Dokumen tersebut membahas tentang berbagai krisis yang dihadapi Jakarta seperti banjir, polusi udara, kemacetan lalu lintas, berkurangnya kawasan resapan air, dan urbanisasi yang tidak terkendali yang menyebabkan Jakarta mengalami "penyakit obesitas". Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dokumen tersebut menyarankan perlu adanya diet bagi Jakarta yaitu menyebarkan pembangunan keluar dari Jak
Komentar para penandatangan petisi pt kai 14 sept 2012
JakartaKolaps
1. Jakarta Kolaps
Oleh :Firdaus Cahyadi
Knowledge Sharing Officer for Sustainable Development
OneWorld-Indonesia
Disampaikan dalam diskusi wartawan
yang diselenggarakan oleh
Indonesia Strategic, Jakarta, 1 Oktober 2009
3. Banjir Jakarta
Pada 1990 persentase run off (air larian)
meningkat mencapai 53,87 persen. Pada 2003
persentase run off meningkat lagi menjadi
60,38 persen (Adi Wibowo, 2005).
Data dari Badan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta yang
terbaru menunjukkan bahwa run off di kota
ini kini telah mencapai angka 70 persen
(BPLHD DKI Jakarta, 2007).
Semakin besar run off berarti semakin besar
pula potensi banjir yang terjadi di Jakarta.
4. Banjir Jakarta
AIR HUJAN MENJELMA MENJADI AIR
AIR HUJAN LARIAN BANJIR
2000 Jt
M3/th
Run Off 200
1468 Jt JAKARTA
M3/th BOGOR
(73,4%)
Muka Laut
0 532 Jt
m3/th
(26,6%) AIR TANAH DANGKAL 492 JT
M3/TH
-40 40 Jt -40
AIR TANAH m3/th
DALAM
-140 77 JUTA M3/TH -140
-250 -250
Batas aman pengambilan air bawah tanah 30-40% dari potensi air tanah (186 jt m3/th)
(Tahun 2005 defisit air tanah sebesar 66,65 juta m3/tahun)
Sumber: BPLHD DKI Jakarta, 15 Februari 2007
5. Krisis Air Tanah
Data BPLHD DKI Jakarta mencatat, selama periode Januari-
Mei 2008, di Jakarta Pusat terjadi kelebihan penyedotan air
tanah oleh pelanggan rumah mewah dan niaga dari sumur bor
hingga sekitar 929.076 meter kubik (m3), sedangkan kelebihan
penyedotan dengan sumur pantek mencapai 136.454 m3.
Kelebihan juga terjadi di Jakarta Timur. Penyedotan dengan
sumur bor hingga 1.924.377 m3 dan sumur pantek 253.577
m3. Penyedotan diduga dilakukan pelaku industri, pemilik
pabrik di Kawasan Industri Pulogadung.
Kelebihan penyedotan dengan sumur bor terbesar terjadi di
wilayah Jakarta Selatan, yaitu sekitar 1.718.600 m3 dan dengan
sumur pantek 428.100 m3. Kelebihan penyedotan di Jakarta
Barat dengan sumur bor sekitar 760.834 m3 dan dengan
sumur pantek 96.361. Di Jakarta Utara, kelebihan penyedotan
air tanah dengan sumur bor sekitar 602.358 m3 dan dengan
sumur pantek 62.115 m3.
7. Krisis Udara Bersih
Hasil penelitian Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia (1989) menunjukkan bahwa pedagang kaki lima dan
warga yang tinggal di wilayah yang padat penduduk mempunyai
risiko 12,8 kali lebih besar mengalami gangguan kesehatan
yang terkait dengan polusi udara.
Studi yang dilakukan oleh Bank Dunia pada tahun 1994
menyebutkan kerugian ekonomi yang harus dipikul masyarakat
Jakarta akibat polusi udara sebesar Rp.500 miliar.
Sementara studi ADB (2002) memprediksikan kerugian
ekonomi yang akan ditanggung masyarakat Jakarta pada tahun
2015 akibat polusi udara dari jenis polutan Nitogen Oksida
(NO2) dan Sulfur Oksida (SO2) berturut-turut sebesar
Rp.132,7 miliar dan Rp.4.3 triliun.
9. Krisis Transportasi Publik
Terkait dengan kemacetan lalu lintas di
Jakarta, sebuah studi menyebutkan bahwa
kemacetan lalu lintas di Jakarta telah
menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp
5,5 triliun (SITRAMP, 2004).
Bahkan, dengan metode yang berbeda, hasil
penelitian Yayasan Pelangi pada 2003
menyebutkan bahwa kemacetan lalu lintas di
DKI telah menyebabkan kerugian akibat
kehilangan waktu produktif yang jika
dinominalkan akan mencapai Rp 7,1 triliun.
10. Krisis Kawasan Resapan Air dan
RTH
Perubahan luas Situ/Raw a/Tam bak/Mangrove
2500
2000
Luasan dalam Ha
1500 1954
1992
1000 2005
500
0
1
Perubahan dari tahun ke tahun
Sumber : Kompas, 10 Februari 2007
11. Krisis Kawasan Resapan Air dan
RTH
Rencana Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan kawasan
seluas 279 hektare ini sebagai ruang terbuka hijau. Di atasnya
hanya boleh berdiri bangunan publik dengan luas maksimal
sebesar 16 persen dari luas total. Namun, di kawasan itu kini
telah muncul Senayan City (pusat belanja yang dibuka pada 23
Juni 2006), Plaza Senayan (pusat belanja dan perkantoran,
dibuka 1996), Senayan Trade Center, Ratu Plaza (apartemen 54
unit dan pusat belanja, dibangun pada 1974), serta bangunan
megah lainnya.
Hal yang sama terjadi pada hutan kota Tomang. Rencana Induk
1965 dan 1985 memperuntukkan lahan di Simpang Tomang ini
sebagai sabuk hijau Jakarta. Kini hutan itu berubah menjadi
Mediterranean Garden Residence I (apartemen, dibangun pada
2002 dan selesai 2004), Mediterranean Garden Residence II
(apartemen, dijual pada 2005), serta Mal Taman Anggrek
(apartemen dan pusat belanja, dibuka pada 2006).
Sumber: Majalah TEMPO Edisi. 35/XXXVI/22 – 28 Oktober 2007
13. Urbanisasi di Jakarta
Setiap tahun sekitar 200 ribu hingga 250
ribu jiwa datang ke Jakarta dari berbagai
wilayah Indonesia, belum lagi ditambah
aliran penglaju harian yang mencapai
4.094.359 jiwa (Sitramp, 2000)
15. Booming Mall
Sejak tahun 2008-2010 diperkirakan akan ada 13
proyek pusat belanja baru di Jakarta. Hal itu
terungkap dari hasil riset Procon Indah yang
dipublikasikan pada 28 April 2008.
Menurut riset tersebut, 40 persen penambahan
pusat belanja akan berada di Jakarta Utara, 20
persen berada di Jakarta Selatan, dan 18 persen di
Central Business District Jakarta.
Sementara itu, sisanya akan tersebar di berbagai
daerah di Jakarta lainnya. Luas pusat belanja di
Jakarta pun diperkirakan akan mencapai 3,33 juta
meter persegi.
17. Penyakit Obesitas Kota Jakarta
Setiap tahun sekitar 200 ribu hingga 250 ribu jiwa datang ke Jakarta dari
berbagai wilayah Indonesia, belum lagi ditambah aliran penglaju harian yang
mencapai 4.094.359 jiwa (Sitramp, 2000)
Tata ruang Kota Jakarta masih menjadikan kota ini sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi disamping pusat pemerintahan.
Tata ruang Kota Jakarta pada 2010 yang masih menempatkan kota ini sebagai
kota jasa di samping sebagai pusat pemerintahan (Peraturan Daerah Nomor
6 Tahun 1999).
Akibatnya, sudah barang tentu munculnya kewajiban pemerintah DKI Jakarta
untuk selalu menyediakan lahan bagi munculnya kawasan-kawasan bisnis
baru. Sementara itu, ketersediaan lahan di kota ini sangatlah terbatas. Proyek
reklamasi pantai utara Jakarta yang merusak keseimbangan ekologi dilakukan
sebagai bentuk kewajiban pemerintah DKI Jakarta menyediakan lahan bagi
kawasan bisnis baru tersebut. Padahal setiap ada penambahan kawasan bisnis
baru di Jakarta juga berarti akan semakin menarik banyak orang untuk
datang ke kota ini, dan itu berarti akan meningkatkan laju urbanisasi.
Akibatnya, makin beratlah beban ekologi dan sosial yang harus dipikul oleh
kota ini.
18. Saran
Untuk menyembuhkan penyakit obesitas
Jakarta harus diet, menyebar
pembangunan keluar kota Jakarta.
Rencana Tata Ruang Kota Jakarta yang
baru perlu mengadopsi kebijakan
moratorium pembangunan kawasan
komersial baru di Jakarta dan secara
bertahap memindahkan kawasan
komerisal ke luar Jakarta.