Tiga kalimat ringkasan:
Studi ini menguji formula marshmallow dengan penambahan ekstrak temulawak dalam tiga konsentrasi yang berbeda untuk menentukan formula terbaik yang disukai panelis dan anak-anak. Hasilnya menunjukkan formula 1% ekstrak temulawak paling disukai.
SE Sekjen Nomor 1829 tentang penyesuaian sistem kerja ASN dalam New Normal (3...
Marshmallow Temulawak
1. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
535
Tingkat Kesukaan Konsumen terhadap Marshmallow Berbahan
Baku Temulawak
The Level of Consumer Preferences on Javaturmeric Marsmallow
M. Yanis1
, S. Aminah1
, Y. Handayani1
, T. Ramdhan1
, Sri Harnanik2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jakarta
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan
e-mail : mh_yanis@yahoo.com
ABSTRACT
Java Turmeric is a medicinal plant that contains many health giving
properties, such as increasing appetite, especially in children. Marshmallows are
lightly soft foaming textured foods various shapes, flavor and color. When
marshmallow is eaten then it will melts in the mouth because of a mixture of
sugar or corn syrup, egg whites, gelatin, gum arabic, and flavoring ingredients
whipped until fluffy. The purpose of this study was to produce a marshmallow-
making technology with the addition of java turmeric, which preferred by
children but the product could still become a health attractive alternative snack.
Treatment were focused on java turmeric concentration, which were 0.5%; 1%
and 1.5%. The best formula was determined by hedonic test for color, aroma,
texture, flavor, and general acceptance and the hedonic quality test which
performed on the aroma and flavor of java trumeric. Panelists were used in this
study were 35 semi-trained panelists and 50 early childhood children. From the
test results, it was concluded semi-trained panelists and the children liked a
marshmallow formula 1.
Keywords : java turmeric, marshmallow, preference
ABSTRAK
Temulawak merupakan tanaman obat yang banyak mengandung khasiat
bagi kesehatan, selain dapat meningkatkan nafsu makan khususnya pada anak-
anak. Marshmallow adalah makanan ringan bertekstur seperti busa yang lembut
dalam berbagai bentuk, aroma dan warna. Marshmallow bila dimakan meleleh di
dalam mulut karena merupakan hasil dari campuran gulaatau sirup jagung, putih telur,
gelatin, gum arab, dan bahan perasa yang dikocok hingga mengembang. Tujuan dari
pengkajian ini adalah menghasilkan teknologi pembuatan marshmallow dengan
penambahan temulawak, yang mudah dan murah dilakukan, sekaligus disukai
anak-anak sehingga produk marshmallow yang dihasilkan dapat menjadi
alternatif kudapan yang menarik namun tetap sehat bagi anak-anak yang
mengikuti program PAUD. Perlakuan yang dibandingkan pada pengkajian
pembuatan marshmallow adalah konsentrasi temulawak, yaitu 0.5%; 1% dan
1.5%, Untuk menentukan formula yang disukai konsumen dilakukan uji hedonik
terhadap warna, aroma, tekstur, rasa, penerimaan secara umum, sedangkan uji
mutu hedonik dilakukan terhadap aroma dan rasa temulawak. Panelis yang
2. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
536
digunakan pada pengkajian ini adalah 35 panelis semi terlatih dan 50 orang anak-
anak PAUD. Dari hasil uji hedonik terhadap 3 formula marshmallow,
disimpulkan bahwa panelis semi terlatih maupun anak-anak PAUD lebih
menyukai marshmallow formula 1.
Kata kunci :Temulawak, marshmallow
PENDAHULUAN
Salah satu program sosial pendidikan yang telah dikembangkan DKI
Jakarta yang sangat dirasakan manfaatnya terutama oleh masyarakat menengah ke
bawah adalah program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Hingga tahun 2009,
terdapat sekitar 500 PAUD yang diikuti 52,9% dari sekitar sejuta anak-anak usia
dini (< 6 tahun) di DKI Jakarta (www.Republika.co.id. 2009). Pengelola PAUD
pada umumnya merupakan anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) olahan DKI
Jakarta. Namun makanan yang disajikan bagi anak-anak peserta program PAUD
masih terbatas pada produk yang berbasis buah dan tepung, sedangkan produk
berbasis biofarmaka yang memiliki berbagai macam fungsi dan manfaat bagi
kesehatan belum mendapat respon yang baik. Hal tersebut terjadi karena belum
ada alternatif produk olahan berbasis biofarmaka dikembangkan oleh KWT DKI
Jakarta yang disukai oleh anak-anak.
Temulawak memiliki kandungan beberapa macam zat aktif, salah satu zat
aktif yang terkandung dalam temulawak adalah kurkumin yang bermanfaat
sebagai penambah nafsu makan. Namun temulawak memiliki keterbatasan yaitu
adanya after taste pahit setelah mengkonsumsi temulawak. Hal ini menyebabkan
pengolahan temulawak menjadi terbatas, hanya sebagai minuman (jamu) dan
serbuk instan. Sidik (1999) menyatakan bahwa rimpang temulawak mengandung
pati yaitu sebesar 79.96%. Pati temulawak berwarna putih kekuningan karena
mengandung kurkuminoid. Pati temulawak dapat digunakan sebagai bahan
makanan. Komposisi pati temulawak dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Komponen Rimpang Temulawak
No Komponen Besaran Satuan
1 Abu 0.37 %
2 Protein 1.52 %
3 Lemak 1.35 %
4 Serat kasar 0.80 %
5 Karbohidrat 79.96 %
6 Kurkumin 15 ppm
7 K 11.45 ppm
8 Ca 19.07 ppm
9 Mg 12.72 ppm
10 Fe 6.68 ppm
11 Mn 0.82 ppm
12 Cd 0.02 ppm
Sumber : Sidik, 1999
Rimpang ini mengandung 48-59,64 % zat tepung, 1,6-2,2 % kurkumin dan
1,48-1,63 % minyak atsiri dan dipercaya dapat meningkatkan kerja ginjal serta
3. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
537
anti inflamasi. Manfaat lain dari rimpang tanaman ini adalah sebagai obat jerawat,
meningkatkan nafsu makan, anti kolesterol, anti inflamasi, anemia, anti oksidan,
pencegah kanker, dan anti mikroba (Anonim, 2000). Temulawak (Curcuma
xanthorriza Roxb) menurut (Aliadi et al., 1996) dapat dimanfaatkan sebagai obat
lever dan empedu, anemia, penambah nafsu makan, radang lambung, pencegah
kanker, anemia dan anti mikroba. Menurut Sidik et al., (1995), kandungan kimia
dari temulawak yang dapat digunakan sebagai sumber bahan baku industri farmasi
dibedakan atas tiga fraksi, yaitu pati, kurkuminoid dan minyak atsiri. Menurut
Ma’mun dkk. (2009), ekstrak temulawak mengandung senyawa fenol, flavonoid,
terpenoid dan as karboksilat.
Pengenalan alternatif produk selain produk tersebut sangat diperlukan oleh
KWT DKI Jakarta, antara lain pengolahan temulawak menjadi marshmallow.
Marshmallow adalah makanan ringan bertekstur seperti busa yang lembut dalam
berbagai bentuk, aroma dan warna. Marshmallow bila dimakan meleleh di dalam
mulut karena merupakan hasil dari campuran gula atau sirup jagung, putih
telur, gelatin, gom arab, dan bahan perasa yang dikocok hingga mengembang.
Dengan adanya penambahan ekstrak temulawak diharapkan produk marsmallow
yang dihasilkan memiliki sifat fungsional yang berasal dari ekstrak temulawak.
Produk tersebut dapat menjadi alternatif kudapan yang menarik namun tetap sehat
bagi anak-anak yang mengikuti program PAUD.
Dalam rangka meningkatkan nilai tambah biofarmaka sebagai upaya
mensukseskan program nasional Kementerian Pertanian sekaligus
mengembangkan usaha KWT Jakarta, maka diperlukan penelitian standar
prosedur operasional (SOP) serta cara produksi yang efisien, mudah dan murah.
Oleh karena itu, kajian ini disusun untuk memperoleh formula dan standar
operasional prosedur proses produksi yang efisien, mudah dan murah serta sesuai
dengan prinsip-prinsip keamanan pangan.
BAHAN DAN METODE
Bahan-bahan yang digunakan pada pengkajian formulasi marsmallow
dengan tambahan temulawak ini adalah sari temulawak, sukrosa, gelatin, sirup
glukosa, Maltodextrin, asam sitrat, tepung maizena, kemasan dan bahan lainnya.
Alat-alat yang digunakan adalah mixer, saringan, wadah, timbangan, oven,
loyang, termometer, pisau, cetakan, alat-alat dapur dan alat-alat gelas.
Metode penelitian ini dilakukan dengan 2 (dua) tahap, tahap pertama
adalah penelitian formulasi marsmallow dengan penambahan putih telur dan susu,
dilanjutkan dengan penelitian utama yaitu formulasi marsmallow dengan
penambahan temulawak.
Penelitian Tahap Pertama. Penelitian tahap pertama bertujuan untuk
mendapatkan formula marsmallow. Penelitian inidilakukan menggunakan 3 (tiga)
formula dengan konsentrasi temulawak 1 %. Perbedaan perlakuan terletak pada
bahan-bahan yang ditambahkan, yaitu (1) tanpa putih telur dan susu (2) dengan
penambahan putih telur tanpa penambahan susu dan (3) dengan penambahan putih
telur dan susu. Penentuan formula terbaik dilakukan berdasarkan hasil uji
organoleptik, terhadap warna, aroma, kekenyalan, rasa dan penampakan
keseluruhan/overall dengan 6 skala hedonik, yaitu 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak
4. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
538
suka), 3 (agak tidak suka), 4 (agak suka), 5 (suka) dan 6 (sangat suka). Formula
terbaik berdasarkan uji organoleptik tersebut akan digunakan pada penelitian
tahap berikutnya.
Penelitian Tahap Kedua. Penelitian berfokus pada persentase sari temulawak
dalam formula marshmallow Cara pembuatan marsmallow seperti pada gambar di
bawah ini.
Gambar 1. Cara membuat Marsmallow
bahan dan alat dsiapkan
susu bubuk full cream dilarutkan dalam 30 ml air dan
gelatin dilarutkan dalam 50 ml air
susu bubuk full cream dilarutkan dalam 30 ml air dan
gelatin dilarutkan dalam 50 ml air
bahan dan alat dsiapkan
gula dan sirup glukosa dipanaskan hingga suhu 1150
C
putih telur dikocok menggunakan mixer sampai berwarna putih
susu bubuk full cream dilarutkan dalam 30 ml air dan
gelatin dilarutkan dalam 50 ml air
bahan dan alat dsiapkan
campuran gula dan sirup glukosa dimasukkan ke dalam putih telur yang sudah
dimixer
gelatin, susu, dan temulawak bubuk ditambahkan
gula dan sirup glukosa dipanaskan hingga suhu 1150
C
adonan dimixer sampai berwarna putih dan mengembang (±20 menit)
putih telur dikocok menggunakan mixer sampai berwarna putih
ditambahkan essens mint
adonan dimasukkan dalam cetakan /loyang (±2 jam)
ditaburi gula halus : tepung maizena (1:1)
dicetak sesuai bentuk yang diinginkan
dikemas dalam plastik permen
susu bubuk full cream dilarutkan dalam 30 ml air dan
gelatin dilarutkan dalam 50 ml air
bahan dan alat dsiapkan
gelatin, susu, dan temulawak bubuk ditambahkan
gula dan sirup glukosa dipanaskan hingga suhu 1150
C
adonan dimixer sampai berwarna putih dan mengembang (±20 menit)
putih telur dikocok menggunakan mixer sampai berwarna putih
ditambahkan essens mint
adonan dimasukkan dalam cetakan /loyang (±2 jam)
ditaburi gula halus : tepung maizena (1:1)
dicetak sesuai bentuk yang diinginkan
dikemas dalam plastik permen
susu bubuk full cream dilarutkan dalam 30 ml air dan
gelatin dilarutkan dalam 50 ml air
bahan dan alat disiapkan
5. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
539
Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan
3 kali ulangan. Perlakuan formula marshmallow, adalah konsentrasi temulawak
dengan 3 taraf perlakuan yaitu 0,5 %, 1% dan 1,5%. Parameter yang diamati
adalah warna, aroma, rasa, tekstur dan penampakan keseluruhan/overall melalui
uji organoleptik dengan 6 skala hedonik, yaitu 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak
suka), 3 (agak tidak suka), 4 (agak suka), 5 (suka) dan 6 (sangat suka). Uji
organoleptik dilakukan dengan menggunakan 35 orang panelis semi terlatih dan
50 orang anak-anak PAUD. Selain itu, dilakukan pula analisis sifat fisik (warna
dan tekstur) dan analisis kandungan kimia terkait dengan produk.
HASIL
Marshmallow merupakan makanan ringan bertekstur seperti busa yang
lembut dalam berbagai bentuk, aroma dan warna. Marshmallow bila dimakan
meleleh di dalam mulut karena merupakan hasil dari campuran gula atau sirup
jagung, putih telur, gelatin, gom arab, dan bahan perasa yang dikocok hingga
mengembang. (Wikipedia, http://wikipedia.org/wiki/Marshmallow).
Marshmallow adalah permen yang berasal dari Mesir, sekitar tahun 2000 SM.
Nama marshmallow berasal dari tanaman marshmallow (Althea officinalis). Akar
tanaman marshmallow menghasilkan lengket, putih, hampir seperti jelly. Pada
penyajiannya marshmallow dilapisi dengan campuran tepung maizena dan gula
icing, agar tidak lengket.
Beberapa formula yang menggunakan bahan-bahan yang murah dan
mudah didapatkan, diuji coba dengan penambahan sari temulawak. Pengkajian
difokuskan pada formulasi marshmallow. Formula diuji coba dengan melakukan
beberapa modifikasi penambahan bahan-bahan yang dapat meningkatkan kualitas
dari marshmallow tersebut, seperti penambahan susu dan putih telur. Penelitian
tahap pertama dilakukan dengan menggunakan 3 (tiga) formula dengan
konsentrasi temulawak 1 %. Perlakuan yang digunakan adalah (1) tanpa putih
telur dan susu (2) dengan penambahan putih telur tanpa penambahan susu dan (3)
dengan penambahan putih telur dan susu. Hasil uji organoleptik dari ketiga
formula tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Hasil uji organoleptik formula Marshmallow
Atribut P0 P1 P2
Warna 4,24 4,51 4,19
Aroma 4,22 4,11 4,19
Kekenyalan 4,27 4,22 4,43
Rasa 4,05 4,19 4,30
Penampakan 4,43 4,3 4,22
P0 : Tanpa penambahan putih telur dan susu
P1 : Dengan penambahan putih telur tanpa susu
P2 : Dengan penambahan telur dan susu
6. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
540
Uji Hedonik Marshmallow pada Panelis Semi Terlatih
Uji hedonik marshmallow dilakukan di Laboratorium organoleptik IPB,
dengan melibatkan 35 orang panelis semi terlatih. Hasil uji organoleptik pada
panelis semi terlatih terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil uji hedonik marshmallow pada panelis semi terlatih
Perlakuan Warna Tekstur Aroma Rasa Penerimaan
Formula 1 4.82a
4.12a
3.59a
3.12a
4.26a
Formula 2 4.65a
4.15a
3.44a
3.35a
3.68b
Formula 3 4.21b
4.21a
3.38a
3.59a
3.32b
a.b Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata pada taraf 5%
Tabel 4. Hasil uji mutu hedonik marshmallow pada panelis semi terlatih
Perlakuan Aroma Temulawak Rasa Temulawak
Formula 1 3.47a
3.97a
Formula 2 4.12b
4.47b
Formula 3 4.47b
4.97c
a.b Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata pada taraf 5%
Tabel 5. Hasil uji hedonik marshmallow pada anak-anak PAUD
Perlakuan Warna aroma Rasa
Formula 1 2.05a
2.00a
2.05a
Formula 2 2.02a
1.86a
1.93a
Formula 3 1.86a
1.80a
1.86a
a.b Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata pada taraf 5%
Tabel 6. Hasil uji mutu hedonik rasa marshmallow pada anak-anak PAUD
Perlakuan Rasa Temulawak
Formula 1 1.70a
Formula 2 1.73a
Formula 3 1.82a
a.b Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata pada taraf 5%
7. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
541
PEMBAHASAN
Hasil uji organoleptik terhaadap formula marsmallow yang berbeda pada
Tabel 2, menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis tertinggi terhadap warna
adalah marshmallow dengan perlakuan P1, yaitu 4,51 (agak suka - ke suka).
Panelis menyukai aroma marshmallow dengan perlakuan P0 yaitu 4.22 (agak suka
mengarah ke suka). Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa panelis memberikan
nilai kekenyalan tertinggi untuk marshmallow P2 yaitu 4,43 (agak suka -
suka) demikian halnya dengan rasa, panelis memberikan nilai tertinggi pada
marshmallow P2, yaitu 4.30 (agak suka - suka).
Tekstur yang kenyal merupakan ciri utama dari marshmallow, sedangkan
rasa merupakan penentu dari suatu produk yang akan dikonsumsi. Oleh karena itu
rasa dipilih sebagai parameter utama dalam penentuan formula yang akan
dilanjutkan pada pengkajian selanjutnya. Sehingga dengan demikian formula
terpilih adalah formula dengan perlakuan P2, yaitu marshmallow dengan
penambahan putih telur dan susu. Formula terpilih akan dilanjutkan pada
penelitian tahap berikutnya.
Uji Organoleptik Marshmallow Temulawak. Pada penelitian tahap ini
dilakukan proses pembuatan marsmallow dengan formula yang sesuai formulasi
hasil penelitian pendahuluan dan proses pembuatannya seperti yang tercantum
dalam metode penelitian. Penentuan perbandingan konsentrasi temulawak
dilakukan secara trial and error. Hal ini dilakukan guna mendapatkan formula
yang tepat, sehingga dihasilkan marshmallow yang memiliki karakteristik fisik
dan kimia yang baik, dengan efek farmakologis yang tepat. Dengan demikian
marshmallow bisa dijadikan kudapan fungsional yang disukai anak-anak. Hasil
trial and error yang dilakukan menghasilkan formula dengan perbandingan
konsentrasi 0,5 %; 1 % dan 1,5 %.
Uji organoleptik merupakan parameter yang penting untuk mengetahui
tingkat penerimaan konsumen dan kesukaannya terhadap produk. Untuk
mengetahui penerimaan terhadap produk dilakukan uji hedonik, terhadap warna,
aroma, tekstur, rasa, aroma temulawak, rasa temulawak dan penerimaan secara
umum. Pada pengkajian ini dilakukan uji hedonik yang melibatkan 35 orang
panelis semi terlatih dan 50 orang anak-anak peserta PAUD yang berumur 4 – 6
tahun. Uji hedonik dilakukan dengan 6 (enam) skala hedonik, yaitu 1 (sangat tidak
suka), 2 (tidak suka), 3 (agak tidak suka), 4 (agak suka), 5 (suka) dan 6 (sangat
suka).
Uji Hedonik Marshmallow
Warna merupakan kesan pertama yang diperoleh konsumen dari suatu
produk pangan. Oleh karena itu warna memiliki peranan penting dalam
menentukan penerimaan konsumen terhadap produk. Selain itu warna mempunyai
arti dan peranan dalam produk pangan, yaitu sebagai tanda kerusakan, dan sebagai
petunjuk tingkat mutu dan pedoman proses pengolahan (Soekarto, 1981). Hasil uji
hedonik warna marshmallow pada panelis semi terlatih (Tabel 3) menunjukkan
bahwa panelis memberikan nilai tertinggi pada warna formula 1, yaitu 4.82 (agak
suka -suka). Nilai ini berbeda nyata dengan kesukaan panelis pada warna
marshmallow formula 3, yaitu 4.21 (agak suka - suka) walaupun nilai tersebut
8. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
542
masih terdapat pada skala hedonik yang sama, tetapi dapat dikatakan bahwa
panelis cenderung lebih menyukai warna marshmallow formula 1.
Tekstur dalam produk makanan umumnya dipengaruhi oleh kadar air,
kadar lemak, protein serta struktur karbohidrat. Tekstur juga dipengaruhi oleh
kadar pemanis yang dikandungnya. Hasil uji mutu hedonik yang dapat dilihat
pada Tabel 3, menunjukkan bahwa panelis memberikan nilai yang hampir sama
pada penilaian tekstur, yaitu agak suka.Tekstur Marshmallow hampir sama pada
ketiga formula. Penambahan konsentrasi temulawak tidak berpengaruh nyata pada
tekstur. Marshmallow merupakan salah satu produk confectionary, seperti halnya
produk confectionary lainnya, marshmallow memiliki kandungan gula yang
tinggi. Kandungan gula inilah yang mempengaruhi tekstur.
Aroma merupakan hasil rangsangan kimia dari saraf-saraf olfaktori yang
berada di bagian akhir rongga hidung. Aroma merupakan bau yang tercium
karena sifatnya yang volatil (Setser, 1995). Hasil uji hedonik aroma marshmallow
pada ketiga perlakuan tidak berbeda nyata. Panelis memberikan nilai yang hampir
sama pada ketiga formula marshmallow. Namun demikian panelis memberikan
nilai tertinggi 3.59 (agak tidak suka – agak suka) pada marshmallow formula 1.
Sedangkan pada uji mutu hedonik pada aroma temulawak yang terdapat pada
marshmallow dapat dilihatpada Tabel 4. Pada tabel tersebut terlihat bahwa
semakin tinggi konsentrasi temulawak, semakin kuat aroma temulawak tercium
pada produk. Hal ini dapat dijelaskan bahwa panelis tidak menyukai aroma
temulawak yang terlalu kuat pada produk. Temulawak memiliki aroma khas yang
mungkin banyak orang yang tidak menyukainya.
Rasa merupakan salah satu faktor yang menentukan keputusan konsumen
untuk menerima atau menolak suatu produk pangan. Rasa dimulai melalui
tanggapan rangsangan indera pencicip hingga akhirnya terjadi keseluruhan
interaksi antara aroma, rasa dan tekstur sebagai keseluruhan rasa makanan. Pada
uji hedonik terhadap rasa dapat diketahui bahwa tingkat kesukaan terhadap rasa
pada masing-masing formula tidak berbeda. Panelis memberikan nilai 3.12, 3.35,
dan 3.59 nilai ini menunjukkan bahwa panelis agak tidak suka - agak suka. Pada
Tabel 4 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi temulawak secara nyata
menyebabkan rasa temulawak yang semakin terasa. Rasa temulawak yang pahit
menyebabkan marshmallow dengan penambahan temulawak ini tidak terlalu
disukai. Namun demikian marshmallow formula 1, yaitu formula dengan
konsentrasi temulawak terendah lebih disukai. Hal ini dapat dilihat pada nilai
penerimaan secara umum pada Tabel 3, dimana panelis memberikan nilai lebih
tinggi (α<0.05) dibandingkan dengan dua perlakuan lainnya.
Uji Hedonik Marshmallow pada Panelis Anak-anak PAUD
Marshmallow dengan penambahan temulawak diharapkan dapat menjadi
kudapan fungsional bagi anak-anak khususnya anak-anak peserta PAUD. Dengan
demikian perlu dikukan uji organoleptik yang melibatkan anak-anak PAUD
sebagai panelis. Pengkajian ini melibatkan 50 orang anak-anak PAUD, di Jakarta
Selatan dan Jakarta Timur. Hasil organoleptik dapat dilihat pada Tabel 5,
sedangkan rasa temulawak yang dapat dirasakan oleh anak-anak PAUD dapat
dilihat pada Tabel 6. Pada Tabel 5 dan Tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa
kesukaan anak-anak pada warna marshmallow dari ketiga formula tidak berbeda
9. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
543
nyata. Walaupun demikian anak-anak memberikan penilaian suka pada formula 1
dan 2, dan memberikan penilaian tidak suka - suka pada formula 3.
Anak-anak PAUD lebih menyukai aroma marshmallow formula 1
(α>0.05) dibandingkan formula 2 formula lainnya. Hal ini kemungkinan
disebabkan anak-anak tidak menyukai aroma temulawak yang semakin terasa
karena adanya peningkatan konsentrasi temulawak dalam produk. Demikian
halnya dengan rasa temulawak, anak-anak PAUD merasakan adanya rasa pahit
temulawak pada marshmallow. Semakin tinggi konsentrasi temulawak pada
marsmallow, panelis anak-anak semakin tidak menyukai karenaafter taste dari
temulawak semakin terasa (α>0.05).
KESIMPULAN
Marshmallow dengan penambahan ekstrak temulawak, diharapkan dapat
menjadi alternatif makanan ringan yang menyehatkan khususnya bagi anak-anak.
Namun penambahan temulawak menjadikan marsmallow memiliki rasa pahit dan
aroma yang kurang disukai. Semakin tinggi konsentrasi temulawak pada
pembuatan marsmallow, menjadikan produk ini semakin terasa pahit dan tidak
disukai. Hasil uji hedonik terhadap 3 formula marshmallow, menunjukkan bahwa
panelis semi terlatih maupun panelis anak-anak PAUD lebih menyukai
marshmallow formula 1, yaitu marsmallow dengan penambahan temulawak
sebanyak 5%.
DAFTAR PUSTAKA
Aliadi, Arief R., Brotosudibyo, Djoko Hargono, Farouk, Sidik, Sutaryadi. 1996.
Tanaman Obat Pilihan. Yayasan Sidowayah. Bogor
Anni Faridah, Kasmita S. Pada, Asmar Yulastri, Liswarti Yusuf. 2008. Patiseri
Jilid 3 untuk SMK. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan,
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah,
Departemen Pendidikan Nasional.Jakarta.
Anonim. 2000a. Sistem Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan:
Budidaya Temulawak (Curcuma xanthorrhiza ROXB.). BAPPENAS.
Jakarta.
Anonim. 2000b. Sistem Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan:
Budidaya Jahe, Kunyit dan Temulawak. BAPPENAS, Jakarta
BPS. 2009. Jakarta Dalam Angka 2009. Jakarta
Harahap, Hamidah. 2006. Pengaruh Penambahan Buffer Sodium Sitrat terhadap
Higroskopisitas Permen Rasa Buah. Jurnal Teknologi Proses 5(2) Juli
2006:75-80
Http://Republika.co.id. 2009. “Komentar Sisdiknas Tentang PAUD dalam Berita
Pendidikan”.http://koran.republika.co.id/berita/78573 diakses 8 Juni 2010.
Jha, Minni. 2003. Modern Technology Of Confectionery Industries With
Formulae & Processes. Asia Pacific Business Press Inc. India.
10. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
544
Ledward, D.A.2000. Gelatin dalam Handbook of Hydrocolloids. Glyn O. Phillips,
Peter A. Williams. Woodhead Publishing Ltd. England
Martin R. Adams and Maurice O. Moss. 2008. Food Microbiology 3rd
edition.RSC Publishing.United Kingdom.
Ma’mun, Sofianna Sembiring dan Feri Manoi. 2009. Produk antioksidan dari
tanaman biofarmaka. Laporan Akhir Dikti Tahun 2009, Balittro Bogor.
Tidak diterbitkan.
Muchtadi, TR. dan S. Ali. 1991. Teknologi Pengolahan Permen Jelly Gelatin.
Fateta.IPB
Prasetiyo, Y.T. 2003. Instant: Jahe, Kunyit, Kencur, Temulawak. Penerbit
kanisius. Yogyakarta
Rukmana, R. 1995. Temulawak Tanaman Rempah dan Obat. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
Sembiring, Bagem Br., Ma’mun dan Edi Imanuel Ginting. 2006. Pengaruh
Kehalusan Bahan dan Lama Ekstraksi Terhadap Mutu Ekstrak Temulawak
(Curcuma xanthorriza Roxb). Buletin Volume XVII No.2. Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor.
Setser, C.S. 1995. Sensori Evaluation. Di dalam Advantage in Baking
Technology. B.S Kramel dan C.E. Stauffer (Eds) Blakie Academic and
Profesional. Glasgow.
Sidik, Prof. Dr., dkk. 1999. “Temulawak”. Yayasan Pengembangan Obat Bahan
Alam Phyto Medica.
Soekarto, T.S. (1981). Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Pusbangtepa, IPB. Bogor.
Subaryono dan Bagus Sediadi. 2006. Penggunaan Campuran Karagenan dan
Konjag dalam Pembuatan Permen Jeli. Jurnal Pascapanen dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 1 No.1 Juni 2006.
11. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
545
Pemanfaatan Daun Katuk Sebagai Sumber Pakan Berkualitas
Bagi Ternak Unggas
Use of Katuk (Sauropus androgynus L.Merr) as Qualified Poultry
Feed
Hasrianti Silondae1)
dan Yeni E Maryana2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara
Jl. Kampus pertanian,Kalasey. E-mail : hasrianti_silondae@yahoo.com
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan
Jl. Kol. H. Barlian No.83 KM 6 Palembang. E-mail : yheza08@yahoo.co.id
ABSTRACT
Indonesia is a country rich in plant biodiversity. It has potency to be
developed as source of medical as well as nutritious food or feed. One of the
commodity meant is katuk, a local name of Sauropus androgynus L. Merr. The
leaves of katuk is famous as traditional vegetable in Indonesia, containing protein,
beta carotene, vitamin C, vitamin E, important for reproductive function of
human. It could be able to accelerate the breast milk secretion. It is also usually
use as medicine for ulcers and fever. Several researches have been conducted on
katuk as livestock feed, for example, katuk is used as additional feed for cow in
order to increase milk production; the katuk leaves also has been used as poultry
feed such as broilers, laying hens and quail where the carcass and egg production
are significantly increased by the treatments. Based on several experiments of
ration by katuk leaf can improve both quality and quantity of livestock products.
It is needed to have recommendation of an optimal development of katuk leaf as
feed and an appropriate processing technology to avoid any negative impact of
poultry.
Keywords:katuk leaf, feed, poultry
ABSTRAK
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan keanekaragaman
hayati, memiliki potensi besar dan utama dalam pengembangan tumbuhan obat
dan sumber makanan bernutrisi bagi manusia maupun hewan ternak. Salah satu
komoditas unggulan yang perlu mendapat perhatian adalah tanaman katuk. Daun
katuk (Sauropus androgynus L.Merr.) merupakan sayuran yang bergizi dengan
kandungan protein, beta karoten, vitamin C dan vitamin E yang penting untuk
fungsi reproduksi yang dapat dapat memperlancar sekresi air susu ibu, selain itu
digunakan sebagai obat bisul dan demam. Penelitian oleh para ahli untuk
mengetahui potensi katuk sebagai bahan makanan ternak telah banyak dilakukan,
daun katuk diberikan sebagai pakan tambahan untuk sapi perah dengan tujuan
meningkatkan produksi susu, pemberian daun katuk pada ternak unggas seperti
12. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
546
ayam broiler, ayam petelur serta puyuh telah dilakukan untuk meningkatkan
kualitas produksi karkas dan telur. Berdasarkan beberapa hasil penelitian
diketahui bahwa substitusi daun katuk dalam ransum mampu meningkatkan
produktivitas dan kualitas produk pada ternak. Perlu ada rekomendasi
pengembangan optimal tanaman katuk diberbagai wilayah Indonesia dan
teknologi pengolahan katuk yang baik sehingga tidak menimbulkan dampak
negatif bagi ternak unggas.
Kata Kunci : daun katuk, pakan, unggas
PENDAHULUAN
Tanaman katuk sudah cukup popular ditengah masyarakat Indonesia,
digunakan secara luas untuk berbagai tujuan pengobatan, sebagai pelengkap
makanan atau sayuran yang banyak mengandung karoten (Hulshoff et al, 1997),
juga dimanfaatkan di manfaatkan sebagai sumber nutrisi makanan ternak
(Wiradimadja et al, 2010). Tanaman katuk dengan nama latih Sauropus
adrogynus L. Merr. Ini merupakan famili Euphorbiaceae yang tumbuh subur di
India, Malaysia, dan Indonesia pada ketinggian 0-2.100 m di atas permukaan laut.
Tanaman ini berbentuk perdu. Tingginya mencapai 2-3 m. Cabang-cabang agak
lunak, daun tersusun selang-seling pada satu tangkai, berbentuk lonjong sampai
bundar dengan panjang 2,5 cm, dan lebar 1,25-3 cm. Di Indonesia sendiri
penyebaran katuk terdapat di berbagai wilayah pulau Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Kepulauan Sunda, dan Moluccas (Setyowati, 1997) dalam
(Wiradimadja et al, 2010). Sebutan lain untuk daun katuk adalah memata
(Melayu), simani (Minangkabau), kebing dan katukan (Jawa), serta kerakur
(Madura). Di Indonesia daun katuk lazim dimanfaatkan untuk melancarkan air
susu ibu (ASI) yang dijelaskan oleh Malik (1997) dalam Wiradimadja et al,
(2010), bahwa penggunaan daun katuk dalam bentuk sayuran dan dimakan setiap
hari maka akan memperbanyak dan mgobati penyakit borok, bisul, demam, dan
darah kotor .
Meski daun katuk memiliki manfaat besar bagi sekresi air susu dan
pertumbuhan, ternyata daun katuk juga memiliki keterbatasan seperti adanya
glukokortikoid hasil metabolisme senyawa aktif daun katuk yang dapat
mengganggu penyerapan kalsium dan fosfor. Oleh karena itu, daun katuk
disarankan untuk dikonsumsi setelah direbus atau ditumis. Dengan beberapa
informasi di atas, penulis tertarik untuk mengkaji nilai tambah pemanfaatan daun
katuk sebagai sumber pakan berkualitas bagi ternak unggas dari beberapa
penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti di bidang unggas, dengan tujuan
memperoleh wawasan terbarukan mengenai manfaat daun katuk secara khusus di
bidang unggas.
KANDUNGAN NUTRISI PENTING PADA DAUN KATUK
Katuk (Sauropus androgynus) termasuk tanaman obat-obatan tradisional
yang mengandung zat gizi tinggi, sebagai antibakteri, dan mengandung beta
13. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
547
karoten sebagai zat aktif warna karkas. Senyawa fitokimia yang terkandung di
dalamnya adalah: saponin, flavonoid, dan tanin, isoflavonoid yang menyerupai
estrogen ternyata mampu memperlambat berkurangnya massa tulang
(osteomalasia), sedangkan saponin terbukti berkhasiat sebagai antikanker,
antimikroba,dan meningkatkan sistem imun dalam tubuh (Santoso, 2009).
Rahayu dan Lenawati (2005), menyatakan bahwa kandungan nutrisi daun
katuk per 100 g mempunyai komposisi protein 4,8 g, lemak 1 g, karbohidrat 11 g,
kalsium 204 mg, fosfor 83 mg, besi 2,7 mg, vitamin A 10370 SI, vitamin B1 0,1
mg, vitamin C 239 mg, air 81 g. Daun katuk mengandung khlorofil yang cukup
tinggi, daun tua 65,8 spa d/mm2, daun muda 41,6 spa d/mm2 dapat digunakan
sebagai pewarna alami memberi warna hijau. Sedangkan menurut Santoso, et al.
(2008), bahwa daun katuk kaya akan besi, provitamin A dalam bentuk β-carotene,
vitamin C, minyak sayur, protein dan mineral lainnya. Daun katuk tua terkandung
air 10,8%, lemak 20,8%, protein kasar, 15.0%, serat kasar 31,2%, abu 12,7%, dan
BETN 10.2%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam tepung daun katuk
mengandung air 12%, abu 8,91%, lemak 26,32%, protein 23,13%, karbohidrat
29,64%, β-carotene (mg/100 g) 165,05 dan energi (kal) 134,10.
Selain zat-zat gizi tersebut di atas, daun katuk juga mengandung senyawa-
senyawa aktif seperti yang ditemukan oleh( Agusta et al. 1997), berupa enam
senyawa utama antara lain monometil suksinat, cis-2-methyl cyclopentanol asetat
(ester), asam benzoat dan asam fenil malonat (asam karboksilat), 2-pyrolodinon
dan methyl pyroglutamate (alkaloid). Senyawa-senyawa tersebut sangat penting
dalam metabolisme lemak, karbohidrat dan protein dalam tubuh. Tanaman katuk
juga mengandung zat tanin. Oleh karena tanaman katuk tergolong dalam sub
divisi angiospermae, maka tanin yang dikandungnya termasuk tanin terkondensasi
(Harborne, 1987). Sedangkan Juana (2008), menyatakan bahwa selain tanin,
tanaman katuk juga mengandung flavonoid dan saponin. Malik (1997),
melaporkan bahwa tanaman ini selain mengandung saponin dan tanin juga
memiliki kandungan minyak atsiri, sterol, flavonoid, asam-asam organik dan
asam-asam amino. Bahkan Prajonggo et al.(1996) menduga bahwa kandungan
sterol inilah yang memungkinkan berperan utama dalam meningkatkan produksi
air susu dan diduga mempunyai sifat estrogenik . Akan tetapi, kandungan tanin
juga dapat menyebabkan gangguan pada proses pencernaan dalam saluran
pencernaan sehingga menurunkan pertumbuhan. Selain itu, saponin meningkatkan
permeabilitas sel mukosa usus halus, yang berakibat penghambatan transport
nutrisi aktif dan menyebabkan penyerapan zat-zat gizi dalam saluran pencernaan
menjadi terganggu. Unggas lebih sensitif terhadap saponin dari pada ternak
monogastrik lainnya. Hal ini menyebabkan turunnya pertambahan berat badan.
(Santoso, et al., 2004). Untuk Konsumsi harian daun katuk juga dianjurkan
sebatas 50 gram per hari karena unsur papaverina yang terdapat pada daun katuk
dapat menyebabkan keracunan jika dikonsumsi berlebihan (Anonim, 2013).
Komposisi kimia daun katuk per 100 gram dapat dilihat pada Tabel 1.
14. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
548
Tabel 1. Komposisi kimia daun katuk per 100 gram
No Komponen gizi Kadar
1 Energi (kkal) 59
2 Protein (g) 4,8-6,4
3 Lemak (g) 1,0
4 Karbohidrat (g) 9,9-11,0
5 Serat (g) 1,5
6 Abu (g) 1,7
7 Kalsium (mg) 204
8 Fosfor (mg) 83
9 Besi (mg) 2,7-3,5
10 Vitamin A (SI) 10.370
11 Vitamin C (mg) 164-239
12 Vitamin B1 (mg) 0,1
13 Vitamin B6 (mg) 0,1
14 Vitamin D (µg) 3.111
15 Karotin (mcg) 10.020
16 Air (g) 81
Sumber : santoso, 2009
Selain itu, daun katuk juga merupakan sumber vitamin C yang sangat baik.
Kandungan vitamin C pada daun katuk bahkan jauh lebih tinggi daripada jeruk
maupun jambu biji, yang selama ini telah dikenal sebagai penyumbang sumber
vitamin C terbaik. Vitamin C merupakan senyawa utama yang dibutuhkan dalam
berbagai proses penting, mulai dari pembuatan kolagen (protein berserat yang
membentuk jaringan ikat pada tulang), pengangkut lemak, pengangkut elektron
dari berbagai reaksi enzimatik, pemacu gusi yang sehat, pengatur tingkat
kolesterol, pemacu imunitas, serta dapat menyembuhkan luka dan meningkatkan
fungsi otak agar dapat bekerja maksimal.
Perbandingan kadar vitamin C pada berbagai bahan pangan dapat dilihat
pada Tabel berikut:
Tabel 2. Perbandingan komposisi vitamin C per 100 gram bahan pangan
Bahan Pangan Kadar Vitamin C (mg/100 g)
Jambu biji 87
Pepaya 78
Jeruk 49
Rambutan 58
Mangga 30
Belimbing 35
Durian 53
Jeruk Bali 43
Bayam 80
Daun katuk 239
Kembang kol 69
15. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
549
Sawi 102
Sumber : Santoso,2009
Daun katuk merupakan sayuran yang paling kaya akan klorofil (zat hijau daun),
daun katuk juga merupakan sumber vitamin A yang cukup baik yang dapat
mencegah penyakit mata, pertumbuhan sel, sistem kekebalan tubuh, reproduksi,
serta menjaga kesehatan kulit.
BEBERAPA MANFAAT DAUN KATUK DALAM MENINGKATKAN
PRODUKTIFITAS TERNAK UNGGAS
Pada dasarnya peternak menginginkan ternak yang memiliki performa
fisik yang sehat dan gemuk yang berdampak pada peningkatan penghasilan. Akan
tetapi, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pola pikir peternak
juga harus memperhatikan unsur kesehatan dan keamanan produk pangan hewani
bagi konsumen, bahwa ternak yang baik itu tidak hanya sehat dan gemuk, tetapi
juga rendah kolesterol. Beberapa ahli mencoba menemukan alternatif
pemanfaatan sumber hayati bagi perbaikan produktivitas ternak khususnya unggas
karena terkadang di lapangan para peternak masih kurang memahami
pemanfaatan sumber-sumber hayati tersebut maka penyebaran hasil-hasil
penelitian dan kajian yang bermanfaat bagi pertanian dan peternakan perlu
mendapat perhatian semua pihak.
Pemberian ekstrak daun katuk cenderung meningkatkan pertambahan
berat badan dan menurunkan konversi pakan pada hewan ternak meski pada level
pemberian tertentu konsumsi pakan hewan ternak masih cenderung turun. Hasil
penelitian Santoso, et al. (2002), menemukan bahwa untuk meningkatkan
penampilan kualitas karkas, maka ayam pedaging dapat diberikan ekstrak daun
katuk melalui pemberian air minum dan pencampuran dalam ransum pada level
4,5 g/kg ransum plus 2,25 g/lt air minum meski pada tahun 2011, Fitriawati
meneliti pengaruh penambahan daun katuk dan rimpang kunyit terhadap
persentase bagian-bagian karkas dan organ dalam broiler tidak menunjukkan
pengaruh signifikan karena diduga adanya peranan antibiotik dalam ransum
sehingga kerja zat bioaktif dari daun katuk dan rimpang kunyit tidak terlihat
secara nyata. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Saleh dan NSYP
(2005), menyatakan bahwa ransum yang menggunakan tepung daun katuk sampai
level 6,0% belum bisa menaikkan efisiensi ransum tetapi dapat mengimbangi
ransum komersil dengan tingkat konsumsi dan tingkat konversi ransum yang sama
pada broiler. Perlakuan kombinasi probiotik dengan prebiotik daun katuk 0,5%
menunjukkan kadar lemak paha yang nyata lebih rendah demikian pula persentase
lemak hati (Daud et al.,2007). Selanjutnya dalam penelitian Daud et al,2007 pula
diketahui bahwa penambahan probiotik dan prebiotik dalam ransum ayam
pedaging pada umur enam minggu dapat mengurangi kadar kolesterol dada ayam
pedaging. Hal ini sejalan dengan Collins (1999), yang menyatakan bahwa
probiotik mampu mempengaruhi aktivitas enzim seperti bile salt hydrolase dan
sebagai konsekuensinya membantu menurunkan kadar kolesterol. Prebiotik
merupakan nutrisi yang sesuai bagi bakteri yang menguntungkan, akan tetapi
tidak cocok bagi bakteri yang merugikan/tidak berguna, sehingga dapat
meningkatkan peran bakteri yang menguntungkan dalam usus (Gibson, 1998).
16. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
550
Subekti et al. (2006) melaporkan bahwa penggunaan daun katuk dalam ransum
baik dalam bentuk tepung dan ekstrak ternyata menghasilkan produk puyuh
jepang yang rendah kolesterol dengan konsumsi fitosterol tepung daun katuk
sebesar 0,55 g/ekor/hari. Fitosferol diyakini dapat menghambat absorpsi
kolesterol ransum dan reabsorpsi kolesterol endogen dalam saluran pencernaan
(Jones et al.,2000;Bonsdorff-Nikander,2005).
Pemberian daun katuk dalam formulasi ransum ayam juga memberi efek
positif pada peningkatan kualitas telur dengan indikasi meningkatnya kandungan
vitamin A dan warna kuning telur yang nyata lebih baik ketimbang ransum tanpa
daun katuk. Diketahui hasil penelitian Wiradimadja et al., (2010), bahwa ransum
perlakuan dengan kandungan 15% daun katuk memperlihatkan intensitas warna
kuning yang lebih tua dibandingkan kontrol dan substitusi daun katuk 7,5%. Hal
ini sejalan dengan Piliang et al. (2001) yang mengungkapkan bahwa pemanfaatan
tepung daun katuk dalam ransum dapat mempengaruhi intensitas warna kuning
telur, sebagai dampak dari tingginya kandungan vitamin A dalam daun katuk
tersebut yang secara langsung sangat nyata mempengaruhi kandungan vitamin A
di dalam telur ayam. Tingginya kandungan vitamin A dalam telur diharapkan
akan mempengaruhi kualitas telur yang berefek ganda, yaitu disamping telur
sebagai sumber protein hewani juga sebagai sumber vitamin A. Demikian pula
pada itik lokal yang diberi perlakuan substitusi tepung daun katuk pada level 5%
lebih efisien meningkatkan kualitas telur yakni dapat meningkatkan skor warna
kuning telur tanpa mengganggu kualitas telur lainnya berupa bobot telur, haugh
unit dan ketebalan kerabang telur (Suryaningsih, 2008)
Pemberian ekstrak daun katuk juga mampu meningkatkan warna kuning
pada kaki dan kulit karkasayam broiler karena beta-carotene yang terdapat pada daun
katuk. Selain itu, pemberian ekstrak daun katuk juga mampu meningkatkan rasa
daging yang disebakan oleh kandungan mineral kalium dan metilpiroglutamat.
Ketika di dalam tubuh kedua senyawa ini dapat diubah menjadi asam glutamat.
Selain itu, ekstrak daun katuk juga mampu menurunkan susut masak daging
ayam. Daging dengan susut masak yang rendah mempunyai kualitas daging yang
lebih baik, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit.
Semakin rendahnya susut masak oleh ekstrak daun katuk mungkin disebabkan
oleh meningkatnya protein daging. Semakin meningkatnya protein daging maka
kemampuannya untuk mengikat air akan meningkat sehingga cairan yang keluar
selama pemasakan akan terhambat. Peningkatan protein daging oleh pemberian
ekstrak daun katuk sangat mungkin karena ekstrak tersebut kaya akan protein
(Santoso, 2009).
PROSEDUR PEMBUATAN TEPUNG DAUN KATUK
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pembuatan tepung daun katuk
harus memisahkan antara daun dan batang katuk baru diolah menjadi tepung daun
katuk (Fitriawati, 2011; Suryaningsih,2008), seperti pada gambar 1 dan 2 berikut.
17. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
551
Gambar 1. Prosedur Pembuatan Tepung Daun Katuk
Gambar 2. Prosedur Pembuatan Tepung Daun Katuk
Pengeringan dalam oven bersuhu
50˚-60˚C selama 3 hari
Vartikel diperkecil
Daun katuk direndam air 1:5 selama
30 menit (Santoso, 2010)
Dihaluskan dengan
menggunakan gilingan
sampel
Pengeringan dalam oven bersuhu
50˚-60˚C selama 3 hari
Daun Katuk Segar
Daun katuk (1.320 gram)
Dilayukan selama 24 jam
Daun katuk dioven (suhu 60o
C
selama 24 jam)
Daun katuk kering (digiling)
Tepung daun
katuk
Katuk (daun dan
batang): 2 kg
Tepung daun
katuk siap pakai
18. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
552
KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa kajian tersebut di atas maka perlu
direkomendasikan pengembangan tanaman katuk yang lebih optimal sebagai
tanaman obat, sayur bernutrisi tinggi dan juga sebagai sumber pakan bagi ternak
unggas khususnya diberbagai wilayah geografis Indonesia dengan memperhatikan
kesuburan tanah dan tingkat penerimaan masyarakat petani-ternak dan juga
masyarakat konsumen terhadap pemanfaatan tanaman tersebut. Demikian pula
faktor-faktor pembatas tanaman katuk seperti kandungan tanin dan senyawa
papaverina yang membutuhkan teknologi pengolahan katuk yang baik sehingga
tidak menimbulkan dampak negatif bagi ternak unggas
DAFTAR PUSTAKA
Agusta A, M. Harapini dan Chairul. 1997. Analisis kandungan Kimia Ekstrak
Daun Katuk (Sauropus androgynus (L).Merr) dengan GCMS. Warta
Tumbuhan Obat 3(3):31-34.
Anonim,2010. Manfaat Daun Katuk Bagi Kesehatan dan Produktivitas Ternak.
http://www.infoternak.com. (Diakses 26 Agustus 2014).
Anonim. 2013. Katuk. http://id.wikipedia.org. (Diakses 26 Agustus 2014).
Bonsdorf-Nikander A, Von. 2005. Studies on a cholesterol-lowering
microcrystalline phytosterol suspension oil (dissertation). Helsinki:
Division of pharmaceutical Technology, Faculty of Pharmacy, University
of Helsinki.
Collins, G.R. Gibson. 1999. Prebiotic, probiotic, and synbiotic: approaches for
modulating the microbial ecology of the gut. Am. J. Clin. Nutr. 69: 1052S-
1057S.
Diskesklungkung. 2009. Daun katuk. http://dawan1.diskesklungkung.net.
(Diakses 26 Agustus 2014).
Daud M, Piliang WG, Kompiang IP. 2007. Persentase dan Kualitas Karkas Ayam
Pedaging yang Diberi Probiotik dan Prebiotik dalam Ransum. JITV 12(3):
167-174.
Fitriawati. 2011. Pengaruh Penambahan Tepung Daun Katuk (Sauropus
Androgynus) dan Rimpang Kunyit (curcuma domestika) dalam Ransum
Terhadap Persentase Bagian-bagian Karkas dan Organ Dalam pada
Broiler. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Gibson,G.R. 1998. Dietary modulation of the human gut microflora using
prebiotics. Br.J.Nutr.80:S209-S212.
Hulshoff,P.J.M, C.XU,P.Van De Bokenkamp, Muhilal and C.E. West.1997.
Application of a validated method for the determination of provitamin A
carotenoids in Indonesian foods of different maturity and origin. J.Agric.
Food Chem. 45: 1174-1179.
19. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
553
Harborne, 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Terjemahan: K.Padmawinata, I. Sudiro. Instititut Teknologi
Bandung. Bandung.
Jones P.J., M. Raeni-Sarjaz, F.Y.Ntanios, C.A. Vanstone, J.Y. Feng and
W.E.Parsons. 2000. Modulation of plasma lipid levels and cholesterol
kinetics by phytosterol versus phytostanol esters. J.Lipid Res.41:297-705.
Malik,A.1997. Tinjauan fitokimia, indikasi penggunaan dan bioaktivitas daun
katuk dan buah trengguli. Warta Tumbuhan Obat 3:39-41.
Prajonggo,T.S., W.Djatmiko T, Soemarno dan J.L. Lunardi. 1996. Pengaruh
Sauropus androgynus L.Merr terhadap gambaran histologi kelenjar susu
mencit betina yang menyusui. Prosiding Kongres Nasional XI ISFI.
Semarang, 14-15 November 1996. ISFI. Jakarta. Hlm 735-739.
Piliang, W.G., A.Suprayogi, N.Kusumorini, M.Hasanah, S.Yuliani, dan Risfaheri.
2001. Efek Pemberian Daun Katuk (Sauropus androgynus) Dalam
Ransum Terhadap Kandungan Kolesterol Karkas dan Telur Ayam Lokal.
Lembaga Penelitian IPB Bekerjasama dengan Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Proyek ARMP II. Desember 2001.
Rahayu dan Lenawaty Limantara, 2005. Studi Lapangan Kandungan Khlorofil IN
Vivo Beberapa Spesies Tumbuhan Hijau di Salatiga dan Sekitarnya.
Seminar Nasional MIPA 2005.
Subekti S, Piliang W.G., Analu W.M., Murdiati T.B. 2006. Penggunaan Tepung
Daun Katuk dan Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus L.Merr)
sebagai substitusi Ransum Yang dapat Menghasilkan Produk Puyuh
Jepang Rendah Kolesterol. JITV 11(4): 254-259.
Saleh E, NSYP J.W. 2005. Pengaruh Pemberian Tepung Daun Katuk Terhadap
Performans Ayam Broiler. Jurnal Agribisnis Peternakan 1(1)): 14-16.
Suryaningsih L. 2008. Pengaruh Pemberian Tepung Daun Katuk (sauropus
androgynus (L.) Merr.) dalam Ransum Terhadap Kualitas Telur Itik Lokal.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Santoso, 2009. Manfaat Daun Katuk Bagi Kesehatan Manusia dan Produktivitas
Ternak. http://uripsantoso.wordpress.com/2009/08/24/ manfaat-daun-
katuk-bagi-kesehatan-manusia-dan-produktivitas-ternak/. Akses pada
tanggal 25 Agustus. 2014.
_________. Y. Fenita dan Kususiyah. 2008. Penggunaan Ekstrak Air Daun Katuk
sebagai Pengganti Feed additive Komersial untuk Memproduksi Meat
Designers yang Efisien. Laporan Riset Unggulan Universitas. Universitas
Bengkulu. Bengkulu.
__________________ dan W. Piliang. 2004. Penggunaan Ekstrak Daun Katuk
sebagai Feed Additive untuk Memproduksi Meat Designer. Laporan
Penelitian Hibah Pekerti. Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Santoso U, T.Suteky, Heryanto, dan Sunarti. 2002. Pengaruh Cara Pemberian
Ekstrak Daun katuk (Sauropus Andogynus) Terhadap Penampilan dan
Kualitas Karkas Ayam pedaging. JITV 7(3):145-149.
Wiradimadja R, Burhanuddin H, Saefulhadjar D. 2014. Peningkatan Kadar
Vitamin A pada Telur Ayam Melalui penggunaan Daun katuk (Sauropus
androgynus L.Merr) Dalam Ransum. https://www.academia.edu. (Diakses
26 Agustus 2014).
20. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
554
Teknologi Pemanfaatan Dedak Mendukung Pertanian Bio-
Industri Berkelanjutan
BranUtilizationTechnologySupportingSustainableAgriculture Bio-
Industry
Amalia Ulpah1*)
dan Yeni E Maryana2
1)
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP)
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan
*)
Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. +62 0251 8351277/+620251 8350928
Email : ameliaulfah@yahoo.com
ABSTRACT
One of the by-product of rice processing is bran rice. Bran produced from
rice processing whenever the range 8-10%. Main components include the bran oil,
protein, carbohydrates, and minerals. Availability of rice bran in Indonesia is
relatively abundant, besides it is low price, it’s also not for food ingredient. The
condition is an opportunity for the development and wider use of bran. Various
technologies have been developed to increase the value added bran rice and
supporting sustainable agriculture bio-industry. Bran utilization such as for
compost, animal feed ingredients, and rice bran oil which can be used for cooking
oil or biodiesel, industrial raw materials. Development of bran utilization for
larger scale (industrial) still faces many obstacles. This paper aims to describe the
various technological utilization of rice bran, as well as analyze the potential,
opportunities, barriers, and obstacles in the development of the use of bran.
Keywords : bran rice, bio-industry agriculture, utilization
ABSTRAK
Salah satu hasil samping dari pengolahan padi adalah dedak. Dedak yang
dihasilkan dari setiap kali pengolahan padi berkisar 8-10%. Komponen utama
yang ada pada dedak diantaranya adalah minyak, protein, karbohidrat, dan
mineral. Ketersediaan dedak padi di Indonesia cukup melimpah, selain itu harga
dedak padi tidak terlalu mahal dan dedak padi bukan merupakan bahan pangan.
Kondisi tersebut menjadi peluang bagi pengembangan dan pemanfaatan dedak
secara lebih luas. Berbagai teknologi telah dikembangkan dalam rangka
peningkatan nilai tambah dedak mendukung pertanian bio-industri berkelanjutan.
Pemanfaatan dedak diantaranya adalah untuk kompos, bahan pakan ternak, dan
minyak dedak yang dapat dijadikan minyak goreng ataupun sebagai biodiesel,
bahan baku industri. Pengembangan pemanfaatan dedak untuk skala yang lebih
besar (industri) masih mengalami banyak hambatan. Tulisan ini bertujuan untuk
memaparkan berbagai teknologi pemanfaatan dedak padi, serta menganalisis
21. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
555
potensi, peluang, hambatan, dan kendala didalam pengembangan pemanfaatan
dedak.
Kata kuci : dedak padi, pemanfaatan, pertanian bio-industri.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil padi terbesar ketiga di
dunia. Jumlah produksi padi di Indonesia pada tahun 2013 mencapai lebih dari 70
juta ton. Salah satu hasil samping dari penggilingan padi menjadi beras adalah
dedak. Dedak yang dihasilkan dalam sekali proses penggilingan padi dengan
kadar air 14% berkisar 8-10%. (Racmat et. al., 2004). Artinya apabila pada tahun
2013 jumlah produksi padi 70 juta ton, maka dedak yang dihasilkan adalah sekitar
7 juta ton, jumlah yang sangat berlimpah sehingga diperlukan upaya-upaya untuk
memanfaatkannya. Dedak padi dapat dimanfaatkan lebih optimal dan mempunyai
nilai tambah yang lebih tinggi apabila dapat diolah lebih lanjut. (Hadipernata,
2007).
Dedak merupakan hasil samping dari proses pengolahan padi. Selama ini
pemanfaatan dedak di kalangan petani baru sebatas sebagai pakan ternak, dan hal
itu pun masih menjadi kendala karena sifat dedak yang memiliki kandungan asam
lemak yang tinggi sehingga dedak mudah tengik. (Amrullah, 2002 dalam L.A.A.
Pratiwi, 2010). Selain itu dedak padi juga mengandung fitat dan serat kasar yang
cukup tinggi yang berasal dari pemisahan gabah menjadi beras dan ikutannya.
Fitat dan serat kasar ini yang menyebabkan dedak padi penggunaannya sangat
terbatas pada ternak tertentu seperti ayam petelur dan pedaging karena
berpengaruh pada ketersediaan fosfor yang diperlukan oleh tubuh ternak. (L.A.A.
Pratiwi, 2010).
Pemanfaatan dedak padi lainnya yang selama ini telah banyak dilakukan
adalah untuk dijadikan minyak. Minyak dedak (rice bran oil) merupakan produk
antara yang dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai minyak pangan maupun
minyak kesehatan.
Minyak dedak merupakan minyak hasil ekstraksi dedak padi. Minyak
dedak dapat dikonsumsi dan mengandung vitamin, antioksidan, serta nutrisi yang
diperlukan tubuh manusia. ( Hadipernata, 2012). Pemanfaatan minyak dalam
dedak padi menghadapi kendala dalam hal lamanya pengumpulan karena
penggilingan padi yang berskala kecil dan tersebar di desa-desa. Lamanya
pengumpulan ini yang mengakibatkan proses hidrolisis minyak sulit untuk
dicegah dan dedak padi menjadi tidak layak untuk diekstrak minyaknya sebagai
minyak makan. Berbagai penelitian telah banyak dilakukan untuk
mengembangkan pemanfaatan dedak padi menjadi minyak hingga dapat
digunakan dalam skala industri.
Pemanfaatan dedak baik untuk pakan, pupuk, maupun untuk diambil
minyaknya sebagai produk antara yang dapat dikembangkan lebih lanjut
dilakukan dalam rangka meningkatkan nilai tambah dedak sebagai hasil samping
dari pengolahan padi. Hal tersebut sejalan dengan prinsip pertanian bioindustri
berkelanjutan yang ramah lingkungan. Salah satu prinsip pertanian bioindustri
adalah adanya pengelolaan dan pemanfaatan secara optimal limbah pertanian
organik bagi kesejahteraan masyarakat dalam suatu ekosistem.
Berbagai hambatan dan kendala banyak dijumpai dalam pengembangan
dan pemanfaatan dedak untuk skala yang lebih luas. Tulisan ini bertujuan untuk
22. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
556
memaparkan berbagai teknologi pemanfaatan dedak padi serta menganalisis
potensi, peluang, hambatan dan kendala dalam pengembangan pemanfaatan dedak
untuk skala yang lebih luas.
Mengenal Dedak Dalam setiap penggilingan padi dengan kadar air 14%
akan dihasilkan rendemen beras 57-60%, sekam 18-20%, dan dedak 8-10%.
(Hadipernata, 2007). Dedak sebenarnya berbeda dengan bekatul. Dedak (rice
bran) dan bekatul (polish bran) merupakan limbah yang dihasilkan dari proses
penyosohan beras. Dedak dihasilkan dari proses penyosohan pertama, sedangkan
bekatul didapatkan dari proses penyosohan kedua.
Menurut FAO dedak (bran) terdiri atas lapisan sebelah luar butiran padi
dengan sejumlah lembaga biji. Sementara bekatul (polish) adalah lapisan sebelah
dalam dari butiran padi, termasuk sebagian kecil endosperm berpati. Alat
penggilingan tidak memisahkan antara dedak dan bekatul, maka umumnya dedak
dan bekatul ini bercampur menjadi satu yang disebut dengan dedak atau bekatul.
(Damayanthi, 2006).
Kandungan Nutrisi Dedak Komponen utama pada dedak padi adalah
minyak, protein, karbohidrat, dan mineral. Dedak padi yang berkualitas baik
mengandung protein rata-rata dalam bahan kering adalah 12,4%, lemak 13,6%
dan serat kasar 11,6%. Kandungan protein dedak padi lebih berkualitas
dibandingkan dengan jagung. Dedak padi kaya akan thiamin dan sangat tinggi
dalam niasin. (http://www.pilarlima.com/index.php/pakan/dedak-padi).
Dedak dengan kandungan serat kasar 6-12 % memiliki kandungan lemak
14,1%, protein kasar 13,8% (Hartadi dkk, 1997 dalam L.A.A. Pratiwi, 2010),
sedangkan menurut National Research Council (1994) dedak padi mengandung
energi metabolis sebesar 2100 kkal/kg, protein kasar 12,9%, lemak 13%, serat
kasar 11,4%, Ca 0,07%, P tersedia 0,21%, serta Mg 0,22%.
Tabel 1. Komposisi Dedak menurut persyaratan Mutu
Komposisi Mutu I Mutu II Mutu III
Air (%) Maksimum 12 12 12
Protein Kasar (%) minimum 11 10 8
Serat Kasar (%) maksimum 11 14 16
Abu (%) maksimum 11 13 15
Lemak (%) maksimum 15 20 20
Asam Lemak bebas (%) terhadap lemak
maksimum
5 8 8
Ca (%) 0.04-0.3 0.04-0.3 0.04-0.3
P (%) 0.6-1.6 0.6-1.6 0.6-1.6
Aflatoksin (ppb) maksimum 50 50 50
Silica (%) maksimum 2 3 4
Sumber: DSN, 2001
Pemanfaatan Dedak Beberapa alternatif pemanfaatan dedak selain
sebagai pakan ternak diantaranya adalah : pupuk, farmasi, dan minyak dedak.
Minyak dedak dapat diolah lebih lanjut menjadi minyak pangan, minyak
kesehatan, maupun sebagai bahan baku biodiesel.
Kandungan asam lemak yang tinggi pada dedak membuat dedak tidak
tahan lama. Dedak yang telah disimpan lama akan menjadi tengik dan sebagian
23. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
557
besar vitaminnya rusak, oleh karena itu tidak dapat digunakan sebagai pakan
ternak. Demikian pula dedak yang telah ditumbuhi jamur, terutama di negara-
negara tropis seperti di Indonesia, akan berbahaya apabila diberikan kepada
ternak. Dedak yang demikian biasanya digunakan untuk pupuk atau dibakar
sebagai sumber energi. (Sulardjo, 2013).
Minyak dedak diperoleh dari hasil ekstraksi dedak padi melalui tahapan
proses stabilisasi dan pemurnian. Minyak dedak memiliki aroma dan penampilan
yang baik. Selain itu minyak dedak juga memiliki kandungan vitamin, antioksidan
(tocoferol, tocotrienol, dan oryzanol), serta nutrisi dan dapat menurunkan
kandungan kolesterol di dalam tubuh manusia. (Hadipernata et.al., 2012).
Kandungan nutrisi yang tinggi pada minyak dedak menjadikan pemanfaatan
minyak dedak tidak hanya sebatas pada minyak goreng saja namun dapat diproses
menjadi berbagai macam produk turunannya, dan dapat dikembangkan sebagai
produk supplement, kesehatan, kosmetika, dan biodiesel.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, pemanfaatan
minyak dedak sebagai bahan baku biodiesel terbukti bisa menghasilkan yield yang
tinggi (> 90%). Pemanfaatan dedak padi sebagai bahan baku biodiesel dan
pemanfaatan produk samping dari produksi biodiesel diharapkan dapat
menurunkan biaya produksi. Penelitian yang dilakukan oleh A. Permatasari dan
Indah (2014) melakukan modifikasi proses in-situ untuk menghasilkan biodiesel.
Pada proses in-situ ekstraksi minyak dedak padi dan reaksi
esterifikasi/transesterifikasi terjadi secara simultan sehingga dapat lebih
meminimalkan biaya produksi.
Dedak padi merupakan bahan baku yang cocok untuk produksi biodiesel
karena minyak dedak padi (rice bran oil) memiliki performa yang baik dalam uji
mesin dan uji emisi tanpa modifikasi mesin yang mahal. (Hong Lei et al, 2009
dalam A. Permatasari dan Indah, 2014). Spesifikasi biodiesel dari minyak dedak
padi mirip dengan bahan bakar diesel. Sehingga biodiesel dari minyak dedak padi
merupakan pengganti yang potensial untuk bahan bakar diesel.
Potensi Pengembangan Pemanfaatan Dedak Potensi, peluang,
hambatan dan kendala di dalam pengembangan pemanfaatan dedak untuk skala
yang lebih luas dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Potensi, Peluang, Hambatan/Kendala Pengembangan Dedak
Potensi Peluang Hambatan/Kendala
- Jumlah dedak yang
berlimpah
- Kandungan nutrisi
dedak yang tinggi
- Potensial sebagai
bahan baku industry
- Saat ini
pemanfaatan baru
sebatas pakan
ternak
- Dedak bukan
merupakan bahan
pangan
- Kemajuan IPTEK
- Kandungan asam lemak
tinggi
- Mudah tengik
- Sifat kamba (bulky)
- Mudah mengundang
serangga (kutu)
- Proses penggilingan padi
tersebar dimana-mana
- Biaya pengumpulan dan
transportasi cukup mahal
- Biaya pengolahan tinggi
24. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
558
Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia
merupakan negara penghasil padi terbesar ketiga didunia. Data Biro Pusat
Statistik (BPS) menunjukkan terjadi peningkatan produksi padi dari tahun ke
tahun yang berdampak pula pada semakin meningkatnya dedak yang dihasilkan
dari tahun ke tahun. Produksi padi di Indonesia pada tahun tahun 2013 mencapai
lebih dari 71 juta ton. (BPS, 2013). Tabel jumlah produksi lima tahun terakhir dan
perkiraan jumlah dedak yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah produksi padi dan dedak padi 2009-2013
Tahun Produksi Padi
(Ton)
Produksi Dedak (Ton)*
2009 64.398.890,00 6.439.889,00
2010 66.469.394,00 6.646.939,40
2011 65.756.904,00 6.575.690,40
2012 69.056.126,00 6.905.612,60
2013 71.279.709,00 7.127.970,90
Sumber : Data BPS (Diolah)
*Cat : Asumsi dedak yang dihasilkan dalam pengolahan padi 10%
Jumlah dedak yang berlimpah menjadi peluang bagi pengembangan
pemanfaatan dedak untuk skala industri. Sehingga ketersediaan bahan baku tidak
menjadi hambatan bagi pengembangan industri pengolahan dedak. Disamping itu
dedak bukan merupakan bahan pangan.
Selain jumlahnya yang berlimpah, selama ini pemanfaatan dedak baru
sebatas sebagai pakan ternak. Padahal dedak memiliki kandungan nutrisi yang
cukup tinggi apabila dilakukan pengolahan lebih lanjut. Kemajuan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi telah membuat pemanfaatan dedak semakin
berkembang luas. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memanfaatkan dedak
seoptimal mungkin. Dedak dapat diolah lebih lanjut sebagai bahan baku industri
food supplement, farmasi maupun biodiesel.
Hambatan dan kendala yang dihadapi didalam pengembangan dan
pemanfaatan dedak diantaranya adalah sifatnya yang kamba (bulky) dan menyebar
diberbagai tempat. Hal tersebut yang menyebabkan mahalnya biaya pengumpulan
dan transportasi. (Sulardjo, 2013) Tingginya kadar asam lemak pada dedak dan
sifatnya yang mudah mengundang serangga terutama kutu, juga menjadi salah
satu masalah dalam pemanfaatan dedak. Kandungan asam lemak yang tinggi
membuat dedak tidak tahan lama disimpan. (L.A.A. Pratiwi, 2010). Dedak yang
disimpan lama akan mudah tengik. Oleh karena itu proses penyimpanan dedak
menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan di dalam pengolahan dedak.
Studi kelayakan perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana nilai
ekonomis yang dapat diperoleh dari pemanfaatan dedak sebagai bahan baku
industri. Selain itu diperlukan studi perbandingan dengan bahan-bahan
bersubstitusi. Kebijakan ataupun dukungan dari pemerintah diperlukan dalam
rangka meningkatkan nilai tambah dedak.
25. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
559
KESIMPULAN
Selain sebagai pakan ternak, dedak padi dapat diolah dan dimanfaatkan
sebagai bahan baku industri. Pengolahan dedak padi cukup potensial
dikembangkan di Indonesia karena jumlahnya yang berlimpah. Teknlogi
pemanfaatan dedak telah banyak dilakukan melalui dukungan kemajuan IPTEK.
Studi kelayakan perlu dilakukan terlebih dahulu, selain studi perbandingan dengan
bahan-bahan bersubstitusi. Meskipun dedak dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku industri akan tetapi masih sedikit industri yang memanfaatkan limbah
pertanian ini.
DAFTAR PUSTAKA
A.Permatasari dan Indah Marita. 2014. Modifikasi Proses In-Situ Esterifikasi
Untuk Produksi Biodiesel Dari Dedak Padi. Skripsi. Institut Teknologi
Sepuluh Nopember. Surabaya
Damayanthi, E., L.T. Tjing, dan L. Arbianto. 2006. Rice bran. Penebar Plus,
Jakarta.
Hadipernata, M. 2007. Mengolah dedak menjadi minyak (rice bran oil). Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. ISSN 0216-4427 Vol 29 No 4 hal
810.
Hadipernata, Agus Budiyanto, Sari Intan K. 2012. 50 Teknologi Inovatif Litbang
Pascapanen Pertanian. Kementerian Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.
http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat=3&id_subyek=53¬ab=0. Diakses 19
Agustus 2014.
http://www.pilarlima.com/index.php/pakan/dedak-padi. Diakses 4 September
2014.
L.A.A. Pratiwi. 2010. http://intannursiam.wordpress.com/2010/09/22/. Diakses 15
Agustus 2014.
Rachmat, R., S. Nugraha, Sudaryono, S. Lubis, M. Hadipernata. 2004.
Agroindustri Padi Terpadu. Laporan Penelitian Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Sulardjo.2013.Pemanfaatan Limbah Padi Untuk Industri. Jurnal Magistra No. 84
Th. XXV. Juni 2013.
26. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
560
Formulasi dan Karakteristik Fisik Velva Pepaya
Formulation and Fhysical Characteristics of Papaya Velva
S. Aminah1
, T. Ramdhan1
, M. Yanis1
, Y. Handayani1
, Yuana Juwita2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan
Jl. Raya Ragunan No. 30 Pasar Minggu Jakarta Selatan
Email: mifa71@yahoo.com
ABSTRACT
Velva fruit is processed products like ice cream, but it comes from fruit
puree with a lower fat content than ice cream which made from milk. Velva fruit
is one of the alternative forms of processed fruits to increase fruit consumption.
Papaya can be found throughout the year and the price is quite cheap. The purpose
of this study is to obtain the formula (composition ratio of papaya puree with
sugar and water) and physical properties of velva papaya using 4 x 3 factorial
design with three replications. First factor is the composition or the ratio of puree
(fruit pulp) with water, ie 1) without water (100% puree), 2) puree: water = 2: 1,
3) puree: water = 1: 1, and 4) puree: water = 1: 2, while the second factor is the
concentration of sugar sand (sucrose) to the amount of dough that has added puree
water, ie 1) 10% w / w, 2) 15% w / w, and 3) 20% w / w. Observation parameters
were total soluble solid (TSS), percent overrun, hardness and color (chroma).
Study obtained results that puree : water (2: 1) was the best ration for the
manufacture of velva papaya using CMC stabilizer 0.5% and sugar 20% usage.
Keywords: formulation, papaya, puree, velva,
ABSTRAK
Velva buah merupakan produk olahan seperti eskrim tetapi berasal dari
hancuran buah dengan kandungan lemak rendah dibanding es krim yang terbuat
dari susu. Hal ini memungkinkan velva buah akan lebih disukai oleh orang
dewasa maupun anak-anak dan merupakan salah satu alternatif bentuk olahan
buah untuk dapat meningkatkan konsumsi buah. Pepaya dapat ditemui sepanjang
tahun dan harganya pun cukup murah. Tujuan penelitian ini adalah untuk
memperoleh formula (komposisi perbandingan puree buah pepaya dengan air dan
gula) dan sifat fisik velva pepaya. Rancangan percobaan yang digunakan adalah
rancangan faktorial 4 x 3 dengan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah
komposisi atau perbandingan puree (bubur buah) dengan air, yaitu 1) tanpa air
(100% puree), 2) puree : air = 2:1, 3) puree : air = 1:1, dan 4) puree : air = 1:2,
sedangkan faktor kedua adalah konsentrasi gula pasir (sukrosa) terhadap jumlah
adonan puree yang telah ditambah air, yaitu 1) 10% w/w, 2) 15% w/w, dan 3)
20% w/w. Parameter meliputi Total Padatan Terlarut (TPT), persen overrun,
27. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
561
kekerasan dan warna (chroma). Kajian diperoleh hasil bahwa puree : air (2:1)
merupakan perbandingan air terhadap puree yang terbaik untuk pembuatan velva
pepaya dengan menggunakan bahan penstabil CMC 0,5% dan penggunaan gula
20%.
Kata kunci: Velva, papaya, puree, formulasi
PENDAHULUAN
Permintaan produk buah-buahan seperti pepaya setiap tahunnya
mengalami peningkatan, terlebih di DKI Jakarta dengan gaya hidup masyarakat
metropolitan dengan tuntutan konsumen terhadap produk yang lebih beragam.
Selain itu kesadaran serta keinginan untuk mengkonsumsi makanan yang aman
dan sehat serta dapat dijamin mutunya (Gumbira, 2011).
Teknologi pengolahan buah-buahan dibutuhkan untuk meningkatkan nilai
tambah dan daya saing produk olahannya serta memberikan bentuk lain sehingga
diversifikasi olahan buah lebih beragam dari yang sudah diproduksi oleh
kelompok olahan di DKI Jakarta. Seperti sirup, sari buah, selei, manisan dan jenis
produk olahan buah lainnya. Bentuk diversifikasi olahan buah yang tidak kalah
menariknya, yaitu velva buah (velva fruit) yang merupakan bentuk olahan buah
yang menyerupai es krim berbahan dasar puree yang rendah lemak dan kaya serat
sehingga sehat untuk dikonsumsi sebagai camilan sehat anak-anak maupun orang
dewasa.
Velva buah adalah salah satu jenis makanan pencuci mulut yang berbahan
baku buah-buahan dan dibekukan dengan alat pembeku es krim dan merupakan
produk berkadar lemak rendah dan berserat tinggi (Winarti, 2006). Velva buah
sering disebut sebagai dessert berserat tinggi karena bahan bakunya berasal dari
buah-buahan yang mengandung serat tinggi. Lemak yang terkandung di dalam
velva buah sangat rendah dan hanya berasal dari bahan baku (buah) yang
digunakan (Winarti, 2006).
Perbedaan utama antara velva dan es krim adalah konsistensi buah yang
digunakan. Velva buah menggunakan puree buah sebagai bahan utama sedangkan
es krim menggunakan susu. Keunggulan velva buah dibandingkan dengan
makanan beku lainnya seperti es krim adalah kandungan lemak rendah,
kandungan serat tinggi, kandungan vitamin tinggi, seperti vitamin C dan
provitamin A.
Jenis buah-buahan dengan kandungan padatan cukup tinggi sangat baik
digunakan sebagai bahan baku pembuatan velva buah, seperti jambu biji, pepaya,
sirsak, melon, belimbing, nanas bahkan bunga rosela (Winarti, 2006).
Menurut Lies (2005) Pengolahan pepaya menjadi berbagai produk olahan
yang cukup beragam dapat memberikan keuntungan, antara lain:
1. Memberikan peluang pasar yang baik bagi komoditas pertanian khususnya
pepaya
2. Membuka lapangan kerjabaru bagi masyarakat
3. Meningkatkan pendapatan masyarakat
4. Merangsang pertumbuhan sektor ekonomi lain yang berkaitan
Buah pepaya merupakan buah-bahan yang serba guna dan mempunyai
nilai gizi yang tinggi terutama kadar vitamin C dan vitamin A. Setiap 100 gram
28. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
562
mengandung 3,65 mg vitamin A dan 78 mg vitamin C. Keseluruhan tanaman
pepaya ini sangat berguna bagi kehidupan manusia.
Guna memperoleh formulasi kedua produk tersebut serta cara produksinya
yang efisien, mudah dan murah, maka diperlukan suatu penelitian Standar
Prosedur Operasional dalam rangka mengembangkan usaha KWT Jakarta melalui
peningkatan nilai tambah produk buah-buahan yang berdaya saing.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan alat. Penelitian dilakukan di Laboratorium BPTP Jakarta pada
bulan Mei sampai Juli 2013. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pepaya, gula pasir, asam sitrat, cup plastic dan beberapa bahan lainnya. Alat yang
digunakan adalah ice cream maker, blender, mixer, pisau stainlees steel, dan
timbangan.
Metode Pembuatan Bahan Baku Velva (Puree Pepaya) dan Velva
Pepaya. Pembuatan velva pepaya dilakukan berdasarkan formula masing-masing
perlakuan (Tabel 1). Pembuatan velva diawali dengan persiapan bahan baku, yaitu
pembuatan puree pepaya. Penggunaan bahan penstabil pada velva sangat penting,
agar velva bertekstur lembut dan tidak cepat meleleh. Rata-rata penggunaan
penstabil untuk velva adalah 1-5 g atau tidak lebih dari 2% dari berat bahan
(Astuti, 2006). Proses pembuatan puree pepaya disajikan pada gambar 1.
Pepaya
Cuci bersih
Trimming
Pisahkan biji dan daging buah
Blender
Penyaringan
Puree pepaya
Gambar 1. Diagram pembuatan puree pepaya.
29. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
563
Pembuatan velva papaya
Campurkan puree dan air
Tambahkan gula, stabilizer, asam sitrat, garam
Aduk sampai tercampur rata
Panaskan sampai suhu ± 85 0
C
Mixer sampai tercampur rata (± 5 menit)
Dinginkan sampai suhu ± 6-7 0
C
Masukkan dalam ice cream maker selama 60 menit
Velva buah
Gambar 2. Diagram pembuatan velva pepaya.
Velva yang sudah siap konsumsi segera langsung dikemas dengan
menggunakan ice cream cup. Pengemasan bertujuan untuk mengurangi
kerusakan, memberikan kemudahan dalam penanganan selanjutnya,
memperpanjang masa simpan dan memberikan daya tarik konsumen
(Sulistyowati, 2001).
Formulasi velva buah papaya. Perlakuan formulasi velva papaya terdiri dari
perbandingan air terhadap puree dan konsentrasi gula, yaitu:
Formula I : perbadingan puree : air = 1:0 konsentrasi gula 10%, 15% dan 20%
Formula II : perbadingan puree : air = 1:2 konsentrasi gula 10%, 15% dan 20%
Formula III : perbadingan puree : air = 1:1 konsentrasi gula 10%, 15% dan 20%
Formula IV : perbadingan puree : air = 2:1 konsentrasi gula 10%, 15% dan 20%
30. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
564
Data yang diamati meliputi overrun, TPT, Kekerasan dan Warna (Chroma).
HASIL
Tabel 1. Rendemen buah pepaya
Rendemen % bagian buah
Buah utuh 100
Biji dan kulit 15,12
Daging 84,88
Tabel 2. Nilai overrun velva pepaya pada berbagai formula
Perlakuan
Overun (%)
Puree : Air Gula (%)
1 : 0
10 9,11
15 2,03
20 2,80
2 : 1
10 14,61
15 40,14
20 77,30
1 : 1
10 65,89
15 73,47
20 82,62
1 : 2
10 7,56
15 5,34
20 8,46
Tabel 3. Nilai TPT (Brix) velva pepaya pada berbagai formulasi puree, air dan
gula
Perlakuan
TPT (Brix)
Puree : Air Gula (%)
1 : 0
10 22,7
15 26,1
20 28,7
2 : 1
10 18,6
15 20,7
20 24,4
1 : 1
10 14,2
15 18,9
20 22,6
1 : 2
10 13,4
15 17,8
20 19,3
31. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
565
Tabel 4. Nilai kekerasan velva pepaya
Perlakuan
Kekerasan (g)
Puree : Air Gula (%)
1 : 0
10 116,83
15 12,00
20 13,33
2 : 1
10 98,83
15 354,17
20 14,00
Tabel 5. Data pengukuran warna secara chroma terhadap nilai L, a dan b
Perlakuan Warna
Puree : Air Gula (%) L a b
1 : 0
10 36,02 16,20 28,17
15 34,28 18,11 31,07
20 33,39 16,01 27,92
2 : 1
10 38,14 16,14 34,51
15 56,01 10,49 35,50
20 58,03 8,74 31,49
PEMBAHASAN
Rendemen bahan baku. Setiap jenis buah mempunyai rendemen yang
berbeda. Jumlah puree pepaya yang dihasilkan dan dapat diolah menjadi velva
pepaya adalah 84,88% (tabel 1). Rendemen sisa terbuang dalam bentuk biji dan
kulit, yaitu 15,12%. Pepeya mempunyai rendemen yang cukup tinggi karena
memiliki daging buah yang tebal dan kulit yang tipis.
Overrun. Overrun merupakan persentase rasio pengembangan produk.
Overrun juga biasa diartikan banyaknya udara yang diserap pada saat pembuihan
kedalam campuran sehingga terjadi penambahan volume (Buckle, 1987). Nilai
overrun disajikan pada tabel 2. Nilai overrun velva pepaya memperlihatkan
kisaran yang berbeda jauh diantara formula.
Velva dengan formula tanpa penggunaan air dengan konsentrasi gula 10%,
15% maupun 20%, (100% puree pepaya) memperlihatkan nilai overrun berturut-
turut sebesar, yaitu 9,11%, 2,03% dan 2,80%. Dibandingkan dengan formula
lainnya, nilai overrun tersebut lebih rendah. Hal ini juga terjadi pada formula
dengan penambahan air dua kali dari jumlah puree menghasilkan nilai overrun
yang lebih rendah. Penambahan air pada puree hanya dapat meningkatkan
overrun.
Total Padatan Terlarut. Nilai TPT velva pepaya dengan berbagai
perlakuan formula disajikan pada tabel 3. Nilai TPT pada velva pepaya terlihat
rata-rata hampir sama untuk semua formula. Nilainya berkisar 13,4 – 28,7 0
Brix.
Nila TPT tertinggi diperoleh pada velva dengan perlakuan formula
1:0 (penggunaan 100% puree/tanpa air) dan penggunaan gula 20%, yaitu 28,87
32. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
566
o
Brix. Terlihat bahwa bertambahnya konsentrasi gula menyebabkan peningkatan
nilai TPT. Sebaliknya dengan perbandingan puree terhadap air 2:1 dengan
konsentrasi gula 10% menghasilkan nilai TPT terendah, yaitu 13,4 o
Brix.
Kekerasan Velva Pepaya. Berdasarkan hasil pembuatan velva dengan
penggunaan air terhadap puree (1:1) dan (1:2) atau lebih dari 50% tidak
membentuk velva. Oleh karena itu penggunaan air terhadap velva hanya
dilakukan pada perbandingan 2:1. Data nilai kekerasan velva pepaya disajikan
pada tabel 4. Pengukuran kekerasan hanya dilakukan pada dua perlakuan formula,
yaitu perbandingan puree terhadap air 1:0 (tanpa air) dan 2:1 (2 bagian puree : 1
bagian air). Dari tabel 4 memperlihatkan puree 2:1 dengan konsentrasi gula 15%
memiliki kekerasan yang tertinggi dan terendah pada perbandingan 1:0 dengan
gula 15%. Terlihat bahwa dengan penambahan air tingkat kekerasan velva lebih
tinggi. hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh adanya air yang mengkristal saat
velva disimpan dalam freezer. Penggunaan stabilizer atau bahan penstabil dapat
menghasilkan tekstur yag lebih lembut dan kental. Penambahan bahan penstabil
Na-CMC 0,8% dapat menghasilkan tekstur yang lembut pada velva sayuran yang
disukai konsumen (Susilowati et al, 2013).
Warna velva pepaya. Hasil pengukuran warna velva pepaya dengan
chromameter terhadap nilai L, a dan b disajikan pada tabel 5. Kedua formula
menunjukkan nilai tingkat kecerahan (L) yang hampir sama kecuali pada
perbandingan puree terhadap air 2:1 dengan penggunaan gula 15% dan 20%
memperlihatkan nilai L yang lebih tinggi, artinya velva yang dihasilkan lebih
terang atau warna orange dari pepaya berkurang (pucat). Nilai L berkisar dari 0 -
100, dan semakin tinggi nilai L maka warna bahan semakin memperlihatkan
kecerahan. Nilai L pada penggunaan puree 2: 1 terhadap air menunjukkan nilai
sebesar 56,01 dan 58,03 pada konsentrasi gula 15% dan 20%. Warna juga
dipengaruhi oleh overuun, semakin tinggi nilai overuun maka warna velva akan
semakin cerah atau mengarah ke nilai L > 50.
KESIMPULAN
Puree : air (2:1) merupakan perbandingan air terhadap puree yang terbaik
untuk pembuatan velva pepaya dengan menggunakan bahan penstabil CMC 0,5%.
Formula velva pepaya adalah 2 bagian puree, 1 bagian air, CMC 0,5% dan
penggunaan 20% menghasilkan velva dengan tingkat kecerahan (L) 58.03, nilai
overuun 77.30, TPT 24.4 dan kekerasan 14.00 gram.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, A.W. 2006. Pembuatan Edible Film Dari Semirefine Carrageenan (Kajian
Konsentrasi Tepung SRC dan Sorbitol). UPN. Jawa Timur
Buckle, K.A., R. A. Edwards, G.H. Fleet and M. Woolton., 1987. Ilmu Pangan.
Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Gumbira-Sa’id. E. 2011. Peningkatan Nilai Tambah Untuk Mendukung Daya
Saing Produk Hortikultura Indonesia di Pasar Global. Bogor:IPB-Press.
Hariati. 2010. Pangaruh Penambahan Stabilizer Tepung Tapioka terhadap
Kualitas Velva Tomat (Lycopersicum esculentum, Mill). Unan. Sumatera
Barat.
33. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
567
Lies Suprapti, 2005. Aneka Olahan Pepaya Mentah dan Mengkal. Teknologi
Pengolahan Pangan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Susilowati, T., Sudaryanti, Candra D.A. 2013. Pembuatan velva sayuran (kajian
proporsi wortel, tomat, kecambah dan penambahan Na-CMC terhadap
kualitas velva sayuran. Ejournal.upnjatim.ac.id.
Winarti, S., 2006. Minuman Kesehatan. Trubus Agrisarana, Surabaya.
34. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
568
Pengaruh Lilin Carnauba dan Lilin Lebah
Terhadap Mutu, Kualitas dan Umur Simpan Manggis
(Studi kasus di Kecamatan Puspahiang Kabupaten Tasikmalaya)
Effect ofCarnaubaWaxandBees Wax
to QualityandShelf Lifeof Mangosteen
(Case at Puspahiang Tasikmalaya)
Didit Rahadian1)*
, Renny Utami Somantri2)
, dan Dian Histifarina1)
1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat
Jl. Kayuambon No. 80 Lembang-Bandung 40391
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan
Jl. Kol. H. Burlian Km. 6 No. 83 Palembang 30153
*
Email : rahadian79@gmail.com HP. +6285223649956
ABSTRACT
Quality of mangosteen (Garcinia mangostana L.) friut decreases during
storage and transport. Waxing serves to maintain the quality of mangosteen during
storage. This study aims to obtain the effect of the wax type (beeswax and
carnauba wax) on the quality and shelf life of mangosteen. The Assessment was
conducted in 2012 at the Laboratory of Agricultural Mechanization and
Technology of the IAIT West Java. The Assesment method used descriptive
method with quality parameters (hardness of the skin, weight loss and total
dissolved solids) and organoleptic score . The study showed that the use of 5 %
solution carnauba wax gives better results than beeswax and without waxing.
After 14 days storage, carnauba wax was able to give a smaller weight losses
13.30% (A1); 23.52% (A2); and 28.97% (A3) ; hardning of mangosteen peel
ranged from 2.26 to 1.26 mm/dtk/100g; total soluble solids (TSS) ranged from
16.6 to 18.60
Brix . The organoleptic results showed that panelists still accept the
conditions of mangosteen until 14 days. The penelist prefer to use waxing on
mangosteen than without waxing.
Key words : waxing, beeswax, carnauba wax, mangosteen
ABSTRAK
Buah manggis (Garcinia mangostana L.) mengalami penurunan kualitas
selama penyimpanan dan transportasi. Pelilinan pada buah manggis berfungsi
untuk mempertahankan mutu dan kualitas buah manggis selama masa
penyimpanan. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis lilin
(lilin carnauba dan lilin lebah) terhadap mutu dan umur simpan manggis.
Pengkajian dilaksanakan pada tahun 2012 di Laboratorium Mekanisasi dan
Teknologi Hasil Pertanian BPTP Jawa Barat dengan menggunakan metode
deskriptif terhadap parameter mutu (kekerasan kulit, susut bobot dan total padatan
35. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
569
terlarut) serta uji organoleptik. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa
penggunaan larutan 5% lilin carnauba memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan penggunaan lilin lebah maupun tanpa pelilinan. Hingga
akhir penyimpanan (H+14) penggunaan lilin carnauba mampu memberikan susut
bobot yang lebih kecil yaitu 13,30% (A1), 23,52% (A2) dan 28,97% (A3);
kekerasan kulit manggis berkisar antara 2,26 – 1,26 mm/dtk/100g; dan kandungan
TPT sebesar 16,6 – 18,6 0
Brix. Hasil organoleptik menunjukkan bahwa secara
umum panelis masih menerima kondisi manggis hingga masa penyimpanan 14
hari. Penggunaan pelilinan lebih disukai panelis dibandingkan dengan tanpa
pelilinan.
Kata Kunci : pelilinan, lilin lebah, lilin carnauba, manggis
PENDAHULUAN
Manggis (Garciniamangostana L.) merupakan buah eksotik tropika
Indonesia yang memiliki nilai ekonomis tinggi dengan peluang ekspor yang besar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2012), jumlah produksi manggis
Indonesia pada tahun 2012 mencapai 119.641 ton dengan nilai ekspor mencapai
16.622.522 US $. Manggis-manggis tersebut disuplai dari provinsi sentra seperti
Jawa Barat dan JawaTimur. Jawa Barat pada tahun 2012 mampu menghasilkan
manggis sebesar 36.862 ton atau sebesar 41,93% dari produksi nasional. Di Jawa
Barat sentra manggis terbesar dihasilkan oleh Kabupaten Tasikmalaya dan
Kabupaten Subang. Produksi manggis di Kabupaten Tasikmalaya pada tahun
2012 mencapai 12.129 ton atau sekitar 32,90% dari produksi Jawa Barat.
Tingginya nilai ekspor manggis tidak diimbangi dengan kualitas manggis
yang dihasilkan oleh para petani. Rendahnya mutu buah manggis disebabkan oleh
beberapa hal diantaranya adalah waktu panen yang tidak tepat, adanya getah
kuning, lecet pada kulit dan tangkai, serta pengerasan kulit buah (Satuhu, 1999).
Hal ini sangat mempengaruhi penerimaan konsumen sebab mutu buah ditentukan
oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi warna, bentuk,
ukuran, adanya noda getah, dan kerusakan oleh serangga, sedangkan faktor
internal meliputi adanya daging bening, getah kuning, dan pengerasan kulit buah
(Dangcham et al,2008).
Pelilinan merupakan salah satu alternatif untuk menahan laju penurunan
mutu dan kehilangan dalam penanganan pascapanen buah-buahan (Sugiyono et al.
2009). Menurut Hagenmaier dan Shaw (1992) pelilinan yaitu melapisi permukaan
buah-buahan atau sayuran dengan lapisan tertentu seperti lilin. Peranan lapisan
lilin pada produk hortikultura sebagai pelindung terhadap kehilangan air yang
terlalu banyak akibat penguapan serta mengatur kebutuhan oksigen selama
respirasi. Lapisan lilin untuk komoditi hortikultura segar harus memenuhi
beberapa persyaratan, yaitu: (a) tidak berpengaruh terhadap bau dan rasa
komoditi, (b) tidak beracun, (c) mudah kering dan tidak lengket, (d) tidak mudah
pecah, mengkilap dan licin, (e) mudah diperoleh dan murah harganya (Muchtadi
et al. 1992). Menurut Banks et al. (1997), keberhasilan mempertahankan kualitas
dan memperpanjang umur simpan buah melalui pelilinan tergantung dari jenis
pelapis dan konsentrasi yang digunakan.
36. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
570
Hagenmeier dan Shaw (1992) menyatakan bahwa formula lilin pelapis
untuk setiap buah berbeda tergantung pada karakteristik buah tersebut. Beberapa
formula lilin pelapis yang dapat digunakan untuk buah diantaranya adalah : lilin
natural/sintetis dan asam lemak, polyethilene dan shellac, carnauba wax dan asam
lemak atau shellac, shellac dan asam lemak, hidrokarbon resin dan asam lemak,
ester sukrosa dan carboxymethil cellulose (CMC). Lilin carnauba berasal dari
pohon palem (Copernicacerifer) dengan bentuk fisik keras dan kedap air,
memiliki daya kilap yang rendah. Menurut Baldwin et al. (1997) lilin carnauba
merupakan pelapis makanan yang aman bagi manusia. Emulsi 6% lilin carnauba
dapat memperpanjang daya simpan dan memperbaiki kualitas pepaya (Purwoko
dan Fitradesi, 2000), dan memperlambat penyusutan bobot buah belimbing
(Katamsi, 2004). Lilin lebah banyak digunakan untuk pelilinan produk
hortikultura karena mudah didapat dan harganya murah (Bennet 1964 dalam
Yunita Sihombing, 2010). Lilin lebah berwarna putih kekuningan hingga cokelat,
dengan titik cair 62,8 – 70 0
C dan bobot jenis 0,952-0,975. Menurut Setyowati
dan Budiarti (1992) emulsi lilin lebah yang biasanya digunakan pada produk
hortikultura ada pada konsentrasi 4 – 12%. Riza (2004) menyebutkan bahwa
kadar pelilinan 6% merupakan kadar pelilinan optimum untuk buah manggis.
Pengkajian ini bertujuan untuk memperoleh hasil terbaik pada proses
pelilinan manggis dengan menggunakan lilin lebah dan lilin carnauba.
Diharapkan dengan proses pelilinan ini dapat memperpajang umur simpan buah
manggis.
BAHAN DAN METODE
Pengkajian pelapisan lilin pada buah manggis dilakukan di Laboratorium
Pascapanen BPTP Jawa Barat pada tahun 2012. Metodologi yang digunakan
yaitu metode deskriptif. Bahan pengkajian yang digunakan meliputi buah
manggis, lilin carnauba, lilin lebah, dll. Sedangkan alat pengkajian yang
digunakan adalah semprotan, ember besar, keranjang, dll.
Buah manggis yang digunakan adalah manggis yang diperoleh dari
Gapoktan Artamukti Kecamatan Puspahiang Kabupaten Tasikmalaya. Manggis
yang dipergunakan dalam pengkajian dikelompokkan menjadi 3 kelompok sesuai
dengan tingkat kematangan (indek warna) (perlakuan A) yaitu A1 = i.w 2 =
kuning kemerahan ; A2 = i.w 3 = merah kecoklatan; dan A3 = i.w 5 = ungu
kemerahan).
Pembuatan Larutan Lilin. Larutan lilin yang digunakan adalah lilin
carnauba dan lilin lebah (beeswax) dengan konsentrasi 5%. Larutan lilin dibuat
dengan memasukkan 50 gram lilin, 20 ml TEA dan 10 ml asam oleat dan
menambahkan aquades hingga tepat 1000 ml. Pembuatan larutan lilin diawali
dengan memanaskan lilin dalam wadah, kemudian tambahkan TEA sambil
dilakukan pengadukan. Selanjutnya masukkan asamoleat dan aquades sambil
dilakukan pengadukan. Untuk menghasilkan larutan yang homogen, larutan
diblender . Setelah homogeny larutan lilin didinginkan dengan menggunakan air
mengalir.
Proses Pelilinan. Manggis yang digunakan adalah manggis dengan
tingkat kematangan yang berbeda. Manggis yang telah disortir sesuai dengan
tingkat kematangan (warna) dipisahkan dalam keranjang plastik berbeda.
37. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
571
Manggis yang telah disusun dalam keranjang kemudian disemprot dengan
menggunakan larutan lilin secara merata. Selanjutnya manggis dikemas dan
disimpan pada suhu ruang. Selama penyimpanan dilakukan pengamatan terhadap
perubahan kualitas manggis. Proses pelilinan ini dilakukan dengan 3 perlakuan
(B) yaitu B1 = lilin carnauba; B2 = lilin lebah; dan B3 = tanpa lilin).
Pengamatan dan Analisis Data. Pengamatan dan pengumpulan data yang
dilakukan terhadap parameter susut bobot, kekerasan dan padatan terlarut selama
penyimpanan. Selama penyimpanan juga dilakukan uji organo leptik (warna
kulit, kesegaran sepal, warna daging buah, kekerasan, rasa, dan aroma).
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah pengukuran dengan
menggunakan alat picnometer (kekerasan), refraktometer (jumlah padatan
terlarut), dan timbangan (susut bobot). Sedangkan untuk uji organo leptik
dilakukan dengan metode uji kesukaan dengan skala penilaian 1 – 5 yaitu(1= tidak
suka, 2= agak tidak suka, 3 = netral, 4 = suka, 5 = sangat suka). Data yang
diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif.
HASIL
Tabel 1. Penurunan Susut Bobot Manggis Selama Penyimpanan Pada
Masing-Masing Perlakuan
Waktu
Penyimpanan
A1 A2 A3
B1 B2 B3 B1 B2 B3 B1 B2 B3
H7 4.61 6.59 5.31 6.65 7.03 7.59 6.92 7.38 7.13
H14 7.55 14.57 9.67 15.06 16.73 11.73 16.01 16.79 16.05
H21 10.80 20.21 13.54 19.17 23.82 21.73 20.95 22.79 20.99
H28 13.30 24.82 17.41 23.52 30.21 28.34 28.71 29.97 25.83
Tabel 2. Tingkat Kekerasan Kulit Manggis pada Masing-masing
Perlakuan
Lama
Penyimpanan
Tingkat Kekerasan Kulit (mm/dtk/100g)
A1 A2 A3
B1 B2 B3 B1 B2 B3 B1 B2 B3
H7 2.35 1.43 1.46 1.3 1.4 1.45 1.28 1.35 1.21
H14 2.26 1.35 1.26 1.29 1.18 1.17 1.26 0.9 1.14
Table 3. Nilai Total Padatan Manggis Selama Penyimpanan pada
Masing-masing Perlakuan
Lama
Penyimpanan
(hari)
Total Padatan terlarut (% Brix)
A1 A2 A3
B1 B2 B3 B1 B2 B3 B1 B2 B3
H7 17.0 16.0 15.2 15.0 19.4 17.2 15.0 18.2 17.0
H14 17.2 17.6 16.8 18.6 18.0 17.6 16.6 19.2 18.0
38. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
572
Gambar 1. Organoleptik Kesegaran Sepal Manggis Selama Penyimpanan
Gambar 2. Organoleptik Kekerasan Kulit Manggis Selama Penyimpanan
Gambar 3. Organoleptik Warna Daging Buah Manggis Selama Penyimpanan
39. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
573
Gambar 4. Organoleptik Rasa Daging Buah Manggis Selama Penyimpanan
Gambar 5. Organoleptik Aroma Daging Buah Manggis Selama Penyimpanan
Gambar 6. Organoleptik Tampilan Keseluruhan Manggis Selama Penyimpanan
40. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
574
PEMBAHASAN
Analisis Fisik dan Kimia
- Susut Bobot
Perubahan susut bobot merupakan massa buah yang berkurang selama
proses penyimpanan dan merupakan parameter yang paling mudah diamati
selama proses penyimpanan. Wulandari (2006) menyatakan bahwa proses
metabolisme seperti respirasi, transpirasi, dan pelepasan etilen dan aroma pada
buah-buahan tetap berlangsung meskipun telah dipetik. Proses inilah yang
menyebabkan terjadinya penyusutan pada buah-buahan selama penyimpanan.
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan susut bobot
selama penyimpanan seperti yang disajikan pada Tabel 1. Pada hari ke-28
penurunan susut berkisar antara 13,30 – 30,21%. Penurunan susut bobot terbesar
terjadi pada perlakuan lilin lebah (B2) pada tingkat kematangan i.w 3 (A2) yaitu
30,21%, sedangkan penurunan susut bobot terkecil diperoleh pada perlakuan lilin
carnauba (B1) pada tingkat kematangan i.w 2 (A1) yaitu 13,30%. Dilihat dari
tingkat kematangan, terlihat bahwa tingkat kematangan A2 menunjukkan
penurunan bobot lebih besar dibandingkan tingkat kematangan A1 maupun
tingkat kematangan A3. Penggunaan lilin carnauba (B1) mampu memperlambat
penurunan susut bobot yang lebih baik pada berbagai tingkat kematangan manggis
dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Selama penyimpanan terjadi kenaikan susut bobot pada buah manggis. Penelitian
yang dilakukan oleh Sugiyono et al. (2009) menunjukkan bahwa terjadi
kecenderungan peningkatan persentase susut bobot buah manggis yang dilapisi
lilin selama penyimpanan. Rahma (2013) pada penelitiannya menunjukkan
bahwa selama penyimpanan (60 hari) telah terjadi peningkatan susut bobot antara
19,56-27,29% pada manggis yang dilakukan proses semi-cutting dan 1,45-14,39%
pada manggis tanpa semi cutting. Susut bobot tertinggi dihasilkan dari pemberian
pelilinan 6% dengan metode penyapuan pada manggis semi cutting (27,29%).
Sementara itu, Khairani (2013) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pada
semua perlakuan buah manggis semi-cutting dengan kedalaman 3 mm dan 5 mm
serta buah manggis tanpa semi-cutting memperlihatkan terjadinya peningkatan
persentase susut bobot selama penyimpanan, baik pada suhu dingin (80
C) maupun
pada suhu ruang (270
C) dimana peningkatan susut bobot tertinggi terjadi pada
buah manggis dengan perlakuan semi-cutting 5 mm dan disimpan pada suhu
ruang 270
C yaitu sebesar 74.06%. Park (1994) menyatakan bahwa tebalnya
lapisan lilin sangat berpengaruh terhadap penyusutan buah manggis, pelilinan
yang terlalu tipis tidak berpengaruh nyata terhadap penghambatan respirasi
sedangkan pelillinan yang terlalu tebal dapat menyebabkan kerusakan, bau dan
rasa karena terlalu banyak mengandung CO2 dan sedikit O2.
- Kekerasan
Kekerasan kulit manggis merupakan salah satu indikator kualitas manggis.
Semakin keras kulit manggis menunjukkan kualitas buah manggis semakin
rendah. Hal ini disebabkan hilangnya kandungan air kulit buah manggis selama
penyimpanan. Ahmad et al., 2011 mengungkapkan bahwa buah manggis yang
41. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
575
disimpan pada suhu ruang maupun suhu dingin akan mengalami peningkatan
kekerasan kulit buah.
Dari hasil pengkajian terlihat bahwa kekerasan kulit manggis mengalami
penurunan selama penyimpanan hingga hari ke-14 (Tabel 2). Secara umum
tingkat kekerasan kulit manggis dipengaruhi oleh tingkat kematangan manggis
saat dipetik. Semakin matang buah manggis yang dipanen, kekerasan kulitnya
semakin menurun. Pada hari Ke-14, terlihat kekerasan manggis dengan perlakuan
A3 lebih keras dibandingkan dengan kematangan lainnya pada semua perlakuan
pelilinan. Perlakuan pelilinan secara umum dapat memperkecil laju pengerasan
kulit manggis dibandingkan dengan tanpa pelilinan. Dari Tabel 2 terlihat bahwa
penggunaan lilin carnauba mampu mempertahankan laju pengerasan kulit
manggis dibandingkan dengan liln lebah maupun tanpa pelilinan. Ahmad et al
(2011) menyatakan bahwa kekerasan kulit buah mengalami penurunan di awal
penyimpanan dan kemudian mengalami peningkatan hingga akhir penyimpanan.
Menurut Qanytah (2004), peningkatan kekerasan kulit manggis selama
penyimpanan disebabkan oleh hilangnya cairan pada ruang-ruang antar sel
jaringan parenkim kulit luar dan tengah kulit manggis. Selain itu pengerasan
kulit buah disebabkan penguapan air pada ruang antar sel menyebabkan sel
menjadi kecil sehingga ruang antar sel menyat dan zat pektin menjadi saling
berikatan, dan tingginya laju proses desikasi sehingga kulit buah menjadi kering
dan keras yang menjadi sulit dibuka (Winarno, 2002).
- Total Padatan Terlarut
Total Padatan Terlarut (TPT) merupakan indikator tingkat kemanisan
suatu produk karena adanya zat gula sebagai komponen utama bahan padat yang
terlarut (Santoso dan Purwoko, 1995). Nilai kandungan TPT sangat tergantung
dengan kondisi pertanaman dan penanganan panen dan pascapanen. Selama
penyimpanan, manggis mengalami proses respirasi yang menyebabkan terjadinya
perubahan kimiawi seperti rasa dari asam menjadi manis dan terbentuknya aroma
yang khas.
Dari hasil pengkajian, secara umum hingga hari ke-14 terjadi peningkatan
nilai TPT pada masing-masing perlakuan. Hal ini dapat disebabkan hingga hari
ke-14 masih terjadi proses pematangan manggis yang lebih optimal selama
penyimpanan. Fungsi pelilinan pada buah manggis untuk mempertahankan
kandungan TPT masih belum terlihat. Hal ini dapat disebabkan oleh pendeknya
waktu penyimpanan yang dilakukan yakni 14 hari. Sedangkan Riza (2004)
memperoleh data hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan lilin
lebah 6% yang dikombinasikan dengan penyimpanan pada suhu 50
C mampu
mempertahankan kandungan TPT sebesar 16,200
Brix dibandingkan tanpa
pelilinan 14,950
Brix pada hari ke-37. Rahma (2013) mampu mempertahankan
nilai TPT manggis dengan memberikan perlakuan lilin lebah 6% sebesar 14,100
Brix hingga penyimpanan hari ke-33.
Analisis Organoleptik
- Kesegaran Sepal
Sepal merupakan salah satu indikator kualitas manggis yang dapat terlihat
dengan kasat mata. Kesegaran sepal yang dicirikan dengan warna yang hijau dan
segar. Kerusakan pada sepal yang ditandai dengan berubahnya warna sepal
42. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
576
menjadi kecoklatan dan berkerut menandakan bahwa kualitas manggis mengalami
penurunan. Kerusakan sepal akan terjadi selama proses penyimpanan. Selain itu,
sepal yang tidak lengkap dan patah akan menurunkan nilai jual manggis terutama
untuk manggis ekspor.
Nilai organoleptik sepal selama penyimpanan ditampilkan pada Gambar 1.
Dari hasil pengkajian terlihat bahwa secara umum panelis masih menerima warna
sepal selama penyimpanan (H+14). Hingga hari ke-14, pemberian pelilinan masih
dapat menjaga kesegaran sepal manggis.
- Kekerasan Kulit Manggis
Peningkatan kekerasan kulit manggis selama penyimpanan disebabkan
oleh hilangnya cairan pada ruang-ruang antar sel jaringan parenkim kulit luar dan
tengah kulit manggis (Qanytah, 2004). Selain itu pengerasan kulit buah
disebabkan penguapan air pada ruang antar sel menyebabkan sel menjadi kecil
sehingga ruang antar sel menyat dan zat pektin menjadi saling berikatan, dan
tingginya laju proses desikasi sehingga kulit buah menjadi kering dan keras yang
menjadi sulit dibuka (Winarno, 2002).
Nilai tingkat kesukaan panelis terhadap kekerasan kulit manggis
ditampilkan pada Gambar 2. Secara umum terlihat bahwa hingga penyimpanan
ke-14, panelis masih menyukai kekerasan kulit manggis. Kekerasan kulit
manggis menunjukkan tingkat kematangan dan kemudahan dalam mengupas
manggis. Tingkat kesukaan panelis tertinggi (3,71) terjadi pada perlakuan tanpa
pelilinan pada tingkat kematangan manggis 3. Sedangkan pada manggis dengan
tingkat kematangan 5 menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai kekerasan kulit
manggis yang menggunakan pelilinan baik lilin lebah maupun lilin carnauba
dibandingkan dengan tanpa perlakuan pelilinan. Secara statistik, perlakuan
pelilinan 5% tidak berpengaruh nyata terhadap kekerasan kulit manggis pada
berbagai tingkat kematangan manggis.
- Warna Daging Buah Manggis
Warna daging buah manggis yang baik terlihat berwarna putih terang pada
semua bagiannya. Kerusakan warna daging ditandai dengan adanya bercak-
bercak kuning pada daging buah. Daging yang terkena getah kuning biasanya
berwarna bening.
Penilain panelis terhadap warna daging buah disajikan pada Gambar 3.
Penilaian panelis pada H+14 untuk semua perlakuan berkisar antara 2,86 – 4,14.
Secara umum panelis masih menerima warna daging buah manggis selama
penyimpanan. Sedangkan pada penelitian Rahma (2013) dengan perlakuan
pelilinan dengan konsentari yang berbeda (6; 9; 12%) pada manggis semi cutting
masih dapat mempertahankan kesukaan panelis hingga H+28. Secara statistik,
penggunaan jenis lilin yang berbeda yaitu lilin carnauba dan lilin lebah pada
konsentrasi 5% tidak memiliki pengaruh terhadap warna daging buah manggis
pada tiga tingkat kematangan yang berbeda.
- Rasa dan Aroma Daging Buah Manggis
Rasa daging buah manggis yang dikehendaki oleh konsumen adalah rasa
manis dan segar khas buah manggis. Rasa manis pada daging buah manggis