Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas kritik terhadap privatisasi BUMN Indosat dan Freeport di Indonesia dan dampaknya bagi kesejahteraan rakyat.
2. Dokumen tersebut juga membahas solusi untuk memaksimalkan sumber daya alam Indonesia untuk kesejahteraan rakyat.
3. Dokumen tersebut menganalisis dampak privatisasi Indosat dan Freeport serta pandangan terhadap kontrak karya masing-masing
1. Judul : Kritik terhadap kasus Privatisasi Indosat dan
Freeport dan solusinya sehingga sumberdaya yang di
miliki Indonesia sebesar-besarnya untuk
kesejahteraan rakyatnya
Tugas : Forum 6 BE dan GG
Nama Mahasiswa : Purwono Sutoyo
NIM : 55117110006
Dosen Pengampu : Prof. DR. Ir. H. Hapzi Ali, Pre-MSc, MM, CMA
Perusahaan atau industri strategis di Indonesia yang menyangkut
hajat hidup orang banyak sebaiknya di kelola oleh anak bangsa sendiri. Hal
ini berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 ayat (1), maka sistem ekonomi yang
dianut Indonesia adalah sistem ekonomi yang berdasar atas asas
kekeluargaan. Konsep sistem ekonomi yang demikian di Indonesia disebut
sebagai konsep Demokrasi Ekonomi. Mubyarto menyebutkan bahwa dalam
konsep demokrasi ekonomi, sistem ekonomi tidak diatur oleh negara melalui
perencanaan sentral (sosialisme), akan tetapi dilaksanakan oleh, dari, dan
untuk rakyat. Demokrasi ekonomi mengutamakan terwujudnya kemakmuran
masyarakat (bersama) bukan kemakmuran individu-individu. Demokrasi
ekonomi mengartikan masyarakat harus ikut dalam seluruh proses produksi
dan turut menikmati hasil-hasil produksi yang dijalankan di Indonesia.
Pemanfaatan sumberdaya alam haruslah tetap berpijak pada kaidah-
kaidah pembangunan yang bertumpu pada masyarakat. Hal ini akan
tercermin dalam implementasi good governance (tata kelola pemerintahan
yang baik). Dalam pengelolaan sumber daya alam pemerintah pusat dan
daerah mempunyai kewenangan penuh, sehingga untuk kedepannya harus
berhati-hati dalam menentukan kerjasama dengan investor asing. Sumber
daya alam yang ada di Indonesia harus berpihak kepada kemakmuran
masyarakat dan kesejahteraan masyarak, peningkatan ekonomi
masyarakat, serta kesejahteraan masyarakat Indonesia sendiri.
2. Pandangan terhadap kasus Indosat (Privatisasi PT Indosat):
Adanya kabar tersiar bahwa, PT Indosat Tbk. telah dijual oleh Asia
Mobile Holding Pte.Ltd kepada Qatar Telecom pada 2008 lalu sehingga sejak
2015 berganti nama menjadi Indosat Ooredoo. Asia Mobile merupakan anak
perusahaan Temasek Holding. Perusahaan itu merupakan kongsi yang
didirikan oleh Qatar Telecom dan Singapore Technologies Telemedia dan
mayoritas saham kepemilikannya (75 persen) dimiliki Singapore
Technologies Telemedia (STT). Dengan pembelian seluruh saham Asia
Mobile oleh Qatar Telecom (40,8 persen), maka Temasek Holding tidak
memiliki keterlibatan di Indosat. Dari akuisisi itu, Asia Mobil menangguk
untung hingga Rp 16 triliun lebih.
Penjualan Indosat oleh Temasek kepada Qatar Telecom tentu tak bisa
disalahkan. Bisnis adalah bisnis. Siapa yang pintar berdagang tentu dia yang
akan meraih untung, dan Temasek dalam kasus penjualan Indosat adalah
pedagang yang bukan saja beruntung, melainkan juga pedagang yang
pintar. Mereka sejak awal sudah paham, bisnis telekomunikasi adalah bisnis
masa depan, yang tak akan segera padam bahkan bisa bertahan lama. Maka
ketika Pemerintah Republik Indonesia di zaman Presiden Megawati melalui
Menteri BUMN Laksamana Sukardi menjual Indosat dengan alasan
penyehatan, Temasek menyambar kesempatan itu tanpa syarat. Sejak itu,
separuh kepemilikan Indosat dikantongi oleh Temasek. Sebelumnya
Temasek juga sudah membeli saham PT Telkomsel Tbk.
Bagi para pembeli asing termasuk Temasek, Indosat adalah ibarat
angsa yang dipastikan akan menghasilkan telur. Pada saat dibeli oleh
Temasek, jumlah pelanggan seluler Indosat masih sekitar 3,5 juta namun
hingga dijual kepada Qatar telecom, pelanggan Indosat sudah mencapai
16,7 juta pelanggan atau nyaris tujuh kali lipat jumlah penduduk Singapura.
3. Dari sisi laba, Indosat terus meraup angka paling sedikit 25 persen
dari nilai investasi awal Temasek sebesar Rp 5 triliun, atau sekitar Rp 1,25
triliun. Hingga akhir 2006, BUMN Singapura itu mampu meraup pendapatan
usaha Rp 12,3 triliun. Sebanyak 75,4 persen dari pendapatan itu
disumbangkan oleh bisnis selulernya dan itu disumbangkan oleh Indosat.
Maka bisa dibayangkan, berapa triliun rupiah yang dikeduk pemerintah
Singapura dari Indosat selama lima tahun terakhir?
Dengan terjadinya penjualan saham Indosat oleh Temasek kepada
Qatar Telecom, maka peluang pemerintah Republik Indonesia untuk kembali
mendapatkan Indosat akan semakin kecil kecuali ada upaya “keras” yang
sungguh-sungguh. Pemerintahan sebelumnya melalui Menteri Negara BUMN,
sudah menyatakan tidak akan atau tidak berminat membeli kembali saham
Indosat. Alasannya ada tiga, pertama tidak punya hak membeli, kedua tidak
punya uang, dan ketiga pemerintah takut dianggap melanggar ketentuan
persaingan usaha yang sehat.
Kejadian pada penjualan Indosat itu seharusnya menyadarkan
pemerintah yang sekarang, bahwa menjual BUMN strategis bukanlah
pekerjaan mendesak apalagi sebuah keharusan. Banyak pemerintah di dunia
ini memiliki BUMN yang strategis dan bagus karena memang ada kemauan
dari pemerintahannya untuk membuat bagus. Negara ini butuh BUMN yang
meminjam istilah Renald Kasali, bisa menjadi powerhouse, seperti halnya
setiap negara memilikinya. Bagi profesional yang bekerja BUMN, kasus
Indosat seharusnya juga menjadi cambuk, untuk antara lain mengelola
BUMN secara profesional, tidak bersedia diintervensi oleh pemerintah dan
parlemen, dan memangkas biaya ekonomi tinggi dan perilaku tidak efisien.
Hakikat atau makna privatisasi tersebut adalah mengurangi
keterlibatan atau intervensi pemerintah ke ekonomi secara langsung.
Pemerintah cukup melaksanakan tugas-tugas yang tidak dapat dilaksanakan
4. oleh pasar termasuk pertahanan dan keamanan serta redistribusi
pendapatan. Secara teori, privatisasi membantu terbentuknya pasar bebas,
mengembangnya kompetisi kapitalis, yang oleh para pendukungnya
dianggap akan memberikan harga yang lebih kompetitif kepada publik.
Sementara itu para kaum sosialis menganggap privatisasi sebagai hal yang
negatif, karena memberikan layanan penting untuk publik kepada sektor
privat akan menghilangkan kontrol publik dan mengakibatkan kualitas
layanan yang buruk, akibat penghematan-penghematan yang dilakukan oleh
perusahaan dalam mendapatkan profit.
Dalam keadaan yang ideal, negara hanya bertindak sebagai pengatur,
penata, penegak rule of law, dan penjamin rasa aman. Privatisasi
merupakan alat untuk merubah relasi antara pemerintah dan sektor privat.
Sebab proses privatisasi telah memproduksi kesempatan bagi sektor privat
untuk ikut berpartisipasi dalam memproduksi dan menyediakan kebutuhan
public service. Secara kelembagaan privatisasi merupakan tindakan
depolitisasi negara di ranah ekonomi dengan pelucutan sejumlah peran dan
otoritas negara dalam proses pemenuhan kebutuhan publik baik yang
berbentuk barang maupun jasa.
Kebijakan privatisasi BUMN saat ini memiliki dasar hukum yang kuat,
yaitu UU No 19/2003 tentang BUMN. Meski dalam beberapa hal materi UU
No 19/2003 perlu dikaji lagi, secara de jure, privatisasi BUMN adalah
kebijakan yang dilindungi UU sehingga kita tidak bisa lagi menyatakan tidak
pada kebijakan privatisasi BUMN, sepanjang telah sesuai dengan rambu-
rambu yang ditentukan UU No 19/2003. Ke depan rambu-rambu privatisasi
BUMN dalam UU No 19/2003 inilah yang perlu dikaji lagi.
Privatisasi BUMN kepada pihak asing ini dinilai “menggadaikan”
nasionalisme Indonesia. Selain itu, BUMN tidak lain adalah pihak yang
diberikan wewenang khusus untuk mengelola sumber daya vital yang
5. meemgang hajat hidup orang banyak. Menurut Pasal 33 UUD 1945, sumber
daya yang seperti demikian itu harus dikelola oleh negara. Dilihat dari sudut
pandang Pasal 33 UUD 1945, tampak bahwa sebenarnya privatisasi BUMN
kepada pihak asing agak kontradiktif dengan jiwa pasal ini. Pihak asing yang
bersangkutan jelas bertindak atas nama swasta yang tentu saja bertindak
dengan didorong oleh maksud dan motif hanya untuk mencari keuntungan
yang maksimal. Jika demikian yang terjadi, BUMN yang diprivatisasi kepada
pihak asing hanya akan menjadi keuntungan bagi pihak asing, sehingga
dapat dikatakan manfaatnya akan berpindah kepada pihak asing, bukannya
ke rakyat Indonesia.
BUMN merupakan tangan negara dalam bingkai sistim ekonomi
kerakyatan. Fungsi yang diemban oleh BUMN tidak sama dengan yang
dianut oleh perusahaan swasta. Fungsi BUMN adalah sebagai instrumen
penyeimbang bagi negara untuk menjamin bekerjanya mekanisme pasar
secara berkeadilan.
Guna mewujudkan kemandirian ekonomi bangsa sebaiknya
pemerintah melakukan program pemberdayaan ekonomi rakyat secara
maksimal dalam pengelolaan BUMN, hal ini disebabkan karena privatisasi
bukanlah solusi yang tepat dalam pembangunan ekonomi bangsa tetapi
merupakan ancaman dalam pembangunan perekonomian bangsa pada
tahun-tahun yang akan datang. Upaya ini sudah saatnya menjadi prioritas
dengan memanfaatkan berbagai kemampuan sumber daya dan peluang
yang dimiliki. Bergantung kepada bangsa asing hanya membuat bangsa ini
menjadi bangsa yang kerdil.
Pandangan terhadap kasus kepemilikan tambang PT Freeport
Freeport McMoRan Copper and Gold pada awalnya merupakan sebuah
perusahaan kecil yang berasal dari Amerika Serikat yang memiliki nama
6. Freeport Sulphur. Freeport McMoRan didirikan pada tahun 1981 melalui
merger antara Freeport Sulphur, yang mendirikan PT Freeport Indonesia dan
McMoRan Oil and Gas Company.
Aktivitas pertambangan Freeport di Papua yang dimulai sejak tahun
1967 hingga saat ini telah berlangsung selama 50 tahun. Dan selama itu
pula, kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua, telah mencetak
keuntungan finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing tersebut,
namun belum memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua dan
masyarakat lokal disekitar wilayah pertambangan.
Penandatanganan Kontrak Karya (KK) I pertambangan antara
pemerintah Indonesia dengan Freeport pada 1967, menjadi landasan bagi
perusahaan ini mulai melakukan aktivitas pertambangan. Tak hanya itu, KK
I ini juga menjadi dasar penyusunan UU Pertambangan No.11 Tahun 1967
yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan berselang setelah
penandatanganan KK I. Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan
terbuka di Etsberg, kawasan yang selesai ditambang pada tahun 1980-an
dan menyisakan lubang sedalam 360 meter.
Pada tahun 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya,
Grasberg, yang masih berlangsung hingga saat ini. Dari eksploitasi kedua
wilayah ini, sekitar 7.3 juta ton tembaga dan 724.7 juta ton emas telah
dikeruk. Pada Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter
2.4 kilometer pada daerah seluas 499 hektar dengan kedalaman 800 m2
.
Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini telah
menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal penerimaan negara
yang tidak optimal, peran negara/ BUMN dan BUMD untuk ikut mengelola
tambang yang sangat minim dan dampak lingkungan yang sangat signifikan,
berupa rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Ertsberg.
7. Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam seluas 166 km2
di
daerah aliran sungai Ajkwa.
PT Freeport Indonesia (PTFI) adalah sebuah badan hukum. Artinya
perusahaan dibentuk berdasarkan hukum tertentu dan disahkan dengan
hukum atau aturan legal. Oleh karena itu keberadaannya dijamin dan sah
menurut hukum. Sebagai badan hukum perusahaan mempunyai hak-hak
legal tertentu. Sejalan dengan itu, perusahaan juga mempunyai kewajiban
legal.
Sesuai dengan konsep tanggung jawab sosial perusahaan, PTFI harus
bertanggung jawab atas tindakan dan kegiatan bisnisnya yang mempunyai
pengaruh atas orang-orang tertentu, masyarakat, serta lingkungan di mana
PTFI beroperasi. Artinya PTFI diharapkan ikut menciptakan suatu
masyarakat yang baik dan sejahtera, bahkan diharapkan ikut melaksanakan
kegiatan tertentu yang tidak semata-mata didasarkan pada perhitungan
keuntungan langsung, melainkan demi kemajuan dan kesejahtreraan
masyarakat.
Laporan PTFI menunjukkan berbagai kebaikan perusahaan tersebut
bagi pemerintah dan masyarakat Papua. Tentunya perlu disampaikan
terimakasih bahwa berkat adanya PTFI, bumi Papua yang mengandung
bahan tambang yang begitu berlimpah dan bernilai tinggi dapat digali dan
ditambang. Disadari bahwa kemampuan teknologi bangsa Indonesia pada
saat PTFI memulai penambangan di Papua memang relatif belum maju.
Adanya Kontrak Karya (KK) menyebabkan kegiatan eksplorasi dapat segera
direalisasikan.
Penandatanganan Kontrak Karya (KK) kedua pada tahun 1991 telah
memunculkan berbagai kontroversi dan perlu direvisi karena pemerintah
belum mendapatkan manfaat yang maksimal dari proyek pertambangan
tembaga dan emas di Papua. Pembagian royalty antara PTFI dengan
pemerintah Indonesia harus dinegosiasi kembali. Usulan tersebut
8. mengemuka menyusul temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang
menyebutkan bahwa penyusunan KK PTFI berpotensi merugikan negara.
Mengacu pada prinsip-prinsip etika bisnis menurut Keraf (1998), maka
prinsip kejujuran, prinsip keadilan, dan prinsip saling menguntungkan
(mutual benefit principle) dari bisnis PTFI masih dipertanyakan
penerapannya. Hal ini didasari kenyataan adanya komentar dari berbagai
pihak terhadap pelaksanaan kegiatan penambangan PTFI.
Dalam tulisan yang dapat dibaca sebagai laporan PTFI, tidak diikutkan
laporan mengenai pelaksanaan pengelolaan lingkungan. Dari sisi lain,
selama ini lebih banyak terdengar komentar mengenai dampak kerusakan
lingkungan yang terjadi di bumi Papua akibat kegiatan penambangan yang
dilaksanakan. PTFI gagal menunjukkan tanggung jawabnya terhadap
pengelolaan lingkungan dan resolusi konflik dengan penduduk local. Sekitar
1.3 milyar ton limbah tailing dan 3,6 ton limbah baru dibuang begitu saja ke
lingkungan. Limbah tersebut telah mencemari Sungai Ajkwa dan
menyebabkan jebolnya Danau Wanagon hingga terkontaminasinya ratusan
ribu hektar daratan dan lautan Arafura. Hal-hal tersebut tentunya menyalahi
Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2002 tentang pencemaran
lingkungan hidup.
Jika memang PTFI berlaku secara lebih adil dan legawa, sebenarnya
perlu diperhitungkan imbangan antara total penerimaan (bagi perusahaan)
yang selama ini sudah diambil dari bumi Papua dengan “biaya-biaya” yang
harus ditanggung. Biaya-biaya di sini termasuk kerusakan lingkungan yang
telah terjadi, dan dampaknya terhadap masyarakat, kesenjangan sosial dan
perasaan ketidakadilan, rangkaian pelanggaran HAM kerusakan ekologi, dan
kerusakan sosial-budaya yang diderita masyarakat Papua sehubungan
adanya kegiatan pertambangan PTFI.
Tentunya diperlukan audit dari pihak lain yang independent dan
transparan sehingga dapat diketahui manfaat keberadaan PTFI bagi
9. masyarakat Papua. Jika dinilai masih terlalu kecil maka harus diminta revisi
bagi hasil, selain ganti rugi atas kerusakan lingkungan dan sosial budaya
yang diakibatkan PTFI sehingga dapat diperoleh masukan yang obyektif
untuk menilai. Jika kerusakan yang terjadi merupakan biaya (cost), maka
secara jujur harus diakui lebih besar penerimaan daripada biaya, atau lebih
besar biaya daripada penerimaan yang diperoleh? Jika berbagai kerusakan
lingkungan dan derita masyarakat yang terjadi jauh lebih besar daripada
penerimaan, maka sebenarnya keberadaan PTFI tidak menguntungkan bagi
masyarakat Indonesia.
Kualitas informasi laporan PTFI yang diberikan belum dapat
dikategorikan sebagai transparan. Padahal penyebaran informasi secara
transparan hanyalah suatu pra kondisi, belum merupakan kondisi yang
cukup (sufficient condition) untuk mencapai tujuan dilaksanakannya good
governance. Tujuan good governance adalah agar perusahaan berperforma
baik sehingga dapat meningkatkan kemakmuran pemegang saham dan
memberi manfaaat bagi pemangku kepentingan. Dari sisi pemangku
kepentingan, bagaimana tata kelola perusahaan sebagai cerminan tanggung
jawab sosial perusahaan bagi masyarakat sekitar? Laporan PTFI mengenai
Unsur-Unsur Pembangunan Berkelanjutan menunjukkan bahwa program
CSR PTFI telah dilakukan. Memperhatikan komentar pihak eksternal
perusahaan, diperoleh masukan bahwa sejauh ini tanggungjawab sosial PTFI
belum memadai, karena belum berhasil mempersempit kesenjangan dan
ketidakadilan sosial.
Dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan selama kegiatan
penambangan yang sudah berlangsung selama 50 tahun begitu besar,
sehingga muncul permintaan dari beberapa pihak agar usaha penambangan
ini ditutup. Artinya pengelolaan PTFI belum baik (good), karena banyaknya
komentar yang menunjukkan ketidakpuasan masyarakat.
10. Akar permasalahan ketidakpuasan masyarakat tersebut nampaknya
disebabkan karena PTFI kurang melaksanakan keterbukaan informasi
terhadap masyarakat. Dikarenakan informasi yang tidak terbuka tersebut,
timbul ketidakpercayaan. Ketidakpercayaan tersebut dapat mengakibatkan
gangguan bagi kegiatan bisnis perusahaan di masa yang akan datang.
Padahal PTFI telah diberi hak konsesi hingga tahun 2021. Suatu periode
waktu yang relatif masih panjang. Adapun data yang disajikan tidak
mengungkapkan secara jelas dan transparan mengenai kegiatan bisnis yang
sesungguhnya dari PTFI. Juga belum terungkap secara jelas manfaat PTFI
bagi bangsa Indonesia secara umum, dan bagi masyarakat Papua pada
khususnya.
CSR memang merupakan jawaban atas inisiatif bahwa bisnis tidak
hanya berjalan demi kepentingan pemegang saham (shareholders) saja,
namun juga untuk stakeholders yaitu pekerja, masyarakat, dan lingkungan.
Meskipun tujuan bisnis adalah mencari laba, namun perusahaan juga harus
bisa menyejahterakan orang (people) dan menjamin kelestarian lingkungan.
Jika PTFI terus melaksanakan CSR secara konsisten dan berkesinambungan,
maka hal tersebut menunjukkan perusahaan telah mengaplikasikan good
corporate governance (GCG) mematuhi regulasi dan etika, menjunjung
transparansi, dan memenuhi harapan stakeholders. Harapan stakeholder
nampaknya belum terpenuhi, sebagaimana masih terjadi berbagai
ketidakpuasan masyarakat dan unjuk rasa karyawan terhadap perusahaan.
Peran aktif pemerintah disini di perlukan secara kontinyu. Dilema
keberadaan perusahaan PTFI di Indonesia perlu dicarikan penyelesaian,
yang sudah dibayangkan tidak mudah. Pemerintah mesti mengefektifkan
kebijakan lingkungan. Masyarakat sekitar dan LSM diajak mengawasi
dampak beroperasinya PTFI terhadap lingkungan. Pemerintah juga perlu
meminta PTFI agar lebih transparan dalam mengelola lingkungan.
11. Memberikan informasi secara terbuka atau transparan belum merupakan
kondisi yang cukup untuk mencapai tujuan dilaksanakannya good corporate
governance. Pemberian informasi secara terbuka baru merupakan pra
kondisi. Tujuan good corporate governance adalah agar perusahaan
berfungsi dan berperforma baik, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran
masyarakat.
Pemerintah perlu melakukan titik temu dalam pengaturan lingkungan.
Regulasi yang terlalu ketat akan membuat perusahaan multi nasional tidak
nyaman, sehingga mereka meninggalkan atau tidak mau berinvestasi di
Indonesia. Di sisi lain, peraturan yang terlalu longgar akan menyediakan
kesempatan bagi perusahaan multinasional untuk melakukan kerusakan
lingkungan lebih parah.
Salah satu cara yang dapat ditempuh, Pemerintah perlu
mengefektifkan instrumen “pajak baru” untuk meminimalisasi kerusakan
lingkungan. Instrumen ini dimaksudkan untuk mendorong agar volume
sampah yang dihasilkan dan dibuang ke lingkungan sekitar dapat ditekan,
karena semakin besar volume sampah yang dihasilkan maka akan semakin
tinggi pajak yang harus dibayarkan.
Pada waktu yang akan datang, bukan tidak mungkin CSR menjadi
kewajiban baru standar bisnis yang harus dipenuhi, seperti halnya standar
ISO. Paradigma CSR perlu diubah, bukan sebagai konsekuensi (unintended
consequence) tapi menjadi tujuan. Jika hanya sebagai konsekuensi, CSR
akan dikalahkan tujuan utama perusahaan untuk memaksimalkan laba.
Sedangkan jika menjadi tujuan, CSR akan menjadi prioritas perusahaan
dalam menjalankan kegiatannya, tanpa melalaikan laba. CSR akan membuat
perusahaan ‘dicintai’ masyarakat karena perusahaan berbuat banyak bagi
mereka. Perusahaan yang dicintai masyarakat mempunyai prospek masa
depan yang baik, karena akan mendapat dukungan keberlanjutannya.
12. Pemikiran yang mendasari CSR yang sering dianggap sebagai inti dari
etika bisnis adalah bahwa perusahaan tidak hanya memiliki kewajiban
ekonomis dan legal, tapi juga kewajiban terhadap pihak lain. CSR
merupakan jawaban atas inisiatif bahwa bisnis tidak hanya berjalan demi
kepentingan pemegang saham (shareholders) saja, tapi juga untuk
stakeholders, yaitu pekerja, konsumen, pemerintah, masyarakat, dan
lingkungan.
Terimakasih.
Sumber pustaka:
http://bem.rema.upi.edu/privatisasi-bumn-untuk-kepentingan-siapa/
(3 oktober 2017, 08.34)
https://www.kompasiana.com/muhammadsolikin/pengelolaan-sumber-daya-
alam-yang-mensejahterakan-rakyat_54ffac73a33311bc4c510ce1
(3 oktober 2017, 08.40)
http://muhammadekoatmojo.blogspot.co.id/2014/11/negara-dan-
pengelolaan-sumber-daya-alam_68.html ( 3 oktober 2017, 08.43)
https://pojanwibawa.wordpress.com/tag/awal-mula-indosat-di-jual/
(4 oktober 2017,09.20)
https://joksur.wordpress.com/2010/05/28/dibalik-kebijakan-privatisasi-
bumn-sebuah-catatan-kritis/ (4 oktober 2017,09.25)
http://gerry-elektro.blogspot.co.id/2012/11/normal-0-false-false-false-en-
us-x-none.html (4 Oktober 2017, 08.15)
14. Judul : Jelaskan:
a. Pengertian Pemegang Saham
b. Hak dan kewajiban Pemegang Saham
c. Bagaimana Pemegang saham
mengendalikan Perusahaan
Tugas : Quiz 6 BE dan GG
Nama Mahasiswa : Purwono Sutoyo
NIM : 55117110006
Dosen Pengampu : Prof. DR. Ir. H. Hapzi Ali, Pre-MSc, MM, CMA
a. Pemegang saham (shareholder atau stockholder), adalah seseorang
atau badan hukum yang secara sah memiliki satu atau lebih saham pada
perusahaan. Para pemegang saham adalah pemilik dari perusahaan
tersebut. Perusahaan yang terdaftar dalam bursa efek berusaha untuk
meningkatkan harga sahamnya. Konsep pemegang saham adalah sebuah
teori bahwa perusahaan hanya memiliki tanggung jawab kepada para
pemegang sahamnya dan pemiliknya, dan seharusnya bekerja demi
keuntungan mereka
Pemegang saham diberikan hak khusus tergantung dari jenis saham,
termasuk hak untuk memberikan suara (biasanya satu suara per saham
yang dimiliki) dalam hal seperti pemilihan dewan direksi, hak untuk
pembagian dari pendapatan perusahaan, hak untuk membeli saham baru
yang dikeluarkan oleh perusahaan, dan hak terhadap aset perusahaan
pada saat likuidasi perusahaan. Namun, hak pemegang saham terhadap
aset perusahaan berada di bawah hak kreditor perusahaan. Ini berarti
bahwa pemegang saham (pesaham) biasanya tidak menerima apa pun
bila suatu perusahaan yang dilikuidasi setelah kebangkrutan (bila
perusahaan tersebut memiliki lebih untuk membayar kreditornya, maka
15. perusahaan tersebut tidak akan bangkrut), meskipun sebuah saham
dapat memiliki harga setelah kebangkrutan bila ada kemungkinan bahwa
hutang perusahaan akan direstrukturisasi.
b. 1. Hak Pemegang Saham yaitu:
1) Menghadiri dan mengeluarkan suara dalam Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) untuk memilih Direksi dan/ atau Komisaris.
2) Hak atas pembagian deviden dan sisa kekayaan hasil likuidasi,
pembagian deviden dapat berupa:
3) Cash Deviden: Deviden dalam bentuk tunai
4) Share Deviden: Deviden dalam bentuk saham
5) Hak kesempatan mendapatkan jatah prioritas untuk membeli Right
issue. Right issue adalah suatu proses pelepasan saham untuk kedua
kalinya or ketiga kalinya or seterusnya.
6) Hak mendapatkan kesempatan prioritas membeli Saham warrant.
Saham warrant ini bisa di claim sampai batas waktu 3 tahun lama nya,
saham ini sedikit berbeda.
7) Hak menjual kembali saham tersebut.
8) Hak-hak lainnya yang tercatat di Anggaran Dasar.
2. Kewajiban Pemegang Saham sebagai berikut:
1) Memberikan pengesahan dalam RUPS atas hal-hal berikut: Business
Plan, Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP), Rencana Kerja &
Anggaran Perusahaan (RKAP), Rencana Kerja Program Kemitraan,
serta Laporan Tahunan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku dan Anggaran Dasar Perusahaan
2) Melakukan pembinaan kepada perusahaan sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku berdasarkan, namun tidak terbatas
16. pada prinsip-prinsip GCG yaitu Transparency, Responsibility,
Accountability, Independency, Fairness (TARIF).
3) Membayar saham yang sudah di beli T+3 (3 hari setelah transaksi beli
saham).
4) Membayar bunga keterlambatan jika terlambat membayar di T+3,
bunga dihitung perhari.
5) Membayar fee saat bertransaksi beli dan close posisi
c. Pemegang saham dalam mengendalikan perusahaan merupakan
pihak yang berdasarkan pada kepemilikan sahamnya mampu mengambil
keputusan dalam suatu Rapat Umum pemegang Saham perseroan.
Termasuk di dalamnya mempunyai kemampuan, baik langsung maupun
tidak langsung untuk mengendalikan suatu perseroan dengan cara:
a) Menentukan diangkat dan di berhentikannya direksi atau komisaris;
atau
b) Melakukan perubahan anggaran dasar.
Jadi secara umum bahwa pengendali adalah pemegang saham yang
memiliki suara moyoritas. Terkait hal tersebut, maka di kenal dengan
adanya:
a) Suara mayoritas sederhana (simple majority), yang mewakili
mayoritas secara umum.
b) Suara mayoritas mutlak (absolute majority) yang mewakili
kepemilikan lebih dari 50% saham yang telah dikeluarkan secara sah
oleh perusahaan.
c) Suara mayoritas khusus (special majority), yang mewakili
kepemilikan sejumlah saham secara khusus.
Demikian penjelasannya.
17. Sumber pustaka:
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemegang_saham (3 Oktober 2017, 09.15)
http://belajarinvestasi.com/sekolah-saham/hak-dan-kewajiban-pemilik-
saham-2.html (3 Oktober 2017, 08.50)
http://www.hukumperseroanterbatas.com/direksi-
perusahaan/pengendalian-perseroan-terbatas/ (6 Oktober 2017, 10.05)
http://www.apb-group.com/hak-dan-kewajiban-pemegang-saham/ (6
Oktober 2017, 14.36)