1. MAWARIS
1. Pengertian Mawaris
Mawaris secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata tungal miras yang artinya
warisan. Dalam hukum islam dikenal dengan adanya ketentuan-ketentuan tentang siapa yang
termasuk ahli waris yang berhak manarima warisan, dan ahli waris yang tidak berhak
menerima warisan. Istilah fiqih mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang memepelajari siapa-
siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, dan barang siapa yang tidak berhak
menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya. Fiqih mawaris disebut juga
ilmu faraid bentuk jamak dari kata tunggal faraid artinya ketentuan-ketentuan bagi ahli waris
yang diatur secara rinci didalam Al-Qur’an.
Secara terminologis, fqih mawaris adalah fiqih atau ilmu yang mempelajari tentang
siapa orang-orang yang termasuk ahli waris, siapa yang tidak, berapa bagian-bagiannya dan
bagaimana cara menghitungnya. Al-Syarbini dalam kitab Mugni al-Muhtaj jus 3 mengatakan
bahwa fiqh mawaris adalah “fiqh yang berkaitan dengan pembagian harta warisan,
mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui pembagian harta warisan dan
bagian-bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap ang berhak’. Dari
pada itu Prof.Hasby al-Shiddieqy mendefinisikan fiqig mawaris sebagai “ilmu yang
mempelajari tenang orang-orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, kadar yang diterima
setiap ahli waris dan cara-cara pembagianya”.
Dalam kontes yang lebih umum warisab berarrti perpindahan hak kebendaan dari
orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup. Wirjono Prodjodikoro dalam
buku Hukum Warisan di Indonesia mendefinisikan, warisan adalah “soal apakah dan
bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.
2. Beberapa Istilah Dalam Mawaris
Waris adalah orang yang termasukahli waris yang berhak menerima warisan. Ada ahli waris
yang dekat hubungan kekerabatannya tetapi tidak berhak menerima warisan. Dalam fiqh
mawaris, ahli waris yang semacam ini disebut zawi al-arham. Waris bisa timbul karena
hubungan darah, karena hubungan perkawinan, dank arena akibat memerdekakan hamba.
Mawaris, artinga orang yang diwarisi harta peninggalan, yaitu orang yang meninggal dunia,
baik meninggal secara hakiki, secara, secara taqdiry(perkiraan), atau memiliki keputusan
hakim. Seperti orang yang hilang (al-maqfud) dan tidak diketahui kabar berita dan
domisilinya. Setelah melalui persaksiaan atau tenggang waktu tertentu hakim memutuskan
bahwa ia dinyatakan meninggal dunia.
Al-irs, artinya harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah diambil untuk
kepentingan pemeliharaan jenajah (tajhiz al-janajah), pelumasan hutang, serta pelaksaan
wasiat.
Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Ini berbeda dengan harta
pusaka yang dibeberapa daerah tertentu tidak dibagi, karena menjadi milik kolektif semua
ahli waris.
Tirkah, yaitu semua harta peninggalan orang yang meninggal duia sebelum diambil untuk
kepentingan pemeliharaan jenajah, pembayaran utang, dan pelaksaan wasiat.
3. Hukum Mempelajari Dan Mengerjakannya
Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara rinci agar tidak terjadi perselisihan
antara sesama ahli waris sepeninggal orang yang hartanya diwarisi. Agama islam
menghendaki prinsip adil dan keadilan adalah salah satu sendi pembinaan masyarakat dapat
2. ditegakkan. Ketentuan tersebut tidak dapat berjalan baik dan efektif tanpa ditunjang oleh
tenaga-tenaga ahli yang memahami dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dengan baik.
Para ulam berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqh mawaris adalah wajib
kifayah. Artinya kewajiban yang apabila telah ada sebagian orang yang memenuhinya, dapat
menggugurkan kewajiban semua orang. Tetapi apabila tidak ada seoarang yang menjalani
kewajiban itu, maka semua orang menanggung dosa.
Oleh karena itu, dilihat dari satu sisi, mempelajari dan mengajarkan ilmu mawaris dapat
berubah statusnya menjadi wajib ‘ain, terutama bagi orang-orang yang oleh masyarakat
dipandang sebagai pemimpin, terutama pemimpin keagamaan.
4. Syarat dan Pembagian Mawaris
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan. Sebagaian
mengikuti rukun, dan sebagian berdiri sendiri. Rukun pembagian warisan ada 3, yaitu:
a) Al-mawaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalan atau orng yang
mewarisi meninggal secara hakiki, secara yuridis (hukumy) atau secara taqdiry berdasarkan
perkiraan.
Mati hakiki artinya tanpa melalui pembuktian dapat diketahui dan dinyatakan bahwa seorang
telah meninggal dunia.
Mati hukmy adalah seorang yang secara yuridis melalui keputusan kahim dinyatakan telah
meninggal dunia. Ini biasa terjadi seperti dalam seorang yang telah dinyaatakan hilang
(maqfud) tanpa dikatahui dimana dan bagaimana keadaanya. Malalui keputusan hakim,
setelah melalui upaya-upaya tertentu, ia dinyatakan meninggal. Sebagai keputusa hakim
mempunyai kekuasaan hokum yang mengikat.
Mati taqdiry yaitu anggapan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya karena ia
ikut ke medan perang, atau tujuan lain yang secara lahiriyah mengancam dirinya. Setelah
sekian tahun tidak diketahui kabar beritanya. Dan melahirkan dugaan kuat bahwa ia telah
meninggal, maka dapat dikatakan bahwa ia telah meninggal dunia.
b) Al-waris, atau waris. Ahli waris adalah orang yang dinyatakan bahwa mepunyai hubungan
kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan perkawinan, atau akibat memerdekakan
hamba sahaya. Syatanya, ahli waris pada saat meninggal al-muwaris dalam keadaan hidup.
Termasuk kedalam pengertian ini adalah bayi yang ada didalam kandungan (al-haml).
Meskipun masih berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup, malalui gerakan atau cara
lainnya, baginya berhak mendapat warisan. Untuk itu perlu diketahui batasan yang tegas
mengenai paling sedikit dan paling sedikit usia lama kandungan. Ini dimaksudkan untuk
mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan. Masalah ini akan dibahas tersendiri.
Ada syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu bahwa diantara al-muwaris tidak ada
halangan (mawani ‘al-irs) untuk mewarisi.
c) al-maurus al-miras yaitu peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah,
pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat. Persoalannya adalah bagaimana jika si mati
meninggalkan utang yang besarnya melebihi nilai harta peninggalnnya. Apakah ahli
warisannya bertanggung jawab melunasinya sebesar hak-hak warisnya secara proposinal.
5. Halangan Menerima Warisan
Halangan untuk menerima warisan atau disebut mawani ‘al-irs adalah hal-hal yang
menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dan harta peninggalan al-
muwarris. Adapun hal-hal yang menghalangi tersebut yaitu sebagai berikut:
Pembunuhan (Pembunuh) : Orang yang membunuh ahli warisnya, tidak berhak menerima
pusaka dari yang dibunuhnya. SabdaRasulullahSAW :
3. Dari ‘Umar bin Syu’aib dari ayahnya dari datuknya berkata :Rasulullah SAW. bersabda :
“Bagiseorangpembunuhtidakadawarisansesuatuapapun”. (H.R. Nasa’I Daruquthni dan
dikuatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barri).
Berlainan agama : Orang Islam tidak dapat pusaka dari orang yang tidak beragama Islam,
demikian sebaliknya. Sabda Nabi SAW : “Dari Usamah bin Zaidra, bahwasanya Nabi SAW
bersabda : “Tidaklah orang Islam mewarisi orang kafir dan tidaklah orang kafir mewarisi
orang Islam”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Perbudakan: Orang yang jadi budak tidak mendapat pusaka dari orang yang mereka.
Berlainan Negara.
6. Sebab-Sebab Menerima Warisan
Dalam hukum islam, sebab-sebab menerima warisan ada 3 yaitu:
a. Hubungan kekerabatan (al-qarabah)
Dalam ketentuan hukum jahiliyah, kekerabatan yang menjadi sebab mewarisis adalah
terbatas pada anak laki-laki yang telah dewasa. Islam datang memperbaharui dan
merevisinya. Laki-laki dan perempuan, termasuk didalamnya ana-anak, bahkan bay yang
masih dalam kandungan diberikan untuk mewarisi, sepanjang hubungan kekerabatannya
membolehkan. Artinya, ada etentuan bahwa kerabat yang dekat hubungannya, dapat
menghalangi kerabat yang jauh. Adakalanya menghalangi (meng-hijab) sama sekali, atau
hanya sekedar mengurangi bagian si terhijab. Yang pertama, seharusnya ahli waris bisa
menerima bagian karena ada hajib (ahli waris yang menghalangi) berakibat tertutup sama
sekali hak warisnya. Yang kedua, seperti suami, sedianya menerima bagian ½, tetapi karena
ada anak atau cucu, berkurang bagiannya menjadi ¼.
b. Hubungan Perkawinan (al-musabarah)
Perkawina yang sah, menyebabkan adanya hubungan hukum saling mewarisi antara
suami dan istri. Yaitu perkawinan, yang sarat dan rukunnya terpenuhi, baik secara agama
maupun administrative. Tentang syarat administrative ini masih terdapat perbedaan pendapat.
Ada yang menyebutnya sebagai syarat yang apabila tidak dienuh berakibat tidak sah
perkawinannya. Hukum perkawinan di Indonesia, memeberi kelonggaran dalam hal ini. Yang
menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan bukan administrasi, tetapi ketentuan agama.
Termasuk didaalam status perkawinan adalah istri-istri yang di cerai raj’I yaitu cerai
yang mana suami lebih berhak merujuknya, yaitu cerai pertama dan kedua selama dalam
masa tunggu (‘iddah).
c. Hubungan karena Sebab Al-Wala’
Al-wala’ yaitu hubngan kewarisan akibat seseorang memerdekakan hamba sahaya,
atau melalui perjanjian tolong menolong. Untuk yang terakhir, agaknya jarang dilakukan jika
malah tidak ada sama sekali. Adapun al-wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong
menolong dengan yanglain melalui suatu perjanjian perwalian.
Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya adalah 1/6 dari harta
peninggalan. Jika kemudian ada pertanyaan apakah sekarang masih ada hamba sahaya,
jawabnya adalah bahwa hapusnya perbudakan merupakan salah satu kberhasilan misi I.
karena memang imbalan warisan kepada al-mut’iq dan al-mut’iqah salah satu tujuannnya
adalah merangsang siapa saja mampu agar memerdekakan hamba sahaya.
7. Ahli Waris dan Macam-Macamnya
Kata ahli waris yang secara bahasa berarrti keluarga, tidak otomatis ia dapat mewarisi
harta peninggalan saudaranya yang meninggal dunia. Ada dua macam ahli waris yaitu:
Ahli waris Nasabiyah, karena hubungan darah.
4. Ahli waris sababiyah, timbul karena:
Perkawinan yang sah (al-musaharah)
Memerdekakan hamba sahaya (al-wala’) atau karena perjanjian tolong menolong.
Apabila dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima, dapat dibedakan kepada:
Ahli Waris ashab al-furud, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang telah ditentukan
besar kecilnya, seperti 1/2, 1/3 dan 1/6.
Ahli Waris ‘asabah, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa setelah harta dibagikan
kepada ahli waris ashab al-furud.
Ahli Waris zawi al-arbam, yaitu ahli waris karena hubungan darah, tetapi menurut ketentuan
Al-Qur’an tidak berhak mendapat warisan.
Apabila dilihat dari hubungan kekerabatan (jauh-dekat) nya sehingga yang dekat lebih
berhak menerima warisan dari pada yang jauh dapat dibedakan:
Ahli waris hijab, yaitu ahli waris yang dekat yang dapat menghalangi yang jauh, atau karena
garis keturunannya menyebabkannya menghalangi orang lain.
Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang terhalang oleh ahli waris yang dekat hubungan
kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan, jika yang menghalanginya tidak ada.
Jumlah keseluruhan ahli waris yang secara hukum berhak menerima warisan, baik ahli waris
nasabiyah atau sababiyah, ada 17 orang yang terdiri dri 10 orang lai-laki dan 7 orang
perempuan. Apabila dirinci seluruhnya ada 25 orang, 15 orang laki-laki dan 10 orang
perempuan. Agar lebih mudah dipahami, uraian selanjutnya digunakan jumlah ahli waris 25
orang.
a. Ahli waris nasabiyah
Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang pertalian kekerabatannya kepada
muwarris berdasarkan hubungan darah. Ahli waris nasabiyah ini terdiri dari 13 orang laki-
laki dan 8 orang perempuan, sehingga jumlah seluruhnya menjadi 21 orang.
Ahli waris laki-laki, berdasarkan urutan kelompoknya sebagai berikut:
Anak laki-laki (al-ibn)
Cucu laki-laki garis laki-laki (ibn al-ibn) dan seterusnya kebawah.
Bapak (al-ab)
Kakek dari bapak (al-jadd min jihad al-ab)
Saudara laki-laki sekandung (al-akh al-syaqiq)
Saudara laki-laki seayah (al-akh li al-ab)
Saudara laki-laki seibu (al-akh li al-umm)
Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung (ibn al-akh al-syaqiq)
Anak laki-laki saudara laki-laki seayah (ibn al-akh li al-ab)
Paman, saudara bapak sekandung (al-‘amm al-syaqiq)
Paman seayah (al-‘amm li al-ab)
Anak laki-laki paman sekandung (ibn al-‘amm al-syaqiq)
Anak laki-laki paman seayah (abn al-‘amm li al-ab)
Adapun ahli waris perempuan semuanya 8 orang, yang rinciannya sebagai berikut:
Anak perempuan (al-bint)
Cucu perempuan garis laki-laki (bint al-ibn)
Ibu (al-‘umm)
Nenek garis bapak (al-jaddidah min jihad al-ab)
Nenek garis ibu (al-jaddidah min jihad al-‘umm)
Saudara perempuan sekandung (al-ukht al-syaqiqah)
Saudara perempuan saeayah (al-ukht li al-ab)
Saudara perempuan seibu (al-ukht li al-‘umm)
5. b. Ahli waris sababiyah
Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang hubungan pewarisannya timbul sebab-
sebab tertentu yaitu:
Sebab perkawinan yaitu suami dan isteri
Sebab memerdekakan hamba sahaya
Sebagai ahli waris sababiyah, mereka dapat menerim warisan apabila perkawinan
suami dan isteribtersebut sah. Begitu juga dengan hubungan yang timbul sebab
memerdekakan hamba sahaya, hendaknya dapat dibuktikan menurut hukum yang berlaku.
8. Ahli Waris Ashab Al-furud dan Hak-Haknya
Pada penjelasan dibawah ini tidak dapat di pisahkan lagi antara ahli waris nasabiyah
dan sababiyah. Pertimbangan mereka sama-sama sebagai ashab al-furud.
Pada umunya ahli waris ashab al-furud adalah perempuan, sementara ahli waris laki-
laki yang menerima bagian tertentu adalah bapak atau kakek, dan suami. Selain itu, menerima
bagian sisa (‘asabah). Adapun hak-hak yang menerima ahli waris asbab al-furud adalah:
Anak perempuan, berhak menerima bagian:
½ jika sendirian tidak bersama anak laki-laki
2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama anak laki-laki
Cucu perempuan garis laki-laki, berhak menerima bagian:
½ jika sendirian, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak mahjub (tehalang)
2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak mahjub.
1/6 sebagai pelengkap 2/3 jika bersama anak perempuan, tidak ada cucu laki-laki dan tidak
mahjub. Jika anak perempuan dua orang atau lebih ia tidak mendapat bagian.
Ibu berhak menerima bagian:
1/3 jika tidak ada anak atau cucu (far’u waris) atau saudara dua orang atau lebih
1/6 jika ada far’u waris atau bersama dua orang saudara atau lebih
1/3 x sisa, dalam masalah garrawin yaitu apabila ahli waris terdiri dari: suami atau isteri serta
ibu atau bapak.
Bapak berhak menerima bagian:
1/6 jika anak laki-laki atau cucu perempuan garis laki-laki
Jika bapak bersama ibu:
Masing-masing 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih.
1/3 untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu atau saudara dua orang atau
lebih.
Ibu menerima 1/3 sisa, bapak sisanya setelah diambil untuk suami dan isteri.
Nenek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
1/6 jika seorang
1/6 di bagi rata, apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya
Kakek, jika tidak mahjub, berhak menerima bagian:
1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki
1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan tanpa ada anak laki-laki.
1/6 atau musaqamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, setelah diambil untuk
ahli waris lain.
1/3 ztzu musaqamah muqasamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada ahli
waris lain.
Saudara perempuan sekandung, jika tidak mahjub, berhak mnerima bagian:
½ jika seorang, dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung
2/3 dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung
Saudara perempuan seayah, jika tidak mahjub, berhak menerima bagian:
6. ½ seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki seayah
2/3 dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah
1/6 jika bersama dengan saudara perempuan sekandung seorang, sebagai pelengkap 2/3
Saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan kedudukannya sama, apabila tidak mahjub,
saudara seibu berhak menerima bagian:
1/6 jika seorang diri
2/3 dua orang atau lebih
Bergabung menerima 1/3 dengan saudara sekandung, ketika bersama-sama dengan ahli waris
suami dan ibu (musyarakah)
Suami, berhak menerima bagian:
½ jika tidak mempunyai anak atau cucu
¼ jika bersama dengan anak atau cucu
Isteri, berhak menerima bagian:
¼ jika tidak mempunyai anak atau cucu
1/8 jika bersama anak atau cucu
9. Ahli Waris ‘Asabah dan Macam-Macamnya
‘Asabah adalah bagian sisa setelah diambil oleh ahli waris ashab al-furud. Sebagai
penerima bagian sisa, ahli waris ‘asabah, terkadang menerima bagian banyak (seluruh harta
warisan), terkadang menerima sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali,
karena habis diambil alih oleh ahli waris ashab al-furud.
Didalam pembagian sisa harta warisan, ahli aris yang terdekatlah yang lebih dulu
menerimanya. Konsekuensi cara pembagian ini, maka ahli waris ‘asabah yang peringkat
kekerabatannya berada dibawahnya tidak mendapatkan bagian. Dasar pembagian ini adalah
perintah Rasulullah SAW yang artinya “Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada ahli waris
yang berhak, kemudian sisanya untuk ahli waris laki-laki yang utama” (Mutafaq ‘alaih).
Adapun macam-macam ahli waris ‘asabah ada tiga macam yaitu:
1) Asabah bi nafsih, yaitu ahli waris yang karena kedudukannya dirinya sendiri berhak
menerima bagian asabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah
(perempuan yang memerdekakan hamba sahaya), yaitu:
Anak laki-laki
Cucu laki-laki dari garis laki-laki
Bapak
Kakek (dari garis bapak)
Saudara laki-laki sekandung
Saudara laki-laki seayah
Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
Paman sekandung
Paman seayah
2) Asabah bil al-gair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan
ahli waris lain yang telah meneriam bagian sisa. Apabila ahli waris penerima sisa tidak ada,
maka ia tetap menerima bagian tertentu (tidak menerima ‘asabah). Ahli waris asabah bil al-
gair tersebut itu adalah:
Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki
Cucu perempuan garis laki-laki, bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki
Saudara permpuan sekandung bersama dengan saudara laki-laki garis laki-laki
Saudara perempuan sekandung bersama dengan saudara laki-laki seayah
7. Ketentuan yang berlaku, apabila mereka bergabung menerima bagian ‘asabah, ahli
waris laki-laki menerima bagian dua kali perempuan. Dasarnya firman Allah SWT yang
artinya:”Allah telah menetapkan bagian warisan anak-anakmu untuk seorang anak laki-laki
sama dengan dua orang anak perempuan…”(Q.S. An-Nisa’:11).
3) Asabah ma al-gair, ialah ahli waris yang meneriam bagian asabah karena bersama ahli waris
lain yang bukan menerima bagian asabah. Apabila ahli waris lai tidak ada, maka ia menerima
bagian tertentu. Asabah ma al-gair ini diterima ahli waris:
Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih), atau bersama dengan anak perempuan
(seorabg auat lebih). Misalnya seorang meniggal ahli warisnya tersendiri dari seorang anak
perempuan, saudara perempuan sekandung dan ibu. Maka bagian:
Anak perempuan ½
Saudara perempuan sekandung ‘asabah
Ibu 1/6
Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau cucu perempuan
(seorang atau lebih). Misalnya, seorang meniggal ahli warisnya terdiri dari: anak perempuan,
seorang cucu perempuan garis laki-laki, dan dua orang saudara perempuan seayah. Maka
bagian masing-masing adalah:
Anak perempuan ½
Cucu perempuan garis laki-laki 1/6
2 saudara perempuan ‘asabah
10. Ahli Waris Zawu Al-arham
Dalam pengertian umum istilah zawu al-arham mengandung maksud semua ahli waris
yang mempunyai hubungan darah dengan si mati.
Didalam pembahsan fiqh mawaris, termasuk zawu al-arham di gunakan untuk
menunjuk ahli waris yang tidak termasuk ke dalam ahli waris ashab al-furud dan asahab al-
asabah. Oleh karena itu menurut ketentuan al-qur’an, mereka tidak berhak menerima warisan
sepanjang ada ahli waris asahab al-furud dan asahab al-asabah ada.
Menurut penelitian imam ibn rusyd, ahli waris yang termasuk zawu al-arham adalah:
Cucu (laki-laki atau perempuan) dari garis perempuan.
Anak perempuan dan cucu perempuan saudara laki-laki (bint al-akh).
Anak perempuan dan cucu perempuan saudara-saudara perempuan (bint al-ukh).
Anak perempuan dan cucu perempuan paman (bint al-amm).
Paman seibu (al-amm li al-ammah).
Anak dan cucu saudara laki-laki seibu (aulad al-akh li al-umm).
Saudara perempuan bapak (al-ammah).
Saudara-saudara ibu (al-khal dan al-khalah).
Kakek dari pihak ibu (al-jadd min jihad al-umm).
Nenek dari pihak kakek (al-jaddah min jihad al-jadd).
Para ulama berbeda pendapat apakah dapat meneriam warisan atau tidak. Jika tidak,
kepada siapa harta di serahkan, sementara tidak ahli waris yang mewarisinya.
Imam malik, Syafi’I, Zaid bin sabit dan mayoritas ulama amsar berpendapat bahwa
waris Zawu al-arham tidak dapat menerima warisan. Dari kalangan sahabat dan Tabi’in, yang
berpendapat demikian adalah Ibn Abbas, Sa’id ibn al-Musayyab, Sa’ad ibn Jubair, Sufyan al-
Sauri, Al-auza’I dan di ikuti Ibn Hazm. Harta peninggalan si mati di serahkan ke bait al-mal.
8. 11. Metode Pembagian Harta Warisan
Di dalam praktik pelaksanaan pembagian harta warisan sering di jumpai kasus
kelebihan atau kekurangan harta, apabila di selesaikan menurut ketentuan furud al-
muqadarrah. Kelebihan harta terjadi apabila ahli warisnya sedikit dan tidak ada ahli waris
yang penerima ‘asabah. Sementara kekurangan harta, karena banyaknya ahli waris yang
menerima bagian. Hal ini tetentunya akan menimbulkan persoalan di dalam penyelesaiannya.
Untuk itu di perlukan metode perhitungan yang tepat.
1) Metode ushul al-masail dan cara penggunaanya
Langkah pertama sebelum menetapkan ushul al-masail atau dalam bentuk tunggal dan
lebih mudah asal masalah adalah menyeleksi:
Siapa ahli waris yang termasuk zawi al-arham
Siapa ahli waris yang asahab al-furud
Siapa ahli waris penerima asabah
Siapa ahli waris yang mahjub
Menetapkan bagian-bagian tertentu yang diterima oleh masing-masing asahab al-furud
Untuk kepentingan tersebut, seorang perlu mengetahui secara persis secara
menyeluruh , ahli waris, furud al-muqadarrah, asahab al-furud, bagian asabah, hijab-manjub
dan syarat seorang dapat menerima.
Dalam menetapkan ashal masalah setelah di ketahui bagian masing-masing ahli waris,
adalah mencari angka (kelipatan persekutuan) terkecil yang dapat di bagi oleh masing-masing
angka penyebut dari bagian ahli waris. Misalnya ahli waris ½ dan 1/3. Angka asal
masalahnya 6. Angka ini dapat di bag 2 dan dapat di bagi 3.
Apabila bagian yang mereka terima ½, 2/3 dan 1/6 , maka angka masalnya 12. Angka
12 dapat di bagi 4, 3, dan 6, tanpa menimbulkan pecahan. Begitu pula bagian yang mereka
terima 1/8 dan 2/3, maka angka yang asal masahnya 24. Karena angka 24 adalah angka
terkecil yang dapat di bagi 8 dan 3.
Maksud pengambilan angka terkecil sebagai angka asal masalah sudah barabg tentu
untuk memudahkan perhitungan. Sebab bisa juga di gunakan angka yang lebih besar, yang
dapat di bagi oleh masing-masing penyebut tetapt cara seperti ini tidak efektif. Kemudahan
lain dalam perumusan angka asal masalah adalah cepat mengetahui apakah akan terjadi
kelebihan atau kekurangan harta (radd atau aul). Dengan demikian tidak tidak perlu harus
bertele-tele menghitung harta warisan, sementara belum diketahui adanya kekurangan atau
kelebihan.
2) Metode tashih al-masail dan penggunaannya.
Tasih al-masail adalah mencari angka asal masalah yang terkecil agar dapat di
hasilkan bagian yang di terima ahli waris tidak berupa angka pecahan. Metode tashih al-
masail ini hanya di pergunakan apabila bagian yang diterima ahli waris berupa angka
pecahan. Dan oleh karena itu, langkah ini hanya semata-mata untuk memudahkan
perhitungan dalam pembagian warisan. Persoalanya adalah, bagaimana penggunaan mesin
hitung (kalkulator) yang lebi cepat dancermat ? apakah metode ini perlu di gunakan ?
jawabnya, tentu saja penguunaanya alat hitung sangat membantu. Yang terpnting dalam
pembagian warisan adalah mementukan bagian-bagian tertentu yang diterima ole ahli waris.
Untuk ini metode tashih al-masail akan dikemukakan secukupnya.
9. Langkah-langkah yang perlu diambil dalam tashih al-masail adalah memperhatikan:
Pecahan pada angka bagian yang di terima oleh ahli waris (yang terdapat dalam satu
kelompok ahli waris).
Pecahan pada angka bagian yang di terima oleh ahli waris, terdapat pada lebih dari satu
kelompok ahli waris.
Selanjutnya untuk mendapatkan angka tashih al-masailnya ditempuh:
Mengetahui jumlah peresen (kepala) penerima warisan dalam satu kelompok ahli waris.
Mengetahui bagian yang kelompok tersebut.
Mengalikan jumlah persen bagian yang di terima kelompoknya.