1. Key Performance Indicators
80+ Rumus dan contoh kasus dari sebagian besar indikator
serta pemetaan penggunaannya dalam unit kerja
Rahmat Taufiq Sigit, SKom., MM
Copyright@ikhwanseadanya
2012
1
2. KPI (Key Performance Indicators)
KPI (Key Performance Indicator) sering disebut sebagai landasan untuk
menjaga agar perusahaan sesuai dengan tujuan dan visi misinya. Dalam bahasa
Indonesia KPI dikenal dengan target kinerja yang terbagi menjadi beberapa bagian
yaitu kinerja perusahaan, kinerja unit kerja maupun kinerja individu. Untuk lebih
jelasnya fungsi KPI dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambaran Perusahaan tanpa KPI yang Jelas dan Tepat Sasaran
Gambaran Perusahaan KPI yang Jelas dan Tepat Sasaran
Melihat definisi dan jenis dari KPI maka dapat dibayangkan bahwa penyusunan
sebuah KPI bukanlah hal yang mudah, KPI tidak bisa ditentukan hanya oleh bagian
tertentu saja tetapi KPI membutuhkan koordinasi antar unit kerja dalam penentuan
variabelnya sesuai dengan kesiapan/ada tidaknya data yang akan diolah menjadi
sebuah nilai variabel. Selain itu penentuan variabel KPI juga harus berdasar pada
visi misi perusahaan dalam jangka waktu tertentu. variabel KPI yang terbentuk harus
merupakan penjabaran/breakdown dari Visi dan Misi Perusahaan, sehingga
2
3. pemenuhan KPI sejalan dengan pemenuhan visi misi perusahaan. Gambaran
breakdown sebuah KPI seperti pada pada gambar dibawa ini :
Master Improvement Story oleh Prof Dr. Vincent Gaspersz CSSMBB
Dari setiap PPK (Program Peningkatan Kinerja) diatas ditentukan KPI unit kerja
untuk menilai keberhasilan dari setiap PPK.
Ada beberapa unsur yang harus dipenuhi dalam penentuan variabel KPI yang
dikenal dengan (SMART):
1. SCIENTIFIC
Seperti yang dijabarkan sebelumnya bahwa pemenuhan KPI sejalan dengan
tujuan-tujuan perusahaan, jadi memungkinkan bahwa KPI bersifat unit antara satu
perusahaan dengan perusahaan lainnya.
KPI yang menggambarkan secara langsung pemenuhan tujuan-tujuan
perusahaan disebut KPI organisasi. KPI organisasi kemudian di breakdown menjadi
KPI unit kerja dan KPI individu.dalam hal ini unit kerja yang bersangkutan.
3
4. 2. MEASUREABLE
Variabel KPI tidak dapat diukur secara objektif bila tidak memiliki value (Nilai)
satuan. misalnya jumlah komplain, jumlah produksi dalam unit, ton persentase dll.
selain itu variabel KPI juga harus menunjukkan indikasi tingkat keberhasilan, apakah
sangat bagus, bagus, kurang, atau tidak bagus.
Mengingat unsur ini sangatlah penting maka, dalam menentukan variabel KPI
diperlukan sistem monitoring dan pendukung untuk mendokumentasikan data
realisasi KPI. Hanya dengan dukungan skema monitoring inilah, pencapaian KPI
setiap bulan atau setiap triwulan bisa dikelola dan dikendalikan dengan optimal
3. ACHIEVEABLE
Variabel KPI harus bersifat achieveable (dapat dicapai) bagi setiap individu
dalam perusahaan untuk mengindikasikan efektifitasnya. KPI tidak perlu banyak,
realistis dan tidak terlalu rendah juga tidak terlalu tinggi .
Karena KPi yang terlalu rendah akan mengakibatkan kurangnya motivasi
dalam menggapainya, begitu pula KPI yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan
keputusasaan bagi individu-individu yang dinilai.
4
5. KPI sebaiknya diterapkan secara bertahap setiap tahunnya untuk menjaga
motivasi karyawan sebagai contoh untuk tahun 2008 Penigkatan penjualan 20% dan
untuk tahun 2009 sebesar 30%, asalkan masih bersifat achievable maka tidak ada
salahnya mempertimbangkan Inilah yang menjadi alas an utama mengapa seluruh
level dan unit kerja di dalam perusahaan perlu dilibatkan. dalam penyusunannya
Tanpa sistem monitoring yang baik, penilaian kinerja pada akhirnya bisa
berujung pada apa yang saya sebut permainan nilai KPI.ini rentan terjadi pada
bagian administrasi.
Harus diakui dimensi KPI untuk bagian administrasi biasanya bermuara pada
dua hal yakni : tingkat akurasi penyusunan laporan dan ketepatan waktu penyusunan
laporan. Tanpa sistem monitoring yang rapi, data pencapaian KPI untuk dua hal
diatas bisa diisi dengan sekenanya. Alhasil, yang sering terlihat data pencapaian KPI
mereka cenderung selalu “bagus” (misal tingkat akurasi selalu 100%, dan ketepatan
waktu selalu dinyatakan on time; padahal kriteria ketepatan waktu sendiri mereka
mungkin belum punya standarnya yang baku). Jika demikian yang terjadi dimana
skor KPI bagian-bagian support dan administrasi selalu cenderung tinggi.
4. RELIABLE
KPI harusnya Reliable (dapat diandalkan). Maksud dan unsur ini adalah KPI
dapat benar-benar esensial bagi perusahaan dalam mencapai tujuan-tujuannya. KPI
yang terbentuk diharapkan menggambarkan progress dari pencapaian tujuan
perusahaan, selain itu bagi karyawan, KPI dapat pula memberikan informasi tentang
apa saja yang harus dilakukan untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
5. TIME BOUND
Yang tidak kalah penting KPI harus memiliki Time Bound untuk menetapkan
perhitungan target waktu pencapaiannya. Satuan waktu yang digunakan bisa per
hari/jam.bulan ataupun tanggal. (misalnya deadline pembuatan laporan keuangan
harus dikumpulkan per tanggal 1 setiap bulannya).
Melihat uraian persyaratan persyaratan KPI diatas, untuk itu dalam
membangun sebuah sistem penilaian kinerja khususnya penilaian kinerja berbasis
balance scorecard dibutuhkan sebuah direcroty KPI agar dapat memberikan
memudahkan dalam penentuan varibel KPI yang akan dinilai.
5
7. 1. Net Profit
Keuntungan sangat penting untuk semua bisnis terlepas dari apakah mereka
berada di swasta atau sektor publik. Secara sederhana: sifat bisnis adalah
untuk menghasilkan barang atau jasa dan Perusahaan dapat menjual untuk
mendapatkan uang ataupun penghargaan lain serta meminimalisasi biaya
produksi barang/jasa
Indikator ini merupakan indicator yang paling sederhana karena perolehan
data untuk menghitung besarannya sangatlah mudah dan dapat di gunakan
kedalam setiap jenis perusahaan.
Net Profit = Pendapatan penjualan - Biaya total
Contoh :
PT. Ikhwanseadnya adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usahanya
melalui kegiatan jual beli Air Mineral isi ulang, Harga air mineral untuk setiap
galonnya adalah Rp. 4.000 dengan biaya produksi total Rp.3000 untuk
kategori Air Mineral biasa dan Rp.8.000 untuk Air Mineral Oxi dengan biaya
produksi total Rp. 5.500.
Berikut ini Data Penjualan dari PT. Ikhwanseadanya selama 1 bulan.
Jenis Produk Harga Pokok Penjualan Total Penjualan
Air Mineral Biasa 4.000 254 Galon 1.016.000
Air Mineral OXI 5.000 156 Galon 780.000
Total Penjualan 1.796.000
Berikut ini data biaya produksi dari PT. Ikhwanseadanya selama 1 bulan
Jenis Produk Biaya Produksi Penjualan Biaya Produksi
Air Mineral Biasa 3.000 254 Galon 762.000
Air Mineral OXI 5.500 156 Galon 8.58.000
Total By. Produksi 1.620.000
Net Profit = 1.796.000 – 1.620.000 = 176.000
Dari hasil perhitungan diatas, data diketahui bahwa PT. ikhwanseadanya
masih mendapatkan keuntungan dari kegiatan produksinya selama 1 bulan
sebesar 176.000,
7
8. 2. Net Profit margin
Net Profit margin adalah Rasio antara (EAT) laba setelah pajak dengan
penjualan, yang mengukur laba bersih (EAT) yang dihasilkan dari setiap
rupiah penjualan. Rasio ini juga dibandingkan dengan rata-rata industry
merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur laba bersih sesudah pajak
lalu dibandingkan dengan volume penjualan.
Rasio ini dapat dihitung dengan Rumus yaitu :
Net Profit Margin = Laba Setelah Pajak (EAT) / Penjualan.
NPM menunjukkan perbandingan antara laba bersih dengan penjualan
(Hanafi dan Halim, 2005). Rasio ini digunakan untuk menghitung sejauh
mana kemampuan bank yang bersangkutan dalam menghasilkan laba bersih
(net income) ditinjau dari sudut total penjualannya.
Selain itu, rasio NPM juga memiliki hubungan positif dengan laba bersih, di
mana semakin meningkat nilai rasio ini, semakin baik peningkatan perolehan
laba bersih suatu bank, demikian juga sebaliknya.
Perlu diingat bahwa NPM dihitung dengan cara membagi antara jumlah laba
bersih dengan total penjualan selama setahun. Total penjualan bagi
perusahaan manufaktur berupa produk barang dan bagi perusahaan jasa,
total penjualan berasal dari jenis jasa yang ditawarkan. Lain halnya dengan
jasa perbankan, di mana total enjualan berasal dari bunga pinjaman atas
kredit yang disalurkan ke masyarakat.
Dengan demikian, pendapatan utama/total penjualan sektor perbankan yang
dihitung dalam NPM dapat dikatakan berasal dari bunga pinjaman atas kredit
yang disalurkan selama satu periode/tahun penuh.
Contoh :
Laba/Rugi Sebelum Pajak = Rp. 100.800.000,00
Pajak Pendapatan = 25%
Penjualan = 412.500.000
Maka besarnya Net Income tahun 2003 = Rp. 100.800.000 x (100-25%) = Rp.
75.600.000,00
NPM = (75.000.000/412.500.000) x 100% = 18, 3%
8
9. 3. Gross Profit Margin
Gross Profit Margin adalah rasio antara penjualan dikurang dengan harga
pokok penjualan (laba kotor) dengan penjualan. Rasio ini mengukur laba
kotor yang dihasilkan dari setiap rupiah penjualan. Gross Profit Margin yang
rendah dari rata-rata industri menunjukkan bahwa harga jual perusahaan
relative lebih rendah atau harga pokok penjualan yang relative lebih tinggi
atau keduanya.
Gross Profit Margin = (Penjualan – Harga Pokok Penjualan) / Penjualan
Contoh:
Variabel L/R 2005 2006
Penjualan 5.950 5550
Harga Pokok Penjualan 4.050 3.850
Tahun 2005
GPM = (5.950-4.050)/5.950 = 0,319 = 32%
Tahun 2006
GPM = (5.550-3.850)/5.550 = 0,306 = 31%
Jika rata-rata industri untuk Gross Profit Margin adalah 30% margin laba
perusahaan tahun 2005 dan tahun 2006 baik karena berada di atas rata-rata
industri.
4. Operating Profit Margin
Operating Profit Margin adalah untuk mengukur kemampuan perusahaan
dalam menghasilkan keuntungan. Operating profit margin merupakan
perbandingan antara keuntungan operasi perusahaan dibandingkan dengan
penjualan perusahaan. Keuntungan operasi dihitung dari laba kotor
perusahaan dikurangi dengan biaya penjualan, biaya umum dan administrasi,
serta biaya-biaya lainnya.. Pada umumnya semakin tinggi rasio ini maka
semakin baik.
Operating Profit Margin = Laba Usaha / Operasi Penjualan Bersih
5. EBITDA (Earning Before Income Tax, Depreciation, dnd Amortization)
9
10. Rasio EBITDA umum digunakan (disamping rasio PER) untuk menilai valuasi
dari suatu perusahaan. Formula perhitungan adalah membagi Enterprise
Value dengan EBITDA. Investor sering menggunakan rasio EV atau EBITDA
karena pendapatan (kerugian) non operasional dan/atau luar biasa beserta
pendapatan (beban) bunga tidak diperhitungkan. Sehingga factor pembagi
dari rasio ini adalahmurni pendapatan dalam bentuk kas dari
operasiperusahaan pada tahun berjalan.
EBITDA = Laba Bersih + Bunga + Pajak + Penyusutan + Amortisasi
6. Revenue Growth Rate
Revenue Growth Rate merupakan indikator seberapa baik sebuah
perusahaan mampu meningkatkan pendapatan penjualannya selama periode
waktu tertentu. Sementara pendapatan adalah jumlah aktual, tingkat
pertumbuhan pendapatan hanya membandingkan angka penjualan saat ini
(total pendapatan) dengan periode sebelumnya (biasanya kuartal ke kuartal
atau tahun ke tahun).
Ini memberikan indikator yang memungkinkan perbandingan lebih mudah
antara perusahaan yang berbeda (terutama dalam industri yang sama atau
pasar) dan memberikan ukuran sejauh mana perusahaan mampu tumbuh.
Revenue Growth Rate = Pendapatan periode ini / pendapatan periode
sebelumnya
Contoh:
Variabel L/R 2009 2010
Pendapatan 200.000.000 290.000.000
Revelue Growth Rate 2010 = 290.000.000/200.000.00 = 1,45
Dari perhitungan diatas data diketahui bahwa pertumbuhan pendapatan
perusahaan pada tahun 2010 sebesar 1,45 dibandingkan dengan tahun
sebelumnya.
Semkin besar nilai pertumbuhan menunjukkan indikator pertumbuhan yang
semakin baik.
7. Total Shareholder Return (TSR)
10
11. Total Shareholder Return (TSR) adalah indikator untuk mengukur
pendapatan saham yang diperoleh pemegang saham dengan memperhatikan
pergerakan harga saham (saham atau perubahan harga net) ditambah
dividen yang dibayar selama suatu periode tertentu (biasanya satu tahun).
Menggunakan TSR sebagai ukuran kinerja memungkinkan investor untuk
membandingkan perusahaan-perusahaan di sektor yang sama. TSR hanya
relatif berarti bagi perusahaan lain karena akan berfluktuasi dengan pasar
saham.
TSR = (Hrg Saham Akhir Periode – Hrg Saham Awal Periode + Deviden)/ Hrg
Saham Awal Periode
8. Economic Value Added (EVA)
Alat ukur kinerja perusahaan yang dikembangkan oleh Stern Stewart & Co.
EVA.
EVA dihitung dengan rumus:
EVA = EBIT(1-T)-(total modal operasi) (estimasi biaya modal setelah pajak)
EVA > 0 (positif)
Hal ini menandakan bahwa NOPAT yang dihasilkan melebihi biaya modal.
Keadaan ini menunjukkan bahwa perusahaan telah berhasil menciptakan
nilai (Value Creation) bagi pemilik modal.
EVA < 0
Hal ini menandakan bahwa NOPAT yang dihasilkan dibawah biaya modal
atau kurang dari biaya modal. Keadaan ini menandakan bahwa nilai
perusahaan berkurang sebagai akibat dari NOPAT yang dihasilkan lebih
rendah daripada tingkat pengembalian yang dituntut oleh investor.
EVA = 0
Hal ini menandakan bahwa NOPAT yang dihasilkan sama dengan biaya
modal. Keadaan ini menunjukkan bahwa perusahaan dalam kondisi impas
karena seluruh laba digunakan untuk membayar kewajiban kepada
penyandang dana.
Dalam artian bahwa perusahaan tidak mampu menghasilkan tingkat
kembalian operasi yang melebihi biaya modal, dengan kata lain meskipun
perusahaan mampu menghasilkan laba bersih yang tinggi, akan tetapi
perusahaan sebenarnya mengalami penurunan/penghancuran nilai.
11
12. 9. Return On Investment (ROI)
Rasio antara laba setelah bunga dan pajak (EAIT) dengan total aktiva. Rasio
ini mengukur tingkat keuntungan yang dihasilkan dari investasi total. Rasio ini
menunjukkan hasil (return) atas jumah aktiva yang digunakan dalam
perusahaan. ROI juga merupakan suatu ukuran tentang efektifitas
manajemen dari keseluruhan operasi perusahaan. Semakin rendah ratio ini
maka akn semakin tidak baik, begitu pula sebaliknya.
Return On Investment = Laba Setelah Bunga dan Pajak (EAIT) / Total
Assets
Contoh:
Komponen Laporan Keuangan 2005 2006
Laba Setelah Bunga dan Pajak 1,296 904
Total Aktiva 4,200 4,000
Untuk tahun 2005:
ROI = 1,296/4,200 = 0,308 dibulatkan 31%
Untuk tahun 2006:
ROI = 904/4,000 = 0,226 dibulatkan 23%
Perhitungan ROI tahun 2005 menunjukkan bahwa tingkat pengembalian
investasi yang diperolehnya sebesar 31% dan turun ditahun 2006 sebesar
23%. Hal ini menunjukkan ketidak mampuan manajemen untuk memperoleh
ROI.
10. Return On Capital Employed (ROCE)
ROCE singkatan Return on Capital Employed dan merupakan ukuran dari
pengembalian perusahaan menghasilkan dari modal yang diinvestasikan
dalam bisnis. Ukuran dasarnya membandingkan laba dengan modal yang
digunakan untuk memberikan wawasan ke seberapa baik bisnis telah
menggunakan investasi modal untuk menghasilkan pendapatan.
ROCE menggunakan (akhir periode) melaporkan angka modal. Sebuah
variasi dari metrik ini adalah Return in Average Capital Employed (ROACE)
yang menggunakan rata-rata modal pembukaan dan penutupan untuk
periode.
12
13. ROCE = EBIT / Jumlah modal yang digunakan
11. Return On Assets (ROA)
Return On Asset (ROA) adalah salah satu bentuk dari rasio profitabilitas yang
dimaksudkan untuk mengukur kemampuan perusahaan atas keseluruhan
dana yang ditanamkan dalam aktivitas yang digunakan untuk aktivitas operasi
perusahaan dengan tujuan menghasilkan laba dengan memanfaatkan aktiva
yang dimilikinya. Return On Asset (ROA) merupakan rasio yang terpenting di
antara rasio profitabilitas yang ada (Ang, 1997). Return On Asset (ROA) atau
yang sering disebut juga Return On Investment (ROI) diperoleh dengan cara
membandingkan Net Income After Tax (NIAT) terhadap average total asset.
Secara matematis ROA dapat dirumuskan sebagai berikut:
ROA = N I A T
Average Total Asset
NIAT merupakan pendapatan bersih sesudah pajak. Average Total asset
merupakan rata-rata total assets awal tahun dan akhir tahun. Semakin besar
ROA atau ROI menunjukkan kinerja yang semakin baik, karena tingkat
pengembalian yang semakin besar (Ang, 1997 : 18.33).
Contoh:
Variabel L/R 2005 2006
Laba Bersih (L/R) 7.850 8.550
Total Asset (Laporan Keuangan) 4.040 6.850
untuk tahun 2005:
ROA = 7.850/4.040 = 1,94 = 19%
untuk tahun 2006
ROA = 8.550/6.850 = 1,24 = 124%
Perhitungan ROA tahun 2005 menunjukkan bahwa perolehnya sebesar 19%
dan turun ditahun 2006 sebesar 124%. Hal ini menunjukkan meningkatnya
kemampuan manajemen untuk memperoleh ROA.
12. Return On Equity (ROE)
13
14. Return On Equity (ROE) atau sering disebut juga dengan Return On Equity.
Dalam bahasa Indonesia, istilah ini sering juga diterjemahkan sebagai
rentabilitas modal sendiri (Hanafi dan Halim,2000: 179). ROE merupakan
rasio antara laba bersih setelah pajak terhadap penyertaan modal saham
sendiri yang berarti juga merupakan untuk menilai seberapa besar tingkat
pengembalian (prosentase) dari saham sendiri yang ditanamkan dalam bisnis
(Widiyanto, 1993:53). Rasio ini menunjukkan efisiensi penggunaan modal
sendiri.
cara menghitung ROE sebagai berikut:
ROE = EAIT (Earning After Interest and Tax)
Equity
Atau
ROE=ROA x (Total Aktiva/Ekuitas)
Contoh:
Komponen Laporan Keuangan 2005 2006
EAIT 1,296 904
Total Ekuitas (Equity) 2,250 2,100
Untuk tahun 2005:
ROE = 1,296/2,250 = 57,6 dibulatkan 58%
Untuk tahun 2006:
ROE = 904/2,100= 43%
Perhitungan ROI tahun 2005 menunjukkan bahwa tingkat pengembalian
investasi yang diperolehnya sebesar 58% dan turun ditahun 2006 sebesar
43%.
13. Debt-To-Equity (D/E) Ratio
Debt To Equity Rasio merupakan rasio yang digunakan untuk menilai utang
dengan ekuitas. Rasio ini dicari dengan cara membandingkan antara seluruh
utang, termasuk utang lancar dengan seluruh ekuitas. Rasio ini berguna
mengetahui setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan untuk jaminan utang.
14
15. Bagi bank (kreditor) semakin besar ratio ini akan semakin tidak
menguntungkan karena akan semakin besar resiko yang ditanggung atas
kegagalan yang mungkin terjadi pada perusahaan. Namun, bagi perusahaan
justru semakin besar ratio akan semakin baik. Karena semakin tinggi tingkat
pendanaan yang disediakan pemilik dan semakin basar batas pengamanan
bagi peminjan jika kerugian atau penyusutan terhadap nilai dari aktiva.
Debt to Equity Ratio untuk sebuah perusahaan tentu berbeda-beda,
tergantung karakteristik bisnis dan keberagaman arus kasnya. Perusahaan
yang arus kasnya stabil biasanya memiliki ratio yang lebih tinggi dari ratio kas
yang kurang stabil.
Rumus untuk Debt to Equity Ratio (D/E Ratio) adalah sebagai berikut:
Debt to Equity ratio = Total Utang (Debt) / Ekuitas (Equity).
Contoh :
Komponen Laporan Keuangan 2005 2006
Total Utang (Debt) 2,050 1,900
Total Ekuitas (Equity) 2,250 2,100
Untuk tahun 2005 :
Debt to Equity ratio = 2,050/2,250 = 0,911 atau 91%
Untuk tahun 2006 :
Debt to Equity ratio = 1,900/2,100 = 0,904 atau 90,4%
Ratio ini menunjukkan bahwa tahun 2005 kreditor menyediakan Rp. 91,00
untuk setiap Rp. 100,00 yang disediakan pemegang saham. Atau
perusahaan dibiayai oleh utang sebanyak 91%. Demikian pula untuk tahun
2006 tidak jauh berbeda dengan tahun 2005 yaitu 90,4% mendekati 91%.
14. Cash Conversion Cycle (CCC)
Cash Conversion Cycle (CCC) atau siklus konversi kas adalah waktu yang
dibutuhkan perusahaan mulai dari saat perusahaan mengeluarkan uang
untuk membeli bahan baku sampai dengan perusahaan mengumpulkan uang
dari penjualan barang/jasa. Secara teori, semakin pendek waktu yang
diperlukan, semakin baik bagi perusahaan. Sebaliknya semakin panjang
waktu yang diperlukan, semakin banyak modal yang harus ditanamkan.
Parameter-parameter yang dihitung di dalam siklus konversi kas adalah :
15
16. CCC = DSO + DSI – DPO
dimana :
DSO = Days of sales outstanding
DSO atau hari edar penjualan (Days Sales Outstanding) adalah sebuah
metoda pengukuran yang digunakan untuk mengetahui efisiensi pengelolaan
piutang suatu perusahaan atau bisa juga digunakan untuk mengetahui jumlah
rata-rata hari yang diperlukan pelanggan untuk melakukan pembayaran.
Dihitung dalam satuan hari, yang mencerminkan waktu yang dibutuhkan
untuk mendapatkan cash dari hasil penjualan yang dilakukan secara kredit
(piutang).
DSI=Days of sales in Inventory
Sebuah ukuran kinerja kuangan perusahaan yang memberikan investor suatu
informasi tentang berapa lama waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk
mengubah persediaan (termasuk barang-barang yang work in progress, jika
berlaku) menjadi penjualan. Umumnya, (pendek) rendah DSI lebih baik, tetapi
penting untuk dicatat bahwa DSI rata-rata bervariasi dari satu industri yang
lain.
DPO = Days of payables outstanding
DPO atau hari perputaran utang (Days Payable Outstanding) yaitu nilai rata-
rata periode pembayaran dari suatu perusahaan. Nilai DPO terbentuk dari
pos-pos Account Payable atau hutang usaha dan Pembelian (Purchase).
Ketiga variabel tersebut dapat dicari dengan menggunakan formula berikut
ini:
DSO = Piutang/(Sales/365)
DSI = Persediaan/(Harga Pokok/365)
DPO = Hutang/(Harga Pokok/365)
Contoh :
Hitunglah Cash Conversion Cycle dari CV. Wista Pradaya berdasarkan dari
Laporan keuangan selama periode 2004-2007.
Variable L/R 2004 2005 2006 2007
Piutang 9.063 13.958 14.214 32.980
16
17. Hutang 5.182 3.051 2.200 29.120
Persediaan 2.736 3.171 2.195 2.024
Harga Pokok 65.865 67.010 96.787 137.287
Penjualan 74.522 82.619 116.123 169.906
Days of sales outstanding (DSO)
Tahun 2004 = 9.063/(74.522 / 365 ) =44,3895
Tahun 2005 = 13.958/(82.619 / 365 ) =61,6646
Tahun 2006 = 14.214/(116.123 / 365 ) =44,6777
Tahun 2007 = 32.980/(169.906 / 365 ) =70,8492
Days of sales in inventory (DSI)
Tahun 2004 = 2.736/(65.865 / 365 ) =15,1619
Tahun 2005 = 3.171/(67.010 / 365 ) =169,7868
Tahun 2006 = 2.195/(96.787 / 365 ) =8,2777
Tahun 2007 = 2.024/(137.287 / 365 ) =376,1287
Days of Payables outstanding (DPO)
Tahun 2004 = 5.182/(65.865 / 365 ) = 5.182/180,4520 =28,7167
Tahun 2005 = 3.051/(67.010 / 365 ) = 3.051/183,5890 =16,6186
Tahun 2006 = 2.200/(96.787 / 365 ) = 2.200/265,1698 =8,2965
Tahun 2007 = 29.120/(137.287 / 365 ) = 29.120/376,1287=77,4203
Cash Conversion Cycle (CCC) :
Days of sales outstanding (DSO) + Days of sales in inventory (DSI) - Days of
Payables outstanding (DPO)
Tahun 2004 = 44,3895 + 15,1619 -28,7167 = 30,8347 = 31 Hari
Tahun 2005 = 61,6646 + 169,7868 -16,6186 = 214,8328 = 215 Hari
Tahun 2006 = 44,6777 + 8,2777 -8,2965 = 44,6589 = 45 Hari
Tahun 2007 = 70,8492 + 376,1287 -77,4203 = 369,5576 = 370 Hari
Dari hasil perhitungan diatas data dilihat bahwa posisi CCC yang paling baik
ada pada tahun 2004, dan yang paling buruk yaitu pada tahun 2007.
Cash Convesion Cycle (CCC) dihutung dalam periode tahunan dan dapat
pula dalam periode tertentu, apabila CCC dihitung dalam periode tahunan
17
18. perhitungan DSO,DSI dan DPO dibagi dengan jumlah hari dalam 1 tahun,
namum apabila CCC dihitung dalam periode tertentu saja, maka DSO,DSI
dan DPO dibagi berdasarkan pada jumlah hari dari priode perhitungan.
15. Cash-to-Cash Cycle
Supply Chain Management berpotensi untuk memperbaiki tiga komponen
penggerak dari performansi finansial, yaitu pertumbuhan, keuntungan dan
utilisasi kapital. Performansi Supply Chain Management sangat tergantung
dari kebijakan dan prosedur pengukuran cash-to-cash cycle yang berfungsi
untuk menunjukkan tingkat efisiensi dari extended value stream dalam
beroperasi. Dengan demikian, dapat dilakukan evaluasi untuk memperbaiki
kebijakan dan prosedur yang terkait dengan pergerakan piutang, persediaan
dan hutang perusahan.
Untuk mengetahui tingkat likuiditas perusahaan perlu dilihat dari
masingmasing komponen dengan memperhitungkan jumlah hari dimana kas
diinvestasikan dalam persediaan, ditambah hari pendapatan / piutang yang
belum terbayar, dikurangi dengan hari dimana kas yang tersisa masih dapat
digunakan (avaiable) di bisnis perusahaan (karena perusahaan belum
membayar hutang / tagihan ke supplier).
Informasi yang diperoleh dari financial statement PT XYZ pada tahun 2007
dan 2008 adalah sebagai berikut :
Perhitungan cash-to-cash cycle PT XYZ dapat dijelaskan sebagai berikut:
18
19. Dari hasil perhitungan cash-to-cash cycle PT XYZ dalam tabel di atas, dapat
diketahui bahwa cash-to-cash cycle PT XYZ adalah 41.89 hari (42 hari) yang
berarti operating capital / uang kas PT XYZ tertahan selama 42 hari sebelum
dapat digunakan kembali untuk meningkatkan value / mengembangkan bisnis
PT XYZ memulai siklus produksi yang baru.
16. Working Capital Turn Over Ratio
Working Capital Turn Over Ratio dipergunakan untuk mengukur latau menilai
keefektifan modal kerja perusahaan selama periode tertentu. dalam arti
berapa banyak modal kerja berputs dalam satu periode tertentu.
Dari hasil penilaian ratio ini, apabila perputaran modal kerja rendah dapat
diambil kesimpulan bahwa perusahaan sedang kelebihan modal kerja,. hal ini
kemungkinan disebabkan karena rendahnya perputaran persediaan atau
piutang atau saldo kas yang terlalu besar. Demikian pula sebaliknya, jika
modal kerja tinggi ada kemungkinan disebebkan tingginya perputaran piutang
dan atau saldo kas yang terlalu kecil.
Rumus yang digunakan:
WCTR = Penjualan Bersih/Modal Kerja Rata-Rata
atau
WCTR = Penjualan Bersih/Modal Kerja
Contoh :
Komponen Lap. Keuangan 2005 2006
Penjualan Bersih (Net Sales) 5.950 5.550
Total Aktiva Lancar 1.640 1.340
Modal Kerja Rata-rata 1.500 1.300
19
20. untuk tahun 2005
WCTR = 5.950 / 1.640 = 3,62 kali (3,7)
Perputaran modal tahun 2005 3,7 artinya setiap Rp.1,00 modal kerja dapat
mengkhasilkan Rp. 3,7 Penjualan.
untuk tahun 2006
WCTR = 5.550/1.340 = 4,14 atau 4,2
Perputaran modal kerja tahun 2006 sebanyak 4,2 kali artinya setiap Rp. 1
modal kerja dapat menghasikan Rp. 4,2 penjualan.
17. Operating Expense Ratio (OER)
OER menurut kamus keuangan adalah kelompok rasio yang mengukur
efisiensi dan efektivitas operasional suatu perusahaan dengan jalur
membandingkan satu terhadap lainnya. OER juga sering disebut dengan
BOPO (Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional).
Berbagai angka pendapatan dan pengeluaran dari laporan rugi laba dan
terhadap angka-angka dalam neraca. Rasio biaya operasional adalah
perbandingan antara biaya operasional dan pendapatan operasional. Rasio
biaya operasional digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan
kemampuan bak dalam melakukan kegiatan operasi (Lukman D Wijaya,
2000, 120). Semakin rendah BOPO berarti semakin efisien bank tersebut
dalam mengendalikan biaya operasionalnya, dengan adanya efisiensi biaya
maka keuntungan yang diperoleh bank akan semakin besar.
Peringkat Predikat Besaran nilai OER/ BOPO
Rasio Beban Operasi merupakan indikator seberapa baik perusahaan
adalah mengelola biaya berkelanjutan dari operasi bisnis. Dibutuhkan
pengeluaran operasional (OPEX) dan membaginya dengan penjualan
dalam suatu periode tertentu.
Operasi Beban Ratio = (OPEX pada periode t / Pendapatan Penjualan
pada periode t) x 100
Contoh:
Apabila property Adiharapkan menghasilkan pendapatan kotor tahunan
Rp.50.000.000, dan Rp.22.000.000 darinya digunakan untuk biaya operasi,
Maka OER=..?
20
21. OER=0,44, artinya bahwa dari setiap Rp.1 pendapatan kotor yang diperoleh,
maka Rp.0,44 darinya digunakan untuk biaya operasi.
18. CAPEX To Sales Ratio
Capex adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh ataupun
meng-upgrade aset tetap seperti tanah, bangunan, dan mesin produksi.
Secara langsung nilai dari capex akan berpengaruh terhadap besarnya pos
PPE (property, plant & equipment) di bagian non current assets. Pada
umumnya, agar dapat berekspansi, perusahaan harus mengeluarkan capex
untuk memperbesar kapasitas produksi. Besar kecilnya capex bergantung
pada perkembangan usaha ataupun target yang ingin dicapai oleh
manajemen.
CAPEX To Sales Ratio adalah indikator untuk mengukur tingkat investasi
perusahaan dalam menghadapi masa depan dengan membandingkan
belanja modal (CAPEX) terhadap penjualan dalam suatu periode tertentu.
CAPEX Terhadap Penjualan = (CAPEX pada periode t / Penjualan Bersih
pada periode t) x 100
19. Price Earnings Ratio (P/E Ratio)
Price Earning Ratio (PER) adalah salah satu ukuran paling dasar dalam
analisis saham secara fundamental. Secara mudahnya, PER adalah
„perbandingan antara harga saham dengan laba bersih perusahaan’, dimana
harga saham sebuah emiten dibandingkan dengan laba bersih yang
dihasilkan oleh emiten tersebut dalam setahun. Karena yang menjadi fokus
perhitungannya adalah laba bersih yang telah dihasilkan perusahaan, maka
dengan mengetahui PER sebuah emiten, kita bisa mengetahui apakah harga
sebuah saham tergolong wajar atau tidak secara real dan bukannya secara
future alias perkiraan.
PER = Harga Saham/ Earning Per Share (EPS)
Dimana EPS :
EPS = Laba Setelah Pajak/Jumlah Lembar Saham
21
22. Menghitung PER yaitu dengan membagi harga saham dengan earning per
share (EPS) perusahaan yang ditampilkan pada laporan keuangan terakhir
perusahaan. Misalnya
Contoh :
Harga saham ADRO saat artikel ini ditulis adalah 1,990. EPS ADRO pada
laporan keuangan 1Q10 adalah Rp 26.9 per saham. Karena angka 26.9
tersebut adalah EPS ADRO dalam satu kuartal (3 bulan), maka EPS-nya di-
annualized-kan alias disetahunkan terlebih dahulu dengan cara dikali empat
(3 bulan x 4 = 12 bulan = 1 tahun), sehingga hasilnya 26.9 x 4 = 107.6. Maka,
PER ADRO adalah 1,990 dibagi 107.6, dan hasilnya adalah 19.1 kali.
Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa „harga saham ADRO adalah
19.1 kali laba bersih yang dihasilkan perusahaan‟. Semakin besar nilai PER
sebuah saham, maka semakin mahal saham tersebut.
22
24. 20. Net Promoter Score (NPS)
Net Promoter Score di populerkan oleh Fred Reichheld dalam buku The
Ultimate Question: Driving Good Profits and True Growth. NPS adalah salah
satu metode paling sederhana dalam mengukur loyalitas pelanggan.
Pelanggan akan ditanya “Seberapa besar niat dari pelanggan untuk
merekomendasikan produk kita kepada teman atau rekan?” dan
digambarkan kedalam bentuk rating dari 0 (sama sekali tidak mungkin)
sampai dengan 10 (sangat mungkin).
Cara perhitungan ini disebut “Net Promoter Score”, karena skor dari pencela
diurangi dengan skor dari promoter. untuk mengetahui seberapa besar
pencela dan promoter yang dimiliki dalam sebuah organisasi. Pencela dikenal
sebagai responden yang memiliki nilai kemungkinan untuk merekomenasikan
lebih kecil atau sama dengan 6, sedangkan promotor adalah responden yang
memiliki nilai kemungkinan untuk merekomenasikan 9 atau 10 (responden
yang memilih 7 atau 8 adalah responden yang bersifat netral). Pengukuran
NPS dapat berjalan dari -100% (0% Promotor, 100% Pencela) sampai
dengan 100% (100% promoter, 0% Pencela). untuk lebih jelasnya dapat
dilihat Gambar dibawah ini.
Teori dibelakang NPS adalah Perusahaan akan mengalami pertumbuhan
jangka panjang dan berkelanjutan jika persentasi promotornya lebih besar
dari pada persentasi pencelanya.
21. Customer Retention Rate
Customer Retention Rate adalah metrik yang menunjukkan proporsi
pelanggan yang telah tinggal untuk sementara waktu. Tingkat retensi dapat
24
25. dihitung setiap tahun, bulanan atau mingguan. Periodisitas tergantung pada
siklus pembelian dan frekuensi di mana pembelian umumnya dilakukan.
Pelanggan tingkat retensi dapat dihitung dengan menggunakan rumus
berikut:
CRR = Jumlah Pelanggan Pada Awal Periode / Jumlah Pelanggan Pada
Akhir Periode
CRR memberikan perusahaan indikasi kinerja perusahaan dalam hal sejauh
mana perusahaan mampu menjaga pelanggan tetap senang. Hal ini diketahui
bahwa memperoleh pelanggan baru, 5 kali lebih mahal dari pada
mempertahankan yang sudah ada. Ini berarti bahwa mempertahankan tingkat
retensi yang tinggi bisa menyelamatkan perusahaan setiap tahun.
22. Customer Satisfaction Index
Pada dasarnya pengertian kepuasan pelanggan mencakup perbedaan antara
tingkat kepentingan dan kinerja atau hasil yang dirasakan. Engel (1990) dan
Pawitra (1993) mengatakan bahwa pengertian tersebut dapat diterapkan
dalam penilaian kepuasan terhadap satu perusahaan tertentu karena
keduanya berkaitan dengan konsep kepuasan pelanggan, sebagaimana
dapat dilihat pada diagram berikut ini:
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
kepuasan pelanggan didasarkan pada kinerja dan harapan yang dirasakan
pelanggan
25
26. 23. Customer Profitability Score
Customer Profitability (CP) adalah ukuran tingkat kontribusi keuntungan tiap
pelanggan terhadap total keuntungan perusahaan. Atau dengan kata lain
seberapa menguntungkan seorang pelanggan di mata perusahaan.
Pelanggan yang menguntungkan harus dijaga agar loyal. Jika belum
menguntungkan, hubungan dengan pelanggan perlu dikembangkan sampai
menguntungkan. Jika tetap tidak menguntungkan, tidak ada salahnya
mengurangi intensitas bahkan memutuskan hubungan daripada menjadi
beban bagi perusahaan.
Jika data CP dikaitkan dengan data interaksi perusahaan terhadap
pelanggan, maka kita bias mendapatkan informasi dampak dari suatu
interaksi terhadap CP pelanggan. Dengan kata lain, kita bias mendapatkan
informasi dampak dari praktik CRM terhadap keuntungan perusahaan.
Perhitungan CP sangat sederhana : total pendapatan dari seorang nasabah
dikurangi total pengeluaran perusahaan untuk menjaga hubungan dengan
pelanggan terkait. Dalam praktek, perhitungan CP dihadapkan pada
tantangan berikut :
Integrasi data dari berbagai aplikasi CRM untuk mendapatkan
gambaran utuh tentang seluruh interaksi perusahaan dengan
pelanggan
Dengan sistem akuntansi yang umum digunakan saat ini, biaya riil
setiap interaksi sulit didapatkan. Perkembangan Activity Based
Costing menjadi solusi untuk kelemahan ini
Akibat 2 faktor di atas, semakin detail perhitungan CP makin akurat hasil
perhitungan CP. Tapi akurasi perhitungan bukanlah segalanya. Hal ini
tergantung pada jenis keputusan yang memanfaatkan informasi CP [3].
Setidaknya, perhitungan tersebut bias membedakan nilai satu pelanggan
relatif terhadap pelanggan lainnya [4]. Maka tak heran bila detail rumus
perhitungan CP bisa bervariasi. Perhitungan CP harus dilakukan secara
berkala (biasanya bulanan) sehingga laju perkembangan CP terpantau setiap
saat.
Analisa CP disebut sebagai customer profitability analysis. Dalam analisa ini
dihitung revenue (pendapatan) yang dilakukan oleh seorang customer
sepanjang dia menjadi pelanggan produk perusahaan itu (lifetime value of
customer). Kemudian estimasi revenue ini dibandingkan dengan biaya
26
27. akuisisi (customer acquisition cost) dan juga biaya pemeliharaan supaya
pelanggan loyal (maintenance cost). Jika potensi revenue lebih tinggi, berarti
pelanggan itu menguntungkan. Namun jika lebih rendah, maka pelanggan itu
tidak memberikan sumbangan profit bagi perusahaan.
Analisa Customer Profitability memberikan informasi yang penting bagi
perusahaan untuk menentukan apa yang harus dilakukan dan bagaimana
melakukannya. Analisa ini akan membantu perusahaan dalam menentukan:
1. Berapa banyak pelanggan yang menguntungkan bagi perusahaan
2. Seberapa tergantungnnya perusahaan terhadap pelanggan yang
menguntungkan tersebut
3. Berapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk pelanggan yang
menguntungkan tersebut
4. Biaya untuk melayani pelanggan tersebut termasuk iklan, maketing,
administrasi dan layanan after sales
5. Pelanggan yang mana yang menjadi target dari kompetitor perusahaan
24. Customer Lifetime Value (CLV)
CLV memperkenalkan sebuah dimensi baru untuk memahami nilai dari
pemeliharaan pelanggan. Margin berdasarkan kalkulasi fokus pada profit
yang dihasilakan pada periode sekarang sama hasilnya dengan pembelian-
pembelian oleh customer pada periode berikutnya.
CLV memiliki pendekatan yang berbeda. CLV memperlakukan customer
sebagai aset perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang menggunakan CLV
mengakui bahwa biaya-biaya untuk menarik customer saat ini dianggap
sebagai investasi untuk jangka panjang. Perusahaan-perusahaan tersebut
juga mengakui bahwa investasi tersebut bisa diekspektasikan untuk
menghasilkan pendapatan tambahan di masa depan dalam jangka panjang.
Lifetime value of the customer merefleksikan net present value dari semua
ekpektasi cash flow perusahaan yang diasosiasikan dengan customer.
Salah satu formula sederhananya adalah :
CLV = m (r / 1 + i – r)
m : adalah net margin per pelanggan untuk periode tertentu,
i : adalah discounting rate untuk memperoleh present value.
R : adalah retention rate, yaitu, berapa persen pelanggan yang dapat
diretensi selama periode tertentu
27
28. CLV pada dasarnya adalah nilai pelanggan hari ini, sedangkan margin yang
diperoleh oleh perusahaan adalah di masa mendatang. Jadi, diperlukan i
untuk membuat perhitungan present value
Contoh :
Perusahaan memiliki 100 ribu pelanggan di awal bulan Januari 2010.
Kemudian, pada akhir Desember, dari 100 ribu pelanggan ini, ternyata 90 ribu
yang bertahan. Artinya, nilai r atau retention rate adalah 90 persen.
Asumsikan, dari perhitungan yang perusahaan lakukan, net margin yang
diperoleh selama satu tahun untuk per pelanggan adalah Rp 100 ribu. Ini
adalah semua revenue per pelanggan dikurangi semua biaya per pelanggan.
Nilai i atau besarnya discouting rate, dapat dipilih antara bunga deposito atau
bunga pinjaman komersial. Asumsikan saja, nilai i adalah 10 persen.
Dengan nilai-nilai di atas, maka CLV adalah = Rp 100.000 (0.9 / 1 + 0.1 – 0.9)
atau Rp 450.000, kemudian bandingkan dengan biaya akuisisi. Bila biaya
akuisisi ternyata sudah lebih besar dari Rp 450.000
25. Customer Turnover Rate (CTR)
Turnover rate adalah sebuah angka, baru kemudian berharga ketika
dibandingkan dengan angka lainnya. Apabila perusahaan bisa mendapatkan
data turnover rate kompetitor atau industri maka akan lebih bermakna.
Jumlah Pelanggan yang mengundurkan diri x
100
(Jumlah Pelanggan diawal tahun + Jumlah Pelanggan diakhir tahun) / 2
Contoh :
Sebuah perusahaan pada tanggal 1 januari 2012 memiliki 100 palanggan.
Pada tanggal 31 Desember 2012 bertambah hingga 120 pelanggan. Selama
tahun 2012 ada 5 orang pelanggan yang mengundurkan diri. Maka turnover
rate perusahaan tersebut adalah 4,5%
5 x 100 = 4,5
(100 + 120) / 2
26. Customer Engagement
28
29. Customer Engagement adalah indikator untuk mengukur level
keterlibatan pelanggan dalam merek bisnis. Pengukuran kinerja
dilakukan melalui metode survei berbasis pada kekuatan hubungan
antara pelanggan dengan organisasi.
27. Customer Complaints
Customer Complaints adalah ungkapan ketidakpuasan terhadap suatu
produk baik berupa barang atau jasa. Tidak semua keluhan pelanggan
terungkap dengan jelas. Ada juga yang berdampak langsung terhadap kinerja
perusahaan tetapi biasanya dampaknya tidak langsung dirasakan.
Hampir semua usaha atau bisnis pernah menerima atau mendapati keluhan
pelanggan atas produk baik berupa penjualan barang atau jasa dari
pelanggannya, keluhan bisa datang dari pelanggan yang sudah eksis
ataupun dari pelanggan baru, bahkan sangat memungkinkan keluhan juga
datang dari mereka yang belum menjadi pelanggan.
Pada umumnya keluhan pelanggan datang dikarenakan oleh lemahnya
penangan komunikasi, sehimgga imformasi tidak dapat diterima secara
maksimal dan banyak yang mungkin saja menjadi janggal di benak
konsumen. Untuk itu, dibutuhkan team untuk menangani keluhan konsumen
dengan pengetahuan yang cukup agar keluhan pelanggan dapat di kelola
secara benar.
Menangani keluhan pelanggan secara lebih dini adalah suatu sikap yang
bijaksana dan tepat karena perusahaan akan lebih mampu mengantisipasi
hal-hal yang dapat merugikan. Sekecil apapun kekecewaan pelanggan
adalah merupakan keluhan yang harus segera ditangani.
29
31. 28. Market Growth Rate (Pertumbuhan Pasar)
Pertumbuhan Pasar digunakan sebagai alat untuk mengukur market
attractiveness (daya tarik pasar). Pasar disebut tumbuh bila jumlah total
keseluruhan pasar lebih besar nilainya dibanding periode terdahulu. Tidak
ada jaminan bahwa jika pasar tumbuh berarti perusahaan juga tumbuh.
Tetapi hal ini mengisyaratkan bahwa akan lebih mudah bagi perusahaan
untuk tumbuh bila pasar tumbuh.
Perusahaan bisa melakukan riset dengan mengamati perkembangan pasar
yang ada saat ini. Amati trend yang sedang banyak dicari masyarakat, dan
amati pula produk-produk yang sudah ada di pasaran. Hasil pengamatan bisa
perusahaan jadikan sebagai bahan pertimbangan, sebelum akhirnya
melemparkan sebuah produk ke pasaran.
Sebelum memasarkan produk sebaiknya perusahaan mengetahui tingkat
persaingan yang ada di pasaran. Tawarkan inovasi baru untuk memasuki
pasar yang sudah dipenuhi para pesaing. Agar produk perusahaan tidak
kalah saing di tengah-tengah pasar yang sudah ramai.
Mengingat adanya riset pasar sangatlah penting dalam memasarkan produk.
Maka sebisa mungkin lakukan riset, sebelum melangkah. Agar strategi
pemasaran yang digunakan tepat sasaran, dan memberikan hasil yang
maksimal.
29. Relative Market Share
Pangsa pasar relative (Relative Market Share), merupakan pembandingan
antara penjualan perusahaan terhadap pesaing terkuat, agar perusahaan
mengetahui posisinya dalam pasar.
30. Sales Opportunity Index
Sales Opportunity Index adalah indicator yang menunjukkan seberapa sukses
sebuah organisasi dapat menumbuhkan prospek untuk produk dan layanan
yang dijualnya.
Sales Opportunity Index = (Jumlah Kontak Pelanggan yang prospek bulan
lalu) / 2 X (Rata per bulan jumlah kontak pelanggan prospek selama 12
bulan)
31
32. Pelanggan bisa dikatakan sebagai pelanggan yang prospek berdasarkan
kontak dengan perusahaan baik secara langsung ataupun tidak langsung
misalnya, memasuki toko, menyanyakan informasi produk,dan lain-lain.
31. Sales Cycle Index
Sales Cycle Index adalah indicator yang berfungsi untuk mengatur durasi dari
proses penjualan. Sebuah pelacakan proses penjualan diperlukan untuk
merekam saat kontak awal dengan prospek/pelanggan terjadi sampai dengan
tanggal penutupan penjualan (apakah sukses atau gagal).
Sales Cycle Index = Rata-rata durasi (dalam hari kalender) antara tanggal
kontak pertama kali dengan pelanggan sampai dengan tanggal penutuoan
transaksi penjualan.
32. Contract Value Index
Rasio pemesanan, tetapi pendapatan yang belum diakui terhadap total
pendapatan tahunan untuk periode sebelumnya.
Contract Value Index = (Total Nilai Kontrak – Pendatan Yang Telah Diakuit
Dalam Periode Kontrak)/Total Pendapatan Terbaru Yang Dilaporkan pada
Tahun Tentu
33. Sales Close Index
Sebuah indikator yang menunjukkan seberapa sukses bagian penjualan
dalam merubah prostek menjadi sebuah pelanggan.
Calculation: Sales Close Index = (Total Pelanggan Prospek yang menjadi
pelanggan) / (Total Pelanggan Prospek).
34. Brand Equity
Menurut David A. Aaker, definisi dari merek itu adalah nama dan atau simbol
yang bersifat membedakan (seperti sebuah logo, cap, atau kemasan) dengan
maksud mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang penjual atau sebuah
kelompok penjual tertentu. Dengan demikian suatu merek membedakannya
dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh kompetitor. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa merek mempunyai dua unsur, yaitu brand name yang terdiri dari
huruf-huruf atau kata-kata yang dapat terbaca, serta brand mark yang
berbentuk simbol. Merek adalah nama, terminologi, tanda, simbol, atau
32
33. desain, atau kombinasi diantaranya, yang ditujukan untuk mengidentifikasi
barang atau jasa dari penjual satu dengan penjual yang lain.
Sekelompok pembeli kebiasaan (habitual buyers) mempunyai nilai yang tinggi
karena mereka mewakili keuntungan yang bisa diharapkan terus mengalir
dalam waktu lama. Loyalitas merek secara kualitatif berbeda dari dimensi-
dimensi utama lainnya, karena loyalitas merek terkait erat dengan
pengalaman menggunakan. Loyalitas merek dari kelompok pelanggan sering
merupakan inti dari ekuitas merek. Apabila para pelanggan tidak tertarik pada
merek dan membeli karena karakteristik produknya, harga, dan kenyamanan
dengan sedikit memperdulikan merek maka berarti kemungkinan ekuitasnya
kecil. Sebaliknya, apabila para pelanggan melanjutkan untuk membeli merek
tersebut kendati dihadapkan pada para kompetitor yang menawarkan
karakteristik produk yang lebih unggul dari segi harga dan kepraktisannya,
berarti ada nilai yang sangat besar dalam merek tersebut dan barangkali juga
dalam simbol dan slogannya.
Menurut David A. Aaker, Brand Equity atau ekuitas merek adalah satu set
brand asset dan liabilitas yang berkaitan dengan suatu merek, nama dan
simbolnya, yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh
sebuah barang atau jasa kepada perusahaan atau para pelanggan
perusahaan.
Merek meningkatkan sense of value konsumen sehingga memberikan insentif
untuk menjadikan produk atau jasa yang ditawarkan sebagai pilihan, walau
untuk itu mereka harus merogoh saku lebih dalam. Kesediaan konsumen
untuk membayar lebih inilah yang membuat merek memiliki nilai yang dapat
diterjemahkan ke dalam dolar (atau rupiah). Ekuitas merek dikomunikasikan
melalui simbol visual dan pesan konsisten yang memungkinkan konsumen
dengan mudah membedakan katakanlah, Visa dan MasterCard. Merek
dengan persepsi nilai tinggi selalu disertakan dalam pertimbangan konsumen
tersebut. Kalau ekuitas tangible dan intrinsik satu merek secara konsisten
lebih tinggi ketimbang merek lain dari kategori yang sama, merek tersebut
akan merebut loyalitas konsumen sehingga mereka akan membeli, membeli
ulang, dan merekomendasi orang lain untuk membeli.
Ada beberapa cara mengukur nilai intrinsik atau ekuitas merek. Ekuitas
merek dapat diukur pada tingkat korporasi maupun tingkat kategori dan
dengan menggunakan data internal maupun data eksternal. Pada tingkat
korporasi, ekuitas merek dapat dihitung berdasarkan data keuangan internal
dari sistem akunting perusahaan atau menggunakan data kinerja keuangan
33
34. perusahaan lain yang mirip, alias menggunakan data keuangan eksternal.
Sementara itu, pada tingkat kategori, perusahaan dapat mengukur ekuitas
merek yang dimiliki dengan membandingkan unit profit margins dan unit
marketing costs, dan membandingkan biaya produk lain di kategori yang
sama. Perusahaan tersebut dapat pula melakukan survei konsumen untuk
mengukur nilai persepsi produk atau jasanya dibanding produk atau jasa lain
dari kategori yang sama.
SDR Consulting menjagokan cara pengukuran nilai merek dan ekuitas merek
melalui survei pelanggan pada tingkat kategori. Info yang didapat lalu
digunakan buat menghitung nilai agregat merek pada tingkat korporasi.
Menurut Brand Value Model yang dikembangkan SDR, brand value atau nilai
merek berkorelasi langsung dengan loyalitas pelanggan. Alhasil, dengan
mengubah-ubah kombinasi komponen nilai merek yaitu ekuitas merek, fitur
produk, dan harga melalui simulasi komputer, nilai merek dan loyalitas
konsumen dapat ditingkatkan.
Cara lain memperkirakan nilai finansial suatu merek adalah dengan
perhitungan statistik terhadap data pembelian aktual terhadap produk yang
diteliti. Kurva orisinal dari data tersebut memang akan menunjukkan fluktuasi
tajam (yang disebabkan oleh promosi dan investasi pemasaran lainnya).
Namun, dengan regresi, tren yang terjadi tetap akan terlihat. dan, dengan
memperhitungkan data lain, akan terlihat pula efek dari upaya pemasaran
yang dilakukan. Dengan demikian, data ini dapat digunakan untuk
mengevaluasi ROI dari berbagai insisiatif brand marketing, walau belum
memberikan gambaran tentang nilai merek.
Ada pula model EQUITYMAP sebagai alat bantu untuk mengukur dan
merencanakan strategi peningkatan ekuitas merek. EQUITYMAP
menggunakan data yang diperoleh dari perilaku konsumen, tenaga ahli
industri, dan data keuangan perusahaan yang berbentuk laporan keuangan.
EQUITYMAP mendefinisikan bahwa ekuitas merek adalah penambahan nilai
keuntungan per tahun (incremental profit per year) dari perusahaan akibat
merek (peran merek). Penambahan keuntungan ini disebabkan adanya
peningkatan probabilitas pemilihan merek dibandingkan dengan merek dasar
(merek yang melakukan usaha minimal dalam pembangunan merek).
Peningkatan probabilitas pemilihan merek ini ditimbulkan dari tiga sumber,
yaitu (1) peningkatan kesadaran merek, (2) peningkatan persepsi atribut
produk, dan (3) preferensi kesesuaian non atribut. Peningkatan persepsi
atribut produk dan preferensi kesesuaian non atribut digabung menjadi citra
34
35. merek (brand image). Dari ketiga sumber data ini akan diperoleh ekuitas
merek tingkat konsumen dan perusahaan.
Pengukuran yang simultan dengan menggunakan EQUITYMAP dapat
mengevaluasi hasil investasi yang telah dilakukan terhadap peningkatan
ekuitas merek. Untuk perencanaan investasi, EQUITYMAP dapat membantu
dalam mengevaluasi perencanaan strategi pemasaran dengan cara
melakukan berbagai simulasi dari berbagai alternatif strategi pembangunan
merek menggunakan analisis bagaimana-jika (what-if analysis).
35. Cost Per Lead
Cost Per Lead (CPL) digunakan dalam iklan online. CPL mendefinisikan
berapa banyak pendapatan penerbit menerima ketika ia menciptakan
memimpin untuk pengiklan. Misalnya, penerbit dapat menempatkan iklan
untuk situs investasi di situsnya. Jika pengguna mengklik pada link iklan, dia
diarahkan ke situs web pengiklan di mana ia dapat mendaftar untuk sebuah
akun investasi. Jika dia memilih untuk mendaftar, memimpin yang telah
dibuat dan penerbit yang dibayar sejumlah tertentu berdasarkan CPL
tersebut.
36. Concersion Rate
Conversion Rate adalah persentase pengunjung yang mau mengikuti atau
melakukan apapun yang perusahaan ingin mereka lakukan. Dengan kata
lain, conversion rate adalah jumlah pengunjung yang melakukan suatu
langkah sesuai keinginan perusahaan dibagi dengan jumlah pengunjung
keseluruhan.
Jadi rumusan dasarnya adalah:
Conversion Rate = Jumlah Pengunjung yang Melakukan Kehendak
Perusahaan/Jumlah Seluruh Pengunjung
Mari sedikit berandai-andai. Katakanlah perusahaan ingin menghitung tingkat
konversi subscriber feed atau newsletter jejaring nya, dimana keinginan
perusahaan adalah pengunjung mendaftar dan menjadi pelanggan feed atau
newsletter, dengan asumsi kegiatan pendaftaran langganan dilakukan pada
satu halaman khusus, biasa disebut sebagai landing page. Hal yang pertama
harus dilakukan adalah membuka statistik atau analytics web yang digunakan
(misalnya Google Analytics) untuk mengetahui berapa banyak pengunjung
35
36. yang mengunjungi halaman tersebut dalam satu periode tertentu. Misalnya,
Perusahaan ingin menghitung conversion rate kemarin, dan jumlah
pengunjung pada hari itu adalah 700. Selanjutnya, lihat statistik pendaftaran
feed atau newsletter pada service yang digunakan (misalnya FeedBurner dan
MailChimp) dan cek berapa jumlah pendaftar atau pelanggan baru pada hari
yang sama. Sebut saja jumlahnya adalah 40 pendaftar baru. Untuk
mengetahui conversion rate (tingkat konversi) pada hari itu, bagi jumlah
pendaftar/pelanggan dengan jumlah total pengunjung pada landing page, kita
dapatkan 40/700 = 0,057, atau jika dipersentasekan berarti sekitar 5%.
Tentu perusahaan dapat melakukan penghitungan yang sama pada berbagai
jenis landing page, misalnya halaman sales/penjualan untuk menghitung
conversion rate pada jumlah pengunjung yang melakukan transaksi. Perlu
diperhatikan bahwa contoh di atas hanya diambil dalam satu hari, dan satu
hari adalah periode yang sangat pendek untuk mengambil tingkat konversi
yang akurat. Idealnya, pengukuran ini dilakukan dalam periode sekurang-
kurangnya satu minggu, agar tingkat konversi yang dihitung jauh lebih akurat
dan bisa menjadi gambaran.
37. Page Views And Bounce Rates
Bounce Rate adalah suatu nilai dalam persentase yaitu jumlah pengunjung
yang langsung meninggalkan blog / website perusahaanf setelah membuka
sebuah halaman. dapat diketahui dengan menggunakan tools statistik,
contohnya Google Analytics.
Jika perusahaan menggunakan Google Analytics maka disana akan
mendapatkan laporan Bounce Rate sebuah website perusahaan. Nilainya
biasanya berkisar dari 0% hingga 100%. Semakin kecil nilai Bounce Rate
berarti semakin bagus karena berarti semakin sedikit pengunjung yang
langsung meninggalkan website setelah membaca / membuka sebuah
halaman di website tersebut.
38. Online Share Of Voice (OSOV)
Online Share of Voice (OSOV) adalah jenis perhitungan kinerja yang
berdasarkan pada pendapat-pendapat positif, negatif dan netral dari
pelanggan atau pengunjung melalui media sosial atau website perusahaan
secara online.
Banyak orang percaya bahwa pengumpulan data ini sulit, namun semua
dapat dilakukan dengan lebih mudah dengan bentuan beberapa tools seperti
36
37. Radian 6, Brandwatch dan Lithium yang memungkinkan Perusahaan untuk
mendapatkan data yang dibutuhkan.
39. Social Networking Footprint
Ledakan penggunaan alat jaringan sosial seperti Twitter, Facebook dan
LinkedIn, telah menciptakan kebutuhan bagi perusahaan untuk menjadi
cerdas dan strategis tentang cara kita menggunakan alat ini. Tapi keterlibatan
di media sosial tidak lagi pilihan. Pertimbangkan bahwa di pasar elektronik
hari ini, seorang pengusaha kecil mungkin risiko "kredibilitas" tanpa kehadiran
online. Sementara itu, menghubungkan di LinkedIn atau memiliki Fan Page
Facebook telah menjadi setara dengan bertukar kartu nama. Dan di pasar
kerja saat ini, memiliki profil di LinkedIn diposting cepat menjadi alat yang
sangat berharga bagi pencari kerja saat ini.
Tujuan dari Footprints Media Sosial adalah untuk membantu individu dan
pengusaha kecil dalam mengoptimalkan pengalaman media sosial mereka.
Apakah perusahaan menggunakan media sosial untuk meningkatkan
kenikmatan sosialnya, mencari untuk memajukan karir profesional sesorang.
40. Klout Score
Klout adalah Kumpulan aktifitas individu/perusahaan di sosial media, segala
aktifitas yang lakukan di sosial media secara online, baik berupa tweet,
retweet, like, content, resharing, share, update social network akan menjadi
data yang dikumpulkan Klout untuk mengukur;True Reach, Amplification,
Network Impact.
True Reach : Seberapa besar pengaruh individu/perusahaan, diukur dari
jumlah orang yang dipengaruhi melalui content di sosial media
perusahaan, dan respon terhadap content tersebut.
Amplification : Seberapa besar individu/perusahaan mempengaruhi
mereka, setiap aktifitas disosial media bagaimana respon mereka
terhadap apa yang individu/perusahaan lakukan di sosial media.
Network Impact : Pengaruh perusahaan terhadap sosial network, berapa
banyak pengaruh perusahaan terhadap apa yang perusahaan share di
sosial media, semakin banyak yang merespon atau reshare, atau retweet
akan meningkatkan score perusahaan di sosial media.
Score Network perusahaan akan meningkat, apabila perusahaan mempunyai
banyak orang yang dipengaruhi, singkatnya semakin aktif perusahaan di
37
38. sosial media semakin tinggi scorenya, dan setiap score Network akan diberi
gelar oleh KLOUT. Semuanya berdasarkan analisis dari sosial media yang
perusahaan gunakan.
Untuk menggunakan indikator klout score maka terlebih dahulu sebuah
individu ataupun perusahaan memiliki media social seperti Twitter, Facebook,
LinkedIn, Google Plus dan lainya. Kemudian silahkan masuk ke klout.com
dan tidak usah mendaftar, cukup dengan masukkan username dan password
sosial network seperti Twitter, Facebook, LinkedIn, Google Plus dan lainya,
maka akan segera mengetahui berapa score individu/perusahaan dan
seberapa besar pengaruh perusahaan di jejaring sosial.
38
40. 41. Six Sigma Level
Six Sigma adalah metodologi menyeluruh untuk menyelesaikan masalah dan
peningkatan proses melalui fase DMAIC (Define, Measure, Analyze, Imrove,
Control).
DMAIC merupakan jantung Six Sigma yang menjamin voice of customer
memuaskan keinginan pelanggan.
Define adalah fese menentikan masalah, menetapkan persyaratan-
persyaratan pelanggan dan membangun Tim.
Measure adalah fase mengukur tingkat kepercayaan pelanggan
Analyze adalah fase menganalisis sebab-sebab masalah pada proses
(X)
Improve adalah fase meningkatkan proses (X) dan menghilangkan
sebab cacat.
Control adalah fase mengontrol kinerja proses(X) dan menjamin cacat
tidak muncul.
Sigma Level diukur pada tahap Measure dan pada tahap setelah
improvement. Dalam mengukur sigma level, terlebih dahulu dilakukan
identifikasi data, artinya data jenis apa yang akan diolah, data disktrit atau
data contious.
Identifikasi jenis data ini sangat penting karena dalam pengukuran Sigma
level menggunakan cara yang berbeda antara Data Discreate dan Data
Continous.
Contoh :
PT. Ikhwanseadanya adalah perusahaan pengangkutan laut, telah melakukan
pengukuran selama tiga bulan, dan diperoleh informasi bahwa proses
pengangkutan sebanyak 24 ribu penumpang diketahui jenis-jenis keluhan dari
penumpang seperti tabel berikut :
No Jenis Kegagalan Sumber Data Frekuensi Cacat
1 Keberangkatan Terlambat Log Kapal 1.915
2 Kedatangan Terlambat Log Kapal 10.550
3 Kendaraan yg diangkut rusak Customer service 26
4 Kecelakaan penumpang Customer service 54
5 Kelebihan pembayaran tiket Complaint 32
40
41. Miskomunikasi dalam
6 Complaint 67
pelayanan
7 Petugas tidak sopan Complaint 29
Total Frekuensi Keluhan (Total Cacat) 12.673
Defect Per Opportunity (DPO) 0,075435
Defect Per Milion Object (DPMO) 75,435
Kapabilitas Proses (Sigma Level) 2,936469
Keterangan :
Terdapat 7 jenis kesempatan kegagalan per penumpang, sehingga
Defect Per Opportunities = 24.000 x 7 = 168.000.
Defect Per Opportunity = 12.673/168.000 = 0,075435
Defect Per Million Opportunity = DPO x 1.000.000 = 0,075435 x
1.000.000 = 75435
Kapabilitas Proses (Sigma Level) = normsinv((1000000-
DPMO)/1000000)+1,5 = normsinv((1000000-75435)/1000000)+1,5 =
2,94. (Menggunakan Rumus Excel)
Dari hasil perhitungan diatas diketahui level pelayanan PT. Ikhwanseadanya
yaitu sebesal 2,94 Sigma dengan 75.435 kesalahan(Cacat) dari setiap 1 juta
kesempatan.
42. Capacity Utilization Rate (CUR)
Capacity Utilization Rate adalah indikator yang mengukur perubahan dari
sumber daya yang dimiliki oleh sektor industri, pertambangan dan pertanian.
Index ini juga terkait dengan kenaikan CPI (Consumer Price Index) dan
berbagai macam index yang terkait dengan inflasi. Jika nilai Capacity
Utilization Rate disuatu negara naik maka nilai mata uang negara tersebut
juga akan mengalami kenaikan.
Dimana CPI adalah Indikator yang mengukur tingkat kenaikan barang
dan jasa yang dikenakan kepada konsumen. Dalam perekonomian,
CPI biasa diistilahkan sebagai index biaya hidup karena
pengukurannya yang menyentuh tingkat konsumen (berbeda dengan
Producers Price Index yang hanya mengukur di tingkat produsen).
CUR merupakan data pelengkap dari Industrial Production. Data capacity
utilization mengukur atau menghitung „tingkat penggunaan modal‟ yang
41
42. dipakai dalam proses produksi. Data ini dapat meningkat atau menurun,
sesuai dengan siklus bisnis dalam suatu negara. Naik tingkat produksi.
Naiknya tingkat produksi akan menyebabkan naik tingkat penggunaan modal.
Kelemahan data capacity utility adalah tingginya tingkat kesulitan dalam
menghitung data ini, sehingga menyebabkan market kurang mempercayai
tingkat akurasinya. Sama hal nya dengan industrial production, apabila terjadi
peningkatan yang melebihi forecasting para ekonom diartikan sebagai
meningkatkatnya tingkat inflasi yang pada gilirannya menyebabkan turunnya
harga-harga obligasi dan naiknya tingkat suku bunga.
43. Process Waste Level
Process Waste Level adalah indikator untuk mengukur seberapa besar
tingkat pemborosan yang terjadi pada setiap proses yang ada pada kegiatan
operational sebuah perusahaan. Semakin tinggi indikator tersebut maka akan
semakin buruk, karena hal ini menandakan bahwa dalam kegiatan
operationalnya, terdapat beberapa kegiatan yang tidak efektif dan tidak
efisien, dan begitu pula sebaliknya semakin rendah nilai indikator ini, maka
akan semakin baik.
Mengukur limbah tergantung pada metrik yang digunakan untuk setiap jenis
limbah, tetapi biasanya terdiri dari menghitung sederhana atau pengukuran.
44. Order Fulfiment Cycle Time (OFCT)
Salah satu jenis pemborsan (Waste) dalam perusahaan adalah pemborosan
rantai pasok. untuk itu indikator Order Fulfiment Cycle Time digunakan untuk
mengukur Jumlah waktu (hari) yang dibutuhkan sejak dari order diterima
sampai produk diterima di tempat pelanggan. Indikator ini digunakan untuk
mengukur Kecepatan sistem supply untuk menyediakan produk/jasa.
Semakin besar nilai indikator ini maka akan semakin buruk kinerja dari
system supply sebuah perusahan.
45. Delivery In Full, On Time (DIFOTAI) Rate
DIFOTAI adalah istilah dalam Supply Chain yang menggambarkan kualitas
layanan logistik. suatu kedaan dapat dikatakan DIFOTAI jika produk dikirim
ke pelanggan sesuai dengan prinsip-prinsipnya, yaitu :
D : Delivered (produk telah disampaikan)
IF : Dalam Rupiah Penuh (pengiriman itu secara penuh, tidak ada produk
yang dipesan hilang)
42
43. OT : On Time (dalam periode waktu yang disepakati)
AI : Akurat Faktur (Faktur identik dengan daftar produk dan kuantitas)
DIFOTAI =Jumlah unit yang terkirim ontime dan sesuai dengan faktur/Total
jumlah unit yang dikirim
Contoh :
PT. Ikhwanseadanya adalaj perusahaan yang bergerak dibidang jual beli
asesoris computer secara online, PT.Ikhwanseadanya memiliki komitmen
dalam pengiriman barang pesanan pelanggan dengan lama pengiriman 3
Hari, berikut ini daftar transaksi PT. Ikhwanseadanya.
Kode Nama Barang Nama Lama Keterangan
Penanan Pelanggan Kirim
001 Ipad Case Tn. A 3 OK
002 Netbook Lenovo Tn. B 3 Warna
S10-3, Hitam Pesanan
Biru
003 Mouse Logitech Mrs. C 5 OK
Infrared
004 Monitor LG 17” Flat Mr D 3 OK
005 Keyboard Logitech Mrs. E 3 Rusak
Wireles
007 Laser Pointer Mrs. F 3 OK
Dari data pemesanan barang diatas dapat diketahui
A : Jumlah barang terkirim yang sesuai dengan faktur dan tidak
mengalami keterlambatan adalah 3 Pesanan dengan kode pesanan
007,004,dan 001
B : Jumlah barang terkirim yang tidak sesuai dengan faktur adalah 2
pesanan dengan kode pasanan 005 dan 002
C : Jumlah barang terkirim yang sesuai dengan faktur, namun mengalami
keterlambatan adala , dengan kode pemesanan 003
DIFOTAI = A/ (A+B+C) = 3 / (3+2+1) = 0,5 atau sekitar 50%,
43
44. Ini berarti bahwan kualitas layanan logistik yang dilakukan oleh PT.
Ikhwanseadanya terjadi 50% kesalahan baik berupa keterlambatan maupun
barang yang dikirim tidak sesuai dengan spesifikasi pesanan.
Semakin kecil nilai dari indicator ini maka akan menggambarkan kualitas
layanan logistic yang semakin baik, begitu pula sebaliknya semakin besar
nilai DIFOTAI maka akan menggambarkan kualitas layanan logitik yang
buruk.
46. Inventory Shrinkage Rate (ISR)
Inventory Shrinkage Rate adalah perbandingan antara Jumlah/Nilai barang
yang tercatat pada buku persediaan dikurangi dengan jumlah/nilai dari hasil
perhitungan fisik barang.
Indikator ini digunakan untuk mengukur kinerja dari penggunaan barang,
apakah barang yang telah dipesan digunakan sesuai dengan kebutuhan atau
tidak.
44
45. 47. Project Schedule Variance (PSV)
Project Schedule Variance digunakan untuk menghitung penyimpangan
antara BCWS dengan BCWP. Nilai positif menunjukkan bahwa paket-paket
pekerjaan proyek yang terlaksana lebih banyak dibanding rencana.
Sebaliknya nilai negative menunjukkan performa pekerjaan yang buruk
karena paket-paket pekerjaan yang terlaksana lebih sedikit dan jadwal yang
direncanakan. Variabel yang menunjukkan apakah jadwal yang lebih
lama/lebih lambat dari yang direncanakan.
PSV = BCWP – BCWS
Dimana :
Budgeted Cost For Work Performed (BCWP) adalah biaya rencana pekerjaan
yang telah dilaksanakan selama periode waktu tertentu. BCWP dinilai
berdasarkan prosentase pekerjaan yang telah dilaksanakan yang dinilai
dengan suatu ukuran kemajuan pekerjaan yang telah ditetapkan dan
merupakan akumulasi dari pekerjaan-pekerjaan yang telah diselesaikan.
BCWP biasa juga disebut dengan EV (Earned Value)
Budgeted Cost for Work Scheduled (BCWS) merupakan anggaran biaya yang
dialokasikan verdasarkan rencana kerja yang telah disusun terhadap waktu.
Indikator Nilai Penilaian Status
Project Schedule Positif Lebih Capat dari Rencana, BCWP >
Variance BCWS
Nol Rencana = Aktual
Negatif LEbih Lambat dari Rencana, BCWP <
BCWS
48. Project Cost Variance (PCV)
Project Cost Variance merupakan selisih antara nilai yang diperoleh setelah
menyelesaikan paket-paket pekerjaan dengan biaya aktual yang terjadi
selama pelaksanaan proyek. Cost variance positif menunjukkan bahwa hasil
yang diperoleh setelah menyelesaikan paket-paket pekerjaan Iebih besar dan
biaya yang dikeluarkan untuk mengerjakan paket-paket pekerjaan tersebut.
Sedangkan nilal negative menunjukkan nilai yang didapat setelah
45
46. menyelesaikan paket-paket pekerjaan lebih kecil dibanding biaya yang sudah
dikeluarkan. Variabel ini menunjukkan apakah kinerja biaya sudah melebihi
atau masih kurang dari biaya yang sudah direncanakan
PCV = BCWP – ACWP
dimana:
BCWP (Budgeted Cost For Work) adalah biaya rencana pekerjaan yang telah
dilaksanakan selama periode waktu tertentu.
ACWP (Actual Cost for Work Performed) adalah representasi dan
keseluruhan pengeluaran yang dikeluarkan untuk menyelesaikan pekerjaan
dalam periode tertentu.
Indikator Nilai Penilaian Status
Project Cost Variance Positif Penghemantan, BCWP > ACWP
Nol Biaya Rencana = Biaya Aktual
Negatif Pemborosan, BCWP < ACWP
Contoh :
49. Earned Value (EV) Metric
Dalam EV Matric terdapat banyak unsur yang dapat diukur, sesuai dengan
gambar berikut :
Unsur Formula Keterangan
Schedule Performance BCWP/BCWS) Matriks ini digunakan
Index (SPI) untuk mengukur efisiensi
jadwal. Matriks ini
menggambarkan
seberapa cepat realisasi
sebuah project/kegiatan
terhadap progress yang
direncanakan.
Apabila hasilnya kurang
dari 1.0, maka proyek
terlambat dari jadwal
yang ditentukan
46
47. Apabila hasilnya lebih
dari 1.0, maka proyek
lebih cepat dari jadwal
yang ditentukan
ETC (Estimate Total (BAC-BCWP)/CPI Mencatat perkiraan
Cost) Dimana : biaya dari total
BAC(Budget At Cost) = pekerjaan yang tersisa
Biaya yang dari sebuah proyek. ETC
dianggarkan pada saat yang rinci akan
proyek selesai. menggambarkan sisa
CPI (Cost Performance pekerjaan, estimasi
Index) = sumber daya, dan biaya
BCWP/ACWP untuk menyelesaikan
pekerjaan tersebut
EAC (Estimate Cost At BAC/CPI atau Mencatat perkiraan total
Complesion) ACWP+ETC biaya dari pekerjaan
pada saat proyek telah
selesai
50. Innovation Pipeline Strength (IPS)
Innovation Pipeline Strength (IPS) merupakan indikator seberapa kuat pipa
inovasi perusahaan. Indikator ini mengukur potensi pendapatan masa depan
proyek-proyek inovasi potensial yang sedang berlangsung.
IPS = Jumlah (Proyek Inovasi x Potensi Pendapatan Masa Depan)
51. Return On Innovation Investment (ROI2)
Sebuah ukuran kinerja digunakan untuk mengevaluasi efektivitas investasi
perusahaan dalam produk baru atau jasa. Laba atas investasi inovasi
dihitung dengan membandingkan keuntungan dari penjualan produk atau
layanan baru untuk penelitian, pengembangan dan belanja langsung lainnya
dihasilkan dalam menciptakan produk-produk baru atau jasa.
Fokus dari metrik ini tidak hanya untuk menentukan seberapa baik sebuah
perusahaan mengubah investasi dalam produk baru atau jasa menjadi
keuntungan tambahan bagi perusahaan, tetapi juga seberapa efisien dalam
R&D pengeluaran. Perusahaan yang lebih baik adalah mampu meramalkan
47
48. permintaan penawaran baru, serta seberapa efisien dalam mengalokasikan
sumber daya, semakin baik pengembalian atas investasi inovasi seharusnya.
52. Time To Market Index
Kemampuan fungsi pengembangan produk untuk merilis produk baru atau
jasa secara tepat waktu.
Time to Market Index = Rata-rata (waktu dari persetujuan manajemen
sampai dengan memulai peluncuran dari setiap produk).
53. Return of Marketing Invesment (ROMI)
Return of Marketing Invesment adalah kontribusi yang dihasilkan dari
investasi pemesaran yang beresiko. ROMI merupakan ukuran yang relative
baru dalam manajemen pemasaran. Tujuan dari ROMI adalah mengukur
kontribusi dari pengeluaran pemasaran terhadap keuntungan.
Manfaat penggunaan indeks ROMI, indeks mROMI dan Marketing ROI akan
memberikan manfaat sebagai berikut:
Dapat digunakan sebagai model untuk mendefinisikan potensi
penjualan tambahan yang diperoleh dari media atau teknik promosi
tertentu.
indeks-indeks ROMI dapat digunakan untuk meramalkan perubahan-
perubahan anggaran pemasaran terhadap penjualan.
Marketing ROI dapat digunakan untuk memprediksi tingkat
pengembalian dari investasi dalam bidang pemasaran.
indeks ROMI biasa dihitung sebagai berikut:
indeks ROMI = Penjualan/Penerimaan tambahan karena upaya/investasi
pemasaran (Rp) / Pengeluaran Pemasaran.
selanjutnya indeks marjin ROMI (mROMI) dapat dihitung sebagai berikut:
indeks mROMI = ROMI x Contribution Margin (%)
untuk perhitungan Marketing ROI adalah sebagai berikut:
Marketing ROI = (indeks mROMI-1,00)x100%
Contoh :
48
49. Variabel Teknik Promosi 1 Teknik Promosi 2
Pertambahan Penjualan 250 juta 70 juta
Biaya Tambahan 50 juta 20 juta
Contribution Margin 30% 50%
Hitung indeks ROMI, indeks mROMI dan Marketing ROI untuk kedua teknik
promosi diatas. Teknik promosi mana yang memiliki Marketing ROI lebih
baik?
Teknik Promosi 1:
indeks ROMI = 250 juta/ 50 juta = 5,0
indeks mROMI = 5,0 x 30% = 1,50
Marketing ROMI = (1,50-1,00)x 100% = 50%
Teknik Promosi 2:
indeks ROMI = 70 juta/ 20 juta = 3,5
indeks mROMI = 3,5 x 50% = 1,75
Marketing ROMI = (1,75-1,00)x 100% = 75%
Berdasarkan marketing ROI, diketahui teknik promosi 2 lebih baik dari pada
teknik promosi 1, karena setiap rupiah yang diinvestasikan dalam teknik
promosi 2, memberikan tambahan penerimaan sebesar Rp. 3,5 dan tingkat
pengembalian sebesar Rp. 1,75 atau 75% dalam bentuk marketing ROI.
dibandingkan Teknik Promosi 1 hanya sekitar 75%.
54. First Pass Yield (FPY)
First Pass Yield adalah hasil bebas cacat pertama kali tanpa dikerjakan
ulang.
Jika:
A : jumlah barang/jasa yang berhasil dihasilkan dari proses kita tanpa
sama sekali kerja ulang (rework)
B : jumlah barang/jasa yang dihasilkan dari proses kita dengan minimal
satu kali rework
C : jumlah barang/jasa yang di reject.
Maka:
49
50. n = jumlah total barang/jasa yang diproses = A+B+C
Yield = (A+B)/n
Dan, yang disebut First Pass Yield (FPY) = A/n
Contoh:
Diketahui Nilai
Jumlah Barang/Jasa yang dihasilkan tanpa cacat/gagal (A) 2500
Jumlah Barang/Jasa yang dihasilkan dengan pengerjaan 256
ulang/Perbaikan (B)
Jumlah Barang/Jasa yang ditolak (Reject) dan tidak dapat dikerja 56
ulang (C)
n = 2500+256+56 = 2.812
FPY = 2500/2.812 = 0.889
55. Rework Level
PT.Ikhwanseadanya harus melakukan Rework (Pengerjaan Ulang) terhadap
produk yang telah dihasilkan sebanyak 500 unit Kalkulator. Tenaga Kerja
yang di lembur-kan untuk mengerjakan Rework sebanyak 10 orang. Menurut
Perhitungan Process Engineer, waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan
Rework adalah 5 menit per unit. Berapakah Waktu Kerja yang diperlukan
untuk menyelesaikan Rework tersebut ?
Penyelesaiannya :
Diketahui :
ST (Standard Time) = 5 menit
Tenaga Kerja = 10 orang
Target Output = 500 unit
Dicari :
Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan Rework?
Waktu Kerja = (ST x Output) / Tenaga Kerja
Waktu Kerja = (5 menit x 500) / 10 orang
Waktu Kerja = 250 menit
Maka berdasarkan perhitungan diatas, Untuk menyelesaikan Rework tersebut
PT. Ikhwanseadanya memerlukan waktu kerja sebanyak 250 menit.
50
51. 56. Quantity Index
Menunjukkan perubahan kuantitas (misalnya volume penjualan, jumlah
produksi, dsb.) dari satu periode ke periode lain.
Indeks Kuantitas = (Qn/Q0) * 100%
Keterangan:
Qn : jumlah produk pada tahun ke-n.
Q0 : jumlah produk pada tahun dasar.
Contoh:
Tahun Jumlah produk (Q)
o: 1981 (th. dasar) 200
n: 1986 250
Indeks Kuantitas = (Qn/Q0) * 100% = (250/200)*100% = 125%
57. Overall Equipment Effectiveness (OEE)
Metode pengukuran yang berfungsi untuk mengetahui efektifitas penggunaan
dan pemanfaatan mesin, peralatan, waktu serta material dalam sebuah
sistem operasi di industri menufaktur
OEE = Avilability X Performance X Quality
Dimana :
Availability = Waktu Operasi / Waktu Produksi yang direncanakan
Performance = (Standard Cycle Time x Total Pieces)/Operating Time
Quality = First Past Yield (%) Pieces / Total Pieces
Contoh :
Diketahui Nilai
Availability
Jadwal Operasi Mesin 8 Jam (480 Menit)
Istirahat 30 Menit
Downtime 60 Menit
Waktu Jadwal 480-30 = 450 (Menit)
51
52. Realisasi Waktu 450-60=390 (Menit)
Availability (A) =390/450=0.867 =86,7%
Performance
Produksi Unit/Jam =40 (unit)/60 (menit) =1,5 menit/unit
Prosuksi Mesin per shiftnya. 242 unit
Waktu Produksi = 242/1.5 = 363 menit
Performance (P) = 363/390 = 0.931 = 93,1%
Quality
Produksi Mesin untuk barang 230 unit
berkualitas baik pertama kali (FYP)
Quality (Q) = 230/242 = 0.950 = 95%
OEE (AxPxQ) = 86,7 x 93,1 x 95
Sekiranya, kita perlu membanding, maka saya perkenalkan nilai OEE standar
World Class Manufacturing sebagai berikut.:
Availability = 90,0%
Performance = 95,0%
Quality = 99,9%
OEE = 85,0%
58. Process Or Machine Downtime Level
Kita semua tahu bahwa hanya dengan satu menit dari downtime dapat berarti
kehilangan produktivitas, kehilangan keuntungan, limbah meningkat,
keselamatan dikompromikan dan reputasi rusak. Tapi solusi Proses
sementara otomatisasi berbuat banyak untuk mempercepat, mengoptimalkan
dan melindungi proses manufaktur, perangkat lunak itu sendiri harus
dilindungi dari downtime atau kehilangan.
Untuk itu banyak perusahaan khususnya perusahaan manufaktur menjadikan
downtime sebagai sebuah KPI, sehingga perhatian terhadap masalah
downtime ini menjadi sangat serius oleh sebuah unit kerja. indikator yang
digunakan disebut Downtime Level baik untuk pengukuran proses kerja
maupun mesin.
Downtime Level mengukur sejauh mana proses operasional tersedia
dan berjalan.
Downtime Level = (TA t / t PPT) x 100
52
53. dimana:
T PPT adalah waktu produktif direncanakan bahwa proses harus
tersedia dalam periode waktu t tertentu.
TA t adalah waktu produktif yang sebenarnya yang telah tersedia
dalam waktu t periode tertentu.
Contoh:
Downtime Level
Diketahui Nilai
Jadwal Operasi Mesin 8 Jam (480 Menit)
Istirahat 30 Menit
Downtime 60 Menit
Waktu Jadwal 480-30 = 450 (Menit)
Realisasi Waktu 450-60=390 (Menit)
Downtime Level =390/450=0.867 =86,7%
59. Process Cycle Efficiency
Process Cycle Efficiency (PCE). Metode ini memudahkan untuk menentukan
apakah proses yang dilakukan tersebut memiliki value-add. Untuk itu
dimembutuhkan beberapa hal :
1. Memetakan proses
2. Mengidentifikasi langkah-langkah value-add, non value-add, dan langkah
penting namun tergolong non value-add
3. Menstratakan maping sesuai point nomer 2
4. Tambahkan dimensi waktu pada langkah-langkah proses
Setelah langkah-langkah tersebut selesai, maka dapat dengan mudah
menghitung seberapa banyak persentasi dari value-add. Waktu dari
keseluruhan proses disebut cycle time. Untuk mengidentifikasi PCE, cukup
membagi waktu value-add time dengan cycle time.
PCE = (value-add time / cycle time) x 100
Contoh:
Berikut kami berikan contoh PCE pada suatu perusahaan manufaktur
53
54. Proses di atas memiliki cycle time 860 detik dan value-add time 182 detik.
Maka setelah menghitung PCE dari proses keseluruhan bernilai 21%.dari
hasil perhitungan (182.860)x 100 Dengan kata lain hanya 21% dari
keseluruhan proses yang memberikan value-add kepada customer.
Dengan penghitungan data PCE, sebuah perusahaan dapat meningkatkan
persentase value-add mereka kepada customer dengan mengeliminasi atau
mereduksi waste in waiting dalam proses mereka. Jika perusahaan
melakukan cara ini maka perusahaan akan menjadi perusahaan yang
mengutamakan kepentingan customer sehingga bukan tidak mungkin
perusahaan akan mendapatkan order lebih banyak lagi.
60. First Contact Resolution (FCR)
Dalam Customer Relationship Management (CRM), resolusi panggilan
pertama adalah menangani masalah pelanggan saat meminta bantuan untuk
pertama kali, sehingga menghilangkan kebutuhan bagi pelanggan untuk
menindaklanjuti dengan panggilan kedua. Waktu bicara (waktu rata-rata agen
54
55. menghabiskan pada setiap panggilan) adalah kinerja FCR. Secara umum,
rata-rata bicara untuk setiap panggilan pertama tinggi tanda bahwa panggilan
pelanggan tidak dijawab dengan memuaskan.
Manajer call center biasanya dengan hati-hati memonitor tindak lanjut
panggilan karena selain menjadi indikasi ketidakpuasan pelanggan, tindak
lanjut panggilan membuat volume panggilan meningkat secara keseluruhan
yang, dan pada gilirannya akan memerlukan lebih banyak agen.
55
57. 61. Human Capital Value Added (HCVA)
Rasio dari VA terhadap HC. Rasio ini menunjukkan kontribusi yang dibuat
oleh setiap rupiah yang diinvestasikan dalam HC terhadap value added
organisasi:
Output (OUT) : Total penjualan dan pendapatan lain.
Input (IN) : Beban dan biaya-biaya (selain beban karyawan).
Value Added (VA) : Selisih antara Output dan Input
VA = OUT – IN
Rasio dari VA terhadap HC. Rasio ini menunjukkan kontribusi yang dibuat
oleh setiap rupiah yang diinvestasikan dalam HC terhadap value added
organisasi:
Human Capital (HC) : Jumlah karyawan.
HCVA = VA/HC
62. Revenue Per Employee (RPE)
Sebuah rasio penting yang terlihat pada penjualan sebuah perusahaan dalam
kaitannya dengan jumlah karyawan yang mereka miliki. Hal ini dihitung
sebagai:
RPE = Pendapatan Sebelum Pajak (EBIT)/Jumlah Karyawan
Rasio ini sangat berguna bila dibandingkan dengan perusahaan lain dalam
industri yang sama. Idealnya, sebuah perusahaan ingin pendapatan tertinggi
per karyawan mungkin, karena itu menandakan produktivitas yang lebih
tinggi.
Contoh :
Tahun EBIT Jumlah Karyawan RPE
A B C B/C
2009 200.000.000 156 1.282.051
2010 240.000.000 150 1.600.000
2011 360.000.000 210 1.714.285
57
58. Dari data diatas dapat diketahui bahwa pendapatan tiap karyawan selama
tahun 2009 sampai dengan 2011 mengalami kenaikan.
63. Employee Satisfaction Index
Kesuksesan suatu organisasi akan sangat tergantung pada pengetahuan,
keterampilan, kreativitas, motivasi dan latar belakang dari organisasi tersebut.
Menghargai karyawan dan menjamin bahwa karyawan itu puas bekerja
dalam perusahaan adalah sangat penting. Untuk itu banyak perusahaan
yang menjadikan Employee satisfaction index sebagai alat ukur prestasi
perusahaan dalam mengelola Sumber Daya Manusianya.
64. Employee Engagement Level
Employee Engagement amat penting diterapkan didalam organisasi jasa,
karena organisasi jasa memiliki hubungan people to people yang harus
diimbangi dengan kualitas SDM yang unggul. DDI (Development Dimension
International) sebagai konsultan Manajemen Sumber Daya Manusia terbesar
di dunia pada tahun 2009 menyatakan membangun keunggulan bersaing
melalui inovasi produk saat ini sudah mulai ditinggalkan karena mereka
menyadari betapa mudahnya meniru sebuah produk yang biaya R&D nya
tidak sedikit. Susanto (2004) beranggapan bahwa memilih jalan yang efisien
dan efektif dalam memenangkan persaingan di industri jasa menjadi impian
banyak pengusaha saat ini. Salah satu alternatif adalah dengan
mengimplementasikan employee engagement, dimana sebuah keunggulan
bersaing diterapkan melalui SDM yang unggul dalam melayani konsumen.
McBain (2007) menyatakan bahwa employee engagement berdampak bagi
organisasi dalam hal penciptaan hasil yang berhubungan dengan konsumen
(customer related outcomes) seperti peningkatan layanan, kepuasan dan
loyalitas konsumen.
Institute of Employee Studies (2004) mendefinisikan employee engagement
adalah suatu sikap positif dari karyawan terhadap organisasi tempat dirinya
bekerja. Karyawan yang “terpacu” akan peduli dan rasa memiliki atau
mengabdikan diri terhadap bisnis organisasi secara maksimal dan bekerja
secara tim untuk meningkatkan performansi bagi organisasi.
Benthal melalui DDI (2005) mengartikan employee engagement adalah suatu
keadaan dimana manusia merasa dirinya menemukan arti diri secara utuh,
memiliki motivasi dalam bekerja, mampu menerima dukungan dari orang lain
58
59. secara positif, dan mampu bekerja secara efektif dan efisien di lingkungan
kerjanya.
65. Overall Labour Efectiveness (OLE)
Overall Labour Efectiveness (Efektifitas Tenaga Kerja Keseluruhan) adalah
indikator tenga kunci (KPI) untuk mengukur utilitas, kinerja dan kualitas
ternaga kerja beserta dampaknya terhadap produktifitas.
Mirip dengan Efektifitas Peralatan Keseluruhan (Overall Equipment
Effectiveness = OEE), OLE mengukur ketersediaan (Availability), Kinerja
(Performance) dan Kualitas (Quality).
Ketersediaan (Availability) adalah persentase waktu yang dihabiskan
karyawan dalam memberikan kontribusi efektif.
Kinerja (Performance) adalah jumlah produk yang disediakan.
Kualitas (Quality) adalah persentase produk tanpa cacat (sempurna)
yang diproduksi dan dapat dijual.
OLE membantu produsen untuk memahami kesaling ketergantungan dan
trade off produktifitas di lantai pabrik dan profitabilitas melalui mengukur
kontribusi tenaga kerja.
OLE = Availability x Performance x Quality
Contoh :
Misalkan ada seorang karyawan memiliki standar pekerjan sebagai berikut:
Satu minggu harus bekerja selam 40 jam produktif, menghasilkan 200 unit
output dengan tingkat kualitas bebas cacat (zero defect)
Selama waktu satu minggu, diakukan pengukurn terhadap kinerja budi, dan
memberikan data actual sebagai berikut:
Dalam 1 minggu, budi hanya bekerja 35 jam (5 jam absen), Availability
= 35/40 = 0,875 = 87,5%
Output yang dihasilkan oleh budi dari 35 jam bekerja itu 150 unit
produk, Performance = Aktual/Standar = 150/200 = 0,750 atau 75%
Dari 150 produk yang dihasilkan, terdapat cacat/rework 10 unit,
Quality = (150-10)/150 = 0,933 atau 93,3%
Maka OLE = A x P x Q = 0,875 x 0,750 x 0,933 = 0, 6123 atau 61,23%
Dari perhitungan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Budi hanya
mempu mengkonversi 61,23% potensinya untuk menjadi output yang
menguntungkan bagi perusahaan.
59
60. 66. Staff Advocacy Score
Staff Advocacy Score adalah ukuran sejauh mana karyawan pendukung
bisnis. Hal ini dapat diukur dengan menanyakan pertanyaan sederhana:
"Seberapa besar kemungkinan bahwa Anda akan merekomendasikan
perusahaan ini sebagai tempat yang baik untuk bekerja kepada teman?"
Indikator ini biasanya sudah termasuk dalam salah satu pertanyaan dalam
Survey Kepuasan Karyawan.
67. Employee Turnover Rate
Dalam sebuah perusahaan sumber daya menusia merupakan hal yang paling
utama, untuk itu menjadi sangat penting untuk menjaga/mengendalikan
tingkat turn over karyawan.Jika setiap tahun banyak pegawai yang keluar,
maka akan ada biaya yang tinggi untuk melakukan rekrutmen. Selain itu perlu
juga ada biaya untuk training, proses adaptasi, dan pengembangan
kompetensi para pegawai baru.
Employee Turn Over = Jml Karyawan Keluar periode tertentu/jumlah
karyawan pada awal periode tertentu.
Contoh:
Jumlah karyawan yang keluar dalam periode Januari s/d Desember 2011;
kemudian dibandingkan jumlah karyawan pada bulan Januari. Jadi misalnya,
jumlah karyawan yang keluar sepanjang periode Januari – Desember 2011
ada 20 orang. Sementara jumlah karyawan pada bulan Januari 2011 adalah
800 karyawan. Jadi angka persentase turn overnya adalah : 20/800 = 0,025
atau kalau di-persentasekan menjadi 2,5 %.
Jika angka turn over diatas 10 % maka itu tergolong sangat tinggi. Pada sisi
lain, ada beberapa industri tertentu yang angka turn over-nya cenderung lebih
tinggi, dibanding industri lainnya. Misalnya industri retail, angka turn over
pegawainya cenderung relatif lebih tinggi dibanding industri lainnya.
68. Average Employee Tenure (Rata-Rata Masa Jabatan Karyawan)
Average Employee Tenure adalah indikator yang mengunjukkan seberapa
besar tingkat loyalitas karyawan dalam sebuah perusahaan.Semakin tinggi
nilai dari rata-rata masa jabatan karyawan maka akan semakin baik. Indikator
60
61. ini juga menunjukkan seberapa besar pemborosan dalam perekrutan
karyawan.
Average Employee Tenure = Total masa kerja seluruh staff /Total Staff
Contoh:
No Nama Karyawan Masa Kerja
1 Karyawan A 5
2 Karyawan B 3
3 Karyawan C 7
4 Karyawan D 2
5 Karyawan E 5
6 Karyawan F 5
7 Karyawan G 7
8 Karyawan H 1
Total Masa Kerja Karyawan 35
Jadi Average Employee Tenure = 35/8 = 3,475
Indikator ini juga dapat menjadi pertimbangan kinerja dari efektifitas dari
kegiatan perekrutan karyawan oleh Bagian HRD.
69. Absenteeism Bradford Factor
KPI ini mencoba mengukur tingkat kehadiran karyawan; dimana angka
targetnya adalah sebaiknya 100 %. Artinya tidak ada karyawan yang mangkir
dan tidak masuk tanpa alasan.
S = jumlah kesempatan ketidakhadiran dalam 52 minggu terakhir
D = jumlah hari absen dalam 52 minggu terakhir
Contoh:
Karyawan A
Memiliki 9 sickdays dalam setahun, 4 adalah absen hari dan 5 berada dalam
blok.
S = 1 (1) + 1 (1) + 1 (1) + 1 (1) + 1 (5) = 5
D=1+1+1+1+5=9
skor = 5 x 5 x 9 = 225
61
62. Karyawan B
Memiliki 15 sickdays dalam setahun, 3 blok dari 5 hari.
S = 1 (5) + 1 (5) + 1 (5) = 3
D = 5 + 5 + 5 = 15
skor = 3 x 3 x 15 = 135
Contoh menunjukkan bahwa B memiliki sickdays lebih dari A, namun B Skor
Bradford lebih rendah dari A. Hal ini karena beberapa hari absen dianggap
lebih mengganggu perusahaan, dibandingkan periode yang lebih lama sedikit
dari ketiadaan.
70. 360-Degree Feedback Score
360-Degree Feedback adalah tipe penilaian paling komprehensif namun
relative lebih mahal. Pola ini memberi seseorang kesempatan untuk
mengetahui bagaimana mereka dinilai orang lain; termasuk untuk melihat
ketrampilan dan perilakunya. Manfaatnya antara lain untuk meningkatkan
kinerja dan dapat juga untuk memperbaiki komunikasi dengan orang lain.
Dari studi yg dilakukan Walker and Smither (1999) selama lima
tahun,memang antara satu-dua tahun pertama tak ada perbaikan signifikan.
Namun setelah itu tampak ada peningkatan kinerja. Selain itu studi yang
dilakukan Reilly et al. (1996) menunjukkan adanya peningkatn kinerja di
bidang administrasi pada tahun-tahun pertama dan berlangsung terus setelah
dua tahun. Menurut (Maylett & Riboldi, 2007) model 360 derajad ini dapat
digunakan untuk memprediksi kinerja di masa datang.
360 degree feedback adalah suatu metode penilaian kinerja yang
memungkinkan karyawan untuk memperoleh kesempatan menerima
feedback dari supervisor dan rekan kerjanya.
360 degree feedback memberikan pemahaman terhadap individu mengenai
bagaimana efektivitasnya sebagai karyawan, kolega maupun staf
berdasarkan pandangan orang lain.
360 degree feedback juga memberikan suatu insight mengenai skill dan
perilaku yang diinginkan oleh organisasi sesuai dengan visi, misi dan tujuan
yang diembannya. Feedback diperlukan dalam membangun perilaku yang
dibutuhkan oleh organisasi.
Siapa yang memberikan rating? Umumnya perating adalah orang yang sama-
sama dipilih baik oleh karyawan maupun organisasi, yaitu orang yang
berinteraksi secara rutin oleh orang yang menerima feedback.
62