Teks tersebut memberikan informasi mengenai penyakit refluks gastroesofageal (GERD) yang meliputi definisi, etiologi, gejala, patofisiologi, komplikasi, dan pemeriksaan penunjang. Secara ringkas, teks tersebut menjelaskan bahwa GERD disebabkan oleh kegagalan sfingter esofagus bawah sehingga menyebabkan refluks isi lambung ke esofagus dan dapat menimbulkan berbagai gejala serta komplikasi se
1. A.
DEFINISI
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) didefinisikan
sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam
esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus
maupun ekstra esofagus dan atau komplikasi (Susanto, 2002).
Pada orang normal, refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan. Karena sikap
posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang mengalir
masuk ke esofagus segera dikembalikan ke lambung. Refluks sejenak ini tidak merusak
mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala. Oleh karena itu, dinamakan
refluks fisiologis. Keadaan ini baru dikatakan patologis, bila refluks terjadi berulang-ulang
yang menyebabkan esofagus distal terkena pengaruh isi lambung untuk waktu yang lama.
Istilah esofagitis refluks berarti kerusakan esofagus akibat refluks cairan lambung, seperti
erosi dan ulserasi epitel skuamosa esofagus (Susanto, 2002).
B.
ETIOLOGI
Penyebab dari PRGE/GERD adalah kompleks. Mungkin ada berbagai penyebab-penyebab,
dan penyebab-penyebab yang berbeda mungkin bekerja pada individu-individu yang berbeda,
atau bahkan pada individu yang sama pada waktu-waktu yang berbeda. Sejumlah kecil
pasien-pasien dengan PRGE/GERD menghasilkan jumlah-jumlah asam yang besarnya
abnormal, namun ini adalah tidak umum dan bukan faktor yang berkontribusi pada mayoritas
yang sangat luas dari pasien-pasien. Faktor-faktor yang berkontribusi pada PRGE/GERD
adalah sfingter esofagus bagian bawah, hiatal hernias, kontraksi-kontraksi esofagus, dan
pengosongan dari lambung.
C. TANDA DAN GEJALA
1. Dewasa
Gejala yang paling umum-GERD adalah:
a.
Mulas
b. Regurgitasi
c.
Kesulitan menelan ( disfagia )
Kurang, gejala umum, termasuk:
a.
Nyeri dengan menelan ( odynophagia )
b. Peningkatan air liur (rasa ingin meludah)
c.
Mual
2. d. Nyeri dada
GERD kadang-kadang menyebabkan luka pada kerongkongan. Cedera ini mungkin termasuk:
a.
Refluks esofagitis - nekrosis epitel esofagus menyebabkan borok di dekat persimpangan
dari lambung dan kerongkongan.
b.
Terserang striktur - penyempitan terus-menerus dari esophagus yang disebabkan oleh
refluks akibat peradangan.
c.
Barrett esophagus - usus metaplasia . (perubahan sel epitel skuamosa dari epitel
kolumnar ke usus) dari esofagus distal.
d. Terserang adenokarsinoma -. bentuk yang jarang dari kanker
Beberapa gejala atipikal lainnya yang berhubungan dengan GERD, tetapi ada bukti yang baik
untuk penyebab hanya ketika mereka disertai dengan cedera kerongkongan. Gejala-gejala ini:
a.
Kronis batuk
b. Laringitis (suara serak, tenggorokan kliring)
c.
Asma
d. Erosi enamel gigi
e.
Hipersensitivitas dentin
f.
Sinusitis dan rusak gigi
g. Sakit tekak
Beberapa orang telah mengusulkan bahwa gejala seperti sinusitis , infeksi telinga berulang,
dan fibrosis paru idiopatik adalah karena GERD, namun peran penyebab belum ditetapkan.
2. Anak-anak
GERD mungkin sulit untuk mendeteksi di bayi dan anak-anak , karena mereka tidak bisa
menggambarkan apa yang mereka rasakan dan indikator harus diperhatikan. Gejala dapat
bervariasi dari gejala khas orang dewasa. GERD pada anak-anak dapat menyebabkan
berulang muntah , mudah meludah atas, batuk , dan masalah pernapasan lainnya seperti
tersengal-sengal, menangis kalau dihibur, menolak makan, menangis kalau diberi makanan
dan kemudian menarik botol atau payudara hanya menangis, begitu lagi, kegagalan untuk
menambah berat badan yang memadai, bau mulut, dan sendawa atau bersendawa juga umum.
Anak-anak mungkin memiliki satu gejala atau banyak, tidak ada gejala tunggal bersifat
universal pada semua anak dengan GERD.
Diperkirakan bahwa dari sekitar 4 juta bayi lahir di Amerika Serikat setiap tahun, hingga
35% dari mereka mungkin memiliki kesulitan dengan refluks dalam beberapa bulan pertama
kehidupan mereka, yang dikenal sebagai meludah. Salah satu teori untuk ini adalah yang
“teori trimester ke-4″ yang mencatat bahwa kebanyakan hewan dilahirkan dengan mobilitas
3. yang signifikan, namun manusia relatif tak berdaya saat kelahiran, dan menunjukkan bahwa
mungkin telah pernah menjadi trimester keempat, namun anak-anak mulai lahir sebelumnya,
evolusi, untuk mengakomodasi pengembangan kepala yang lebih besar dan otak dan
memungkinkan mereka untuk melewati jalan lahir dan ini membuat mereka dengan sistem
pencernaan sebagian belum berkembang.
Kebanyakan anak akan mengatasi refluks mereka dengan ulang tahun pertama mereka.
Namun, sejumlah kecil namun signifikan dari mereka tidak akan mengatasi kondisi tersebut.
Hal ini terutama berlaku di mana ada riwayat keluarga hadir GERD.
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang
dihasilkan oleh kontraksi Lower esophageal sphincter. Pada individu normal, pemisah ini
akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat
menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari
gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat
rendah (<3 mmHg) (Aru, 2009).
Terjadinya aliran balik / refluks pada penyakit GERD diakibatkan oleh gangguan motilitas /
pergerakan esofagus bagian ujung bawah. Pada bagian ujung ini terdapat otot pengatur
(sfingter) disebut LES, yang fungsinya mengatur arah aliran pergerakan isi saluran cerna
dalam satu arah dari atas ke bawah menuju usus besar. Pada GERD akan terjadi relaksasi
spontan otot tersebut atau penurunan kekuatan otot tersebut, sehingga dapat terjadi arus balik
atau refluks cairan atau asam lambung, dari bawah ke atas ataupun sebaliknya (Hadi, 2002).
Patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari
esophagus dan faktor efensif dari bahan reflukstat. Yang termasuk faktor defensif esophagus,
adalah pemisah antirefluks, bersihan asam dari lumen esophagus, dan ketahanan ephitelial
esophagus. Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.
a.
Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat
menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan
intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES
(makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta
adrenergik), dan faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat
menurunkan tonus LES.
b.
Bersihan asam dari lumen esophagus
4. Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi, peristaltik,
eksrkresi air liur, dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks sebagian besar bahan refluksat akan
kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan.
c.
Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mukus yang
melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan ephitelial esophagus terdiri dari :
1) Membran sel
2)
Batas intraseluler (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan
esophagus
3)
Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2
4) Sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ .
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan hubungannya
dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah dalam keadaan
relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intra abdominal sehingga terbentuk rongga
diantara esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus.
Jika isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi,
maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya
ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi
esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring (Hadi, 2002).
D. Patofisiologi/Pathwas
GERD disebabkan oleh kegagalan kardia . Pada pasien sehat, sudut di mana kerongkongan
memasuki perut menciptakan katup yang mencegah empedu duodenum, enzim, dan asam
perut dari perjalanan kembali ke kerongkongan yang mana mereka dapat menyebabkan
pembakaran dan radang jaringan kerongkongan sensitif. Faktor-faktor yang dapat
berkontribusi untuk GERD:
a.
Hernia hiatus , yang meningkatkan kemungkinan GERD karena faktor mekanik dan
motilitas.
b.
Obesitas : Peningkatan indeks massa tubuh berhubungan dengan GERD yang lebih
parah. Dalam serangkaian besar dari 2000 pasien dengan penyakit refluks bergejala, telah
menunjukkan bahwa 13% dari perubahan dalam paparan asam esofagus disebabkan
perubahan indeks massa tubuh.
5. c.
Zollinger-Ellison syndrome , yang dapat hadir dengan keasaman lambung meningkat
karena produksi gastrin.
d.
Hypercalcemia , yang dapat meningkatkan produksi gastrin, yang menyebabkan
keasaman meningkat.
e.
Scleroderma dan sistemik sclerosis , yang dapat fitur dismotilitas esofagus.
f.
Penggunaan obat-obatan seperti prednisolon .
g.
Visceroptosis atau Glénard sindrom, di mana perut telah tenggelam di perut
mengacaukan sekresi motilitas dan asam lambung.
GERD telah dikaitkan dengan berbagai keluhan pernapasan dan laring seperti radang
tenggorokan kronis, batuk , fibrosis paru , sakit telinga, dan asma, bahkan ketika tidak
tampak secara klinis. Ini manifestasi atipikal GERD sering disebut sebagai refluks
laryngopharyngeal atau sebagai penyakit refluks extraesophageal (EERD). Faktor-faktor
yang telah dikaitkan dengan GERD, tetapi tidak meyakinkan:
a.
Obstructive sleep apnea
b. Batu empedu , yang dapat menghambat aliran empedu ke dalam Duodenum , yang dapat
mempengaruhi kemampuan untuk menetralisirasam lambung
Pada tahun 1999, tinjauan studi yang ada menemukan bahwa rata-rata, 40% dari pasien
GERD juga memiliki H. pylori infeksi. Pemberantasan H. pylori dapat menyebabkan
peningkatan sekresi asam, yang mengarah ke pertanyaan apakah H. pylori terinfeksi pasien
GERD adalah setiap yang berbeda daripada non pasien terinfeksi GERD. Sebuah doubleblind. Penelitian yang dilaporkan pada tahun 2004, tidak menemukan perbedaan klinis yang
signifikan antara kedua jenis pasien dengan memperhatikan jumlah yang subjektif atau
objektif dari keparahan penyakit.
E. KOMPLIKASI
Komplikasi GERD antara lain :
1.
Esofagus barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner metaplastik.
2.
Esofagitis ulseratif
3.
Perdarahan
4.
Striktur esofagus
5.
Aspirasi. (Asroel, 2002).
6. F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.
Endoskopi
Dewasa ini endoskopi merupakan pemeriksaan pertama yang dipilih oleh evaluasi pasien
dengan dugaan PRGE. Namun harus diingat bahwa PRGE tidak selalu disertai kerusakan
mukosa yang dapat dilihat secara mikroskopik dan dalam keadaan ini merupakan biopsi.
Endoskopi menetapkan tempat asal perdarahan, striktur, dan berguna pula untuk pengobatan
(dilatasi endoskopi).
2.
Radiologi
Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada
kasus esofagitis ringan. Di samping itu hanya sekitar 25 % pasien PRGE menunjukkan
refluks barium secara spontan pada pemeriksaan fluoroskopi. Pada keadaan yang lebih berat,
gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, tukak, atau
penyempitan lumen.
3.
Tes Provokatif
a.
Tes Perfusi Asam (Bernstein) untuk mengevaluasi kepekaan mukosa esofagus terhadap
asam. Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCL 0,1 % yang dialirkan ke esofagus. Tes
Bernstein yang negatif tidak memiliki arti diagnostik dan tidak bisa menyingkirkan nyeri asal
esofagus. Kepekaan tes perkusi asam untuk nyeri dada asal esofagus menurut kepustakaan
berkisar antara 80-90%.
b.
Tes Edrofonium. Tes farmakologis ini menggunakan obat endrofonium yang disuntikan
intravena. Dengan dosis 80 µg/kg berat badan untuk menentukan adanya komponen nyeri
motorik yang dapat dilihat dari rekaman gerak peristaltik esofagus secara manometrik untuk
memastikan nyeri dada asal esofagus.
4.
Pengukuran pH dan tekanan esofagus
Pengukuran pH pada esofagus bagian bawah dapat memastikan ada tidaknya RGE, pH
dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk RGE. Cara lain untuk
memastikan hubungan nyeri dada dengan RGE adalah menggunakan alat yang mencatat
secara terus menerus selama 24 jam pH intra esofagus dan tekanan manometrik esofagus.
Selama rekaman pasien dapat memeberi tanda serangan dada yang dialaminya, sehingga
dapat dilihat hubungan antara serangan dan pH esofagus/gangguan motorik esofagus. Dewasa
ini tes tersebut dianggap sebagai gold standar untuk memastikan adanya PRGE.
5.
Tes Gastro-Esophageal Scintigraphy
Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk penilaian pengosongan esofagus dan sifatnya
non invasif (Djajapranata, 2001).
7. 6.
Pemeriksaaan Esofagogram
Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan lipatan mukosa esofagus,
erosi, dan striktur.
7.
Tes PPI
Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada pasien yang diduga
menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan hilang selama satu minggu. Tes ini
mempunyai sensitivitas 75%.
8.
Manometri esofagus
Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian terapi pada pasien NERD.
Pemeriksaan ini juga untuk menilai gangguan peristaltik/motilitas esofagus.
9.
Histopatologi
Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau keganasan. Tetapi bukan untuk
memastikan NERD (Yusuf, 2009).
G. Penatalaksanaan
Terapi GERD ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala pasien,
mengurangi frekuensi atau kekambuhan dan durasi refluks esofageal, mempercepat
penyembuhan mukosa yang terluka, dan mencegah berkembangnya komplikasi. Terapi
diarahkan pada peningkatan mekanisme pertahanan yang mencegah refluks dan atau
mengurangi faktor-faktor yang memperburuk agresifitas refluks atau kerusakan mukosa.
1. Modifikasi Gaya Hidup
a.
Tidak merokok
b.
Tempat tidur bagian kepala ditinggikan
c.
Tidak minum alkohol
d.
Diet rendah lemak
e.
Hindari mengangkat barang berat
f.
Penurunan berat badan pada pasien gemuk
g.
Jangan makan terlalu kenyang
h.
Hindari pakaian yang ketat, terutama di daerah pinggang
2. Terapi Endoskopik.
Terapi ini masih terus dikembangkan. Contohnya adalah radiofrekuensi, endoscopic suturing,
dan endoscopic emplatation. Radiofrekuensi adalah dengan memanaskan gastroesophageal
junction. Tujuan dari jenis terapi ini adalah untuk mengurangi penggunaan obat,
meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi reflux.
8. 3.
Terapi medika mentosa.
Sampai pada saat ini dasar yang digunakan untuk terapi ini adalah supresi pengeluaran asam
lambung. Ada dua pendekatan yang biasa dilakukan pada terapi medika mentosa:
a.
Step up
Awal pengobatan pasien diberikan obat-obat yang kurang kuat menekan sekresi asam seperti
antacid, antagonis reseptor H2 ( simetidin, ranitidine, famotidin, nizatidin) atau golongan
prokinetik (metoklorpamid,domperidon,cisaprid) bila gagal berikan obat-obat supresi asam
yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (PPI).
b.
Step down
Pada terapi ini pasien langsung diberikan PPI dan setelah berhasil lanjutkan dengan supresi
asam yang lebih lemah untuk pemeliharaan.
4.
Terapi terhadap Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan dan striktur. Bila terjadi rangsangan asam
lambung yang kronik dapat terjadi perubahan mukosa esophagus dari squamous menjadi
kolumnar yang metaplastik sebagai esophagus barret’s (premaligna) dan dapat menjadi
karsinoma barret’s esophagus
a. Striktur esophagus
Bila pasien mengeluh disfagia dan diameter strikturnya kurang dari 13 mm maka dapat
dilakukan dilatasi busi, bila gagal juga lakukanlah operasi.
b.
Barret’s esophagus
Bila pasien telah mengalami hal ini maka terapi yang dilakukan adalah terapi bedah
(fundoskopi). Selain terapi bedah dapat juga dilakukan terapi endoskopi (baik menggunakan
energy radiofrekuensi, plikasi gastric luminal atau dengan implantasi endoskopi) walapun
cara ini masih dalam penelitian. (Djajapranata, 2001).
DAFTAR PUSTAKA
Aru, Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.
Asroel, Harry. 2002. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Universitas Sumatera Utara : Fakultas
Kedoketeran Bagian Tenggorokan Hidung dan Telinga.
9. Bestari, Muhammad Begawan. 2011. Penatalaksanaan Gastroesofageal Reflux Disease
(GERD). Divisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran / RS Dr. Hasan Sadikin Bandung CDK 188 / vol. 38 no.
7 / November 2011.
Djajapranata, Indrawan. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta :
FKUI.
Sujono, Hadi. 2002. Gastroenterologi Edisi VII. Bandung: Penerbit PT Alumni.
Susanto, Agus dkk. 2002. Gambaran Klinis dan Endoskopi Penyakit Refluks Gastroesofagus.
Jakarta : FKUI.
Yusuf,
Ismail.
2009.
Diagnosis Gastroesophageal
Reflux
Disease (GERD)
Secara
Klinis.PPDS Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Vol. 22, No.3, Edition September November 2009.
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook