apa-apa dari
menanam padi. Terlebih-lebih, menurut
mereka, pola bertani yang sekarang ini
sudah sangat tradisional, tidak mengikuti
jaman.
Namun, warga desa tidak ambil pusing
dengan pendapat mereka. Bagi mereka
padi, sawah, dan hauma tidak semata-
mata perkara untung-rugi. Bagi mereka
padi adalah bagian dari penghuni rumah.
Kita akan menjumpai rumah-rumah
warga tidak akan pernah kering dari
padi. Mereka selalu meninggalkan ­paling
tidak satu karung padi meski mereka
mesti membeli beras untuk ditanak
di dapur. Kepercayaan ini lebih-lebih
­untuk ­menggambarkan kesiapsiagaan
untuk menangkal sesuatu yang tidak
­diharapkan terjadi.
Inilah yang diterangkan Sinta ke Gan-
up suatu siang saat mereka pulang
dari sekolah. Mereka cukup banyak
waktu untuk berganti kisah tentang
diri ­mereka ­masing-masing. Jarak dari
desa ke ­sekolah enam kilometer. Saban
pagi, pukul enam, mereka sudah mesti
­berjalan kaki. Demikian juga di selepas
sekolah. Waktu sejam untuk ­menempuh
yang enam kilometer itu terpakai
­sempurna. Sinta merasakan kakinya
­semakin ringan saja melangkah.
Sinta selalu bertanya-tanya kenapa
­Ganup menganggurkan motornya
di rumah oppungnya dan memilih
­berjalan kaki 12 kilometer setiap hari.
Tapi dia ­selalu berusaha ­menutupinya
dengan senyum sumringah. Dia
tahu Ganup melakukan itu demi dia.
Setiap kali ­memikirkan itu Sinta selalu
­mengakhirinya dengan senyuman.
(bersambung ...)
20
22
ILHAM SEHAT | TIDUR SIANG
22
S
emasa kecil dahulu, kita ­tentu
ingat, orangtua kita kerap
­mengingatkan untuk tidur siang.
Anjuran ­tersebut tidak sekedar kiat
‘mengheningkan’ ­suasana rumah
­sejenak.Namun,ada­sejumlah­manfaat
penting dalam jeda ­sementara bagi
­tubuh kita.
Kebanyakan orang menggunakan waktu
malam hari untuk tidur dan siang hari ­untuk
bekerja.Olehkarenaitubagibeberapaorang
yang sibuk bekerja mungkin tidak memiliki
waktu untuk tidur siang. Tidur ­merupakan
aktivitas penting, karena dapat ­membantu
memulikan tenaga ­setelah kelelahan
­beraktivitas. Disamping juga ­bermanfaat
bagi kesehatan otak dan tubuh kita.
Sila lirik lima manfaat penting Tidur Siang,
yang kami rangkum dalam edisi ini.
5 MANFAAT
TIDUR SIANG
23
Manfaat
Tidur Siang
bagi
Kesehatan
Meningkatkan daya ingat
Sebuah penelitian tahun 2008 menemukan ­bahwa
tidur siang selama 45 menit bisa membantu
­meningkatkan daya ingat. Peningkatan ini terjadi
dalam fase slow-wave sleep atau tidur gelombang
pendek sebagaimana biasa terjadi saat tidur siang.
Meningkatkan produktivitas
Tidur siang dapat melindungi otak dari pengolahan
informasi yang terjadi secara berlebihan dan
membantu mengkonsolidasikan informasi yang
baru dipelajari.
Mengobati insomnia
Penelitian telah menemukan bahwa orang yang tidur
siang selama 15 menit merasa lebih waspada dan
kurang mengantuk, bahkan ketika malam hari sebel-
umnya kurang tidur.
Menurunkan stres
Ingin memotong hormon stres kortisol sebanyak
separuh? Penelitian menunjukkan bahwa hormon
stres secara dramatis mengalami penurunan setelah
tidur siang, terutama jika semalam tidurnya kurang
begitu nyenyak.
Mencegah penyakit jantung
Tidur siang yang pendek selama 20-40 menit bisa
mengurangi risiko penyakit kardiovaskular seperti
jantung dan stroke.
24
Dian Purba
purbadian@gmail.com
Mahasiswa
­Pascasarjana Ilmu
Sejarah UGM
POLLUNG | GLOBAL WARMING
25
Gereja dan Pemanasan Global
I
nilah yang kita namai dengan
­kamuflase hijau. Perubahan ­bentuk
­perusahaan-perusahaan perusak
­lingkungan menjadi laiknya ­penyelamat
bumi ­dengan ­mengenakan topeng
­“hijau”. Salah satu topeng itu adalah
­dengan ­menggunakan media-media ­besar
­berpromosi. Iklan-iklan itu akan sangat
berbahaya saat anak-anak tumbuh ­dengan
pikiran bahwa perusahaan-perusahaan
tersebut jagoan pelestari ­lingkungan.
Dan tidak ada yang lebih menyedihkan selain
pemerintah dan organisasi antarpemerintah ­dapat
diyakinkan agar lebih banyak mengalah dalam
menuntut penuaian kewajiban dan pertanggung-
jawaban mereka karena telah merusak alam.
Food Estate di tanah Papua membuat kesedihan
itu terjadi. Di bawah panji “Menjaga ketahanan
pangan Indonesia”, pemerintah lewat ­Departemen
­Pertanian menggulirkan megaproyek ­penggunaan
lahan 1,6 juta hektar tanah Merauke untuk lahan
pertanian. Tidak kita temukan masalah cukup
­berarti andai lahan yang luasnya sama dengan
setengah luas Jawa tengah itu diperuntukkan
bagi rakyat Papua. Kekuatiran kita memuncak saat
pemerintah memastikan proyek ini diserahkan 100
persen ke swasta. Yang kita saksikan ­kemudian
­adalah berbondongnya para konglomerat
­Indonesia membagi-bagi jatah bererbut kue baru
(bagian II)Gereja dan Pemanasan Global
(bagian II)
26
Gereja tidak
terpisah dari
semua proses
itu. Proses
­penghancuran
terjadi kasat
mata. Gereja
melihat. Gereja
mendengar.
Gereja
­mengalami
sendiri
bagaimana
kekuatan-
kekuatan itu
menjajah
­kehidupan di
bumi. Orang
Kristen tidak
hidup dalam
komunitasnya
sendiri.
“
di bumi Papua. Sebut saja beberapa: Arifin
­Panigoro di bawah bendera Medco ­Foundation
& Conservation ­Internasional mendapat jatah
35.000 hektar; Siswono Yudo Husodo di bawah
bendera PT Bangun Tjipta Sarana mendapat
­jatah 8.000 hektar; Hashim Djojohadikusumo,
PT ­Cemexindo Internasional, mendapat ­jatah
200 hektar; Tomy Winata, bos Grup Artha
­Graha, mendapat jatah 2.500 hektar.
Pemerintah memanjakan pengusaha kakap
itu dengan insentif semenarik mungkin. Bank
Mandiri menggelar acara khusus yang ­mereka
namai “Papua Invesment Day”. Pertemuan
ini untuk menyinergikan korporasi sebagai
­investor dengan pemerintah dan perbankan.
Pemerintah juga menjamin, melalui Bupati
Merauke John Gluba Gebze, para investor
­takkan mendapat gangguan dari masyarakat
adat di sana. Selain itu, dana awal Rp 3 triliun
telah disiapkan guna membangun jalan dan
pembangunan pelabuhan.
Tujuan food estate sangatlah mulia: menjaga
perut penduduk Indonesia tidak ­kekurangan
makanan. Kita lantas bertanya, kenapa urusan
teramat penting ini diserahkan ­sepenuhnya
kepada swasta? Di kemanakan rakyat
Papua? Kenapa pemerintah tidak pernah
­memberdayakan mereka? Para ­konglomerat
itu mendapat tanah gratis, insentif pajak,
­serta upah buruh murah. Petani ­Merauke
akan ­semakin terpinggirka karena lahan
­semakin sempit. Cara pandang ­pemerintah
dengan cara pandang rakyat ­Papua dengan
tanah itu ­bertolak belakang. Rakyat Papua
­memperlakukan tanah itu sebagai tanah adat,
pemerintah memandangnya sebagai lahan
produksi. Sekali lagi, rakyat Papua yang petani
kecil akan diposisikan sebagai penonton di
pinggiran saja.
Dampak lain penggunaan lahan seluas itu
tentu saja menunjukkan ketidakkonsistenan
pemerintah menjalankan apa yang sudah
disepakatinya sendiri saat KTT Perubahan Iklim
berlangsung di Kopenhagen, Denmark, be-
berapa waktu lalu. Pemerintah RI berjanji akan
mereduksi emisi gas rumah kaca hingga 26
persen pada 2020.Target itu hanya akan terjadi
apabila pemerintah mengurangi alih fungsi
lahan sebesar 14 persen, manajemen sampah
yang benar 6 persen, dan efisiensi energi 6
persen.
Selanjutnya kita akan menyaksikan
­penebangan besar-besaran pohon hutan
­tropis dan ­menggantinya dengan tana-
man satu jenis. Kekayaan alam berupa fauna
dan hayati akan terancam keberadaannya.
­Pemerintah ­memandangnya berbeda: “Itu
­lahan kosong dan tidak terpakai. Jadi, per-
gilah ke sana, lihatlah betapa luasnya lahan
kosong itu,” kata Wakil Menteri Pertanian RI
Bayu ­Krisnamurti. Gejala kebijakan seperti
ini ­dinamai ­pemerintah ­sebagai perwujudan
“iklim bisnis yang ­kondusif”. Iklim di mana:“kini
pejabat negara bertindak sebagai “pengusaha”
yang menjual kota, wilayah, dan apa (pun)
yang bisa ­ditawarkan kepada investor ­global.
Policy ­disebut sukses apabila ­pengusaha
­berdatangan melakukan investasi, dalam
­supermarket dan malls, sekolah dan rumah
sakit internasional (dan juga hutan)”.
Dan sampailah kita ke penyumbang terbesar
karbon dioksida: pembakaran bahan bakar
fosil. Bahan bakar fosil terdiri dari minyak bumi,
gas alam, dan batubara. Untuk keperluan
pembahasan topik ini, kita mesti melebarkan
diskusi kita betapa perusahaan-perusahaan
besar lintasnegara (perusahaan transnasional:
selanjutnya disingkat PTN) memainkan peran
maksimal memanaskan suhu bumi. Lantas,
kampanye-kampanye raksasa mereka yang
“memaksa” kita betapa mereka seolah-olah
bertindak sebagai penyelamat bumi harus kita
artikansebagaipenggunaantopeng­kamuflase
hijau semata.
Penggunaan bahan bakar fosil melonjak naik
saat revolusi industri abad ke-18 ­meletus.
Saat itu batubara menjadi sumber energi
­dominan. Pertengahan abad ke-19 minyak
bumi ­menggeser posisi batubara. Abad ke-
20 ­penggunaan gas diperkenalkan. Pasca
­penemuan mesin uap, industri ­berkembang
laiknya jamur di musim hujan. Dan kini,
­kegiatan-kegiatan PTN menghasilkan 50
persen ­lebih dari semua gas rumah kaca yang
­dikeluarkan oleh seluruh sektor industri.
“Kita”menggalilebihdarienammiliarton­bahan
bakar fosil yang menghasilkan gas ­rumah kaca
terbanyak dari bumi setiap ­tahunnya. Dari
ketiga bahan bakar fosil itu, batubara ­berbiaya
paling rendah, harganya murah, berjumlah
banyak, dan yang paling kotor dibandingkan
koleganya. Kabar buruk kita terima dari negeri
Tiongkok. Cina berencana membangun 762
pembangkit listrik tenaga batu bara. Efek yang
dihasilkan bagi ­lingkungan dari ­pembakaran
2,5 miliar ton batubara setiap tahun sangat
­serius dan luas cakupannya. Kualitas udara
yang buruk mengakibatkan sekitar 400.000
­kematian premature setiap tahun di Cina. Dan
kemungkinan besar negeri Tirai Bambu ini
telah mengalahkan Amerika Serikat sebagai
penghasil CO2 terbesar di dunia.
Di perkotaan, kendaraan motor bertanggung
jawab atas 90 persen polusi udara. Tahun 1970,
jumlah kendaraan bermotor sekurangnya 200
juta kendaraan. Tahun 2006 lebih dari 860 juta.
Dan di Amerika Serikat saja, 1,4 miliar bensin
dikonsumsi setiap hari tahun 2004.
Inilah akibat dari penggunaan bahan bakar
27
fosil: emisi partikel, SO2, NOx, dan CO2. Emisi
­partikel, SO2, dan NOx adalah bahan polutan
yang berhubungan langsung dengan ­kesehatan
­manusia. SO2 menyebabkan problem ­saluran
­pernapasan; radang paru-paru menahun;
­hujan asam yang ­dapat merusak lingkungan
danau, ­sungai, dan hutan; mengurangi jarak
­pandang. NOx ­menyebabkan sakit pada ­saluran
­pernapasan; ­hujan asam; dan ozon ­menipis
yang ­mengakibatkan kerusakan ­hutan. Par-
tikel/debu mengakibatkakn iritasi pada mata
dan ­tenggorokan; bronkitis dan ­kerusakan
­saluran pernapasan; dan mengganggu jarak
­pandang. Emisi CO2 merupakan sumber ­terbesar
yang ­bertanggung jawab terhadap terjadinya
­pemanasan global dan kerusakan ekosistem.
Emisi CO2 tidak berhubungan langsung dengan
kesehatan.
Pada tahun 1995 total emisi CO2 sebesar 156 juta
6 ton per tahun dan meningkat menjadi 1.077 juta
ton per tahun pada tahun 2025 atau ­meningkat
rata-rata sebesar 6,6 % per tahun dalam kurun
waktu 30 tahun. BerdasarkanWorld Development
Report 1998/99 dari Bank Dunia, total emisi CO2
dunia pada tahun 1995, baik berasal dari peng-
gunaan energi maupun dari sumber lain sebesar
22.700 juta ton. Negara yang mempunyai emisi
CO2 terbesar adalah Amerika Serikat yaitu sebesar
5.468 juta ton atau sebesar 24,1 % dari total emisi
CO2 dunia, sedangkan Indonesia ­mempunyai
emisi sebesar 296 juta ton atau ­sebesar 1,3 % dari
total emisi CO2 dunia.
Pertobatan ekologis
Lantas, setelah begini, langkah kita jejakkan ke
sebelah mana? Di mana gereja ­menempatkan
posisinya? Atau pertanyaannya ­barangkali
boleh diubah: bagaimana kesiapan gereja
­menghadapi arus deras perusakan lingkungan
tersebut? ­Deretan pertanyaan itu mengingatkan
kita ­dengan kelahiran teologi pembebasan di
Amerika Latin yang gaungnya juga kedengaran
di ­Indonesia.
Amerika Serikat dan Eropa Barat ­teramat
kuatir paham ­komunisme menjamur di ­dunia
ketiga. ­Berbagai cara yang ­mereka lakukan
­menghempang ­penyebaran ­paham yang
­bersebarangan ­dengan ­paham ­kapitalisme itu
kita kenal ­dengan Perang ­Dingin. Amerika dan
­sekutunya ­menelurkan istilah ­“pembangunan”
­(developmentalism). Penerapan ­paham ini di
lapangan: aliran kenikmatan luar biasa dirasakan
rezim-rezim korup dengan ­bantuan persenjataan
dan dana-dana segar. Tentulah rakyat tidak men-
dapat apa-apa selain “menikmati” asiknya negara
memperkaya diri sembari memiskinkan rakyat.
Dan senjata-senjata itu terarah langsung ke wajah
rakyat saat ­mereka ­mencoba berdiri berseberan-
gan. Penolakan ­dengan kondisi inilah yang mel-
ahirkan istilah “pembebasan” itu. Demikianlah,
gereja ­bangkit menggaungkan suara kenabian
menentang ­kezoliman ini. Teologi pembebasan
diracik dari perpaduan apik iman Kristen dengan
Marxisme.
Di Indonesia kita mengenal Romo ­Mangunwijaya
yang dengan istilah berbeda, teologi
pemerdekaan, mengaktualisasikan nalar dan
pikiran selaku instrumen pertanggungjawaban
sikap manusia beriman terhadap diri sendiri,
­sesama manusia, dan Tuhan.
Mengacu ke teologi pembebasan di Ameri-
ka Latin, Romo Mangun mengartikan teologi
pemerdekaan ke dalam dua hal. Pertama, pen-
emuan bahwa, teologi, apalagi gereja, pada haki-
katnya bukanlah kumpulan dogma-dogma yang
abstrak, tetapi sistematisasi sikap serta peristiwa
konkret, kontekstual. Karena itu ia harus selalu
diuji dan ditinjau kembali di dalam dan oleh pen-
galaman serta penghayatan peristiwa-peristiwa
dunia, bangsa, maupun perorangan. Kedua, bah-
wa teologi pemerdekaan pun bukan segugusan
tesis-tesis abstrak yang tugas pertamanya harus
dikuliahkan, melainkan sesuatu yang dikerjakan,
dalam suatu perjalanan praktis konkret dalam
­dialog dan proses meremajakan diri dengan
fakta dan data-data; sekaligus suatu sumbangan
hidup demi sejarah pemerdekaan manusia yang
­tertindas dan terbelenggu.
Gereja-gereja ditantang. Ijinkan saya
­menghaturkan ini: terima tantangan itu. Semua
data-data di atas, dan semua data-data yang
­belum tercatum tentang betapa planet yang kita
tempati ini sudah begitu rusak, mestilah ­menjadi
pengetahuan wajib setiap anggota jemaat.
­Tantangan ini ditujukan bukan hanya semata
ke geraja secara institusional, melainkan wujud
mendasar dari pertanggungjawaban iman.
Gereja tidak terpisah dari semua proses itu. Proses
penghancuran terjadi kasat mata. Gereja melihat.
Gereja mendengar. Gereja mengalami sendiri
bagaimana kekuatan-kekuatan itu menjajah
kehidupan di bumi. Orang Kristen tidak hidup
dalam komunitasnya sendiri. Juga tidak hidup
hanya untuk kepentingan komunitasnya sendiri,
tetapi hidup bersama dan punya kepentingan
dengan yang lain.
Mata air di lembah sudah lama kering. Gunung-
gunung tak lagi dikitari aliran air kehidupan.
­Binatang-binatang di padang sudah lama punah.
Siulan burung merdu di pepohonan di antara
daun-daun sudah lama tidak bersenandung
bersahut-sahutan. Dengan demikian, diskusi ini
menemukan kembali awal baru memulai sebuah
pembicaraan serius dan kemudian melanjutkan
perjalanannya: tindakan apa semestinya dilakoni
menyelamatkan bumi?
28
29
LAPO AKSARA
Ananta Bangun
anantabangun.com
Redaktur Tulis di
­Lentera News
29
KAPAK PENEBANG POHON
S
eorang pria bertenaga kuat, pada
satu hari, melamar pekerjaan di
Usaha Perkayuan. Kepada si Pemilik
usaha itu, ia memohon diterima sebagai
penebang kayu. Menilik postur tubuh
dan ototnya yang besar si pemilik usaha
itu pun coba menguji pria tersebut.
Sesuai posisinya, ia diuji berapa banyak
pohon yang mampu ditebangnya dalam
satu hari itu.
Hasilnya memuaskan. Pria tersebut
dapat menebang sebanyak 20 pohon
dalam satu hari itu. Pemilik Usaha
­Perkayuan pun menerimanya, dan dapat
mulai bekerja mulai esok hari. Pada
lima hari pertama bekerja, tak ada yang
berubah dari hasil kerja pria tersebut.
Dengan bersemangat, ia kerap mampu
menebang 20 pohon dalam satu hari.
Keanehan terjadi di hari ke-6, hanya
19 pohon yang mampu ia tebas.
­VHatinya pun sedikit gusar. Perasaan
heran dan gelisahnya semakin hari
semakin ­membubung. Tatkala cuma 15
pohon yang dapat ditebangnya pada
hari ­ke-10.“Ada apa dengan diriku?”Ia
­bertanya dalam hati.
Pada akhirnya sang penebang ­tersebut
tak kuasa menahan jengkel di hari
­ke-20. Musababnya, pada satu hari
itu ia cuma menebang 2 pohon saja.
Sembari ­menahan malu, ia kemudian
­mengadukan permasalahannya itu
­kepada si Pemilik Usaha Perkayuan.
Perihal penurunan kinerjanya selama 20
hari tersebut.
Sang Pemilik usaha pun menjawab anak
buahnya dengan bertanya:“Apakah
selama 20 hari tersebut, kamu pernah
mengasah kapakmu?”
“Tidak, Pak. Karena saya sungguh
sibuk untuk bekerja memenuhi target,
­menebang banyak pohon,”aku pria itu.
“Nah. Ini lah yang menjadi akar
masalahmu. Kegigihan dalam bek-
erja tak dibarengi perhatian pada
alat yang menopang pekerjaanmu,”
terang si ­Pemilik.“Tentu mustahil
engkau ­mencapai targetmu, jika hanya
­mengandalkan tenaga fisikmu saja.”
Kisah di atas bukanlah ihwal baru
dalam perjalanan hidup kita. Namun,
kerap saja kita terlupa bahwa setiap
profesi yang kita tekuni membutuhkan
‘perkakas khusus’. Bila penebang pohon
­mengandalkan pohon, maka petani juga
memberdayakan cangkul. Pun nelayan,
polisi dan rupa profesi lainnya.
Bagaimana dengan profesi yang
­mengandalkan kecerdasan semata.
­Terlebih bagi sosok pemimpin bagi
banyak insan. Dengan apakah kita
mengasahnya? Boleh jadi fikiran kita
lalu mencuat pada kisah silam di Alkitab.
Yakni ketika Raja Salomo memohon
hikmat kebijaksanaan dari Allah; ­alih­-alih
meminta kekayaan berlimpah.
Maka Allah pun menjawab permohonan
putra Daud itu:“Oleh karena itu yang
kauingini dan engkau tidak meminta
kekayaan, harta benda, kemuliaan atau
nyawa pembencimu, dan juga tidak mem-
inta umur panjang, tetapi sebaliknya eng-
kau meminta kebijaksanaan dan penger-
tian untuk dapat menghakimi umat-Ku
yang atasnya Aku telah ­merajakan
engkau, maka kebijaksanaan dan penger-
tian itu diberikan kepadamu ; selain itu
Aku berikan kepadamu ­kekayaan, harta
benda dan kemuliaan, sebagaimana
belum pernah ada pada raja-raja sebelum
engkau dan tidak akan ada t pada raja-
raja sesudah engkau.”(2 Tawarikh 1:8-12).
Marilah kita tetap‘mengasah’hati dan
‘perkakas’kita dengan tekun, rendah
hati dan penuh syukur yang selalu
­ditengadahkan bagi-Nya.

More Related Content

Viewers also liked

Lentera news ed. #22 Maret 2016
Lentera news ed. #22 Maret 2016Lentera news ed. #22 Maret 2016
Lentera news ed. #22 Maret 2016Ananta Bangun
 
The Effect Of Testing Parameters On The Functional Impact Resistance Of UPVC ...
The Effect Of Testing Parameters On The Functional Impact Resistance Of UPVC ...The Effect Of Testing Parameters On The Functional Impact Resistance Of UPVC ...
The Effect Of Testing Parameters On The Functional Impact Resistance Of UPVC ...LDriscoll11
 
Como llegar a Excel
Como llegar a ExcelComo llegar a Excel
Como llegar a ExcelRRBY28635
 
Turkcell Veri Merkezi ve Altyapı Hizmetleri Tolga İngenç
Turkcell Veri Merkezi ve Altyapı Hizmetleri Tolga İngençTurkcell Veri Merkezi ve Altyapı Hizmetleri Tolga İngenç
Turkcell Veri Merkezi ve Altyapı Hizmetleri Tolga İngençMustafa Kuğu
 
寫40個願望給未來
寫40個願望給未來寫40個願望給未來
寫40個願望給未來superspeaker
 
Confidentiality Training
Confidentiality TrainingConfidentiality Training
Confidentiality TrainingSuezqrdh
 
Purist Presentation 052513
Purist Presentation 052513Purist Presentation 052513
Purist Presentation 052513Norman Ash
 
Lab2 2 ubuntu-officeapplication
Lab2 2 ubuntu-officeapplicationLab2 2 ubuntu-officeapplication
Lab2 2 ubuntu-officeapplicationHaliuka Ganbold
 
Presentazione retica 2012
Presentazione retica 2012Presentazione retica 2012
Presentazione retica 2012Paolo Moro
 

Viewers also liked (20)

Lentera news ed. #22 Maret 2016
Lentera news ed. #22 Maret 2016Lentera news ed. #22 Maret 2016
Lentera news ed. #22 Maret 2016
 
About the word "Nigthmare"
About the word "Nigthmare"About the word "Nigthmare"
About the word "Nigthmare"
 
Mobile Marketing May 2011
Mobile Marketing May 2011Mobile Marketing May 2011
Mobile Marketing May 2011
 
Lab12
Lab12Lab12
Lab12
 
The Effect Of Testing Parameters On The Functional Impact Resistance Of UPVC ...
The Effect Of Testing Parameters On The Functional Impact Resistance Of UPVC ...The Effect Of Testing Parameters On The Functional Impact Resistance Of UPVC ...
The Effect Of Testing Parameters On The Functional Impact Resistance Of UPVC ...
 
Como llegar a Excel
Como llegar a ExcelComo llegar a Excel
Como llegar a Excel
 
Turkcell Veri Merkezi ve Altyapı Hizmetleri Tolga İngenç
Turkcell Veri Merkezi ve Altyapı Hizmetleri Tolga İngençTurkcell Veri Merkezi ve Altyapı Hizmetleri Tolga İngenç
Turkcell Veri Merkezi ve Altyapı Hizmetleri Tolga İngenç
 
belum
belumbelum
belum
 
Turkey
TurkeyTurkey
Turkey
 
Test
TestTest
Test
 
寫40個願望給未來
寫40個願望給未來寫40個願望給未來
寫40個願望給未來
 
Study2
Study2Study2
Study2
 
Confidentiality Training
Confidentiality TrainingConfidentiality Training
Confidentiality Training
 
The power-of-blogging
The power-of-bloggingThe power-of-blogging
The power-of-blogging
 
Purist Presentation 052513
Purist Presentation 052513Purist Presentation 052513
Purist Presentation 052513
 
INFORME 2° TRIMESTRE 2014
INFORME 2° TRIMESTRE 2014INFORME 2° TRIMESTRE 2014
INFORME 2° TRIMESTRE 2014
 
Confeitaria Dukan
Confeitaria DukanConfeitaria Dukan
Confeitaria Dukan
 
The power of measuring tool for project mangement
The power of measuring tool for project mangement The power of measuring tool for project mangement
The power of measuring tool for project mangement
 
Lab2 2 ubuntu-officeapplication
Lab2 2 ubuntu-officeapplicationLab2 2 ubuntu-officeapplication
Lab2 2 ubuntu-officeapplication
 
Presentazione retica 2012
Presentazione retica 2012Presentazione retica 2012
Presentazione retica 2012
 

Similar to Mudik ke Pohon Zaitun

Lentera news #17 Agustus 2015 | Merayakan Agustus
Lentera news #17 Agustus 2015 | Merayakan AgustusLentera news #17 Agustus 2015 | Merayakan Agustus
Lentera news #17 Agustus 2015 | Merayakan AgustusAnanta Bangun
 
Warta Satu Tabloid
Warta Satu TabloidWarta Satu Tabloid
Warta Satu TabloidWartaSatu
 
Tabloid skor edisi ke-25
Tabloid skor edisi ke-25Tabloid skor edisi ke-25
Tabloid skor edisi ke-25Produksi Skor
 
Tabloid reformata edisi 162 april 2013
Tabloid reformata edisi 162 april 2013Tabloid reformata edisi 162 april 2013
Tabloid reformata edisi 162 april 2013Reformata.com
 
Tabloid reformata edisi 147 januari 2012
Tabloid reformata edisi 147 januari 2012Tabloid reformata edisi 147 januari 2012
Tabloid reformata edisi 147 januari 2012Reformata.com
 
Tabloid reformata edisi 141 juli 2011
Tabloid reformata edisi 141 juli 2011Tabloid reformata edisi 141 juli 2011
Tabloid reformata edisi 141 juli 2011Reformata.com
 
Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak Berbagi
Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak BerbagiLentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak Berbagi
Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak BerbagiAnanta Bangun
 
LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015
LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015
LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015Ananta Bangun
 
Mempertahankan Indonesia dengan Menghargai Perbedaan yang Ada
Mempertahankan Indonesia dengan Menghargai Perbedaan yang AdaMempertahankan Indonesia dengan Menghargai Perbedaan yang Ada
Mempertahankan Indonesia dengan Menghargai Perbedaan yang AdaThufailah Mujahidah
 
Tabloid reformata edisi 168 oktober 2013
Tabloid reformata edisi 168 oktober 2013Tabloid reformata edisi 168 oktober 2013
Tabloid reformata edisi 168 oktober 2013Reformata.com
 
Tabloid reformata edisi 158 desember 2012
Tabloid reformata edisi 158 desember 2012Tabloid reformata edisi 158 desember 2012
Tabloid reformata edisi 158 desember 2012Reformata.com
 
Muhasabah perubahan terus bergulir
Muhasabah   perubahan terus bergulirMuhasabah   perubahan terus bergulir
Muhasabah perubahan terus bergulirRizky Faisal
 
Perubahan terus bergulir
Perubahan terus bergulirPerubahan terus bergulir
Perubahan terus bergulirRizky Faisal
 
Buletin so cinta edisi ii pdf_
Buletin so cinta edisi ii pdf_Buletin so cinta edisi ii pdf_
Buletin so cinta edisi ii pdf_Abas Djumadi
 
Tabloid reformata edisi 171 januari 2014
Tabloid reformata edisi 171 januari 2014Tabloid reformata edisi 171 januari 2014
Tabloid reformata edisi 171 januari 2014Reformata.com
 
Tabloid reformata edisi 121 desember minggu ii 2009
Tabloid reformata edisi 121 desember minggu ii 2009Tabloid reformata edisi 121 desember minggu ii 2009
Tabloid reformata edisi 121 desember minggu ii 2009Reformata.com
 

Similar to Mudik ke Pohon Zaitun (20)

Lentera news #17 Agustus 2015 | Merayakan Agustus
Lentera news #17 Agustus 2015 | Merayakan AgustusLentera news #17 Agustus 2015 | Merayakan Agustus
Lentera news #17 Agustus 2015 | Merayakan Agustus
 
Presiden Idaman Masa Depan
Presiden Idaman Masa DepanPresiden Idaman Masa Depan
Presiden Idaman Masa Depan
 
Warta Satu Tabloid
Warta Satu TabloidWarta Satu Tabloid
Warta Satu Tabloid
 
Tabloid skor edisi ke-25
Tabloid skor edisi ke-25Tabloid skor edisi ke-25
Tabloid skor edisi ke-25
 
Tabloid reformata edisi 162 april 2013
Tabloid reformata edisi 162 april 2013Tabloid reformata edisi 162 april 2013
Tabloid reformata edisi 162 april 2013
 
Tabloid reformata edisi 147 januari 2012
Tabloid reformata edisi 147 januari 2012Tabloid reformata edisi 147 januari 2012
Tabloid reformata edisi 147 januari 2012
 
Tabloid reformata edisi 141 juli 2011
Tabloid reformata edisi 141 juli 2011Tabloid reformata edisi 141 juli 2011
Tabloid reformata edisi 141 juli 2011
 
Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak Berbagi
Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak BerbagiLentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak Berbagi
Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak Berbagi
 
LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015
LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015
LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015
 
Mempertahankan Indonesia dengan Menghargai Perbedaan yang Ada
Mempertahankan Indonesia dengan Menghargai Perbedaan yang AdaMempertahankan Indonesia dengan Menghargai Perbedaan yang Ada
Mempertahankan Indonesia dengan Menghargai Perbedaan yang Ada
 
Tabloid reformata edisi 168 oktober 2013
Tabloid reformata edisi 168 oktober 2013Tabloid reformata edisi 168 oktober 2013
Tabloid reformata edisi 168 oktober 2013
 
Tabloid reformata edisi 158 desember 2012
Tabloid reformata edisi 158 desember 2012Tabloid reformata edisi 158 desember 2012
Tabloid reformata edisi 158 desember 2012
 
2
22
2
 
2
22
2
 
Muhasabah perubahan terus bergulir
Muhasabah   perubahan terus bergulirMuhasabah   perubahan terus bergulir
Muhasabah perubahan terus bergulir
 
Perubahan terus bergulir
Perubahan terus bergulirPerubahan terus bergulir
Perubahan terus bergulir
 
pemilih cerdas
pemilih cerdaspemilih cerdas
pemilih cerdas
 
Buletin so cinta edisi ii pdf_
Buletin so cinta edisi ii pdf_Buletin so cinta edisi ii pdf_
Buletin so cinta edisi ii pdf_
 
Tabloid reformata edisi 171 januari 2014
Tabloid reformata edisi 171 januari 2014Tabloid reformata edisi 171 januari 2014
Tabloid reformata edisi 171 januari 2014
 
Tabloid reformata edisi 121 desember minggu ii 2009
Tabloid reformata edisi 121 desember minggu ii 2009Tabloid reformata edisi 121 desember minggu ii 2009
Tabloid reformata edisi 121 desember minggu ii 2009
 

More from Ananta Bangun

Seminar "Bijak Bermedia Sosial"
Seminar "Bijak Bermedia Sosial"Seminar "Bijak Bermedia Sosial"
Seminar "Bijak Bermedia Sosial"Ananta Bangun
 
Lentera #31 edisi juni 2017
Lentera #31 edisi juni 2017Lentera #31 edisi juni 2017
Lentera #31 edisi juni 2017Ananta Bangun
 
Presentasi untuk semiloka aksi umat menulis
Presentasi untuk semiloka aksi umat menulisPresentasi untuk semiloka aksi umat menulis
Presentasi untuk semiloka aksi umat menulisAnanta Bangun
 
Lentera news - mei 2016
Lentera news  - mei 2016Lentera news  - mei 2016
Lentera news - mei 2016Ananta Bangun
 
Lentera news ed.#23 April 2016
Lentera news  ed.#23 April 2016Lentera news  ed.#23 April 2016
Lentera news ed.#23 April 2016Ananta Bangun
 
Lentera news ed. #21 Januari 2016
Lentera news  ed. #21 Januari 2016Lentera news  ed. #21 Januari 2016
Lentera news ed. #21 Januari 2016Ananta Bangun
 
Lenteranews Oktober 2015
Lenteranews Oktober 2015Lenteranews Oktober 2015
Lenteranews Oktober 2015Ananta Bangun
 
Lentera News edisi #15 Juni 2015
Lentera News edisi #15 Juni 2015Lentera News edisi #15 Juni 2015
Lentera News edisi #15 Juni 2015Ananta Bangun
 
majalah online Lentera News edisi Maret 2015
majalah online Lentera News edisi Maret 2015majalah online Lentera News edisi Maret 2015
majalah online Lentera News edisi Maret 2015Ananta Bangun
 
Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)
Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)
Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)Ananta Bangun
 
Mengenal & Mendaftar Gmail
Mengenal & Mendaftar GmailMengenal & Mendaftar Gmail
Mengenal & Mendaftar GmailAnanta Bangun
 
Mengenal & Mendaftar di Gmail
Mengenal & Mendaftar di GmailMengenal & Mendaftar di Gmail
Mengenal & Mendaftar di GmailAnanta Bangun
 

More from Ananta Bangun (14)

Seminar "Bijak Bermedia Sosial"
Seminar "Bijak Bermedia Sosial"Seminar "Bijak Bermedia Sosial"
Seminar "Bijak Bermedia Sosial"
 
Lentera #31 edisi juni 2017
Lentera #31 edisi juni 2017Lentera #31 edisi juni 2017
Lentera #31 edisi juni 2017
 
Presentasi untuk semiloka aksi umat menulis
Presentasi untuk semiloka aksi umat menulisPresentasi untuk semiloka aksi umat menulis
Presentasi untuk semiloka aksi umat menulis
 
Lentera news - mei 2016
Lentera news  - mei 2016Lentera news  - mei 2016
Lentera news - mei 2016
 
Lentera news ed.#23 April 2016
Lentera news  ed.#23 April 2016Lentera news  ed.#23 April 2016
Lentera news ed.#23 April 2016
 
Lentera news ed. #21 Januari 2016
Lentera news  ed. #21 Januari 2016Lentera news  ed. #21 Januari 2016
Lentera news ed. #21 Januari 2016
 
Lenteranews Oktober 2015
Lenteranews Oktober 2015Lenteranews Oktober 2015
Lenteranews Oktober 2015
 
Lentera News edisi #15 Juni 2015
Lentera News edisi #15 Juni 2015Lentera News edisi #15 Juni 2015
Lentera News edisi #15 Juni 2015
 
majalah online Lentera News edisi Maret 2015
majalah online Lentera News edisi Maret 2015majalah online Lentera News edisi Maret 2015
majalah online Lentera News edisi Maret 2015
 
Internet bijak
Internet bijakInternet bijak
Internet bijak
 
Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)
Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)
Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)
 
Mengenal & Mendaftar Gmail
Mengenal & Mendaftar GmailMengenal & Mendaftar Gmail
Mengenal & Mendaftar Gmail
 
Mengenal & Mendaftar di Gmail
Mengenal & Mendaftar di GmailMengenal & Mendaftar di Gmail
Mengenal & Mendaftar di Gmail
 
Parts of speech
Parts of speechParts of speech
Parts of speech
 

Mudik ke Pohon Zaitun

  • 1. 1 EDISI #16 JULI 2015 Sumber gambar: http://mungkopas.blogspot.com/ MUDIK
  • 2. 2 DUKUNG MAJALAH LENTERA NEWS DENGAN DOA DAN DANA Kunjungi kami di sini: Bank Nasional Indonesia Rek.No. 0307532799 a.n. Hubertus Agustus Lidy /LENTERA-NEWS MAJALAHLENTERA.COM daftarisi Tajuk Redaksi3 Telisik 4 6 Lentera khusus 10 Embun katekese 14 Opini 22 Ilham sehat Mudik ke Pohon Zaitun 19 Rumah Joss 16 Sastra RP Hubertus Lidi, OSC [Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi], Ananta Bangun [Redaktur Tulis], ­Jansudin Saragih [Redaktur Foto], Rina Malem Barus [Keuangan] Penerbit: Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Medan (KOMSOS-KAM) ­Jalan S.Parman No. 107 Telp. +62614572457 , mp. 085361618545| www.majalahlentera.com | ­redaksi@majalahlentera.com , beritalentera@gmail.com | Facebook Fan Page: facebook.com/lentera-news REDAKSI Korupsi Kini Menjadi Mode Pelanggaran Liturgi Dalam Perayaan ­Ekaristi (bag. II) Kepada Yang Terhormat, Calon Medan 1 Serangan Semut Sinta (bag. II) 24 Pollung Gereja & Global Warming (bag. II) 29 Lapo Aksara Kapak Penebang Pohon
  • 3. 3 Redaksi 3 TAJUK REDAKSI Satu peristiwa besar dalam bulan ini ialah ­perayaan Hari Raya Idul Fitri 1436 H. Tidak ­hanya bagi sahabat umat Muslim, ­Redaksi Lentera News juga tergerak menyerap ­inspirasi dalam ­momentum ini. Diantaranya ialah semangat mudik yang lazim­berlang- sung semenjak ­moyang kita dahulu­. Redaksi Lentera News sungguh berterima kasih pada bapak Ahmad Kusaeni yang berkenan ­memberi sumbangsih gagasannya perihal mudik ini. Tentang bagaimana kita bisa ­menyelami ­ihwal dan semangat mudik dari kacamata eks ­Pemimpin Redaksi Lembaga Kantor Berita ­Nasional (LKBN) ANTARA tersebut. Lebih dari ­sekedar sebuah tindak mengepak pakaian dan oleh-oleh saat hendak pulang ke kampung ­halaman. Berbicara tentang kampung halaman, tentu tak ada salahnya mengerjapkan pandang pada kota Medan. Tempat di mana sebagian besar awak redaksi dan para pembaca bercokol. Meskipun jarak waktu masih cukup lama, Vinsensius ­Sitepu telah menguak isi hatinya kepada para insan yang hendak mencalon di Pilkada Kota Medan. Harapan Vinsensius untuk menemukan calon Pemimpinyangmumpunibersih,seirama­dengan keprihatinan Pemimpin Redaksi RP Hubertus Lidi, OSC. Tanpa tanggung, Romo Hubert ­mengupas isu korupsi di Medan dan Sumatera Utara. Isu yang kini menghangat seiring penangkapan ­Gubernur Sumut oleh KPK. Sahabat pembaca Lentera News, dalam edisi Juli 2015 ini, kami kembali mengetengahkan dua­ ­karya tulis Dian Purba. Baik dalam essay ­tentang permasalahan global warming, dan ­karya ­sastra-nya yang terbalut dalam cerpen berjudul ‘Sinta’. Jangan lupa sempatkan waktu melirik ­perenungan Bung Joss dalam artikelnya tentang serangan semut. Akhirul kata, kami Redaksi Lentera News juga mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436 H bagi sahabat pembaca dan umat Muslim yang merayakannya.
  • 4. 4 RP Hubertus Lidi, OSC hubertuslidiosc@gmail.com KORUPSI KINI MENJADI MODE TELISIK | KORUPSI U ngkapan Korupsi ­<Perbuatannya> dan ­Koruptor <Pelakukannya> sudah ­sangat bersahabat dengan kita. Hampir setiap hari media- media sosial, baik cetak maupun ­elektronik menulis, ­memberitakan, dan ­mempertontonkannya. ­Bahkan ­korupsi itu telah menghantar ­koruptornya, bak selebritis. Ia dinanti dan dikerumuni oleh para kuli tinta dari dalam dan luar negeri. Sorotan lampu kamera serta kilapan blitz membuat aura‘sang subyek’ ­menjadi makin indah saja. Seragam yang ­membalut raganya,yang seharusnya menjadi symbol aib malah menjadi atribut yang membuat bahu orang yang mengenakannya‘terangkat.’Laki ­maupun perumpuan sama saja. Hal yang ­paling mengejutkan masyarakat ­Indonesia adalah beberapa orang yang bekerja di bagian rana hukum justru menjadi ­subyek dan aktor utama ­korupsip. Beberapa saudara yang berkerja di ­Depertemen yang berurusan dengan ‘hal-hal Suci’justru memanfaatkan ­pekerjaan yang ilahi itu untuk ­korupsi. Berkenaan dengan gencarnya korupsi di Indonesia, suatu waktu temanku ­berseloroh,“Wan sari-sari korupsi di negaramu, kayanya udah meresap ke ­semua orang dan semua lini ­kehidupan ini, termasuk kepadamu.”“Ohya?” “Yalah….siapa tahu sumbangan, ­kolekte, dan ucapan-ucapapan ­terimakasih yang kamu dapat, adalah dari hasil dari korupsi.”“Ah .. bisa-bisa saja kamu. ­Bagaimanapun masih ada orang baik di tanah Indonesia ini, wan, ”aku ­membantah kata-katanya, yang senang mengeneralisasikan hal itu.
  • 5. 5 Harian kota Medan,‘Analisa’, Jumat 10 Januari 2014, memberitakan di halaman depan;“Hasil Iktisar Badan Pemeriksaan Keuangan 2013. ­Sumatera Utara Provinsi Terkorup di Indonesia. Potensi kerugiannya Rp. 400.100.810. 000,-, dengan jumlah kasus 278”. Wah….. luar biasa menjadi sebuah prestasi gemilang. Tentu kita bedecak dalam ketidak mengertian… ..’koh bisa ya!’Gradasi paling atas. ­Koran yang sama, pada hari sama pula di rubrik kota, hal 6, ­menulis bah- wa korupsi sudah ­menjadi masalah utama bangsa, bahkan sudah pada tahap darurat. Luar biasa seakan kita sedang hidup di dunia angkara murka yang buram durjana. Pertanyaan di balik ini semua adalah: apakah pemberitaan, seremoni Pra Penahanan, uniform, dan hukuman penjara, dll itu mendatangkan efek jera? Kita tetap berharap upaya-upaya dari penegak hukum secara khusus dari KPK, bisa membantu mengurangi dan tidak menambah subyek yang baru, lebih jauh dari itu menyiapkan sebuah generasi yang bermental“say no to corruption” Secukupnya Vs Berlebihan Ada sebuah Doa Katolik‘Bapa Kami’yang selalu didoakan oleh orang-orang Katolik pada setiap ­kesempatan. Dari sekian ­permohonan yang termaktub dalam rumusan doa itu, ada satu permohonan yang berkaitan dengan Rezeki atau Nafkah. Menarik kalau kita ­refleksikan ­bersama, berkaitan dengan topik ­Korupsi. Para Jemaat Katolik ­bermohon:“Berilah Kami rezeki secukupnya pada hari ini.” ­Secukupnya dalam konteks ini adalah yang wajar dan pas, sesuai den- gan kebutuhan. Dengan kata lain ­menghindari mentalitas yang menim- bun rezeki. Para jemaat, berasumsi dalam iman, bahwa mentalitas ­menimbun rezeki yang berlebihan lawan dari ­secukupnya membuat sang ­penimbun menjadi rakus alias tamak dan tidak segan-segan mencaplok hak orang lain demi ­memenuhi hasrat serakahnya. ­Korupsi yang ­dipertontonkan ­sekarang ini ­adalah mode penimbunan harta yang ­berlebihan dengan cara ­mencaplok hak orang lain sehingga ­menimbulkan kerugian pada pihak lain. Mentalitas yang dipertotonkan kepada kita adalah orang menjadi tidak mau tahu dan tidak perduli ­dengan orang lain, yang penting diri dan kroninya menikmati. Aspek lain membuat sang ­penimbun itu menjadi licik dan ­lihai. Licik dalam konteks ini ialah ­memanfaatkan kuasa dan wewenang yang ­dipercayakan kepadanya demi ­kepentingannya. Lihai dalam konteks ini ialah­‘mengotak-ngatik’aturan dan ­kebijakan demi membenarkan dan memuluskan akal bulus alias akal gundulnya. Yang menarik para ­tersangka korupsi dan koruptor selalu berteriak hak azazi manusia, kala mereka ditangkap oleh pihak-pihak yang berwajib. Tanpa sadar mereka sedang ­mempromosikan diri sebagai Pejuang hak azazi yang merusak hak azazi itu sendiri. Lagi-lagi temanku ­berkomentar:“Wan, kalau kepandaian ­berbohong, kelicikan dan ­kelihaian para koruptor itu diformulasikan ­untuk sebuah kebaikan, pasti bangsa ini maju dan rakyaknya sejahtera. Benar juga sih!” (bersambung) Copyright ilustrasi: HarianTerbit.com Pertanyaan di balik ini semua adalah: apakah pemberitaan, seremoni pra Pena- hanan, uniform, dan hukuman penjara, dll itu mendatangkan efek jera? “
  • 6. 6 LENTERA KHUSUS | MUDIK M udik adalah kata yang paling ­sering diucapkan pada hari-hari terakhir ­menjelang Hari Raya Idul Fitri. Orang- orangmembicarakanmudikdimanasaja,dilobi, di lift, di tempat kerja, di mesjid atau ­mushola, bahkan di dapur. Sugianti, asisten rumah tangga di rumah saya, ­sejak mempersiapkan sahur untuk puasa hari ­pertama sudah sibuk merencanakan mudiknya. Ia ­membelanjakan uang THR yang diberikan isteri saya untuk membeli android dan langganan paket internet. “Biar di kampung nanti gampang upload ­facebook dan Instagram,” katanya dalam suatu obrolan ­dengan isteri saya di dapur sambil mempersiapkan kolak pembuka puasa. Sugianti yang sudah bekerja di rumah lebih 3 tahun itu cukup aktif di media sosial. Akun facebooknya dengan nama alter “AiCko BarbIe-cweett” ramai diisi postingan soal rencana mudik sesama asisten rumah tangga. “Tiap buka fb..ngliat sttus otw otw otw. ­Kampung halman muluk..... “Kok pda lbih awal ya ­pulangnya.. Ongkos.y msih murahh x..hahahaha,” ­begitu ­postingan Sugianti yang ramai di-likes dan ­dikomentari teman- temannya yang juga semangat 45 untuk pulang ke ­kampung ­halaman di Kendal, Jawa Tengah. Sugianti dan Tuyono, sopir saya, adalah bagian dari 20 juta orang yang akan mudik dari Jakarta ke ­berbagai daerah diTanah Air. Saya sendiri yang asal Lebak, daerah di Banten yang hanya sekitar 80 km dari Jakarta, selalu merasa kikuk kalau ada yang nanya apakah saya lebaran ini mudik apa tidak. MUDIK KE POHON ZAITUN oleh : Ahmad Kusaeni
  • 7. 7 “Saya nggak mudik, cuma geser pantat ke Lebak,” begitu selalu jawaban saya. Orang Betawi tentunya lebih kikuk dari saya kalau ditanya soal mudik. Mengapa banyak orang, tak peduli ­pembantu rumah tangga, sopir atau ­direktur, selalu bersemangat untuk ­mu­dik ­lebaran? Jawabannya pasti beraneka ragam. Bisa dijawab dari berbagai macam segi baik itu agama, ekonomi, sosial dan budaya. Sudah banyak kajian dari ipoleksosbud hamkanas seperti itu. Yang akan saya sampaikan di tulisan ini adalah alasan yang dilatarbelakangi ­kajian dari bukuThomas L Friedman yang berjudul “The Lexus and the Olive Tree (Understanding Globalization)” ­terbitan Anchor Book tahun 1999. Friedman adalah kolumnis beken dari koran The New York Times. Ia menulis bahwa di zaman globalisasi sekarang ini, ­meskipun orang sudah maju dan hidup dalam teknologi tinggi, tetap saja ­memerlukan akar rumput budayanya dan asal mula dirinya. Lexus dan pohon zaitun adalah simbol yang pas untuk menggambarkan kondisi zaman globalisasi sekarang ini. Lexus yang merupakan merk mobil termahal dan tercanggih adalah simbol kemajuan. Sedangkan pohon zaitun yang banyak tumbuh di kawasan Israel dan Masjidil Aqsa adalah simbol kepurbaan atau asal muasal kemanusiaan. Modernisasi,privatisasidan­pertumbuhan ekonomi, serta ­perkembangan teknologi memungkinkan orang untuk menikmati kemajuan dan kehidupan yang tidak bisa lagi dibatasi oleh ruang dan perbatasan. Tapi, pohon zaitun tetap penting. Pohon zaitun memanifestasikan akar kita sebagai manusia, ia merupakan jangkar tempat berlabuh kita, yang bisa ­mengidentifikasi kita dan ­menempatkan titik kita di dunia ini. Pohon zaitun bisa berbentuk keluarga, komunitas, suku bangsa, atau yang paling mendasar ­adalah tempat yang kita sebut sebagai “rumah”. Kehangatan keluarga Pohon zaitun adalah apa yang bisa ­memberikan kita kehangatan ­keluarga, persahabatan, keintiman personal dan ­ritual, kedalaman hubungan antar ­pribadi, silaturahmi, dan juga keamanan dan­ketentramandiriketika­berhubungan dengan “ayah, ibu, om, tante, kakek, nenek, cucu, sepupu, kawan-kawan masa kecil”. Kitaberjuangkerasdalamkehidupankita, meniti karier, bekerja, mencari nafkah dan sesuap nasi. Sedikit demi sedikit kita mengumpulkan harta dan kekayaan. Kita berkelana, bermigrasi dan pindah kota. Di tempat baru kita menjadi sesuatu, ­memiliki pekerjaan, dan juga kekayaan. Tapi, sebagai manusia, kita tidak bisa menjadi manusia yang utuh seutuhnya sendirian. Kita tidak bisa menjadi kaya sendirian. Kita tidak bisa menjadi pintar sendirian. Kita tidak bisa menjadi orang terhormat sendirian. Kita baru merasa komplit dan kaffah ­sebagai manusia bila ada manusia lain yang mengakui dan ikut ­menikmati apa yang kita miliki. Untuk itu kita ­membutuhkan akar, rumah, kampung, yang bisa ­menjadi pohon zaitun kita. Setahun sekali pada saat lebaran orang merasa harus mudik. Ia kembali ke ­pohon zaitunnya, akar kehidupannya yang ­purba, dan menyiraminya dengan air yang mereka bawa, uang yang mereka bagikan ke sanak saudara, atau sekadar kisah suka dan duka menaklukan Jakarta. Kembali ke akar itulah makna mudik yang paling hakiki. Sejenak di kampung halaman kita isi baterai kehidupan kita yang kering kerontang untuk kembali ke tempat pengelanaan kita. Selamat mudik dan ­bersukacitalah ­kembalikeakarpurbamu,wahai­manusia. (Akhmad Kusaeni adalah mantan ­Direktur PemberitaanLKBNAntara,mendapat­Masterof Arts dari Ateneo de Manila ­University, Filipina) Copyright ilustrasi: Litbang.Depkes.go.id Kita baru ­merasa ­komplit dan ­kaffah ­sebagai ­manusia bila ada ­manusia lain yang ­mengakui dan ikut ­menikmati apa yang kita ­miliki. Untuk itu kita ­membutuhkan akar, rumah, kampung, yang bisa ­menjadi pohon zaitun kita “
  • 8.
  • 9.
  • 10. 10 EMBUN KATAKESE | LITURGI PELANGGARAN LITURGI DALAM PERAYAAN EKARISTI OLEH: Katolisitas.org
  • 11. 11 Selama ­Liturgi Sabda, ­sangat ­cocok ­disisipkan saat ­hening ­sejenak, ­tergantung pada ­besarnya jemaat yang ­berhimpun. Saat ­hening ini ­merupakan ­kesempatan bagi umat ­untuk ­meresapkan ­sabda ­Allah “ Pada edisi Juni lalu, telah ­dipaparkan dua pelanggaran dalam bagian-bagian Misa Kudus. Berikutnya akan kembali dilanjutkan pada tiga ­pelanggaran ­lainnya yang umum terjadi. 3. Kurangnya saat hening. Seharusnya: PUMR 45 Beberapa kali dalam Misa ­hendaknya diadakan saat ­hening. Saat hening juga ­merupakan bagian ­perayaan, tetapi arti dan ­maksudnya berbeda-beda menurut makna ­bagian yangbersangkutan.­Sebelum­pernyataan tobat umat ­mawas diri, dan sesudah aja- kan untuk doa ­pembuka umat berdoa dalam hati. Sesudah bacaan dan homili umat merenungkan sebentar amanat yang didengar.Sesudah komuni umat ­memuji Tuhan dan berdoa dalam hati. Bahkan sebelum perayaan ­Ekaristi, ­dianjurkan agar keheningan ­dilaksanakan dalam gereja, di ­sakristi, dan di area sekitar gereja, sehingga ­seluruh umat dapat ­menyiapkan diri untuk ­melaksanakan ibadat dengan cara yang khidmat dan tepat. PUMR 56 Liturgi Sabda haruslah dilak- sanakan sedemikian rupa ­sehingga men- dorong umat untuk ­merenung. Oleh ka- rena itu, setiap bentuk ketergesa-gesaan yang ­dapat mengganggu ­permenungan harus ­sungguh ­dihindari. Selama ­Liturgi Sabda, sangat cocok ­disisipkan saat ­hening sejenak, ­tergantung pada ­besarnya jemaat yang ­berhimpun. Saat ­hening ini ­merupakan ­kesempatan bagi umat untuk ­meresapkan sabda ­Allah, ­dengan dukungan Roh Kudus, dan ­untuk menyiapkan jawaban dalam ­bentuk doa. Saat hening ­sangat tepat ­dilaksanakan sesudah bacaan ­pertama, sesudah bacaan kedua, dan sesudah homili. 4. Diizinkannya seorang awam ­untuk berkhotbah/ ­memberikan kesaksian di dalam homili ­(misalnya untuk mengisi homili Minggu ­Panggilan, ­homili di misa requiem, ataupun ­kesempatan khusus lainnya). Seharusnya: RS 64 Homili yang diberikan dalam rangka perayaan Misa ­Kudus, dan yang merupakan bagian utuh dari liturgi itu “pada umumnya ­dibawakan oleh Imam perayaan. Ia dapat ­menyerahkan tugas ini kepada salah seorang imam ­konselebran, atau kadang-kadang, ter- gantung situasi, kepada diakon, tetapi tidak pernah kepada seorang awam….” RS 66 Larangan terhadap orang awam untuk berkhotbah dalam Misa, ­berlaku juga untuk para ­seminaris, ­untuk ­mahasiswa teologi dan ­untuk orang yang telah diangkat dan ­dikenal ­sebagai “asisten pastoral”; tidak boleh ada ­kekecualianuntukorangawamlain,atau kelompok, ­komunitas atau ­perkumpulan apa pun. RS 74 Jika dipandang perlu bahwa ­kepada umat yang berkumpul di dalam gereja, diberi instruksi atau ­kesaksian tentang hidup Kristiani oleh seorang awam, maka sepatutnya hal ini dibuat di luar Misa. Akan tetapi jika ada alasan kuat, maka dapat ­diizinkan bahwa suatu instruksi atau kesaksian yang ­demikian ­disampaikan setelah Doa ­sesudah ­Komuni. Namun hal ini tidak boleh ­menjadi kebiasaan. Selain itu, instruksi atau kesaksian itu tidak boleh bercorak seperti sebuah homili, dan tidak boleh homili dibatalkan ­karena ada acara ­dimaksud. RS67Perlulahdiperhatikan­secara­khusus, agar homili itu ­sungguh ­berdasarkan misteri-misteri ­penebusan, dengan menguraikan misteri-misteri iman serta ­patokanhidupKristiani,­bertitiktolakdari bacaan-bacaan Kitab Suci serta teks-teks liturgi ­sepanjang ­tahun liturgi, dan juga memberi ­penjelasan tentang ­bagian umum ­(Ordinarium) maupun ­bagian khusus (Proprium) dala Misa ataupun suatu perayaan gerejawi lain….. 5. Pemberian Salam Damai yang ­dilakukanterlalumeriahdan­panjang, sampai imam turun dari panti imam. Seharusnya: RS 71 Perlu mempertahankan ­kebiasaan seturut Ritus Romawi, ­untuk
  • 12. 12 saling menyampaikan salam damai men- jelang Komuni. Sesuai ­dengan tradisi Ritus Romawi, ­kebiasaan ini ­bukanlah dimak- sudkan ­sebagai ­rekonsiliasi atau pengam- punan dosa, melainkan mau menyatakan damai, persekutuan dan cinta sebelum ­menyambut Ekaristi Mahakudus. Segi re- konsiliasi antara umat yang hadir ­lebih diungkapkan dalam ­upacara ­tobat pada awal Misa, ­khususnya dalam rumus per- tama. RS 72 “Salamdamaihendaknyadiberikan oleh setiap orang hanya kepada mereka yang terdekat dan dengan suatu cara yang pantas.” “Imam boleh memberikan salam damai kepada para pelayan, namun tidak meninggalkan panti imam agar jalannya perayaan jangan terganggu….” Salam Damai perlu dipertahankan, han- ya hal dinyanyikan atau tidak, itu tidak secara eksplisit dinyatakan di dalam dokumen Gereja. Bagi yang memilih untuk ­menyanyikannya, dasarnya ka- rena menganggap ­bahwa nyanyian itu merupakan cara ­menyampaikan damai. ­Sedangkan yang tidak menyanyikannya, ­kemungkinan menganggap bahwa hal dinyanyikannya Salam Damai tidak ek- splisit disyaratkan dalam dokumen Ger- eja, dan karena jika dinyanyikan malah dapat mengganggu pusat perhatian saat itu yang seharusnya difokuskan kepada Kristus. Jika kelak ingin diseragamkan, maka pihak KWI-lah yang berwenang un- tuk menentukan apakah Salam Damai ini akan dinyanyikan atau tidak dinyanyikan. Pelanggaran dalam hal penerimaan Komuni: 1. Umat mencelupkan sendiri Hosti ke dalam piala anggur. Seharusnya: RS 94 Umat tidak diizinkan mengambil sendiri–apalagimeneruskankepadaorang lain- Hosti Kudus atau Piala kudus. RS 104 Umat yang menyambut, tidak ­diberi izin untuk mencelupkan sendiri hosti ke dalam piala; tidak boleh juga ia ­menerima hosti yang sudah dicelupkan itu pada tangannya….. PUMR 160 Umat tidak diperkenankan mengambil sendiri roti kudus atau piala, apalagi saling memberikannya antar mereka. Umat menyambut entah sambil berlutut atau sambil berdiri, sesuai dengan ketentuan Konferensi Uskup… Pada hakekatnya Komuni adalah ­sesuatu yang “diberikan” oleh Kristus: ­“Terimalah dan makanlah inilah Tubuh-Ku yang ­diserahkan bagi-Mu…. Terimalah dan minumlah, inilah darah-Ku yang ­ditumpahkan bagimu….”. Jadi bukan sesuatu yang dapat diambil sendiri. 2. Pengantin saling menerimakan ­Komuni. Seharusnya, tidak boleh: RS 94 Umat tidak diizinkan ­mengambil sendiri- apalagi meneruskan kepada orang lain- Hosti Kudus atau Piala kudus. Dalam konteks ini harus ditinggalkan juga ­penyimpangan di mana kedua mempelai saling menerimakan Komuni dalam misa perkawinan. Ekaristi kudus adalah kurban Kristus, dan diberikan oleh Kristus (melalui imam ­ataupun petugas pembagi Komuni tak ­lazim yang diberi tugas tersebut), ­sehingga bukan untuk saling diterimakan oleh umat sendiri. (bersambung...)
  • 13. 13
  • 14. 14 KOLOM “RUMAH JOSS” | SEMUT Yoseph Tien Wakil Ketua ­KomIsi Kepemudaan di ­Keuskupan Agung Medan 14 Pkl. 03.00 WIB, ketika saya baru saja ­tidur, tiba-tiba bagian punggung ­terasa nyeri, seperti disengat listrik. ­Terbangunlah saya secara spontan, ­rupanya ada banyak semut diatas ­tempat tidur, tepatnya dibawah ­bantal. Serangan semut yang serupa, pada malamminggukemarinjuga­membuat istri saya harus terbangun tengah malam, bahkan mengungsi ke kamar anak-anak. Pagi ini semut menyerang lagi. Dan kali ini, titik serangan dan targetnya adalah saya. Jitu! Hehehe... Memang beberapa bulan terakhir ini, semut sepertinya sedang ramai- ramainya mengunjungi rumah kami. Semut selalu ada pada hampir ­semua penjuru rumah. Mungkin karena ­penghuni rumah kami manis-manis dan segala isi rumahnya juga manis- manis. Hahaha... Setelah melakukan prosedur­‘pulbaket’ atau pengumpulan bahan dan ­keterangan, saya melihat sendiri ­bahwa rupanya satu-satunya jalan masuk semut-semut tersebut adalah melalu lubang angin pada dinding ­belakang dapur kami. Setelah mengetahui locus tersebut, berbagai cara kami lakukan ­untuk menghadang pasukan merah mungil ini. Mulai dari penggunaan baygon, jeruk, kapur barus, dan entah ­apalagi. Setelah operasi kami ­lakukan, ­mereka hilang dan tak muncul, ­namun ­beberapajamkemudianatau­besoknya mereka muncul lagi. Akhirnya kami jadi terbiasa, bahkan sepertinya kami mulai mengakrabi mereka. Haha..! Kami tak pernah lagi melakukan operasi penghadangan atau operasi militer alias perang. Tapi dua hari ini, tampaknya mereka mulai menyerang ring satu, pusat ken- dali nuklir, markas komando alias tem- pat tidur pemilik rumah. Gawat! Perang total tampaknya harus ­dimainkan! Semoga ada bantuan dari para sahabat tentang strategi perang, apakah perang gerilya atau strategi ala Sun Tzu. *** Belajar dari semut Pagi ini setelah terbangun, saya ­membaca status facebook seorang sahabat, tentang bagaimana caranya seekor yang gajah mati dapat ­dimakan semut dan jawaban tersuratnya ­semut makan secara ­perlahan-lahan jawaban tersiratnya semut makan ­bersama-sama. Pesan dari status kawan saya tersebut, bahwa sebesar apapun ­masalahnya, ­selesaikan sedikit demi sedikit atau ­tahap demi tahap alias tak bisa ­sekaligus. Saya kemudian teringat dengan ­semut yang masuk ke rumah kami, bahwa ternyata mereka melewati sebuah tembok yang sangat tinggi, mungkin ribuan kali panjang tubuhnya sendiri. Tiada jalan mundur dalam diri semut. Ketika mereka menghadapi masalah, SERANGAN SEMUT
  • 15. 1515 tembok tinggi, mereka memanjatnya, naik ke atas. Mereka maju terus, tidak meratapi ­tingginya ­tembok, apalagi balik kanan dan pulang. Bagi ­mereka pulang harus membawa hasil. Perjuangan pasukan semut mengais atau ­mencari makan, selalu dilakukan bersama-sama. Dan bila panen tiba, mereka panen bersama-sama, lalu menikmatinya juga bersama-sama. Siapapun diantara pasukan semut tersebut, yang pertama kali menemukan makanan, dia akan ­memanggil teman-temannya, para saudaranya dan memberitahu bahkan mengantar teman atau ­saudaranya menuju ke sumber makanan itu, lalu bersama-sama mereka menikmati bahkan ­membawa pulang makanan tersebut. Pada daerah-daerah dekat sumber makanan, ­semut membangun sarang atau rumah mereka. Di sana, mereka tinggal dan hidup bersama, bekerja dan makan bersama. Semut tahu, bahwa mereka tak bisa hidup sendiri, mereka harus hidup ­bersama dan bekerja sama. Semut tahu, bahwa mereka harus ‘dekat sumber makanan’! Dalam kehidupan sehari-hari, sedang dalam ­perjalanan apapun mereka, para semut akan ­selalu ­berhenti dan saling ‘berciuman’, saling menegur sapasatusamalain.Semutjugatahuarti­pentingnya komunikasi secara langsung! Kata demi kata, wajah berhadapan wajah! Jadi, kita bisa belajar tentang kehidupan dari ­perilaku semut: 1) Ketika menghadapi masalah, tetaplah maju ­terus menghadapi masalah tersebut dan per- cayalah ­bahwa selalu ada jalan ke atas. Tembok ­tantangan adalah jalan naik mencapai puncak. Pantang ­menyerah dan selalu berusaha mencari ‘lubang’ penyelesaian, itu penting. Setiap masalah sebesar apapun, hendaknya diselesaikan tahap- demi ­tahap secara cermat dan pasti. 2) Dalam hidup bersama, kerjasama dan ­sama-sama kerja sungguh merupakan sesuatu yang mutlak dan mampu membuat kita melakukan banyak hal besar. 3) Dalam hal rejeki, apapun bentuk dan warnanya, semangatberbagihendaknyaselalu­diperjuangkan terus menerus. Berapa banyakpun yang kita ­peroleh, selalu ada bagian orang lain di dalamnya. 4) Hidup bersama yang harmonis hanya ­terbangun dari komunikasi efektif dan penuh cinta, yang ­terdorong dari semangat membuka diri dan ­menerima kelebihan-kekurangan sesama apa ­adanya. Dalam bekerja, semut selalu berbaris ­dengan rapi dan tertib. 5) Ketika menghadapi ‘musuh’, dan tak cukup ­bertahan saja, terpaksa harus menyerang, seranglah mereka secara bertahap, mulai dari pinggir-pinggir kemudian masuk ke tengah pada ‘pusat kendali nuklir’. Para Sahabat Joss Terkasih,Semoga 5 pelajaran dari semut ini bermanfaat mengawali Senin Ceria kita masing-masing. SERANGAN SEMUT....Serangkai Ancaman dan Tan- tangan....Selalu Engkau Mampu Untuk Teruji! Per- cayalah..! Salam Joss..!
  • 16. 16 Vinsensius G.K. Sitepu Founder Komunitas Mahapala be_web2001@yahoo.com OPINII | POLITIK KEPADA YANG TERHORMAT, CALON MEDAN 1 Saya lahir di Bandung pada tahun 1982. Sekadar“menumpang lahir”, dari kota itu, setahun kemudian, saya dibesarkan di Medan, kota besar sarat hiruk pikuk. Hingga 32 tahun kemudian, saya adalah salah satu dari warga Medan lainnya seba- gai saksi hidup pembangunan yang penuh dinamika. Maka, kepada para calon pemimpin Medan, ­tulisanku ini adalah lukisan luka di hati. Engkau jangan menghempasnya, jikalau tidak ingin kau sentuh. Saya tahu pasti hatimu tahu, walau tidak membacanya. Tiga kalimat terakhir itu adalah plesetan atas syair lagu apik yang dibawakan oleh Hedi Yunus pada tahun 1990-an, tentang curahan isi hati seorang anak manusia yang sedang jatuh cinta. Ia in- gin ­diperhatikan dan ingin kasih sayang. Sebagai sebuah pesan ­komunikasi, tiga kalimat itu paling layak ­dikumandangkan ­menjelang ­perhelatan pemilihan Walikota ­Medan alias Medan 1, tentang ­beragam kegundahan banyak anak Medan hebat mengenai kota yang kian tidak ramah ini. Mengharapkan Medan berubah seperti yang tergambar dalam benak kita, mestilah dimulai dari ­mendorong calon pemimpin yang benar-benar memahami hasrat ­paling hakiki orang Medan, serta tentu saja setiap individu warga yang harus kerap tertunduk ­bercermin, tidak berharap seratus persen kepada pemimpin. Mimpi idealnya adalah sifat kerjasama dan komunikasi yang efektif di antara
  • 17. 17 Kami berharap hidup hari ini di Medan ­adalah mimpi ­buruk, ­tetapi ­kenyataannya tidak. Sekuat apapun kami ­mencubit, ia tetap nyata. Tanpa kejujuran, ketulusan, serta kerja nyata dan tegas, calon Medan 1 akan tampak kerdil dan rendah di hadapan warga “ pemimpin dan warga kota. Sekali peristiwa dan setiap pertemuan sebelumnya, termasuk beragam artikel di halaman ini, kalau ­membincangkan kota Medan, wacana yang selalu mengemuka adalah, pertama jalan kota yang rusak tidak terawat. Kedua, orang Medan masih bisa hidup tanpa walikota. Ketiga, orang Medan itu ­individualistis. Keempat, angkutan kota terlalu banyak dan tidak digantikan mass rapid transportation. Kelima,kok sok kali menyebut Medan Kota ­Metropolitan? Keenam, di atas semua itu, sebagian dari jajaran pemimpin kota ini tidak ­memiliki kepedulian yang tinggi, karena ­moralnya ­bobrok. Dan ketujuh, masalah itu semakin ­bertambah. ­Ketujuh masalah itu ­berlangsung selama lebih dari dua dekade. Bayangkan, 20 tahun! Tentu saja kita iri dengan Kota Bogor dan Bandung yang memiliki pemimpin yang berhasil membuat gebrakan ­signifikan, walaupun permasalahan mendasar kurang dalam tersentuh. Medan, seperti Bogor dan Bandung masih pening kepalanyamengurus kemacetan lalu lintas. Padahal kalau mau jujur, kalau pajak mobil ­sebagai kendaraan mewah ­dinaikkan tiga kali lipat, serta pembatasan ­kepemilikan kendaraan bermotor roda dua ­dilakukan, kemacetan tidak akan muncul. ­Kenyamanan bertransportasi ­digantikan dengan bus dalam kota yang nyaman. Kepadatan tinggi lalu lintas Medan membawa preseden buruk dan ­berdampak negatif. Ambulans yang seharusnya lekas membawa pasien ke ­rumah sakit, harus pasrah ­“terjepit”di tengah jalan. Bunyi sirene yang ­meraung lebih terasa seperti ­suara orang bodoh yang memelas. ­Sebelum terjepit meraung, ambulans tentu saja sudah masuk ke lubang ­jalanan. Kalau saja pasiennya adalah ­seorang ­perempuan hamil, ia berisiko ­melahirkan di ­ambulan. Tetapi jujur, saya berharap ada sapi di jalan yang berkubang itu. Di masa depan, Medan harus ber- solek kemuliaan dan kesejahteraan- nya dan saya yakin ini, bagi sebagian orang ­adalah absurd. Di Medan kelak tidak ada lagi kemacetan kendaraan ­bermotor yang menambah polusi udara. Ia digantikan dengan budaya bersepeda atau pilihan kendaraan ramah lingkungan. Moda transportasi publik lebih banyak, termasuk kereta bawah tanah. Para pengusaha kecil menjadi lebih tertib, karena pindah dari trotoar ke tempat yang lebih layak, rapi dan bersih. Pusat bisnis ini tentu saja harus memiliki lahan parkir yang luas, tidak seperti kondisi di pasar-pasar tradisional saat ini. Dengan demikian pelebaran atas jalan kota yang ­sempit seperti sekarang ini dapat dapat ­dilakukan. Wacana kedua dan ketiga ­berkorelasi erat, bahwa seseorang akan ­menilai dirinya berdikari, tatkala ­muncul ­pemimpin kota yang tidak ­ berkompeten menata ­pembangunan yang merata dan berkeadilan. ­Perkataan,“Kami bisa hidup tanpa ­pemimpin.”adalah pseudo-entity, ­tampak nyata, tetapi rapuh dalam perjalanan. Benar orang Medan dapat hidup tanpa walikota, karena ­walikota tidak bekerja keras menghidupi kota. Walikota yang bekerja layaknya ­kapitalis-manajerial dan bukan kapitalis sejati menghasilkan Medan yang penuh tikus yang rakus uang. Kapitalis-manajerial mencari uang untuk dirinya, sedangkan kapitalis sejati mencetak uang sendiri bagi dirinya termasuk orang lain, karena tipe ini mengajak orang bekerja bersamanya, lalu menularkan semangat bekerja itu membentuk perusahaan lain. Itulah semangat menjadi kupu-kupu, bukan sekadar kepompong. Anggapan karakter individualistis ­adalah resultan kepemimpinan kota yang tidak akur dengan warganya. Alhasil secara konkret dalam ­membuka perusahaan rintisan ­misalnya, ­sulit mencari rekan yang bisa diajak ­kerjasamanya. Yang membuat miris, ide kita dicaplok lalu mendirikan ­perusahaan rintisan dengan karakter yang serupa bersama rekanan lain yang dipikirnya bisa dengan cepat ­mendulang laba. Mengapa tidak
  • 18. 18 ­misalnya, dengan satu ide serupa dipadu- kan dengan tujuan ­menghasilkan profit besar, ketimbang ­terpecah-pecah bentuk usaha yang kurang solid ­berencana. Gambaran Medan tidak punya ­pemimpin adalah gambaran ketidaktegasan ­pemimpin, seperti misalnya menertibkan pedagang kaki lima dengan cara santun atau misalnya mendidik pengendara ­kendaraan bermotor agar disiplin berhenti di belakang garis zebra cross tatkala lampu merah menyala. Ketidaktegasan pemimpin adalah entitas nyata gagalnya pemimpin berkomunikasi dengan warga. Pemimpin gagal mengakomodir keinginan warga untuk maju lebih baik, hingga dengan soknyamemamerkan sebutan Medan Kota Metropolitan. Bukankah itu sangat ­menjijikkan? Tren dan pola pemimpin muda Mengambil contoh menggembirakan dari pemimpin kota Bima Arya Sugiarto dan Ridwan Kamil adalah gambaran tren dan pola kepemimpin publik yang paling ­mencolok di tengah perubahan dunia. ­Untuk menyebut yang lebih hebat adalah si muda kaya raya seperti Mark Zucker- berg, Sergey Brin dan Larry Page, dan Merry Riana. Pemimpin muda ternama dan kaya bukan tidak mungkin diusung oleh ­kemajuan teknologi informasi, di mana komunikasi berlangsung cair dan relatif terbuka. Percepatan era itu lebih cepat, sekitar 15 tahun perubahannya. Bandingkan dengan Era Revolusi Industri yang perlu waktu beberapa dekade untuk mencapai kebulatannya. Tren anak muda sebagai pemimpin adalah cerminan bahwa orang-orang kini lebih rasional memilih, bahwa orang-orang lama yang didominasi orang-orang tua yang lebih senior diasosiakan tak lagi ­berkompeten memimpin. Bahwa kondisi ini didorong pula oleh faktor bonus ­demografi, di mana orang-orang ­Indonesia berusia produktif sudah ­berjumlah 140 juta orang yang memiliki harapan lebih baik tentang masa depannya. Ini ­artinya orang-orang muda lebih kreatif ­menelurkan beragam gagasan segar dan punya tekad mewujudkannya. Namun demikian, mengusung para ­pemimpin muda naik menjadi ­pemimpin Kota Medan masih menyimpan ­halangan. Sebut saja misalnya, anggapan bahwa orang muda Medan tidak ­memiliki ­pengalaman memimpin serumit ­memimpin kota yang sarat birokratik. ­Pemimpin muda kota Medan selanjutnya harus lahir dari kepemimpinan ­organisasi kepemudaan yang juga kompleks dan memiliki jam terbang tinggi pada ­program-program berkarakter penguatan yang pernah dijalankannya. Pengalaman memimpin organisasi di kampus, tentu saja menjadi nilai tambah. Harus diakui beragam organisasi ­kepemudaan di Medan, tetapi sepak terjangnya tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat luas. Kalau mau ­jujur ­organisasi kepemudaan di Medan masih banyak yang pragmatis dan hanya ­mengunggulkan kepentingan pribadi ­untuk naik ke ­tingkat berikutnya yang ­lebih tinggi. Ya, ­pokoknya geraknya di ­situ-situ saja. Saya tidak ­mengatakan mereka jahat atau ­memiliki motif jangka ­pendek, namun karena didera bisikan ­anggota lain, alhasil ­program organisasi tidak menjadi besar. Ia sehausnya mengarah ke lembah, di mana masyarakat merasakannya demi tujuan jangka panjang. Contoh misalnya, belum ada program kerja organisasi kepemudaan yang mendorong secara total perihal pengembangan ekonomi kreatif di Medan. Orang-orang Medan yang kreatif, seperti penyanyi justru berangkat ke Jakarta untuk mengail rejeki, tidak mengembangkan bersama kawan- kawan di Medan untuk bersaing dengan kota lain. Padahal kalau mau ditelisik lebih jauh, potensi ekonomi kreatif tidak kalah dengan anak muda di kota lainnya di Indonesia. Organisasi kepemudaan ataupun ­komunitas lain harus mengembangkan program kerja mereka dalam wujud nyata yang memiliki nilai kewirausahaan, ada nilai tambah ekonomi. Jikalau seorang anak Medan memiliki bakat membuat ­komik strip misalnya, mereka jangan berhenti memamerkannya di media sosial. Organisasi kepemudaan bersama ­perusahaan swasta mendorong mereka menambah nilainya dalam bentuk visual lainnya, seperti film animasi dalam format iklan produk lokal atau dengan durasi yang
  • 19. 19 lebih panjang, tetapi berkonten budaya Medan yang beragam. Hal yang sama dapat diterapkan pada bakat membuat peranti lunak mobile, pembuat film dan lain-lain. Semuanya dipadukan pada lembaga inkubator yang menjembatani mereka dengan para calon investor dalam ­membuat startup company(perusahaan ­rintisan). Tanpa pemanfaatan konsep itu ­potensi kreatif akan menjadi sia-sia dan hanya berakhir di lemari. Pada pokoknya, ­mesti ada entitas kota ini yang ­mempunyai nyali besar untuk menyusun kerangka besar masa depan, tempat anak muda ini berkreasi dan memiliki sikap berwirausaha. Sekolah Wirausaha Satu lagi pekerjaan rumah ­organisasi kepemudaan dan komunitas di ­Medan, dan tentu saja ini didorong oleh ­pemimpin-pemimpin senior lainnya adalah menggagas sekolah ­wirausaha secara serius. Sekolah dalam hal ini ada kajian kurikulum yang tepat, bukan sekadar workshop sehari-dua hari yang ecek-ecek atau seminar yang terkadang lebih mirip kuliah daripada ­mendekatkan mereka kepada dunia nyata. Sekolah wirausaha ­bertujuan mendidik perihal uang, utang, aset, ­liabilitas dan investasi. Rentang ­waktunya bisa 6 bulan ataupun 2 tahun. Kelak jikalau sekolah ini berhasil, maka bisa diterapkan dalam muatan lokal di sekolah-sekolah. Peserta didik ­bukanlah kaum mahasiswa, tetapi ibu rumah tangga bahwa anak SD sekalipun. Saya mengungkapkan ini, sebab karak- ter bangsa kita ini masih ­bernyali pega- wai, bukan pengusaha yang tidak bera- ni mengambil resiko, yang tidak berani berutang untuk sejahtera. Mental orang Indonesia masih dihiasi pemikiran, bahwa dengan bersekolah setinggi- tingginya, maka mendapatkan gaji, tunjangan dan bonus sebesar-besarnya. Ketika gaji sudah tinggi pada perusa- haan besar, ia merasa sudah menjadi kapitalis, padahal ia tidak lebih adalah kapitalis manajerial, bukan ­kapitalis sejati yang bersandarkan diri pada cara mengatasi resiko dan ­menghadapi rasa takut dengan memiliki bisnis sendiri dan berinvestasi di perusahaan lain. Maaf pula kalau saya katakan masyarakat kita masih terlalu ­bergantung pada pemerintah, berharap menyediakan lapangan pekerjaan, mendapatkan insentif dan mendorong pemimpin kota menghadirkan investor asing masuk. Padahal sesungguhnya dengan menjadi pengusaha di negeri sendiri, nilai tambahnya lebih besar daripada mengajak perusahan asing di tanah sendiri. Kita kurang terdorong mengimbangi kinerja pemerintah yang sebenarnya sudah cukup kompleks. Mengapa tidak memulai membuang sampah pada tempatnya, misalnya. Bukankah perubahan sikap itu ­efektif menghindari banjir di rumah kita, daripada sekadar memaki-maki petu- gas kebersihan yang enggan menyapu pinggiran jalan kita? Akhir kata ini yang harus saya ­sampaikan kepada calon Medan 1. Saya dan segenap anak Medan ­memiliki harapan besar kepada pemimpin kota ini nantinya. Kami berharap hidup hari ini di Medan adalah mimpi ­buruk, tetapi kenyataannya tidak. Sekuat apapun kami mencubit, ia tetap nyata. Tanpa kejujuran, ketulusan, serta kerja nyata dan tegas, calon Medan 1 akan tampak kerdil dan rendah di hadapan warga serta pasti akan tampak“sebelas dua belas”dengan para pemimpin kota ini sebelumnya yang berakhir dalam ­keterpurukan, membawa kota ini ke jalan yang tidak jelas.
  • 20. 20 SASTRA | SINTA 19 Sinta Toh setelah ­mencari-cari alasan yang ­membuatnya ­menyukainya, dia hanya menemukan ­kegantengan sematalah penyebabnya. “Tidak takut sendiri?”tanya Ganup. “Sudah biasa.” “Tadi sudah ke sopo yang itu,” ­sambung Ganup sembari menunjuk ke sebelah kanannya,“atapnya bocor.” Sinta mencoba memperhatikan lebih dalam tamu tiba-tibanya itu. Sedari tadi mereka nyaris tidak ­bertatapan. Ganup menghadap ke sebelah sungai. Sinta menghadap Ganup. Dengan begitu dia leluasa menata diri. Terbersit sekilas ­angan. ­Sesungguhnya bukan angan. ­Semester silam tertera beberapa nilai di rapornya yang mendatangkan amarah ibunya. Dia merasa sudah mengerahkan semua tenaga untuk belajar. Di titik inilah dia menemukan satu jalan terang.“Ganup,”bisiknya dalam hati. Tiba-tiba Ganup berpaling sempurna.“Semester depan kita akan satu sekolah.” Lama Sinta terdiam. Dia perhati- kan lagi pria, yang entah kenapa, dia rasai telah mencubit satu sisi kecil hatinya. Cubitan kecil yang mendatangkan asa. Dia kemudian membayangkan bangku sekolah. Lalu teringat guru-gurunya. Melintas- lintas pula ­beberapa teman-teman sekelas. ­Sekarang dia baru saja ­menambahkan satu teman baru di daftar teman-temannya: Ganup. “Aku akan dapat saingan baru.”Sinta mencoba mencairkan kebekuan. Ganup tidak membalas. “Maksudku, aku akan sangat berun- tung berteman denganmu.” “Kita bahkan belum kenalan,”jawab Ganup sembari mengumbar senyum. Sinta mengulurkan tangan. Dia tidak menyadari senyum simpulnya ­membuat teman barunya itu tak segera menyambut tangannya. “Kenapa?”tanya Sinta. Agak-agaknya Ganup grogi. Sinta memang ayu. ­Semua ungkapan puja-puji ke ­bidadari kerap dialamatkan teman- temannya kepadanya. Meski hidung tidak bisa disebut mancung, kedua mata itu sangat bening. Rambutnya menyapu-nyapu keningnya. Warna kulitnya yang tak begitu cerah ­berpadu dengan senyum renyah ditambah pula tutur kata yang ­anggun membuat siapa saja yang bersua dengannya serasa diawasi bidadari-bidadari sorgawi karena satu orang temannya sedang terdampar di bumi. Ganup tidak berencana sedikit pun untuk menyerangnya dengan rayuan. (bagian II) Dian Purba purbadian@gmail.com
  • 21. 21 Sesuatu yang sering dilakukan tiap kali bertemu gadis cantik. Bukan karena dia menggigil kedinginan, namun lebih-lebih karena sesuatu alasan yang dia sendiri pun tidak tahu. “Padi-padi itu sudah menguning,”Ganup mengalihkan suasana.“Belum bisa ­dipanen?” “Semestinya sudah. Tapi anak tulangku menikah hari ini.” “Besok aku bisa ke mari lagi?” “Besok hujan tidak akan turun lagi.” Ganup tertawa.“Tidak untuk hujan, tapi untuk padi itu,”seru Ganup. Sebelum Sinta berhasil menyimpulkan, Ganup kembali berujar,“Bapak sering cerita tentang hauma. Aku rela tak digaji mem- bantu Sinta manggotil [v].” Sesingkat itu sesungguhnya ­perkenalan mereka. Sore itu mereka berjalan ­beriringan di jalan sempit ke kampung. Tentu saja hujan masih turun. Dua helai daun pisang mereka tebas dan ­dijadikan pengganti payung. Hampir-hampir mereka tidak bercakap sepanjang jalan. Pastilah Sinta terpeleset di jalan yang sesekali licin. Dan pasti pulalah Ganup bertindak semestinya melihat Sinta nyaris terjatuh. Setelah itu ­kemudian mereka tertawa bersama. Mereka ­kemudian mengambil ranting kayu dan ­memasukkan sandal mereka berdua ke sana. Memilih bertelanjang kaki di jalan licin sepertinya cukup ampuh. Parit di dekat desa mereka manfaatkan mencuci kaki dan membersihkan sandal mereka yang kotor. “Kalaupun besok tak mendapat ijin dari orangtuamu ikut manggotil, harapan ­terakhirku hanyalah pada hujan,”ujar Ganup sebelum jalan memisahkan ­mereka. Sebelum Sinta berpaling, tam- pak jelas wajahnya memerah. *** Masa panen sudah usai. Emak-emak bahkan sudah menggiling gabah mereka dan menjualnya untuk keperluan- keperluan sekolah anak-anak. Banyak orang kota yang berkunjung ke desa ini berpendapat warga desa sesungguhnya tidak mendapat untung apa-apa dari menanam padi. Terlebih-lebih, menurut mereka, pola bertani yang sekarang ini sudah sangat tradisional, tidak mengikuti jaman. Namun, warga desa tidak ambil pusing dengan pendapat mereka. Bagi mereka padi, sawah, dan hauma tidak semata- mata perkara untung-rugi. Bagi mereka padi adalah bagian dari penghuni rumah. Kita akan menjumpai rumah-rumah warga tidak akan pernah kering dari padi. Mereka selalu meninggalkan ­paling tidak satu karung padi meski mereka mesti membeli beras untuk ditanak di dapur. Kepercayaan ini lebih-lebih ­untuk ­menggambarkan kesiapsiagaan untuk menangkal sesuatu yang tidak ­diharapkan terjadi. Inilah yang diterangkan Sinta ke Gan- up suatu siang saat mereka pulang dari sekolah. Mereka cukup banyak waktu untuk berganti kisah tentang diri ­mereka ­masing-masing. Jarak dari desa ke ­sekolah enam kilometer. Saban pagi, pukul enam, mereka sudah mesti ­berjalan kaki. Demikian juga di selepas sekolah. Waktu sejam untuk ­menempuh yang enam kilometer itu terpakai ­sempurna. Sinta merasakan kakinya ­semakin ringan saja melangkah. Sinta selalu bertanya-tanya kenapa ­Ganup menganggurkan motornya di rumah oppungnya dan memilih ­berjalan kaki 12 kilometer setiap hari. Tapi dia ­selalu berusaha ­menutupinya dengan senyum sumringah. Dia tahu Ganup melakukan itu demi dia. Setiap kali ­memikirkan itu Sinta selalu ­mengakhirinya dengan senyuman. (bersambung ...) 20
  • 22. 22 ILHAM SEHAT | TIDUR SIANG 22 S emasa kecil dahulu, kita ­tentu ingat, orangtua kita kerap ­mengingatkan untuk tidur siang. Anjuran ­tersebut tidak sekedar kiat ‘mengheningkan’ ­suasana rumah ­sejenak.Namun,ada­sejumlah­manfaat penting dalam jeda ­sementara bagi ­tubuh kita. Kebanyakan orang menggunakan waktu malam hari untuk tidur dan siang hari ­untuk bekerja.Olehkarenaitubagibeberapaorang yang sibuk bekerja mungkin tidak memiliki waktu untuk tidur siang. Tidur ­merupakan aktivitas penting, karena dapat ­membantu memulikan tenaga ­setelah kelelahan ­beraktivitas. Disamping juga ­bermanfaat bagi kesehatan otak dan tubuh kita. Sila lirik lima manfaat penting Tidur Siang, yang kami rangkum dalam edisi ini. 5 MANFAAT TIDUR SIANG
  • 23. 23 Manfaat Tidur Siang bagi Kesehatan Meningkatkan daya ingat Sebuah penelitian tahun 2008 menemukan ­bahwa tidur siang selama 45 menit bisa membantu ­meningkatkan daya ingat. Peningkatan ini terjadi dalam fase slow-wave sleep atau tidur gelombang pendek sebagaimana biasa terjadi saat tidur siang. Meningkatkan produktivitas Tidur siang dapat melindungi otak dari pengolahan informasi yang terjadi secara berlebihan dan membantu mengkonsolidasikan informasi yang baru dipelajari. Mengobati insomnia Penelitian telah menemukan bahwa orang yang tidur siang selama 15 menit merasa lebih waspada dan kurang mengantuk, bahkan ketika malam hari sebel- umnya kurang tidur. Menurunkan stres Ingin memotong hormon stres kortisol sebanyak separuh? Penelitian menunjukkan bahwa hormon stres secara dramatis mengalami penurunan setelah tidur siang, terutama jika semalam tidurnya kurang begitu nyenyak. Mencegah penyakit jantung Tidur siang yang pendek selama 20-40 menit bisa mengurangi risiko penyakit kardiovaskular seperti jantung dan stroke.
  • 25. 25 Gereja dan Pemanasan Global I nilah yang kita namai dengan ­kamuflase hijau. Perubahan ­bentuk ­perusahaan-perusahaan perusak ­lingkungan menjadi laiknya ­penyelamat bumi ­dengan ­mengenakan topeng ­“hijau”. Salah satu topeng itu adalah ­dengan ­menggunakan media-media ­besar ­berpromosi. Iklan-iklan itu akan sangat berbahaya saat anak-anak tumbuh ­dengan pikiran bahwa perusahaan-perusahaan tersebut jagoan pelestari ­lingkungan. Dan tidak ada yang lebih menyedihkan selain pemerintah dan organisasi antarpemerintah ­dapat diyakinkan agar lebih banyak mengalah dalam menuntut penuaian kewajiban dan pertanggung- jawaban mereka karena telah merusak alam. Food Estate di tanah Papua membuat kesedihan itu terjadi. Di bawah panji “Menjaga ketahanan pangan Indonesia”, pemerintah lewat ­Departemen ­Pertanian menggulirkan megaproyek ­penggunaan lahan 1,6 juta hektar tanah Merauke untuk lahan pertanian. Tidak kita temukan masalah cukup ­berarti andai lahan yang luasnya sama dengan setengah luas Jawa tengah itu diperuntukkan bagi rakyat Papua. Kekuatiran kita memuncak saat pemerintah memastikan proyek ini diserahkan 100 persen ke swasta. Yang kita saksikan ­kemudian ­adalah berbondongnya para konglomerat ­Indonesia membagi-bagi jatah bererbut kue baru (bagian II)Gereja dan Pemanasan Global (bagian II)
  • 26. 26 Gereja tidak terpisah dari semua proses itu. Proses ­penghancuran terjadi kasat mata. Gereja melihat. Gereja mendengar. Gereja ­mengalami sendiri bagaimana kekuatan- kekuatan itu menjajah ­kehidupan di bumi. Orang Kristen tidak hidup dalam komunitasnya sendiri. “ di bumi Papua. Sebut saja beberapa: Arifin ­Panigoro di bawah bendera Medco ­Foundation & Conservation ­Internasional mendapat jatah 35.000 hektar; Siswono Yudo Husodo di bawah bendera PT Bangun Tjipta Sarana mendapat ­jatah 8.000 hektar; Hashim Djojohadikusumo, PT ­Cemexindo Internasional, mendapat ­jatah 200 hektar; Tomy Winata, bos Grup Artha ­Graha, mendapat jatah 2.500 hektar. Pemerintah memanjakan pengusaha kakap itu dengan insentif semenarik mungkin. Bank Mandiri menggelar acara khusus yang ­mereka namai “Papua Invesment Day”. Pertemuan ini untuk menyinergikan korporasi sebagai ­investor dengan pemerintah dan perbankan. Pemerintah juga menjamin, melalui Bupati Merauke John Gluba Gebze, para investor ­takkan mendapat gangguan dari masyarakat adat di sana. Selain itu, dana awal Rp 3 triliun telah disiapkan guna membangun jalan dan pembangunan pelabuhan. Tujuan food estate sangatlah mulia: menjaga perut penduduk Indonesia tidak ­kekurangan makanan. Kita lantas bertanya, kenapa urusan teramat penting ini diserahkan ­sepenuhnya kepada swasta? Di kemanakan rakyat Papua? Kenapa pemerintah tidak pernah ­memberdayakan mereka? Para ­konglomerat itu mendapat tanah gratis, insentif pajak, ­serta upah buruh murah. Petani ­Merauke akan ­semakin terpinggirka karena lahan ­semakin sempit. Cara pandang ­pemerintah dengan cara pandang rakyat ­Papua dengan tanah itu ­bertolak belakang. Rakyat Papua ­memperlakukan tanah itu sebagai tanah adat, pemerintah memandangnya sebagai lahan produksi. Sekali lagi, rakyat Papua yang petani kecil akan diposisikan sebagai penonton di pinggiran saja. Dampak lain penggunaan lahan seluas itu tentu saja menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah menjalankan apa yang sudah disepakatinya sendiri saat KTT Perubahan Iklim berlangsung di Kopenhagen, Denmark, be- berapa waktu lalu. Pemerintah RI berjanji akan mereduksi emisi gas rumah kaca hingga 26 persen pada 2020.Target itu hanya akan terjadi apabila pemerintah mengurangi alih fungsi lahan sebesar 14 persen, manajemen sampah yang benar 6 persen, dan efisiensi energi 6 persen. Selanjutnya kita akan menyaksikan ­penebangan besar-besaran pohon hutan ­tropis dan ­menggantinya dengan tana- man satu jenis. Kekayaan alam berupa fauna dan hayati akan terancam keberadaannya. ­Pemerintah ­memandangnya berbeda: “Itu ­lahan kosong dan tidak terpakai. Jadi, per- gilah ke sana, lihatlah betapa luasnya lahan kosong itu,” kata Wakil Menteri Pertanian RI Bayu ­Krisnamurti. Gejala kebijakan seperti ini ­dinamai ­pemerintah ­sebagai perwujudan “iklim bisnis yang ­kondusif”. Iklim di mana:“kini pejabat negara bertindak sebagai “pengusaha” yang menjual kota, wilayah, dan apa (pun) yang bisa ­ditawarkan kepada investor ­global. Policy ­disebut sukses apabila ­pengusaha ­berdatangan melakukan investasi, dalam ­supermarket dan malls, sekolah dan rumah sakit internasional (dan juga hutan)”. Dan sampailah kita ke penyumbang terbesar karbon dioksida: pembakaran bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil terdiri dari minyak bumi, gas alam, dan batubara. Untuk keperluan pembahasan topik ini, kita mesti melebarkan diskusi kita betapa perusahaan-perusahaan besar lintasnegara (perusahaan transnasional: selanjutnya disingkat PTN) memainkan peran maksimal memanaskan suhu bumi. Lantas, kampanye-kampanye raksasa mereka yang “memaksa” kita betapa mereka seolah-olah bertindak sebagai penyelamat bumi harus kita artikansebagaipenggunaantopeng­kamuflase hijau semata. Penggunaan bahan bakar fosil melonjak naik saat revolusi industri abad ke-18 ­meletus. Saat itu batubara menjadi sumber energi ­dominan. Pertengahan abad ke-19 minyak bumi ­menggeser posisi batubara. Abad ke- 20 ­penggunaan gas diperkenalkan. Pasca ­penemuan mesin uap, industri ­berkembang laiknya jamur di musim hujan. Dan kini, ­kegiatan-kegiatan PTN menghasilkan 50 persen ­lebih dari semua gas rumah kaca yang ­dikeluarkan oleh seluruh sektor industri. “Kita”menggalilebihdarienammiliarton­bahan bakar fosil yang menghasilkan gas ­rumah kaca terbanyak dari bumi setiap ­tahunnya. Dari ketiga bahan bakar fosil itu, batubara ­berbiaya paling rendah, harganya murah, berjumlah banyak, dan yang paling kotor dibandingkan koleganya. Kabar buruk kita terima dari negeri Tiongkok. Cina berencana membangun 762 pembangkit listrik tenaga batu bara. Efek yang dihasilkan bagi ­lingkungan dari ­pembakaran 2,5 miliar ton batubara setiap tahun sangat ­serius dan luas cakupannya. Kualitas udara yang buruk mengakibatkan sekitar 400.000 ­kematian premature setiap tahun di Cina. Dan kemungkinan besar negeri Tirai Bambu ini telah mengalahkan Amerika Serikat sebagai penghasil CO2 terbesar di dunia. Di perkotaan, kendaraan motor bertanggung jawab atas 90 persen polusi udara. Tahun 1970, jumlah kendaraan bermotor sekurangnya 200 juta kendaraan. Tahun 2006 lebih dari 860 juta. Dan di Amerika Serikat saja, 1,4 miliar bensin dikonsumsi setiap hari tahun 2004. Inilah akibat dari penggunaan bahan bakar
  • 27. 27 fosil: emisi partikel, SO2, NOx, dan CO2. Emisi ­partikel, SO2, dan NOx adalah bahan polutan yang berhubungan langsung dengan ­kesehatan ­manusia. SO2 menyebabkan problem ­saluran ­pernapasan; radang paru-paru menahun; ­hujan asam yang ­dapat merusak lingkungan danau, ­sungai, dan hutan; mengurangi jarak ­pandang. NOx ­menyebabkan sakit pada ­saluran ­pernapasan; ­hujan asam; dan ozon ­menipis yang ­mengakibatkan kerusakan ­hutan. Par- tikel/debu mengakibatkakn iritasi pada mata dan ­tenggorokan; bronkitis dan ­kerusakan ­saluran pernapasan; dan mengganggu jarak ­pandang. Emisi CO2 merupakan sumber ­terbesar yang ­bertanggung jawab terhadap terjadinya ­pemanasan global dan kerusakan ekosistem. Emisi CO2 tidak berhubungan langsung dengan kesehatan. Pada tahun 1995 total emisi CO2 sebesar 156 juta 6 ton per tahun dan meningkat menjadi 1.077 juta ton per tahun pada tahun 2025 atau ­meningkat rata-rata sebesar 6,6 % per tahun dalam kurun waktu 30 tahun. BerdasarkanWorld Development Report 1998/99 dari Bank Dunia, total emisi CO2 dunia pada tahun 1995, baik berasal dari peng- gunaan energi maupun dari sumber lain sebesar 22.700 juta ton. Negara yang mempunyai emisi CO2 terbesar adalah Amerika Serikat yaitu sebesar 5.468 juta ton atau sebesar 24,1 % dari total emisi CO2 dunia, sedangkan Indonesia ­mempunyai emisi sebesar 296 juta ton atau ­sebesar 1,3 % dari total emisi CO2 dunia. Pertobatan ekologis Lantas, setelah begini, langkah kita jejakkan ke sebelah mana? Di mana gereja ­menempatkan posisinya? Atau pertanyaannya ­barangkali boleh diubah: bagaimana kesiapan gereja ­menghadapi arus deras perusakan lingkungan tersebut? ­Deretan pertanyaan itu mengingatkan kita ­dengan kelahiran teologi pembebasan di Amerika Latin yang gaungnya juga kedengaran di ­Indonesia. Amerika Serikat dan Eropa Barat ­teramat kuatir paham ­komunisme menjamur di ­dunia ketiga. ­Berbagai cara yang ­mereka lakukan ­menghempang ­penyebaran ­paham yang ­bersebarangan ­dengan ­paham ­kapitalisme itu kita kenal ­dengan Perang ­Dingin. Amerika dan ­sekutunya ­menelurkan istilah ­“pembangunan” ­(developmentalism). Penerapan ­paham ini di lapangan: aliran kenikmatan luar biasa dirasakan rezim-rezim korup dengan ­bantuan persenjataan dan dana-dana segar. Tentulah rakyat tidak men- dapat apa-apa selain “menikmati” asiknya negara memperkaya diri sembari memiskinkan rakyat. Dan senjata-senjata itu terarah langsung ke wajah rakyat saat ­mereka ­mencoba berdiri berseberan- gan. Penolakan ­dengan kondisi inilah yang mel- ahirkan istilah “pembebasan” itu. Demikianlah, gereja ­bangkit menggaungkan suara kenabian menentang ­kezoliman ini. Teologi pembebasan diracik dari perpaduan apik iman Kristen dengan Marxisme. Di Indonesia kita mengenal Romo ­Mangunwijaya yang dengan istilah berbeda, teologi pemerdekaan, mengaktualisasikan nalar dan pikiran selaku instrumen pertanggungjawaban sikap manusia beriman terhadap diri sendiri, ­sesama manusia, dan Tuhan. Mengacu ke teologi pembebasan di Ameri- ka Latin, Romo Mangun mengartikan teologi pemerdekaan ke dalam dua hal. Pertama, pen- emuan bahwa, teologi, apalagi gereja, pada haki- katnya bukanlah kumpulan dogma-dogma yang abstrak, tetapi sistematisasi sikap serta peristiwa konkret, kontekstual. Karena itu ia harus selalu diuji dan ditinjau kembali di dalam dan oleh pen- galaman serta penghayatan peristiwa-peristiwa dunia, bangsa, maupun perorangan. Kedua, bah- wa teologi pemerdekaan pun bukan segugusan tesis-tesis abstrak yang tugas pertamanya harus dikuliahkan, melainkan sesuatu yang dikerjakan, dalam suatu perjalanan praktis konkret dalam ­dialog dan proses meremajakan diri dengan fakta dan data-data; sekaligus suatu sumbangan hidup demi sejarah pemerdekaan manusia yang ­tertindas dan terbelenggu. Gereja-gereja ditantang. Ijinkan saya ­menghaturkan ini: terima tantangan itu. Semua data-data di atas, dan semua data-data yang ­belum tercatum tentang betapa planet yang kita tempati ini sudah begitu rusak, mestilah ­menjadi pengetahuan wajib setiap anggota jemaat. ­Tantangan ini ditujukan bukan hanya semata ke geraja secara institusional, melainkan wujud mendasar dari pertanggungjawaban iman. Gereja tidak terpisah dari semua proses itu. Proses penghancuran terjadi kasat mata. Gereja melihat. Gereja mendengar. Gereja mengalami sendiri bagaimana kekuatan-kekuatan itu menjajah kehidupan di bumi. Orang Kristen tidak hidup dalam komunitasnya sendiri. Juga tidak hidup hanya untuk kepentingan komunitasnya sendiri, tetapi hidup bersama dan punya kepentingan dengan yang lain. Mata air di lembah sudah lama kering. Gunung- gunung tak lagi dikitari aliran air kehidupan. ­Binatang-binatang di padang sudah lama punah. Siulan burung merdu di pepohonan di antara daun-daun sudah lama tidak bersenandung bersahut-sahutan. Dengan demikian, diskusi ini menemukan kembali awal baru memulai sebuah pembicaraan serius dan kemudian melanjutkan perjalanannya: tindakan apa semestinya dilakoni menyelamatkan bumi?
  • 28. 28
  • 29. 29 LAPO AKSARA Ananta Bangun anantabangun.com Redaktur Tulis di ­Lentera News 29 KAPAK PENEBANG POHON S eorang pria bertenaga kuat, pada satu hari, melamar pekerjaan di Usaha Perkayuan. Kepada si Pemilik usaha itu, ia memohon diterima sebagai penebang kayu. Menilik postur tubuh dan ototnya yang besar si pemilik usaha itu pun coba menguji pria tersebut. Sesuai posisinya, ia diuji berapa banyak pohon yang mampu ditebangnya dalam satu hari itu. Hasilnya memuaskan. Pria tersebut dapat menebang sebanyak 20 pohon dalam satu hari itu. Pemilik Usaha ­Perkayuan pun menerimanya, dan dapat mulai bekerja mulai esok hari. Pada lima hari pertama bekerja, tak ada yang berubah dari hasil kerja pria tersebut. Dengan bersemangat, ia kerap mampu menebang 20 pohon dalam satu hari. Keanehan terjadi di hari ke-6, hanya 19 pohon yang mampu ia tebas. ­VHatinya pun sedikit gusar. Perasaan heran dan gelisahnya semakin hari semakin ­membubung. Tatkala cuma 15 pohon yang dapat ditebangnya pada hari ­ke-10.“Ada apa dengan diriku?”Ia ­bertanya dalam hati. Pada akhirnya sang penebang ­tersebut tak kuasa menahan jengkel di hari ­ke-20. Musababnya, pada satu hari itu ia cuma menebang 2 pohon saja. Sembari ­menahan malu, ia kemudian ­mengadukan permasalahannya itu ­kepada si Pemilik Usaha Perkayuan. Perihal penurunan kinerjanya selama 20 hari tersebut. Sang Pemilik usaha pun menjawab anak buahnya dengan bertanya:“Apakah selama 20 hari tersebut, kamu pernah mengasah kapakmu?” “Tidak, Pak. Karena saya sungguh sibuk untuk bekerja memenuhi target, ­menebang banyak pohon,”aku pria itu. “Nah. Ini lah yang menjadi akar masalahmu. Kegigihan dalam bek- erja tak dibarengi perhatian pada alat yang menopang pekerjaanmu,” terang si ­Pemilik.“Tentu mustahil engkau ­mencapai targetmu, jika hanya ­mengandalkan tenaga fisikmu saja.” Kisah di atas bukanlah ihwal baru dalam perjalanan hidup kita. Namun, kerap saja kita terlupa bahwa setiap profesi yang kita tekuni membutuhkan ‘perkakas khusus’. Bila penebang pohon ­mengandalkan pohon, maka petani juga memberdayakan cangkul. Pun nelayan, polisi dan rupa profesi lainnya. Bagaimana dengan profesi yang ­mengandalkan kecerdasan semata. ­Terlebih bagi sosok pemimpin bagi banyak insan. Dengan apakah kita mengasahnya? Boleh jadi fikiran kita lalu mencuat pada kisah silam di Alkitab. Yakni ketika Raja Salomo memohon hikmat kebijaksanaan dari Allah; ­alih­-alih meminta kekayaan berlimpah. Maka Allah pun menjawab permohonan putra Daud itu:“Oleh karena itu yang kauingini dan engkau tidak meminta kekayaan, harta benda, kemuliaan atau nyawa pembencimu, dan juga tidak mem- inta umur panjang, tetapi sebaliknya eng- kau meminta kebijaksanaan dan penger- tian untuk dapat menghakimi umat-Ku yang atasnya Aku telah ­merajakan engkau, maka kebijaksanaan dan penger- tian itu diberikan kepadamu ; selain itu Aku berikan kepadamu ­kekayaan, harta benda dan kemuliaan, sebagaimana belum pernah ada pada raja-raja sebelum engkau dan tidak akan ada t pada raja- raja sesudah engkau.”(2 Tawarikh 1:8-12). Marilah kita tetap‘mengasah’hati dan ‘perkakas’kita dengan tekun, rendah hati dan penuh syukur yang selalu ­ditengadahkan bagi-Nya.