Dokumen tersebut membahas tentang makna dalam linguistik, terutama dalam bidang semantik. Secara ringkas, dibahas mengenai pengertian makna, jenis-jenis makna seperti makna leksikal, gramatikal, dan kontekstual, serta relasi antara tanda bahasa dan konsep yang dimaksud.
1. pg. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa merupakan sistem komunikasi yang amat penting bagi manusia. Bahasa
merupakan alat komunikasi manusia yang tidak terlepas dari arti atau makna pada setiap
perkataan yang diucapkan. Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa sentiasa dianalisis dan
dikaji dengan menggunakan perbagai pendekatan untuk mengkajinya. Antara lain pendekatan
yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa ialah pendekatan makna. Semantik merupakan
salah satu bidang linguistik yang mempelajari tentang makna.
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang (sign).
“Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel Breal pada
tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang
linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya.
Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti,
yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer, 1994:
2).
Bidang studi liguistik yang objek penelitiannya makna bahasa merupkan satu tataran
linguistik. Semantik dengan objeknya yaitu makna, berada di seluruh atau disemua tataran yang
bangu-membangun ini : makna berada didalam tataran fonologi, morfologi dan sintaksis.
Semantik bukan satu tataran dalam arti unsur pembangun satuan lain yang lebih besar, melainkan
unsur yang berada pada semua tataran itu, meski sifat kehadiranya pada tiap tataran itu tidak
sama.
Menurut Mansoer Pateda (2001:79) bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah
yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Ada
beberapa jenis makna, antara lain makna leksikal, makna gramatikal, makna denotasi, dan makna
konotasi. Selain itu, ada juga yang disebut relasi makna yaitu Relasi makna adalah hubungan
semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lain.
Bahasa merupakan media komunikasi yang paling efektif yang dipergunakan oleh
manusia untuk berinteraksi dengan individu lainnya. Bahasa yang digunakan dalam berinteraksi
pada keseharian kita sangat bervariasi bentuknya, baik dilihat dari fungsi maupun bentuknya.
2. Tataran penggunaan bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat dalam berinteraksi tentunya
tidak lepas dari penggunaan kata atau kalimat yang bermuara pada makna, yang merupakan
ruang lingkup dari semantik.
pg. 2
Pada makalah ini akan dijelaskan apa sebenarnya makna sebagai objek linguistik dan
bagaimana persoalannya.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah ini adalah :
1. Apa pengertian Hakikat Makna?
2. Apa saja Jenis Makna?
3. Apa saja Relasi Makna?
4. Apa pengertian Perubahan Makna?
5. Apa saja Medan Makna dan Komponen Makna?
1.3 Tujuan
Tujuan Makalah ini adalah :
1. Mendeskripsikan Hakikat Makna
2. Mendeskripsikan Jenis Makna
3. Mendeskripsikan Relasi Makna
4. Mendeskripsikan Perubahan Makna
5. Mendeskripsikan medan Makna dan Komponen Makna
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Makna
Semantik merupakan salah satu bidang semantik yang mempelajari tentang makna.
Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan
bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut
selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam Mansoer Pateda,
3. 2001:82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian.
Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi :
1. maksud pembicara;
2. pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau
pg. 3
kelompok manusia;
3. hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara
ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya, dan
4. cara menggunakan lambang-lambang bahasa ( Harimurti Kridalaksana, 2001: 132).
Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah
’pengertian’ atau ’konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda- linguistik. Menurut de
Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang diartikan (Perancis:
signifie, Inggris: signified) dan (2) yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier).
Yang diartikan (signifie, signified) sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari
sesuatu tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifiant atau signifier) adalah bunyi-bunyi
yang terbentuk dari fonem- fonem bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik
terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa
(intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan
unsur luar-bahasa (ekstralingual).
Sebuah kata, misalnya buku, terdiri atas unsur lambang bunyi yaitu [b-u-k-u] dan konsep
atau citra mental benda-benda (objek) yang dinamakan buku. Atau kursi, makna kata kursi
adalah konsep kursi yang tersimpan dalam otak kita dan dilambangkan dengan kata k-u-r-s-i.dan
memeliki makna sebuah perabotan yang di gunakan untuk duduk. Gambar di atas menunjukkan
bahwa di antara lambang bahasa dan konsep terdapat hubungan langsung, sedangkan lambang
bahasa dengan referen atau objeknya tidak berhubungan langsung (digambarkan dengan garis
putus-putus) karena harus melalui konsep. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semantik
mengkaji makna tanda bahasa, yaitu kaitan antara konsep dan tanda bahasa yang
melambangkannya.
Dalam analisis semantik juga harus disadari, karena bahasa itu bersifat unik, dan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masalah budaya maka, analisis suatu bahasa
hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tetapi tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa
lain. Umpamanya, kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk pada jenis binatang yang hidup
4. dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dan dalam bahasa Inggris separan dengan fish. Tetapi
kata iwak dalam bahasa Jawa bukan hanya berarti ‘ikan’ atau ‘fish’, melainkan juga berarti
daging yang digunakan sebagai lauk.
pg. 4
Di dalam penggunaannya dalam penuturan yang nyata makna kata atau leksem
seringkali, dan mungkin juga biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga
dari acuannya. Contohya : Dasar buaya ibunya sendiri ditipunya. Oleh karena itu, banyak pakar
mengatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada
dalam konteks kalimatnya.
Satu hal lagi yang harus diingat mengenai makna ini, karena bahasa itu bersifat arbiter,
maka hubungan antara kata dan maknanya juga bersifat arbiter.
B. Jenis Makna
Jenis makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang.
Berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan antara makna leksikal, makna gramatikal dan
kontekstual. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata dapat dibedakan adanya makna
referensial dan nonreferensial. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata dapat
dibedakan adanya makna konotatif dan denotatif. Berdasarkan ketepatan maknanya dapat
dibedakan adanya makna istilah dan makna makna kata. Ada juga makna konseptual dan
asosiatif, makna Idiom dan Peribahasa, makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, makna
kolokatif, makna generik, makna spesifik, dan makna tematikal.
1. Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kentekstual
a. Makna leksikal (leksical me3aning, sematic meaning, external meaning) adalah makna
kata yang berdiri sendiri baik dalam bentuk dasar maupun dalam bentuk kompleks
(turunan) dan makna yang ada tetap seperti apa yang dapat kita lihat dalam kamus.
Contoh:
rumah : bangunan untuk tempat tinggal manusia
makan : mengunyah dan menelan sesuatu
b. Makna grmatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat digabungkannya sebuah kata
dalam suatu kalimat. Makna gramatikal dapat pula timbul sebagai akibat dari proses
gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi dan komposisi. Contoh:
berumah : mempunyai rumah
5. pg. 5
rumah-rumah : banyak rumah
rumah makan : rumah tempat makan
rumah ayah : rumah milik ayah
c. Makna kontekstual muncul sebagai akibat hubungan antara ujaran dengan situasi. Makna
kontekstual disebut juga makna struktural karena proses dan satuan gramatikal itu selalu
berkenaan dengan struktur ketatabahasaan. Contoh :
Rambut di kepala nenek sudah putih.
Pak Harjo adalah seorang kepala sekolah.
Pada kepala surat terdapat alamat dan nomor telponnya.
Beras kepala harganya lebih mahal
Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu, dan
lingkungan penggunaan bahasa itu. Sebagi contoh lagi pada kalimat tiga kali empat
berapa ? . Kalau ditanyakan pada anak SMP maka jawabnya pasti dua belas tapi lain lagi
jika ditanyakan pada tukang foto maka akan dijawab lima ratus atau dengan jawaban
yang lain.
2. Makna Referensial dan Nonreferensial
a. Referen menurut Palmer ( dalam Mansoer Pateda, 2001: 125) adalah hubungan antara
unsur-unsur linguistik berupa kata-kata, kalimat-kalimat dan dunia pengalaman
nonlinguistik. Referen atau acuan dapat diartikan berupa benda, peristiwa, proses atau
kenyataan. Referen adalah sesuatu yangditunjuk oleh suatu lambang. Makna referensial
mengisyaratkan tentang makna yamg langsung menunjuk pada sesuatu, baik benda,
gejala, kenyataan, peristiwa maupun proses.
Makna referensial menurut uraian di atas dapat diartikan sebagai makna yang
langsung berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata atau ujaran. Dapat juga
dikatakan bahwa makna referensial merupakan makna unsur bahasa yanga dekat
hubungannya dengan dunia luar bahasa, baik berupa objek konkret atau gagasan yang
dapat dijelaskan melalui analisis komponen. Contoh : kuda, merah dan gambar adalah
kata referensial karena ada acuannya dalm dunia nyata.
b. Sedaqngkan nonreerensial acuanya tidak menetap pada satu maujud. Dan kata- kata yang
termasuk dalam makna nonreferensial disebut kata-kata deiktik. Yang termasuk kata-kata
deiktik adalah kata-kata pronomina, seperti dia, saya, dan kamu ; kata-kata yang
6. pg. 6
menyatakan ruang, seperti di sini, disana, dan di situ; kata-kata yang menyatakan waktu,
seperti sekarang, besok, dan nanti; dan kata-kata penunjuk, seperti ini dan itu.
3. Makna Denotatif dan Konotatif
a. Makna denotatif (referensial) ialah makna yang menunjukkan langsung pada acuan atau
makna dasarnya. Contoh:
merah : warna seperti warna darah.
ular : binatang menjalar, tidak berkaki, kulitnya bersisik.
b. Makna konotatif (evaluasi) ialah makna tambahan terhadap makna dasarnya yang berupa
nilai rasa atau gambar tertentu.
Contoh:
Makna dasar(denotasi) Makna tambahan(konotasi)
merah : warna …………………… berani; dilarang
ular : binatang ………………… menakutkan/ berbahaya
Makna dasar beberapa kata misalnya: buruh, pekerjaan, pegawai, dan karyawan, memang
sama, yaitu orang yang bekerja, tetapi nilai rasanya berbeda. Kata buruh dan pekerja bernilai rasa
rendah/ kasar, sedangkan pegawai dan karyawan bernilai rasa tinggi.
Konotasi dapat dibedakan atas dua macam, yaitu konotasi positif dan konotasi
negatif.Contoh:
Konotasi positif Konotasi negatif
suami istri laki bini
tunanetra buta
pria laki-laki.
Kata-kata yang bermakna denotatif tepat digunakan dalam karya ilmiah, sedangkan kata-kata
yang bermakna konotatif wajar digunakan dalam karya sastra.
4. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
a. Makna konseptual yaitu makna yang sesuai dengan konsepnya makna yang sesuai dengan
referennya, dan makna yang bebas asosiasi atau hubungan apa pun. Makna konseptual
disebut juga makna denotatif, makna referensial, makna leksikal. Contoh : rumah
memiliki makna konseptual bangunan tempat manusia tinggal.
7. b. Makna asosiatif disebut juga makna kiasan atau pemakaian kata yang tidak sebenarnya.
pg. 7
Makna asosiatif adalah makna yang dimilki sebuah kata berkenaan dengan adanya
hubungan kata dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya kata bunglon berasosiasi dengan
makna orang yang tidak berpendirian tetap.
5. Makna Kata dan Makna istilah
a. Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal atau makna
denotatif. Namun, dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu
sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Misalnya kita belum
tahu makna jatuh sebelum kata itu berada pada konteksnya. Oleh karena itu makna kata
mash bersifat umum, kasar dan tidak jelas.
b. Berbeda dengan kata, istilah memiliki makna yag pasti, yang jelas, yang tidak meragukan,
meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas
konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks. Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah
hanya digunakan pada bidang keilmuan dan kegiatan tertentu. Contoh : kata tangan dan
lengan adalah sinonim. Namun kedua kata itu berbeda dibidang kedokteran. Tangan
bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tagan sedangkan lengan bermakna dari
pergelangan sampai ke pangkal bahu.
Dalam perkembangan bahasa memang ada sejumlah istilah, yang karena sering digunakan
lalu menjadi kosakata umum. Artinya istilah itu tidak digunakan didalam bidang keilmuannya,
tetapi telah di gunakan secara umum diluar bidangnya.
6. Makna Idiom dan Peribahasa
a. Makna idiomatik adalah makna yang ada dalam idiom, makna yang menyimpang dari
makna konseptual dan gramatikal unsur pembentuknya. Dalam bahasa Indonesia ada dua
macam bentuk idiom yaitu (a) idiom penuh dan (b) idiom sebagian. Idiom penuh adalah
idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan
satu makna. Contoh: membanting tulang artinya bekerja keras. Idiom sebagian adalah
idiom yang di dalamnya masih terdapat unsur yang masih memiliki makna leksikal.
Contoh: koran kuning yang artinya koran yang memuat berita sensasi. Koran masih
memiliki makna leksikalnya.
8. b. Beda dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak
pg. 8
dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan makna
peribahasa. Contoh: seperti anjing dengan kucing yang bermakna dua orag yang tidak
pernah akur. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya kucing dan
anjing itu jika bertemu memang selalu berkelahi.
7. Makna Stilistika, Makna Afektif, Makna Kolokatif, Makna Generik, Makna Spesifik, dan
Makna Tematikal
a. Makna generik adalah makna konseptual yang luas, umum, yang mencakup beberapa
makna konseptual yang khusus atau sempit. Misalnya, sekolah dalam kalimat “Sekolah
kami menang.” Bukan saja mencakup gedungnya, melainkan guru-guru, siswa-siswa dan
pegawai tata usaha sekolah bersangkutan.
b. Makna spesifik adalah makna konseptual, khas, dan sempit. Misalnya jika berkata “ahli
bahasa”, maka yang dimaksud bukan semua ahli, melainkan seseorang yang mengahlikan
dirinya dalam bidang bahasa.
c. Makna afektif merupakan makna yang muncul akibat reaksi pendengar atau pembaca
terhadap penggunaan bahasa. Oleh karena itu, makna afektif berhubungan dengan gaya
bahasa.
d. Makna stilistik berhubungan dengan pemakaian bahasa yang menimbulkan efek terutama
kepada pembaca. Makna stilistik lebih dirasakan di dalam sebuah karya sastra. Sebuah
karya sastra akan mendapat tempat tersendiri bagi kita karena kata yang digunakan
mengandung makna stalistika. Makna stalistika lebih banyak ditampilkan melalui gaya
bahasa.
e. Makna kolokatif adalah makna yang berhubungan dengan penggunaan beberapa kata di
dalam lingkungan yang sama. Misalnya kata ikan, gurami, sayur, tomat tentunya kata-kata
tersebut akan muncul di lingkungan dapur. Ada tiga keterbatasan kata jika
dihubungkan dengan makna kolokatif, yaitu (a) makna dibatasi oleh unsur yang
membentuk kata atau hubungan kata, (b) makna dibatasi oleh tingkat kecocokan kata, (c)
makna dibatasi oleh kecepatan.
f. Makna tematikal adalah makna yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis, baik
melalui urutan kata-kata, fokus pembicaraan, maupun penekanan pembicaraan.
9. C. Relasi Makna
pg. 9
Relasi makna adalah hubugan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu
dengan satuan bahasa lainnya. Pada dasarnya prinsip relasi makna ada empat jenis, yaitu (1)
prinsip kontiguitas, (2) prinsip kolementasi, (3) prinsip overlaping, dan (4) inklusi.
1. Prinsip kontiguitas yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa beberapa kata dapat memiliki
makna sama atau mirip. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut
sinonimi.
2. Prinsip komplementasi yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa makna kata yang satu
berlawanan dengan makna kata yang lain. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi
makna yang disebut antonimi.
3. Prinsip overlaping yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa satu kata memiliki makna yang
berbeda atau kata-kata yang sama bunyinya tetapi mengandung makna berbeda. Prinsip
ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut homonimi dan polisemi.
4. Prinsip inklusi yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa makna satu kata mencakup
beberapa makna kata lain. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang
disebut hiponimi.
a. Sinonim
Sinonim : hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna
antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Relasi sinonim ini bersifat dua arah,
maksudnya jika ujaran A bersinomnim dengan B maka B bersinonim dengan A.Contoh : benar =
betul, sama dengan betul = benar.
Faktor ketidaksamaan dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan sama persis adalah
a. Faktor waktu, contoh : hulubalang dan komandan
b. Faktor tempat, contoh : saya dan beta
c. Faktor keformalan, contoh : uang dan duit
d. Faktor sosial, contoh : saya dan aku
e. Faktor bidang kegiatan, contoh : matahari dan surya
f. Faktor nuansa makna, contoh : melihat, melirik, menonton
b. Antonimi
10. pg. 10
Istilah antonimi digunakan untuk makna yang bertentangan. Tarigan (1985: 36)
mengemukakan antonimi adalah kata yang mengandung makna yang berkebalikan atau
berlawanan dengan kata lain. Verhaar (1983: 133) mengatakan: “Antonimi adalah ungkapan
(biasanya kata, tetapi dapat juga frase atau kalimat) yang dianggap bermakna kebalikan dari
ungkapan alain.” Sedangkan menurut Palmer (1976: 94) antonimi sering dianggap sebgai lawan
sinonim. Secara sederhana dapat dikatakan istilah antonimi digunakan untuk menyatakan kata-kata
yang berlawanan maknanya.
Crystal (dalam Ba’dulu, 2001:25) antonimi merujuk secara kolektif kepada semua jenis
perlawanan semantis. Antonim adalah hubungan semantik dua buah satuan ujaran yang
maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan dengan ujaran yang lain.Contoh : hidup x mati
Jenis antonim :
a) Antonim yang bersifat mutlak, contoh : diam x bergerak
b) Antonim yang bersifat relatif / bergradasi, contoh : jauh x dekat
c) Antonim yang bersifat relasional, contoh : suami x istri
d) Antonim yang bersifat hierarkial, contoh : tamtama x bintara
Menurut Hurford dan Heasly (dalam Ba’dulu, 2001: 25) pandangan tradisional tentang
antonimi yang menyatakan bahwa antonimi semata-mata merupakan perlawanan arti adalah
keliru. Pandangan ini tidak memadai, karena kata-kata mungkin berlawanan dalam artinya secara
berbeda-beda, dan beberapa kata tidak mempunyai perlawanan yang nyata. Contoh: hot bukan
lawan dari cold dengan cara yang sama dengan borrow sebagai lawan dari lend. Demikian pula,
thick bukan lawan dari thin dengan cara yang sama dengan dead sebagai lawan dari live.
Sehubungan dengan hal yang telah dikemukakan di atas, Hurford dan Heasly (dalam
Ba’dulu, 2001: 25) membagi antonim ke dalam empat jenis, yaitu:
a. Antonimi biner, adalah predikat-predikat yang muncul berpasang-pasangan, dan di
antaranya tercakup semua kemungkinan yang relevan. Jika satu predikat dapat diaplikasikan,
maka predikat lainnya tidak dapat diaplikasikan, demikian pula sebaliknya. Contoh: tua dan
muda); panjang dan pendek. Kadang-kadang dua antonim biner yang berbeda dapat
berkombinasi dalam suatu himpunan predikat untuk menghasilkan suatu kontras empat.
Contoh: laki- laki (man), anak laki- laki), perempuan), dan gadis apabila dimasukkan ke
dalam kotak-kotak berikut:
11. b. Konversi (Converses), adalah jika suatu predikat memerikan suatu hubungan yang sama
apabila kedua benda atau orang itu disebutkan dalam urutan yang berlawanan, maka kedua
predikat itu merupakan konversi antara satu dengan yang lainnya. Contoh: orang tua dan
anak adalah konversi karena X adalah orang tua dari Y (urutan yang satu) memerikan situasi
atau hubungan yang sama seperti Y adalah anak X (urutan yang berlawanan).
c. Gradabel (Gradable antonyms), adalah dua predikat merupakan antonim bertingkat jika
keduanya berada pada ujung yang berlawanan dari suatu skala nilai yang berkesinambungan,
yaitu suatu skala yang bervariasi menurut konteks pemakaian.
Contoh: tua dan anak-anak
pg. 11
Di antara tua dan anak-anak terdapat suatu skala nilai yang berkesinambungan, yang
dapat diberikan nama-nama seperti remaja dan dewas. Apa yang disebut tua dalam suatu
konteks, misalnya: umur orang (jompo)dalam konteks lain adalah matang ( buah-buahan)
sudah dapat dipetik. Contoh lain: tinggi dan rendah; panjang dan pendek; serta pintar dan
bodoh.Untuk mengkaji antonim-antonim bertingkat ini, kita dapat mengkombinasikannya
dengan kata sangat , sangat banyak , bagaimana , atau berapa banyak.
d. Kontradiksi, adalah suatu proposisi merupakan suatu kontaradiktori dari preposisi lain jika
tidak mungkin bagi keduanya benar pada saat yang sama dan pada peristiwa ya ng sama
pula. Definisi ini dapat diperluas ke kalimat. Jadi, suatu kalimat yang mengungkapkan satu
proposisi adalah kontradiktori dari suatu kalimat yang mengungkapkan proposisi yang lain
jika tidak mungkin bagi kedua proposisi itu benar pada saat yang sama dan pada peristiwa
yang sama pula. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa suatu kalimat berlawanan dengan
kalimat lain jika kalimat itu menghasilkan negasi kalimat yang lainnya. Contoh: Pak Arya
pengusaha kaya kontradiksi dengan Pak Udin petani miskin.
Selanjutnya, Verhaar (dalam Chaer, 1997: 26) membedakan antonim berdasarkan sistemnya,
yaitu:
a. Antonim antarkalimat, contoh: Dia cantik dan Dia tidak cantik.
b. Antonim antarfrase, contoh: secara teratur dan secara tidak teratur.
c. Antonim antarkata, contoh: kuat dan lemah; kencang dan lambat.
b. d.Antonim antarmorfem, contoh: thankful dan thankless (Inggris), yang berantonim
adalah morfem ful dan les.
12. Menurut Chaer (1997: 27) antonim sering juga disebut dengan istilah oposisi makna, seperti
pada uraian berikut ini:
1. Oposisi mutlak.
Kata-kata yang memiliki pertentangan makna secra mutlak termasuk dalam jenis ini.
Misalnya: hidup dengan mati. Orang yang hidup sudah pasti tidak mati, sedangkan orang yang
mati pasti tidak hidup. Contoh lain diam dan gerak. Sesuatu yang diam pasti tidak bergerak,
begitu pula sebaliknya sesuatu yang bergerak pasti tidak diam.
2. Oposisi kutub.
Ada kata-kata yang pertentangannya tidak mutla, tetapi berjenjang/bertingkat. Contoh: kata
kaya dengan miskin. Kaya dengan miskin tidak memiliki pertentangan yang mutlak. Orang yang
kaya kadangkala masih merasa miskin, sebaliknya orang yang miskin mungkin ada yang merasa
tidak miskin. Kata-kata yang beroposisi kutub umumnya berkelas kata adjektif. Contoh: cantik
dengan jelek, periangdengan pendiam, pintar dengan bodoh, dan sebagainya.
3. Oposisi hubungan.
Oposisi hubungan ditujukan untuk kata-kata yang saling berhubungan. Kehadiran suatu kata
mengakibatkan kehadiran kata yang lain. Contoh, kata penjual ada karena adanya kata pembeli.
Kata guru bersamaan hadir dengan kata murid, jika tidak ada kata guru maka tidak akan muncul
kata murid. Kata-kata tersebut timbul secara serempak dan saling melengkapi.
Kata-kata yang beroposisi hubungan ini dapat berupa kata kerja dan kata benda. Contoh
kata-kata yang berupa kata kerja antara lain adalah: pulang-pergi, maju-mundur, belajar-mengajar,
pg. 12
dan sebagainya. Sedangkan contoh kata yang beroposisi hubungan berupa kata benda
antara lain adalah: guru-murid, buruh-majikan, dan pimpinan-bawahan.
4. Oposisi Hierarkial.
Kata-kata yang beroposisi hierarkial adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran
(berat, panjang, dan isi), satuan hitungan, penanggalan, dan jenjang kepangkatan. Kata
centimeter dan kilometer merupakan contoh kata yang beroposisi secara hierarkial karena
keduanya berada dalam deretan ukuran panajang. Begitu pula kata sersan dengan jenderal,
karena berada dalam jenjang kepangkatan.
5. Oposisi majemuk.
13. Adalah kata-kata yang tidak hanya beroposisi dengan satu kata saja, melainkan dengan dua
buah kata atau lebih. Contoh, kata ramah dapat beroposisi dengan judes, galak, bengis, dan
kejam. Atau dapat dibuat seperti gambar dibawah ini :
pg. 13
duduk tidur berdiri jongkok bersila tiarap
6. Oposisi inversi.
Oposisi ini terdapat pada pasangan kata seperti beberapa – semua, mungkin – wajib.
Pengujian utama dalam menetapkan oposisi ini adalah apakah kata itu mengikuti kaidah sinonimi
yang mencakup (a) penggantian suatu istilah dengan yang lain dan (b) mengubah posisi suatu
penyangkalan dalam kaitan dengan istilah berlawanan. Contoh: beberapa negara tidak
mempunyai pantai = tidak semua negara mempunyai pantai
Sedangkan Fromkin dan Rodman (dalam Tarigan, 1986:41) mengemukakan bahwa antonim-antonim
yang beraneka ragam itu dapat diklasifikasikan atas beberapa pasangan, yakni :
7. Antonim Komplementer
Antonim Komplementer, yaitu pasangan yang saling melengkapi. Yang satu tidaklah
lengkap atau tidak sempurna bila tidak dibarengi oleh yang satu lagi.Sebagai contoh, kata suami
berantonim dengan kata istri.
8. Antonim Gradabe
Suatu antonim disebut pasangan gradabel apabila penegatifan suatu kata tidaklah bersinonim
dengan kata yang lain. Ciri lain sejumlah pasangan gradabel ialah bahwa yang berciri atau
bertanda dan yang satu lagi tidak berciri atau tidak bertanda. Anggota pasangan yang tidak
berciri atau tidak bertanda itu biasanya dipakai dalam pertanyaan-pertanyaan yang ada kaitannya
dengan kadar atau tingkat.Sebagai contoh dalam suasana pasar, rajin x malas, berat x ringan.
9. Antonim Relasional
Antonim relasional adalah antonim yang memperlihatkan kesimetrisan dalam makna
anggota pasangannya, karena anggota pasangan antonim itu terdapat hubungan yang erat.
14. Sebagai contoh, kata guru dan murid. Kalau si A adalah atasan si B, maka si B adalah bawahan
si A.
10. Antonim Resiprokal
pg. 14
Antonim resiprokal adalah antonim yang mengandung pasangan yang berlawanan atau
bertentangan dalam makna tetapi juga secara fungsional berhubungan erat, hubungan itu justru
hubungan timbal balik.
Sebagai contoh, pasangan kata, membeli >< menjual .
c. Polisemi
Polisemi adalah relasi makna suatu kata yang memiliki makna lebih dari satu atau kata
yang memiliki makna yang berbeda-beda tetapi masih dalam satu aluran arti. Dalam kasus
polisemi ini, biasanya makna pertama ( yang didaftarkan kamus) adalah makna leksika l, makna
denotatif dan makna konseptualnya. Yang lainnya adalah makna yang dikembangkan
berdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu. Oleh karena
itu, makna pada polisemi masih berkaitan satu sama lain.
Contoh:
Ranbut di kepala nenek sudah putih.( Kepala yang berarti bagian tubuh yang bagian atas)
Pak Harjo adalah seorang kepala sekolah.( Kepala yang menyatakan pimpinan)
d. Homonimi
Homonim adalah dua kata kebetulan bentuk, ucapan, tulisannya sama tetapi beda
makna.Contoh : Bisa : 1. Bisa yang berarti racun, 2. Bisa yang berarti dapat atau mampu.
Pada kasus homonimi ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu homofon dan
homograf.Homofon adalah dua kata yang mempunyai kesamaan bunyi tanpa memperhatikan
ejaanya, dengan makna yang berbeda.Contoh : 1.Bang : sebutan saudara laki-laki,
2. Bank : tempat penyimpanan dan pengkreditan uang
Homograf adalah dua kata yang memiliki ejaan sama, tetapi ucapan dan maknanya
beda.Contoh : 1. Apel : buah, 2. Apél : rapat, pertemuan.
Masalah lain dari homonimi yang cukup ruwet adalah perbedaannya dengan polisemi.
Ada cara untuk menentukan homonimi dengan polisemi. Patokan pertama adalah dua buah
bentuk ujaran atau lebih yang kebetulan sama, dan maknanya tentu berbeda, sedangkan polisemi
sebuah ujaran yag memiliki makna lebih dari satu. Makna dalam polisemi meski berbeda tetapi
15. masih dapat dilacak secara etimologi dan semantik bahwa makna itu masih mempunyai
hubungan.
e. Hiponimi
pg. 15
Hiponim adalah sebuah bentuk ujaran yang mencakup dalam makna bentuk ujaran
lain.Relasi makna bersifat searah. Contoh: antara kata jeruk dengan kata buah. Disini makna kata
jeruk tercakup dalam kata buah, tetapi buah bukan hanya jeruk tapi bisa juga apel, mangga,
pepaya dan jambu.
Hipernim adalah bagian dari hiponim. Dengan kata lain jika jeruk berhiponim dengan
buah, maka buah berhipernim dengan jeruk. Ada juga yang menyebut hiponom dengan
superordinat. Sedangkan hubungan antar jeruk, apel, mangga, dan jenis buah lainnya adalah
kohiponim.
f. Ambiguiti atau Ketaksaan
Ambiguitas adalah gejala yang terjadi akibat kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal
yang berbeda. Tergantung jeda dalam kalimat. Umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena
bahasa tulis unsur suprasegmentalnya tidak dapat digambarkan seca ra akurat. Contoh: Buku
sejarah baru. Dapat diartikan (1) buku sejarah yang baru. Dapat juga bermakna (2) buku tentang
sejarah baru.
Ketaksaan dapat juga terjadi bukan karena tafsiran gramatikal yang berbeda tetapi karena
masalah homonimi, sedangkan konteksnya tidak jelas. Contoh: Kami bertemu paus. Dapat
ditafsirkan, (1) ikan paus, dan (2) pemimpin agama katolik di Roma.
Ada juga ketaksaan yang terjadi dalam bahasa lisan, meskipun intonasinya tepat.
Ketaksaan dalam bahasa lisan biasanya adalah karena ketidakcermatan dalam menyusun
kontruksi beranaforis. Contoh: Ujang dan Doni bersahabat karib. Dia sangat mencintai istrinya.
Dapat ditafsirkan (1) ujang mencintai istri ujang, (2) Ujang mencintai istri Doni, (3) Doni
mencintai istrinya, dan (4) Doni mencintai istri Ujang. Ketaksaan ini terjadi karenakata ganti dia
dan nya tidak jelas mengacu pada siapa.
g. Redundansi
Redundansi adalah berlebih- lebihannya penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk
ujaran. Contoh : Hamid menggenakan topi berwarna ungu, tidak akan berbeda maknanya dengan
Hamid bertopi ungu.
16. pg. 16
Memang dalam ragam bahasa baku kita dituntut untuk menggunakan kata-kata secara
efisien, sehingga kata berlebihan, sepanjang tidak mengurangi atau mengganggu makna ( lebih
tepat informasi), harus dibuang, tetapi dalam analisis semantik, setiap penggunaan unsur
segmental dianggap membawa makna masing-masing.
D. Perubahan Makna
Dalam perubahan makna selalu ada hubungan (asosiasi) antara makna lama dan makna
baru, tidak peduli apapun yang menyebabkan perubahan itu terjadi. Dalam beberapa hal, asosiasi
bisa begitu kuat untuk mengubah makna dengan sendirinya, sebagian lagi asosiasi itu hanyalah
suatu wahana untuk suatu perubahan yang ditentukan oleh sebab-sebab lain tetapi bagaimanapun
suatu jenis asosiasi akan selalu mengalami proses. Dalam pengertian ini asosiasi dapat dianggap
sebagai suatu syarat mutlak bagi perubahan makna ( Stephen, 2007 : 263-264 ).
Dalam sejarah ilmu semantik, teori asosiasi muncul dalam dua bentuk. Beberapa dari ahli
semantik awal mengakui suatu asosiasinisme yang sederhana, mereka mencoba menjelaskan
perubahan makna sebagai hasil asosiasi antara kata-kata yang diisolasikan (berdiri sendiri). Pada
beberapa dekade terakhir suatu pandangan yang lebih maju berdasarkan prinsip-prinsip struktural
telah meluas, perhatian telah berubah dari kata-kata tunggal menjadi satuan-satuan yang lebih
luas yaitu yang disebut “medan asosiatif” yang mencakupi kata-kata tersebut.
a. Sebab-sebab Perubahan Makna
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna suatu kata. Diantaranya adalah
sebagai berikut :
1. Perkembangan dalam ilmu dan teknologi
Dalam hal ini sebuah kata yang tadinya mengandung konsep makna mengenai
sesuatu yang sederhana, tetap digunakan walaupun konsep makna yang dikandung telah
berubah sebagai akibat dari pandangan baru atau teori baru dalam satu bidang ilmu atau
sebagai akibat dalam perkembangan teknologi. Sebagai contoh perubahan makna kata
sastra dari makna tulisan sampai pada makna karya imaginatif adalah salah satu contoh
perkembangan bidang keilmuan. Pandangan-pandangan baru atau teori baru mengenai
sastra menyebabkan makna kata sastra yang tadinya “bermakna buku yang baik isinya
dan baik bahasanya” menjadi berarti “karya yang bersifat imaginatif kreatif”.
2. Perkembangan sosial dan budaya
17. pg. 17
Dalam perkembangan sosial dan budaya kemasyarakatan turut memengaruhi
perubahan makna. Sebagai contoh kata saudara dalam bahasa sansekerta bermakna
seperut atau satu kandungan. Sekarang kata saudara walaupun masih juga digunakan
dalam artian tersebut tapi juga digunakan untuk menyebut siapa saja yang dianggap
sederajat atau berstatus sosial yang sama. Hal ini terjadi pula pada hampir semua kata
atau istilah perkerabatan seperti bapak, ibu, kakak, adik . Penyebab perubahan makna ini
dimungkinkan disebabkan karena dahulu pada zaman sebelum merdeka (dan juga
beberapa tahun setelah kemerdekaan) untuk menyebut dan menyapa orang yang lebih
tinggi status sosialnya digunakan kata tuan atau nyonya. Kemudian setelah kemerdekaan
dan timbulnya kesadaran bahwa sebutan tuan atau nyonya berbau kolonial sehingga kia
menggantinya dengan sebutan bapak atau ibu.
3. Perbedaan bidang pemakaian
Kata-kata yang menjadi kosa kata dalam bidang-bidang tertentu itu dalam
kehidupan dan pemakaian sehari-hari dapat juga dipakai dalam bidang lain atau menjadi
kosa kata umum. Sehingga kata-kata tersebut memiliki makna yang baru, atau makna lain
disamping makna aslinya. Misalnya kata menggarap yang berasal dari bidang pertanian
dengan segala macam derivasinya seperti tampak pada frase menggarap sawah, tanah
garapan dan sebagainya, kini banyak digunakan dalam bidang-bidang lain dengan makna
barunya yang berarti mengerjakan seperti tampak pada frasa menggarap skripsi,
menggarap naskah drama dan lain- lain. Dari contoh yang diuraikan maka kata-kata
tersebut bisa jadi mempunyai arti yang tidak sama dengan arti dalam bidang asalnya,
hanya perlu diingat bahwa makna baru kata-kata tersebut masih ada kaitannya dengan
makna asli. Kata-kata tersebut diunakan dalam bidang lain secara metaforis atau secara
perbandingan. Kesimpulannya makna kata yang digunakan bukan dalam bidangnya itu
dan makna kata yang digunakan di dalam bidang asalnya masih berada dalam
poliseminya karena makna-makna tersebut masih saling berkaitan atau masih ada
persamaan antara makna yang satu dengan makna yang lainnya.
4. Adanya Asosiasi
Kata-kata yang digunakan diluar bidangnya seperti dibicarakan pada bagian
sebelumnya masih ada hubungan atau pertautan maknanya dengan makna yang digunakan
pada idang asalnya. Agak berbeda dengan perubahan makna yang terjadi sebagai akibat
18. penggunaan dalam bidang yang lain, disini makna baru yang muncul adalah berkaitan
dengan hal atau peristiwa lain yang berkenaan dengan kata tersebut. Dalam contoh kata
amplop dengan kata uang terjadi asosiasi yaitu berkenaan dengan wadah. Kata amplop
berasal dari bidang administrasi atau surat menyurat, makna asalnya adalah sampul surat.
Ke dalam amplop itu selain biasa dimasukkan surat, biasa pula dimasukkan benda lain
seperti uang. Oleh karena itu dalam kalimat “ Berikan dia amplop biar urusanmu cepat
selesai”. Dalam kalimat itu kata amplop bermakna uang sebab amplop yang dimaksud
bukan berisi surat atau tidak berisi apa-apa melainkan berisi uang sebagai sogokan.
5. Pertukaran Tanggapan Indra
pg. 18
Dalam penggunaan bahasa banyak terjadi kasus pertukaran tanggapan antara
indera yang satu dengan indera yang lain. Rasa pedas, misalnya yang seharusnya
ditanggap dengan alat indera perasa pada lidah tertukar menjadi ditanggap oleh alat
indera pendengaran seperti tampak dalam ujaran kata-katanya cukup pedas. Contoh lain
pada kata kasar yang seharusnya ditanggap oleh alat indera peraba yaitu kulit namun bisa
juga ditanggap oleh alat indera penglihatan mata seperti pada kalimat Tingkah lakunya
kasar. Pertukaran alat indera penanggap ini biasa disebut dengan istilah sinestesia. Istilah
ini berasal dari bahasa Yunani sun artinya sama dan aisthetikas artinya tampak. Dalam
pemakaian bahasa Indonesia secara umum banyak sekali terjadi gejala sinestesia ini.
Contoh yang lain terjadi pada beberapa frase yaitu suaranya sedap didengar, warnanya
enak dipandang, suaranya berat sekali, bentuknya manis, kedengarannya memang nikmat
dan masih banyak contoh-contoh yang lain.
6. Perbedaan Tanggapan
Setiap unsur leksikal atau kata sebenarnya secara sinkronis telah mempunyai
makna leksikal yang tetap. Namun karena pandangan hidup dan ukuran dalam norma
kehidupan di dalam masyarakat maka banyak kata yang menjadi memiliki nilai rasa yang
rendah, kurang menyenangkan. Di samping itu ada juga yang menjadi memiliki nilai rasa
yang tinggi atau menyenangkan. Kata-kata yang nilainya merosot menjadi rendah ini
disebut dengan istilah peyoratif sedangkan yang nilainya naik menjadi tinggi disebut
ameliorative. Contoh kata bini sekarang ini dianggap peyoratif sedangkan kata istri
dianggap ameliorative. Begitupun terjadi pada kata laki dan suami, kata bang dan bung.
Nilai rasa itu kemungkinan besar hanya bersifat sinkronis. Secara diakronis ada
19. pg. 19
kemungkinan bisa berubah. Perkembangan pandangan hidup yang biasanya sejalan
dengan perkembangan budaya dan kemasyarakatan dapat memungkinkan terjadinya
perubahan nilai rasa peyoratif atau amelioratifnya sebuah kata.
7. Adanya Penyingkatan
Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata atau ungkapan yang karena sering
digunakan maka kemudian tanpa diucapkan atau dituliskan secara keseluruhan orang
sudah mengerti maksudnya. Oleh karena itu kemudian banyak orang menggunakan
singkatannya saja daripada menggunakan bentukya secara utuh. Sebagai contoh ada yang
berkata “ ayahnya meninggal” tentu maksudnya meninggal dunia tapi hanya disebutkan
meninggal saja. Hal ini terjadi pula pada kata berpulang yang maksudnya berpulang ke
rahmatullah, ke perpus yang maksudnya ke perpustakaan, ke lab yang maksudnya ke
laboratarium dan sebagainya. Kalau disimak sebenarnya dalam kasus penyingkatan kata
ini bukanlah peristiwa perubahan makna yang terjadi sebab makna atau konsep itu tetap.
Yang terjadi adalah perubahan bentuk kata. Kata yang semula berbentuk utuh disingkat
menjadi bentuk yang lebih pendek.
8. Proses Gramatikal
Proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi dan komposisi akan menyebabkan
pula terjadinya perubahan makna. Tetapi dalam hal ini yang terjadi sebenarnya bukan
perubahan makna sebab bentuk kata itu sudah berubah sebagai hasil proses gramatikal
dan proses tersebut telah melahirkan makna-makna gramatikal.
9. Pengembangan Istilah
Salah satu upaya dalam pengembangan atau pembentukan istilah baru adalah
dengan memanfaatkan kosa ata bahasa Indonesia yang ada dengan jalan member makna
baru baik dengan menyempitkan, meluaskan maupun memberi makna baru. Seperti pada
kata papan yang semula bermakna lempengan kayu tipis kini diangkat menjadi istilah
untuk makna perumahan, kata teras yang semula bermakna inti atau saripati kayu
sekarang memiliki makna yang baru yaitu utama atau pimpinan.
b. Jenis Perubahan Makna
Dalam bagian ini akan diuraikan beberapa jenis perubahan makna yang terjadi dalam
bahasa Indonesia. Berikut pemaparannya :
20. 1. Perubahan Meluas
pg. 20
Yang dimaksud perubahan yang meluas adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau
leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah makna tetapi kemudian karena berbagai
factor menjadi memiliki makna-makna yang lain. Proses perluasan makna ini dapat terjadi
dalam kurun waktu yang relative singkat tetapi dapat juga dalam kurun waktu yang lama. Dan
makna-makna lain yang terjadi sebagai hasil perluasan makna itu masih berada dalam lingkup
poliseminya artinya masih ada hubungannya dengan makna asalnya. Seperti pada kata
saudara yang dahulu hanya mempunyai satu makna yaitu seperut atau sekandungan sekarang
berkembang menjadi bermakna lebih dari satu. Dan mempunyai makna lain yaitu siapa saja
yang sepertalian darah. Lebih jauh lagi sekarang kata saudara bermakna siapapun orang
tersebut dapat disebut saudara.
2. Perubahan Menyempit
Perubahan menyempit merupakan suatu gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada
mulanya mempunyai makna yang cukup luas namun kemudian berubah menjadi terbatas
hanya memiliki sebuah makna saja. Kata sarjana yang pada mulanya berarti orang pandai atau
cendekiawan dan sekarang kata itu hanya memiliki sebuah makna saja yaitu orang yang lulus
dari perguruan tinggi. Sehingga sepandai apapun seseorang sebagai hasil dari belajar sendiri,
kalau bukan tamatan perguruan tinggi maka tidak bisa disebut sebagai sarjana. Sebaliknya
serendah berapapun indeks prestasi seseorang kalau dia sudah lulus dari perguruan tinggi dia
akan disebut sebagai sarjana.
3. Perubahan Total
Yang dimaksud perubahan total yaitu suatu makna sebuah kata yang berubah total atau
berubah sama sekali dari makna asalnya. Memang ada kemungkinan makna yang dimiliki
sekarang masih ada sangkut pautnya dengan makna asal tapi keterkaitannya ini tampaknya
sudah jauh sekali. Sebagai contoh kata seni yang mulanya bermakna air seni atau kencing
sekarang digunakan sebagai istilah untuk sebuah karya atau ciptaan yang bernilai halus seperti
seni lukis, seni tari, seni suara.
4. Penghalusan (ufemia)
Penghalusan dalam perubahan makna ini maksudnya adalah suatu gejala ditampilkannya
kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus atau lebih
sopan daripada yang akan digantikan. Kecenderungan untuk menghaluskan makna kata
21. tampaknya merupakan gejala umum dalam masyarakat bahasa Indonesia. Misalnya kata
penjara diganti dengan istilah lembaga pemasyarakatan, pemecatan diganti dengan istilah
pemutusan hubungan kerja, babu diganti dengan istilah pembantu rumah tangga.
5. Pengasaran (disfemia)
pg. 21
Pengasaran yang dimaksud adalah suatu usaha untuk mengganti kata yang maknanya
halus atau bermakna biasa menjadi kata yang maknanya kasar. Usaha atau gejala pengasaran
ini biasanya dilakukan oleh orang dalam situasi yang tidak ramah atau dalam keadaan jengkel.
Seperti pada kata menjebloskan untuk menggantikan kata memasukkan, kata mendepak untuk
menggantikan kata mengeluarkan dan sebagainya.
c. Faktor yang Memudahkan Terjadinya Perubahan Makna
Dalam hubungannya dengan perubahan makna Ullmann (1972 :198-210) lewat Mansoer
Pateda menyebutkan beberapa factor yang memudahkan terjadinya perubahan makna, berikut
uraiannya :
1. Faktor Kebahasaan
Perubahan makna karena factor kebahasaan berhubungan dengan fonologi, morfologi
dan sintaksis. Misalnya kata sahaya yang pada mulanya bermakna budak tetapi karena kata
ini berubah menjadi kata saya maka makna kata saya dihubungkan dengan orang pertama
dan orang tidak menghubungkan dengan kata budak sehingga maknanya pun menjadi
berubah.
2. Faktor kesejarahan
Faktor ini dapat dirinci menjadi factor objek, faktor institusi, faktor ide, dan faktor
konsep ilmiah. Sebagai contoh factor objek, kata wanita yang sebenarnya berasal dari kata
betina. Kata betina selalu dihubungkan dengan hewan. Kata betina dalam perkembangannya
menjadi batina lalu fonem /b/ merubah menjadi /w/ sehingga menjadi wanita. Dan kata
wanita ini berpadanan dengan kata perempuan dan sekarang orang tidak lagi
menghubungkan kata wanita dengan kata hewan.
3. Faktor Sosial
Perubahan makna yang disebabkan karena faktor sosial dihubungkan dengan
perkembangan Makna kata dalam masyarakat. Misalnya kata gerombolan yang pada
mulanya bermakna orang yang berkumpul atau kerumunan orang tapi kemudian kata ini
22. tidak disukai lagi sebab selalu dihubungkan dengan pemberontak atau pengacau. Sebelum
tahun 1945 orang dapat saja berkata “ Gerombolan laki- laki menuju pasar”, tetapi setelah
tahun 1945 apalagi dengan munculnya pemberontak maka kata gerombolan enggan
digunakan bahkan ditakuti.
4. Faktor Psikologi
pg. 22
Faktor psikologi ini dapat dirinci lagi menjadi factor emosi dan kata-kata tabu.
Sebagai contoh dari factor tabu misalnya penggunaan kata bangsat. Dahulu makna kata
bangsat dihubungkan dengan binatang yang biasa menggigit jika kita duduk d i kursi rotan
karena binatang itu hidup di sela-sela anyaman rotan. Sekatang kalau orang marah lalu
mengatakan, “ Hei bangsat, kenapa hanya duduk?” maka kata bangsat disini tidak lagi
diartikan sebagai binatang kecil tapi manusia yang malas yang kelakuannya menyakitkan
hati, sehingga ada perubahan makna pada kata tersebut.
5. Pengaruh Bahasa Asing
Perubahan bahasa yang satu dengan yang lain tidak dapat dihindarkan. Hal itu
disebabkan oleh interaksi antara sesame bangsa. Itu sebabnya pengaruh bahasa asing
terhadap bahasa Indonesia juga tidak dapat dihindarkan. Pengaruh itu misalnya berasal dari
bahasa Inggris yaitu pada kata keran yang berasal dari bahasa Inggris crank yang kemudian
dalam bahasa Indonesia bermakna keran yang artinya pancuran air ledeng yang dapat dibuka
dan ditutup. Tetapi kalimat “ Engkau masuk departemen dan dapat membuka keran untuk
kemajuan daerah kita”. Makna keran tidak lagi katup penutup tapi lebih banyak dikaitkan
dengan anggaran.
6. Karena Kebutuhan Kata yang Baru
Telah diketahui bahwa manusia berkembang terus sesuai dengan kebutuhannya.
Kebutuhan tersebut perlu nama atau kata barukarena bahasa adalah alat komunikasi.
Kadang-kadang konsep baru itu belum ada lambangnya. Dengan kata lain manusia
berhadapan dengan ketiadaan kata atau istilah baru yang mendukung pemikirannya.
Kebutuhan tersebut bukan saja kata atau istilah tersebut belum ada tapi juga orang merasa
bahwa perlu menciptakan kata atau istilah baru untuk suatu konsep hasil penemuan manusia.
Misalnya karena bangsa Indonesia merasa kurang enak menggunakan kata saudara maka
muncullah kata Anda. Kata saudara pada mulanya dihubungkan dengan orang yang sedarah
dengan kita tapi kini kata saudara digunakan untuk menyebut siapa saja.
23. pg. 23
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Bahasa merupakan alat komunikasi manusia yang tidak terlepas dari arti atau makna pada
setiap perkataan yang diucapkan. Semantik merupakan salah satu bidang linguistik yang
mempelajari tentang makna. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Dalam Kamus
Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi :
1. maksud pembicara;
2. pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok
manusia;
3. hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan
semua hal yang ditunjukkannya,dan
4. cara menggunakan lambang-lambang bahasa ( Harimurti Kridalaksana, 2001: 132).
Pada kajian semantik ini kita dapat mengetahui tentang hakikat makna, jenis-jenis makna
(makna leksikal, makna gramatikal dan kontekstual, makna re ferensial dan nonreferensial,
makna konotatif dan denotatif, makna istilah dan makna makna kata, makna konseptual dan
asosiatif, makna Idiom dan Peribahasa, makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, makna
kolokatif, makna generik, makna spesifik, dan makna tematikal), relasi makna (sinonim,
antonimi, polisemi, homonimi, hiponimi, ambiguiti, redundansi), perubahan makna, medan
makna dan komponen makna.
3.2 Saran
Saran ini ditujukan untuk masyarakat Indonesia pada umumnya dan mahasiswa pada
jurusan kebahasaan terutama bahasa Indonesia, hendaklah di zaman yang serba berubah ini kita
lebih tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi khususnya dalam bidang bahasa
Indonesia. Kita harus melestarikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Perubahan yang
terjadi perlu kita cermati dengan baik agar keaslian bahasa Indonesia tetap terjaga.
24. pg. 24
Daftar Pustaka
Stokhof, W. A. L. 1980. “Tata Bunyi Bahasa Indonesia”. Dewan Bahasa. Jilid 24,
Bilangan 1: 38-54
Weinrich, Uriel. 1968. Langue in contaxt. The Hangue: Mouton
Voorhove, P. 1995. Critical Survey of Studies on The Langueage of Sumatra. ‘s-
Gravenhaag : Martinus Nijhoff
1980. teori Linguistik dan Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius
Uhlenbeck, E.M. 1964. Critical Survey of Studies on The Langueage of Sumatra. ‘s-
Gravenhaag : Martinus Nijhoff
arsono. 1986. Fonemik. Yogyakarta : Gajah Mada University Press
blogshinyocom.blogspot.com/2009/.../makalah-semantik-2-makna.ht...
susandi.wordpress.com/seputar-bahasa/semantik/
ahmadzulbahasa.blogspot.com/2010/09/tugas-makalah-semantik.htm
Pateda, Mansoer. 1996. Semantik Leksikal. Jakarta : Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.