1. Makalah ini membahas teori-teori kesantunan berbahasa dari berbagai perspektif, mulai dari konsep wajah menurut K'ung Fu-tzu hingga prinsip-prinsip kesantunan berbahasa.
2. Beberapa teori yang dijelaskan meliputi konsep wajah Brown & Levinson, prinsip kerjasama Grice, prinsip kesantunan Leech, dan prinsip saling tenggang rasa Aziz.
3. Makalah ini juga me
1. Logika Tiga Dimensi Teori-teori
Kesantunan Berbahasa
(The Triadic Logic of Linguistic Politeness Theories)
Prof. E. Aminudin Aziz
Drs. (UPI), M.A., Ph.D. (Monash)
Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
Universitas Pendidikan Indonesia
3. Kesantunan dan Ketakziman Berbahasa
Kesantunan berbahasa (politeness) terkait dengan
upaya seorang penutur untuk mengurangi dampak
dari sebuah tindakan yang mungkin mengancam
wajah (face-threatening acts);
Ketakziman berbahasa (deference) terkait dengan
upaya seorang penutur untuk menunjukkan rasa
hormat terhadap mitra tuturnya (face-satisfying
acts)
Kesantunan dan Ketakziman terkait dengan
upaya pemuliaan “wajah”.
4. KONSEP WAJAH
Sebuah atribut sosial yang dimiliki setiap jiwa,
bersifat sakral, dan setiap pemiliknya akan
berusaha mempertahankan kesakralannya
(Goffman 1959; berdasarkan rumusan Hu
[1942] yang mengacu pada konsep wajah dari
K’ung Fu-tzu [+/- 2500 SM])
5. DALAM FILOSOFI K’UNG FU-TZU
(TRADISI CINA)
Wajah = Mian/lian
(Dimaknai lebih sebagai metafora ketimbang wujud kasar)
Wajah bersifat sosial dan ia ada pada
seseorang sebagai pinjaman dari
masyarakat, yang sewaktu-waktu
dapat dicabut
6. Konsep Dasar Wajah
Relasional
Kepatuhan terhadap prinsip ini mutlak
diperlukan untuk menjaga keharmonisan sosial
dan hubungan baik seluruh warganya,
sekalipun dengan pengorbanan pribadi
Sifat relasional wajah terkait dengan
mekanisme yang berlaku dalam mengatur
hubungan dan perilaku antarpersonal warga
masyarakat dalam mewujudkan keharmonisan
masyarakatnya.
7. Komunal/Sosial
Kepatuhan terhadap prinsip ini didorong oleh
rasa takut memperoleh sangsi sosial warga
masyarakat akibat kesalahan yang diperbuat
Sifat komunal/sosial wajah didasarkan pada gagasan
bahwa wajah adalah perisai yang dapat melindungi
seseorang dari berbagai kemungkinan “serangan dan
cercaan” warga masyarakat lainnya tentang perilaku
pemiliknya. Kehilangan perisai tersebut akan berdampak
pada hilangnya wajah seseorang di mata anggota
masyarakat lainnya.
8. Hirarkis
Menyiratkan keharusan untuk selalu berada pada
tataran “wajar” dan “saling menghargai”, diwujudkan
dalam bentuk “yang tua sayang terhadap yang muda,
yang muda menghormati yang lebih tua”.
Wajah dikatakan bersifat hirarkis, karena realisasi
penghormatan terhadap “wajah” (baca: harga diri)
seseorang, seringkali didasarkan atas atribut-atribut
sosial yang membeda-bedakan seseorang dengan
lainnya, seperti faktor senioritas dalam usia, asal
muasal keturunan, jabatan, harta kekayaan, dan
sejenisnya.
9. Moral
Ditujukan untuk menggapai derajat manusia yang
memiliki integritas moral tinggi
Wajah dikatakan berbasis moral mengingat
hanya orang yang memiliki integritas moral yang
kuatlah yang akan peduli terhadap kesakralan
wajahnya. Hanya orang yang bermoral yang
akan peduli dengan wajah (baca: harga diri) yang
telah diperolehnya dari masyarakat.
10. Brown&Levinson (1978; 1987)
Wajah Positif (Positive Face)
Harapan/keinginan pemilik wajah agar
segala hasil jerih payah dan prestasinya
dapat dihargai secara wajar oleh
lingkungannya.
Wajah Negatif (Negative Face)
Harapan/keinginan pemilik wajah agar ia
tidak menerima gangguan dari
lingkungannya
11. Kesantunan Positif
(Positive Politeness)
• Waduh, bajunya bagus banget tuh! (menunjukkan
apresiasi/pujian terhadap milik/prestasi seseorang)
• Sekarang sudah baikan, ‘kan? (menunjukkan empati
dan solidaritas)
• Kita memang orang-orang hebat dan layak terpilih.
(ungkapan inklusif, mengakui adanya kebersamaan
bagi semua)
• Kita pasti bisa menyelesaikan tugas berat itu pada
waktunya dan pasti berhasil dengan baik.
(menunjukkan optimisme)
• Hati-hati di jalan ya? (memberikan perhatian; bersifat
sok akrab)
12. Kesantunan Negatif
(Negative Politeness)
• Saya nggak tahu, apakah Ibu lebih suka jengkol atau petai?
(tidak memaksakan; memberikan pilihan)
• Maunya sih...Bapak berkenan hadir pada acara kami itu.
Tapi, kalau terlalu sibuk, ya...gimana lagi. (tidak ingin
mengganggu kebebasan pihak lain; menghargai komitmen
pihak lain)
• Maaf ya mau nanya, kalau bis kota ke alun-alun lewat sini
nggak? (mengakui bahwa tindakan ini mengganggu pihak
lain)
• Keputusannya saya serahkan kepada Bapak saja.
(memberikan kewenangan penuh dan kebebasan kepada
pihak lain).
13. Strategi Tak Langsung
(Off-record Strategies)
• Sepertinya di dalam ruang ini panas sekali ya? (meminta agar
mitra tutur menghidupkan kipas angin, membuka jendela,
atau pengatur suhu ruang/AC)
• Tidak ada alasan untuk tidak memberi maaf. Saya tidak
sejahat yang dikira orang lain. (ungkapan menerima
permohonan maaf dari mitra tutur)
• Alangkah bijaksana dan terhormat Anda apabila tidak
menambah polusi di ruang ini (larangan untuk tidak merokok).
• Sudah beberapa bulan ini saya belum bisa membayar SPP
anak-anak. (permintaan untuk dipinjami uang)
14. Konsep wajah dari Brown and
Levinson
Konsep wajah menurut ajaran
K’ung Fu Tzu
1. berpusat pada aspek wajah
yang dimiliki oleh individu,
1. berpusat pada aspek wajah
yang dimiliki oleh masyarakat,
2. berusaha mengakomodasi
keinginan dan harapan individu.
Wajah diperlakukan sebagai
bentuk keinginan,
2. berusaha mengakomodasi
keharmonisan perilaku individu
berdasarkan penilaian
masyarakat. Wajah
diperlakukan sebagai tantangan
normatif dalam masyarakat,
3. terdiri dari wajah positif dan
wajah negatif. Wajah negatif
merujuk pada kebutuhan
individu untuk bebas dari
imposisi/tekanan eksternal.
3. terdiri dari lian and mianzi.
Mianzi tidak dapat
dipersamakan atau difahami
dalam kaitannya dengan wajah
negatif.
15. Grice (1975): Prinsip Kerjasama
(Cooperative Principle)
Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity)
Maksim Kualitas (Maxim of Quality)
Maksim Relasi (Maxim of Relation)
Maksim Cara (Maxim of Manner)
16. Leech (1983): Prinsip Kesantunan
(Principle of Politeness)
Jenis-jenis tindak tutur yang
ingin dinyatakan penutur
melalui tuturannya
Posisi yang diambil oleh
penutur dengan cara
berbuat jujur, benar,
santun, ironis, dsb.
Sasaran ilokusi penutur
(S’s illocutionary goals)
Sasaran sosial Penutur
(S’s social goals)
Retorika Antarpersonal
(Interpersonal Rhetoric)
Retorika Tekstual
(Textual Rhetoric)
17. Maksim kebijaksanaan (Tact maxim)
Minimalkan kerugian kepada orang lain
Maksimalkan keuntungan bagi orang lain
Maksim kemurah-hatian (Generosity maxim)
Minimalkan keuntungan untuk diri sendiri
Maksimalkan kerugian untuk diri sendiri
Maksim Pujian (Approbation maxim)
Minimalkan cacian kepada orang lain
Maksimalkan cacian kepada diri sendiri
18. Maksim Kesederhanaan (Modesty maxim)
Minimalkan pujian untuk diri sendiri
Maksimalkan cacian untuk diri sendiri
Maksim Kesepahaman (Agreement maxim)
Minimalkan ketidaksepahaman antara diri sendiri dan
orang lain
Maksimalkan kesepahaman antara diri sendiri dan orang
lain
Maksim Simpati (Sympathy maxim)
Minimalkan antipati antara diri sendiri dengan orang lain
Maksimalkan simpati antara diri sendiri dengan orang lain
19. Aziz (2000): Prinsip Saling Tenggang Rasa
(Principle of Mutual Consideration/PMC)
Terhadap mitra tutur Anda, gunakanlah
tuturan yang Anda sendiri pasti akan senang
mendengarnya apabila tuturan tersebut
digunakan orang lain kepada Anda
dan …
Terhadap mitra tutur Anda, jangan gunakan
tuturan yang Anda sendiri pasti tidak akan
menyukainya apabila tuturan tersebut
digunakan orang lain kepada Anda
20. Prinsip-prinsip dalam PMC
Daya Sanjung dan Daya Luka (Harm&Favour
Principle)
Prinsip Berbagi Rasa (Shared Feeling Principle)
Prinsip Kesan Pertama (Prima facie Principle)
Prinsip Keberlanjutan (Continuity Principle)
21. Keunggulan PMC
Bekerja dalam mekanisme Kausalitas
(bandingkan dengan teori Leech [1983] yang sangat Tautologis)
Mengasumsikan bahkan menyaratkan adanya
Kesantunan sebelum berkomunikasi (pre-event politeness)
Kesantunan pada saat berkomunikasi (on-the-spot politeness)
Kesantunan setelah berkomunikasi (post-event politeness)
22. TIGA DIMENSI LOGIKA KESANTUNAN
BERBAHASA (2005)
Kebebasan Individual
(Individual Freedom)
Ketentraman Sosial
(Social Harmony)
Kepuasan Ilahiah
(Godlines Contentment)
23.
24. Dari Gambar di atas…
Proses Komunikasi mesti memuat:
Niat
Formulasi Ujaran
Realisasi Ujaran
Keberlanjutan Interaksi Komunikasi
Catatan:
Proses di atas terpancar dalam sebuah spektrum– niat
menjadi intinya, dan ia berwarna lebih solid
Batas-batas dari proses di atas adalah garis-garis putus;
bergantung pada context of situations (Cf. Hymes’
SPEAKING)