Komentar para penandatangan petisi pt kai 14 sept 2012
Monitoring kebijakan ict periode januari maret2015
1. | 1P a g e
Monitoring Kebijakan ICT Periode Januari-Maret 2015
Menelisik Pertarungan Wacana Revisi UU ITE
Oleh:
Firdaus Cahyadi
Yayasan SatuDunia
2. | 2P a g e
I. Tentang Dokumen ini
Dokumen monitoring kebijakan ICT (Information and Communication
Technology) ini disusun oleh Yayasan SatuDunia untuk memudahkan publik terlibat
dalam memonitoring arah kebijakan ICT di Indonesia. Keterlibatan publik secara aktif
dalam memonitoring kebijakan ICT menjadi penting agar hak-hak publik tidak
disingkirkan dalam produk kebijakan ICT.
Dalam dokumen monitoring kebijakan ICT periode Januari-Maret ini SatuDunia
akan menyorot persoalan rencana pemerintah dalam merevisi Undang Undang (UU)
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Revisi UU ITE ini sudah lama dikumandangkan
oleh masyarakat sipil, terutama karena di dalam UU ITE terdapat pasal karet
pencemaran nama baik.
Dokumen ini mencoba memonitor wacana yang berkembang di media massa
(online) terkait rencana revisi UU ITE. Diharapkan dokumen ini dapat menjadi semacam
amunisi dalam memperkuat Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam melakukan
advokasi dan kampanye terkait revisi UU ITE.
Dokumen ini tentu masih jauh dari sempurna. Diharapkan masukan dari semua
pihak untuk memberikan masukan dan kritik guna penyempurnaan dokumen ini.
Hormat kami
Firdaus Cahyadi
Direktur Eksekutif Yayasan SatuDunia
3. | 3P a g e
II. Revisi UU ITE
Pengguna internet di Indonesia terus bertumbuh. Pada tahun 2014 lalu, Asosiasi
Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) telah merilis hasil riset nasional terkait
jumlah pengguna dan penetrasi internet di Indonesia untuk tahun 2014. Menurut
hasil riset tersebut pengguna internet di Indonesia kini telah mencapai angka
88,1 juta.
Dengan demikian, jika disesuaikan dengan jumlah populasi penduduk Indonesia
yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 252,5 juta jiwa, maka
pengguna internet di Indonesia mengalami pertumbuhan 16,2 juta jiwa dari total
71,9 juta pengguna di tahun 2013 lalu. Pertumbuhan pengguna internet di
Indonesia meningkat 34,9% dibandingkan tahun 2013 lalu1
.
Trend pertumbuhan pengguna internet itu diantisipasi dengan munculnya
berbagai pengaturan di ranah ini. Salah satu bentuk pengaturan itu adalah UU No
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Meskipun diarahkan mengatur transaksi elektronik, di UU itu juga mengatur
tentang konten- konten internet yang dilarang. Konten internet yang dinilai
mengandung pencemaran nama baik dan pornografi dinyatakan sebagai konten
yang dilarang. Pro-kontra pun bermunculan mengenai pengaturan konten
internet dalam UU ITE tersebut. Para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) menilai
pengaturan konten internet dalam UU ITE tidak pada tempatnya dan cenderung
melanggar hak kebebasan berekspresi.
Benar saja, tak lama setelah UU ITE disahkan korban dari masyarakat pun
berjatuhan. Menurut catatan dari ELSAM2
, telah puluhan warga negara yang
menjadi korban UU ITE, utamanya pasal karet pencemaran nama baik.
1
Jumlah Pengguna Internet Indonesia Capai 88,1 Juta http://tekno.liputan6.com/read/2197413/jumlah-
pengguna-internet-indonesia-capai-881-juta
2
Internet untuk Semua, Mengintegrasikan Prinsip Hak Asasi Manusia dalam Pengaturan Internet di Indonesia,
2014
4. | 4P a g e
Pada tahun 2010, SatuDunia mengadakan riset kecil mengenai perlawanan
masyarakat sipil terkait UU ITE3
. Riset kecil itu menyimpulkan bahwa kelompok
masyarakat sipil tidak dilibatkan dalam penyusunan UU ITE. Sehingga wajar
muncul pasal karet pencemaran nama baik yang mengancam kebebasan
masyarakat sipil.
III. Kemana Arah Pertarungan Wacana Revisi UU ITE?
Meskipun telah banyak menimbulkan korban di kalangan masyarakat, namun, di
media online, wacana tentang revisi UU ITE ini ternyata terbelah. Berikut analisis
medianya. Media yang dijadikan sebagai bahan analisis adalah pemberitaan di
media: detik.com, kompas.com, okezone.com, neraca.co.id, vivanews.com dalam
kurun waktu 2009- awal 2015. Berikut gambaran skematik dari analisis media
tersebut.
3
Belajar dari Perlawanan Masyarakat Sipil Terhadap UU ITE
http://www.satudunia.net/system/files/Belajar%20dari%20Perlawanan%20Masyarakat%20Sipil%20Terhadap
%20UU%20ITE_YSD.pdf
5. | 5P a g e
Keterangan Gambar:
⃝ Menggambarkan pihak yang memproduksi wacana
Menggambarkan wacana yang diproduksi
Garis Merah menunjukkan ketidaksetujuan salah satu pihak dengan wacana dari pihak lain
Garis Hijau menunjukkan kesetujuan salah satu pihak dengan wacana dari pihak lain.
Paling tidak ada tiga wacana menarik yang bisa diungkapkan dalam skematik
pertarungan wacana terkait dengan revisi UU ITE tersebut.
A. Pro dan Kontra Wacana Revisi UU ITE
Sejak tahun 2009, banyak pihak yang mendesak UU ITE direvisi. Hal itu terkait
dengan adanya pasal karet pencemaran nama baik yang telah banyak
menimbulkan korban. Pihak yang mendesakan wacana revisi UU ITE itu antara
lain, Organisasi Non-Pemerintah (Ornop), organisasi wartawan (Aliansi Jurnalis
Independen/AJI), Komisi I DPR Periode 2014-2019, Komnas HAM dan korban dari
pasal karet pencemaran nama baik di UU ITE itu sendiri. Menariknya wacana
revisi UU ITE terutama terkait dengan pasal karet pencemaran nama baik juga
dikumandangkan oleh pemerintah sendiri, dalam hal ini Kementerian Komunikasi
6. | 6P a g e
dan Informatika (Kominfo). Paling tidak, Kominfo mempersilahkan bila UU ITE
harus direvisi, utamanya yang menyangkut pasal karet pencemaran nama baik.
Namun tidak semua pihak setuju dengan wacana revisi UU ITE. Ketua DPR
periode 2009-2014 misalnya, dengan tegas menolak wacana revisi UU ITE
tersebut. Bahkan sebagian kalangan anggota DPR justru memanfaatkan pasal
karet pencemaran nama baik untuk menjerat aktivis anti-korupsi yang telah
mempublikasikan hasil risetnya terkait dengan korupsi. Bukan hanya anggota
DPR yang menggunakan pasal karet pencemaran nama baik di UU ITE, sebuah
organisasi wartawan, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), pun sempat
menggunakan pasal karet UU ITE dalam sebuah kasus terkait dugaan
pencemaran nama baik. Dari sini terlihat perbedaan posisi antara organisasi
wartawan di Indonesia dalam menyikapi pasal karet pencemaran nama baik di
UU ITE. Di satu sisi AJI dengan keras dan konsisten menolak keberadaan pasal
karet pencemaran nama baik, namun di sisi lain, PWI justru menggunakan pasal
karet pencemaran nama baik itu dalam sebuah kasus yang dihadapinya.
Mengapa DPR periode 2009-2014 cenderung menolak revisi UU ITE, sementara
pihak pemerintah cenderung menyetujui wacana revisi UU ITE? Tidak mudah
menjawab pertanyaan itu. Namun, jika melihat sejarah dari pembahasan UU ITE
sendiri nampaknya hal itu disebabkan bahwa pasal karet pencemaran nama baik
itu bukan usulan dari pemerintah. Semula dalam draft UU ITE yang dibahas tidak
ada pasal karet pencemaran nama baik. Namun atas usulan DPR muncullah pasal
karet pencemaran nama baik itu. Sebagian anggota DPR periode 2009-2014
memang ada yang mendukung Revisi UU ITE, namun bukan terkait pasal karet di
UU itu melainkan bagaimana UU ITE bisa menghukum pelaku pornografi yang
disebarkan via internet. Wacana itu muncul ketika heboh video porno artis
Indonesia.
Sisi historis dari kemunculan pasal karet di UU ITE itu nampaknya yang membuat
pemerintah seperti tanpa beban menerima wacana revisi UU ITE. Sebaliknya,
pihak DPR utamanya periode 2009-2014 cenderung menolaknya. Bahkan
7. | 7P a g e
diantara anggota DPR periode tersebut ada yang justru menggunakan pasal karet
tersebut. Tapi situasinya berbalik dengan anggota DPR periode 2014-2019,
utamanya Komisi I. Komisi I DPR periode 2014-2019 jsutru mendorong ada revisi
UU ITE.
Sebagian pengguna internet memang telah menjadi korban dari pasal karet
pencemaran nama baik UU ITE. Namun, seorang praktisi internet justru menolak
wacana revisi UU ITE. Alasannya, yang salah bukan UU-nya namun penerapan
hukumnya. Sang praktisi internet itu berargumentasi bahwa akan ada kebebasan
yang kebablasan bila pasal karet pencemaran nama baik direvisi atau dihilangkan
dari UU ITE. Benarkah demikian? Masih sangat bisa diperdebatkan. Karena
pencemaran nama baik sudah ada sebelumnya di KUHP.
B. Mencabut Pasal Karet Pencemaran Nama Baik atau 'Menjinakan' UU ITE
Hampir dapat dipastikan UU ITE akan direvisi. Perdebatan wacananya pun
bergenser dari sekedar pro dan kontra revisi UU ITE tersebut. Perdebatan
diantara pihak yang mendesak atau setuju atas revisi UU ITE kemudian adalah
mencabut pasal karet pencemaran nama baik dari UU ITE tersebut atau hanya
sekedar mengurangi hukumannya. AJI Palembang, Komisi I DPR periode 2014-
2019, Yayasan SatuDunia misalnya memiliki posisi bahwa pasal karet
pencemaran nama baik harus dicabut dari UU ITE. Alasan yang mengemuka
adalah karena pasal pencemaran nama baik sendiri sudah ada di KUHP, sehingga
tidak diperlukan keberadaannya di UU ITE. Selain itu, UU ITE harusnya lebih fokus
untuk mengatur transaksi elektronik bukan soal pencemaran nama baik di
internet.
ELSAM, sebuah organisasi yang konsern di isu hak asasi manusia, dan seorang
pengamat kebijakan publik memunculkan wacana bahwa sebaiknya UU ITE tidak
mengatur semua hal yang terkait dengan internet. Hal-hal yang tidak terkait
secara langsung dengan perosalan transaksi elektronik bisa diatur di UU lain.
8. | 8P a g e
Sementara pihak pemerintah, dalam hal ini Kominfo, lebih menyetujui wacana
pengurangan hukuman dari pasal karet pencemaran nama baik di UU ITE.
Artinya, pihak pemerintah tidak menginginkan pasal karet pencemaran nama
baik hilang dari UU ITE. Apa alasannya? Apakah itu disebabkan karena pasal karet
di UU ITE masih cukup efektif untuk melindungi elite politik dari masyarakat yang
menggunakan internet? Belum nampak alasan yang jelas dari pemerintah yang
hanya ingin 'menjinakan' pasal karet di UU ITE namun tetap bersikeras
mempertahankan pasal karet pencemaran nama baik di UU ITE. Alasan yang
dikemukakan pemerintah sejauh ini masih bersifat normatif.
C. Pencemaran Nama Baik, Masuk Ranah Pidana atau Perdata?
KOMNAS HAM mengungkapkan wacana baru bahwa pencemaran nama baik
bukan ranah kejahatan pidana. Wacana ini mendapat penolakan dari seorang
Komisi I DPR periode 2014-2019 yang juga mendukung wacana revisi UU ITE.
Anggota Komisi I DPR Periode 2014-2019 itu berdalih bahwa pencemaran nama
baik termasuk kejahatan. Namun, meskipun demikian karena sudah diatur dalam
KUHP, pasal pencemaran nama baik itu tidak perlu muncul lagi dalam UU ITE.
IV. Bagaimana Perdebatan Wacana terkait UU ITE Kedepan?
Dari ketiga wacana yang mengemuka di media itu, pertanyaannya kemudian
adalah bagaimana perdebatan wacana kedepan terkait dengan revisi UU ITE ini
di media? Melihat fakta bahwa revisi UU ITE hampir pasti akan dibahas tahun ini
maka, kemungkinan besar wacana pro dan kontra revisi UU ITE akan tenggelam
secara berlahan.
Sementara perdebatan wacana di media kedepannya besar kemungkinan adalah
persoalan mencabut pasal karet pencemaran nama baik atau sekedar
menjinakan UU ITE. Selain itu, perdebatan yang lebih susbstantif kedepan yang
harusnya tidak boleh tenggelam adalah apakah pencemaran nama baik itu
sebenarnya masuk dalam ranah pidana atau perdata.
9. | 9P a g e
Perdebatan akan semakin seru. Karena perdebatan wacana seringkali terlepas
dari persoalan benar atau salah namun terkait erat dengan persoalan siapa dan
bagaimana mendominasi wacana tersebut.
V. Menggeser Arah Pertarungan Wacana Revisi UU ITE
Pencabutan pasal karet pencemaran nama baik memang sudah sepantasnya
terus didorong. Namun, pengaturan di ranah internet dalam UU ITE tidak
seharusnya hanya fokus ke persoalan pencemaran nama baik.
Pengaturan mengenai perlindungan data pribadi secara lebih detail dan tegas
dari tindakan yang pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab juga perlu diatur.
Bukan rahasia lagi bila data pribadi kita sering dimanfaatkan oleh pihak tertentu
tanpa persetujuan kita. UU ITE yang sekarang memang telah mengaturnya.
Namun aturan itu terasa kurang detail dan tegas. Misalnya, tidak ada aturan
untuk para penyelenggara aplikasi di internet untuk mempublikasikan kebijakan
perlindungan data pribadi para penggunanya.
Pengaturan lainnya yang perlu diwacanakan dalam revisi UU ITE adalah terkait
dengan pemblokiran konten internet yang dianggap negatif. Selama ini
pemerintah dengan seenaknya melakukan pemblokiran situs-situs internet tanpa
melalui proses pengadilan. Hal ini jika dibiarkan akan menjadikan negeri ini
kembali seperti di saat rejim otoritarian Orde Baru berkuasa.
Paling tidak, dalam Revisi UU ITE, kedua persoalan di atas perlu diwacanakan
disamping tentu saja pencabutan pasal karet pencemaran nama baik. Pergeseran
wacana ini diperlukan agar pengaturan internet di negeri ini tidak tambal sulam
dan mengabaikan perlindungan hak-hak warga negara.