1. TUGAS MATA KULIAH
ARGUMENTASI HUKUM (Legal Opini)
Tugas akhir sebagai persyaratan kelulusan mata kuliah Argumentasi Hukum
Nama
:
Sukarman
NIM
:
110111100097
Fak.
:
Hukum
Universitas Trunujoyo Madura
No
: 58/KH.M&M/K/VIII/2010
Lampiran
:-
Perihal
: Legal Opini dan Permohonan uji Materiil Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
Kepada Yth
Ketua Pengadilan Mahkamah Konstitusio
di-Tempat
Yang bertanda tangan di bawah ini
i)
Rusdianto Matulatuwa;
ii)
Oktryan Makta; dan
iii)
Miftachul I.A.A.,
Advokat pada Kantor Hukum Matulatuwa & Makta yangberalamat di Wisma Nugra
Santana 14th Floor, Suite 1416, Jalan JenderalSudirman Kav.7-8 Jakarta 10220.
Bahwa dengan ini kami menyampaikan Pendapat Hukum (Legal Opinio) terhadap Pengajuan Uji
Materiil (Judical Review) atas nama Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar
Ibrahimberkedudukan Ujung Pandang di jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW 002/008,
Desa/Kelurahan PondokBetung, Kecamatan Pondok Aren,Kabupaten Tangerang, Banten.
Adapun pendapat hokum (Legal Opinion) sebagai Berikut:
1
2. Posisi Kasus
"... Bahwa pada tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta telah berlangsung pemikahan
antara Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H.Mochtar Ibrahim) dengan seorang
laki-laki bernama Drs. Moerdiono,dengan wali nikah almarhum H. Moctar Ibrahim, disaksikan
oleh 2 orangsaksi, masing-masing bernama almarhum KH. M. Yusuf Usman danRisman, dengan
mahar berupa seperangkat alat shalat, uang 2.000 Riyal(mata uang Arab), satu set perhiasan
emas, berlian dibayar tunai dandengan ijab yang diucapkan oleh wali tersebut dan qobul
diucapkan olehlaki-laki bernama Drs. Moerdiono:
Bahwa dalam hokum Indonesia perkawinan adalah sah apabila dilakukan sesuai
agamanya, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dankepercayaannya itu.”
Bahwa dalam hubungan keluarga antara Pemohon dengan Drs. Moerdiono
tersebut telah di karuniai seorang anak laki-laki bernama M. Iqbal Ramadhan.
Bahwa dalam pasal 43 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974 menjelaskan
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Bahwa dengan keberadaan aturan hokum yang demikian itu, hak seorang anak
untuk mendapat kasih sayang dan pengakuan dari kedua orang tuanya telah di
cederai, akibat dengan adanya aturan pasal 43 ayat (1) tersebut yang terjadi
hubungan anak dengan ayahnya menjadi tanpa pengakuan.
jadi pemohon merasa haknya dilanggar dengan adanya pasal 43 ayat (1) UU No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut
Bahwa dengan melihat posisi kasus tersebut di atas, maka kami selaku advokat dari Hj.
Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahimakan memberikan pendapat hokum
(Legal Opinion) sebagai beritkut:
Legal Opinion (Pendapat Hukum)
Bahwa pada dasarnya suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hokum
masing-masing agama dan keyakinannya itu sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1)
2
3. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”
“Sehingga oleh karenanyapemikahan yang telah dilakukan oleh Pemohon adalah
sah dan hal itu juga telah dikuatkan dengan Putusan Pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sebagaimana
tercantum dalam amar Penetapan atas Perkara Nomor 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs.,
tanggal 18 Juni 2008, halaman ke-5, alinea ke-5 yang menyatakan: "... Bahwa
pada tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta telah berlangsung pemikahan antara
Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim) dengan
seorang laki-laki bernama Drs. Moerdiono, dengan wali nikah almarhum H.
Moctar Ibrahim, disaksikan oleh 2 orang saksi, masing-masing bernama
almarhum KH. M. Yusuf Usman dan Risman, dengan mahar berupa seperangkat
alat shalat, uang 2.000 Riyal (mata uang Arab), satu set perhiasan emas, berlian
dibayar tunai dan dengan ijab yang diucapkan oleh wali tersebut dan qobul
diucapkan olehlaki-laki bernama Drs. Moerdiono.”1
Bahwa dari hasil pernikahannya pemohon Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H.
Mochtar Ibrahim dengan seorang laki-laki bernama Drs. Moerdiono, telah dikaruniai seorang
anak laki-laki bernama M. Iqbal Ramadhan. Namun demikian itu dengan keberadaan pasalPasal
2 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan:“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”, sehingga konsekuensi bagi pemohon adalah dianggap
pernikahannya tidak absah dan anak yang lahirkan hanya mendapatkan hubungan biologis
dengan pihak ibu (dalam hal ini pemohon) sebagaimana yangterdapat pada Pasal 43 ayat (1) UU
Perkawinan “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubunganperdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya.”.
Bahwa hal yang demikian itu dimana seorang anak hanya memiliki hubungan perdata
dengan seorang ibu dan keluarga ibunya, tidak sesuai dengan amanat pasal 28B ayat (2) UUD
1945 yang menyatakan “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Jadi didalam pasal 43 ayat (1)
UU Perkawinan terdapat unsur diskriminasi terhadap seorang anak, yang salah unsurnya adalah
“hanya mempunyai hubunganperdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”.pernikahan yang
awal sah telah di redusir hak-hak bagi seorang anak untuk mendapat kasih saying dari kedua
orang tuanya.
1
PUTUSAN Nomor 46/PUU-VIII/2010 hal. 3
3
4. Bahwa dalam undang-undang No. 39 Tahhun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal 10
ayat (1) menjelaskan “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.” Sedangkan seperti yang telah disebutkan pembahasan
sebelumnya pemohon Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dengan
seorang laki-laki bernama Drs. Moerdiono telah melangsungkan pernikahan sesuai dengan
hokum agama dan keyakinannya itu sesuai amanat undang-undang Perkawinan. Jelaslah bahwa
secara norma hokum maka suatu pernikahan yang telah dilaksanakannya itu sah. Merupakan hak
setiap orang untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui suatu
perkawinan yang sah
“Sedangkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan:“Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembanserta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.” Ketentuan UUD 1945 ini jelas melahirkan norma
konstitusi bahwa anak Pemohon juga memiliki hak atas status hukumnya dan
diperlakukan samdi hadapan hukum. Artinya, UUD 1945 mengedepankan
norma hukum sebagai bentuk keadilan terhadap siapapun tanpa diskriminatif.
Tetapi, UU Perkawinanberkata lain yang mengakibatkan Pemohon dirugikan
hak konstitusionalnya.”2
Hak konstitusional yang dimakasud adalah pemohon dan anaknya, memiliki hak yang
telah dijamin oleh undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 hak
yang berupa hak konstitusi untuk mendapatkan pengesahan atas pernikahannya, dan
juga pengakuan status hokum anaknya.
Hak Anak dalam Hak Asasi Manusia
Bahwa pada dasarnya setiap manusia berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan
hokum tanpa diskriminasi. Anak termasuk dalam bagian manusia yang artinya seorang anak juga
harus mendapatkan perlakuan yang adil dan pengakuan yang sama di depan hokum dan tanpa
dibeda-bedakan status sosialnya.Seorang anak adalah suatu karunia yang harus mendapatkan
perlindungan tanpa penganiayaan secara langsung ataupun tidak langsung.
Bahwa didalam pasal pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
2
ibid hal. 4
4
5. kekerasan dan diskriminasi”. Pengertian diskriminasi dijabarkan secara jelas dalam pasal 1
ayat (3) Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia “Diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsungataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan
manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi,
jenis kelamin, bahasa,keyakinan politik. yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau
penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi. hukum, sosial,
budaya. dan aspek kehidupan lainnya.Diskriminasi terhadap seorang anak jelas jelas telah
menghapus suatu pengakuan secara hokum dan sosialnya yang melahirkan suatu pandangan
buruk dari masyrakat serta telah menghapuskan hubungan antara ayah dan anak di mata hokum.
Sedangkan pengertian dari perlindungan dari kekerasan hal ini setidaknya dapat dijelaskan dalam
pasal 1 ayat (4) “Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani,..”.Seorang
anak yang seharusnya dilindungi oleh kedua orang tua serta oleh hokum namun suatu pasal
dalam undang-undang perkawinan telah mendiskriminasi dan menimbulkan kesakitan rohani
terhadap seorang anak.
Bahwa dalam pasal 52 ayat (1) menjelaskan „Setiap anak berhak atas perlindungan oleh
orang tua, keluarga, Masyarakat, dan negara.‟Anak sebagai kaunia yang melekat didalamnya
bahkan dari dalam kandungan suatu hak harkat kemanusian yang harus senantiasa dihormati,
maka seorang anak harus mendapat suatu perlindungan, pengakuan merupakan salah satu
perlindungan yang sifatnya urgent.
Kesimpulan
Jelaslah Bahwa UUD’45 telah melahirkan suatu norma, pedoman yang memiliki konsekuensi
sebagai landasan hokum dibawahnya, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkemban serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.”Dalam penjelsan ini UUD ’45 telah menjamin perlindungan atas
keberlangsungan hidup seorang anak.Hak-hak seorang anak tidak dapat dilanggar oleh suatu
undang-undang yang meredusir hak-hak seorang anak.
5
6. Bahwa selain UUD ’45 terdapat pula suatu aturan dasar bagi seseorang dalam membentuk suatu
keluarga dan melanjutkan keturunan sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang No. 39
Tahhun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal 10 ayat (1) menjelaskan “Setiap orang berhak
membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Dalam
pasal yang lain menyebutkan bahwa suatu perkawinan dilaksanajkan melalui hokum agamanya,
dan keyakinannya itu. Pemohon Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim
dengan seorang laki-laki bernama Drs. Moerdiono telah melakukan suatu pernikahan sesuai
hokum agamanya yaitu agama islam yang merupakan agama keyakinannya.
Bahwa penjelasan yang berbeda dan melahirkan suatu hokum yang berbeda yang terdapat dalam
pasal 43 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan menjelaskan “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya”. Pemohon dan anaknya telah dilanggar haknya yang telah dijamin norma hokum UUD
’45 dan undang-undang Hak Asasi Manusia oleh pasal ini yang terdapat dalam undang-undang
perkawinan tersebut.
Bahwa berdasarkan norma-norma hokum dapat disimpulkan bahwa pasal 43 ayat (1) Undangundang tentang perkawinan telah melanggat hak konstitusional yang telah termaktub dalam pasal
28B ayat (1) dan 28B ayat (2).Norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan karena
perkawinan Pemohon adalah sah dan sesuai dengan rukun nikah dalam Islam.
6