1. Dokumen tersebut membahas tentang pengertian, asas, bentuk dan isi dari putusan di Pengadilan Agama. Putusan adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara oleh hakim untuk menyelesaikan sengketa. Putusan harus memenuhi asas-asas tertentu dan terdiri dari beberapa bagian seperti identitas pihak, pertimbangan hukum, dan putusan akhir.
1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peranan hakim sebagai aparat kekuasaan kehakiman pasca UU Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama pada prinsipnya tidak lain daripada melaksanakan
fungsi peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Dalam menjalankan
fungsi peradilan ini, para hakim Peradilan Agama harus menyadari sepenuhnya bahwa
tugas pokok hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam setiap putusan yang hendak dijatuhkan
oleh hakim dalam mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara perlu diperhatikan 3 hal
yang sangat esensial, yaitu keadilan (gerechtigheit), kemanfaatan (zwachmatigheit), dan
kepastian (rechsetherheit). Ketiga hal ini harus mendapat perhatian yang seimbang
secara profesional, meskipun dalam praktik sangat sulit untuk mewujudkannya.
Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya, ia harus
menyusun putusan dengan baik dan benar. Kemudian, putusan itu harus diucapkan
dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Berangkat dari uraian latar belakang diatas, maka kelompok penyaji akan
mencoba untuk mengupas lebih dalam pembahasan tentang putusan, yang akan kami
telaah lebih terperinci dalam bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan asas dari putusan?
2. Bagaimanakah bentuk dan isi dari putusan di Pengadilan Agama?
3. Apa saja macam-macam dari putusan Pengadilan?
2. 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Putusan
Putusan disebut Vonnis (belanda) atau al qada’u (arab), yaitu produk pengadilan
agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu penggugat dan
tergugat. Putusan peradilan perdata selalu memuat perintah dari pengadilan kepada
pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu, atau untuk
melepaskan sesuatu, atau menghukum sesuatu.
Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan itu adalah suatu pernyatan oleh hakim
sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di dalam
persidangan yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa antara pihak yang berperkara.1
Sesuai dengan ketentuan pasal 178 HIR dan pasal 189 RBg, apabila pemeriksaan
perkara selesai, Majelis Hakim karena jabatannya melakukan musyawarah untuk
mengambil putusan yang akan dijatuhkan. Proses pemeriksaan perkara dianggap
selesai, apabila telah menempuh tahap jawaban dari tergugat sesuai pasal 121 HIR,
pasal 113 Rv, yang dibarengi dengan replik dari penggugat berdasarkan pasal 115 Rv,
maupun duplik dari tergugat dan dilanjutkan dengan proses tahap pembuktian konklusi.
Jika semua tahap ini telah tuntas diselesaikan, maka Majelis menyatakan pemeriksaan
ditutup dan proses selanjutnya adalah menjatuhkan atau pengucapan putusan. Sebelum
tahap pengucapan putusan itulah tahap musyawarah bagi majelis untuk menentukan
putusan apa yang hendak dijatuhkan kepada pihak yang berperkara.2
Setiap putusan Pengadilan Agama harus dibuat oleh hakim dalam bentuk tertulis
dan ditandatangani oleh hakim ketua dan hakim-hakim anggota yang ikut memeriksa
perkara sesuai dengan penetapan Majelis Hakim yang dibuat oleh ketua Pengadilan
1
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Penerbit
Liberty, 1993), h. 174.
2
M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h 797.
3. 3
Agama, serta ditandatangani pula oleh Panitera Pengganti yang ikut sidang sesuai
dengan penetapan Panitera.3
B. Asas Putusan
Asas dari putusan dijelaskan dalam pasal 178 HIR, Pasal 189 RBg, dan pasal 19
UU No. 4 Tahun 2004 (dulu dalam pasal 18 UU No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan
Kehakiman)
1. Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci
Menurut asas ini putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan
yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan ini dikategorikan
putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd
(insufficient judgement). Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan
bertitik tolak dari ketentuan:
a. Pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan
b. Hukum kebiasaan
c. Yurisprudensi
d. Doktrin Hukum4
2. Wajib mengadili seluruh bagian gugatan
Asas kedua ini digariskan dalam pasal 178 ayat (2) HIR, pasal 189 ayat (2)
RBg dan pasal 50 Rv. Putusan harus secara total dan meyeluruh memeriksa dan
mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Tidak boleh hanya memeriksa dan
memutus sebagian saja, kemudian mengabaikan gugatan selebihnya. Cara
mengadili seperti itu bertentangan dengan asas yang digariskan undang-undang.
3. Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan
Asas ini digariskan pada pasal 178 ayat (3) HIR, pasal 189 ayat (3) RBg
dan pasal 50 Rv. Putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang
dikemukakan dalam gugatan. Larangan ini disebut ultra petitum partium. Hakim
3
Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.Ip., M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama. (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), h. 292.
4
M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h 797-798.
4. 4
yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugatan dianggap telah
melampaui batas wewenang atau ultra vires yakni bertindak melampaui
wewenangnya.
4. Diucapkan dimuka umum.
Persidangan dan putusan diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka
untuk umum atau dimuka umum merupakan salah satu bagian yang tidak
terpisahkan dari asas fair trial. Menurut asas fair trial, pemeriksaan persidangan
harus berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir. Akan tetapi dalam
kasus tertentu, peraturan perundang-undangan membenarkan pemeriksaan
dilakukan dalam sidang tertutup, namun pembacaan putusannya tetap diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum.5
C. Bentuk dan Isi Putusan
Hasil akhir dari pemeriksaan perkara di pengadilan karena adanya gugatan dari
salah satu pihak adalah putusan atau vonis. Lain halnya dengan perkara permohonan,
yang hasil akhirnya adalah penetapan atau beschikking.6
Bila diperhatikan secara kesuluruhan suatu putusan, mulai dari halaman pertama
sampai halaman terakhir, bentuk dan isi putusan pengadilan agama secara singkat
adalah sebagai berikut:
1. Bagian kepala putusan.
Bagian ini memuat kata PUTUSAN atau kalau salinan adalah SALINAN
PUTUSAN. Baris dibawah dari kata itu adalah Nomor Putusan, yaitu menurut
nomor urut pendaftaran perkara, diikuti garis miring dan tahun pendaftaran
perkara. Misalnya Nomor 79/1983, artinya perkara urutan ke 79 dalam tahun
1983, walaupun tanggal diputusnya perkara mungkin saja tahun 1984.
Baris selanjutnya adalah tulisan huruf besar semua yang berbunyi
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM, untuk memenuhi perintah pasal 57 ayat
(2) UU Nomor 7 tahun 1989. Baris dibawah lagi adalah tulisan yang berbunyi
5
Ibid, h. 800-806.
6
Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.Ip., M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama. (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), h. 292.
5. 5
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA,
untuk memenuhi pasal 4 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 1970 dan pasal 57 ayat (2)
UU Nomor 7 tahun 1989.
2. Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara.
Sesudah yang tersebut dibutir sebelumnya, maka dicantumkan pada baris
selanjutnya nama Pengadilan Agama yang memutus dan sekaligus disertai
dengan menyebutkan jenis perkara, misalnya “ Pengadilan Agama Palembang,
yang telah memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama, perkara gugatan
cerai antara”.
3. Identitas para pihak.
Penyebutan identitas pihak, dimulai dari identitas penggugat, lalu identitas
tergugat. Pemisah antara keduanya ialah dengan tulisan dalam baris tersendiri
yang berbunyi “Berlawanan dengan”.7
4. Duduk perkaranya (bagian posita).
Pada bagian ini dikutip dari gugatan penggugat, jawaban tergugat,
keterangan saksi dan hasil dari Berita Acara Sidang selengkapnya tetapi singkat,
jelas dan tepat serta kronologis. Juga dicantumkan alat-alat bukti lainnya yang
diajukan oleh pihak-pihak.
5. Dasar pertimbangan hukum dan dasar hukum.
Bagian ini terdiri dari alasan memutus (pertimbangan) yang biasanya
dimulai dengan kata “menimbang” dan dari dasar memutus yang biasanya
dimulai dengan kata “mengingat”.
Dalam pertimbangan hukum ini hakim akan mempertimbangkan dalil
gugatan, bantahan, atau eksepsi dari tergugat serta dihubungkan dengan alat-alat
bukti yang ada. Dari pertimbangan hukum hakim akan menarik kesimpulan
terbukti atau tidaknya gugatan itu.
7
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Penerbit
Liberty, 1993), h. 184
6. 6
Setelah hal-hal tersebut diatas dipertimbangkan satu per satu secara
kronologis, kemudian barulah ditulis dalil-dalil hukum syara’ yang menjadi
sandaran pertimbangannya. Dalam pertimbangan hukum juga dimuat pasal-pasal
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari putusan itu.8
6. Diktum atau putusan amar.
Amar putusan adalah isi dari putusan itu sendiri yang merupakan jawaban
petitum dalam surat gugatan yang diajukan oleh penggugat. Bagian ini didahului
oleh kata “mengadili” yang diletakkan ditengah-tengah, dalam baris tersendiri,
semua dengan huruf besar.
Isi diktum atau amar putusan bisa terdiri dari beberapa point, tergantung
kepada petita (tuntutan) penggugat dulunya. Jika perkara reconventie atau
intervensi atau vrijwaring maka diktum ini harus dipecah dalam dua bagian, yaitu
diktum dalam conventie dan diktum dalam reconventie, atau diktum dalam dalam
gugatan asal dan diktum dalam interventie, atau diktum dalam gugatan asal dan
diktum dalam vrijwaring.
Walaupun intinya putusan bersifat condemnatoir tetapi bisa juga ada unsur
declaratoir atau constitutoir, hal ini tergantung dari petita penggugat. Misalnya,
menerima gugatan penggugat (declarotoir), menyatakan sah ta’liq talaq sudah
terwujud atau sudah terlanggar (declaratoir), menceraikan penggugat dan tergugat
(constitutoir), menghukum tergugat untuk membayar nafkah iddah
(condemnatoir), menhukum tergugat untuk membayar biaya perkara
(condemnatoir).
7. Bagian kaki putusan.
Bagian kaki putusan yang dimaksudkan ialah dimulai dari kata-kata
“Demikianlah putusan Pengadilan Agama....”
8
Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.Ip., M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama. (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), h. 295.
7. 7
8. Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya.
Pada asli Putusan, semua hakim dan panitera harus bertanda tangan tetapi
pada Salinan Putusan, hakim dan panitera hanya “ttd” (tertanda) atau “dto”
(ditandatangani oleh), lalu dibawahnya dilegalisir.
Salinan Putusan akan diberikan kepada pihak-pihak atau akan dikirm ke
tingkat banding (jika terjadi banding dan untuk laporan) atau akan dikrim ke
Mahkamah Agung (jika terjadi kasasi atau peninjuan kembali). Asli Putusan tetap
disimpan pada Pengadilan Agama dan disatukan dalam berkas perkara yang
sudah diminitur.
Adapun yang dimaksud dengan perincian biaya disini adalah perincian
biaya yang tercantum dibagian kiri bawah dari keputusan, bukan yang tercantum
dalam diktum. Yang tercantum dalam diktum adalah biaya total sedangkan yang
disebut terdahulu itu adalah rinciannya.
Menurut pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 1989, rincian biaya tersebut
meliputi:
a) Biaya kepaniteraan dan materai
b) Biaya untuk para saksi , saksi ahli, penerjemah, dan pengambil sumpah
c) Biaya untuk pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang
diperlukan
d) Biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah
Pengadilan.
D. Macam-Macam Putusan Pengadilan
1. Dilihat dari segi sifatnya
Jika ditinjau dari segi sifatnya putusan dikategorikan menjadi tiga, yaitu:
a. Putusan declaratoir
Putusan declaratoir adalah putusan pengadilan yang amarnya menyatakan
suatu keadaan dimana keadaan tersebut dinyatakan sah menurut hukum. Dalam
putusan ini dinyatakan bahwa keadaan hukum tertentu yang dimohonkan itu ada
pengakuan sesuatu hak atau prestasi tertentu dan umumnya putusan model ini
8. 8
terjadi dalam lapangan hukum pribadi. Misalnya tentang pengangkatan anak,
tentang penegasan hak atas suatu benda, dll.9
b. Putusan constitutif
Putusan constitutif adalah putusan yang bersifat menghentikan atau
menimbulkan hukum baru. Dalam putusan ini suatu keadaan hukum tertentu
dihentikan atau ditimbulkan suatu keadaan hukum baru. Misalnya, putusan
tentang pembatasan suatu perjanjian, menyatakan pailit, memutuskan suatu ikatan
perkawinan, dll.
c. Putusan condemnatoir
Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang
kalah untuk memenuhi suatu prestasi yang ditetapkan oleh hakim. Dalam putusan
ini hak perdata penggugat yang dituntutnya terhadap tergugat diakui oleh hakim
dimuka sidang pengadilan.10
2. Dilihat dari segi isinya
Jika dilihat dari segi isinya putusan dibedakan menjadi tujuh, yaitu:
a. Niet Onvankelijk Verklaart (N.O)
Niet Onvankelijk Verklaart (N.O.) berarti tidak dapat diterima gugatannya,
yaitu putusan pengadilan yang diajukan oleh penggugat tidak dapat diterima,
karena ada alasan yang dibenarkan oleh hukum. Adapun alasan tidak diterimanya
gugatan penggugat ada beberapa kemungkinan sebagai berikut:
1) Gugatan tidak berdasarkan hukum
2) Gugatan kabur (obscuur libel)
3) Gugatan masih prematur
4) Gugatan Nebis in idem
5) Gugatan error in persona
6) Gugatan telah lampau waktu (daluwarsa)
7) Pengadilan tidak berwenang mengadili
9
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Penerbit
Liberty, 1993), h. 192.
10
Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.Ip., M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama. (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), h. 298.
9. 9
b. Gugatan dikabulkan
Apabila suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan dapat dibuktikan
kebenaran dalil gugatannya, maka gugatan tersebut dikabulkan seluruhnya. Jika
sebagian saja yang terbukti kebenaran dalil gugatannya, maka gugatan tersebut
dikabulkan sebagian.
c. Gugatan ditolak
Suatu gugatan yang diajukan oleh penggugat ke pengadilan dan didepan
sidang pengadilan penggugat tidak dapat mengajukan bukti-bukti tentang
kebenaran dalil gugatannya, maka gugatannya ditolak. Penolakan ini dapat terjadi
seluruhnya atau hanya sebagian saja.
d. Gugatan didamaikan
Pasal 130 ayat (1) HIR dan pasal 154 ayat (1) R.Bg mengemukakan bahwa
hakim harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa
sebelum diputus. Jika terhadap sengketa yang berhubungan dengan perkawinan
(seperti perceraian) berhasil didamaikan atau jika kedua belah pihak sepakat
untuk mengakhiri persengketaannya, maka hakim menyarankan agar gugatannya
dicabut. Namun jika diluar dari masalah perkawinan, maka hakim menjatuhkan
putusan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian.
e. Gugatan digugurkan
Berdasarkan pasal 124 HIR dan pasal 148 R.Bg, jikalau penggugat tidak
hadir menghadap pengadilan pada hari yang telah ditentukan dan tidak menyuruh
orang lain sebagai wakilnya padahal ia telah dipanggil secara patut, sedangkan
tergugat hadir. Maka dalam hal ini gugatan penggugat dinyatakan gugur dan
dihukum untuk membayar ongkos perkara.
f. Gugatan dibatalkan
Apabila penggugat sudah pernah hadir dalam sidang pengadilan, kemudian
pada sidang-sidang selanjutnya tidak pernah hadir lagi, maka panitera
berkewajiban untuk memberitahukan kepada penggugat agar ia hadir dalam
sidang dan membayar ongkos perkara tambahan sesuai dengan yang ditetapkan.
Apabila dalam tempo satu bulan sejak tanggal pemberitahuan itu penggugat
tidak juga hadir untuk menghadap sidang, maka gugatannya dinyatakan batal.
g. Gugatan dihentikan (aan hanging)
Penghentian gugatan disebabkan karena adanya perselisihan kewenangan
mengadili antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Jika terjadi hal
10. 10
seperti ini, maka Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri harus menghentikan
pemeriksaan tersebut dan kedua badan peradilan tersebut hendaknya mengirim
berkas perkara ke Mahkamah Agung RI untuk ditetapkan siapa yang berwenang
memeriksa dan mengadili perkara tersebut.11
3. Dilihat dari segi jenisnya
a. Putusan sela
Putusan sela adalah putusan yang belum merupakan putusan akhir dan tidak
mengikat hakim, bahkan hakim yang menjatuhkan putusan sela berwenang
mengubah putusan sela tersebut jika ternyata mengandung kesalahan.12
b. Putusan akhir
Putusan akhir adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat
negara yang wewenang untuk itu, diucapkan dalam persidangan dan bertujuan
untuk mengakhiri dan menyelesaikan perkara atau sengketa antara para pihak
yang berperkara dan diajukan kepada pengadilan.
Mahkamah Agung RI dengan Surat Edaran Nomor 5 Tahun 1959 dan
Nomor 1 Tahun 1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan agar pada waktu
putusan diucapkan, konsep putusan harus sudah selesai dibuat. Jika ada
perbedaan antara yang diucapkan dengan yang ditulis, maka yang sah adalah
yang diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.13
11
Ibid, h. 299-306.
12
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Penerbit
Liberty, 1993), h. 193.
13
Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.Ip., M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama. (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), h. 308.
11. 11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Putusan disebut Vonnis (belanda) atau al qada’u (arab), yaitu produk pengadilan
agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu penggugat dan
tergugat.
Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan itu adalah suatu pernyatan oleh hakim
sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan di dalam
persidangan yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa antara pihak yang berperkara.
Jika ditinjau dari segi sifatnya putusan dikategorikan menjadi tiga, yaitu:
a. Putusan declaratoir
Putusan declaratoir adalah putusan pengadilan yang amarnya menyatakan
suatu keadaan dimana keadaan tersebut dinyatakan sah menurut hukum. Misalnya
tentang pengangkatan anak, tentang penegasan hak atas suatu benda, dll.
b. Putusan constitutif
Putusan constitutif adalah putusan yang bersifat menghentikan atau
menimbulkan hukum baru. Misalnya, putusan tentang pembatasan suatu
perjanjian, menyatakan pailit, memutuskan suatu ikatan perkawinan, dll.
c. Putusan condemnatoir
Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang
kalah untuk memenuhi suatu prestasi yang ditetapkan oleh hakim.
Jika dilihat dari segi isinya putusan dibedakan menjadi tujuh, yaitu: Niet
Onvankelijk Verklaart (N.O), gugatan dikabulkan, gugatan ditolak, gugatan
didamaikan, gugatan digugurkan, gugatan dihentikan, dan gugatan dibatalkan.
Sedangkan jika dilihat dari jenisnya putusan terbagi menjai dua yaitu putusan sela
dan putusan akhir.
12. 12
DAFTAR PUSTAKA
Mertokusumo, Sudikno Prof, Dr., SH., Hukum Acara Perdata Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1993.
Yahya Harahap, M., SH., Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Soepomo, Prof.,Dr., SH., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta:
Pradnya Paramita,1994.
Manan, Abdul Prof., Dr., H., SH., S.Ip., M.Hum., Penerapan Hukum Acara
Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005.
Manan, Abdul Prof., Dr., H., SH., S.Ip., M.Hum., Aneka Masalah Hukum
Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008.