3. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia i
Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Penulis : Masudik, Ari Dian P, Dinar K
ISBN : 978-602-70280-2-9
Penataletak : Tiara Ramadayanti
Desain sampul : Ari Dian Prayoga
Copyright @GADAR Medik Indonesia
iii, 65 hal, 14.8 x 21 cm
Cetakan pertama, Edisi Revisi 1, April 2019
Diterbitkan oleh
GADAR Medik Indonesia
Ruko Blessing no. 50 – 51, Jln. Keong Mas III, Perumnas II Bekasi
Kayuringin Jaya, Kota Bekasi
Dicetak dan didistribusikan oleh
GADAR Medik Indonesia
4. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
ii Gadar Medik Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan
karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan buku panduan ini.
Trauma mengenai orang disepanjang rentang hidupnya. Cedera traumatic
merupakan salah satu penyebab kematian pada usia dibawah 45 tahun. Namun
demikian kematian hanyalah salah satu dampak diantara dampak lainnya yaitu
kecacatan permanen dan berbagai tingkatan gangguan fisik lainnya.
Trauma dapat disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja,
kecelakaan rumah tangga atau akibat bencana atau huru hara.
Bencana selain meyebabkan kerusakan infrastruktur juga dapat menyebabkan
trauma orang orang yang terdampak bencana bahkan tidak sedikit yang sampai
meninggal.
Khususnya petugas kesehatan agar bisa memberikan pertolongan yang baik dan
benar tentunya harus memiliki kompetensi yang cukup dalam penanganan trauma
dan manajemen bencana. Buku ini disusun untuk pedoman dalam memberikan
pertolongan pertama melalui program pelatihan. Didalam buku panduan ini
dijabarkan dan dijelaskan cara memberikan pertolongan pertama yang aman dan
simpel, serta peran serta dan tugas tenaga kesehatan dalam kondisi bencana.
Akhir kata tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan masukan serta kontribusi dalam penulisan buku ini, semoga
bermanfaat.
Bekasi,
Penulis
Masudik, EMT-P., M.Kes
5. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………….. ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………… iii
BANTUAN HIDUP DASAR …………………………………………………… 1
RECOVERY POSITION …………………………………………………………. 11
INITIAL ASSESMENT …………………………………………………………… 15
PENATALAKSANAAN PASIEN TRAUMA ………………………………. 27
TRANSPORTASI PENDERITA GAWAT DARURAT …….…..………. 39
TRIASE ………………………………………………………………………………. 47
TRANSFER SKILL ……………………………………………………………….. 53
BENCANA .............................................................................. 57
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………... 65
6. Buku Panduan Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia – Nusantara Sehat 1
BANTUAN HIDUP DASAR
Pendahuluan
Resusitasi jantung paru adalah serangkaian usaha penyelamatan hidup pada
henti nafas dan henti jantung. Walaupun pendekatan yang dilakukan dapat
berbeda-beda, tergantung penolong, pasien dan keadaan sekitar, tantangan
mendasar tetap ada, yaitu bagaimana melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP)
yang lebih dini, lebih cepat dan lebih efektif. Untuk menjawabnya, pengenalan
akan adanya henti jantung dan tindakan segera yang harus dilakukan menjadi
prioritas dalam tindakan penyelamatan. Untuk itu diperlukan teknik RJP yang
tetap dapat memelihara produktivitas pasca perawatan dan meminimalkan
cidera saat ditolong.
Dengan penemuan tindakan diagnostik dan resusitasi mutakhir, maka
kematian tidak lagi dianggap sebagai saat berhenti kerja jantung. Sekarang
dikenal spectrum keadaan fisiologis yang meliputi kematian klinis, serebral dan
organismik. Tanpa pertolongan tindakan resusitasi maka berhentinya sirkulasi
akan menyebabkan kegagalan fungsi otak dan kemudian organismik (dengan
kerusakan sel irreversible/menetap).
Epidemiologi
Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa negara.
Terjadi baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan
sekitar 350.000 orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika
dan Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal
akibat henti jantung dan tidak sempat diresusitasi. Walaupun usaha untuk
melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat
tidak dilakukannya resusitasi.
Sebagian besar pasien henti jantung adalah orang dewasa, tetapi ribuan bayi
dan anak juga mengalaminya setiap tahun. Henti jantung akan tetap menjadi
penyebab utama kematian yang prematur, dengan perbaikan kecil dalam usaha
penyelamatan maka ribuan nyawa dapat diselamatkan setiap tahun.
Etiologi
1. Henti Nafas
Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara
pernafasan pasien gawat darurat. Henti nafas merupakan kasus yang harus
dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar. Henti napas primer (respiratory
arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya :
7. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
2 Gadar Medik Indonesia
a) Sumbatan jalan nafas : benda asing, aspirasi, lidah yang jatuh ke
belakang, kelainan akut glotis dan sekitarnya (sembab glotis,
perdarahan).
b) Depresi pernafasan : Sentral : Obat – obatan, intoksikasi, Pa O2 rendah,
Pa CO2 tinggi, setelah henti jantung, tenggelam.
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa
menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan
teselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti
jantung
2. Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest ) ialah ketidak sanggupan curah
jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya
secara mendadak tetapi bias kembali normal, bila dilakukan tindakan yang
tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak bila tidak
segera dilakukan tindakan. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau
penyakit kronis tentu tidak termasuk kriteria diatas. Henti jantung bisa
disebabkan oleh :
a) Penyakit kardiovaskular : penyakit jantung iskemik, infark miokardial
akut.
b) Kekurangan oksigen akut : henti nafas, benda asing di jalan nafas,
sumbatan jalan nafas oleh sekresi.
c) Kecelakaan, tersengat listrik, tengelam.
d) Syok (hipovolemik, neurologic, toksik, anafilaksis)
Henti jantung yang diawali dengan Fibrilasi Ventrikel atau Takikardi
tanpa denyut nadi sekitar (80-90%) kasus, kemudian disusul oleh asistol (±
10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (± 5%). Dua jenis henti
jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat gangguan
pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas
jantung menghilang. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak
teraba (karotis, femoralis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali,
pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak
bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar. Resusitasi
Jantung Paru (RJP) dilakukan untuk mencegah berhentinya sirkulasi atau
berhentinya pernapasan.
8. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 3
Rantai kelangsungan hidup/the chain of survival
The chain of survival/rantai kelangsungan hidup adalah sebuah protokol yang
membantu penolong pertama, penyedia layanan darurat medis dan orang awam
bersertifikat menyediakan pelayanan penting untuk pasien tersedak atau
serangan jantung atau pernafasan. Tujuan dari rantai kelangsungan hidup adalah
untuk meningkatkan kesempatan pasien untuk pemulihan melalui tindakan dini.
Rangkaian tindakan yang dilaksanakan pada awal dari setiap kasus kegawatan
medik untuk memberikan bantuan/pertolongan dengan tujuan mempertahankan
kelangsungan hidup
Rekomendasi terbaru tahun 2015, rantai kelangsungan hidup dipisahkan
antara perawatan pasien yang mengalami serangan jantung diluar rumah
sakit/Out of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) dengaan pasien yang mengalami
serangan jantung di rumah sakit/Hospital Cardiac Arrest (HCA). Pasien yang
mengalami serangan jantung diluar rumah sakit lebih banyak ditemukan oleh
orang awam, namun penemu pertama tersebut harus mengenali adanya
serangan jantung, meminta bantuan dan memberikan pertolongan pertama
dengan segera memulai Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada pasien tersebut.
Apabila ditempat kejadian tersebut terdapat fasilitas Automated External
Defibrilator (AED), maka penolong tersebut dapat menggunakan alat tersebut
untuk membantu penyelamatan pasien tersebut, sampai akhirnya petugas
kesehatan yang terlatih tiba ditempat dan mengambil alih penyelamatannya.
Kemudian membawa pasien tersebut ke fasilitas kesehatan yang dilakukan
perawatan di ruang Intensive Care Unit (ICU). Sebaliknya bila pasien yang
mengalami serangan jantung tersebut berada di rumah sakit, maka team dari
petugas kesehatan yang meliputi dokter, perawat, ahli terapi pernafasan dapat
langsung memberikan pertolongan.
Sistem gawat darurat yang dilakukan secara efektif pada kasus seperti ini
dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan gangguan irama jantung VF
(ventricle fibrillation) hingga 50%. Pada sebagian besar sistem gawat darurat
dengan angka keberhasilan masih lebih rendah, menandakan bahwa masih perlu
adanya perbaikan pada sistem ini.
Semua tindakan yang dilakukan harus dilaksanakan secara
berkesinambungan, saling berkaitan satu sama lain seperti satu mata rantai/
Chain Of Survival. Semakin cepat penolong masuk kedalam suatu mata rantai dan
kemudian dapat beralih pada mata rantai berikutnya, maka semakin tinggi tingkat
keberhasilan dari pertolongan tersebut.
9. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
4 Gadar Medik Indonesia
Rantai Kelangsungan Hidup HCA dan OHCA
Resusitasi Jantung Paru (RJP)
Kerangka kerja Resusitasi Jantung Paru (RJP) yaitu interaksi antara penolong
dan pasien. Resusitasi Jantung Paru (RJP) secara tradisional menggabungkan
antara kompresi dada dan nafas buatan dengan tujuan untuk meningkatkan
sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik penolong dan pasien dapat mempengaruhi
pelaksanaan tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP).
• Penolong
Setiap orang dapat menjadi penolong bagi pasien henti jantung. Kemampuan
RJP dan penerapannya tergantung dari hasil pelatihan, pengalaman dan
kepercayaan diri si penolong. Kompresi dada adalah dasar RJP. Karena
pentingnya, kompresi dada harus menjadi tindakan RJP yang pertama kali
dilakukan terhadap semua pasien tanpa memandang usianya. Penolong yang
memiliki kemampuan sebaiknya juga melakukan ventilasi. Penolong non
petugas kesehatan yang tidak terlatih, mereka dapat melakukan strategi
Pengawasan dan
pencegahan
Pengenalan dan
pengangtifan
SPGDT
RJP berkualitas
tinggi secepatnya
Defibrilasi
cepat
Bantuan hidup lanjutan
dan perawatan pasca
serangan jantung
HCA
Tim
Medis
Reaksi
Cepat
Dokter layanan primer
Lab.
Reaksi
Cepat
ICU
Reaksi
Cepat
Pengenalan dan
pengangtifan
SPGDT
RJP berkualitas
tinggi secepatnya
Defibrilasi
cepat
Layanan Medis
darurat dasar
dan lanjutan
Bantuan hidup lanjutan
dan perawatan pasca
serangan jantung
IGD Lab.
K
a
t
ICUSPGDT
Penolong tidak terlatih
OHCA
10. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 5
“Hands only CPR” (hanya kompresi dada). Kompresi dada sebaiknya
dilakukan hingga petugas kesehatan hadir atau alat defibrilasi otomatis
tersedia.
• Pasien
Sebagian besar henti jantung dialami orang dewasa secara tiba-tiba setelah
suatu sebab primer, karenanya sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi dada
menjadi yang terpenting.
Pada tahun 2015 American Heart Association (AHA) membuat beberapa
perubahan dalam melakukan Resusitasi Jantung Paru, dibandingkan tahun 2010,
khususnya untuk penyedia layanan kesehatan atau petugas kesehatan,
sementara untuk untuk orang yang tidak terlatih tetap sama . Hal ini dasarkan
pada penelitian penelitian yang telah dilaksanakan untuk bisa lebih meningkatkan
angka keberhasilan hidup pasien dan lebih efektifnya Resusitasi Jantung Paru
(RJP). Beberapa pembaharuan yang telah dilakukan adalah seperti berikut :
1. Untuk penolong tidak terlatih
Untuk mengenali terjadinya Sudden Cardiac Arrest (SCA) adalah hal yang
tidak mudah. Jika terjadi kekeliruan dan keterlambatan untuk bertindak dan
memulai Resusitasi Jantung Paru (RJP), ini akan mengurangi angka keberhasilan
hidup pasien tersebut. Kompresi dada merupakan tindakan yang sangat penting
dalam Resusitasi Jantung Paru (RJP) kerana perfusi tergantung kepada kompresi.
Oleh kerana itu, kompresi dada merupakan tindakan yang terpenting jika ada
pasien yang mengalami SCA.
Urutan yang disarankan untuk penolong segera memulai kompresi dada
sebelum memberikan napas buatan (C-A-B) agar dapat mengurangi penundaan
kompresi pertama. Walapun hanya ada satu penolong, maka harus memulai RJP
dengan 30 kompresi dada yang diikuti dengan 2 napas buatan. Melakukan RJP
berkualitas tinggi yaitu mengkompresi dada pada kecepatan dan kedalaman yang
memadai, membiarkan rekoil dada sepenuhnya setelah setiap kompresi,
meminimalkan interupsi dalam kompresi, dan mencegah ventilasi yang
berlebihan. Kecepatan kompresi dada yang disarankan adalah 100 hingga
120/min (diperbarui dari minimum 100/min). Rekomendasi yang dibolehkan
untuk kedalaman kompresi dada pada orang dewasa adalah minimum 2 inci (5
cm), namun tidak lebih besar dari 2,4 inci (6 cm). Algoritma BHD sederhana untuk
penolong tidak terlatih adalah sebagai berikut :
11. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
6 Gadar Medik Indonesia
Algoritma BHD sederhana untuk penolong tidak terlatih
Ketika menemukan pasien henti jantung pada orang dewasa yang bersifat
mendadak, seorang penolong pertama kali harus mengenali henti jantung itu dari
unresponsiveness dan tidak adanya pernafasan
normal. Setelah mengenali, penolong harus segera
mengaktifkan sistem penanggulangan gawat darurat
terpadu (SPGDT) , mengambil Automated External
Defibrilator (AED), jika ada, dan memulai Resusitasi
Jantung Paru (RJP) dengan kompresi dada. Jika AED
tidak tersedia, penolong harus memulai RJP
langsung.
Ketika AED/defibrilator datang, pasang pad, jika
memungkinkan, tanpa memotong kompresi dada
yang sedang dilakukan, dan nyalakan AED. AED akan
menganalisis ritme jantung dan menunjukkan
apakah akan melakukan kejutan (defibrilasi) atau
melanjutkan RJP. Jika AED/defibrilator tidak tersedia,
lanjutkan RJP tanpa interupsi hingga ditangani oleh
penolong yang lebih berpengalaman/ahli. Algoritma
di atas menunjukkan tahapan yang logis, ringkas dan
mudah bagi setiap penolong yang tidak terlatih.
Blue Button
12. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 7
2. Untuk penyedia layanan kesehatan
Pada tahun 2015 American Heart Association (AHA) membuat perubahan
dalam melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) dan memberikan rekomendasi
untuk petugas kesehatan. Rekomendasi ini memungkinkan fleksibilitas untuk
pengaktifan sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT) untuk lebih
menyesuaikan dengan kondisi klinis penyedia layanan kesehatan. Penolong
terlatih didorong untuk menjalankan tahapan tahapan tindakan secara
bersamaan (misal : memeriksa pernafasan dan denyut nadi dilakukan secara
bersamaan) dalam upaya mengurangi waktu untuk kompresi dada pertama.
Peningkatan penekanan telah diterapkan pada RJP berkualitas tinggi
menggunakan target performa (kompresi kecepatan dan kedalaman yang
memadai, dan membiarkan rekoil dada sepenuhnya di antara setiap kompresi,
meminimalkan interupsi dalam kompresi, dan mencegah ventilasi yang
berlebihan). Lihat tabel dibawah ini :
Tabel 1 Anjuran dan larangan BLS untuk RJP yang berkualitas tinggi pada orang dewasa
Kriteria untuk meminimalkan gangguan kompresi dada, maka kompresi dada
dilakukan setinggi mungkin, dengan target minimum 60%. Meskipun sistem
SPGDT telah menerapkan paket perawatan yang melibatkan kompresi dada
berkelanjutan, namun penggunaan teknik ventilasi pasif dapat dianggap sebagai
bagian dari paket perawatan untuk pasien yang mengalami serangan jantung di
luar rumah sakit (OHCA). Untuk pasien yang sedang lakukan RJP dan sudah
terpasang airway definititif (intubasi), kecepatan ventilasi yang lebih lambat
disarankan 1 napas buatan setiap 5- 6 detik (10 – 12 napas buatan per menit).
Pengenalan dini, dimulai dengan keamanan disekitar lokasi kejadian. Jika
melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsive maka petugas
kesehatan harus mengamankan tempat kejadian dan memeriksa respon pasien.
Tepukan pada pundak dan teriakkan nama pasien sambil melihat apakah pasien
Penolong Harus Penolong Tidak Boleh
Melakukan kompresi dada dengan kecepatan
100-120/min
Mengkompresi pada kecepatan lebih rendah dari
100/min atau lebih cepat dari 120/min
Kedalaman kompresi dada minimum 2 inci (5 cm)
Mengkompresi ke kedalaman kurang dari 2 inci
(5 cm) atau lebih dari 2,4 inci (6 cm)
Membiarkan rekoil penuh setelah setiap kali
kompresi
Bertumpu di atas dada di antara kompresi yang
dilakukan
Meminimalkan jeda dalam kompresi Menghentikan kompresi lebih dari 10 detik
Memberikan ventilasi yang cukup (2 napas
buatan setelah 30 kompresi, setiap napas buatan
diberikan lebih dari 1 detik, setiap kali diberikan
dada akan terangkat)
Memberikan ventilasi berlebihan misalnya,
terlalu banyak napas buatan atau memberikan
napas buatan dengan kekuatan berlebihan.
13. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
8 Gadar Medik Indonesia
tidak bernafas atau terengah-engah. Lihat apakah pasien merespon dengan
jawaban, erangan atau gerakan. Pasien yang tidak responsif serta tidak ada nafas
atau hanya terengah-engah maka petugas kesehatan dapat mengasumsi bahwa
pasien mengalami henti jantung.
Petugas sebaiknya mengaktifkan sistem penanggulangan gawat darurat
terpadu (SPGDT) yang dalam hal ini berarti menghubungi institusi yang
mempunyai fasilitas/layanan gawat darurat, contohnya menghubungi rumah
sakit, polisi, atau instansi terkait.
Memeriksa ada tidaknya nafas pada pasien cukup dengn melihat langsung
pergerakan dada atau tidak. Sulitnya menilai nafas yang adekuat pada pasien
merupakan alasan dasar hal tersebut tidak dianjurkan. Nafas yang terengah dapat
disalah artikan sebagai nafas yang adekuat oleh professional maupun bukan.
Untuk petugas kesehatan, pemeriksaan nadi pasien sebaiknya tidak lebih dari
10 detik jika lebih dari waktu tersebut tidak didapatkan denyut nadi yang
definitive maka petugas sebaiknya memulai RJP. Lakukan kompresi dada
sebanyak satu siklus yang dilanjutkan dengan ventilasi dengan perbandingan 30 :
2. Lakukan tindakan tersebut hingga Advanced Life Support (ALS) tiba dan
mengambil alih tindakan. Berikut ini algoritma BLS yang telah dilakukan
perubahan oleh AHA tahun 2015 :
Tabel 2 Ringkasan Komponen RJP Berkualitas Tinggi untuk Penyedia BLS
Komponen Dewasa dan Anak
Remaja
Anak Anak (Usia 1
tahun hingga
pubertas)
Bayi
(Usia < 1 tahun tidak
termasuk bayi baru
Lahir)
Keamanan Lokasi Rasio Kompresi-Ventilasi tanpa Jalan Nafas Lanjutan
Pengenalan Serangan
Jantung
Periksa adanya reaksi, nafas berhenti atau tersengal (missal nafas tidak
normal), tidak teraba denyut dadi dalam 10 detik (pemeriksaan nafas dan
denyut nadi dilakukan bersamaan kurang dari 10 detik)
Pengangtifan SPGDT Jika anda sendiri tanpa
ponsel, tinggalkan
pasien sendiri untuk
mengaktifkan SPGDT
dan mengambil AED
sebelum memulai RJP
Atau perintahan orang
lain untuk
melakukannya dan
segera mulai RJP,
gunakan AED segera
setal AED tersedia.
Pasien jantuh pingsan
Ikuti langkah-langkah untuk orang dewasa dan
anak remaja disbelah kiri
Pasien tidak terlihat jantuh pingsan
Lakukan RJP selama 2 menit, tinggalkan pasien
untuk mengatifkan SPGDT dan mengambil AED,
kembali ke pasien untuk melanjutkan RJP dan
gunakan AED segera setelah tiba.
Rasio Kompresi-
Ventilasi tanpa Jalan
Nafas Lanjutan
1 atau 2 penolong
30 : 2
1 penolong
30 : 2
2 penolong atau lebih
14. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 9
15 : 2
Rasio Kompresi-
Ventilasi dengan Jalan
Nafas Lanjutan
Kompresi terus dengan kecepatan 100-120 x/menit
Berikan 1 kali nafas buatan setiap 6 detik (10 nafas buatan/menit)
Kecepatan Kompresi 10-120 x/menit
Kedalaman Kompresi Minimum 2 inci (5 cm) Minimum sepertiga
dari diameter AP dada
Sekitar 2 inci (5 cm)
Minimum sepertiga
dari diameter AP dada
Sekitar 1 1/2 inci (4
cm)
Penempatan Tangan 2 tangan berada di
separuh bagian bawah
tulang dada (sternum)
2 tangan atau 1 tangan
(opsional untuk anak
yang sangat kecil)
berada di separuh
bagian tulang dada
(sternum)
1 penolong
2 jari dibagian tengah
dada, tepat dibaris
putting
2 penolong atau lebih
2 tangan dengan ibu
jari bergerak
melingkar dibagian
tengan dada, tpat
dibagian bawah baris
puting
Rekoil Dada Lakukan rekoil penuh setiap kali kompresi, jangan bertumpu diatas dada
setelah setiap kali kompresi
Meminimalkan
gangguan
Batasi gangguan dalam kompresi dada menjadi < dari 10 detik
15. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
10 Gadar Medik Indonesia
Berikan 1 kejut. Segera lanjutkan dengan RJP
kurang lebih selama 2 menit (sampai AED
membaca irama jantung). Lanjutkan hingga
tenaga ALS mengambil alih atau pasien mulai
bergerak.
Segera lanjutkan dengan RJP kurang lebih
selama 2 menit (sampai AED membaca irama
jantung). Lanjutkan hingga tenaga ALS
mengambil alih atau pasien mulai bergerak.
Penyedia Layanan Kesehatan : BLS Algoritma Serangan Jantung Pada Orang
Dewasa Pembaharuan 2015
Amankan Lokasi Kejadian
Pasien tidak menunjukkan reaksi.
Teriaklah untuk mendapatkan pertolongan terdekat.
Aktifkan SPGDT melalui perangkat bergerak (jika tersedia).
Ambil AED dan peralatan gawat darurat (atau minta seseorang
untuk melakukannya).
Perhatikan apakah napas
berhenti atau tersengal dan
periksa denyut nadi (secara
bersamaan).
Apakah denyut nadi benar
benar teraba dalam 10
detik?
Pantau hingga
tenaga medis
terlatih tiba
Berikan napas buatan:
1 napas buatan setiap 5 – 6
detik atau sekitar 10 -12
napas buatan per menit.
• Aktifkan sistem
tanggapan darurat (jika
belum dilakukan)
setelah 2 menit.
• Terus berikan napas
buatan, periksa denyut
kurang lebih setiap 2
menit. Jika tidak ada
denyut, mulai RJP
(lanjutkan dengan kotak
“RJP”)
• Jika kemungkinan
terjadi overdosis opoid,
berikan nalokson sesuai
protokol, jika berlaku.
RJP
Mulai siklus 30 kompresi dan 2 napas buatan
Gunakan AED segera setelah tersedia
AED tersedia
Periksa irama denyut jantung,
Irama dapat dikejut ?
Pada saat ini, dalam semua skenario,
SPGDT telah diaktifkan, serta AED dan
peralatan gawat darurat telah tersedia
atau seseorang telah menyediakannya.
Bernapas
Tidak
Normal,
Ada Denyut
Bernapas
Normal,
Ada Denyut
Ya, Irama dapat
dikejut
Tidak, Irama tidak
dapat dikejut
16. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 11
RECOVERY POSITION
Pengertian
Recovery position adalah suatu posisi yang diberikan kepada pasien untuk
menjaga jalan nafas tetap terbuka. Recovery position hanya dilakukan pada
pasien yang berusia diatas 1 tahun. Pasien yang tidak sadar dan bernafas adekuat
serta tidak ada kondisi lain yang mengancam jiwa dapat diberikan posisi ini.
Tujuan pemberian posisi pemulihan (recovery position) adalah:
1. Menjaga jalan napas pasien tetap terbuka dan bersih.
2. Mencegah aspirasi (masuknya muntahan/benda asing ke dalam mulut
pasien).
Cara melakukan Recovery Position
1. Keluarkan benda-benda dari pakaian pasien.
2. Berlutut disamping pasien, pastikan kedua tungkai pasien dalam posisi lurus.
3. Letakkan tangan pasien (yang paling dekat dengan penolong) disekitar kepala
pasien dan membentuk posisi U.
4. Ambil tangan pasien lainnya (yang paling jauh dengan penolong) letakkan
punggung tangan pasien menempel di pipinya.
5. Dengan tangan lainnya (penolong) tarik sekitar lutut kaki pasien yang terjauh
dari penolong ke atas tetapi telapak kaki pasien tetap menyentuh lantai.
6. Ambil kuda-kuda disekitar paha pasien.
7. Sambil tetap mempertahankan tangan pasien dipipinya, tarik tubuh pasien
miring kearah penolong.
8. Tengadahkan dagu pasien agar jalan napas terbuka.
9. Perhatikan jangan sampai pasien bergulir ke arah depan ataupun ke arah
belakang.
10. Perhatikan napas dan nadi pasien secara rutin.
11. Rubah posisi pasien setelah 30 menit.
17. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
12 Gadar Medik Indonesia
Gambar : Cara melakukan Recovery Position
1 2
4
3
18. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 13
DAFTAR TILIK PRAKTIKUM
RESUSITASI JANTUNG PARU (RJP)
No. Tindakan Dilakukan Tidak
Dilakukan
1 3A (Aman diri, Aman Lingkungan dan Aman Pasien)
2 Cek respon pasien
Dengan cara :
Menepuk bahu pasien
3 Call for Help
Meminta bantuan sekitar dan menelfon layanan kesehatan maupun
layanan kegawatdaruratan terdekat (puskesmas, rumah sakit, dll)
serta meminta bawa AED (Automated External Defibrilator)
4 Cek Nadi Karotis dan Quick look (melihat kembang kempis dada
pasien) dalam waktu kurang dari 10 detik
4.1 Jika nadi teraba dan pasien terlihat bernafas (terdapat
kembang kempis dada), maka dilakukan observasi, pastikan
Airway Breathing dan Circulation paten dan pantau sampai
dengan tenaga medis datang
4.2 Jika nadi teraba tetapi pasien tidak terlihat bernafas (tidak
terdapat kembang kempis dada), maka diberikan bantuan
nafas / Rescue Breathing,
Dengan cara : Mouth to Mask
Dengan frequensi 10-12 kali/ menit,
Berikan selama 2 menit, lalu diperiksa ulang
4.3 Jika nadi tidak teraba dan pasien tidak terlihat bernafas (tidak
ada kembang kempis dada), maka dilakukan RJP
Dengan cara :
• Tekan di bagian bawah tengah sternum dengan
kecepatan 100-120 kali/ menit
• Kedalaman kompresi 5-6 cm pada dewasa dan anak-
anak, 4 cm pada bayi
• Melakukan recoil penuh
• Memberikan bantuan nafas tidak berlebihan
• Minimal jeda
• Rasio kompresi dan ventilasi 30 : 2
5 Jika AED telah tiba/ tersedia, pasang AED dan ikuti instruksi dari
mesin AED
6 Lakukan RJP sampai dengan :
• Pasien ada respon
• Tenaga yang lebih ahli datang
• Pasien menunjukkan kematian biologis
• Penolong kelelahan
20. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 15
INITIAL ASSESSMENT
Tahapan Pengelolalaan Pasien Gawat Darurat
Penatalaksanaan pasien gawat darurat berlangsung dalam dua fase yaitu pra
rumah sakit dan fase rumah sakit. Fase pra-rumah sakit (pre-hospital) adalah
suatu keadaan seluruh kejadian di masyarakat idealnya berlangsung dalam
koordinasi dengan tenaga kesehatan di rumah sakit. Fase kedua adalah
fase rumah sakit (in-hospital), yaitu suatu keadaan dilakukan persiapan
untuk menerima pasien gawat darurat di rumah sakit sehingga dapat dilakukan
resusitasi dalam waktu tepat.
Dengan tetap memegang prinsip DO NOT FURTHER HARM, pada setiap fase
pengelolaan pasien gawat darurat maka setiap penolong agar memperhatikan
keadaan yang dapat membahayakan nyawa pasien. Waspada terhadap situasi
yang dapat timbul dari masalah A, B dan C harus selalu dicermati agar dapat
mengantisipasi setiap masalah berisiko terjadi.
Triase
Triase adalah suatu cara memilah dan menentukan pasien berdasarkan
kebutuhan terapi dan sumber daya yang tersedia . Terapi didasarkan pada
prioritas ABC (Airway dengan control servikal, Breathing dan Circulation dengan
control perdarahan. Triase juga berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan
ataupun dirumah sakit rujukan. Merupakan tanggung jawab petugas kesehatan
untuk mengirim penderita ke rumah sakit sesuai dengan kondisi penderita. Ada
dua jenis triase yang dapat dilakukan :
a. Multiple casualties
Musibah masal dimana jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak
melampaui kemampuan rumah sakit dan sumber daya yang tersedia. Dalam
keadaan ini penderita dengan masalah multi trauma dan yang mengancam
nyawa akan ditangani terlebih dahulu.
b. Mass casualties
Musibah masal dengan jumlah penderita dan beratnya luka melampaui
kemampuan rumah sakit dan sumber daya yang tersedia. Dalam keadaan ini
yang akan dilayani terlebih dahulu adalah penderita dengan kemungkinan
survival lebih besar, serta membutuhkan waktu, peralatan dan tenaga paling
sedikit.
21. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
16 Gadar Medik Indonesia
Survei Primer (Primary Survey)
Survei primer atau biasa disebut primary survey adalah suatu proses
melakukan penilaian keadaan pasien gawat darurat dengan menggunakan
prioritas Airway, Breathing, Ciculation, dengan tambahan Disability, dan Exposure
(A-B-C-D-E) untuk menentukan kondisi patofisiologis pasien dan pertolongan yang
dibutuhkan dalam waktu emasnya. Dalam survei primer kita harus berfikir
sekuensial dan bertindak secara simultan yang dilakukan sampai pasien stabil.
Pada pasien gawat darurat luka parah, prioritas terapi diberikan berurutan,
berdasarkan penilaian :
A. Airway + (C Spine Control)
B. Breathing + (Ventilation)
C. Circulation + (Kontrol Perdarahan), dengan tambahan :
D. Disability (GCS,Tanda Lateralisasi)
E. Exposure
Pertolongan pasien gawat darurat pada fase pra-rumah sakit, prioritas yang
terpenting adalah ABC. Lakukan resusitasi setiap saat diperlukan, jika pasien
sudah stabil airway, breathing dan circulation nya kemudian dirujuk ke fasilitas
kesehatan yang lebih mampu.
Airway Dengan Kontrol Servikal
Prioritas utama penilaian adalah A (Airway) – Jalan Nafas, yaitu kelancaran
jalan nafas (Airway). Intervensi pada Airway ini meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah,
fraktur mandibula atau maksila, fraktur larinks atau trakhea.
Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal
karena kemungkinan cidera atau patahnya tulang servikal harus selalu
diperhitungkan. Kemungkinan patahnya tulang servikal dapat diduga bila ada :
• Trauma dengan penurunan kesadaran (koma)
• Adanya luka karena trauma tumpul di atas klavikula
• Setiap multi-trauma (trauma pada 2 regio atau lebih)
• Biomekanik trauma mendukung.
Dalam keadaan kecurigaan fraktur servikal, harus dipakai alat imobilisasi. Alat
imobilisasi ini harus dipakai sampai kemungkinan fraktur servikal dapat
disingkirkan.
Breathing Dan Ventilasi
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak diperlukan untuk
proses metabolisme tubuh. Oksigen diperlukan dengan konsentrasi 16 - 20 %
22. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 17
atau sama dengan konsentrasi oksigen di udara bebas, selanjutnya melalui paru-
paru dikeluarkan karbondioksida (CO2). Pertukaran oksigen dengan karbon
dioksida bisa terjadi bila udara bisa masuk dan keluar jalan nafas tanpa
hambatan.
Untuk terjadinya ventilasi yang baik memerlukan fungsi yang baik dari paru,
dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus di evaluasi secara cepat
dan cermat. Untuk melihat ventilasi pada pasien gawat darurat, maka pakaian
pasien khususnya bagian dada pasien harus dibuka untuk melihat irama
pernafasannya. Bila perlu lakukan auskultasi untuk memastikan masuknya udara,
ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam
rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada
yang mungkin mengganggu ventilasi.
Berikut ini keadaan mengancam nyawa yang dapat terjadi akibat dari trauma
dada (toraks) :
Tension Pneumothoraks
Merupakan pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks
yang semakin lama semakin bertambah (progresif). Pada tension pneumotoraks
ditemukan mekanisme ventil (udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak
dapat keluar).
Tanda dan gejala :
Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi : kolaps total
paru, pendorongan mediastinum ke
kontralateral, deviasi trachea, venous return
menurun, hipotensi & respiratory zdistress
berat.
Sesak yang bertambah berat dengan cepat,
takipneu, hipotensi, Jugularis Venous Pressure
meningkat, ekspansi dada yang asimetris statis &
dinamis.
Penatalaksanaan:
• Dekompresi segera large-bore needle insertion (needle thorakosintesis)
disela iga II, linea mid-klavikula
• Kolaborasi dengan dokter pasang Water Seal Drainage (WSD)
Open Pneumothoraks
Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada dada sehingga udara
dapat keluar dan masuk rongga intra toraks dengan mudah. Tekanan intra toraks
HeartVena
Cava
Pneumothorax
Collapsed lung
Mediastinal
Shift
23. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
18 Gadar Medik Indonesia
akan sama dengan tekanan udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound.
Terjadi kolaps total paru.
Penatalaksanaan:
• Luka tidak boleh ditutup rapat, ditutup dengan bahan yang kedap udara
dibagian tiga sisi saja sehingga dapat menciptakan mekanisme ventil.
• Pasang WSD dahulu baru tutup luka
• Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ intra
toraks lain.
Umumnya disertai dengan perdarahan (hematotoraks)
Circulation dengan Kontrol Perdarahan
Perdarahan merupakan sebab utama kematian. Keadaan ini dapat dikurangi
dengan menghentikan perdarahan yang dapat dilakukan dengan balut tekan atau
melakukan penekanan langsung pada sumber perdarahan. Dengan demikian
maka diperlukan penilaian yang cepat dan akurat tentang kondisi pasien gawat
darurat sangatlah penting.
Ada 3 hal yang harus dinilai dalam hitungan detik, penilaian ini dapat
memberikan informasi mengenai keadaan pasien. Penilaian ini mencakup tingkat
kesadaran, warna kulit dan nadi.
Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan
mengakibatkan penurunan kesadaran. Walaupun demikian kehilangan darah
dalam jumlah banyak belum tentu mengakibatkan gangguan kesadaran.
Left lung
Heart
Wound site
Collapsed
Right lung
Pleural Cavity
Air (rushes in)
24. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 19
Warna kulit
Warna kulit dapat membantu menegakkan diagnosis hipovolemia. Pasien
gawat darurat trauma yang kulitnya putih maka akan tampak pucat, terutama
pada wajah dan ekstremitas. Sebaliknya pada orang yang kulitnya hitam, maka
tampak pucat keabu-abuan pada wajah dan kulit ekstremitas sebagai tanda
hipovolemia. Bila memang disebabkan hipovolemia, maka ini menandakan
kehilangan darah minimal 30% volume darah.
Nadi
Nadi yang besar seperti arterifemoralis atau arteri carotis harus diperiksa
bilateral, untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Pada keadaan syok nadi
akan teraba kecil dan cepat. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya
merupakan tanda normovolemia. Sedangkan yang teraba cepat dan kecil
merupakan tanda hipovolemia, namun harus dipertimbangkan penyebab lain
yang dapat menimbulkan hal yang sama. Nadi yang teraba tidak teratur biasanya
merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi nadi sentral
(arteri besar) merupakan pertanda diperlukannya resusitasi.
Tekanan darah
Jangan terlalu percaya kepada tekanan darah dalam menentukan syok
karena pertimbangan :
Tekanan darah sebelumnya tidak diketahui
Diperlukan kehilangan volume darah lebih dari 30% untuk dapat terjadi
penurunan tekanan darah.
Resusitasi
Airway
Airway harus dijaga dan dipertahankan
dengan baik, khusunya pada pasien gawat darurat
tidak sadar. Jaw thrust atau chin lift dapat dipakai
pada beberapa kasus. Pada pasien gawat darurat
yang masih sadar dapat dipakai nano-pharyngeal
airway. Bila pasien gawat darurat tidak sadar dan
tidak ada refleks vagal (gag reflex) dapat dipakai
oro-pharyngeal airway (OPA). Prosedur ini harus
dilakukan dengan kontrol terhadap servikal.
25. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
20 Gadar Medik Indonesia
Breathing
Ventilasi bisa terganggu bila ada tension pneumotoraks atau open
pneumotoraks. Bila dicurigai ada tension pneumotoraks maka harus segera
dilakukan dekompresi. Dekompresi dilakukan dengan cara menusuk rongga torak
dengan jarum besar, kemudian dilanjutkan dengan pemasangan chest tube.
Setiap pasien gawat darurat akibat trauma seharusnya diberikan oksigen.
Pemberian oksigen bisa dengan simpel mask, rebretahing atau non rebreathing
mask. Lakukan pengkajian lebih mendalam untuk menentukan kebutuhan oksigen
dan alat yang digunakan. Pasang pulse oksimetri untuk mengetahui saturasi
oksigen. Lakukan pengkajian dengan
pemeriksaan fisik (inspeksi, auskultasi, perkusi,
palpasi) untuk mengetahui penyebab sesak
nafas. Lakukan intervensi sesuai dengan
penyebanya, jangan melakukan penanganan
sebatas gejalanya saja. Oleh karena itu
seorang tenaga kesehatan gawat darurat
harus terlatih dalam melakukan pemeriksaan
fisik.
Circulation
Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya 2 jalur infus (IV line /
Intra Vena Line). Kateter IV yang dipakai harus berukuran besar. Pada awalnya
sebaiknya menggunakan vena pada lengan.
Syok pada pasien gawat darurat akibat trauma umumnya disebabkan
hipovolemia. Pasien gawat darurat saat pertama datang atau ditemukan harus di-
infus dengan 1,5 – 2 liter cairan kristaloid, pilihan pertama adalah Asering atau
dengan Ringer Lactat bila tidak ada. Untuk monitoring pemebrian cairan perlu
dilakukan pemasangan cateter urin. Namun perlu dipehatikan kemungkinan
adanya kontra indikasi sebelum dilakukan pemasangan cateter urin.
Hipotermia dapat terjadi pada pasien gawat darurat yang diberikan Asering /
Ringer Lactat yang tidak dihangatkan atau darah yang masih dingin terutama bila
pasien gawat darurat juga dalam keadaan kedinginan, oleh karena itu sebaiknya
pasien diselimuti untuk memelihara suhu normal.
Disability (Evaluasi Neurologi)
Pada tahap akhir surivei primer perlu dilakukan evaluasi tehadap kedaan
neurologis secara cepat. Kondisi yang dinilai meliputi tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil tanda tanda lateralisasi dan tingkat cidera spinal.
Penilaian diasbility bisa menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS), yaitu
sistem skoring sederhana dan dapat memprediksi hasil akhir motorik terbaiknya.
Gambar: Memberikan bantuan nafas
dengan Bag Valve Mask (BVM)
26. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 21
Bila penilaian GCS tidak sempat dilakukan di survei primer maka harus dilakukan
di survei sekunder.
Penurunan kesadaran dapat disebakan karena penurunan oksigen atau
penurunan perfusi ke otak. Keadaan ini menuntut untuk dilakukannya reevaluasi
terhadap oksigenasi, ventilasi dan perfusi.
Alkohol dan obat obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran pasien, oleh
karena itu perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti untuk mengatahui penyebab
penurunan kesadaran akibat adanya taruma kapitis atau penyebab yang lainnya.
Exposure
Pasien harus dilepas semua pakaiannya (ekposure) dengan tujuan untuk
melihat semua bagian tubuh pasien kemungkinan adanya cidera yang lain dan
memudahkan pemeriksaan selajutnya. Tetapi pasien harus dijaga tetap hangat
agar tidak terjadi hipotermi. Dengan menyelimuti tubuh pasien dan memberikan
cairan intravena yang hangat hipotermi dapat dicegah atau dikurangi. Yang
terpenting menjaga tubuh pasien tetap hangat bukan kenyamanan pasien.
Tambahan pada suvei primer.
Monitor EKG
Difasilitas layanan kesehatan yang memiliki monitor jantung sebaiknya pasien
dipasang monitor jantung. Hal ini dapat membantu Dokter / perawat /bidan
dalam melakukan pemeriksaan pasien dan dapat melihat kondisi irama dan
denyut jantung pasien. Sehingga bila sewaktu waktu kondisi cardiac arrest atau
kegawatan yang lain dapat segera diketahui dan dilakukan tindakan selanjutnya.
Survei Sekunder (Secondary Survey)
Survei sekunder dikerjakan untuk memeriksa lebih lanjut dan lebih teliti
semua bagian tubuh pasien, bagian depan dan bagian belakang. Tujuan suvei
sekunder untuk mencari cidera tambahan yang mungkin belum ditemukan pada
saat survei primer. Minimal ada empat kelainan atau cidera yang harus
ditemukan pada survei sekunder yaitu ”Deformity, Open Injury, Tenderness,
Swelling’ (D-O-T-S). Survei sekunder dilakukan hanya setelah survei primer selesai
dikerjakan, resusitasi telah selesai dilakukan dan pasien gawat darurat telah
stabil. Pertimbangannya adalah pada pasien gawat darurat yang tidak sadar atau
gawat, kemungkinan untuk luput dalam mendiagnosis cukup besar, dan
memerlukan tindakan yang kompleks apabila ditemukan kelainan pada survai
sekunder. Pada survei sekunder ini dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap
termasuk mencatat GCS bila belum dilakukan pada survei primer. Pada survei
sekunder ini juga dilakukan foto rontgen yang diperlukan.
27. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
22 Gadar Medik Indonesia
1. Anamnesa
Perlu dilakukan anamnesis yang lengkap mengenai riwayat trauma.
Riwayat ”AMPLE” perlu diingat :
A : Allergic
M : Medication (obat yang sedang diminum)
P : Past illnes (penyakit penyerta)/ pregnancy
L : Last meal
E : Event / Environment (lingkungan)
2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemeriksaan fisik dengan teliti mulai dari kepala sampai kaki
(head to toe examination), termasuk pemeriksaan tanda vital dan dicari
adanya “Deformity, Open Injury, Tenderness dan Swelling” (DOTS) di setiap
bagian tubuh pasien.
3. Foto Rontgen
Pada fase rumah sakit, pemakaian foto rontgen harus selektip, dan
jangan sampai mengganggu proses resusitasi . Pada pasien gawat darurat
dengan trauma tumpul harus dilakukan foto servikal, thoraks, pelvis dan
bagian lain yang dicurigai ada cidera dengan posisi lateral, antero posterior
28. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 23
DAFTAR TILIK PRAKTIKUM
INITIAL ASSESSMENT
No. Tindakan Dilakukan Tidak
Dilakukan
1 3A (Aman diri, Aman Lingkungan dan Aman Pasien)
2 Cek respon pasien
Dengan Skala AVPU :
Alert : pasien sadar
Voice : memanggil pasien atau mengajukan pertanyaan
sederhana
Pain : memberikan rangsang nyeri pada pasien
Unresponsive : pasien tidak berespon
3 Call for Help
Melakukan survey primer
4 Airway :
Melakukan pemeriksaan jalan nafas pasien, dengan cara :
• Melihat (adanya cedera di sekitar mulut dan hidung, adanya
darah dimulut dan hidung, adanya cairan di rongga mulut)
• Mendengarkan adanya suara (mendengkur, gurgling, stridor)
5 Breathing :
Melakukan pemeriksaan pernafasan pasien, dengan cara :
• Membukan baju pasien
• Inspeksi : pernafasan pasien, sesak/tidak, pergerakan dada
pasien, simetris/tidak, ada jejas/luka di dada? Hitung
frekuensi nafas?, luka terbuka?
• Auskultasi : Bising nafas kanan/kiri sama?, suara nafas
jelas/tidak?
• Perkusi : Dada kanan dan kiri, hipersnonor?
• Palpasi : tulang iga ada fraktur/tidak?
6 Circulation :
Melakukan pemeriksaan circulation, dengan cara :
• Inspeksi : Lihat pasien pucat/tidak, akral sianosis/tidak?
• Palpasi : Raba ekstremitas pasien, dingin/tidak?, hitung
denyut nadi, kekuatan denyut nadi, ukur tekanan darah
7 Disabiliti :
1) Memeriksa tingkat kesadaran dengan menggunakan GCS
2) Melakukan pemeriksaan status neurologis :Mengecek pupil
meliputi ukuran pupil, rangsang terhadap cahaya dan
kesimetrisan pupil (isokhor atau anisokhor)
8 Exposure :
Membuka semua pakain pasien, cegah hipotermi (selimuti
pasien)
9 Instruktur memberikan 1 contoh kasus pasien trauma
(pemeriksaan, penatalaksanaan, evaluasi)
10 Melakukan re-evaluasi (airway, breathing, circulation, disbality)
29. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
24 Gadar Medik Indonesia
Melakukan survey sekunder :
11 Melakukan pemeriksaan dari kepala hingga kaki (Inspeksi,
Auskultasi, Perkusi, Palpasi)
12 Melakukan anamnesa, riawayt AMPLE
13 Melakukan dokumentasi
14 Melakukan persiapan rujuk pasien
Kasus
Pada saat melakukan kunjungan lapangan, Anda menemukan pasien laki-laki, usia 35 tahun. Pasien
tampak mengalami luka diwajah, banyak perdarahan di bagian kepala, nampak ada darah disekitar
hidung, luka terbuka didada akibat tertusuk besi, luka terbuka sekitar 10 cm di paha kanan. Saat
ditemukan pasien tidak sadar, pasien nampak sesak dan terdengar mendengkur, nadi masih teraba,
kecil dan lemah.
No. Tindakan Dilakukan Tidak
Dilakukan
1 3A (Aman diri, Aman Lingkungan dan Aman Pasien)
2 Mengkaji respon dan kesadaran pasien
Dengan Skala AVPU :
Unresponsive : pasien tidak berespon
3 Call for Help (meminta bantuan)
Melakukan survey primer
4 Airway :
Memeriksa jalan nafas : ada bunyi snoring
Melakukan jaw thrust (pada pasien trauma)
Memasang neck collar, dengan cara:
Penolong 1 melakukan fiksasi kepala dan leher pasien dengan
meletakkan kedua tangan penolong ke bahu kanan dan kiri pasien,
ibu jari di bagian klavikula, empat jari lainnya berada di bagian
scapula
Penolong 2 mengukur panjang leher pasien (ada berapa jari?),
kemudian cari neck collar yang sesuai dengan hasil pengukuran
panjang leher pasien.
Masukkan neck collar menggunakan tangan kiri dari sebelah kanan
pasien, kebelakang leher pasien, kemudian ujung neck collar yang
satunya dengan cara sapuan dada letakkan dileher bagian depan
dengan lekukan tepat didagu pasien.
Rekatkan neck collar antara bagian depan dan bagian belakang
leher
5 Breathing :
Memeriksa pernafasan pasien :
Pasien mengalami open pneumothorax
Pernafasan 30 kali per menit
Melakukan pemberian oksigen
Melakukan pemasangan kasa 3 sisid
30. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 25
6 Circulation :
Mengkaji adanya tanda-tanda syok
Akral dingin nadi cepat
Melakukan control perdarahan
Direct pressure dikepala, dan dipaha
Melakukan resusitasi cairan
7 Disabiliti :
Melakukan pemeriksaan GCS
GCS 8, cedera kepala berat
Memeriksa pupil meliputi ukuran pupil kanan & kiri (isokhor atau
anisokhor), respon terhadap cahaya.
Pupil kanan 3 mm, pupil kiri 3 mm, respon terhadap cahaya bagus
8 Exposure :
Membuka pakaian pasien, jaga pasien tetap hangat.
Pasien diselimuti
Melakukan survey sekunder :
9 Melakukan pemeriksaan dari kepala hingga kaki (bagian depan &
belakang).
10 Melakukan anamnesa : Riwayat AMPLE
11 Melakukan dokumentasi
12 Melakukan persiapan merujuk pasien
32. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 27
PENATALAKSANAAN PASIEN TRAUMA
1. Perdarahan
a. Sistem Sirkulasi
Jantung merupakan alat pompa darah utama, terdiri atas otot yang kuat
yang dapat memompa darah ke seluruh tubuh. Letak dari jantung dirongga
dada, diantara kedua paru-paru, diantara tulang dada dan tulang belakang.
Gerakan memompa jantung dapat dirasakan sebagai denyutan.
b. Pembuluh darah
Ketika beredar di dalam tubuh, darah
mengalir melalui pembuluh darah. Ada 3
jenis pembuluh darah, yaitu :
• Arteri (nadi), pembuluh darah yang
menyalurkan darah dari jantung ke
seluruh jaringan tubuh.
• Vena, pembuluh darah yang
menyalurkan darah dari seluruh
jaringan tubuh kembali ke jantung.
• Kapiler, setiap arteri dibagi menjadi
pembuluh darah yang lebih kecil
sampai menjadi kapiler, pembuluh
darah kecil yang letaknya dekat
dengan kulit.
c. Darah
Darah berfungsi mengangkut O2 dari jantung ke seluruh tubuh dan
mengangkut kembali CO2 dari seluruh tubuh ke jantung
d. Perdarahan
Perdarahan adalah keluarnya darah dari pembuluh darah. Perdarahan bisa
terjadi di luar (terlihat) atau di dalam (tidak terlihat). Jenis perdarahan
yang dapat terjadi, adalah :
• Perdarahan arteri, mempunyai ciri-ciri : memancar sesuai denyut
jantung, berwarna merah cerah.
• Perdarahan vena, mempunyai ciri-ciri : mengalir, berwarna merah
gelap.
Gambar : Pembuluh darah dan sistem sirkulasi
pada manusia
33. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
28 Gadar Medik Indonesia
• Perdarahan kapiler, mempunayi ciri-ciri : merembes, berwarna merah
cerah.
e. Pertolongan pada perdarahan
• Gunakan alat pelindung diri
• R – rest (istirahatkan anggota tubuh yang mengalami perdarahan).
• E – elevated (tinggikan anggota tubuh yang luka lebih tinggi dari posisi
jantung).
• D – direct pressure (lakukan penekanan langsung pada sumber
perdarahan)
• Lakukan penekanan pada titik tekan
• Lakukan balut tekan menggunakan kassa
2. Luka
Luka adalah cedera pada jaringan kulit, syaraf dan pembuluh darah. Luka yang
terbuka bisa menjadi jalan masuk dari kuman sehingga bisa menimbulkan
infeksi. Luka bukan merupakan suatu keadaan yang mengancam nyawa,
A B
C
B CA
Gambar : A – Perdarahan arteri, B – perdarahan vena, C – perdarahan kapiler
A B C
Gambar : Menghentikan perdarahan dengan, A – penekanan langsung pada
luka, B – meninggikan anggota tubuh yang luka, C – melakukan balut tekan
A B C
Tangan
yang luka
ditinggikan
PERBAN
BENDA KERAS
KAIN KASA STERIL
LUKA
LUKA
KAIN KASA
STERIL
PERBAN
PERBAN
UNTUK BALUT
PERBAN TIDAK
TERBUKA
GULUNGANNYA
34. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 29
namun bila terlambat menanganinya dapat menjadi keadaan yang gawat
darurat, apalagi jika lukanya cukup besar.
a. Jenis-jenis luka
Luka biasanya disertai dengan adanya perdarahan, karena pada saat
terjadi luka yang mengalami cedera bukan hanya jaringan kulit saja, tetapi
pembuluh darahnya juga mengalami luka.
• Luka tembus
Pada luka tembus penanganan dengan menutup luka seluruhnya
menggunakan penutup luka atau kassa steril. Jika luka terjadi di daerah
perut dan ada organ atau usus yang keluar, jangan memasukkan organ
yang sudah keluar, langsung tutup dengan kain yang bersih dan
lembab.
• Benda yang menancap
Jangan mencabut benda yang masih menancap di anggota tubuh,
karena dapat menimbulkan perdarahan yang lebih hebat. Benda yang
masih menancap juga bisa sebagai tampon dan memperlambat proses
perdarahan. Tutup luka disekitar benda tersebut dan fiksasi benda
tersebut, kemudian bawa ke rumah sakit.
Gambar : Menutup luka pada organ yang keluar
Gambar : Menghentikan perdarahan dan memfiksasi benda yang menancap
35. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
30 Gadar Medik Indonesia
• Luka amputasi
Cedera ini kadang dapat mengancam nyawa. Pada luka amputasi dapat
terjadi perdarahan yang hebat, namun perdarahan biasanya dapat
dikontrol. Anda harus mencari bagian yang terpotong dan
membawanya kerumah sakit bersama dengan pasien.
Pertolongan Pertama
• Gunakan alat pelindung diri
• Bersihkan daerah yang luka dengan air yang bersih
• Tutup bagian yang luka dengan kassa oklusif dan lakukan bebat
tekan atau pasang turniquet
• Cari potongan organ dan bersihkan
• Bungkus organ yang terpotong dengan kantong plastik dan
masukkan kedalam kantong atau wadah yang berisi es batu.
• Bawa ke rumah sakit segera bersama dengan penderita
3. Patah tulang
Patah tulang (fraktur) yaitu putusnya kesinambungan jaringan tulang, dan
biasanya disertai dengan cedera di jaringan sekitarnya. Patah tulang dapat
berupa :
• Patah tulang tertutup - tulang yang patah tidak tampak dari luar atau,
• Patah tulang terbuka - tulang yang patah tampak dari luar karena tulang
telah menembus kulit atau kulit mengalami robekan. Patah tulang terbuka
lebih mudah terinfeksi.
Gambar : Cara membawa organ tubuh yang terpotong
Gambar : Patah tulang tertutup Gambar : Patah tulang terbuka
36. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 31
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya patah tulang, seperti :
• Kecelakan lalu-lintas,
• Kecelakaan kerja,
• Olah raga,
• Karena jatuh,
• Penyakit patologis (osteoporois)
Tanda dan gejala patah tulang
• Deformity, atau perubahan bentuk dari tulang yang patah.
• Rasa nyeri, nyeri spontan dan nyeri bila tekan atau digerakkan.
• Krepitasi, adalah suara atau perasaan dari tulang yang patah jika ke-2
ujung tulang bergesek satu sama lain.
• Memar atau perubahan warna.
• Pembengkakan, patah tulang biasanya disertai dengan perdarahan. Darah
bisa merembes dari tulang yang patah (kadang dalam jumlah yang cukup
banyak) dan masuk kedalam jaringan di sekitarnya sehingga menimbulkan
pembengkakan
• Gangguan fungsi, tulang yang patah tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya, sehingga penderita tidak dapat menggerakkan anggota tubuh
yang patah.
Penanganan di lokasi
Tujuan dari pertolongan adalah untuk menempatkan ujung-ujung tulang yang
patah agar satu sama lain saling berdekatan dan untuk menjaga agar tulang
tetap menempel sebagaimana mestinya, sehingga dapat mengurangi rasa
nyeri dan kecacatan di kemudian hari. Tindakan yang dilakukan adalah :
• Gunakan alat pelindung diri (APD)
• Pastikan airway dan breathing stabil
• Lepaskan pakaian pasien, sehingga bagian ekstremitas yang mengalami
cedera tampak seluruhnya.
• Periksa pulsasi, sensorik dan motorik bagian distal (ujung) dari tulang yang
patah sebelum dan sesudah pemasangan bidai.
• Luka terbuka harus ditutup dulu dengan kassa steril dan perdarahan di
kontrol dulu baru kemudian dipasang bidai.
• Pasang bidai dengan melewati 2 sendi dari tulang yang patah.
• Pasang padding / bantal secukupnya terutama pada tulang yang menonjol.
• Pada patah tulang terbuka, jangan memasukkan ujung tulang yang patah
kedalam lagi. Tutup bagian tulang yang keluar dengan kassa steril baru
kemudian dipasang bidai.
37. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
32 Gadar Medik Indonesia
• Bila ada cedera lain yang lebih serius dang mengancam nyawa, bidai
dipasang setelah pasien distabilkan. Bila cederanya ringan tetapi pasien
harus dirujuk, maka sebelum dirujuk bidai dipasang terlebih dahulu.
• Jika ragu - ragu ada tidaknya patah tulang, tetap pasang bidai pada daerah
ekstremitas yang dicurigai ada cedera.
• Segera bawa ke rumah sakit.
4. Dislokasi
Dislokasi adalah cedera dimana ujung tulang keluar dari dalam sendi tulang.
Pasien yang mengalami dislokasi biasanya sangat kesakitan. Dislokasi mudah
didiagnosa karena perubahan anatominya biasanya jelas. Dislokasi pada
sendibesar, walaupun bukan cedera yang mengancam jiwa, tetap merupakan
kasus gawat darurat kerena adanya resiko kerusakan neurovaskuler yang jika
tidak ditangani dengan segera dapat berakhir dengan amputasi. Sulit untuk
menentukan apakah suatu dislokasi juga disertai dengan fraktur.
Penanganan di lokasai
• Tenangkan penderita
• Istirahatkan anggota tubuh yang sakit
Gambar : Memasang sling teknik st john dan simpel sling dengan mitela
D
Gambar : Memasang padding pada patah tulang terbuka dan memasang bidai pada lengan
Hati hati , Luka
jangan disentuh
dengan kapas
Jangan menyentuh
luka fraktur terbuka
dengan jari anda
38. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 33
• Imobilisasi dengan balutan dan mengganjal bagian yang sakit sehingga
pasien berada dalam posisi yang paling nyaman.
• Jangan melakukan reposisi.
• Pasien segera dirujuk kerumah sakit dimana terdapat ahli bedah tulang.
5. Sprain dan Strain
• Sprain adalah Cedera akibat tali sendi/ligamen regang atau robek
sebagian, umumnya bersamaan dengan cedera pada sendi.
• Strain adalah Cedera pada otot akibat otot/tendo tertarik berlebihan
(overexstended).
Tanda & Gejala
• Nyeri saat digerakkan atau saat ditekan (pada sprain saat diam tetap nyeri)
• Bengkak
• Perubahan warna kulit/memar
Penanganan di lokasi
Segera lakukan:
• Tenangkan pasien
• R – Rest → istirahatkan pasien
• I – Ice → Kompres es
• C – Compression → Balutan bertekanan
• E – Elevation / ditinggikan
Gambar : Meng-imobilisasi bagian yang cedera dengan verban elastis
39. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
34 Gadar Medik Indonesia
6. Cedera kepala dan tulang belakang
Fungsi utama dari tulang kepala adalah melindungi otak, sehingga tulang
kepala (tengkorak) tidak mudah patah. Namun demikian bila cedera cukup
berat selalu curiga ada patah tulang kepala. Bila ada patah tulang kepala
selalu curiga adanya cedera otak, walaupun cedera otak juga dapat terjadi
tanpa adanya patah tulang kepala. Pada patah tulang kepala juga harus curiga
adanya cedera tulang leher (cervical).
Didalam tulang belakang ada sumsum tulang belakang (spinal cord), dimana
syaraf-syaraf dari otak menyebar keseluruh tubuh.
Tanda dan gejala Patah tulang tengkorak
• Nyeri pada tempat cedera
• Adanya luka robek atau hematom pada kulit kepala
• Adanya cekungan pada tulang tengkorak
• Memar dibelakang telinga
• Sakit kepala yang hebat
• Adanya darah atau cairan otak mengalir dari hidung atau telinga
• Kejang
Penanganan di lokasi
• Gunakan Alat Pelindung Diri dan amankan lokasi kejadian
• Lakukan penanganan awal, cari keadaan yang mengancam nyawa (ABC)
• Hentikan perdarahan yang ada
• Selalu curiga adanya cedera tulang leher. Lakukan immobilisasi kepala dan
leher pada posisi netral/segaris
• Pastikan oksigenasi tetap adekuat
• Jaga agar pasien tidak bergerak
• Monitor tanda-tanda vital sampai bantuan medis tiba
• Segera bawa ke rumah sakit
Gambar : Stabilisasi dan immobilisasi sendi yang cedera
40. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 35
Tanda dan gejala cedera tulang belakang
• Nyeri saat lengan atau tungkai digerakkan
• Hilangnya kontrol untuk buang air besar atau air kecil
• Kesulitan bernafas
• Priapismus (ereksi terus menerus)
• Mati rasa, kesemutan pada lengan atau tungkai yang cedera
• Kelumpuhan lengan atau tungkai
Penanganan di lokasi
• Gunakan Alat Pelindung Diri dan amankan lokasi kejadian
• Tentukan mekanisme cedera untuk mengetahui kemungkinan bagian yang
mengalami kerusakan/cedera
• Lakukan stabilisasi dengan melakukan immobilisasi pada posisi netral-
segaris dari kepala dan leher
• Pastikan oksigenasi tetap adekuat dengan tidak mengerumuni pasien
• Lakukan pemeriksaan fisik dan berikan perawatan sesuai kebutuhan
• Monitor tanda-tanda vital sampai bantuan medis tiba
• Segera bawa kerumah sakit
Gambar : Meng-imobilisasi tulang leher
42. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 37
DAFTAR TILIK PRAKTIKUM
PENATALAKSANAAN PASIEN TRAUMA
No. Tindakan Dilakukan Tidak
Dilakukan
1 3A (Aman diri, Aman Lingkungan dan Aman Pasien)
2 Menjelaskan tindakan yang akan dilakukan pada pasien
3 Mengatur posisi pasien senyaman mungkin
4 Membebaskan bagian yang trauma dari pakaian maupun
aksesoris
5 Jika terdapat perdarahan, lakukan kontrol perdarahan dengan
cara :
1) Direct pressure (menggunakan kain besih/kassa/mitella)
• Direct pressure di tulang panjang
• Direct pressure di telapak kaki
• Direct pressure di siku
• Direct pressure di bagian dagu dan kepala
2) Point pressure
3) Elevasi
4) Pemasangan tourniquet
6 Pemasangan bidai
1) Imobilisasi ekstremitas menggunakan mitella:
Teknik menggunakan mitella untuk armsling
Membidai dengan teknik ransel menggunakan mitella
2) Pemasangan bidai, dengan cara :
Istirahatkan pasien dalam
Memasang bidai dilakukan oleh 2 penolong
Memeriksa pulsasi, sensorik, motorik dan sebelum
pembidaian
Mengukur dan memilih bidai yang sesuai, dengan
panjang mencakup 2 sendi
Ikat bidai jangan terlalu longgar dan jangan terlalu
kencang
Periksa kembali pulsasi, sensorik dan motoric setelah
pembidaian
7 Melakukan penatalaksanaan sprain dan strain
1) Rest
2) Ice
3) Compresion
✓ Compression di engkel kaki
✓ Compression di lutut
✓ Compression di wrist hand joint (pergelangan tangan)
44. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 39
TRANSPORTASI PENDERITA
GAWAT DARURAT
Latar belakang
Setibanya di tempat kejadian, penderita mungkin perlu penanganan lebih
dan lanjut sehingga perlu dievakuasi. Di tempat kejadian yang berbahaya sangat
penting untuk bertindak secara cepat. Jika anda melakukan pengangkatan dan
pemindahan dengan cara yang tidak tepat, anda mungkin malah akan menambah
cedera pada penderita atau bahkan diri anda sendiri juga bisa mengalami cedera.
Oleh karena itu mempelajari bagaimana cara mengangkat dan memindahkan
penderita itu sangat penting, sebelum memberikan pertolongan kepada
penderita.
Mekanik tubuh
Gunakan seluruh kemampuan tubuh anda sebagai alat untuk mengangkat
dan memindahkan serta mencegah cedera. Ikuti peraturan dasar untuk
mencegah cedera pada saat mengangkat penderita :
• Rencanakan gerakan anda sebelum mengangkat penderita.
• Gunakan paha anda sebagai tumpuan untuk mengangkat, bukan
menggunakan punggung.
• Usahakan penderita sedekat mungkin dengan tubuh anda
• Gerakan tubuh sebagai satu kesatuan.
• Reposisi dan memindahkan dengan tahapan.
Gunakan prinsip ini pada saat memindahkan, menarik, membawa atau
menggapai suatu benda/penderita. Kunci untuk mencegah cedera adalah
kesegarisan dari tulang belakang. Jika mengangkat penderita berdua, bertiga atau
berempat, kerjasama tim, dan berkomunikasi yang jelas sangat diperlukan.
Gunakan perintah yang dimengerti oleh semua anggota tim dan komando hanya
oleh satu orang saja
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengangkat pasien Gawat Darurat
Kita perlu memperhatikan beberapa hal dalam mengangkat pasien gawat
darurat. Situasi ini perlu kita waspadai agar tidak terdapat pasien berikutnya serta
tidak ada lagi penambahan luka baru pada pasien.
1. Kenali kemampuan diri dan kemampuan pasangan kita.
Angkatlah pasien dengan paha, bukan dengan punggung
45. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
40 Gadar Medik Indonesia
2. Nilailah beban yang akan diangkat secara bersama, dan bila merasa tidak
mampu, jangan paksakan. Selalu komunikasi secara teratur dengan pasangan
kita.
3. Ke-dua kaki berjarak sebahu kita, satu kaki sedikit di depan kaki sebelahnya.
4. Berjongkok, jangan membungkuk, saat mengangkat. Punggung harus selalu
dijaga lurus.
5. Tangan yang memegang menghadap ke depan.
6. Jarak antara kedua tangan yang memegang (misalnya tandu) minimal 30 cm.
7. Tubuh sedekat mungkin ke beban yang harus diangkat. Bila terpaksa, jarak
maksimal tangan kita ke tubuh kita adalah 50 cm.
8. Jangan memutar tubuh saat mengangkat.
9. Hal-hal tersebut juga berlaku saat menarik atau mendorong pasien gawat
darurat.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengangkat pasien Gawat Darurat
Pemindahan pasien gawat darurat dapat secara emergensi dan non
emergensi. Pemindahan pasien gawat darurat dalam keadaan emergensi
contohnya adalah :
1. Ada api, atau bahaya api atau ledakan
2. Ketidak – mampuan menjaga pasien gawat darurat terhadap bahaya lain
pada TKP (benda jatuh dsb).
3. Usaha mencapai pasien gawat darurat lain, yang lebih urgen
4. Ingin RJP pasien gawat darurat, yang tidak mungkin dilakukan di tempat
tersebut.
Apapun cara pemindahan pasien gawat darurat non emergensi, selalu ingat
kemungkinan patah tulang leher (servikal) bila pasien gawat darurat trauma.
Pemindahan Emergensi
a. Tarikan Baju
Kedua tangan pasien gawat darurat harus diikat
untuk mencegah naik ke arah kepala waktu baju
ditarik. Bila tidak sempat, masukan kedua tangan
dalam celananya sendiri.
46. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 41
b. Tarikan Selimut
Pasien gawat darurat ditaruh dalam
selimut, yang kemudian ditarik.
c. Tarikan Lengan
Dari belakang pasien gawat darurat,
kedua lengan paramedik masuk di
bawah ketiak pasien gawat darurat,
memegang kedua lengan bawah
pasien gawat darurat.
d. Ekstrikasi Cepat
Dilakukan pada pasien gawat darurat dalam kendaraan yang harus
dikeluarkan secara cepat.
e. Tarikan pemadam kebakaran dan menggendong
Pemindahan Non – Emergensi
Dalam keadan ini dapat dilakukan urutan pekerjaan normal, seperti control
TKP, survei lingkungan, dan stabilisasi kendaraan
47. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
42 Gadar Medik Indonesia
a. Pengangkatan dan pemindahan secara langsung.
Oleh 2 atau 3 petugas. Harus di ingat bahwa cara ini tidak boleh dilakukan
bila ada kemungkinan fraktur servikal. Prinsip pengangkatan tetap harus
diindahkan.
b. Pemindahan dan pengangkatan memakai seprei.
Sering dilakukan di rumah sakit. Tidak boleh dilakukan bila ada dugaan
fraktur servikal.
Perlengkapan Untuk Memindahkan Pasien Gawat Darurat
Beberapa perlengkapan untuk memindahkan pasien gawat darurat seperti
Brankar (wheeled stretcher), Tandu Sekop (scoop stretcher, orthopaedic
stretcher), Long Spine Board, serta Short Spine Board dan KED (Kendrick
Extrication Device). Berikut ini penjelasan perlengkapan tersebut.
Brankar (wheeled stretcher)
Hal-hal yang harus diperhatikan :
a. Pasien gawat darurat selalu diselimuti
b. Kepada pasien gawat darurat/keluarga selalu diterangkan tujuan perjalanan
c. Pasien gawat darurat sedapat-mungkin selalu dilakukan “strapping” (fiksasi)
sebelum pemindahan.
d. Brankar berjalan dengan kaki pasien gawat darurat di depan, kepala
dibelakang, supaya pasien gawat darurat dapat melihat arah perjalanan
brankar. Posisi ini dibalik bila akan naik tangga (jarang terjadi). Sewaktu
dalam ambulan menjadi terbalik, kepala di depan (dekat pengemudi) supaya
paramedik dapat bekerja (bila perlu intubasi dsb). Pada wanita in-partu,
posisi dalam ambulan boleh dibalik, supaya paramedic dapat membantu
partus.
e. Jangan sekali-kali meninggalkan pasien gawat darurat sendirian di atas
brankar. Pasien gawat darurat mungkin berusaha membalik, yang berakibat
terbaliknya brankar.
f. Selalu berjalan hati-hati.
48. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 43
Tandu Sekop (scoop stretcher, orthopaedic stretcher)
Alat yang sangat bermanfaat untuk
pemindahan pasien gawat darurat. Bila ada
dugaan fraktur servikal, maka alat yang
dipilih adalah LSB (long spine board). Harus
diingat bahwa tandu sekop bukan alat
transportasi, dan hanya alat pemindah.
Waktu proses pengangkatan sebaiknya 4 petugas, masing-masing satu pada
sisi tandu sekop, karena kemungkinan akan melengkung (alat ini mahal harganya,
karena terbuat dari logam khusus).
Long Spine Board
Sebenarnya bukan alat pemindahan, tetapi alat fiksasi. Sekali pasien gawat
darurat di fiksasi atas LSB ini, tidak akan diturunkan lagi, sampai terbukti tidak ada
fraktur servikal, karena itu harus terbuat dari bahan yang tidak akan mengganggu
pemeriksaan ronsen.
Pemindahan pasien gawat darurat ke atas LSB memerlukan teknik khusus
yaitu memakai “log roll”. Setelah pasien gawat darurat di atas LSB selalu
dilakukan “strapping”, lalu LSB diletakan di atas stretcher.
KED (Kendrick Extrication Device)
Short Spine Board dan KED sebenarnya lebih
merupakan alat ekstrikasi. Setelah selesai ekstrikasi,
tetap pasien gawat darurat harus diletakan pada
alat pemindah yang lain.
50. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 45
DAFTAR TILIK PRAKTIKUM
MENGANGKAT DAN MEMINDAHKAN PASIEN GAWAT DARURAT
No. Tindakan Dilakukan Tidak
Dilakukan
Prinsip: 3A termasuk menilai akses dan menentukan cara pengangkatan
pasien
1 Pemindahan emergensi :
a. Tarikan Baju
b. Tarikan Selimut
c. Tarikan Lengan
d. Ekstrikasi Cepat
e. Tarikan pemadam kebakaran dan menggendong
2 Pemindahani non-emergensi :
Pengangkatan dan pemindahan secara langsung.
Pemindahan dan pengangkatan memakai seprei.
3 Pemindahan menggunakan alat :
Transport menggunakan Tandu Sekop (scoop stretcher,
orthopaedic stretcher)
Melakukan transport dengan 2 orang penolong
Melakukan transport dengan 4 orang penolong
Transport menggunakan Long Spine Board
Melakukan transport dengan 2 orang penolong dan 4 orang
penolong.
4 Meminadahkan pasien :
Penolong menempatkan diri di keempat sisi alat, leader berada
dikepala pasien
Posisi kaki penolong menekuk dan bersiap untuk mengangkat LSB
Dengan aba-aba leader, tim mengangkat LSB secara bersama-
sama
Dengan aba-aba leader, tim memindahkan pasien ketempat yang
aman
52. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 47
TRIASE
Pendahuluan
Setiap bencana atau musibah massal selalu menampilkan bahaya dan
kesulitan masing-masing yang berbeda. Perencanaan ini adalah petunjuk umum
dalam mengelola pasien bencana atau musibah massal. Harus dipahami bahwa
mungkin diperlukan modifikasi oleh pemegang komando bila dianggap diperlukan
perubahan.
Bencana atau musibah massal dapat disebabkan oleh ulah manusia atau
alam. Keberhasilan pengelolaan pasien bencana atau musibah massal
memerlukan perencanaan sistem pelayanan gawat darurat lokal, regional dan
nasional, pemadam kebakaran, petugas hukum dan pertahanan sipil. Kesiapan
rumah sakit serta kesiapan pelayanan spesialistik juga harus disertakan dalam
mempersiapkan perencanaan penanganan pasien bencana atau musibah massal.
Proses pengelolaan bencana diatur dalam Sistem Komando Bencana. Kendali
ditangan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), namun bisa juga pada
penegak hukum seperti pada kasus kriminal atau penyanderaan. Kelompok lain
bisa membantu pemegang kendali. Jaringan komunikasi yang jelas antar instansi
harus sudah dimiliki untuk mendapatkan pengelolaan pasien bencana atau
musibah massal yang berhasil.
Tingkat Response
Tingkat respons atas kejadian bencana atau musibah massal dapat ditentukan
dan akan menentukan petugas dan sarana apa yang diperlukan ditempat
kejadian. Tingkat tersebut meliputi:
Respons Tingkat I :Pasien bencana atau musibah massal terbatas yang dapat
dikelola oleh petugas Sistim Gawat Darurat dan penyelamat lokal tanpa
memerlukan bantuan dari luar organisasi.
Respons Tingkat II :Pasien bencana atau musibah massal yang melebihi atau
sangat membebani petugas Sistim Gawat Darurat dan penyelamat lokal hingga
membutuhkan pendukung sejenis serta koordinasi antar instansi. Khas dengan
banyaknya jumlah pasien.
Respons Tingkat III :Pasien bencana atau musibah massal yang melebihi
kemampuan sumber Sistim Gawat Darurat dan penyelamat baik lokal atau
regional. Banyak pasien yang tersebar pada banyak lokasi sering terjadi.
Diperlukan koordinasi luas antar instansi.
53. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
48 Gadar Medik Indonesia
Triase
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau
penyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat serta transportasi.
Tindakan ini merupakan proses yang berkesinambungan sepanjang pengelolaan
pasien bencana atau musibah massal. Proses triase awal harus dilakukan oleh
petugas pertama yang tiba ditempat kejadian dan tindakan ini harus dinilai ulang
terus menerus karena status triase pasien dapat berubah. Saat ini tidak ada
standard nasional baku untuk triase. Metode triase yang banyak dipakai
dilapangan dengan Simple Triage And Rapid Treatment (START).
Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritisasikan tindakan atas pasien
adalah dengan memeriksa dan memberikan “tagging” sesuai dengan prioritas
kegawatannya. Prioritas tindakan dijelaskan sebagai berikut :
Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan tindakan dan
transport segera (gangguan jalan nafas, gagal nafas, cedera dada dan perut,
cedera kepala atau wajah yang berat, syok atau perdarahan berat, luka bakar
berat).
Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien dengan cedera yang dipastikan tidak akan
mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat (cedera perut tanpa shok, cedera
dada tanpa gangguan pernafasan, patah tulang tanpa syok, serta luka bakar
ringan).
Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan
stabilisasi segera (cedera jaringan lunak, luka lecet, histeris).
Prioritas Nol (Hitam) : Pasien meninggal.
Penuntun lapangan START berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati
airway, breathing, circulation, dan status mental untuk memastikan kelompok
pasien seperti yang memerlukan transport segera atau tidak, atau yang tidak
mungkin diselamatkan, atau meninggal. Ini memungkinkan penolong secara cepat
mengidentifikasikan pasien dengan risiko tinggi akan kematian segera atau
apakah tidak memerlukan transport segera. Sistim pengkodean dengan warna /
tagging system yang sejenis bisa digunakan sebagai bagian dari penuntun
lapangan START.
54. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 49
START Adult Triage
MINOR Secondary Triage
Position Airway IMMEDIATE
IMMEDIATE
DELAYED
Mental
Status
Spontaneous
Breathing
Perfusion
Respiratory
Rate
Able to
Walk ?
Radial pulse absent
Yes
Yes
No
No Spontaneous
APNEA
Breathing
EXPECTANT
> 30
IMMEDIATE
Or capillary refill > 2 sec
IMMEDIATE
Radial pulse
present
Or capillary
refill < 2 sec
Doesn’t obey
commands
Obeys commands
Triage Categories
EXPECTANT
IMMEDIATE
Black Triage Tag Color
• Victim unlikely to survive given severity
of injuries, level of available care, or
both
• Palliative care and pain relief should be
provided
• Victim can be helped by immediate
intervention and transport
• Requires medical attention within
minutes for survival (up to 60)
• Includes compromises to patient’s
Airway, Breathing, Circulation.
DELAYED
• Victim’s transport can be delayed
• Includes serious and potentially life-
threatening injuries, but status not
expected to deteriorate significantly over
several hours.
MINOR
• Victim with relatively minor injuries
• Status unlikely to deteriorate over days
• May be able to assist in own care :
“Walking Wounded”
Red Triage Tag Color
Yellow Triage Tag Color
Green Triage Tag Color
55. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
50 Gadar Medik Indonesia
Neurological Assessment
EXPECTANT
Position Airway
JumpSTART Pediatric Multiple Casualty Incident Triage
MINOR Secondary Triage
IMMEDIATE
IMMEDIATE
Spontaneous
Breathing
Able to
Walk ?
Yes
No
No
Spontaneous
APNE
A
Breathing
EXPECTANT
Yes
Respiratory
Rate
< 15 or > 45
Palpable
Pulse?
No
IMMEDIATE
Neurological
Assessment
(AVPU)
Inappropriate “P”
(e.g.,posturing) or “U”
IMMEDIATE
DELAYED
“A” , “V” or Appropriate “P”
(e.g., withdrawal from painful stimulus)
Palpable
Pulse?
No
5 Rescue breaths
APNE
A
IMMEDIATE
Spontaneous Breathing
15 - 45
Yes
Triage Categories
EXPECTANT
IMMEDIATE
Black Triage Tag Color
• Victim unlikely to survive given severity of
injuries, level of available care, or both
• Palliative care and pain relief should be
provided
• Victim can be helped by immediate
intervention and transport
• Requires medical attention within minutes
for survival (up to 60)
• Includes compromises to patient’s Airway,
Breathing, Circulation.
DELAYED
• Victim’s transport can be delayed
• Includes serious and potentially life-
threatening injuries, but status not
expected to deteriorate significantly over
several hours.
MINOR
• Victim with relatively minor injuries
• Status unlikely to deteriorate over days
• May be able to assist in own care :
“Walking Wounded”
Red Triage Tag Color
Yellow Triage Tag Color
Green Triage Tag Color
A P
UV
Alert
Responds to
Verbal Stimuli
Responds to
Painful Stimuli
Unresponsive to
Noxious Stimuli
56. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 51
DAFTAR TILIK PRAKTIKUM
TRIASE
No. Tindakan Dilakukan Tidak
Dilakukan
1 • Melakukan pemeriksaan pernafasan
• Memeriksa apakah pasien bernafas atau tidak
• Pasien masih bernafas
2 • Melakukan penghitungan pernafasan pasien
• Pasien bernafas 20 kali per menit
3 • Melakukan pengecekan perfusi
• Nadi Radialis teraba dan CRT <2 detik
4 • Melakukan pengecekan mental status dengan memberikan
pertanyaan sederhana
• Pasien menjawab dengan baik dan berorientasi baik
5 Melakukan tagging kuning
Instruktur memberikan kasus kepada peserta :
Telah terjadi bencana longsor di Kabupaten tempat Anda bertugas.
Menurut laporan, terdapat banyak pasien akibat bencana tersebut. Anda
ditugaskan ke lokasi bencana, sebelum memberikan pertolongan, terlebih
dahulu anda melakukan tiase.
Peserta selanjutnya diberikan soal yang telah disiapkan.
6 peserta melakukan triase sesuai kasus
58. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 53
TRANSFER SKILL
Transfer skill atau ketrampilan adalah proses menyalurkan ketrampilan
kepada penerima ketrampilan. Hal ini bertujuan agar penerima ketrampilan
mempunyai ketrampilan seperti yang pemberi ketrampilan inginkan. Untuk
mempermudah dalam proses transfer ketrampilan, terdapat teknik yang sering
digunakan oleh pemberi ketrampilan, salah satunya menggunakan teknik payton
yang dimodifikasi.
Stage Langkah-langkah
1 Pengajar melakukan demonstrasi tanpa menjelaskan. Peserta
memperhatikan.
2 Pengajar mengulangi prosedur dengan disertai penjelasan. Peserta
memperhatikan demonstrasi dan penjelasan pengajar.
3 Peserta memberikan penjelasan,
pengajar mendemonstrasikan sesuai penjelasan peserta.
4 Peserta mengulangi setiap langkah dan penjelasan seperti yang
dilakukan oleh pengajar
5 Peserta melakukan seluruh prosedur tanpa penjelasan.
60. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 55
DAFTAR TILIK
TRANSFER KETRAMPILAN
No. Tindakan Dilakukan Tidak
Dilakukan
1 Pengajar melakukan demonstrasi tanpa menjelaskan. Peserta
memperhatikan.
2 Pengajar mengulangi prosedur dengan disertai penjelasan.
Peserta memperhatikan demonstrasi dan penjelasan pengajar.
3 Peserta memberikan penjelasan, pengajar mendemonstrasikan
sesuai penjelasan peserta.
4 Peserta mengulangi setiap langkah dan penjelasan seperti yang
dilakukan oleh pengajar
5 Peserta melakukan seluruh prosedur tanpa penjelasan.
62. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 57
BENCANA
Definisi Bencana
Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya pasien jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. (Definisi bencana menurut UU No. 24 tahun 2007)
Posisi Geografis Indonesia
Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, memiliki
lebih dari 128 gunung berapi aktif, dan sekitar 150 sungai, baik besar maupun
kecil, yang melintasi wilayah padat penduduk.
Bencana besar yang pernah terjadi di Indonesia
Tahun 2007
Tahun 2006
Tahun 2005
Tahun 2004
Tahun 1992
Tahun 1963
Tahun 1930
Tahun 1883
Tahun 1815
Gempa di Bengukulu, pasien > 70 jiwa
Gempa di Yogyakarta, pasien > 5000 jiwa
Gempa di Nias, pasien > 1000 jiwa
Tsunami di Aceh, pasien > 166 ribu jiwa
Gempa di NTT, pasien > 2500 jiwa
Gunung Agung meletus, pasien > 1000 jiwa
Gunung Merapi meletus, pasien > 1300 jiwa
Gunung Krakatau meletus, pasien > 36000 jiwa
Gunung tambora meletus, pasien > 1000 jiwa
Sumber : BNPB 2016
Peta bencana di Indonesia
63. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
58 Gadar Medik Indonesia
Potensi Ancaman Bencana
Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun
oleh ulah manusia (man-made disaster). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan
bencana antara lain :
• Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made
hazards) yang menurut United Nations International Strategy for Disaster
Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi
(geological hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards),
bahaya biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards)
dan penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation).
• Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta
elemen-elemen di dalam kota/ kawasan yang berisiko bencana.
• Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat
Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada
pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia,
lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur
Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau
Sumatera - Jawa - Nusa Tenggara - Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan
vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa.
Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan
gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Data
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki
tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan
di Amerika Serikat (Arnold, 1986).
Gempa bumi yang disebabkan karena interaksi lempeng tektonik dapat
menimbulkan gelombang pasang apabila terjadi di samudera. Dengan wilayah
yang sangat dipengaruhi oleh pergerakan lempeng tektonik ini, Indonesia sering
mengalami tsunami. Tsunami yang terjadi di Indonesia sebagian besar disebabkan
oleh gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah seismik
aktif lainnya (Puspito, 1994). Selama kurun waktu 1600 - 2000 terdapat 105
kejadian tsunami yang 90 persen di antaranya disebabkan oleh gempa tektonik, 9
persen oleh letusan gunung berapi dan 1 persen oleh tanah longsor (Latief dkk.,
2000). Wilayah pantai di Indonesia merupakan wilayah yang rawan terjadi
bencana tsunami terutama pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa,
pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku,
pantai utara Irian Jaya dan hampir seluruh pantai di Sulawesi. Laut Maluku adalah
daerah yang paling rawan tsunami. Dalam kurun waktu tahun 1600 – 2000, di
daerah ini telah terjadi 32 tsunami yang 28 di antaranya diakibatkan oleh gempa
bumi dan 4 oleh meletusnya gunung berapi di bawah laut.
64. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 59
Pada sisi lain laju pembangunan mengakibatkan peningkatan akses
masyarakat terhadap ilmu dan teknologi. Namun, karena kurang tepatnya
kebijakan penerapan teknologi, sering terjadi kegagalan teknologi yang berakibat
fatal seperti kecelakaan transportasi, industri dan terjadinya wabah penyakit
akibat mobilisasi manusia yang semakin tinggi. Potensi bencana lain yang tidak
kalah seriusnya adalah faktor keragaman demografi di Indonesia. Jumlah
penduduk Indonesia pada tahun 2004 mencapai 220 juta jiwa yang terdiri dari
beragam etnis, kelompok, agama dan adat-istiadat. Keragaman tersebut
merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tidak dimiliki bangsa lain. Namun
karena pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak diimbangi dengan kebijakan dan
pembangunan ekonomi, sosial dan infrastruktur yang merata dan memadai,
terjadi kesenjangan pada beberapa aspek dan terkadang muncul kecemburuan
sosial. Kondisi ini potensial menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat
yang dapat berkembang menjadi bencana nasional.
Siaga Bencana
Apakah anda sudah siap siaga menghadapi ancaman bencana? Sejak dini, kita
perlu menyadari bahwa kita hidup di wilayah rawan bencana. Kenyataan ini
mendorong kita untuk mempersiapkan diri, keluarga, dan komunitas di sekitar
kita. Kesiapsiagaan diri diharapkan pada akhirnya mampu untuk mengantisipasi
ancaman bencana dan meminimalkan pasien jiwa, pasien luka, maupun
kerusakan infrastruktur. Mulai dari dalam diri sendiri, kita dapat membantu
keluarga dan komunitas untuk membangun kesiapsiagaan, maupun pada saat
menghadapi bencana dan pulih kembali pasca bencana.
Jenis – Jenis Bencana
Gempa Bumi
Gempa bumi merupakan peristiwa
pelepasan energi yang menyebabkan
dislokasi (pergeseran) pada bagian dalam
bumi secara tiba-tiba.
Tsunami
Tsunami berasal dari bahasa Jepang. "tsu"
berarti pelabuhan, "nami" berarti gelombang
sehingga secara umum diartikan sebagai
pasang laut yang besar di pelabuhan.
Letusan Gunung Berapi
65. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
60 Gadar Medik Indonesia
Letusan gunung api adalah merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang
dikenal dengan istilah "erupsi".
Bahaya dari letusan gunung berapi ada dua yaitu primer dan sekunder.
• Bahaya utama (primer), meliputi : awan
panas, lontaran material, hujan abu lebat,
lava, gas beracun, tsunami.
• Bahaya ikutan (sekunder), yaitu bahaya
yang terjadi setelah proses peletusan
berlangsung
Banjir
Banjir adalah dimana suatu daerah dalam keadaan tergenang oleh air dalam
jumlah yang begitu besar. Sedangkan banjir
bandang adalah banjir yang datang secara
tiba-tiba yang disebabkan oleh karena
tersumbatnya sungai maupun karena
pengundulan hutan disepanjang sungai
sehingga merusak rumah-rumah penduduk
maupun menimbulkan pasien jiwa.
Kegagalan Teknologi
Kegagalan Teknologi adalah semua kejadian
bencana yang diakibatkan oleh kesalahan
desain, pengoperasian, kelalaian dan
kesengajaan manusia dalam penggunaan
teknologi dan/atau industri.
Kebakaran
Kebakaran adalah situasi dimana suatu
tempat/lahan/bangunan dilanda api serta
hasilnya menimbulkan kerugian. Sedangkan
Kebakaran lahan dan hutan adalah keadaan
dimana lahan dan hutan dilanda api sehingga
mengakibatkan kerusakan lahan dan hutan
serta hasil-hasilnya dan menimbulkan
kerugian.
66. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 61
Pengurangan Resiko Bencana dan Penanggulangan Bencana
Besar atau kecilnya dampak dalam sebuah bencana diukur dari pasien jiwa,
kerusakan, atau biaya–biaya kerugian yang ditimbulkannya. Namun demikian,
dalam upaya pengurangan risiko bencana, dampak sebuah bencana dapat
diprediksi dengan mengidentifikasi beberapa hal di bawah ini.
1. Bahaya (hazard) yaitu suatu kejadian yang mempunyai potensi untuk
menyebabkan terjadinya kecelakaan, cedera, hilangnya nyawa atau
kehilangan harta benda. Bahaya ini bisa menimbulkan bencana maupun
tidak. Bahaya dianggap sebuah bencana (disaster) apabila telah
menimbulkan pasien dan kerugian.
2. Kerentanan (vulnerability) adalah rangkaian kondisi yang menentukan
apakah bahaya (baik bahaya alam maupun bahaya buatan) yang terjadi akan
dapat menimbulkan bencana (disaster) atau tidak. Rangkaian kondisi,
umumnya dapat berupa kondisi fisik, sosial dan sikap yang mempengaruhi
kemampuan masyarakat dalam melakukan pencegahan, mitigasi, persiapan
dan tindak-tanggap terhadap dampak bahaya.
Jenis-jenis kerentanan :
a. Kerentanan Fisik seperti Bangunan, Infrastruktur, Konstruksi yang lemah.
b. Kerentanan Sosia seperti Kemiskinan, Lingkungan, Konflik, tingkat
pertumbuhan yang tinggi, anak-anak dan wanita, lansia.
c. Kerentanan Mental seperti ketidaktahuan, tidak menyadari, kurangnya
percaya diri, dan lainnya.
3. Kapasitas (capacity) yaitu kemampuan untuk memberikan tanggapan
terhadap situasi tertentu dengan sumber daya yang tersedia (fisik, manusia,
keuangan dan lainnya). Kapasitas ini bisa merupakan kearifan lokal
masyarakat yang diceritakan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
4. Resiko bencana (Risk) yaitu potensi kerugian yang ditimbulkan akibat
bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa
kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi,
kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. , akibat
kombinasi dari bahaya, kerentanan, dan kapasitas dari daerah yang
bersangkutan. Resiko bencana dapat dihitung dengan persamaan sebagai
berikut :
Risk (R) = H xV/ C
Keterangan :
R : Resiko Bencana
H : Bahaya
V : Kerentanan
C : Kapasitas
67. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
62 Gadar Medik Indonesia
Setelah menghitung resiko bencana, yang harus kita lakukan ialah melakukan
tindakan untuk mengurangi resiko bencana. Kegiatan yang dapat dilakukan untuk
mengurangi resiko bencana antara lain :
1. Relokasi penduduk dari daerah rawan bencana, misal memindahkan
penduduk yang berada dipinggir tebing yang mudah longsor.
2. Pelatihan-pelatihan kesiapsiagaan bencana bagi penduduk di sebuah daerah.
3. Pengkondisian rumah atau sarana umum yang tanggap bencana.
4. Bangunannya relatif lebih kuat jika dilanda gempa.
5. Penciptaan dan penyebaran kearifan lokal tentang kebencanaan, dll.
Tahapan/Proses Dalam Penanggulangan Bencana
Manajemen penanggulangan bencana dapat didefinisikan sebagai segala
upaya atau kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka upaya pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan berkaitan dengan bencana yang
dilakukan pada tahapan sebelum, saat dan setelah bencana.
Manajemen penanggulangan bencana merupakan suatu proses yang
dinamis, yang dikembangkan dari fungsi manajemen klasik yang meliputi
perencanaan, pengorganisasian, pembagian tugas, pengendalian dan
pengawasan. Proses tersebut juga melibatkan berbagai macam organisasi yang
harus bekerjasama untuk melakukan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan,
tanggap darurat, dan pemulihan akibat bencana.
Manajemen Penanggulangan bencana
Manajemen Resiko
Bencana
Mitigasi
Kesiapsiagaan
Pra Bencana
Manajemen
Kedaruratan
Saat Bencana
Manajemen
Pemulihan
Pasca Bencana
68. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 63
Kesiapasiagaan
Mitigasi
Pencegahan
Rekonstruksi
Pemulihan
Tanggap Darurat
Siklus Penanggulangan Bencana
Pada siklus penanggulangan bencana, terdapat 3 (tiga) tahapan dan diikuti
kegiatan – kegiatannya. Tahapan tersebut antara lain:
1. Pra Bencana (sebelum bencana), kegiatannya antara lain:
a. Pencegahan
b. Mitigasi
c. Kesiapsiagaan
2. Saat Bencana, kegiatannya adalah :
• Tanggap Darurat
3. Pasca Bencana (sesudah Bencana), kegiatannya antara lain:
• Rehabilitasi
• Rekonstruksi
PRA BENCANA
SAAT BENCANA
PASCA BENCANA
70. Kegawatdaruratan Trauma dan Bencana
Gadar Medik Indonesia 65
DAFTAR PUSTAKA
American Heart Assosiation : Cardio Pulmonary Resuscitation, 2015
Americans College of Emergency Physicians, Basic Trauma Life Support : For
Paramedics And Other Advanced Providers, Brady, 2000
American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008, Advanced Trauma
Life Support for Doctors (ATLS) , United States of America, diterjemahkan dan
dicetak oleh Komisi Trauma “IKABI”
Cone et al, (2009). Pilot Test Of The Salt Mass Casualty Triage System. Prehospital
Emergency Care 2009;13:536–540.
Kahn, Schultz, Miller dan Anderson, (2008). Does START Triage Work An
Outcomes Assessment After a Disaster. Annals of Emergency Medicine
Volume 54, Issue 3, Pages 424-430.e1, September 2009
Kartikawati Dewi (2011) Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Salemba
Medika.
Lerner, E.B,. Schwartz, R.B., Coule, P.L., Pirrallo, R.G., (2010). Use Of Salt Triage In
A Simulated Mass-Casualty Incident. Prehospital emergency care 2010;14:21–
25
Oman, Kathleen S. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC
Pusponegoro Aryono D. dr. Sp.B(K)-BD (2010) kasus trauma adalah “silent
disaster” Penerbit : Bandung
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana
www.basarnas.go.id
71. Ruko Blessing No. 50 - 51
Jl. Keong Mas III, Perumnas II Bekasi
Kayuringin Jaya, Kota Bekasi - Jawa Barat
Telp./ Fax. : +62 21 2957 3304
Hp.: +62 812 8000 5102
email : gadarmedik_indonesia@yahoo.co.id
www.gadarmedikindonesia.or.id