Dokumen tersebut membahas hasil penelitian mengenai potensi radikalisme di kalangan terdidik di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan mengambil sampel 1200 profesional, 500 mahasiswa, dan 400 pelajar SMA di 6 kota besar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi peringatan dini bagi pemerintah mengenai potensi penyebaran radikalisme di kalangan terdidik."
3. Inspired by the first alphabet of Greek and also one of the
sacred symbols in research, ALVARA is always striving to be
THE MOST ADVANCE in producing research with MEASURED
and TESTED validity.
ALVARA also has a meaning of fairy elf, and thus ALVARA
will always give INSPIRING INSIGHTS to your company and
institution as the guidance in decision making.
ALVARA is supported by professional individuals who have
MORE THAN 10 YEARS EXPERIENCE in research industry, both
SOCIAL, MARKETING, AND MEDIA in various companies and
institutions.
The ALVARA research approach is based on advanced
research methodology andproven statistic method. Research
methodology is derived from conventional ones (FGD, IDI,
Survey) till the most advanced (Ethnography, Phone and online
Survey).
Our researchers has many experiences in handling various
research in any industries and institutions.
PT ALVARA STRATEGI INDONESIA
Jl. Tebet Raya No. 27 B-C. Tebet – Jakarta Selatan
Phone +62 21 22792292
Fax +62 21 83786455
www.alvara-strategic.com
email: research@alvara-strategic.com
About Alvara Research Center
4.
5. 1
A. INTRODUCTION
ISLAM is a full of blessing religion
(Rahmatan lil alamin). As a samawi
religion (a religion from God using
the prophet as its medium), Islam
constantly teaches peace and love
for the others. Islam never justifies
the spread of its credo using violance.
But recently it appears radicalism in
the name of religion in some parts
of the world, especially in the Middle
East. Radicalism itself means an
archaic point of view and often use
violance in teaching or spreading
their beliefs (Nasution, 1995).
Radicalism in the name of religion
is caused by a limited and narrow
interpretation upon the religious
verses and texts, toward Al Qur’an
and Al-Hadist. The radicals often
teach intolerant and violent actions
based on their religion fanatism.
The radicalism in the name of religion
in Indonesia needs to be watched
out as Indonesia today is known as
a diverse country and any conflicts
may easily rise due to differences
in ethnicity, race and religion,
RADICALISM RISING
AMONG EDUCATED PEOPLE?
(Research Findings On Professionals, College and High Schools Students)
A. PENDAHULUAN
ISLAM adalah agama yang
memberikan rahmat (Rahmatan lil
alamin). Sebagai agama samawi,
Islam selalu mengajarkan cinta damai
dan mengasihi sesama. Islam tidak
membenarkan praktik penyebaran
agama dan paham keagamaan
dengan cara-cara kekerasan. Akhir-
akhir ini justru muncul radikalisme
atas nama agama di berbagai
belahan dunia, khususnya Timur
Tengah. Radikalisme sendiri memiliki
makna gerakan yang berpandangan
kolot dan sering menggunakan
kekerasan dalam mengajarkan
keyakinan mereka (Nasution, 1995).
Radikalisme atas nama agama
disebabkan karena penafsiran
yang sempit atas teks-teks agama,
dalam hal ini adalah Al-qur’an dan
Al-Hadist. Kaum radikal seringkali
mengajarkan tindakan intoleran
dan kekerasan yang ditopang oleh
fanatisme agama.
Di Indonesia sendiri radikalisme
atas nama agama perlu diwaspadai,
karena Indonesia hari ini adalah
6. 2
Radicalism Among Educated People?
especially if combined with the
religious theology. The reformation
in 1998 has changed many things in
Indonesia, including the evolution of
Islam. The freedom of speech and to
assemble are being used by those
Islamic fundamentalist groups by
teaching their thoughts/doctrines.
These groups have now become
one of the great power in Moslem
society in Indonesia. Many mass
organizations rose after the reforms
and now they are popular and has
quite significant members. They are
including Front Pembela Islam (FPI),
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), and
Forum Umat Islam (FUI). There are
also some groups that are not as
a form of mass organizations but
the scale of their followers is quite
large, such as Ikhwanul Muslimin
Indonesia, Salafi and so forth.
The educated people is suspected
to be the target of radicalism. And
why they become the target? It’s
because they have resources and
access to information. They are the
people who are open and seek for
information because it has become
a necessity. They also have have
a good knowledge because they
are scholars who forged in higher
educational institutions. Therefore,
the educated people are the vehicle
of change.
negara yang beragam, dan konflik
bisa saja timbul karena faktor SARA,
apalagi jika dibumbui dengan dasar
teologi agama. Reformasi 1998
telah mengubah banyak hal di
Indonesia, termasuk perkembangan
Islam di Indonesia. Dibukanya
keran kebebasan berkumpul dan
berpendapat telah dimanfaatkan
dengan baik oleh kelompok-
kelompok Islam fundamentalis
dengan mengajarkan ajaran mereka.
Kelompok-kelompok tersebut saat
ini telah menjadi salah satu kekuatan
Islam yang cukup besar di Indonesia.
Berbagai ormas yang lahir pasca
reformasi kini sudah populer dan
memiliki anggota yang cukup besar.
Ormas-ormas tersebut antara lain
Front Pembela Islam (FPI), Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI), Forum Umat
Islam (FUI). Ada juga kelompok-
kelompok yang tidak dalam bentuk
ormas tetapi skala pengikutnya
cukup besar antara lain Ikhwanul
Muslimin Indonesia, Salafi dan
sebagainya.
Kalangan terdidik adalah kalangan
yang disinyalir menjadi sasaran atau
objek ajaran radikalisme. Mengapa
kalangan terdidik menjadi sasaran?.
Karena kaum terdidik adalah orang
yang memiliki sumber daya dan
akses terhadap informasi. Mereka
adalah orang yang melek informasi
karena informasi telah menjadi
7. 3
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
Indonesia is currently undergoing
three demographic phenomena. In
consecutive are the urban society,
the middle class and millenials
generation. By the year of 2020 the
number of urban society is predicted
to be bigger than the rurals. The
percentage of urbans may reach
56.7% by 2020 and the trend is
increasing from one year to another.
And as we are all aware that the urban
society is educated and majority has
priority to have a general education
rather than religious education.
The middle class in Indonesia by
2020 is predicted to reach 62,8%.
The middle class is defined by they
who has expenditure per capita
$2 - $20 per day. The people who
have the resources, once again, are
dominated by the educated. If you
look back at the middle class, they
are exposed to consumerism and
worldly affairs, and they start to look
for peace through religion when
they are done with all of these. And
again, this middle class is dominated
by the educated people.
The millenials generations
phenomenon is an inevitable one.
The number of millenials generation
is predicted to be 34% of the total
population. They tend to have higher
educational level compare to other
generations. But they are mostly
suatu kebutuhan. Secara wawasan
kaum terdidik memiliki kualitas
yang tergolong baik, karena secara
keilmuanmerekaditempadiinstitusi-
institusi pendidikan tinggi. Kalangan
terdidik adalah motor perubahan.
Indonesia hari ini sedang mengalami
tiga fenonema demografi. Pertama
fenomena masyarakat urban, kedua
adalah fenomena kelas menengah
danketigaadalahfenomenagenerasi
Millennials. Tahun 2020 mendatang
diperkirakan jumlah penduduk
urban lebih besar dari penduduk
rural. Persentase penduduk urban
mencapai 56,7% di tahun 2020
dan trennya akan terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun.
Seperti yang diketahui bahwa
penduduk urban adalah penduduk
yang berpendidikan, dan mayoritas
lebih mengutamakan pendidikan
umumdibandingdenganpendidikan
agama.
Kelas menengah Indonesia pada
tahun 2020 jumlahnya diperkiraan
mencapai 62,8%. Penduduk kelas
menengah adalah penduduk dengan
pengeluaran perkapita antara $2
hingga $20 perhari. Penduduk
yang memiliki sumberdaya
tersebut sekali lagi didominasi oleh
kalangan terdidik. Penduduk kelas
menengah jika ditelusuri adalah
penduduk yang mulai terpapar
8. 4
Radicalism Among Educated People?
looking for their true identity so it’s
easy for the radicalism to sneak in.
The educated people mostly involves
in these 3 phenomena.
Radicalism is suspected to have
panetrate massively among the
educated people, be it among
professionals, college students and
also high school students. It is still
fresh in our memory the circulation
of a declaration video on the support
to the khilafah by some college
students from Institute Pertanian
Bogor (IPB) in January 2017. It was
such a hit for our high educational
institution which financed by state
money, turned out to be part of a
radicalism movement.
Another incident was a state
employee from the Indonesian
Ministry of Finance, named Triyono
Utomo Abdul Sakti, who was arrested
by Turkish authorities because he
wanted to join ISIS in Syria. Triyono
with his wife and children, then
eventually deported to Indonesia.
These IPB students and Triyono’s
incidents were the tip of an iceberg
phenomena that could explode at
anytime. Those are not an instant
and suddenly happen acts. They
are suspected as a result from
the reformation and the lack of
anticipation from the government in
dengan konsumerimse, dan
seringkali mulai mencari ketenangan
lewat agama ketika sudah jenuh
dengan konsumerisme dan urusan
keduniawian. Sekali lagi penduduk
kelas menengah ini didominasi oleh
kalangan terdidik.
Fenomena generasi Millennial
merupakan fenomena yang tidak
bisa dielakkan lagi. Jumlah generasi
Millennial diperkiraan 34% dari
populasi. Generasi Millennial
cenderung memiliki tingkat
pendidikan yang lebih tinggi jika
dibanding generasi lain. Namun soal
kehidupan mereka mayoritas sedang
mencari jatidiri sehingga mudah
disusupi oleh gerakan radikalisme.
Ketiga fenomena tersebut mayoritas
melibatkan kalangan terdidik.
Radikalisme diduga telah masif
masuk di kalangan terdidik, baik itu
di kalangan Profesional, kalangan
kampus dan kalangan Pelajar. Masih
segar di ingatan kita beredarnya
video deklarasi dukungan terhadap
khilafah oleh sejumlah Mahasiswa
Institut Pertanian Bogor (IPB) pada
Januari 2017 lalu. Kejadian tersebut
seolah menjadi pukulan telak, bahwa
intitusi pendidikan tinggi yang
dibiayai oleh uang negara, ternyata
menjadi bagian dari gerakan
radikalisme.
9. 5
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
keepinganayeonthefundamentalists
movements that teach intolerance
and radicalism. Those movements
are spread out and has reached
the government’s vital sectors. The
channels and media used to spread
intolerance are getting wider with the
technology growth such as internet,
social media and messaging.
Referring to those phenomena,
Alvara Research Center and Mata Air
Foundation conducted a survey in
October 2017 to map the potencial
of radicalism among the educated
people. The research objective aims
to measure and map out the reach
of radicalism among the educated.
The result of this research would
be an early warning system for all
components of the nation, especially
the government if the allegations of
radicalism among the educated have
been proven through scientific facts.
Kejadian lainnya adalah adanya
oknum PNS dari Kementrian
Keuangan RI yang bernama Triyono
Utomo Abdul Sakti, yang ditangkap
oleh otoritas Turki karena hendak
bergabung dengan ISIS di Suriah.
Triyono beserta istri dan anaknya,
akhirnya di deportasi ke Indonesia.
Fenomena Mahasiswa IPB dan
fenomena Triyono adalah fenomena
gunung es yang bisa meledak
sewaktu-waktu. Fenomena tersebut
bukan kejadian yang instan dan
terjadi secara tiba-tiba. Diduga
bahwa fenomena tersebut adalah
buah dari reformasi dan kurangnya
antisipasi pemerintah selama
ini mengawasi gerakan-gerakan
fundamentalisme yang mengajarkan
intoleransi dan radikalisme. Gerakan
tersebut diduga telah menyebar luas,
dan telah memasuki sektor-sektor
strategis negara. Channel dan media
penyebaran ajaran interansi makin
meluas dengan berkembangkan
teknologi internet, sosial media dan
media messeging.
Mengacu fenomena tersebut, maka
Alvara Research Center dan Yayasan
Mata Air bulan Oktober 2017
melakukan survei untuk memetakan
potensi radikalisme di kalangan
terdidik. Riset ini bertujuan untuk
mengukur dan memetakan dengan
seksama seberapa luas radikalisme
Radikalisme sendiri memiliki
makna gerakan yang
berpandangan kolot dan sering
menggunakan kekerasan dalam
mengajarkan keyakinan mereka
(Nasution, 1995). Radikalisme
atas nama agama disebabkan
karena penafsiran yang sempit
atas tesk-teks agama, dalam hal ini
adalah Al-qur’an dan Al-Hadist.
“
“
10. 6
Radicalism Among Educated People?
B. THE RESEARCH
METHODOLOGY
The research used statistical
principles that can be accounted
for academically. It used the
quantitative approach. There were
3 categorization involved in this
research, the professionals, college
students and senior high school
students. All data were collected
through face to face interview with
selected respondents, with using
questionairres as a measurement
tool.
Total sample for the professionals
were 1200 respondents. It was
devided into 3 different segments,
300 respondents of state employees,
500 respondents of state owned
entreprises and 400 respondents of
private sectors. It was done in 6 big
cities in Indonesia; Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Medan and
Makassar. Most samples were taken
from Jakarta as it is the centre of the
governmentandindustry.Thissurvey
was conducted from September 10th
– October 5th in 2017.
menyebar di kalangan terdidik. Riset
iniakanmenjadiearlywarningsystem
bagi segenap komponen bangsa,
khususnya pemerintah jika dugaan
radikalisme di kalangan terdidik
sudah begitu masing memang
terbukti melalui fakta ilmiah.
B. METODOLOGI RISET
Risetinimenggunakankaidahstatistik
yang bisa dipertanggungjawabkan
secara akademik dengan
menggunakan pendekatan riset
kuantitatif. Riset melibatkan 3
kategoriyaituProfesional,Mahasiswa
dan Pelajar. Data dikumpulkan
melalui wawancara tatap muka (face
to face interview) dengan responden
terpilih, dengan menggunakan
kuesioner sabagai alat ukur.
Sampel kategori Profesional
sebanyak 1.200 responden. Sampel
survey di kalangan Profesional dibagi
menjadi 3 kategori, yaitu Pegawai
Negeri Sipil (PNS), pegawai Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) dan
pegawai swasta dengan masing-
masing sampel untuk tiap kategori
secara berturut-turut adalah 300
responden, 500 responden dan
400 responden. Survey kalangan
Profesional dilakukan di 6 kota
besar di Indonesia, meliputi Jakarta,
Bandung, Semarang, Surabaya,
Medan dan Makassar. Sampel lebih
banyak diambil di Jakarta karena
Riset ini menggunakan
kaidah statistik yang bisa
dipertanggungjawab
secara akademik dengan
menggunakan pendekatan riset
kuantitatif. Riset melibatkan
3 kategori yaitu Profesional,
Mahasiswa dan Pelajar.
“
“
11. 7
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
Picture 1: Professional Sample Distribution
The professional sample criteria that
taken in this research were those who
works in these 7 sectors; defense and
security, financial, food and energy,
telecomunication and logistics,
health, education, manufacture and
infrastructure. These 7 sectors was
chosen as they are the vital sectors
that support the survival of national
and state livelihoods, and the unity
of the Republic of Indonesia.
Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan Industri. Survey dilaksanakan
pada pada tanggal 10 September - 5 Oktober 2017.
Kriteria Profesional yang diambil
sebagai sampel pada riset ini adalah
Profesional yang bekerja di 7 sektor.
Ketujuh sektor tersebut adalah sektor
pertahanan dan keamanan, sektor
keuangan, sektor energi dan pangan,
sektor telekomunikasi dan logistik,
sektor kesehatan, sektor pendidikan,
sektor manufaktur dan infrastruktur.
Ketujuh sektor tersebut diambil
karena merupakan sektor vital
yang menopang keberlangsungan
kehidupanbarbangsadanbernegara,
serta keutuhan NKRI.
12. 8
Radicalism Among Educated People?
Totalsampleforcollegestudentswere
1800 respondents. They came from
the top 25 universities in Indonesia
with specific major that would work
in the professional market in those
7 sectors. These sample came from
UI (University of Indonesia), ITB
(Bandung Technological Institution),
UGM (Gajah Mada University),
ITS (10th
November Technological
Institution), Airlangga University,
IPB (Bogor Agricultural Institution),
University of Diponegoro, UNJ (State
University of Jakarta), UNY (State
University of Yogyakarta), UNS (State
University of Semarang), University
of March 11th
, Andalas University,
USU (University of North Sumatera),
University of Riau, Hasanudin
University, Bina Nusantara University,
Trisakti University, IPDN (Institute of
Public Administration), STAN (State
SampelkategoriMahasiswasebanyak
1.800 responden. Mahasiswa
yang menjadi responden adalah
Mahasiswa di 25 perguruan tinggi
favorit di Indonesia dengan jurusan
tertentu, yaitu Mahasiswa dengan
jurusan yang akan mensuplai pasar
tenaga kerja Profesional di 7 sektor.
Perguruan tinggi yang menjadi
basis sampel adalah Universitas
Indonesia, Institut Teknologi
Bandung, Universitas Gajah
Mada, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember, Universitas Airlangga,
Institut Pertanian Bogor, Universitas
Diponegoro, Universitas Brawijaya,
Universitas Padjajaran, Universita
Pendidikan Indonesia, Universitas
Negeri Jakarta, Universitas Negeri
Jogjakarta, Universitas Negeri
Semarang, Universitas 11 Maret,
Universitas Andalas, Universitas
13. 9
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
College of Accountancy), STIS (State
College of Statistics) and Telkom
University. The survey was conducted
from September 1st
– October 5th
in
2017.
Table 1: College Students
Sample Distribution
Total sample for school students
were 2400 respondents. The students
were defined as those who were in
favorite senior high schools. Those
area were all regencies in Java island
and some big cities outside Java. The
mentioned big cities were Medan,
Palembang, Pekanbaru, Padang,
Bandar Lampung, Balikpapan, Banjar
Masin and Mataram. The sample for
Java is 1800 respondents and the rest
600 came from outside Java. We took
5 favorite state senior highschools in
Sumatera Utara, Universitas Riau,
Universitas Hasanudin, Universitas
Binus, Universitas Trisakti, Institut
Pendidikan Dalam Negeri, Sekolah
Tinggi Akutansi Negara, Sekolah
Tinggi Ilmu Statistik dan Universitas
Telkom. Survey dilaksanakan pada
tanggal 1 September – 5 Oktober
2017.
Sampel kategori Pelajar sebanyak
2.400 responden. Pelajar yang
dimaksud adalah Pelajar Sekolah
Menengah Atas (SMA) negeri
favorit. Area survey adalah seluruh
Kabupaten/Kota di Pulau Jawa
dan beberapa kota besar di luar
pulau Jawa. Kota besar yang di
maksud adalah Medan, Palembang,
Pekanbaru, Padang, Bandar
Lampung, Balikpapan, Banjarmasin
dan Mataram. Sampel untuk pulau
Jawa sebanyak 1.800 responden
dan sampel untuk luar pulau Jawa
14. 10
Radicalism Among Educated People?
each regency/city. So, in total there
were 600 state senior high schools
involved. The sample coverage
was for each major in high schools
(science, social and linguistics), but
the proportion for science major
was higher than social as well as
linguistics major. The state senior
highschools was the main sample
as their graduates has a chance to
be part of the favorite universities,
with regards to government 7 vital
sectors.
Table 2: Senior High School Sample Distribution
sebanyak 600 responden. Tiap
Kabupaten/Kota diambil 5 SMAN
favorit sebagai sampel, sehingga
pada riset ini melibatkan Pelajar di
lebih dari 600 SMAN. Tiap kategori
jurusan diambil (IPA, IPS dan Bahasa),
dimana proporsi IPA lebih banyak
dari jurusan IPS dan Bahasa. SMAN
favoritdiambilsebagaisampelkarena
merekalah yang memiliki peluang
untuk masuk sebagai Mahasiswa
di kampus-kampus favorit dengan
jurusan yang yang terkait 7 sektor
vital negara.
15. 11
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
C. PROFILE OF
RESPONDENTS
The profile of respondents for
professional is shown in chart 1.
All respondents were Muslim. They
were gender balanced between
male and female, with 69% of
female respondents wearing hijab.
The majority were married (83%),
they were young professionals, aged
between 31-35 years old (67.4%)
and held bachelor degree (82.4%).
In terms of social economic class
(SEC), majority came from middle up
segment (SEC A2 and SEC B), where
the SEC A2 are those with monthly
household expenditure between
IDR 5,250,000 – IDR 6,000,000;
the SEC B is those with monthly
expenditure between IDR 4,500,000
– IDR 5,250,000. The monthly
expenditure is defined as expenses
for consumption only, excluding
debt and credit installment.
The respondents chosen not only
based on their demographic profile
but also their religious rituals. The
religious rituals that mentioned were
Maulid Nabi, Qunut during dawn/
morning prayer, the grave pilgrimage
and the number of raka’at in tarawih.
The rituals include the khilafiah ritual,
which is the religious rituals that
are still being debated among the
Ulama. The result showed majority
respondents celebrated Maulid
C. PROFIL RESPONDEN
ProfilrespondenProfesionaldisajikan
pada Grafik 1. Seluruh responden
adalah muslim. Responden se
imbang dari sisi gender, dengan 69%
responden wanita menggunakan
hijab. Mayoritas responden sudah
menikah (83%), mereka adalah
Profesional muda yang mayoritas
berusia 31-35 tahun (67.4%) dan
berpendidikan Sarjana (82.4%). Dari
sisi Social Economics Class (SEC),
mayoritas responden termasuk
golongan kelas menengah atas (SEC
A2 dan SEC B), dimana untuk SEC
A2 adalah mereka yang memiliki
pengeluaran rumah tangga per
bulan antara Rp 5.250.000,- hingga
Rp 6.000.000,-; sedangkan SEC
B adalah mereka yang memiliki
pengeluaran rumah tangga perbulan
Rp 4.500.000,- hingga Rp 5.250.000,-.
Pengeluaran rumah tangga yang
dimaksud adalah pengeluaran
rumah tangga untuk konsumsi tidak
termasuk pengeluaran untuk cicilan
utang dan kredit.
Selain melihat responden dari sisi
demografi, riset ini juga memotret
profil responden dari sisi ritual
keagamaan. Ritual keagamaan
yang dipotret adalah ritual Maulid
Nabi, Qunut Subuh, Ziarah Kubur
dan Rakaat Tarawih. Ritual tersebut
termasuk ritual yang khilafiah,
yaitu ritual keagamaan yang masih
16. 12
Radicalism Among Educated People?
Nabi (88.3%), did the Qunut during
morning/dawn prayer (74.2%) and
did a grave pilgrimage (82%). While
for the number of raka’at done in
Tarawih prayer, mostly did 11 raka’at
and those who did 23 raka’at only
42.3%. The religious rituals that most
professionals done were very similar
to Nahdliyin.
Chart 1: Professional Respondents Profile
menjadi perbedaan pandangan
diantara para ulama. Hasilnya
menunjukkan bahwa mayoritas
responden melakukan Maulid Nabi
(88.3%), melakukan qunut saat sholat
subuh (74.2%), dan masih melakukan
ziarah kubur (82%). Sedangkan
untuk rakaat tarawih mayoritas
melakukan tarawih 11 rakaat, dan
yang melakukan sholat tarawih
23 rakaat hanya sebanyak 42.3%.
Ritual keagamaan yang Profesional
secara umum dekat dengan ritual
keagamaan yang dilakukan oleh
Nahdliyin.
17. 13
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
The profile of respondent for college
students is shown on chart 2. The
profile is based on demographic and
religious rituals. The respondents
were relatively balance; 51% male
and 49% female; with majority of
female wears hijab (79%). Majority
were on the 2nd or 3rd year or they
were on the 3rd or 5th semester.
Majority came from the educated
family as most of the breadwinner
held bachelor degree (42.9%). From
the ethnicity point of view, majority
came from Javanese (52.7%) followed
by Sundanese (20.8%).
From the religious rituals, most of
the college students did the same
religious rituals like Nahdliyin.
Majority celebrated Maulid Nabi
(73.8%), did the Qunut during
morning/dawn prayer (56.7%), did
the grave pilgrimage (65.6%) and
for the Tarawih prayer only 34.1%
did 23 raka’at. Compared to the
professionals, there was a decreasing
trend for the religious rituals; Maulid
Nabi, Qunut during morning/dawn
prayer, grave pilgrimage and 23
raka’at for Tarawih
Profil responden Mahasiswa
disajikan pada Grafik 2. Profil
responden yang dimaksud adalah
profil responden dari sisi demografi
dan ritual keagamaan. Mayoritas
responden seimbang dari sisi gender
dengan responden pria sebesar
51% dan responden wanita sebesar
49%, dengan mayoritas responden
wanita mengenakan hijab (79%).
Mayoritas responden berada
ditingkat 2 dan 3, atau mereka
yang pada waktu di survey sedang
menempuh semester 3 dan semester
5. Mayoritas responden berasal dari
keluarga terdidik, hal ini terlihat dari
pendidikan kepala keluarga yang
mayoritas berpendidikan sarjana
(42.8%). Dari sisi suku, mayoritas
berasal dari suku Jawa (52.7%),
kemudian dari suku Sunda (20.8%).
Dari sisi ritual keagamaan, mayoritas
responden Mahasiswa melakukan
ritual keagamaan yang dilakukan
oleh Nahdliyin. Mayoritas responden
melakukan Maulid Nabi (73.8%),
melakukan qunut saat sholat subuh
(56.7%), melakukan ziarah kubur
(65.6%) dan untuk tarawih hanya
34.1% yang melakukan tarawih 23
rakaat. Jika dibandingkan dengan
Profesional ada trend penurunan
ritual maulid, qunut subuh, ziarah
ke makam ulama dan melakukan
tarawih 23 rakaat.
19. 15
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
The respondent profile for senior
high school students is on chart 3. It
shows that both gender were equals
and majority female respondents
were wearing hijab (80%). Most of
them were on the 11th
grade (37%),
12th
grade (36%) and 10th
grade
(27%). From the major, majority
came from science major (64%). This
happens because the professional
for the 7 sectors was supplied by
science major in universities and it
was supplied by the science major
in senior highschools. From the
breadwinner occupation, majority
works as entrepreneurs (36.9%),
private sector (29%) and state
employees (20.1%).
From the religious rituals, majority
of senior high school students
celebrated Maulid Nabi (86.9%),
Qunut during morning/dawn prayer
(67.2%), grave pilgrimage (79.4%)
but for the number of raka’at in
Tarawih, they chose 11 raka’at. That
facts is similar to respondents from
professionals and college students.
Selain melihat responden dari sisi
demografi, riset ini juga memotret profil
responden dari sisi ritual keagamaan.
Ritual keagamaan yang dipotret adalah
ritual maulid Nabi, qunut subuh, ziarah
kubur dan rakaat tarawih. Ritual tersebut
termasuk ritual yang khilafiah, yaitu ritual
keagamaan yang masih menjadi perbedaan
pandangan diantara para ulama.
Profil responden Pelajar disajikan
pada Grafik 3. Dari grafik tersebut
terlihat bahwa responden seimbang
dari sisi gender, dengan mayoritas
responden wanita menggunakan
hijab (80%). Mayoritas responden
sedang duduk di kelas XI (37%),
duduk di kelas XII (36%) dan kelas
X (27%). Dari sisi penjurusan studi,
mayoritas menempuh jurusan IPA
(64%). Lebih banyaknya responden
dari jurusan IPA disebabkan karena
supplai Profesional di 7 sektor berasal
dari jurusan eksakta di perguruan
tinggi dan jurusan eksakta tersebut
di supplai dari jurusan IPA. Dari sisi
pekerjaan kepala keluarga, mayoritas
kepala keluarga responden bekerja
sebagai wiraswasta (36.9%),
karyawan swasta (29%) dan PNS
(20.1%).
Dari sisi ritual keagamaan, mayoritas
responden Pelajar melakukan ritual
keagamaan Maulid Nabi (86.9%),
qunut saat sholat subuh (67.2%),
ziarah kubur (79.4%) namun untuk
rakaat tarawih, mereka memilih 11
rakaat. Fakta tersebut tidak berbeda
dengan responden di kalangan
Profesional dan Mahasiswa.
“
“
21. 17
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
In this research we asked about
the debatable rituals among the
theologians (khilafiyah). Some says
ok others say no because they
considered it as a bid’ah. Some of
debateable rituals that become
khilafiyah were tahlil, qunut during
morning/dawn prayer, kenduren (a
traditional ceremony to say grace
to God) and grave pilgrimage. We
asked the rituals that considered as
khilafiyah in order to categorize the
respondents that had a tendency to
have a conservative approach on
religious matters and those who had
a moderate approach. The moslems
who said bid’ah had a tendency to
be conservative in thinking and
relatively rigid in understanding the
religious texts. These kind of muslims
were vulnerable towards radicalism
in the name of religion.
We used the statement of “ Tahlilan,
Qunut during morning/dawn prayer,
kenduren and grave pilgrimage are
bid’ah. They are not in accordance
with Al Qur’an and Al Haditz”; then
we asked the respondent to give
their approval rating from 1 – 6 point
of scales; where 1 means strongly
disagree and 6 means strongly
agree. The research found that
20.1% of professionals agreed to the
statement, higher than the senior
high school students and college
students. Only 16.6% of college
Dalam riset ini, juga ditanyakan
tentang ritual yang selama ini masih
menjadi perdebatan di kalangan para
ulama (khilafiyah). Ada ulama yang
membolehkan, ada juga ulama yang
melarang karena dianggap bid’ah.
Beberapa ritual yang masih menjadi
khilafiyah antara lain tahlil, qubut
subuh, kenduren dan ziarah kubur.
Kami menanyakan ritual yang masih
khilafiyah, untuk mengelompokan
secara kuat responden yang
cenderung memiliki pemikiran
secara kaku terhadap ajaran agama
dengan responden yang moderat.
Muslim yang menyatakan bid’ah
cenderung merupakan muslim yang
konservatif secara pemikiran dan
kaku dalam memahami teks-teks
agama. Muslim dengan pemahaman
yang kaku terhadap tesk-tesk agama
rentan disusupi radikalisme atas
nama agama.
Kami menanyakan dengan
pernyataan “Tahlilan, Qunut Subuh,
Kenduren dan Ziarah Kubur Adalah
Bid’ah, tidak sesuai dengan Al-
Qur’an dan Al-Hadish”, responden
diminta untuk memberikan tingkat
persetujuan terhadap pernyataan
tersebut dari skala penilaian 1-6,
dimana 1:sangat tidak setuju sekali,
6:sangat setuju sekali. Riset ini
menemukan bahwa Profesional yang
setuju dengan pernyataan tersebut
ada sebanyak 20.1%, lebih tinggi
22. 18
Radicalism Among Educated People?
students agreed to the statement
while among the senior high school
students was only 19.0% agreed.
D. RESEARCH FINDINGS
The research objective is to identify
and map out the potential of
radicalism among the educated
people, by having the map of
attitude and their religious point
of view. Their attitude and point of
view is measured by their perception
towards ulama, mass organizations,
social issues and most importantly is
the perception towards relationship
between religion and state.
dibanding Pelajar dan Mahasiswa.
Mahasiswa yang setuju dengan
pernyataan tersebut sebesar 16.6%
sedangkan Pelajar sebesar 19.0%.
D. TEMUAN RISET
Riset ini bertujuan untuk
mengindentifikasi dan memetakan
potensi radikalisme di kalangan
terdidik, dari memetakan sikap dan
pandangan keagamaan mereka.
Sikap dan pandangan mereka
terhadap radikalisme diukur dari
persepsi terhadap ulama, persepsi
terhadap ormas, persepsi terhadap
isu-isu sosial, serta yang paling
penting adalah persepsi terhadap
relasi antara agama dan negara.
Chart 4: Perception On Religious Rituals [Tahlilan,
Qunut Subuh, Kenduren, And Ziarah]
23. 19
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
1.PERCEPTIONTOWARDSISLAMIC
MASS ORGANIZATION
Islamic mass organization is a main
component within Indonesian
Muslim community. It acts as a
platform to its members and their
social activity. The face of Indonesia’s
Muslim diversity cannot be separated
from Islamic mass organizations,
where each embraces different
model regarding religious attitudes
and views taught to their members.
The history of Islamic mass
organizations in Indonesia
streches back long before the
country’s independence, especially
the Nahdlatul Ulama (NU) and
Muhammadiyah. It can be
roughly observed that these two
organizationsgainthemostfollowers
among Indonesian Muslims. The
role of Islamic mass organizations
are so crucial in determining the
religious attitudes and views of
Indonesian Muslims that the spread
of radicalism can be tracked from the
affiliation and membership among
these mass organizations. Some
of them teach moderate religious
attitudes and views while the others
promote a more conservative tone.
In this study, several parameters are
measured, namely the popularity of
Islamic mass organization, the image
of Islamic mass organization, the
1. PERSEPSI TERHADAP ORMAS
ISLAM
Ormas Islam adalah komponen
penting yang tidak bisa dilepaskan
dari umat muslim Indonesia. Ormas
merupakan wadah jamaah dan juga
amal usaha. Potret keberagamaan
muslim Indonesia tidak bisa lepas
dari ormas Islam. Masing-masing
ormas memiliki corak yang berbeda
tentang sikap dan pandangan
keagamaan yang diajarkan pada
jamaahnya.
Ormas Islam di Indonesia telah
memiliki sejarah panjang sebelum
kemerdekaan Indonesia, khususnya
Nadlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah. Secara kasat mata
kedua organisasi tersebut paling
banyak diikuti oleh mayoritas muslim
Indonesia. Begitu vitalnya peran
ormas Islam dalam menentukan
mengajarkan sikap dan pandangan
keagamaan muslim Indonesia, maka
indikasi radikalisme bisa terpotret
dari afiliasi maupun keanggotaan
terhadap ormas Islam, karena ada
ormas Islam yang mengajarkan sikap
dan pandangan keagamaan yang
moderat ada juga yang mengajarkan
sikap dan pandangan keagamaan
yang konservatif. Pada riset ini, ada
beberapa parameter yang diukur
yaitu popularitas ormas Islam, image
ormas Islam, afiliasi ormas Islam
24. 20
Radicalism Among Educated People?
affiliation, and the membership of
Islamic mass organization. What are
the results?
Nahdlatul Ulama and
Muhammadiyah are the Most
Popular.
The study found that nearly all the
educated people know Nahdlatul
Ulama (NU) and Muhammadiyah.
In particular, all the professionals
reported to know Nahdlatul
Ulama (NU) and Muhammadiyah.
The majority of college students
know Nahdlatul Ulama (NU) and
Muhammadiyah with the percentage
of 97.1% and 95% respectively.
Meanwhile, among the senior high
school students, almost all stated to
know Nahdlatul Ulama (100%) and
Muhammadiyah (97.5%). The high
popularity enjoyed by Nahdlatul
Ulama (NU) and Muhammadiyah
are no surprise since both have
existed long before Indonesia’s
independence.
serta keanggotaan ormas Islam.
Lalu apa saja temuannya ?
Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah Paling Populer.
Riset ini menemukan bahwa hampir
semua kalangan terdidik mengenal
ormas Nahdlatul Ulama (NU) dan
juga Muhammadiyah. Semua
Profesional mengenal Nahdlatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Mayoritas Mahasiswa mengenal
Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah dengan persentase
secara berturut-turut adalah 97.1%
dan 95%. Sedangkan di kalangan
Pelajar, hampir semua menyatakan
tahu Nahdlatul Ulama (100%) dan
Muhammadiyah (97.5%). Tingginya
popularitas Nahdlatul Ulama (NU)
dan Muhammadiyah, bukan hal
yang mengejutkan karena NU dan
Muhammadiyah sudah memiliki
sejarah yang panjang dan kedua
ormas tersebut sudah ada sebelum
Indonesia merdeka.
Chart 7: Popularity of Islamic Mass Organization Among Educated People
25. 21
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
An interesting finding in this part
is the high popularity of Islamic
Defender Front known as Front
Pembela Islam (FPI), Indonesian
Islamic Missionary Body known
as Lembaga Dakwah Islamiyah
Indonesia (LDII), Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), and Hidayatullah.
It is known that these four mass
organizations preach somewhat
different teaching than the ones
taught by Nahdlatul Ulama (NU)
and Muhammadiyah. The popularity
of FPI is the highest between these
four organizations, reaching 99.1%
among professionals, 82.4% among
college students, and 68.9% among
senior high school students. In the
second position, the popularity
of LDII reaches 63.4% among
professionals, 48.5% among college
students, and 41.4% among senior
high school students. HTI comes next
with the popularity percentage of
49.1 % among professionals, 37.2%
among college students, and 21.7%
among senior high school students.
At last, the popularity of Hidayatullah
reaches 32.9% among professionals,
8.4% among college students, and
9.8% among senior high school
students. In general, the popularity
of FPI, LDII, HTI and Hidayatullah are
the highest among professionals,
compared to college students and
senior high school students.
Temuan yang cukup menarik
adalah tingginya popularitas Front
Pembela Islam (FPI), LDII (Lembaga
Dakwah Islamiyah Indonesia),
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan
juga Hidayatullah. Seperti yang
diketahui bahwa ke empat ormas
tersebut memiliki ajaran yang cukup
berbeda dengan yang diajarkan
oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah. Di kalangan
Profesional popularitas FPI sangat
tinggi yaitu 99,1%, di kalangan
Mahasiswa yang mencapai 82.4%
dan kalangan Pelajar yang mencapai
68.9%. Popularitas LDII di kalangan
Profesional mencapai 63.4%, di
kalangan Mahasiswa 48.5% dan di
kalangan Pelajar 41.4%. Popularitas
HTI di kalangan Profesional
mencapai 49.1%, kemudian di
kalangan Mahasiswa 37.2%, dan di
kalangan Pelajar 21.7%. Popularitas
Hidayatullah di kalangan Profesional
mencapai 32.9%, di kalangan
Mahasiswa sebesar 8,4% dan di
kalangan Pelajar 9.8%. Popularitas
FPI, LDII, HTI dan Hidayullah di
kalangan Profesional lebih tinggi jika
dibanding di kalangan Mahasiswa
dan Pelajar.
26. 22
Riset ini bertujuan untuk
mengindentifikasi dan memetakan
potensi radikalisme di kalangan
terdidik, dari memetakan sikap dan
pandangan keagamaan mereka.
“
“
Radicalism Among Educated People?
The Educated People are Able to
Differentiate the Characteristics
of Each Organization
The characteristics of Islamic mass
organization is measured through
the Muslim perception on Islamic
mass organization. The attributes
measured are the ones related to the
image of Islamic mass organization.
They include a range of religious
attitudes and views embraced
by Islamic mass organizations in
Indonesia, which is presented in
form of perceptual mapping. Each
mass organization is paired with
attributes it is perceived to be the
most suitable with.
The image of Islamic mass
organizations is presented in three
categories, namely professional,
college students, and senior high
school students. Here is the result:
Both NU and Muhammadiyah•
are perceived by professional
as “Islamic Mass Organization
with well mannered da’wah”,
“appreciate local wisdom”,
“tolerant”, “carrying Islam
rahmatan lil a’lamin (blessing
to the world)”. It means that NU
and Muhammadiyah fall within
the same characteristics group.
Meanwhile, FPI, HTI and LDII are
Kalangan Terdidik Sudah Mampu
Membedakan Karakter Tiap
Ormas
Karakter ormas Islam diukur dari
persepsi muslim terhadap ormas
Islam. Atribut yang diukur berupa
atribut yang terkait dengan citra
ormas Islam. Atribut citra tersebut
berupa atribut sikap dan pandangan
keagamaan ormas di Indonesia.
Kemudian, disajikan dalam bentuk
perseptual mapping. Atribut yang
dengan dengan ormas adalah citra
yang dianggap melekat pada ormas
tersebut.
Citra ormas disajikan dalam
setiap kategori, yaitu Profesional,
Mahasiswa dan Pelajar. Hasilnya
sebagai berikut:
NU dan Muhammadiyah•
dipersepsikan oleh kalangan
Profesional sebagai “ormas yang
berdakwah dengan santun”,
“menghargai budaya lokal”,
“toleran”, “mengusung Islam
rahmatan lil a’lamin”. Artinya
NU dan Muhammadiyaha dalam
27. 23
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
perceived as mass organization
with “hard and rigid doctrine”.
In the eyes of college•
students, NU is perceived as
“Islamic mass organization
which have suitable doctrine
with Indonesia’s condition”,
“keeping good relation with
other religions”, “appreciate
the difference”, “tolerant”, “well
mannered da’wah”, “defends
Pancasila”, and “appreciate local
wisdom”. In this case, NU and
Muhammadiyah fall within the
same group. The other group
kelompok karakter yang sama.
Sedangkan FPI, HTI dan LDII
masuk dalam satu kelompok,
citra ormas tersebut paling
dekat dengan citra”ajarannya
keras dan kaku”.
NU di benak kalangan•
Mahasiswa memiliki citra
(image) sebagai “ormas yang
ajarannya cocok dengan
kondisi Indonesia”, “menjaga
hubungan baik dengan agama
lain”, “menghargai perbedaan”,
dan “toleran”, “berdakwah
dengan santun”, “membela
pancasila”, “menghargai budaya
lokal”. Dalam hal ini, NU dan
Muhammadiyah berada dalam
satu kelompok. Kelompok
Picture 2: Image Of Islamic Mass Organization
Among Professional
28. 24
Radicalism Among Educated People?
which falls in different quadrants
includes LDII, HTI, and FPI. These
three mass organizations are
perceived to be the closest with
the image of “hard and rigid
doctrine”.
Among senior high school•
students, NU is perceived to
be closer to Nahdlatul Wathan.
Both the two organizations are
seen as “traditionalist Islamic
mass organizations”, “appreciate
local culture”, and “following
Aswaja”,and“defendsPancasila”.
Meanwhile, Muhammadiyah
is perceived to be rather far
from NU, eventhough they
are still in the same quadrant.
lain, yang dalam hal ini
berseberangan dengan kuadran
NU dan Muhammadiyah adalah
kelompok ormas LDII, HTI dan
FPI. Ketiga ormas tersebut
paling dekat dengan citra
“ajarannya keras dan kaku ”.
Di kalangan Pelajar, citra NU•
cukup dengan dipersepsikan
dengan Nahdlatul Wathan.
Kedua ormas tersebut
dekat dengan citra “ormas
tradisionalis”, “menghargai
budaya lokal”, dan “menganut
Aswaja”, “Membela Pancasila”.
Citra ini cukup berbeda
dengan citra ormas Islam di
kalangan profesionnal dan
Pelajar, walaupun sebenarnya
Picture 3: Image Of Islamic Mass Organization Among College Students
29. 25
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
This is quite different from the
image among professionals and
college students. In the eyes
of high schoolers, HTI, FPI, and
LDDI fall within the same group.
All the three are perceived to be
closest with the image of “hard
and rigid doctrine”.
Based on these three perceptual
mappings, it can be concluded that
the educated people are familiar
and have a good knowledge
toward Islamic mass organizations
in Indonesia. The grouping of
Islamic mass organizations with
moderate views (left side) and
conservative views (right side) is
NU dan Muhammadiyah masih
dalam kuadran yang sama
tetapi jaraknya agak berjauhan.
Dibenak Pelajar, ormas HTI, FPI
dan LDII masih berada dalam
satu kelompok, dan ketiga
ormas tersebut paling dekat
dengan atribut “ajarannya keras
dan kaku”.
Mengacu dari ketiga perseptual
mapping ormas tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kalangan terdidik
sudah mengenal dengan baik ormas
Islam di Indonesia. Pengelompokkan
ormas Islam dengan pandangan
moderat (sisi kiri) dan ormas Islam
dengan pandangan konservatif (sisi
kanan), sudah tepat. Pembaca bisa
Picture 4: Image Of Islamic Mass Organization Among Senior High School Students
30. 26
Radicalism Among Educated People?
already appropriate. The reader may
compare it with the reality found in
each organization.
The Educated People affiliated
with Nahdlatul Ulama (NU) and
Muhammadiyah
In the simplest terms, affiliation
in this context is understood as a
feeling of closeness with Islamic mass
organization. This closeness could
be perceived in term of rituals and or
religious views. This study found that
the educated feel close with NU and
Muhammadiyah. Across the three
categories, NU is perceived to be the
closest to them, with the percentage
of 40.6% among professionals, 34.7%
among college students, and 45.4%
among senior high school students.
Muhammadiyah comes next with
the percentage of 13.3% among
professional, 11.6% among college
students, and 13.6% among senior
high school students.
melihat sendiri sikap dan pandangan
keagamaan tiap ormas yang ada.
Kalangan Terdidik Berafisiasi
dengan Nahdlatul Ulama (NU)
dan Muhammadiyah
Secara sederhana, afiliasi dalam
konteks ini dipahami sebagai
kedekatan dengan ormas Islam.
Kedekatan dalam hal ini bisa
diartikan dekat dari sisi ritual
keagamaan dan atau dekat dari
sisi pandangan keagamaan. Riset
ini menemukan bahwa kalangan
terdidik, merasa dekat dengan NU
serta Muhammadiyah. Bagi ketiga
kalangan terdidik, NU merupakan
ormas Islam yang paling dekat,
masing-masing dengan total
persentase 40.6% untuk Profesional,
34.7% untuk Mahasiswa, dan 45.4%
untuk Pelajar. Kemudian dekat
dengan Muhammadiyah dengan
masing-masing persentase, 13.3%
untuk Profesional, 11.6% untuk
Mahasiswa, dan 13.6% untuk Pelajar.
Chart 8: Affiliation of Islamic
Mass Organization
31. 27
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
One thing that needs attention from
the above graphic is the closeness
of the educated with Islamic mass
organizations that are perceived
to preach hard and rigid doctrine.
Some 2.6% of professionals reported
to feel close with FPI, 1.4% feel close
with HTI, 1.4% feel close with LDII,
and 0.1% feel close with MTA. The
total percentage reaches 5.5%.
Among college students, some 1.0 %
reported to feel close with FPI, 0.6%
feel close with HTI, 0.5% feel close
with LDII, 0.2% feel close with MTA,
and 0.2% feel close with FUI. The
total percentage reaches 2.5%.
Among senior high school students,
some 1.7% reported to feel close with
FPI, 0.8% feel close with LDII, 0.5%
feel close with MTA, 0.5% feel close
with HTI, and 0.3% feel close with
Hidayatullah. The total percentage
reaches 3.8%. This means a sizeable
number of the educated feel close
with Islamic mass organizations that
are perceived to embrace hard and
rigid doctrine. The percentage tends
to be higher among professionals
compared to college students and
senior high school students.
Hal yang perlu dicermati dari grafik
diatas adalah kedekatan kalangan
terdidik ormas Islam yang dianggap
atau dicitrakan memiliki ajaran yang
keras dan kaku. Kalangan Profesional
yang mengaku dekat dengan FPI
sebesar 2.6%, mengaku dekat
dengan HTI 1.4%, dengan dengan
LDII 1.4%, dekat dengan MTA 0.1%.
Jika di total jumlahnya mencapai
5.5%.
Kalangan Mahasiswa yang mengaku
dekat dengan FPI sebesar 1.0%,
mengaku dekat dengan HTI 0.6%,
mengaku dekat dengan LDII 0.5%,
mengaku dekat dengan MTA
0.2%, mengaku dekat dengan FUI
sebesar 0.2%. Jika di total jumlahnya
mencapai 2.5%.
Kalangan Pelajar yang mengaku
dekat dengan FPI sebesar 1.7%,
mengaku dekat dengan LDII 0.8%,
mengaku dekat dengan MTA sebesar
0.5%, mengaku dekat dengan HTI
0.5%, mengaku dekat dengan
Hidayatullah sebesar 0.3%. Jika
ditotal jumlahnya mencapai 3.8%.
Artinya kalangan terdidik yang dekat
dengan ormas yang dipersepsikan
ajarannya keras dan kaku jumlahnya
cukup besar, dan jumlahnya makin
meningkat dari Pelajar ke Mahasiswa
dan Profesional.
32. 28
Radicalism Among Educated People?
Nahdlatul Ulama (NU) is still Home
of the Educated People
The number of the educated people
who reported to be the member of
Nahdlatul Ulama (NU) is the highest
compared to those who reported
to be the member of other Islamic
mass organizations. Some 20.7% of
professionals reported to be member
of NU, along with 22.7% of college
students and 27.3% of senior high
school students. NU here refers to all
theorganizationsunderNU,including
student organization (IPPNU and
IPPNU), youth organization (Ansor
Youth Movement), and others.
This finding reveals that NU is still
home of the educated people. The
gap between membership of the
educated in NU and in other Islamic
mass organizations is huge. Around
7.8% of professionals reported to be
member of Muhammadiyah, along
with 6.3% of college students and
4.1% of senior high school students.
There is also a considerable
number of the educated people
who reported to be member of
Islamic mass organizations that are
thought to preach hard and rigid
doctrine. Among professional, 1.3%
reported to be member of HTI, 0.8%
reported to be member of LDII, and
0.5% reported to be member of
FPI. The total reaches 2.6%. Among
college students, 0.3% reported to
Nahdlatul Ulama (NU) Masih
Menjadi Rumah Kalangan
Terdidik
Kalangan terdidik yang mengaku
menjadi anggotan Nahdlatul Ulama
(NU) jumlahnya paling besar jika
dibanding dengan yang mengaku
menjadi anggota ormas lain.
Jumlah Profesional yang mengaku
menjadi anggota NU sebesar
20.7%, Mahasiswa yang mengaku
menjadi anggota NU sebesar 22.7%,
sedangkan Pelajar yang mengaku
menjadi anggota NU sebanyak
27.3%. NU yang dimaksud disini
adalah keseluran organ NU baik
itu organisasi kePelajar (IPPNU dan
IPPNU), organisasi kepemudaan
(Gerakan Pemuda Ansor), serta
organisasi lainya. Temuan tersebut
menunjukkan bahwa NU masihlah
menjadi rumah di kalangan terdidik.
Gap keanggotaan kalangan terdidik
terhadap NU, sangat jauh dibanding
dengan kalangan terdidik yang
menjadi anggota ormas lain.
Kalangan Profesional yang menjadi
anggota Muhammadiyah sebesar
7.8%, di kalangan Mahasiswa sebesar
6.3% dan kalangan Pelajar sebesar
4.1%.
Kalangan terdidik yang mengaku
menjadi anggota ormas yang
dianggap memiliki ajaran keras
dan kaku juga cubuk lumayan.
Profesional yang mengaku menjadi
33. 29
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
be member of LDII, 0.2% reported
to be member of FPI, 0.2% reported
to be member of HTI, and 0.2%
reported to be member of MTA. The
total reaches were 0.9%. Meanwhile,
among senior high school students,
0.9% reported to be member of FPI,
0.4% reported to be member of LDII,
0.4% reported to be member of MTA,
and 0.3% reported to be member of
HTI. The total reaches were 2%.
The role of Islamic mass organizations
are so crucial in determining the
religious attitudes and views of
Indonesian Muslims that the spread
of radicalism can be tracked from the
affiliation and membership among
these mass organizations. Some of them
teach moderate religious attitudes and
views while the others promote a more
conservative tone.
“
“
anggota HTI sebesar 1.3%, mengaku
anggota LDII sebesar 0.8%, mengaku
anggota FPI sebesar 0.5%. Jika
ditotal jumlahnya mencapai 2.6%.
Mahasiswa yang mengaku menjadi
anggota LDII sebesar 0.3%, yang
mengaku menjadi anggota FPI 0.2%,
menjadi anggota HTI sebesar 0.2%,
menjadi anggota 0.2% dan jika
ditotal jumlahnya mencapai 0.9%.
Pelajar yang mengaku menjadi
anggota FPI sebesar 0.9%, mengaku
menjadi anggota LDII sebesar 0.4%,
mengaku menjadi anggota MTA
sebesar 0.4%, mengaku menjadi
anggota HTI sebesar 0.3%, jika di
total jumlahnya mencapai 2%.
Chart 9: Islamic Mass Organization Membership
34. 30
Radicalism Among Educated People?
2. PERCEPTION ON SOCIAL
ISSUES
Islam emphasizes not only hablum
minallah (relation with God) but also
hablumminannas(relationwithfellow
humans). As social being, a Muslim
interacts with one another and their
social surrounding. Muslim views
on the current social issues can be
used to understand their worldview
in general more clearly. There is a
wide array of social religious issues
that touch every aspect of life, where
the role of ulema and Islamic mass
organization fuses directly as well as
indirectly to respond them. Woman’s
dresscode is among the issues
that continue to be hotly debated
by Muslims around the world,
including Indonesia. Other social
issues include promiscuity, clubbing,
prostitution, interfaith marriage,
polygamy, divorce, and LGBT. These
issues are widely highlighted among
Indonesia’s Muslims today. The
issue of Palestine also needs special
attention, since it is often used by
certain parties to gain sympathy and
strengthen religious sentiment. Here
are the findings related to Muslim
perception towards social issues.
2.PERSEPSI TERHADAP ISU-ISU
SOSIAL
Islam tidak hanya mengajarkan
tentang hablum minallah tetapi juga
hablum minannas. Sebagai makluk
sosial tentunya muslim saling
berinteraksi satu dengan yang lain,
danjugalingkungansosialsekitarnya.
Pandangan muslim terhadap isu-isu
sosial yang berkembang, tentunya
bisa menjadi salah satu indikator
pandangan muslim. Secara umum,
isu-isu sosial keagamaan sangat
luas dan meliputi seluruh aspek
kehidupan di mana peran ulama
dan ormas Islam melebur secara
langsung maupun tidak langsung.
Baju muslimah termasuk isu yang
terus menjadi perdebatan muslim
diberbagai belahan dunia, termasuk
Indonesia. Selain itu isu-isu sosial
yang lain yang berkembang
dimasyarakat seperti isu pergaulan
bebas, clubbing, prostitusi, nikah
beda agama, poligami, perceraian,
dan LGBT adalah isu yang saat ini
cukup menjadi sorotan di kalangan
muslim Indonesia. Isu Palestina juga
menjadi isu yang wajib dicermati,
karena isu ini termasuk isu yang
banyak dikelola oleh pihak-pihak
tertentu untuk meraih simpati dan
memperkuat sentimen keagamaan.
Temuan-temun terkait pandangan
muslim terhadap isu-isu sosial
sebagai berikut.
35. 31
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
Preference for Middle Eastern
Style Muslim Woman’s Clothing
Increases
Clothing is a cultural product.
Islamic jurists hold different opinions
regarding this matter, especially
the wearing of face covering for
women. In this study, question
about Muslim women’s dresscode
becomes highly relevant. According
to our observation, preference of
women’s dresscode in Indonesian
context is an indicator of a Muslim’s
moderation level.
We asked the respondents about
which Muslim women’s clothing they
think is appropriate with Indonesia’s
condition by showing them 5 choices
of clothing in the showcard. The first
choice is burqa which fully covers
body and face. The second choice is
niqab, which covers body and face
except the eyes. The third choice is
chador, which is wrapped all over
body and head except the face area.
The fourth choice is veil or hijab
that is normally worn by Indonesian
Muslim women. The fifth choice is
loose veil which still exposes some
hair. The sixth choice is no veil at all.
Pilihan Baju Muslimah Ala Timur
Tengah Meningkat.
Baju merupakan bagian dari produk
budaya. Para fuqoha’ berbeda
pendapat akan hal ini, khususnya
tentang pemakaian cadar. Dalam
penelitian ini, bertanya kepada
responden tentang baju muslimah
sangat relevan dengan riset ini.
Seperti kita tahu bahwa pilihan
baju muslimah, dalam konteks di
Indonesia merupakan salah satu
Indikator tingkat moderasi pemikiran
seorang muslim, menurut amatan
peneliti.
Kami menanyakan 5 pilihan baju
muslimah dengan menunjukkan
showcard (kartu bantu), responden
ditanya tentang pilihan baju
muslimah yang tepat dengan
kondisi di Indonesia. Pilihan pertama
adalah burka dengan semua wajah
tertutup cadar. Pilihan baju ke dua
adalah niqob dengan area mata
masih terlihat. Pilihan ke tiga adalah
khimar, hampir sama dengan niqob
tetapi wajah tetap terbuka. Pilihan ke
empat adalah jilbab, jilbab atau hijab
yang biasa dipakai oleh muslimah
Indonesia. Pilihan ke 5 adalah jilbab
dengan rambut sedikit terlihat,
dan pilihan ke enam adalah tidak
memakai jilbab.
36. 32
Radicalism Among Educated People?
The study found that majority of
of the educated prefer hijab as the
most appropriate Muslim women’s
clothing for Indonesia’s condition.
Some 70.8% of professionals prefer
hijab (fourth choice) as Muslim
women’s clothing that is appropriate
with Indonesia’s condition, along
with 67.2% of college students and
66.0% of high schoolers.
The interesting part of this finding is
an increased preference for Middle
Eastern style Muslim women’s
clothing. It refers to the first choice
(burqa), second choice (niqab), and
third choice (chador). In total, there
is an increased preference for these
three choices across the categories,
from professionals to college
students and high schoolers.
Risetinimenemukanbahwamayoritas
kalangan terdidik menyatakan
bahwa jilbab adalah pilihan baju
muslimah yang tepat dengan kondisi
di Indonesia. Profesional yang
memilih jilbab (pilihan baju nomor
4) sebagai baju muslimah yang tepat
dengan kondisi di Indonesia sebesar
70.8%, Mahasiswa sebesar 67.2%
dan Pelajar sebesar 66.0%.
Temuan menarik dari riset ini adalah
adanya trend peningkatan pilihan
bahwa baju ala muslimah Timur
Tengah tepat dengan kondisi di
Indonesia. Baju mulimah Timur
Tengah yang dimaksud adalah
pilihan baju muslimah nomor 1
(burqa), baju nomor 2 (niqob) dan
baju nomor 3 (khimar). Jika ditotal
ada peningkatan pilihan dari ketiga
Chart 10: Perception of Muslim Women Clothing
37. 33
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
Some 2.7% of professionals choose
burqa as Muslim women’s clothing
that is appropriate with Indonesia’s
condition, 0.8% choose niqab, and
9.1%choosechador.Thetotalreaches
12.6%. Among college students, 3.2%
choose burqa as Muslim women’s
clothing that is appropriate with
Indonesia’s condition, 1.0% choose
niqab, and 10.7% choose chador.
The total reaches 14.9%. Meanwhile,
among high schoolers, 4.8% choose
burqa as Muslim women’s clothing
that is appropriate with Indonesia’s
condition, 1.4% choose niqab, and
11.4% choose chador. The total
reaches 17.6%. In conclusion, there
is a trend of increased preference for
Middle Eastern style Muslim women’s
clothing among the educated.
Polygamy and Divorce are not
Taboos
This part shall elaborate more about
the perception towards several other
social issues, mainly those that are
related with religious matters. In
other words, issues that are often
judged through religious (moral)
viewpoint. They include promiscuity,
clubbing, prostitution at brothel,
interfaithmarriage,divorce,andLGBT
(Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender).
The study finds out whether these
issues are viewed as morally wrong
or not.
baju tersebut mulai dari kalangan
Profesional, kalangan Mahasiswa
dan kalangan Pelajar.
Profesional yang memilih burqa
sebagai baju muslimah yang tepat
dengan kondisi di Indonesia sebesar
2.7%, memilih niqob sebesar 0.8%
dan memilih khimar sebesar 9.1%,
jika total jumlahnya mencapai 12.6%.
Mahasiswa yang memilih burqa
sebagai baju muslimah yang tepat
dengan kondisi di Indonesia sebesar
3.2%, memilih niqob sebesar 1.0%
dan memilih khimar sebesar 10.7%,
jika total jumlahnya mencapai 14.9%.
Pelajar yang memilih burqa sebagai
baju muslimah yang tepat dengan
kondisi di Indonesia sebesar 4.8%,
memilih niqob sebesar 1.4% dan
memilih khimar sebesar 11.4%, jika
total jumlahnya mencapai 17.6%.
Artinya ada trend peningkatan
pilihan baju muslimah ala Timur
Tengah di kalangan terdidik.
Poligami dan Percerian Bukan Hal
Tabu
Bagian selanjutnya yang akan
diuraikan adalah mengenai persepsi
terhadap isu-isu sosial. Isu-isu yang
dipilih dibatasi pada beberapa isu
tertentu yang seringkali dikaitkan
dengan persoalan keagamaan.
Atau, dengan kata lain, dibaca
lewat kacamata keagamaan (baca:
moral). Isu-isu sosial ini antara lain
38. 34
Radicalism Among Educated People?
Let us start from the professionals.
The question asked was, “In your
opinion, do you think this is
morally acceptable?”. The majority
of professionals see promiscuity,
clubbing, prostitution at brothel,
interfaith marriage, divorce, and
LGBT as morally wrong. Up to
96.3% think promiscuity is morally
wrong, 86.3% for clubbing, 89.4%
for prostitution at brothel, 81.2%
for interfaith marriage, 52.9% for
polygamy, 50.9% for divorce, and
93.6% for LGBT.
pergaulan bebas, clubbing, prostitusi
di lokalisasi, nikah beda agama,
perceraian, dan LGBT (Lesbian-Gay-
Biseksual-Transgender). Lalu, yang
menjadi dasar penilaian atas isu-
isu ini secara spesifik adalah pada
bagaimana moral melihatnya: salah
atau tidak masalah secara moral,
atau justru tidak tahu.
Mari dilihat berdasarkan kategori kalangan terdidik Profesional. Peneliti
menggunakan pertanyaan “Menurut Anda secara pribadi bagaimana hal
berikut ini dapat diterima secara moral?” Mayoritas Profesional menganggap
salah secara moral pergaulan bebas, clubbing, prostitusi, nikah beda agama,
poligami, perceraian, dan LGBT. Profesional menganggap pergaulan bebas
96.3%, clubbing 86.3%, prostitusi di lokalisasi 89.4%, nikah beda agama
81.2%, poligami 52.9%, perceraian 50.9%, dan LGBT 93.6% adalah salah secara
moral.
Chart 11: Perception
On Social Issues – Professional
39. 35
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
Similarly, the majority of college
students also think the seven social
issues to be morally wrong. Up to
96% think promiscuity is morally
wrong, 86.6% for clubbing, 92%
for prostitution at brothel, 82.3%
for interfaith marriage, 51.2% for
polygamy, 50.7% for divorce, and
90.6% for LGBT. See the graphic
below.
Tidak jauh berbeda, mayoritas
Mahasiswapunmenganggapketujuh
isu sosial tersebut salah secara
moral. Mahasiswa menganggap
pergaulan bebas 96%, clubbing
86.6%, prostitusi di lokalisasi 92%,
nikah beda agama 8.,3%, poligami
51.2%, 50.7% perceraian, dan LGBT
90.6% sebagai salah secara moral.
Selengkapnya lihat grafik di bawah
ini.
Chart 12: Perception On Social Issues – College Students
40. 36
Radicalism Among Educated People?
In line with professionals and college
students, the majority of seniro high
school students also think the seven
social issues to be morally wrong,
with the percentage of 94.5% for
promiscuity, 86.1% for clubbing,
90.4% for prostitution at brothel,
75.4% for interfaith marriage, 56.3%
for polygamy, 62.2% for divorce,
and 82.3% for LGBT. See the graphic
below.
“
“
Islam tidak hanya mengajarkan tentang hablum minallah tetapi juga hablum
minannas. Sebagai makluk sosial tentunya muslim saling berinteraksi satu
dengan yang lain, dan juga lingkungan sosial sekitarnya. Pandangan muslim
terhadap isu-isu sosial yang berkembang, tentunya bisa menjadi salah satu
indikator pandangan muslim. Secara umum, isu-isu sosial keagamaan sangat
luas dan meliputi seluruh aspek kehidupan di mana peran ulama dan ormas
Islam melebur secara langsung maupun tidak langsung.
Senada dengan Profesional dan
Mahasiswa, mayoritas Pelajar juga
menganggap salah secara moral
ketujuh isu sosial tersebut. Masing-
masing menempatkan 94.5% untuk
pergaulan bebas, 86.,1% untuk
clubbing, 90.4 untuk prostitusi di
lokalisasi, 75.4% untuk nikah beda
agama, 56.3% untuk poligami, 62.2%
untuk perceraian, dan 82.3% untuk
LGBT. Lihat grafik di bawah ini.
Chart 13: Perception On Social Issues – Senior High School Students
41. 37
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
If we have a closer look at the
data above, we will notice that the
number of professional who think
polygamy and divorce to be morally
acceptable is higher than that of
college students and high schoolers.
The discrepancy could be a result
of different level of understanding
and life experience among the three
categories. The professional, ranging
from 26 – 40 years old, must have
wider view regarding polygamy and
divorce. Both issues are typically
faced by adults. Compared to
college students and high schoolers,
professionals are more likely to have
first-handexperienceregardingthese
issues. In conclusion, polygamy and
divorce are no longer taboos among
the educated adults.
Islamic Sentiment is Strong
Enough
In this study, we asked a question,
“Suppose a natural disaster
happened in both Palestine and
Eastern Indonesia with the majority
of non-Muslim people. Which one
would you prefer to help?” The
question is aimed at measuring
the strength of religious sentiment
among the educated. Palestine is
chosen as a representation of Islamic
identity, while Eastern Indonesia is
chosen as representation of national
identity.
Peneliti ingin memberi catatan
khusus sebagai analisis atas data-
data di atas. Jika diperhatikan
seksama, jumlah Profesional yang
menyatakan poligami dan perceraian
tidak salah secara moral lebih tinggi
jika dibanding Mahasiswa dan
Pelajar. Hal ini bisa jadi disebabkan
perbedaan tingkat pemahaman
dan pengalaman hidup di antara
ketiganya. Kalangan Profesional yang
memiliki rentang usia 26-40 tahun
hampir tentu memiliki pandangan
lebih luas terkait isu poligami dan
perceraian. Kedua isu tersebut
pun paling besar kemungkinannya
dialami di fase manusia usia
‘dewasa’, di mana Profesional berada
di dalamnya. Meski tidak tertutup
kemungkinan Pelajar dan Mahasiswa
juga mengalaminya, namun
kemungkinan tersebut masih jauh
lebih kecil dibanding Profesional.
Artinya bagi kelangan terdidik yang
sudah menginjak dewasa poligami
dan perceraian dianggap bukan hal
yang menyalahi aturan moral, dan
bukan hal yang tabu lagi.
Sentiment Islam Cukup Kuat
Pada riset ini, kami menanyakan
sebuahpertanyaan“Bilaadabencana
alam di Palestina dan bencana alam
di Indonesia Timur yang mayoritas
bukan beragama Islam, siapa yang
akan Anda bantu?”. Responden
diminta untuk memberikan jawaban,
42. 38
Radicalism Among Educated People?
It is revealed that the tendency to
help Eastern Indonesia is higher
than the tendency to help Palestine.
The percentage reaches 56.1%
among professionals, 45.9% among
college students, and 49.4% among
senior high school students. Still,
the tendency to help Palestine is
quite high, reaching 34.4% among
professionals, 34.3% among college
students, and 29.3% among senior
high school students. These number
reflect the partiality among the
educated. Borrowing the idea of
Benedict Anderson (2008) regarding
“Imagined Community”,1
we argue
1 Benedict Anderson proposes
manakah yang akan mereka pilih. Pertanyaan ini bertujuan untuk mengukur
seberapa kuat sentiment keagamaan itu muncul. Pilihan palestina karena
memang dalam hal ini Palestina sebagai representasi Islam, dan pilihan
Indonesia timur yang notabene masih wilayah nasional Indonesia.
Melalui hasil survei ini, diketahui
kecenderungan kalangan terdidik
untuk membantu Indonesia
Timur ternyata masih lebih tinggi
dibandingkan membantu Palestina.
Berturut-turutpersentaseProfesional,
Mahasiswa dan Pelajar ialah 56.1%,
45.9% dan 49.4%. Akan tetapi,
kecenderungan untuk membantu
Palestina juga cukup tinggi dengan
masing-masing Profesional 34.4%,
Mahasiswa 34.3%, dan Pelajar 29.3%.
Angka ini cukup besar sehingga
menunjukkan keberpihakkan
itu sendiri. Meminjam gagasan
Benedict Anderson (2008) tentang
Chart 14: Educated People When Choosing Between Eastern Indonesia Vs Palestine
43. 39
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
that the awareness level of the
educatedintheimaginedcommunity
as Muslims could potentially exceed
their national identity as Indonesian
citizen. “Being Muslim” can be
viewed as higher and more universal
than “being Indonesian”. Something
that exceeds the national identities
– that are intrinsically connected
to, and constituted by, forms of
communication (Barker, 2009: 208).
3. PERCEPTION ON RELATION
BETWEEN RELIGION AND STATE
The most important finding in this
research is about how to describe
the relationship between religion
and state within the mind of the
educated people. Indonesia is a
great country of various ethnic,
cultural and religious diversity, with
Muslims as the majority population.
the following definition of the nation:
it is an imagined political community
- and imagined as both inherently
limited and sovereign. It is imagined
because the members of even the
smallest nation will never know most
of their fellow-members, meet them,
or even hear of them, yet in the minds
of each lives the image of their com-
munion. The nation is imagined as
limited because even the largest of
them, encompassing perhaps a bil-
lion living human beings, has finite,
if elastic, boundaries, beyond which
lie other nations. No nation imagines
itself coterminous with mankind. The
nation is always conceived as a deep,
horizontal comradeship (Anderson,
2008: 8-10).
“Komunitas Terbayang”,1
peneliti
berpendapat bahwa kesadaran
kalangan terdidik dalam sebuah
komunitasterbayangsebagaisesama
muslim berpotensi melebih identitas
kebangsaan sebagai sesama WNI.
Jika dianalogikan, “menjadi sesama
muslim” berada di tingkat universal
lebih tinggi dibandingkan “menjadi
sesama WNI” yang berada di tingkat
nasional. Hal ini telah melampaui
identitas nasional – yang dalam
komunitas terbayang secara intrinsik
1 Ben Anderson mengusulkan
definisi tentang bangsa atau
nasion, yakni komunitas politis dan
dibayangkan sebagai sesuatu yang
bersifat terbatas secara inheren
sekaligus berkedaulatan. Bangsa
adalah sesuatu yang terbayang
karena para anggota bangsa terkecil
sekali pun tidak bakal mengetahui
dan tak akan kenal sebagaian besar
anggota lain, tidak akan pernah
bertatap muka dengan mereka,
bahkan tidak pula pernah mendengar
tentang mereka. Namun di benak
setiap orang yang menjadi anggota
bangsa itu, hidup sebuah bayangan
tentang kebersamaan mereka. Bangsa
dibayangkan sebagai sesuatu yang
pada hakikatnya bersifat terbatas
sebab bangsa-bangsa yang paling
besar sekalipun, yang anggotanya
semilyar manusia, memiliki garis-
garis perbatasan yang pasti walaupun
elastis. Di luar perbatasan tersebut
adalah bangsa-bangsa lain. Tak satu
bangsa di dunia yang membayangkan
dirinya meliputi seluruh umat manusia
di bumi. Bangsa itu sendiri selalu
dipahami sebagai kesetiakawanan
yang masuk mendalam dan melebar-
mendatar (Anderson, 2008: 8-10).
44. 40
Radicalism Among Educated People?
Although the form of Indonesia (as
a state) has reached the final, there
are still differences in the views of
relationship between religion and
state. There are considerable debates
about these issue especially in the
context of Indonesia, and has been
going on since the independence of
Republic Indonesia.
There are many Islamic thinkers with
the concept of relationship between
religion and state. According to
Donald Eugene Smith, the outline
of thought about this concepts
was divided into 2 namely organic
and secular concepts. The organic
paradigm affirms that religion and
state can not be separated because
the reach of religion covers all
aspects of life. The secular paradigm
confirms the separation between
religion and state in order to protect
the perfection of religion.
Based on the theory put forward
by Islamic politics sociologists,
the relationship theory of religion
and state are grouped into 3
namely: unified paradigm, symbolic
paradigm, and secularistic paradigm.
In a unified paradigm, religion and
state are seen as united. The state is
a political and religious institution, at
the same time. It means, the head of
state is the holder of political power
as well as religious power. Figures
terkait dengan, dan dibangun oleh,
berbagai bentuk komunikasi (Barker,
2009: 208).
3. PERSEPSI TERHADAP RELASI
AGAMA DAN NEGARA
Temuan terpenting dalam riset ini
adalah bagaimana gambaran relasi
antara agama dan negara dibenak
kalangan terdidik. Negara Indonesia
adalah negara dengan penuh
keberagaman dari sisi etnis, budaya
dan agama, dengan muslim sebagai
penduduk mayoritas. Meskipun
bentuk negara sudah final, tetapi
masih ada saja pandangan yang
berbeda tentang relasi agama dan
negara. Perdebatan relasi agama
dan negara dalam konteks Indonesia
telah terjadi sejak Indonesia
merdeka.
Ada banyak pemikir Islam dengan
konsep relasi agama dan negara.
Manurut Donald Eugene Smith,
secara garis besar pemikiran tentang
relasi agama dan negara dibagi
menjadi 2 yaitu konsep organik dan
konsep sekuler. Paradigma organic
menegaskan bahwa agama dan
negara tidak bisa dipisahkan karena
jangkuan agama meliputi seluruh
aspek kehidupan. Paradigma sekuler
menegaskan pemisahan antara
agama dan negara dengan tujuan
untuk melindungi kesempurnaan
agama.
45. 41
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
who embrace this paradigm are
Sayyid Qutub, Al Maududi, Taqiudin
Annabbani.
Symbolic paradigm considers that
religion and state are symbiotic, has
mutual and reciprocal relationships.
Religion requires the state. Why?
Because in the presence of the state,
religion will be able to develop well.
Likewise, the state also requires
religion, because with the existence
of religion then the state can
develop in the guidance of ethics
and spiritual morals. Meanwhile, the
secularistic paradigm rejects both
previous paradigms. It proposes a
separation between religion over the
state and vice versa. This paradigm
first appeared in secular countries.
Capturing religion and state
relationships in contemporary
contexts is very important, as the
issue of radicalism may enter from a
narrow interpretation of religion and
state relationship. As we know, there
are certain mass organizations who
try to harass the form of the state of
Indonesia by proposing an argument
and interpretation that is not
contextual so that the ideology and
constitution of the state of Indonesia
is changed, because it is not in
accordancewiththethoughtofIslam.
The phenomenon of formalization of
Islamic Shari’ah should be carefully
Berdasarkan teori yang dikemukakan
oleh sosiolog politik Islam, teori
hubungan agama dan negara
dikelompokkan menjadi 3 yaitu
unified paradigm, symbolic paradigm,
secularistic paradigm. Dalam unified
paradigmmemandangbahwaagama
dan negara dipandang menyatu.
Negara merupakan lembaga politik
dan keagamaan sekaligus. Artinya,
kepala negara adalah pemegang
kekuasaan politik dan agama
sekaligus. Tokoh yang menganut
paradigma ini adalah Sayyid Qutub,
Al Maududi, Taqiudin Annabbani.
Symbolic paradigm memandang
bahwa agama dan negara
berhubungan secara simbiotik,
yaitu hubungan yang saling timbal
balik dan memerlukan. Agama
memerlukan negara, karena dengan
adanya negara agama akan dapat
berkembangdenganbaik.Sebaliknya,
negara juga memerlukan agama,
karena dengan adanya agama maka
negara dapat berkembang dalam
bimbingan etika dan moral spiritual.
Secularisticparadigmmenolakkedua
paradigm sebelumnya. Paradigma
sekularistik mengajukan pemisahan
antara agama atas negara dan
pemisahan negara atas agama.
Paradigma ini muncul dinegara-
negara sekuler.
46. 42
Radicalism Among Educated People?
captured, because in the future it can
threaten the integrity of the Republic
of Indonesia.
In this research, relationship between
religion and state is measured from
various indicators, among others:
perception on non-Muslim leader,
perceptiononShari’ahlaw,perception
on Islamic State, perception on
state ideology, perception on state
form, and perception towards jihad
for the establishment of Islamic
State/Khilafah. Related research
findings to the current perceptions
on relationship between state and
religion are as follows:
Low Support For Non-Muslim
Leaders
This research found that the support
of educated people towards non-
Muslim leaders in Indonesia are still
low. If there are non-Muslim leaders
who are democratically elected,
the support of non-Muslim leaders
from professionals 41.8%, then the
college students 37.3%, while the
senior high school students 37.2%.
Otherwise, professionals, college
students and senior high school
students who do not support the
democratically elected non-Muslim
leaders are almost reach 30%.
Memotret relasi agama dan negara
dalam konteks kekinian sangat
penting, karena isu radikalisme
bisa saja masuk dari penafsiran
yang sempit tentang relasi agama
dan negara. Seperti yang kita tahu,
ada ormas-ormas tertentu yang
mencoba untuk mengusik bentuk
negara dengan menyodorkan dalil
dan tafsir yang tidak kontekstual
agar ideologi dan konstitusi negara
Indonesia dirubah, karena diangap
tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Fenomena formalisasi syariat Islam
harus dipotret dengan seksama,
karena bisa mengancam keutuhan
NKRI dimasa depan.
Relasi agama dan negara dalam riset
ini diukur dari berbagai indikator
antara lain: persepsi terhadap
pemimpin non muslim, persepsi
terhadap Perda Syari’ah, persepsi
terhadap Negara Islam, persepsi
terhadap ideologi negara, persepsi
terhadapbentuknegaradanpersepsi
terhadap jihad untuk tegaknya
negara Islam/khilafah. Temuan riset
terkait persepsi kekinian relasi agama
dan negara sebagai berikut:
Dukungan Terhadap Pemimpin
Non Muslim Masih Rendah
Riset ini menemukan bahwa
dukungan kalangan terdidik
terhadap pemimpin non muslim di
Indonesia masih rendah. Jika ada
47. 43
“
“
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
Meskipun bentuk negara sudah final, tetapi masih ada saja
pandangan yang berbeda tentang relasi agama dan negara.
Perdebatan relasi agama dan negara dalam konteks Indonesia
telah terjadi sejak Indonesia merdeka.
pemimpin non muslim yang terpilih secara demokratis dukungan terhadap
pemimpin non muslim dari kalangan Profesional sebesar 41.8%, kemudian
Mahasiswa sebesar 37.3%, sedangkan Pelajar sebesar 37.2%. Profesional,
Mahasiswa dan Pelajar yang tidak mendukung pemimpin non muslim yang
terpilih secara demokratis hampir mencapai 30%.
Chart 15: Perception on Non-Muslim Leaders
48. 44
Radicalism Among Educated People?
The low support for non-Muslim
leaders, although democratically
influenced by many things, could be
the result of the strengthening of the
politics of identity, and the inclusion
of religion (Islam) in Indonesian
political constellation. The most
obvious example was the Jakarta
elections in 2017.
Enough Support For Islamic Sharia
Formalization
In Indonesia, there are currently
more than 443 shari’a local laws that
spread in various cities and provinces.
The Shari’a regulation has sprung up
since1998untiltoday.Theemergence
of Shari’a law is an indication of the
formalization of religion in the state
and the strengthening of political
Islamization. According to KH.
Abdurrahman Wahid or Gus Dur,
Sharia is to be applied by society, not
by state. If Sharia is imposed by the
state, then it does not value diversity
or heterogeneity. The formalization
issue of Islamic law in the life of the
state has occurred since before the
independence of Indonesia. This
fact began with the emergence of
the Jakarta Charter. The figure who
at that time became the main actor
in standing for the formalization of
Islamic law was M. Natsir.
The ideas of formalization of Islamic
Shari’a continue to exist today.
Rendahnya dukungan terhadap
pemimpin non muslim, meskipun
secara demokratis dipengaruhi oleh
banyak hal. Rendahnya dukungan
tersebut bisa jadi imbas dari
menguatnya politik identitas, dan
masukkanya agama dalam politik
Indonesia. Contoh yang paling nyata
adalah pilkada Jakarta lalu.
Dukungan Formalisasi Syariat
Islam Cukup Besar.
Di Indonesia, saat ini terdapat
kurang lebih 443 Perda Syariah
yang menyebar di berbagai kota
dan provinsi. Perda Syariah tersebut
bermunculan sejak tahun 1998
hingga saat ini. Bermunculannya
Perda Syariah merupakan indikasi
formalisasi agama dalam bernegara
dan menguatnya islamisasi politik.
Manurut Alm.KH. Abdurrahman
Wahid atau Gus Dur, Syariah itu untuk
diterapkan oleh masyarakat, bukan
negara. Jika Syariah dipaksakan
oleh negara, maka negara tidak
menghargai keberagaman atau
heterogenitas. Persoalan formalisasi
syariat islam dalam kehidupan
bernegara sudah terjadi sejak
sebelum kemerdekaan Indonesia.
Fakta tersebut dimulai dari
munculnya Piagam Jakarta. Tokoh
yang waktu itu menjadi aktor utama
dalam memperjuangkan formalisasi
syariat Islam adalah M. Natsir.
49. 45
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
Then how is the perception of the
educated people about it? Results
of the few study found that the
majority of educated people stated
that the Shari’a law in Indonesia is
not suitable, but quite a few said
that the Shari’a Local Law is right
to accommodate adherents of the
majority religion. There are 27.6%
of professionals who consider the
Shari’a Local Law is right, as well as
19.6% of college students and 21.9%
senior high school students. If you
look at the percentage, that amount
is very large. So, there is a strong
indication of the educated people
who agree with the formalization
of Islamic law, especially the
professional.
Ide-ide formalisasi syariat Islam terus
ada hingga saat ini. Lalu bagaimana
persepsi kalangan terdidik akan hal
tersebut ?. Hasil riset menemukan
bahwa mayoritas kalangan terdidik
menyatakan bahwa Perda Syar’ah
di Indonesia tidak tepat, namun
cukup banyak yang menyatakan
bahwa Perda Syariah tepat untuk
mengakomodir penganut agama
mayoritas.KalanganProfesionalyang
menganggap Perda Syariah tepat
sebesar 27.6%, kalangan Mahasiswa
sebesar 19.6% dan kalangan Pelajar
21.9%. Jika dilihat persentasenya,
jumlah tersebut sangat besar.
Artinya, ada indikasi kuat dari
kalanganterdidikyangsetujudengan
formalisasi syariat Islam dalam
kehidupan bernegara, khususnya
dari kalangan Profesional.
Chart 16: Perception on Shari’a Local Law
50. 46
Radicalism Among Educated People?
Dukungan Ideologi Islam Cukup
Tinggi
Riset ini menanyakan tentang
ideologi yang tepat untuk Indonesia.
Responden diberikan dua jawaban
sasa yaitu ideologi Pancasila dan
ideologi Islam. Pertanyaan ini
berbentuk semantic, dengan dengan
skala jawaban dari 1 hingga 6.
Satu menunjukkan kecenderungan
ideologi Pancasila dan enam
menunjukkan ideologi Islam.
Analisis yang digunakan adalah
analisis bottom three boxes dan top
three boxes. Bottom three boxes
menunjukkan bahwa responden
memilih ideologi Pancasila dan
top three boxes menunjukkan
ideologi Islam. Temuan riset
disajikan pada grafik 19. Temuan
riset menunjukkan bahwa mayitas
kalangan terdidik memilih ideologi
Pancasila merupakan ideologi yang
cocok dengan Indonesia. Profesional
yang menyatakan setuju dengan
ideologi Pancasila sebesar 84.4%,
Mahasiswa yang setuju dengan
ideologi Pancasila sebesar 83.2%,
Pelajar yang setuju dengan ideologi
Pancasila sebesar 81.3%.
Lalu bagaimana yang mendukung
ideologi Islam?. Jika kita polanya,
ada trend kenaikan pilihan ideologi
Islam sebagai ideologi yang tepat
bagi negara Indonesia. Kalangan
Profesional yang setuju dengan
High Enough Support For Islamic
Ideology
This research also asked about
the right ideology for Indonesia.
Respondents were given two
answers: Pancasila ideology and
Islamic ideology. This question was
semantic, with the scale answers
ranging from 1 to 6. Scale 1 showed
the ideological tendencies of
Pancasila and scale 6 showed the
ideology of Islam. We used the
analysis of bottom three boxes and
top three boxes. Bottom three boxes
indicate that respondents choose
Pancasila ideology and top three
boxes show Islamic ideology. The
research findings are presented
on chart 19. The research findings
showed that the majority of educated
people choose Pancasila as a right
ideology for Indonesia. Professionals
who agreed with Pancasila ideology
84.4%, college students who agree
83.2%, and senior high school
students who agree 81.3%.
How about those who support
Islamic ideology? If we look at the
pattern, there is an upward trend
of choosing Islamic ideology as
the right ideology for the state of
Indonesia. Professionals who agree
with the ideology of Islam as an
ideology that fits with Indonesia,
15.5%. While, college students 16.8%
and senior high school students
51. 47
“
“
The low support for non-Muslim leaders, although
democratically influenced by many things, could be the
result of the strengthening of the politics of identity,
and the inclusion of religion (Islam) in Indonesian
political constellation. The most obvious example was
the Jakarta elections in 2017.
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
18.6%. So that, there is an increase
in the support of Islamic ideology,
especially in terms of age. It means,
the spirit of formalization of Islamic
ideology among the younger
educated people tends to be higher.
ideologi Islam sebagai ideologi yang
cocok dengan negara Indonesia
ada sebesar 15.5%, dikalanga
islamsebesar 16.8% dan di kalangan
Pelajar 18.6%. Artinya ada kenaikan
dukungan ideologi islam dari sisi
usia. Semangat formalisasi ideologi
Islam di kalangan kalangan terdidik
yang lebih muda cenderung lebih
tinggi.
Chart 17: Perception on Ideology of State
52. 48
Radicalism Among Educated People?
Dukungan Terhadap Khilafah
Perlu Diantisipasi
Isu khilafah yang diusung dan
diperjuangkan oleh ormas tertentu
di Indonesia. Khilafah menjadi
sebuat konsep negara yang tawarkan
kepada umat Islam, dengan berbagai
justifikasi. Model khilafah yang
dimaksud adalah Khilafah Islamiyah,
dimana Khilafah Turki Ustmani
menjadi khilafah yang terakhir
berdiri. Mengubah NKRI dengan
bentuk khilafah tentunya akan
membawa konsekuensi tersendiri
bagi negara Indonesia.
Dalam riset ini kami menanyakan
kepada responden, dengan
membandingkan antara khilafah
dengan NKRI. Mereka diminta untuk
memberikan tingkat persetujuan
terhadap sebuah pernyataan.
Pernyataan tersebut adalah “Khilafah
adalah bentuk pemerintahan dan
negara yang ideal untuk Indonesia
dibanding Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKKRI)”. Responden
di minta memberikan tingkat
persetujuan dari skala 1-6, dimana
skala 1: sangat tidak setuju sekali
dan skala 1: sangat setuju sekali.
Hasil riset menunjukkan bahwa
kalangan terdidik mayoritas tidak
setuju khilafah sebagai bentuk
pemerintahan untuk negara
Indonesia. Dengan menggunakan
The Support for Realizing an
Islamic State/ Khilafah is Quite
Alarming
as we know there are issues of
khilafah that are promoted and
fought by certain mass organizations
in Indonesia. Khilafah became the
concept of an Islamic state that
offered to Muslims, with various
justifications. The Khilafah model
that mentioned here is the Khilafah
Islamiyah, where the Khilafah
Ustmani Turkish became the last
khilafah in history. Changing the
Republic of Indonesia with the form
of Khilafah will certainly bring its
own consequences for Indonesia.
In this research we asked the
respondents, by comparing the
khilafah with Republic of Indonesia.
They are required to grant a degree
of approval to a clear statement. The
statement is “Khilafah is the ideal
form of state and government for
Indonesia compared to the Unitary
State of the Republic of Indonesia
(NKKRI)?” Respondents were asked
to grant approval levels of scale 1-6,
where scale 1: strongly disagree and
scale 1: strongly agree.
The research results showed that
the majority of educated people
do not agree khilafah as a form
of government for Indonesia. By
using the analysis of bottom three
53. 49
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
analisis bottom three boxes terlihat
bahwa Profesional yang tidak setuju
dengankhilafahjumlahnyamencapai
84%, kalangan Mahasiswa yang
tidak setuju dengan khilafah sebesar
82.2% dan Pelajar yang tidak setuju
dengan khilafah sebesar 81.6%.
Dengan menggunakan analisis
top three boxes, terihat bahwa
Profesional yang setuju dengan
khilafah sebagai bentuk pemerintahn
ideal untuk Indonesia sebesar 16.%,
kemudian Mahasiswa sebesar 17.8%
dan khilafah sebesar 18.4%. Artinya
ada trend peningkatan dukungan
khilafah, dukungan khilafah dari
kelangan yang lebih muda lebih
tinggi. Kondisi tersebut haruslah
menjadi sebuah warning bagi
segenap komponen bangsa.
boxes, it appears that the number of
professionals who do not agree with
the khilafah reached 84%, college
students who do not agree with the
khilafah are 82.2% and senior high
school students who do not agree
are 81.6%.
By using the analysis of top three
boxes, it appears that professionals
who agree with the Khilafah as
an ideal form of government for
Indonesia are 16%, then college
students are 17.8% and senior high
school students are 18.4%. It means
that there is an increasing trend
towards the support of the khilafah,
especially among the younger ones.
This condition should be a warning
to all components of the Indonesian
nation.
Chart 18: Perception on Forms of State
54. 50
Radicalism Among Educated People?
The Support for Creating an
Islamic State/Khilafah is quite
alarming
The culmination of radicalism is
the emergence of the potential
for radical action. When they are
ready to take a radical action, the
implications will be overwhelming. In
this research we asked that potential
by asking respondents about it.
These questions raised in the form
of statements, namely “statements
to fight for” and “statements to jihad
for an Islamic state/Khilafah”.
Respondents were asked to provide
an approval level of the statement.
There were 2 statements. The first
one was, “Islamic State needs to be
fought for the practice of Sharia law
in kaffah”. The second one was “I am
ready to fight for the establishment
of an Islamic state/Khilafah”.
Respondents were asked to give
approval levels of scale 1 to 6, where
scale 1: strongly disagree and scale 6:
strongly agree. The analysis we used
was with the analysis of top three
boxes and bottom three boxes.
The finding of the first statement
was that the majority of educated
people disagree that the Islamic state
should be fought for the practice
Islam in kaffah. The percentage of
professionals who did not agree
with the statement reached 70.4%,
then college students reached 76.5%
Dukungan Untuk Mewujudkan
Negara Islam/Khilafah
Menghawatirkan
Puncak dari radikalisme adalah
munculnya potensi melakukan
tindakan radikal. Ketika mereka siap
untuk melakukan tindakan radikal,
implikasinya akan luar biasa. Pada
riset ini kami menanyakan potensi
tersebut dengan menanyakan
kepada responden tentang potensi
tersebut. Pertanyaan yang diajukan
dalam bentuk pernyataan, yaitu
pernyataan untuk memperjuangkan
dan pernyataan untuk berjihad
untuk negara Islam/Khilafah.
Responden dimintan untuk
memberikan tingkat persetujuan
terhadap pernyataan tersebut.
Pernyataan pertama adalah “Negara
Islam perlu diperjuangkan untuk
penerapan syariat Islam secara
kaffah”, pernyataan kedua adalah
“Saya siap berjihad untuk tegaknya
negara Islam/Khilafah”. Responden
diminta untuk memberikan tingkat
persetujuan dari skala 1-6, dimana
skala 1: sangat tidak setuju sekali
dan skala 6: sangat setuju sekali.
Analisis yang digunakan adalah
dengan analisi top three boxes dan
bottom three boxes.
Temuan dari pernyataan pertama
adalah mayoritas kalangn terdidik
tidak setuju bahwa negara Islam
55. 51
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
harus di perjuangkan untuk
penerapan Islam secara kaffah.
Profesional yang tidak setuju dengan
pernyataan tersebut persentasenya
mencapai 70.4%, Mahasiswa 76.5%
dan Pelajar 16.3%. Sedangkan
Profesional yang setuju dengan
pernyataan tersebut persentasenya
sebesar 29.6%, Mahasiswa sebesar
23.5% dan Pelajar sebesar 16.3%.
Jumlah yang setuju untuk
memperjuangkan negara Islam
untuk penerapan Islam secara kaffah
sangat besar, jumlahnya melebihi
10%. Secara tidak langsung gairah
untukmemperjuangkannegaraIslam
sudah tertanam dan siap menjadi
sebuah aksi yang nyata dengan dalih
untuk penerapan syariat Islam.
and senior high school students
reached 16.3%. At the same time,
the percentage of professionals
who agree with the statement were
29.6%, college students were 23.5%
and senior high school students
were 16.3%.
Therefore, the percentage number
of educated people who agree to
fight for an Islamic state for the
practicing Islam in kaffah was very
large. It exceeds 10%. So, indirectly,
the passion for fight for the Islamic
state has embedded and would
ready to become a real action under
the reason for the practice of Islamic
or Shari’a law.
Chart 19: Perception on Islamic State
56. 52
“
“
Jumlah yang setuju untuk memperjuangkan negara
Islam untuk penerapan Islam secara kaffah sangat besar,
jumlahnya melebihi 10%. Secara tidak langsung gairah
untuk memperjuangkan negara Islam sudah tertanam dan
siap menjadi sebuah aksi yang nyata dengan dalih untuk
penerapan syariat Islam.
Radicalism Among Educated People?
Temuan dari pernyataan kedua tidak
kalah mengejutkan. Tidak seperti
pernyataanyangpertama,pernyataan
yang cukup direct ini memunculkan
temuan yang mengejutkan. Jumlah
kalangan terdidik yang menyatakan
setuju siap untuk berjihad demi
tegaknya negara Islam sangat besar.
Jumlahnyadikisaran20%.Profesional
yang setuju berjihad untuk tegaknya
negara Islam/khilafah persentasenya
sebesar 19.6%, Mahasiswa yang
setuju untuk berjihad persentasenya
sebesar 23.4% dan Pelajar
persentasenya sebesar 23.3%.
The findings of the second statement
were no less surprising. Unlike the
first statement, this straightforward
statement raised a surprising finding.
The number of educated people
who agreed to jihad for the sake of
the establishment of an Islamic state
was very large. The amount was 20%.
The percentage of professionals who
agree to jihad for the establishment
of an Islamic state/khilafah was
19.6%, college students 23.4% and
senior high school students 23.3%.
Chart 20: Perception on Jihad For Islamic State/Khilafah
57. 53
Research Findings On Professionals, College and High Schools Students
KESIMPULAN DAN
IMPLIKASI
Beberapan kesimpulan dalam riset
ini antara lain:
Penetrasi ajaran intoleransi•
dan radikal telah masuk di
kalangan terdidik (Profesional,
Mahasiswa dan Pelajar).
Ada indikasi kuat bahwa•
kelompok Profesional,
Mahasiswa dan Pelajar
terpapar ajaran intoleransi dan
radikalisme.
Penetrasi ajaran-ajaran•
intoleransi yang anti Pancasila
dan NKRI di kalangan terdidik
masuk melalui kajian-kajian
keagamaan yang dilakukan
di tempat kerja, dilembaga
dakwah kampus dan kegiatan
keagamaan di sekolah
Implikasi dari penetrasi ajaran
intolenasi dan radikal antaralain:
Menguatnya ajaran intoleransi•
ini bila tidak diantisipasi
bisa berujung kepada ajaran
radikalisme berbasis agama di
kalangan terdidik
Kalangan terdidik yang•
seharusnya menjadi garda
depan pembela Pancasila dan
CONCLUSIONS AND
IMPLICATIONS
There are several conclusions in this
research, i.e.:
Penetration of the thought of•
intolerance and radicalism has
entered among the educated
people (professional, college
student and senior high school
student).
There are strong indications•
that groups of professionals,
college students, and senior
high school students were
exposed to the thought of
intolerance and radicalism.
Penetration of the thought of•
intolerance which anti-Pancasila
and NKRI among educated
people goes through religious
studies that conducted in the
workplace, or in the campus
through da’wah institution, and
also through religious activities
in schools.
The implications of penetration
of the thought of intolerance and
radicalism, i.e.:
The strengthening of this•
thought of intolerance if not
being anticipated could lead
58. 54
Radicalism Among Educated People?
NKRI semakin rawan terkena
dampak ajaran intoleransi dan
radikalisme
Kelompok-kelompok intoleran•
semakin mendominasi kajian-
kajianditempatkerja,dilembaga
dakwah kampus dan kegiatan
keagamaan di sekolah
to the radicalism with religious
based among the educated
people.
Theeducatedpeoplewhoshould•
be the vanguard defender of
Pancasila and NKRI are even
more prone to be affected by
the thought of intolerance and
radicalism.
Intolerant groups are•
increasingly dominating
the religious studies in the
professional’s workplace,
da’wah campus institution, and
religious activities in schools.