Dokumen tersebut membahas tentang stigma yang melekat pada gangguan jiwa dan beberapa cara untuk menghadapinya. Stigma dapat berasal dari publik maupun diri sendiri, dan dapat menyebabkan isolasi, penyangkalan diri, serta enggan mencari pertolongan. Dokumen ini juga memberikan tips seperti bercerita tentang pengalaman, menghindari mengisolasi diri, serta bergabung dengan kelompok dukungan.
1. STIGMA PADA GANGGUAN
JIWA
Dan bagaimana menghadapinya
Oleh
Bagus Utomo – utomo.bagus@gmail.com
Twitter @bagus
Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia
3. STIGMA = STEREOTYPE NEGATIF
• Secara harfiah berarti cap, stempel, label negative
4.
5.
6. Stigma terjadi karena:
• Persepsi negative yang beredar di masyarakat selama bertahun-tahun, bahkan
berabad-abad, termasuk dalam film-flm bahwa orang dengan gangguan jiwa sangat
berbahaya sehingga harus dikucilkan.
• Adanya garis batas yang tegas antara orang “NORMAL” dan “Orang Dengan
Gangguan Jiwa”. Padahal pengalaman kejiwaan, termasuk juga gangguan jiwa
adalah pengalaman yang umum dialami siapapun. Tidak ada orang normal. Semua
pernah mengalami masalah kesehatan jiwa, namun kekuatan setiap orang berbeda,
strategi mengelola masalah yang baik, berat ringan masalah yg dihadapi setiap
orang juga bervariasi, adanya dukungan sosial dan faktor-faktor lain yang
membuat orang tersebut cukup beruntung terhindar dari masalah kesehatan jiwa
yang berat.
7. PERASAAN YG TIMBUL AKIBAT STIGMA
• Malu (shame) respon adaptifnya merahasiakan atau penarikan diri
• Rasa bersalah dan saling menyalahkan (blame)
• Keputusasaan (hopelessness)
• Tertekan (distress)
• Terbentuknya citra yang buruk di berbagai media (misrepresentation in the media)
• Enggan mencari pertolongan atau menerima bantuan yang dibutuhkan
• Isolasi, pengucilan, terpinggirkan secara sosial
• Memandang pengobatan di layanan kesehatan dengan penuh rasa curiga dan takut
10. SELF STIGMA
• Selama bertahun-tahun sudah berkembang citra buruk di masyarakat tentang
gangguan jiwa
• Nilai-nilai tersebut terinternalisasi dalam diri kita semua, seluruh anggota
masyarakat
• Ketika kita atau anggota keluarga kita mengalami gangguan jiwa, kita akan mulai
mengasihani diri dan melekatkan label stigma pada diri dan keluarga kita
• Dan menambah penyangkalan pada diri dan keluarga bahwa mengalami masalah
kesehatan jiwa adalah bagian dari kehidupan manusia yang wajar seperti
mengalami penyakit fisik lainnya.
• Self stigma kadang jauh lebih sulit diatasi daripada gejala gangguan jiwanya
sendiri
11.
12. BEBERAPA MACAM STIGMA NEGATIF
TERHADAP MASALAH KESEHATAN JIWA
• Kurang kegiatan promosi dan pencegahan. Kurang tersedianya informasi tentang
kesehatan jiwa yg ramah dan mudah dipahami oleh orang awam. Sehingga deteksi
dini tidak dapat segera dilakukan.
• Enggan berkonsultasi ke profesional kesehatan jiwa karena takut dianggap gila.
Dan sebaliknya, mengolok2 orang yang berkonsultasi ke psikolog, psikiater dan
perawat jiwa sebagai orang gila.
• Kurangnya pengetahuan orang sekitar baik keluarga, teman, mitra kerja, pasangan
dll soal gangguan jiwa yg dialami salah satu anggota keluarganya.
• Menganggap semua Orang Dengan Gangguan Jiwa tidak mampu sama sekali
memutuskan segala keputusan penting dalam hidupnya sehingga pengambilan
keputusan sebaiknya dilakukan oleh keluarga atau orang lain
13. • Orang di sekitar pasien malah menyarankan pengobatan alternatif,
tidak segera merujuk ke layanan kesehatan. Menakut-nakuti pasien
yang berobat ke psikiater bahwa nanti dikasih obat yang nanti
membuat kecanduan dan merusak ginjal atau hati.
• Kurangnya peluang kursus, sekolah, kuliah, kerja, aktifitas sosial
lain. Kredit mikro atau pinjaman lunak. Atau mendapatkan
perumahan murah/gratis buat Orang Dengan Gangguan Jiwa
• Bullying, kekerasan fisik atau pelecehan verbal atau seksual.
• Asuransi kesehatan masih tidak menjamin secara memadai
perawatan dan obat gangguan jiwa
14. • Keyakinan bahwa seseorang yang mengalami masalah gangguan jiwa
tidak akan bisa sukses, tidak bisa membaik, atau tidak bisa pulih
kembali.
• Tidak tersedianya layanan kesehatan jiwa di Layanan kesehatan
yang diselenggarakan oleh pemerintah. Serta akses geografis yang
masih sangat sulit dicapai oleh pasien dan keluarga.
• Penyusunan anggaran di kementerian Kesehatan, sosial, yang belum
berpihak pada konsumen kesehatan jiwa.
• Penyusunan daftar obat yg dicover BPJS yang tidak berpihak pada
kepentingan pasien. Pasien sangat mungkin mengalami efek samping
yang menyiksa/tidak nyaman, padahal sebagian besar pasien
gangguan jiwa berat perlu mengkonsumsi obat seumur hidup.
15. • Perlakuan diskriminatif dan merendahkan martabat Orang dengan
Gangguan Jiwa dan keluarganya oleh petugas kesehatan atau
layanan publik lainnya.
• Tidak adanya pelatihan penanganan gawat darurat kesehatan jiwa
bagi petugas keamanan sehingga terjadinya kekerasan tanpa
mendahulukan penanganan persuasif.
• Keengganan pemerintah daerah menyediakan perumahan atau panti
buat Orang Dengan Gangguan Jiwa yang terlantar di jalan dan tidak
memiliki keluarga, atau bila karena sejumlah alasan yang kuat
keluarga tidak mampu lagi merawat. Melakukan pembiaran
pemasungan dan keterlantaran(homelessnes) adalah kejahatan
pembiaran atau crime by omission.
16. • Membebaskan pasien pasung tanpa memberikan dukungan jaminan
kesehatan, obat2an, dukungan sosial, peluang kerja dan finansial
bagi keluarga pasien yg tidak mampu.
• Doktrin petugas kesehatan dan sosial yang serba mengembalikan
ODGJ ke keluarga dengan semena2 tanpa mempertimbangkan
kondisi pasien dan pemenuhan hak keluarga. Pemerintah yang nggak
hadir dalam meringankan derita keluarga ODGJ, kok keluarga yang
dihukum.
• Membuat Panti, Pesantren gangguan jiwa, Penampungan ODGJ atau
gelandangan psikotik namun menolak bekerjasama dengan
puskesmas, RSUD, RS atau RSJ atau menolak pengobatan medis.
17. • Membuat buku, film komersial atau dokumenter mengenai
pengalaman Orang Dengan Gangguan Jiwa tanpa
melakukan riset memadai dan mengidentikkan ODGJ
dengan pelaku kriminal/kekerasan.
• Melekatkan label diagnosis sembarangan pada diri sendiri
atau orang lain.
• Menggunakan kata gila untuk menyebut Orang Dengan
Gangguan Jiwa.
18. • Tidak tersedianya ambulans gawat darurat yang siap
membantu menjemput pasien gangguan jiwa yang
mengalami kekambuhan.
• Mengabaikan hak pilih dan dipilih ODGJ dan keluarganya.
• Pandangan yg menyatakan bahwa semua ODGJ tidak
mampu bertanggungjawab secara hukum tanpa melalui
proses observasi dan verifikasi oleh pakar terkait.
• Lambatnya pembuatan regulasi pendukung Undang-
undang Kesehatan Jiwa dan kurang dilibatkannya
konsumen kesehatan jiwa dalam proses tersebut.
19. 6 TIPS MENGHADAPI STIGMA
• Jangan terlalu diambil hati, jangan Baper (terlalu dibawa
perasaan)
Masyarakat seperti itu karena tidak tau. Berbesar hati dan maaafkan. Lebih baik
kita fokus untuk maju dan terus berkarya.
• Ceritakan kisahmu.
Perjuanganmu menghadapi gangguan jiwa dapat menimbulkan simpati bagi yang
mendengarkan. Bergabunglah di organisasi pendukung kesehatan jiwa, berikan
testimoni/kesaksian dan bicara terbuka pada masyarakat luas. Katakan baa
gangguan jiwa bisa dialami oleh siapapun.
20. • Berpegang pada fakta ilmiah.
Penelitian oleh para ilmuwan mengungkapkan fakta yang sangat gamblang soal
aspek biologi psikologi sosial dan spiritual timbulnya masalah kesehatan jiwa.
Penelitian ilmiah tidak pernah berhenti dan siap menerima fakta2 baru yang lebih
valid. Tidak berdasarkan asumsi2 pribadi saja, atau "konon".
• Bicaralah soal faktor genetika.
Ada peran genetika dalam munculnya gangguan jiwa. Ketika kita bergabung dalam
organisasi pendukung kesehatan jiwa dan bertemu dengan banyak keluarga lain, kita
akan menemukan fakta bahwa faktor genetika memang berperan.
21. • Ungkapkan fakta statistik.
Banyak sekali data statistik prevalensi gangguan jiwa dan lain-lain yang akan
membuka mata banyak orang tentang masalah kesehatan jiwa.
• Gangguan jiwa dan bencana.
Masyarakat umum biasanya akan lebih mudah memahami soal gangguan jiwa bila
diberikan penjelasan dan contoh tentang gangguan stress pasca trauma. Bagaimana
seseorang yang stress setelah kecelakaan, peperangan atau setelah menjadi korban
bencana alam yang berskala besar, Dalam kondisi itu siapapun dapat mengalami
gangguan jiwa. Tidak peduli seberapa kuat orang itu.
23. • Segera berkonsultasi ke layanan kesehatan terdekat
Meski kamu masih enggan mengakui bahwa kamu membutuhkan perawatan. Jangan biarkan rsa
takut dengan datang ke layanan kesehatan. Perawatan di rumah sakit dapat memberikan
perasaan lega dengan mulai mengenali apa yang menyebabkan kondisimu dan mulai
mengendalikan gejala dapat membantumu kembali ke dunia kerja dan kehidupanmu yang dulu.
• Jangan biarkan stigma menimbulkan sikap meragukan diri sendiri
dan rasa malu
Stigma tidak hanya datang dari orang lain dapat juga datang dari diri kita sendiri. Karena
sebelum mengalami gangguan jiwa kamu telah mengadopsi nilai dari masyarakat yang
menstigma, maka ketika kamu mengalami gangguan jiwa kamu dapat salah memahami bahwa
kondisimu adalah suatu pertanda kelemahan pribadi . Atau sebaliknya, kamu terus merasa
mampu mengendalikan kondisi tersebut dan tidak mau berobat atau berkonsultasi dengan
professional kesehatan jiwa. Carilah layanan bimbingan konseling, edukasi diri dengan
pengetahuan yang direkomendasi oleh professional kesehatan jiwa dan berjejaring dengan sesame
Orang Dengan Gangguan Jiwa yang telah pulih agar dapat membantumu membangkitkan rasa
percaya diri dan mengatasi keyakinanmu yang selama ini cenderung mengasihani dan
menghakimi diri sendiri.
24. • Hindari mengisolasi diri
Bila kamu mengalami gangguan jiwa, kamu mungkin sungkan bercerita pada orang lain tentang
ituit. Padahal keluargamu, teman, tetangga atau masyarakat di tempat kamu tinggal dapat
memberikan dukungan bila mereka tau kondisimu. Carilah orang yang menurutmu dapat kamu
percayai dan dapat mengerti kondisimu.
• Jangan identikkan dirimu dengan penyakitmu
Kamu bukanlah diagnose penyakit. Jadi jangan bilang “saya Bipolar”, tapi katakan “saya
mengalami gangguan bipolar." Daripada menyebt dirimu “saya skizofren," katakan “saya
mengalami skizofrenia."
• Bergabung dengan kelompok dukungan (support group)
Saat ini mulai tumbuh sejumlah kelompok dukungan di internet yang membantu menghapus
stigma dengan memberikan edukasi pada Orang Dengan Gangguan Jiwa, keluarganya dan
masyarakat umum. Dinas kesehatan setempat, layanan kesehatan seperti pusksmas dan
kementerian di tingkat pusat seperti kementerian kesehatan kementerian sosial, juga melakukan
upaya penghapusan stigma, rehabilitasi dan pemberdayaan Orang Dengan Gangguan Jiwa.
25. • Bila masih sekolah atau kuliah carilah bantuan pada guru BK
atau layanan kesehatan di kampus
Bila anakmu mengalami masalah kesehatan jiwa yang dapat membantu proses belajar
mengajar, carilah program yang dapat membantumu. Diskriminasi terhadap pelajar atau
mahasiswa yang mengalami gangguan jiwa adalah perbuatan melanggar hukum, para
pendidik khususnya, di tingkat dasar dan menengah sangat dibutuhkan dalam membantu
mereka. Berceritalah pada guru, guru Bimbingan Konseling , dosen atau pembimbing
akademis, tata usaha apakah ada hal-hal yang dapat membantu memudahkan proses
belajarmu. Bila guru tidak mengetahui disabilitas yang dialami muridnya, itu dapat
mengakibatkan diskriminasi, dan kendala proses belajar dan nilai yang buruk.
• Lawan stigma
Ungkapkan pendapat kita dengan mengirimkan surat kepada editor media berita di internet.
Atau datanglah pada kegiatan kampanye terbuka tentang kesadaran kesehatan jiwa yang
diselenggarakan oleh kelompok pendukung di daerahmu. Berani berbagi kisah kesaksian
bangkit dari gangguan jiwa.