Materi Kelas Online Ministry Learning Center - Bedah Kitab 1 Tesalonika
HUKUM DAN ETIK KEDOKTERAN
1. HUKUM DAN ETIK KEDOKTERAN
A. Hukum dan Etik dalam Pelayanan Kesehatan
Seorang dokter dalam menjalankan tugasnya mempunyai alasan yang mulia, yaitu berusaha
untuk menyehatkan tubuh pasien, atau setidak-tidaknya berbuat untuk mengurangi penderitaan
pasien. Oleh karenanya dengan alasan yang demikian wajarlah apabila apa yang dilakukan oleh
dokter itu layak untuk mendapatkan perlindungan hukum sampai batas-batas tertentu. Sampai
batas mana perbuatan dokter itu dapat dilindungi oleh hukum, inilah yang menjadi permasalahan.
Mengetahui batas tindakan yang diperbolehkan menurut hukum, merupakan hal yang sangat
penting, baik bagi dokter itu sendiri maupun bagi pasien dan para aparat penegak hukum.
Jika seorang dokter tidak mengetahui tentang batas tindakan yang diperbolehkan oleh hukum dan
menjalankan tugas perawatannya, sudah barang tentu dia akan ragu-ragu dalam melakukan tugas
tersebut, terutama untuk memberikan diagnosis dan terapi terhadap penyakit yang diderita oleh
pasien. Keraguan bertindak seperti itu tidak akan menghasilkan suatu penyelesaian yang baik,
atau setidak-tidaknya tidak akan memperoleh penemuan baru dalam ilmu pengobatan atau
pelayanan kesehatan. Bahkan bisa saja terjadi suatu tindakan yang dapat merugikan pasien.
Demikian juga bagi aparat penegak hukum yang menerima pengaduan, sudah selayaknya mereka
terlebih dahulu harus mempunyai pandangan atau pengetahuan yang cukup mengenai hukum
kesehatan, agar dapat menentukan apakah perbuatannya itu melanggar etika atau melanggar
hukum.
Disadari sepenuhnya bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh seorang dokter kepada
pasien tidak selamanya berhasil dengan baik. Adakalanya usaha tersebut mengalami kegagalan.
Faktor penyebab kegagalan ini banyak macamnya, mungkin karena kurangnya pehaman dokter
yang bersangkutan terhadap penyakit yang diderita oleh pasien, atau karena minimnya peralatan
yang digunakan untuk melakukan diagnosis dan terapi. Namun tidak jarang terjadinya kegagalan
itu bersumber dari faktor manusianya sendiri, yakni karena adanya kesalahan daro dokter dalam
mengadakan diagnosis dan terapi. Hal yang terakhir ini membuat masyarakat awam beranggapan
bahwa dokter telah gagal atau dianggap gagal dalam melaksanakan tugas perawatannya.
Memang dalam kenyataannya, seorang dokter dapat saja salah atau khilaf atau lalai dalam
menjalankan tugasnya. Akan tetapi karena profesi dokter merupakan jabatan yang khusus, maka
terdapat pula persyaratan yang khusus untuk mempermasalahkan tindakan dokter. Persyaratan-
persyaratan tersebut dapat ditinjau dari segi ilmu kesehatan atau dari segi hukum. Tentang
mengapa harus dilakukan peninjauan dari sudut hukum, alasannya karena semenjak zaman
dahulu hukum telah membebani seorang dokter dengan syarat-syarat yang cukup berat dalam
menjalankan tugasnya, dengan demikian terlihat betapa eratnya kaitan hukum dengan profesi
dokter dalam pelayanan kesehatan.
Pada dasawarsa terakhir ini, sering timbul reaksi defensif dari masyarakat terhadap
perkembangan pelayanan kesehatan, reaksi itu dengan cepat membangkitkan kesadaran
masyarakat tentang hak atas pelayanan kesehatan, persoalan ini menyebabkan aspek hukum
antara dokter dengan pasien menjadi semakin penting. Perkembangan ini di satu pihak
mengandung makna yang sangat positif karena memperlihatkan meningkatnya kesadaran
masyarakat terhadap hukum pada umumnya, dilain pihak perkembangan tersebut merupakan
tantangan bagi profesi dokter dalam upayanya memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien
yang terikat dalam hubungan transaksi terapeutik.
Hubungan kepercayaan antara dokter dengan pasien yang tadinya sudah cukup diatur dengan
2. kaidah-kaidah moral, yakni melalui etika profesi atau kode etik, kini dengan perkembangan yang
terjadi, mulai dirasakan perlunya pengaturan dengan kaidah-kaidah yang lebih memaksa secara
normatif. Kepatuhan terhadap aturan ini tidak lagi sepenuhnya digantungkan pada kesadaran dan
kemauan bebas dari kedua belah pihak, oleh karena itu pengaturan tersebut harus dituangkan
melalui kaidah-kaidah hukum yang bersifat memaksa
Pada hakikatnya, sikap yang demikian itu muncul karena adanya keinginan atau usaha untuk
mempertahankan hak dengan perlindungan hukum. Aspek hukum itu dimunculkan untuk
melindungi kepentingan terhadap pemberian pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya. Dengan
kata lain aspek hukum itu ditimbulkan oleh perkembangan yang pesat dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang kesehatan. Dengan demikian, jika pasien atau keluarganya merasa
kepentingannya dirugikan oleh dokter, mereka akan menempuh satu-satunya jalan yang masih
terbuka baginya, yaitu upaya gugatan hukum.
Mengingat hakikat hubungan antara dokter dengan pasien yang diikat dalam transaksi terapeutik
sebagaimana diuraikan diatas. Apabila dipandang dari sudut hukum, hubungan itu pada
umumnya termasuk perikatan ikhtiar, oleh karena itu kewajiban hukum atau prestasi yang harus
diwujudkan oleh dokter, adalah ikhtiar semaksimal mungkin dalam batas keahliannya untuk
menyembuhkan pasien. Sepanjang ikhtiar yang dilakukan oleh dokter itu didasarkan pada
keahlian dan pengetahuan yang dimilikinya, tindakan yang dilakukan oleh dokter itu merupakan
tindakan yang sah. Wanprestasi atau ingkar janji baru terjadi apabila dokter tidak melaksanakan
prestasi sesuai dengan apa yang disepakati, sedangkan perbuatan melanggar hukum terjadi jika
terapi yang dilakukan oleh dokter menyimpang dari patokan atau standar yang ditentukan.
Masalahnya sekarang, adalah sangat sulit untuk menentukan kapan suatu tindakan medis
memenuhi patokan atau standar pelayanan kesehatan. Pengaturan hukum seperti yang tercantum
dalam KUHPerdata masih bersifat terlalu umum. Untuk itu diperlukan adanya suatu pengaturan
yang isinya mengatur hubungan antara pasien dengan dokter. Dalam kaitannya dengan hal ini
Van der Mijn (1989 : 57) mengemukakan adanya sembilan alasan tentang perlunya pengaturan
hukum yang mengatur hubungan antara pasien dengan dokter.
1. Adanya kebutuhan pada keahlian keilmuan medis.
2. Kualitas pelayanan kesehatan yang baik.
3. Hasil guna.
4. Pengendalian biaya.
5. Ketertiban masyarakat.
6. Perlindungan hukum pasien.
7. Perlindungan hukum pengemban profesi kesehatan.
8. Perlindungan hukum pihak ketiga, dan
9. Perlindungan hukum kepentingan hukum.
Dari apa yang dikemukakan oleh Van der Mijn diatas, dapat dilihat bahwa hubungan antara
pasien dengan dokter mempunyai aspek etis dan aspek yuridis. Artinya hubungan itu diatur oleh
kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan demikian baik pasien
maupun dokter mempunyai kewajiban dan tanggung jawab secara etis dan yuridis, sebagai
konsekuensinya mereka juga bertanggung jawab dan bertanggung gugat secara hukum.
Dalam praktik, sehubungan dengan tanggung jawab atau tanggung gugat hukum ini, timbul
masalah karena sulitnya menarik garis yang jelas untuk memisahkan antara etik dan yuridis
dalam hubungan antara dokter dengan pasien, khususnya yang berkaitan dengan tindakan medis.
Kesulitan disini timbul karena etika merupakan suatu refleksi tentang perbuatan bertanggung
jawab.
3. Dalam etika dilakukan renungan yang mendasar tentang kapan sesuatu itu dikatakan
bertanggung jawab. Artinya pelaku harus mampu menjawab dan menjelaskan mengapa ia
melakukan perbuatan atau tindakan tertentu. Disamping itu etika sangat dipengaruhi oleh
pandangan agama, pandangan hidup, kebudayaan, dan kekayaan yang hidup ditengah
masyarakat, sehingga sangat sulit untuk menilainya.
Etika terikat dan dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang berlangsung dalam ruang dan
waktu. Hal ini jelas terlihat sebagaimana dimuat dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 99a/Menkes/SK/III/1982 tentang Sistem Kesehatan Nasional, untuk selanjutnya hal hal
ini dipertegas lagi dalam Penjelasan Umum UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yang
menyatakan bahwa dalam banyak hal telah terjadi perubahan orientasi mengenai pemikiran dan
pendekatan dalam pelayanan kesehatan. Itu sebabnya garis pemisah antara etika dan hukum tidak
jelas, karena dari waktu ke waktu selalu bergerak mengikuti perkembangan dan perubahan-
perubahan yang terjadi ditengah masyarakat, seperti yang dikatakan Koeswadji (1992 : 124):
”Norma etika umum masyarakat dengan norma etika kesehatan-kedokteran saling
mempengaruhi,, atau dengan lain perkataan, nilai dan pandangan hidup yang dicerminkan oleh
etika profesi kesehatan-kedokteran dalam suatu masyarakat tertentu berlaku untuk suatu waktu
tertentu”.
Dari apa yang dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa etika profesi merupakan sikap etis
sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam mengemban profesi. Hanya pengemban profesi
itu sendiri yang dapat atau paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban
profesi sudah memenuhi tuntutan etika atau tidak. Ini berarti kepatuhan pada etika profesi sangat
tergantung pada akhlak pengemban profesi yang bersangkutan. Disamping itu, sikap dan tata
nilai profesional merupakan ciri dan pengakuan masyarakat terhadap eksistensi profesi dalam
pembangunan tatanan kehidupan masyarakat, sehingga tata nilai profesi ini bersangkut-paut dan
terikat erat dengan nilai humanisme atau kemanusiaan.
Hal ini terlihat pada salahsatu ciri dari profesi dokter yakni nilai kemanusiaan. Naluri seorang
dokter akan terpanggil tidak hanya terbatas pada upayanya bagaimana ia dapat memberi
pelayanan langsung terhadap penderita dalam membantu memecahkan masalah kesehatan, tetapi
juga seorang dokter berupaya mengembangkan nilai-nilai profesionalismenya melalui
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan untuk kepentingan
kemanusiaan.