Mempelajari Kegagalan sebagai Bagian dari Berarsitektur.
Buku ini merupakan keluaran dari mata kuliah pilihan Keseharian dan Arsitektur, Departemen Arsitektur, Universitas Indonesia. Buku ini berisi taksonomi kegagalan, sebagai sebuah sintesis dari pengalaman berarsitektur yang telah dialami para penulis.
Taksonomi ini tentunya tidak sempurna dan belum dapat dikatakan mewakili setiap kemungkinan kegagalan dan keberhasilan dari sebuah proyek arsitektur. Namun, kehadirannya kami harapkan dapat menunjukkan proses pembelajaran yang kaya yang
dapat diperoleh dari proyek yang secara sepintas dianggap gagal. Meski pun banyak kegagalan yang dialami di dalamnya, pada akhirnya PROGASIK ini berhasil dalam menguraikan secara sistematis dan terperinci terjadinya pengalaman belajar yang
berharga bagi berkembangnya pengetahuan dan praktik arsitektur yang dekat dengan masyarakat penggunanya.
8. TIMELINE DAN KONTEN BUKU
PKK
11
SEPT 2013
Presentasi Awal
(memilih satu dari tiga
site alternatif)
17
Site telah ditentukan!
(Srengseng Sawah, Jaksel)
18
05
OKT 2013
Menentukan target
awal dan rencana
ke depan.
Survei pertama!
Keliling RT, berkenalan
dengan warga, ikut
senam, mencari potensi
kawasan dan isu.
13
Survei kedua!
Mulai membatasi
kawasan, berdialog
dengan organisasi
warga, mulai
menentukan isu.
Isu ditemukan!
Isu yang diangkat:
kurang maksimalnya
pelaksanaan salah
satu program PKK,
yaitu TOGA (tanaman
obat keluarga).
16
Diskusi Kelompok
Menyusun pertanyaan
angket untuk
mengetahui kebiasaan
dan pengetahuan
warga terkait isu.
19
20
Survei ketiga (bagian dua)!
Mencoba keliling lagi,
namun hasilnya tak jauh
berbeda dengan kemarin. 23
Presentasi progress!
Ada banyak
masukan dari dosen
yang membuat kita
berpikir kembali.
02
Survei keempat!
Kami mengajak ibu-ibu
untuk ikut membuat pot,
tapi ternyata anak-anaknya
yang lebih tertarik.
Survei ketiga!
Berkeliling membagikan
angket, namun tidak
banyak yang bisa ditemui.
0
S
m
a
d
f
t
A
un
k
sa
OKT 2013 NOV 2013
Taksonomi
Program
012
Timeline dan
Konten Buku
006
Kata
Pengantar
008 028
020
044
054
006
Pengenalan
Site
016
9. K
03
Survei kelima!
menyosialisasikan sistem
alternatif untuk menanam
di lahan terbatas (vertical
farming) namun ternyata
terlalu sepi (lagi!).
Perkecil Ruang
Intervensi!
Akhirnya, setelah
berdiskusi lagi,
kami sepakat
ntukmemperkecil
kawasan. Dari
kawasan seluas
atu RT, diperkecil
menjadi seluas
sebuah taman
bermain, KB
Raisya.
04
Survei keenam!
Bertemu guru KB Raisya,
bertanya banyak hal
tentang sekolah dan
muridnya. Kami juga
melakukan survei fisik.
07
Workshop 1 di KB Raisya!
Kami berkenalan, bertanya
mainan apa yang mereka
suka, bermain mencocokkan
tanaman, dan simulasi
menanam kacang hijau.
13
18
Workshop 2 di KB Raisya!
Kami mengajak anak-anak untuk
menggambarkan seperti apa
pekarangan impian mereka.
Namun, ternyata perkiraan kami
meleset jauh (duh, lagi).
Presentasi progress!
Dari keseluruhan
gagal dan berhasilnya
progress yang sudah
dijalani, dosen
menyarankan kami
untuk mengevaluasi
dan menyusun
diagram mengenai
hal-hal apa saja yang
membuat berhasil dan
gagal.
02
Evaluasi Akhir
Diskusi kembali,
susun tim baru,
tabel evaluasi
kegiatan, dan
proposal modul
belajar (beserta
alat peraganya)
yang akan
diberikan ke guru
PAUD Raisya.
18
Presentasi akhir!
Mendapat banyak
saran dan masukan
lagi. Namun, kali ini
kami ditantang untuk
mendokumentasikan
kinerja kami ke dalam
sebuah buku (dan kami
menyanggupinya!).
21
Rencana Selanjutnya:
Membuat pot dan alat
peraga lainnya, serta
menyusun buku!
09
Susun Matriks!
Setelah tabel selesai
disusun, tim matriks
menyusun diagram
alur yang menjelaskan
‘mengapa’ gagal, dan
‘mengapa’ berhasil.
NOV 2013 DES 2013
Esai Refleksi 2
146
Esai Refleksi 1
138
Esai Refleksi 3
152
Esai Refleksi 4
160
Arsip
167
066
076
090
098
108
082
118
007
Referensi
171
10. sebaiknya disembunyikan. Namun, kami mencoba
melihat dari sisi lain bahwa kegagalan bukanlah
sebuah cela yang perlu disembunyikan karena pada
dasarnya kegagalan adalah pembelajaran yang
penting dalam proses arsitektur. Sehingga sudah
saatnya kita menyelebrasi kegagalan, sebagai bagian
yang penting dalam berarsitektur.
Pernyataan di atas hendaknya tidak
disalahartikan sebagai pernyataan yang mendorong
terjadinya kegagalan atau tidak menuntaskan sebuah
pekerjaan. Namun, justru kami berusaha untuk
menempatkan kegagalan sebagai bagian yang dapat
mengungkap banyak realita dalam berlangsungnya
sebuah proses berarsitektur di tengah masyarakat.
Praktik di tengah masyarakat memberikan tantangan
yang beragam, yang tidak mungkin dapat dipelajari
sebelumnya di dalam kuliah atau studio di sekolah
Mempelajari Kegagalan sebagai Bagian dari
Berarsitektur.
Mari mempelajari kegagalan. Kumpulan tulisan
di dalam buku ini mengantarkan sebuah gagasan
tentang perlunya untuk tidak selalu melihat
keberhasilan dan kesuksesan dalam proses
berarsitektur, seperti yang sudah banyak dituliskan di
berbagai media. Buku ini mencoba menantang sebuah
arus berpikir dalam praktik arsitektur yang cenderung
untuk melihat keberhasilan dan kesuksesan sebagai
sebuah tujuan utama dari berbagai praktik arsitektur.
Tentunya tidak ada –setidaknya sejauh yang kami
ketahui– arsitek yang mengharapkan dikenal karena
gagal menuntaskan sebuah proyek atau gagal
menghadirkan karya arsitektur yang bekerja dengan
baik. Kalaupun terjadi kegagalan, itu bukan merupakan
sesuatu yang perlu diketahui orang lain, sehingga
KATA PENGANTAR
Oleh: Paramita Atmodiwirjo S.T., M.Arch., Ph.D.
008
11. arsitektur. Berlandaskan kepercayaan inilah maka
kami membuka mata kuliah Keseharian dan Arsitektur
di Universitas Indonesia di Universitas Indonesia sejak
tahun 2006. Mata kuliah ini memberikan kesempatan
mahasiswa untuk melakukan sebuah praktik intervensi
nyata, langsung bersinggungan dengan masyarakat.
Tentunya dalam mata kuliah ini mahasiswa didorong
untuk melaksanakan praktik dengan benar dan
berhasil. Berhasil artinya setidaknya intervensi
arsitektur dilaksanakan dengan tuntas, mencapai
tujuan yang diharapkan, dan masyarakat memperoleh
manfaat positif dari intervensi tersebut. Namun,
ternyata sebagaimana praktik arsitektur umumnya,
kegagalan tidak dapat terhindarkan dalam proses
tersebut. Dan buku ini berupaya untuk mengupas
terjadinya kegagalan demi kegagalan yang dialami dan
meletakkannya sebagai bagian pembelajaran yang
penting.
PROGASIK. Proyek Gagal Tapi Asik. Judul buku ini
mengisyaratkan setidaknya tiga hal.
Pertama, bahwa kegagalan merupakan
bagian tidak terhindarkan dari sebuah proyek. Proyek
apapun memiliki risiko untuk menjadi gagal. Artinya
mengerjakan proyek apapun selalu mengandung risiko
mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan bisa
beragam, namun proyek arsitektur menjadi rentan
terhadap kegagalan karena pada dasarnya praktik
arsitektur yang tidak terlepas dari kehadiran berbagai
faktor lain selain arsitektur itu sendiri. “Architecture is
dependent on others at every stage of its journey from
initial sketch to inhabitation” (Till, 2009: 45). Termasuk
dari dependency ini adalah ketergantungannya
dengan kehadiran pengguna yang seringkali memiliki
kebutuhan, aspirasi, dan cara pandangnya sendiri
yang di luar pengetahuan yang dimiliki dan dibangun di
dalam benak arsitek. Sehingga berhasil tidaknya
sebuah proyek arsitektur tidak semata-mata
ditentukan faktor internal dari praktik, melainkan
tergantung oleh banyak hal.
Kedua, kegagalan dapat menjadi asik, karena
sesungguhnya kegagalan merupakan sebuah
pengalaman pembelajaran yang berharga.
Pembelajaran berbasis pengalaman atau experiential
learning (Kolb, 1984) memiliki karakteristik dimana
pengetahuan dibangun dari proses mengalami secara
langsung dan merefleksikan apa yang dialami.
Pengalaman akan kegagalan bila direfleksikan secara
cermat mampu memberikan pengetahuan yang
berharga, bukan hanya sekadar untuk mengetahui
penyebab terjadinya kegagalan, namun, lebih jauh dari
itu, juga dapat memberikan gambaran kompleksitas
seluruh proses yang menjadi konteks terjadinya
kegagalan tersebut. Kegagalan menjadi bermakna
tatkala menjadi bagian dari reflective practice (Schön,
1983), sebagai bagian dari kemampuan untuk
merefleksikan tindakan yang sedang dan telah
dilakukan.
009
12. Ketiga, kata “tapi” yang menghubungkan
“gagal” dan “asik” juga dapat bermakna banyak. Kata
hubung seperti “dan”, “atau”, “tapi” mengandung makna
penting saat kita melihat sebuah fenomena yang
bukan berdiri sendiri dan tidak statis. “Tapi”
mengandung gagasan koneksi antara satu dan lain hal
yang berlawanan. Sehingga kegagalan tidak dilihat
sebagai sekadar kegagalan, namun kegagalan,
namun juga menjadi sesuatu yang perlu diselebrasi
kehadirannya dalam proses berarsitektur. Selain itu,
“tapi” di sini mengindikasikan bahwa penilaian terhadap
sesuatu seringkali tergantung pada penilaian sesuatu
yang lain. Melihat visualitas dari sebuah karya arsitektur
dapat mengundang sebuah penilaian tertentu, namun
penilaian ini tidak lengkap tanpa mempertimbangkan
aspek lain yang barangkali justru sama pentingnya
atau bahkan lebih utama. Kompleksitas proyek
arsitektur membutuhkan pemahaman semacam ini
sebelum dapat semata-mata dinilai sebagai proyek
yang berhasil atau gagal.
Refleksi terhadap kegagalan demi kegagalan
yang dialami para penulis buku ini dalam upaya
melaksanakan intervensinya menunjukkan bahwa
kegagalan pada dasarnya merupakan sebuah bagian
dari praktik yang transformative – “a process that is
transformative for all parties – the architect included”
(Till, 2005: 27). Proses merancang dan
mengimplementasikan mengimplementasikan sebuah
intervensi arsitektur di tengah masyarakat dan
bersama-sama masyarakat merupakan sebuah
proses yang hendaknya bersifat transformatif tidak
hanya bagi komunitas sasaran intervensi, namun juga
bagi arsitek. Proses mengalami kegagalan merupakan
sebuah bentuk transformasi pengetahuan dari
perancang yang diperoleh dari pengalamannya
berinteraksi dengan masyarakat yang menjadi
sasaran intervensi arsitektur.
Buku ini diakhiri dengan sebuah taksonomi
kegagalan, sebagai sebuah sintesis dari pengalaman
berarsitektur yang telah dialami para penulis.
Taksonomi ini tentunya tidak sempurna dan belum
dapat dikatakan mewakili setiap kemungkinan
kegagalan dan keberhasilan dari sebuah proyek
arsitektur. Namun, kehadirannya kami harapkan dapat
menunjukkan proses pembelajaran yang kaya yang
dapat diperoleh dari proyek yang secara sepintas
dianggap gagal. Meski pun banyak kegagalan yang
dialami di dalamnya, pada akhirnya PROGASIK ini
berhasil dalam menguraikan secara sistematis dan
terperinci terjadinya pengalaman belajar yang
berharga bagi berkembangnya pengetahuan dan
praktik arsitektur yang dekat dengan masyarakat
penggunanya.
010
13. Referensi:
?
Kolb, D. (1984).
?
Till, J. (2009). Architecture Depends. Cambridge, MA.: The MIT Press.
?
Till, J. (2005). The Negotiation of Hope. In P. Blundell-Jones, D. Petrescu& J. Till, Architecture and Participation, pp.
19-41. London: Spon Press.
?
Schön, D. (1983) The Reflective Practitioner. How Professionals Think in Action. London: Temple Smith.
011
14. TAKSONOMI PROGRAM:
KEMUNGKINAN KOMBINASI ALUR
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
(I) (K) (S)
(SOr)
(SAr)
(SLo) (LPr)
(LPu)
(ODe)
(OAn)
(ADi)
(AKe)
(DId)
(DIs)
(MOb)
(MAn)
(MWo)
MWa
(MPa)
(MPe)
(M)
(WSi)
(WIn)
(WKu)
(YCa)
(TCa)
(DKo)
012
Taksonomi A.1: Taksonomi Seluruh Kemungkinan Alur Program dan Keberhasilan/Kegagalannya
(Sumber: Tim Progasik)
15. PKK
Pemetaan Pekarangan dan TOGA (KPe)
Menggambar Pekarangan Impian (KGa)
Workshop Simulasi Menanam (KTa)
Workshop Identifikasi Tanaman (KId)
Workshop Mainan Favorit (KMa)
Survei PAUD Raisya (KSu)
Diskusi dengan Ketua PKK (KDi)
Sosialisasi Vertical Farming (KVe)
Workshop Pot Kreatif (KPo)
Penyebaran Angket TOGA (KAn)
Senam Sehat Ibu-Ibu (KSe)
Kegiatan (K)
Cara Mendapatkan Informasi (I)
Sasaran Lokasi (SLo)
Sasaran (S)
Ruang Privat (LPr)
Ruang Publik (LPu)
Individu (DId)
Komunal (DKo)
Instansi (DIs)
Sasaran Orang (SOr)
Dewasa (ODe)
Anak-Anak (OAn)
Sasaran Area (SAr)
Satu Tempat (ADi)
Berkeliling/Banyak Tempat (AKe)
Simulasi (WSi)
Memberi Informasi (WIn)
Metode (M)
Mengobrol (MOb)
Kuis (WKu)
Workshop (MWo)
Angket (MAn)
Wawancara (MWa)
Berpartisipasi (MPa)
Pemetaan (MPe)
Tercapai (YCa)
Tidak Tercapai (TCa)
LEGENDA TAKSONOMI PROGRAM
013
16. Taksonomi A.2: Taksonomi Seluruh Program yang Dilaksanakan
(Sumber: Tim Progasik)
PKK
I.K.KSe.S.SOr.ODe.DKo.M.MPa.TCa
I.K.KAn.S.SOr.ODe.DId.M.MAn.TCa
I.K.KPe.S.SAr.AKe.M.MPe.YCa
I.K.KVe.S.SOr.ODe.Dko.M.MWo.WIn.TCa
I.K.KPo.S.SOr.ODe.DKo.M.MWo.WSi.TCa
I.K.KDi.S.SOr.ODe.DIs.M.MWa.YCa
I.K.KSu.S.SAr.ADi.M.MPe.YCa
I.K.KMa.S.SOr.OAn.M.MWo.WKu.TCa
I.K.KId.S.SOr.OAn.M.MWo.WKu.YCa
I.K.KTa.S.SOr.OAn.M.MWo.WSi.YCa
I.K.KGa.S.SOr.OAn.M.MWo.WKu.YCa
TAKSONOMI PROGRAM:
PROGRAM YANG DILAKUKAN
014
17.
18. PENGENALAN SITE
016
U
Lokasi
RT 04 RW 06, Kelurahan
Srengseng Sawah,
Kecamatan Jagakarsa,
Jakarta Selatan
Jumlah Kepala Keluarga:
118 KK
Jumlah Warga:
462 Warga
(237 Laki-Laki,
225 Perempuan)
Gambar A.1: Site yang Dipilih
(Sumber: google maps:
https://www.google.co.id/maps/@-
6.3446039,106.8253141,381m/data=!3m1!1e3?hl=en
google earth: https://www.google.co.id/maps/@-
6.3446039,106.8253141,18z?hl=en)
19. 017
Gambar A.2: Ruang Lingkup Site yang Menjadi Sasaran Intervensi
(Sumber: Tim Progasik)
Jalan
PAUD KB
Raisya
Rumah Ketua
RT
Masjid
U
J
l
.
W
i
k
a
J
l.
W
ik
a
20. “A thinker sees his own actions as experiments and questions--
as attempts to find out something. Success and failure are for
him answers above all.”
- Friedrich Nietzsche -
23. ari manakah kegiatan ini kami mulai?
Ah, saya ingat ketika itu untuk pertama
Dkalinya teman-teman kuliah saya
berkunjung ke rumah dengan jumlah cukup banyak.
Ibu saya sampai memesan nasi bungkus untuk
menjamu kami. Ya, kelompok kami memiliki anggota
sebanyak tujuh belas orang. Sasaran lokasi yang
diinginkan kelompok kami maunya yang dekat dan
aksesnya mudah serta belum tersentuh tangan-
tangan peduli anak UI. Akhirnya saya yang memiliki
rumah paling dekat dari kampus dan kebetulan kedua
orang tua saya aktif dalam kegiatan-kegiatan RT,
menjadi sasaran empuk untuk percobaan proyek
dalam mata kuliah ini. Awalnya, saya takut tidak bisa
memandang secara objektif lantaran posisi saya yang
rangkap yaitu sebagai warga dan sebagai pengamat.
Namun, akhirnya, saya memilih untuk menjadi
pengamat seperti teman-teman yang lain, meskipun
terkadang memberi opini pribadi terkait isu yang ingin
kelompok kami angkat.
021
24. 022
Sampai pada tahap ini, kami terus menggali
dari sudut pandang masyarakat. Ternyata bertanya
langsung kepada masyarakat RT lebih sulit daripada
bertanya kepada pengurus RT. Inilah tantangan kami
selanjutnya.
Bagaimana cara menyerap aspirasi masyarakat
secara efisien?
Pada hari Sabtu tersebut adalah percobaan
kami yang pertama. Kami ingin terlibat langsung
dengan kegiatan yang ada di masyarakat. Kami
berharap dapat merasakan pengalaman sebagai
warga RT 004, sehingga mempermudah sosialisasi
dan mendapatkan berbagai ilmu dari RT 004. Pada
malam minggunya, ada arisan bapak-bapak; Jumat
pagi, ada kegiatan bersih-bersih kampung (Jumat
Bersih); dan setiap satu bulan sekali, di hari Minggu,
ada kerja bakti membersihkan selokan yang biasa
diikuti oleh bapak-bapak. Pada hari biasa, terdapat
berbagai macam aktivitas seperti pengajian, arisan ibu-
ibu, dan lainnya. Dari berbagai kegiatan tersebut, ada
satu kegiatan yang menarik perhatian kami, yaitu
senam sehat.
Senam dimulai pukul empat sore. Kegiatan
senam biasanya hanya diikuti beberapa orang saja,
paling banyak ada sepuluh orang dan kami yang
melihat kegiatan senam pun hampir sama banyaknya.
Pada saat senam dimulai, hanya ada sekitar enam
Pada Sabtu siang, 5 Oktober 2013, hampir
semua anggota kelompok kami hadir di rumah saya di
Jalan Wika, RT 004/06 Kelurahan Srengseng Sawah.
Kami ingin mengetahui secara umum tentang seluk-
beluk kepengurusan RT, PKK, program-program yang
dijalaninya, nilai-nilai apa saja yang bisa menjadi
potensi, serta hambatan apa saja yang kerap terjadi.
Siapa tahu ada yang berpotensi untuk dikembangkan
di sana. Kami memilih survey pada hari Sabtu karena
ada kegiatan senam yang ingin kami ikuti untuk
membaur dengan warga sekitar secara natural dan
instan.
Beruntung masih ada file dalam laptop saya
yang berisi laporan pertanggungjawaban PKK RT 04.
Karena, tahun lalu, saya memang diminta ibu saya
untuk mengetik laporan kegiatan semasa ibu masih
aktif menjabat sebagai ketua PKK. Lewat laporan ini,
dapat diketahui bahwa sebenarnya susunan
kepengurusan, program kerja, serta pelaksanaan
kegiatan RT dan PKK sudah baik secara strukturnya.
Banyak pula kegiatan yang terlaksana dengan cukup
baik, meskipun memang masih ada kekurangan
disana-sini. Setelah berdiskusi dengan Pak Yandi,
bagian humas RT 04, kami mengetahui bahwa
program yang memiliki potensi namun belum maksimal
yaitu Karang Taruna, Tanaman Obat Keluarga
(TOGA), dan Biopori.
Apakah yang dapat kami kerjakan berikutnya?
25. orang ibu-ibu (sudah termasuk dua orang instruktur).
Kami bergabung di tengah-tengah sesi pemanasan
seri pertama akan berakhir. Ada tiga seri senam pada
setiap latihan, masing-masing seri senam terdapat sesi
pemanasan, utama, dan pendinginan. Anggota
kelompok kami yang ikut senam sekitar enam sampai
delapan orang. Posisi senam mengikuti barisan depan
dan semakin lama semakin banyak yang mengikuti.
Orang yang datang terlambat langsung ikut serta
dengan langsung mengisi barisan paling belakang. Ada
warga yang sengaja mengikuti senam sampai
memakai baju dan sepatu olahraga dan ada juga yang
mengikuti senam secara spontan saat mendengar
suara musik yang keras dan kebetulan lewat area
senam. Sehingga, ada pula anggota senam yang
hanya memakai daster dan sendal jepit. Tiba-tiba,
kegiatan senam dapat menarik warga yang
penasaran untuk melihat-lihat. Hal tersebut
menyebabkan ada banyak anak-anak yang bermain
dan orang berjualan di sekitar area senam (lapangan
belakang rumah Pak RT). Halaman rumah seketika
menjadi tempat sosial dadakan.
Sangat pas untuk coba kami kulik, bukan?
023
27. Gambar B.2: Warga Berkumpul
di Sekitar Kegiatan Senam
(Sumber: Tim Progasik)
28. Ternyata tak semudah yang kami bayangkan.
Meskipun berkumpul bersama, masing-masing warga
sudah memiliki kesibukannya masing-masing,
sehingga sulit bagi kami untuk bergaul dengan mereka
secara alami. Ibu-ibu yang senam sulit untuk diganggu,
sedangkan kegiatan senam berakhir beberapa menit
sebelum waktu sholat maghrib. Setelah senam, para
ibu-ibu terburu-buru pulang untuk menyiapkan makan
malam dan berbagai kesibukan lain di rumah.
Sementara itu, warga yang melihat kegiatan senam
juga memiliki kegiatan untuk menjaga anak mereka
yang sedang bermain, memberi makam anak-anak
balita yang berlarian, dan beberapa ada yang jajan
sambil mengobrol dengan warga lain.
Titik kumpul
penonton senam
Titik kumpul
pesenam
Rumah Ketua
RT 004
Gambar B.3: Titik Kegiatan di Lokasi Senam
(Sumber: Tim Progasik)
026
29. Seharusnya, kami tetap kekeuh mengajak ngobrol
mereka, tetapi kami bingung untuk memulainya
dengan topik seperti apa. Basa-basi yang bagaimana
yang harus kami lakukan untuk mengulik kegiatan ibu-
ibu? Ada beberapa dari mereka yang bertanya,
“Memang disuruh buat apa, Mbak?” Pertanyaan
tersebut pun belum tentu bisa kami jawab. Mungkin,
kami belum bisa memberikan gambaran konkret apa
yang akan kami buat dan isu yang ingin kami ambil
juga belum rampung. Ternyata untuk berinteraksi
dengan warga yang banyak dibutuhkan usaha lebih
untuk menarik perhatian, kemampuan JB (Join
Bareng), keterampilan basa-basi, dan keteguhan hati
untuk kepo (memiliki rasa penasaran yang tinggi).
Akhirnya, hari pertama kami diisi dengan “kegagalan”
kami yang pertama. Gagal untuk menggali isu dan
informasi yang ada di lingkungan RT 04 dari para ibu-
ibu.
027
31. etelah melalui beberapa pertimbangan,
kami memutuskan untuk melakukan
Sintervensi terkait TOGA (Tanaman Obat
Keluarga). Pertimbangannya adalah TOGA dapat
dilakukan oleh segala usia, ada “wujud”-nya
(remarkable), dapat menciptakan rasa kepemilikan dari
warga setempat, fungsional, bernilai ekonomis, serta
dapat sekaligus membantu penyelesaian program
biopori.
029
32. Setelah melakukan diskusi dalam kelompok,
kami memutuskan untuk kembali bertanya kepada
warga seputar TOGA. Target kami kali ini adalah untuk
mengetahui pendapat dan pengetahuan warga
mengenai TOGA. Kami memilih untuk menggunakan
angket sebagai media pendataan yang sudah biasa
kami temui di dunia perkuliahan.
Angket disebarkan di hari Sabtu dan Minggu.
Kami juga mewawancarai warga RT 04 yang kami
temui. Namun, survei kali ini sebenarnya lebih
memfokuskan pada kaum ibu. Hal ini dikarenakan
kaum ibu lah yang lebih banyak berinteraksi dengan
TOGA dalam kehidupan sehari-hari. Meski begitu,
pada hari pertama penyebaran angket ini kami anggap
“gagal” karena jumlah warga yang berpartisipasi
sangat sedikit sehingga tidak representatif.
Jika dikaitkan dengan teori Carole Pateman,
partisipasi warga di wilayah ini bukanlah pada tahap
”full participation (equal power in decision making)”,
030
33. 031
kenyataannya, hal ini memang mustahil. Dapat dilihat
bahwa tingkat partisipasi warga masih pada tahap
“pseudo participation (creating a 'feeling' of
participation)”, di mana warga ”seolah” berpartisipasi.
Karena hanya beberapa rumah warga saja yang
berhasil berpartisipasi mengisi angket yakni hanya 24
orang dari jumlah 144 KK.
Hari Minggu, kami kembali menyebarkan
angket TOGA. Kami berharap akan ada lebih banyak
koresponden yang mengisi angket hari ini. Sayangnya
hari ini pun keadaan tetap sama seperti Sabtu. Kami
memang melihat segelintir warga ada di teras
rumahnya masing - masing, tetapi jumlahnya hanya
dalam hitungan jari. Saat membagikan angket, kami
juga menemui beberapa kendala di mana beberapa
warga tidak terlalu paham maksud pertanyaan kami di
angket, jadilah beberapa nomor pada angket kosong
tidak terjawab. Lagi-lagi, hari pada hari kedua ini kami
kembali “gagal”, karena ada banyak hal yang belum
juga terpenuhi seperti hari Sabtu.
34.
35. Gambar C.1: Angket TOGA yang
Diberikan kepada Warga
(Sumber: Tim Progasik)
36. Kemudian, kami memetakan hal-hal apa saja yang menjadi kendala dari proyek yang kami jalani sehingga
apa yang kami lakukan dua hari ini kami anggap gagal.
Perencanaan
Membagikan angket
Wawancara
(untuk menggali minat dan
kebiasaan warga)
Pelaksanaan
Terlaksana, tetapi target tidak
tercapai
(dianggap gagal)
Terlaksana, tetapi target tidak
tercapai
(dianggap gagal)
Alasan & Penyebab Kegagalan
Kegiatan komunal tidak berjalan
dengan baik; jumlah warga yang
diwawancarai kurang representatif
(23 perempuan, 1 laki-laki)
Hanya beberapa warga saja yang
terlihat ada di rumah dan bersedia
diwawancarai ketika kami
berkunjung ke RT. 004. Oleh
karena itu, informasi mengenai
minat dan kebiasaan warga
menjadi tidak tergali dengan
maksimal
034
Tabel C.1: Penyebab Kegagalan pada Program
“Penyebaran Angket TOGA”
(Sumber: Tim Progasik)
37. Jika dievaluasi dari apa yang sudah kami
laksanakan, sebaiknya, ketika akan menyebar
angket, kami harus mempertimbangkan matang-
matang perencanaannya dan bagaimana cara
melibatkan warga. Kami menyadari bahwa sejauh ini
kami belum pernah diperkenalkan secara komunal
terhadap seluruh warga RT 04. Kami melakukannya
hanya pada beberapa warga dan pengurus RT yang
sudah mengetahui tentang program TOGA. Sebagian
warga memang menyadari keberadaan kami yang
ingin mengintervensi wilayah mereka. Namun, ada juga
warga yang belum mengetahui akan hal tersebut,
sehingga kami harus memperkenalkan diri kami lagi
dan lagi ketika kami mendatangi rumah-rumah warga
untuk pengisian angket. Hal ini tentunya sedikit banyak
membuang waktu dalam menyelenggarakan survei.
Tidak cukup dengan perkenalan saja, seperti
yang didapatkan pada studio perancangan di
kampus, kami juga harus mengetahui kondisi site. Kami
perlu melakukan survei keadaan lapangan (wilayah RT
04) untuk mengetahui aktivitas harian warga.
Tujuannya agar kami dapat mengetahui kapan warga
beraktivitas di dalam rumah dengan keluarga dan
kapan warga beraktivitas komunal dengan warga lain
di luar rumah. Ketika ada warga yang beraktivitas
komunal di luar rumah, kami pun dapat mengetahui di
mana saja tempat yang biasanya ramai untuk
digunakan bersama. Adanya aktivitas warga di luar
rumah dapat kami manfaatkan untuk memulai
interaksi. Lebih jauh lagi, ketika ada acara atau
kegiatan rutin RT (seperti arisan, kerja bakti, senam,
dan lainnya) kami juga dapat memanfaatkannya untuk
bertemu secara komunal dan memperkenalkan diri
secara resmi.
035
38. Kegagalan dalam penyebaran angket TOGA
sebenarnya dapat dicegah, misalnya, dengan
melakukan publikasi terlebih dahulu sehingga kejadian
wilayah sepi dapat sedikit ditanggulangi. Karena
ketidaksiapan ini, angket tidak tersebar ke seluruh KK
di RT 04. Suara yang kami dapatkan pun belum cukup
mewakili suara seluruh warga karena kebanyakan
responden yang mengisi angket merupakan kaum ibu.
Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa dalam
merancang sesuatu yang berbasis komunitas
memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Tentu kami ingin jika rancangan yang dibuat akan tepat
guna. Oleh karena itu, pastinya ada banyak cara yang
dapat dilakukan untuk mengetahui apa yang benar-
benar menjadi kebutuhan suatu komunitas, baik itu
secara fisik, maupun nonfisik. Cara yang kami lakukan
ini (menyebarkan angket) merupakan salah satu
metode untuk mengetahui hal tersebut, di mana ada
partisipasi warga di dalamnya. Jika metode ini
diterapkan pada site lain, belum tentu akan membawa
kegagalan seperti yang kami dapatkan karena setiap
tempat memiliki karakternya sendiri yang berbeda satu
dengan yang lain.
Sepanjang survei studio perancangan yang
sudah kami lakukan, ketika ingin mendata suatu
sampel, kami cenderung menggunakan angket
036
39. ataupun dengan wawancara langsung. Rupanya,
metode seperti ini belum tentu cocok untuk semua jenis
survei karena nyatanya apa yang kami dapatkan
ketika survei di RT 04 tidaklah sama. Ada baiknya
untuk melihat kalangan orang yang menjadi target
pengisi angket terlebih dahulu. Metode angket memang
sudah familiar di kalangan mahasiswa yang masih
sering berkutat dengan kertas ujian dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan pada suatu kertas. Namun,
apakah warga RT 04 juga demikian? Tentunya tidak.
Oleh karena itu, agar lebih efektif sebaiknya metode
pendataan yang dilakukan pun juga berbeda.
Misalnya, dengan format yang lebih santai dan tidak
melulu dengan mengisi kertas.
037
40. HASIL ANGKET TOGA
Usia Responden
<20 Tahun
1 (4.16%)
20 - 30 Tahun
1 (4.16%)
31 - 40 Tahun
6 (25%)
42 - 50 Tahun
9 (37.5%)
51 - 60 Tahun
6 (25%)
>60 Tahun
1 (4.16%)
Responden berjumlah 24 orang
Pria : 1 orang (4.17%)
Wanita : 23 orang (95.83%)
038
41. 7 (29.16%)
6 (25%)
8 (33.3%)
21 (87.5%)
pagi
siang
sore
malam
19 (79.16%)
19 (79.16%)
18 (75%)
21 (87.5%)
pagi
siang
sore
malam
24 (100%)
3 (12.5%)
masak
beli
2 (8.3%)
23 (95.8%)
petik
beli
Waktu Senggang
Jumlah responden yang memiliki
waktu senggang bersama keluarga
di hari kerja/akhir minggu pada
saat-saat tertentu.
Makanan
Jumlah responden yang
mendapatkan makanan dari
memasak dan/atau membeli.
Bahan Makanan
Jumlah responden yang
mendapatkan bahan makanan dari
memetik tanaman sendiri dan/atau
membeli.
Weekdays
Weekend
039
42. Tahu Semua
1 (4.16%)
Tahu Sebagian Besar
1 (4.16%)
Tahu Sebagian
6 (25%)
Tahu Sebagian Kecil
9 (37.5%)
Tidak Tahu Sama Sekali
6 (25%)
Jumlah Responden yang Mengetahui Program PKK
24 (100%)
Jumsih
22 (91.67%)
TOGA
15 (62.5%)
UKM
13 (54.16%)
PIK
21 (87.5%)
POS
Popularitas Program PKK
040
43. Sirih
22 (91.67%)
Limau
24 (100%)
Jambu Biji
18 (75%)
Belimbing Wuluh
19 (79.16%)
Lidah Buaya
Jumlah Responden yang Mengetahui Manfaat TOGA Tertentu
20 (83.3%)
Jumlah Responden yang Menggunakan
TOGA dari Lahan Rumah
Jumlah Responden yang Merawat TOGA di
Lahan Rumah
Tidak Pernah
3 (12.5%)
Jarang
9 (37.5%)
Sering
7 (29.16%)
Selalu
5 (20.83%)
Tidak Pernah
11 (45.83%)
Jarang
4 (16.67%)
Sering
5 (20.83%)
Selalu
4 (16.67%)
*Sebanyak 66.67%
Responden menuliskan jenis
tanaman obat lainnya yang
mereka ketahui. Didapat 27
jenis tanaman lainnya dari
kolom isian.
041
44. Perlu
24 (100%)
Tidak Perlu
0 (0%)
Perlu/Tidak Adanya TOGA di Lingkungan Rumah?
21 (87.5%)
Di Setiap Lahan Rumah
0 (0%)
Di Setiap Gang
4 (16.67%)
Di Lingkungan RT
Dimana TOGA Sebaiknya Ditanam?
042
45. Kesimpulan:
Program yang mewadahi keharusan penanaman tanaman
obat sudah ada (salah satu program PKK) dan warga
sudah mengetahui program tersebut.
Masyarakat sadar akan pentingnya tanaman obat, tetapi
perlu lebih dimaksimalkan pada saat pelaksanaan (lebih
dalam mempelajari keseharian dan kebutuhan warga
sehingga dapat tercipta bentuk kegiatan dan peraturan
yang lebih tepat.
Kelebihan
Tahu pentingnya tanaman obat
Ada keinginan untuk melakukan
penanaman tanaman obat
Kegiatan keseharian yang mendukung
(aktif memasak)
Mengetahui jenis-jenis tanaman obat
lainnya yang bermanfaat
Kekurangan
Ketersediaan waktu luang.
Pengetahuan cara merawat, menanam,
dan memilih jenis tanaman yang
perawatannya mudah.
Bantuan sarana dan prasarana.
043
47. T 04 memiliki program yang
mengharuskan setiap warga untuk
Rmenanam TOGA. Setiap rumah
diwajibkan memiliki minimal lima jenis tanaman obat.
Pemilihan jenis dan media tanam diserahkan kepada
masing-masing pemilik rumah. Bagi warga yang
memiliki pekarangan, dapat langsung menanam di
tanah pekarangan rumahnya, tetapi bagi yang tidak
memiliki area pekarangan, tetap harus menanam
menggunakan pot.
045
48. Kami ingin mengetahui lebih lanjut mengenai
TOGA di RT 04, sehingga kami memutuskan untuk
melakukan pemetaan TOGA. Tujuan utama dari
pemetaan ini adalah untuk mengetahui titik-titik
penanaman TOGA oleh warga. Dari pemetaan ini, kami
ingin melihat potensi lahan-lahan yang ada (lahan
pribadi maupun lahan kosong milik bersama). Kami
juga ingin mempelajari bagaimana cara warga
menanam TOGA. Hal ini penting untuk
mengembangkan ide kami selanjutnya mengenai
bagaimana menggalakkan kembali penanaman TOGA
kepada warga RT 04. Kemudian, tujuan lainnya adalah
untuk mengetahui ketertarikan dan pemahaman
warga pada berbagai jenis TOGA. TOGA yang
ditanam warga tidak ditentukan oleh Bapak RT,
sehingga kami ingin mencari tahu kecenderungan
warga dalam memilih TOGA untuk ditanam di
pekarangan rumahnya masing-masing.
Hal yang berusaha kami cari tahu,
sebenarnya, bicara lebih jauh daripada sekadar
metode maupun jenis TOGA yang ditanam, tetapi juga
untuk mengetahui antusiasme warga: bagaimana
keharusan menanam ditanggapi oleh warga RT 04.
Antusiasme warga adalah poin yang penting dalam
memutuskan apakah proyek seputar TOGA ini tepat
dan perlu dilanjutkan atau tidak.
Metode yang dipakai untuk pemetaan TOGA
adalah melalui pengamatan langsung dengan
berkeliling RT 04. Tahap pertama yang kami lakukan
adalah mengamati pemetaan RT 04 secara umum
melalui google maps. Kemudian, kami menentukan
alur perjalanan dan membagi kelompok untuk survei
lapangan.
Frist Sunarta dan Thaza Georly (ditemani Ade
Amelia) memetakan lahan menanam TOGA pada
rumah warga. Caranya adalah dengan menandai
rumah-rumah yang memiliki area tanam (pot maupun
tanah). Lalu, jenis media tanamnya, posisi, dan besaran
area juga ditandai pada pemetaan yang dibuat.
046
49. Gambar D.1: Pemetaan Titik Lahan Tanam
(Sumber: Tim Progasik)
047
Bangunan
Lahan Tanah
Jalan
50. Hampir seluruh warga memiliki lahan terbuka
hijau yang ditanami dengan berbagai macam
tanaman. Akan tetapi, dari keseluruhan pekarangan
warga terdapat delapan titik pekarangan yang cukup
besar dan belum maksimal. Selain pekarangan warga,
ada pula lahan-lahan kosong yang cukup luas dan
tidak berpemilik.
048
Titik Pekarangan Warga
51. 8 Pekarangan Warga
yang Potensial
9 Titik Lahan Kosong
Gambar D.2: Titik Pekarangan Potensial dan Lahan Kosong
(Sumber: Tim Progasik)
049
52. Kemudian, Andy Tanjung & Alfoadra
memetakan jenis tanaman yang ditanam warga.
Pemetaan dilakukan dengan membagi jenis tanaman
menjadi 3 tipe tanaman: Pohon, TOGA, dan bunga.
Berikut adalah pembagian jenis tanaman yang ditanam
warga. Sebagian besar tidak menanam TOGA,
melainkan tanaman hias saja (bunga-bungaan). Pot
banyak digunakan warga sebagai media tanam. Baik
media utama atau sebagai tambahan (dari tanah
pekarangan).
050
53. Gambar D.3: Pemetaan Jenis Vegetasi yang Terdapat di Rumah Warga
(Sumber: Tim Progasik)
Bagi rumah yang memiliki pekarangan
luas, terdapat tanaman hias, tanaman
obat, dan pohon di dalamnya. Namun,
bagi rumah yang memiliki pekarangan
kecil, tanaman yang ada berupa
tanaman hias dan tanaman obat yang
ditanam di dalam pot.
051
54. Dari kegiatan yang kami lakukan, kami melihat
bahwa pada dasarnya warga patuh menjalankan
peraturan program TOGA di RT 04. Namun, patuh saja
tidak cukup membuat warga tetap merawat tanaman
hingga saat ini. Kami menangkap, sebenarnya, ada
keinginan warga untuk berpartisipasi (bukan hanya
karena diharuskan pak RT). Buktinya, bahkan, hingga
saat ini masih ada warga yang tetap menjalankan
program tersebut (di luar maksimal atau tidaknya
program ini dijalankan).
Warga sebenarnya tidak keberatan terlibat
dalam program menanam TOGA. Akan tetapi,
keinginan berpartisipasi ini tidak mencapai 100%.
TOGA memang tetap ada (tidak diterlantarkan sama
sekali), tapi keberadaannya tidak maksimal, baik dari
segi pemanfaatan, maupun perawatan. Hal ini bisa
juga kita simpulkan sebagai akibat dari kurangnya
antusiasme warga. Kurangnya antusiasme ini bisa
dilihat dari jenis tanaman yang kebanyakan bukan
merupakan TOGA.
Sebagian besar warga, baik yang memiliki
pekarangan maupun tidak memilih menggunakan pot
sebagai media tanam. Pot digunakan sebagai media
tanam utama ataupun pendukung. Kami menganalisis
bahwa pemilihan pot terkait dengan efisiensi.
Penggunaan pot lebih efisien karena tidak harus
mencangkul dan menanam langsung di pekarangan.
Pot tanaman lebih mudah diatur, diurus, dan diganti.
Pelaksanaan program TOGA kurang komunal
dan tidak melibatkan banyak orang. Padahal,
sebagian besar kegiatan yang berhasil di RT ini adalah
kegiatan-kegiatan komunal yang membuka
kesempatan bagi warga untuk ikut berpartisipasi. Ada
efek saling mengawasi yang membuat program-
program demikian lebih berkembang dan
berkelanjutan. Jadi, mungkin kegiatan TOGA bisa
dilakukan dengan beberapa perubahan sistem dan
mekanisme.
Pada akhirnya, pengumpulan data ini berhasil
memberi kami informasi mengenai apa yang ingin kami
dapatkan. Informasi-informasi inilah yang kami
gunakan untuk menetapkan langkah kami selanjutnya
mengenai isu TOGA yang kami angkat.
052
57. ahap selanjutnya yang kami lakukan
adalah mencari tahu seberapa besar
Tantusiasme warga terhadap kegiatan
menanam. Apakah dengan adanya program TOGA di
RT membuat warga juga menyenangi kegiatan
menanam? Metode yang digunakan adalah dengan
mengadakan kegiatan workshop menanam. Target
awal ditujukan untuk warga RT 05 Srengseng Sawah,
tetapi, kemudian, difokuskan kepada ibu-ibu yang
melakukan kegiatan senam rutin di rumah bapak RT.
Ibu-ibu yang datang senam biasanya tidak datang
sendiri, tetapi juga membawa anak-anaknya untuk
bermain dan makan. Oleh sebab itu, kami memilih
waktu senam untuk melakukan kegiatan workshop
menanam, melalui “pendekatan” dengan menyelipkan
kegiatan workshop selama berlangsungnya kegiatan
senam.
055
58. Kegiatan ini diawali dengan membuat pot-pot
kreatif menggunakan bahan daur ulang yaitu botol-
botol plastik bekas pakai. Botol-botol tersebut dibuat
menjadi berbagai macam bentuk pot, tidak hanya satu
bentuk pot saja.
Kegiatan ini dilakukan sebelum kegiatan senam
ibu-ibu dimulai. Awalnya tidak ada warga yang terlihat
tertarik dengan apa yang kami kerjakan saat itu.
Walaupun demikian, kami tetap melanjutkannya.
Selama membuat pot-pot kreatif tersebut, beberapa
ibu-ibu mulai berdatangan untuk melakukan kegiatan
senam. Terdapat ibu-ibu yang juga membawa serta
anak-anaknya. Ada pula ibu-ibu yang sengaja datang
untuk menyuapi makan anaknya sambil melihat
kegiatan senam dan mengobrol dengan ibu-ibu
lainnya. Sempat ada seorang ibu yang terlihat tertarik
dengan apa yang kami kerjakan. Ibu tersebut bertanya
dengan antusias tentang apa yang kami kerjakan dan
tujuan kami melakukannya. Namun, sayangnya ibu
tersebut tidak bisa diwawancara lebih lanjut karena
kegiatan senam sudah dimulai dan ibu tersebut lebih
memilih untuk senam.
Setelah membuat beberapa pot kreatif, kami
mulai untuk menanam TOGA (Tanaman Obat
Keluarga). Namun, kami kekurangan bahan untuk
menanam TOGA karena tidak adanya bibit tanaman
TOGA yang siap tanam. Awalnya kami mengharapkan
warga akan terpancing keingintahuannya dan tertarik
056
Gambar E.1: Botol Bekas sebagai
Bahan Membuat Pot
(Sumber: Tim Progasik)
59. untuk mengikuti kegiatan menanam dengan pot kreatif,
sehingga mau memberikan bibit tanaman untuk
ditanam saat itu. Namun, hanya sedikit yang tertarik
dan hanya seorang ibu yang telihat antusias, tetapi ia
lebih memilih untuk senam. Pada akhirnya, kami tidak
mendapatkan bibit tanaman TOGA. Kami mencoba
mencari alternatif lain agar kegiatan menanam tersebut
dapat tetap berjalan. Akhirnya, kami menggunakan
tanaman hias yang dapat di stek untuk melanjutkan
kegiatan menanam tersebut. Hasilnya, beberapa pot
kreatif berhasil diisi tanah dan diberi tanaman, tetapi
sampai saat ini pun, kegiatan yang kami lakukan masih
belum bisa menarik perhatian warga khususnya ibu-
ibu yang sedang senam.
Gambar E.2: Pot Kreatif yang Sudah Terisi
oleh Tanah dan Stek Tanaman Hias
(Sumber: Tim Progasik)
60. Kemudian, kami memutuskan untuk kembali
membuat pot kreatif dengan menggunakan botol air
mineral bekas. Hal tersebut dilakukan karena membuat
pot kreatif dirasa lebih menarik perhatian warga
khususnya ibu-ibu yang sedang senam. Terbukti
dengan beberapa ibu-ibu yang terlihat lebih tertarik dari
sebelumnya. Terdapat pula seorang ibu yang
menyatakan bahwa dia sangat tertarik dengan apa
yang kami lakukan. Salah satu warga RT 05 juga ingin
ikut serta apabila terdapat kegiatan yang lebih serius
dengan bibit tanaman TOGA dan tanaman lain yang
lebih bermanfaat.
Hal yang tidak terduga adalah beberapa anak-
anak yang datang bersama ibunya untuk makan dan
bermain malah lebih tertarik dengan kegiatan
menanam yang kami lakukan. Mereka bolak-balik ke
tempat kami membuat pot dan penasaran dengan apa
yang kami kerjakan. Melihat keadaan ibu-ibu yang
lebih antusias untuk senam dan anak-anak yang justru
lebih penasaran dengan apa yang kami kerjakan, kami
mencoba mengganti target kegiatan menanam ini dari
ibu-ibu menjadi anak-anak. Agar anak-anak tersebut
tidak bosan dan senang melakukan kegiatan
menanam ini, kami menyiapkan tambahan kegiatan
untuk mereka yaitu menghias pot-pot kreatif tersebut.
Kami menyiapkan kain flanel yang dibentuk menjadi
mata, hidung, dan mulut untuk ditempel anak-anak
pada pot kreatif sebagai hiasan.
058
61. Gambar E.3: Salah Satu Anggota Kelompok Sedang Mengajarkan
Anak-Anak untuk Menempel Pernak-Pernik Pot Kreatif
(Sumber: Tim Progasik)
059
62. Awalnya, anak-anak tersebut hanya kami
minta untuk menghias pot-pot kreatif saja. Kami tidak
mengajak mereka untuk melakukan keseluruhan
kegiatan menanam terutama kegiatan membuat pot-
pot kreatif dari botol bekas pakai, mengingat anak-
anak tersebut kebanyakan masih berusia kurang dari
6 tahun. Anak-anak tersebut kami rasa belum bisa
menggunakan alat-alat tajam seperti gunting dan cutter
karena benda-benda tersebut merupakan benda
yang cukup berbahaya. Namun, seiring berjalannya
kegiatan ini, anak-anak tersebut tidak hanya antusias
untuk menghias pot-pot saja, tetapi mereka juga ingin
mencoba menanam. Akhirnya, anak-anak tersebut
tidak hanya menghias pot-pot saja, tetapi juga
melakukan keseluruhan kegiatan menanam. Mereka
mulai dari mengambil tanah menggunakan sekop
untuk dimasukkan pada pot kreatif dan kemudian
menanam bibit tanaman hias. Selanjutnya, mereka
menghias pot-pot dengan menempelkan mata, hidung
dan mulut dari kain flanel yang telah disiapkan pada pot
yang sudah ditanami tanaman hias. Kemudian, kami
juga mengajak mereka untuk menyiram tanaman yang
telah mereka tanam tersebut (sesuai dengan langkah-
langkah menanam tanaman). Anak-anak terlihat lebih
antusias, tertarik, dan bersemangat dengan kegiatan
menanam ini.
060
64. Terjadi perubahan pada target untuk kegiatan
menanam ini, yang awal mulanya adalah untuk ibu-ibu
dan berubah menjadi anak-anak. Hal tersebut terjadi
karena pendekatan kami dalam melakukan kegiatan
menanam tanaman TOGA untuk ibu-ibu tersebut
salah. Sehingga, tujuan awal dari kegiatan ini untuk
mengetahui antusiasme warga terhadap kegiatan
menanam tidak tercapai. Hal tersebut terjadi karena
kegiatan menanam yang dilakukan tidak difokuskan
untuk ibu-ibu melakukan kegiatan menanam saja,
tetapi bersamaan dengan kegiatan senam ibu-ibu.
Jelas ibu-ibu yang hadir lebih tertarik untuk melakukan
senam daripada mengikuti kegiatan menanam yang
kami adakan, karena tujuan awal mereka datang
untuk senam bukan untuk menanam. Selain itu bahan
dan alat yang digunakan juga masih seadanya, belum
cukup untuk bisa mewadahi semua ibu-ibu untuk
melakukan kegiatan menanam tersebut.
062
Gambar E.5: Salah Satu Anak yang
Antusias dalam Membuat Pot
(Sumber: Tim Progasik)
65. Tujuan awal dari kegiatan menanam ini
memang bisa dibilang “gagal”, tetapi ada hal lain yang
kami dapatkan dan pelajari. Suatu kegiatan yang
diselipkan di tengah kegiatan lain dengan pendekatan
langsung dan spontanitas, tidak cocok diterapkan
untuk ibu-ibu karena ibu-ibu cenderung untuk
melakukan kegiatan utama yang telah disiapkan dan
dirancang sebelumnya. Ketika target dari kegiatan
menanam ini menjadi anak-anak, kegiatan berjalan
dengan baik dan anak-anak terlihat senang serta
antusias untuk menanam. Pendekatan langsung dan
spontanitas seperti ini bisa diterapkan untuk anak-
anak, apalagi dengan pengemasan kegiatan yang
menarik, tidak biasa, dan tidak monoton. Pendekatan
ke anak bukan hanya sekadar belajar cara menanam,
tetapi juga sambil bermain dengan menghias pot.
Anak-anak mudah tertarik dengan hal yang baru,
dinamis, dan tidak biasa mereka lakukan.
Jika ingin membuat workshop menanam
seperti ini, target dari kegiatan yang akan dilakukan
menjadi sangat penting dalam menyusun kegiatan
workshop. Jika target yang ingin dicapai adalah ibu-
ibu, maka pendekatan yang harus dilakukan adalah
pendekatan yang fokus, tersusun, dan terencana
dengan baik. Lebih baik jika diberikan waktu khusus
untuk melakukan kegiatan, bukan menyelipkan
kegiatan workshop di tengah-tengah kegiatan utama
lain. Ibu-ibu akan lebih fokus pada kegiatan utama
daripada kegiatan tambahan. Jika target yang ingin
dicapai adalah anak-anak, pendekatan yang
dilakukan harus menarik dan tidak membosankan
agar anak-anak dapat menjalani keseluruhan kegiatan
dengan perasaan senang tanpa paksaan.
063
69. ada awalnya, kami “membaca” RT 04
sebagai sebuah lingkungan yang kurang
Pmemiliki lahan untuk mendukung
program kerja Tanaman Obat Keluarga (TOGA).
Karakter lokasi yang padat dengan gang-gang kecil
selebar ±1meter antar rumah dan tidak tersedianya
lapangan atau tempat berkumpul terbuka warga
menjadi salah satu faktor penyebab tidak berjalannya
program TOGA. Menanam di halaman rumah pun sulit
karena hanya sedikit rumah yang memiliki halaman
yang dapat ditanami. Kami sepakat pada sebuah
kesimpulan bahwa RT 04 tidak memiliki lahan yang
cukup dan memadai untuk digunakan sebagai lokasi
penanaman TOGA.
067
70. Masalah sudah kami temukan. Lalu, apa
selanjutnya? Upaya untuk mencari solusi terhambat
karena satu-satunya solusi yang terbayangkan oleh
kami adalah memaksa warga untuk menanam TOGA
di pot saja. Solusi yang terlalu dipaksakan karena
faktanya warga pun sudah menanam di pot. Akan
tetapi, tidak banyak pot yang mampu ditampung di
halaman depan rumah yang jarak dari pintu ke
pagarnya sekitar 2m, belum ditambah dengan ruang
yang terpakai untuk meletakkan motor, rak sepatu,
dan perabot lainnya.
Kami memutuskan untuk mengubah cara
pandang kami dengan tidak melihat masalah, tetapi
kembali melihat lokasi dengan berusaha mencari
potensi yang ada. Dari survey berikutnya, kami
mendapati beberapa usaha warga yang berusaha
untuk meletakkan potnya tidak hanya di lantai, tapi
juga di atas pagar batu-bata yang berbatasan dengan
gang dan dengan rumah di sebelahnya. Terdapat pula
warga yang memanfaatkan rak untuk menyusun pot-
pot tanamannya agar tidak begitu memakan ruang.
Muncul ide untuk mencari tau lebih lanjut mengenai
upaya bercocok tanam di ruang yang terbatas. Fakta
tersebut menggiring kami pada informasi mengenai
vertical farming. Sebenarnya, ini bukan hal yang baru.
Beberapa dari kami sudah pernah menggunakan
metode vertical farming pada proyek studio
perancangan arsitektur, tetapi belum benar-benar
menggali aplikasi dari vertical farming di skala rumah.
Kami memperinci pencarian pada metode vertical
farming untuk tanaman sayur, buah, dan obat. Berikut
adalah beberapa contoh vertical farming yang kelak
kami jadikan preseden untuk pelaksanaan sosialisasi
vertical farming:
Gambar F.1: Preseden Vertical Farming (Media Pot)
(Sumber: http://inhabitat.com/green-your-walls-with-
schiavello-vertical-gardens/)
068
72. Gambar-gambar dari preseden vertical farming
ini kemudian kami cetak untuk kami bawa berkeliling
dari rumah ke rumah untuk memberikan informasi
mengenai alternatif cara menanam di ruang yang
sempit. Agar tidak terkesan terlalu menggurui, kami
menyusun suatu rencana pelaksanaan sosialisasi
vertical farming ini. Pertama, kami menyiapkan
beberapa peralatan, yaitu:
1. Gambar 3 Tipe Rumah
2. Gambar tanaman yang dicetak di kertas kalkir,
berukuran skalatis dengan gambar rumah
3. Gambar preseden vertical farming
4. Selotip
5. Gunting
Gambar F.3: Rumah Tipe 1
(Rumah dengan Halaman
Depan Tanah)
(Sumber: Tim Progasik)
Gambar F.4: Rumah Tipe 2
(Rumah dengan Halaman
Depan Perkerasan)
(Sumber: Tim Progasik)
Gambar F.5: Rumah Tipe 3
(Rumah tanpa Halaman
Depan)
(Sumber: Tim Progasik)
73. ` Langkah selanjutnya, kami menyusun langkah
pelaksanaan sosialisasi vertical farming ini:
1. Warga diminta untuk memilih gambar rumah yang
sesuai dengan tipe (halaman depan) rumah yang
mereka tinggali.
2. Warga menempel gambar tanaman pada gambar
rumah sesuai dengan keadaan aslinya (kondisi
eksisting).
3. Memperlihatkan gambar preseden vertical farming,
menjelaskan secara singkat, dan meminta
pendapat warga mengenai metode tersebut.
4. Memberikan kertas bergambar rumah yang baru
berikut gambar tanamannya dan meminta warga
untuk kembali melakukan langkah kedua, tetapi kali
ini sesuai dengan harapan mereka untuk
mengaplikasikan metode vertical farming di rumah
mereka sendiri.
Rencananya, kami hendak melakukan
workshop ini setelah acara senam pagi yang
dilaksanakan di hari Sabtu, tetapi, pada hari
pelaksanaannya, ternyata kegiatan senam pagi tidak
dilakukan di rumah Ketua RT 04, melainkan
dipindahkan ke RW. Akibatnya, kami gagal untuk
mendapatkan massa di satu tempat. Karena kondisi
tersebut, kami memutuskan untuk berkeliling, berharap
ada warga yang sedang berbincang-bincang di gang
atau di depan rumahnya, sehingga kami bisa
melakukan workshopnya secara individual dari rumah
ke rumah. Ternyata, rencana B kami pun juga
mengalami kesulitan karena ternyata di pagi hari saat
weekend hanya sedikit warga yang berkeliaran di luar
rumah. Mayoritas warga menghabiskan waktunya di
dalam rumah atau berwisata ke luar.
Sampai siang hari, kami hanya berhasil
bertemu dengan satu orang warga. Itupun tidak di
rumahnya, melainkan di KB Raisya. Langkah-langkah
yang kami rencanakan pun kurang bisa berjalan
sesuai rencana karena si Bapak enggan untuk
melakukan kegiatan menempel gambar seperti yang
sudah kami rencanakan. Beliau hanya menjelaskan
kondisi halaman depannya secara verbal, lalu meminta
salah satu dari kami untuk menempelnya pada
gambar. Ketika diperlihatkan preseden vertical farming,
beliau merasa mendapatkan pengetahuan yang baru,
tetapi tidak cukup tertarik untuk mencobanya sendiri.
Hal ini terjadi karena tidak adanya informasi lebih lanjut
mengenai alat, bahan, dan cara membuat vertical
farming pada gambar-gambar yang kami tunjukkan.
071
74. Kegagalan terbesar dari sosialisasi vertical
farming ini adalah ketiadaan partisipan sosialisasi. Kami
tidak berhasil mengumpulkan warga karena adanya
faktor pemindahan kegiatan senam yang tiba-tiba,
sehingga kami gagal mendapatkan kesempatan untuk
bertemu banyak warga di satu tempat. Lalu, ide untuk
berkeliling dan berharap akan menemui warga di luar
rumah di hari Sabtu pagi sepertinya kurang pas karena
ternyata warga lebih memilih menghabiskan waktunya
di dalam rumah dan berkumpul dengan keluarga
daripada berbincang-bincang atau berkumpul dengan
tetangga. Kondisi ini terjadi karena di hari Sabtu dan
Minggu, seluruh anggota keluarga berada di rumah,
tidak bekerja dan sekolah, sehingga weekend menjadi
hari bersama keluarga. Hal ini terbukti pula dari hasil
survei awal mengenai ketersediaan waktu senggang.
072
75. Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa waktu
berkumpul bersama keluarga di hari kerja hanya pada
malam hari, sedangkan di hari libur waktu senggang
lebih banyak untuk bisa dimanfaatkan untuk bersama
keluarga sepanjang hari. Faktor waktu sangat penting
untuk menentukan kemungkinan banyaknya
partisipan yang bisa didapatkan, terlebih untuk
kegiatan-kegiatan yang butuh melibatkan banyak
warga.
7 (29.16%)
6 (25%)
8 (33.3%)
21 (87.5%)
pagi
siang
sore
malam
19 (79.16%)
19 (79.16%)
18 (75%)
21 (87.5%)
pagi
siang
sore
malam
Waktu Senggang
Jumlah responden yang memiliki
waktu senggang bersama keluarga
di hari kerja/akhir minggu pada
saat-saat tertentu.
Weekdays
Weekend
Gambar F.6: Grafik Waktu Senggang Warga
(Sumber: Tim Progasik)
073
76. Selain karena faktor waktu dan partisipan,
metode yang kami gunakan untuk sosialisasi vertical
farming juga memiliki kekurangan. Kegiatan
menggunting dan menempel mungkin kurang menarik
jika dilakukan oleh orang dewasa. Orang dewasa lebih
memilih untuk menyampaikan informasi secara verbal,
melalui wawancara formal atau sekedar berbincang-
bincang ringan. Menggali atau memberikan informasi
melalui verbal terasa lebih mudah karena kebanyakan
warga yang kami temui sedang melakukan kegiatan
lainnya seperti mengasuh anak, mencuci motor, dan
kegiatan lainnya, sehingga jika kita memaksa untuk
melakukan kegiatan seperti menggunting atau
menempel, mereka harus menghentikan kegiatan
yang saat itu mereka lakukan. Sehingga, perlu
dilakukan pertimbangan yang matang mengenai
metode sosialisasi atau workshop dan bagaimana
cara mendapatkan partisipan. Jika memang kegiatan
sosialisasi atau workshop terjadwal dengan baik dan
berada di tempat tertentu, bisa saja menggunakan
metode yang lebih advance dari sekedar verbal, tapi
jika akan melakukan pendekatan ke warga secara
spontan dari rumah ke rumah, alangkah baiknya
dilakukan dengan metode yang lebih sederhana dan
mudah.
Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari upaya
pelaksanaan sosialisasi vertical farming. Dalam
merancang sebuah kegiatan, hal yang paling pertama
dipikirkan adalah siapa target partisipannya dan
bagaimana cara, waktu, dan tempat yang tepat untuk
menemui dan melaksanakan kegiatan tersebut.
Partisipan adalah faktor utama karena tidak ada
artinya kegiatan dengan metode yang luar biasa, tetapi
tidak memiliki partisipan. Kemudian, metode kegiatan
yang akan dilakukan juga perlu dipersiapkan secara
matang, baik alat dan bahannya, metode
mengomunikasikannya, dan target pencapaiannya.
Apabila target pencapaian dipahami dengan baik, jika
terjadi hambatan-hambatan pada pelaksanaan
kegiatan, dapat dilakukan modifikasi-modifikasi
kegiatan sesuai dengan fakta lapangan yang, pada
akhirnya, tetap dapat mencapai tujuan pencapaian
pelaksanaan kegiatan tersebut.
074
77.
78. DISKUSI DENGAN KETUA PKK
Oleh: Annisa Dienfitriah
PKK
I.K.KDi.S.SOr.ODe.DIs.M.MWa.YCa
PKK
076 PKK
Taksonomi G: Program “Diskusi dengan Ketua PKK”
(Sumber: Tim Progasik)
79. bu Rini adalah ketua PKK wilayah RT 04 yang
juga merupakan pemilik PAUD Kelompok
IBermain Raisya di kawasan tersebut.
Wawancara dengan Ibu Rini kami lakukan untuk
mendapatkan informasi mengenai KB Raisya: seperti
apa saja kegiatan di sana dan bagaimana kira-kira
proses belajar-mengajar yang terjadi. Menjadi penting
bagi kami untuk memahami dan melakukan
pendekatan ke anak-anak PAUD Raisya karena
mereka yang akan menjadi sasaran kami selanjutnya
untuk diajak bekerjasama (setelah melalui beberapa
proses kegagalan pendekatan kepada warga).
077
PKK
80. Mulanya, tiga orang dari kami melakukan
wawancara di rumah Ibu Rini. Melalui hasil wawancara,
kami mendapatkan informasi tentang jadwal kegiatan
di PAUD Raisya. Lebih dalam lagi, Ibu Rini juga
menceritakan sifat dan kebiasaan murid-muridnya.
Beliau bahkan menunjukkan gambar-gambar yang
pernah dibuat oleh anak-anak PAUD Raisya. Sesekali
beliau menanyakan mengenai proyek yang akan kami
buat. Dalam hal ini, kami berusaha menjelaskan tujuan
kami dengan jelas agar tidak terjadi kesalahpahaman
dan kami tetap bisa diterima walaupun, pada
dasarnya, kami belum dapat menentukan pastinya
intervensi apa yang akan dilakukan karena kami masih
berada dalam tahap pendekatan dan pengamatan
awal.
Informasi-informasi yang diberikan Bu Rini
cukup memberikan pencerahan bagi kami mengenai
bagaimana cara melakukan pendekatan kepada
anak-anak PAUD Raisya agar kami bisa lebih
mengenal dan memahami mereka. Kami
mengharapkan dapat menemukan apa yang
sebenarnya dibutuhkan dan menentukan output dari
proyek ini.
Berdasarkan data yang didapat, anak-anak di
PAUD Raisya berada pada kisaran umur 2-5 tahun.
Terbagi atas dua kelas: kelas kecil (2-3 tahun) dan
kelas besar (4-5 tahun). Kami berpendapat bahwa
akan lebih mudah bekerja sama dengan murid dari
kelas besar yang sudah mengerti soal warna maupun
bentuk (beberapa ternyata juga sudah bisa mengenal
huruf maupun membaca). Mayoritas anak-anak PAUD
Raisya ini sudah lancar menggambar walaupun
pengetahuan mereka mengenai hal yang digambar
masih sedikit.
078 PKK
81. Dalam wawancara yang singkat tersebut,
kami mendapatkan informasi yang kemudian
menggiring kami kepada langkah selanjutnya, yaitu
membuat workshop. Workshop yang akan kami
lakukan dibuat dengan beberapa pertimbangan dari
hasil wawancara ini terkait kemampuan dan potensi
anak-anak PAUD Raisya.
Kegiatan wawancara dengan ketua PKK ini
dapat dilihat pada matriks kegiatan bahwa kegiatan ini
berhasil dilakukan sesuai tujuan:
Tabel G.1: Matriks Kegiatan “Diskusi dengan Ketua PKK”
(Sumber: Tim Progasik)
079
PKK
82. Melalui kutipan tersebut, dijelaskan bahwa
domesticity terkait dengan situasi-situasi yang bisa
dilakukan seorang individu, baik personal maupun
secara politis, baik dibayar ataupun tidak, dengan
Tujuan wawancara ini dikatakan tercapai
karena eksekusi kegiatan terlaksana sesuai sasaran,
yaitu mendapatkan informasi awal mengenai PAUD
Raisya. Keberhasilan terjadi karena kami mencari
informasi dari subjek yang memang paham tentang hal
tersebut. Dapat dikatakan, kami mewawancarai
subjek yang menjadi domesticity (kerumahtanggaan)
dari lingkungan yang ingin kami ketahui.
“The term domesticity is sometimes used as if it
has one meaning that applies to all situations and
individuals. However, domesticity actually has
many possible meanings and associations that
resonate politically and personally. Domesticity
can refer to the paid and unpaid labors of
housekeeping, to creative endeavors related to
the home, and to the expectations related to the
maintenance of private familial domestic space. It
is also culturally coded as feminine, as it is
traditionally labor performed by women. It
consists of both preventive and reparative work
expected to be routinely performed, such as
preparing food and washing dishes, doing
laundry, sewing, cleaning toilets, and eliminating
clutter and dirt from surfaces. Creative
endeavors related to the home, such as interior
decorating and design, crafting, cooking, and
sewing, can enhance this perception. These acts
of physical maintenance and creativity can result
in the perception of an individual’s or a family’s
home as a private haven from a harsh world.
Further, such domestic creativity and
housekeeping performed by a single individual
within a home can lead, or at least contribute, to a
cultural conception that the familial (or individual)
domestic home space must function as a haven.
In all these senses of domesticity, the laborer’s
subject position is key…….”
(Wastemorland, Kalene. 2006. A Dissertation:
Interior Revolutions: Doing Domesticity,
Advocating Feminism in Contemporary American
Fiction. Tarleton State University. Pdf)
080 PKK
83. adanya rasa tahu dan kenal pada domestic space
yang ada di lingkungannya. Hal ini terjadi karena situasi
dan kegiatan itu dilakukan secara rutin (keseharian),
karena itulah ia menjadi kunci utama bagi semua situasi
yang terjadi di sekelilingnya. Ia akan menjadi orang
yang paling mengerti tentang hal itu.
Ibu Rini, sebagai pemilik PAUD Raisya,
kemungkinan besar sangat mengerti kondisi terbaru
seputar PAUD Raisya (dan memang demikian
kenyataannya). Sehingga beliau menjadi sumber yang
terpercaya untuk menggali informasi mengenai PAUD
Raisya.
Keberhasilan ini juga terjadi karena Ibu Rini hadir
sebagai seorang individu yang mewakili instansi
sehingga kami dapat menggunakan cara
“wawancara” untuk mendapatkan informasi. Perlu
diketahui bahwa pendekatan secara komunal dengan
pendekatan secara individu sangatlah berbeda. Kita
akan lebih mudah mengontrol interaksi pada satu
individu dibandingkan secara komunal. Semakin
banyak kepala, akan semakin kompleks pula
pemikiran atau percakapan yang akan terjadi
sehingga semakin besar kemungkinan untuk
melenceng dari tujuan awal.
Begitu juga dengan pendekatan pada satu
instansi. Biasanya, instansi akan lebih siap untuk
menerima dan melakukan interaksi dengan pihak yang
sudah dikenal dibandingkan orang awam dari pihak
luar yang tiba-tiba datang ke lingkungannya. Apa yang
kami lakukan seringkali menimbulkan kecurigaan bagi
pihak instansi.
Alur keberhasilan kegiatan ini dapat dilihat
melalui taksonominya (Taksonomi G). Alurnya:
Cara Mendapatkan Informasi – (Kegiatan) – Diskusi
dengan Ketua PKK – (Sasaran) – Orang – Dewasa –
Instansi – (Metode) – Wawancara – Tercapai.
Alur tersebut dapat menjadi referensi untuk
melakukan pendekatan jika mengadakan suatu
proyek komunal. Mencari informasi dari seorang yang
berpengaruh di suatu instansi terkait memiliki
kemungkinan berhasil yang lebih besar jika dilakukan
dengan wawancara kepada satu orang berpengaruh
saja, seperti pada alur keberhasilan di taksonomi ini.
081
PKK
84. SURVEI PAUD RAISYA
Oleh: Nuvu Lailani Oktaferina
I.K.KSu.S.SAr.ADi.M.MPe.YCa
082
Taksonomi H: Program “Survei PAUD Raisya”
(Sumber: Tim Progasik)
85. etelah berbincang dengan Ibu Rini, ketua
PKK RT 04, kami pun mengetahui
Sbahwa beliau juga merupakan pendiri
sebuah PAUD yang bernama PAUD Raisya yang telah
berjalan selama tiga tahun. Selain berfungsi sebagai
tempat belajar anak-anak setiap hari Senin hingga
Jumat, sekolah ini dapat juga dipergunakan oleh warga
setempat untuk kegiatan lainnya seperti pengajian,
sekadar kumpul dengan tetangga, ataupun kegiatan
RT lainnya. Dari sini lah, kami tertarik untuk menggali
lebih dalam lagi tentang PAUD Raisya sebagai sebuah
tempat dengan berbagai macam fungsi.
083
86. PAUD Raisya terdiri dari dua bangunan utama
untuk dua kelas yang berbeda, bangunan pertama
merupakan ruang kelas Taman Kanak-kanak (TK),
sedangkan bangunan kedua merupakan ruang kelas
playgroup. Bangunan PAUD dibuat terbuka tanpa
dinding sehingga memberi kesan luas sehingga anak
merasa tidak terkurung di dalam kelas. Selain itu, ruang
yang terbuka ini juga membuat proses belajar
mengajar dapat dilihat dengan jelas oleh para orang
tua. Bangunan tanpa dinding ini juga yang membuat
PAUD Raisya bisa difungsikan sebagai tempat
berkumpul warga dalam berbagai kegiatan. Selain
084
87. ruang kelas, sekolah ini juga memiliki sebuah pendopo
yang biasanya digunakan sebagai area berkumpul
bagi orang tua siswa ketika menunggu anak-anaknya.
Di sebelah kiri pendopo, terdapat beberapa permainan
seperti ayunan dan perosotan. Sementara, di sebelah
kanannya, terdapat sepetak tanah dengan berbagai
tanaman di dalam pot serta pohon dalam kondisi yang
kurang terawat. Pada mulanya, sepetak tanah ini
hendak difungsikan sebagai pusat kegiatan menanam
TOGA, tetapi kegiatan tersebut terhenti begitu saja.
Gambar H.1: PAUD Raisya
(Sumber: Tim Progasik)
085
88. Dalam wawancara kami selanjutnya, kami
mengetahui bahwa ada kurikulum mengenai tanaman
yang diajarkan di PAUD Raisya. Anak diajarkan
pengenalan dasar seputar tanaman seperti praktik
menanam, pengenalan jenis-jenis tanaman, dan
sebagainya. Praktik menanamnya pun masih sangat
sederhana, yaitu menanam kacang hijau di atas kapas
basah yang telah dimasukan ke gelas plastik
sebelumnya. Fakta - fakta ini menjadi menarik untuk
kami karena isu TOGA yang dari awal kami angkat
ternyata memiliki koneksi dengan PAUD Raisya yang
selain menjadi tempat belajar anak usia dini, juga
berfungsi sebagai sebuah tempat berkumpul warga.
Kami berpikir untuk menjadikan anak-anak di
PAUD Raisya sebagai target baru kami setelah
sebelumnya gagal mendekati warga ibu-ibu RT 04.
Anak-anak memiliki antusiasme yang lebih tinggi dalam
kegiatan tanam menanam. Terlihat pada percobaan
kami sebelumnya yang bermaksud menarik perhatian
ibu-ibu peserta senam rutin RT untuk berpartisipasi
dalam program “Workshop Pot Kreatif”, tetapi malah
anak-anak mereka yang lebih tertarik. Pertimbangan
lainnya adalah lebih mudah memasuki komunitas yang
sudah terorganisasi dengan baik, seperti murid-murid
PAUD Raisya ini, dari pada ibu-ibu yang masing-
masing memiliki jadwal yang berlainan.
Lalu apa yang selanjutnya kami lakukan
setelah pengamatan dan survei ini? Kami mulai
membicarakan potensi-potensi yang mungkin bisa
diangkat dan dikembangkan dari segi tempat, ruang,
fasilitas, dan pengguna PAUD. Secara lokasi, PAUD
Raisya cukup strategis. Tempatnya dekat dengan
rumah warga dan cukup luas untuk difungsikan
sebagai ruang komunal warga RT 04. Paud Raisya
dapat menjadi tempat yang strategis untuk
mengadakan workshop di waktu mendatang.
Pemiliknya, Ibu Rini, sangat terbuka dengan kami.
Beliau sangat ramah dan dapat diajak bekerja sama
sehingga akan lebih mudah bagi kami masuk dalam
komunitas pengguna PAUD Raisya. Pengguna tetap
086
89. dari tempat ini adalah murid PAUD yang usianya
sekitar 3-5 tahun. Mereka punya jadwal yang pasti
setiap minggunya, terorganisasi dengan baik oleh
gurunya.
Sepetak tanah yang terletak di pojok belakang
sekolah juga memiliki potensi. Ibu Rini pun sudah
mempersilakan kami jika ingin mengotak-atiknya. Kami
berpikir untuk merombak sepetak tanah tersebut
menjadi taman yang lebih bermanfaat. Namun, kami
belum tahu akan menjadi seperti apa dan bagaimana
cara mewujudkannya.
Selain itu, kami pun berencana mengadakan
workshop untuk mengetahui apa yang akan kami
lakukan selanjutnya dengan murid-murid PAUD Raisya
sebagai sasaran. Tujuannya untuk menggali lebih
dalam mengenai tanaman terkait dengan anak-anak di
PAUD. Mencari koneksi antara tempat, pengguna, dan
tanaman.
087
Gambar H.2: Layout Kasar PAUD Raisya
(Sumber: Tim Progasik)
Ruang Kelas
Playground
Ruang Kelas TK
Kamar Mandi
Permainan
Pendopo
Area Hijau
(Vegetasi)
Pintu Depan
90. Gambar H.3: Tanaman di
PAUD Raisya - Adenium
(Sumber: Tim Progasik)
Gambar H.4: Tanaman di
PAUD Raisya - Pohon Cabe
(Sumber: Tim Progasik)
91. Gambar H.5: Tanaman di
PAUD Raisya - Daun Salam
(Sumber: Tim Progasik)
Gambar H.6: Tanaman di
PAUD Raisya - Sirih
(Sumber: Tim Progasik)
92. WORKSHOP MAINAN FAVORIT
Oleh: Andy Tanjung
090
I.K.KMa.S.SOr.OAn.M.MWo.WKu.TCa
Taksonomi I: Program “Workshop Mainan Favorit”
(Sumber: Tim Progasik)
93. orkshop Mainan Favorit adalah suatu
kegiatan untuk mengetahui mainan
Wkesukaan anak-anak PAUD
Kelompok Bermain Raisya. Workshop ini direncanakan
berlangsung dengan membagi para murid PAUD
Raisya menjadi tiga kelompok. Di dalam kelompok,
diharapkan mereka mampu mengomunikasikan
mainan apa yang mereka sukai dan menceritakan
alasan mereka menyukai mainan tersebut. Hasil dari
workshop mainan favorit kami analisis untuk dijadikan
dasar sebagai intervensi dalam proyek ini.
091
94. Workshop ini merupakan salah satu rangkaian
dari Workshop Besar yang terdiri dari tiga kegiatan dan
dilaksanakan dalam satu hari. Ketiga kegiatan tersebut
yaitu Workshop Mainan Favorit, Workshop Identifikasi
Tanaman, dan Workshop Simulasi Menanam.
Pertama, anak-anak dibagi menjadi tiga kelompok
sesuai dengan jumlah anggota kelompok yang
tersedia pada saat itu. Satu kelompok workshop terdiri
dari sekitar enam murid PAUD dan dua fasilitator
(anggota Tim Progasik). Setelah itu, Workshop Mainan
Favorit ini pun dimulai. Para fasilitator menjelaskan
kepada murid-murid PAUD Raisya mengenai kartu-
kartu bergambar mainan dan memancing anak-anak
untuk menceritakan mainan apa saja yang mereka
miliki atau pernah mereka mainkan. Kemudian, kartu-
kartu tersebut diletakkan di atas meja dan masing-
masing anak diminta untuk memilih kartu bergambar
mainan yang mereka sukai. Setelah mereka selesai
memilih kartu, para fasilitator menanyakan kepada
setiap anak alasan mereka memilih kartu mainan
tersebut. Alasan-alasan ini, selanjutnya, dirangkum
sebagai dasar intervensi proyek ini.
092
95. Gambar I.1: Salah Satu Kelompok ketika
Melakukan Workshop Mainan Favorit
(Sumber: Tim Progasik)
96. Metode Workshop Mainan Favorit ini
digunakan karena dirasa cukup menarik untuk anak-
anak dan juga dapat memberikan informasi pada
kelompok kami untuk mengintervensi proyek. Namun,
pada pelaksanaannya, hasil akhir tidak sesuai
rencana awal. Tujuan awal dari pelaksanaan metode
Workshop Mainan Favorit ini adalah untuk
mendapatkan informasi mengenai ketertarikan seperti
apa yang dimiliki oleh anak-anak TK ini ketika bermain
dan apa yang mereka sukai. Kami rasa, metode ini
cukup baik dalam perencanaannya, dimana banyak
jenis kartu yang kami sediakan seperti kartu dengan
gambar mainan robot, boneka, mobil, pesawat,
sampai dengan seluncuran atau jungkat-jungkit.
Namun, pada saat pelaksanaannya ada beberapa
kekacauan yang terjadi, contohnya saja anak-anak
tidak memilih mainan yang mereka sukai untuk
bermain tapi mereka memilih kartu dengan gambar-
gambar yang menurut mereka keren dan belum
pernah mereka lihat. Lalu, ada juga beberapa anak
yang hanya mengikuti temannya, bila temannya
mengambil kartu dengan gambar A maka dia juga
akan mengambil kartu dengan gambar yang sama.
Kejadian seperti ini membuat kami tidak mendapatkan
informasi yang presisi tentang kesukaan mereka.
Banyak juga anak yang mengambil mainan
yang mereka sukai, tetapi tidak dapat menceritakan
kenapa mereka menyukai mainan tersebut sehingga
esensi dari alasan mereka menyukai mainan tersebut
tidak kami dapatkan. Yang terakhir adalah banyak
anak-anak yang sama sekali tidak mengambil mainan
yang mereka sukai, tetapi hanya beradu siapa
mengambil kartu yang lebih banyak dari temannya,
dan dari kejadian, ini kami tidak mendapatkan
informasi sama sekali mengenai mainan dan alasan
mengenai mainan yang mereka sukai.
“Anak yang berusia 3 tahun. Disebut juga fase
bertanya atau fase keras kepala. Anak pada
tingkat umur ini memperlihatkan keadaan semi
independensi. Dapat diajak dalam suatu
kegiatan, peka untuk pujian, mau kerja sama
dan ikut melakukan sesuatu” (Me-too-Age).
“Anak berusia 4 tahun. Usia ini disebut juga usia
mengapa dan bagaimana (Why and How Age)
dan merupakan suatu masa bagi anak untuk
menyatakan perasaan berdiri sendiri
(independensi), perlawanan atau reaksi, banyak
bicara dan menganggap dirinya serba bisa,
dapat bergaul dengan teman sebaya, sudah
dapat diberi petunjuk-petunjuk secara lisan dan
suka bekerjasama.” (Tingkah Laku Anak pada
Masa Perkembangan, 2009)
“Meniru atau mengikuti apa yang dilihat dan
didengar akan selalu dilakukan oleh anak kecil
atau balita” (Bambang Wakidi, 2012)
094
97. Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa pada fase
seperti yang sedang dijalani anak-anak PAUD Raisya
ini memang mereka dapat ikut berpatisipasi dan
mengerti mengenai apa yang sudah dijelaskan oleh
para fasilitator, tetapi disamping itu anak-anak punya
kecenderungan yang tinggi untuk meniru apa yang
mereka lihat. Metode ini tidak efektif dilakukan pada
pelaksanaan workshop berkelompok dimana anak-
anak akhirnya hanya mengikuti apa yang temannya
lakukan. Jadi, memang secara keseluruhan, metode ini
tidak berhasil untuk dilakukan karena kami tidak
mendapatkan banyak informasi mengenai mainan
yang mereka sukai dan alasan mereka menyukai
mainan tersebut dengan jelas, dan juga memang
metode ini tidak efektif untuk dilakukan pada anak-
anak.
095
98.
99.
100. WORKSHOP IDENTIFIKASI TANAMAN
Oleh: Alfoadra Zamdekha
098
I.K.KId.S.SOr.OAn.M.MWo.WKu.YCa
Taksonomi J: Program “Workshop Identifikasi Tanaman”
(Sumber: Tim Progasik)
101. 099
orkshop Identifikasi Tanaman
merupakan suatu kegiatan untuk
Wmencari tahu sejauh mana
pengetahuan anak-anak PAUD Raisya mengenai
jenis-jenis tanaman dengan cara meminta mereka
mengelompokkan tanaman-tanaman ke dalam
golongan buah, bunga, atau sayur. Workshop ini
dilaksanakan setelah Workshop Mainan Favorit yang
juga merupakan rangkaian kegiatan untuk pengenalan
dan pendekatan ke anak-anak PAUD Raisya.
Workshop ini berdurasikan sekitar 10-15 menit.
102. Gambar J.1: Salah satu hasil menempel murid PAUD Raisya
(Sumber: Tim Progasik)
103. Dalam kegiatan workshop ini, anak-anak PAUD
Raisya dibagi menjadi tiga hingga empat kelompok
yang masing-masing didampingi satu atau dua orang
fasilitator. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam
mengontrol dan mengawasi pekerjaan anak. Nantinya,
masing-masing anak akan diberikan berbagai macam
gambar buah, bunga, dan sayuran yang harus
ditempel di kertas yang sudah disediakan. Anak anak
diminta mencocokkan gambar yang mereka terima
dengan judul yang tertera pada kolom, yakni buah,
bunga, dan sayuran.
Pada saat proses eksekusi, kami melihat
bahwa anak-anak sangat tertarik untuk mengikuti
workshop ini. Sebenarnya, masing-masing anak
mendengarkan instruksi para fasilitator di dalam
kelompok dengan cukup baik, tetapi terdapat
beberapa hal yang menyulitkan anak-anak, seperti
ketika akan menempel, anak-anak cenderung
kebingungan mengidentifikasi masing-masing kolom.
padahal mereka tahu jenis gambar yang akan mereka
tempelkan. Hal tersebut terjadi karena mereka belum
dapat membaca, sehingga banyak anak yang
menempel gambar di kolom yang salah. Dari
permasalahan tersebut, kami berinisiatif untuk
mengidentifikasi masing-masing kolom dengan warna
tulisannya sehingga mereka dapat menempel gambar
dengan baik.
101
104. Kegiatan workshop ini dapat dikatakan
berhasil karena mencapai tujuan yang diinginkan.
Pencapaian yang didapatkan dari workshop adalah
informasi bahwa anak- anak PAUD Raisya sudah
mampu untuk membedakan antara buah, bunga, dan
sayuran. Dengan kata lain, mereka sudah memiliki
pengetahuan dasar yang cukup mengenai tanaman.
Oleh karena itu, di sini, kami akan menunjukan kenapa
kegiatan workshop ini berhasil dan layak untuk dicoba.
Apabila dianalisis berdasarkan teori, kami
mendapatkan bahwa:
berada pada tahap berpikir pra-operasional
dan cocok belajar melalui pengalaman
konkret dan dengan orientasi tujuan sesaat;
2. Mereka gandrung menyebut nama-nama
benda, medefinisikan kata-kata, dan
mempelajari benda-benda yang berada di
lingkungan dunianya sebagai anak-anak;
3. Mereka belajar melalui bahasa lisan dan,
pada tahap ini, bahasanya telah berkembang
dengan pesat; dan
4. Pada tahap ini, anak-anak sebagai
pembelajar memerlukan struktur kegiatan
yang jelas dan intruksi spesifik.” (sumber:
http://jikunikalu.wordpress.com, diakses 12
Januari 2014)
“...., anak-anak usia 5-7 tahun sebagai tahun-
tahun awal memasuki sekolah dasar mereka
mempunyai ciri sebagai berikut:
1. Kebanyakan anak-anak usia ini masih
102
105. Gambar J.2: Salah Satu Murid PAUD Raisya yang
sedang mengidentifikasi jenis-jenis tanaman
(Sumber: Tim Progasik)
106.
107.
108. Kelebihan metode tugas dan resitasi:
1. Lebih merangsang siswa dalam melakukan
aktivitas belajar individual ataupun kelompok
2. Dapat mengembangkan kemandirian siswa di luar
pengawasan guru
3. Dapat membina tanggung jawab dan disiplin siswa
4. Dapat mengembangkan kreativitas siswa
Kekurangan metode tugas dan resitasi:
1. Siswa sulit dikontrol, apakah benar ia yang
mengerjakan tugas ataukah orang lain
2. Khusus untuk tugas kelompok, tidak jarang yang
aktif mengerjakan dan menyelesaikannya adalah
anggota tertentu saja, sedangkan anggota lainnya
tidak berpatisipasi dengan baik
3. Tidak mudah memberikan tugas yang sesuai
dengan perbedaan individu siswa
4. Sering memberikan tugas yang monoton (tidak
bervariasi) dapat menimbulkan kebosanan siswa.”
(http://gurupaud.blogspot.com, diakses 12 Januari
2014)
Seperti yang dijelaskan pada sumber, bahwa
di dalam metode ini terdapat beberapa kelebihan
Metode yang kami gunakan dalam workshop
ini terbilang tepat sehingga tujuan yang diinginkan
tercapai. Dari sumber teori, dikatakan bahwa anak-
anak pada tahap tersebut sudah mulai mencoba
mendefinisikan, mempelajari, dan mengorganisasikan
benda-benda di sekitarnya. Mereka juga cenderung
lebih mengerti tugas yang diberikan secara lisan
dibandingkan tulisan. Pada proses workshop,
kebanyakan dari mereka sudah mengetahui dan
memiliki rasa ingin tahu terhadap apa yang akan
mereka kerjakan. Hal penting yang tanpa kami sadari
telah dilaksanakan, yakni memberi suatu instruksi yang
jelas dan spesifik ke anak-anak. Hal lain yang tanpa
kami sadari sudah kami lakukan dalam proses
pelaksanaan workshop ini yakni metode yang selama
ini kami nyatakan sebagai “metode kuis” ternyata
terdapat di dalam teori metode pembelajaran untuk
anak usia dini. Metode tersebut adalah metode tugas
dan resitasi.
Metode Tugas dan Resitasi
Metode resitasi (penugasan) adalah metode penyajian
bahan dimana guru memberikan tugas tertentu agar
siswa melakukan kegiatan belajar.
106
109. maupun kekurangan. Kedua hal tersebut kami
rasakan ketika melaksanakan workshop. Salah
satunya, di dalam sebuah kelompok, terdapat
beberapa anak yang memang aktif dari awal sampai
akhir kegiatan. Mereka tidak hanya aktif untuk
menempel, tetapi juga aktif bertanya kepada
fasilitatornya. Namun, di dalam kelompok tersebut juga
terdapat beberapa anak yang tidak terlalu tertarik
sehingga fasilitatornya dituntut untuk lebih aktif. Selain
itu, ada juga anak yang di awal mengerjakan tugas
sangat aktif, tetapi seiring berjalannya proses, si anak
tersebut malah berhenti dan tidak menyelesaikan
tugas. Hal tersebut terjadi karena tugas yang kami
berikan dilakukan secara berulang-ulang (proses
penempelannya) sehingga menimbulkan kebosanan.
Namun, hal ini bisa kami atasi dengan cara membatasi
waktu kegiatannya sehingga si anak tidak terlalu
bosan.
Keuntungan lainnya menggunakan metode ini
adalah kami mengetahui bagaimana kemampuan
kognitif masing-masing anak. Berdasarkan
pengamatan kami ketika workshop berlangsung, ada
beberapa anak yang memang cepat dalam
menggolongkan buah, bunga, dan sayuran dan ada
juga beberapa anak yang membutuhkan waktu lebih
lama. Metode tugas atau resitasi ini dapat
mengungkapkan kemampuan dan perkembangan
kognitif masing-masing anak karena kemampuan
tersebut dapat dilihat secara langsung dengan
seberapa cepat si anak dalam menyelesaikan
tantangan yang diberikan. Dari beberapa sumber,
kami mendapatkan kalau metode ini akan menjadi
lebih baik apabila ketika si anak menyelesaikan
tugasnya sambil mendengarkan alunan musik. Jadi,
dengan metode ini, kami tidak hanya mendapatkan
pencapaian yang ingin didapatkan, tetapi juga
mendapatkan informasi-informasi lainnya mengenai
anak-anak PAUD Raisya. Hal yang perlu diingatkan
dalam menggunakan metode ini adalah persiapkan
alat dan bahan yang jelas yang akan digunakan oleh
anak-anak dan, jangan lupa, instruksi yang diberikan
harus dilakukan secara lisan, jelas, dan spesifik.
107
110. WORKSHOP SIMULASI MENANAM
Oleh: Mu’awinastus Syar’iyah
I.K.KTa.S.SOr.OAn.M.MWo.WSi.YCa
108
Taksonomi K: Program “Workshop Simulasi Menanam”
(Sumber: Tim Progasik)
111. orkshop Simulasi Menanam
merupakan rangkaian terakhir dari
Wkegiatan workshop satu hari yang
kami lakukan di PAUD Kelompok Bermain Raisya
Masih sama, sasaran dari kegiatan ini adalah murid-
murid PAUD Raisya. Kami mengadakan kegiatan
workshop ini untuk memberi pengetahuan umum pada
anak-anak mengenai cara dan proses menanam
tanaman serta untuk mengetahui bagaimana reaksi
anak-anak terhadap simulasi tersebut. Kami ingin
anak-anak langsung mempraktikkan proses
menanam, bukan hanya dari melihat dari apa yang
dicontohkan orang lain.
109
112. Untuk mempersiapkan kegiatan simulasi
menanam ini, pertama, kami menentukan proses
menanam seperti apa yang cocok untuk dilakukan
oleh anak-anak. Pemahaman anak-anak mengenai
proses menanam masih sangat sederhana, yaitu
menanam dari biji (anak-anak belum memahami
proses menanam lain yang lebih rumit seperti stek atau
cangkok), maka kami memilih proses menanam yang
paling simpel tersebut. Kemudian, kami menentukan
jenis tanaman apa yang cocok untuk ditanam oleh
anak-anak. Kami ingin tanaman tersebut bisa tumbuh
cepat sehingga anak-anak bisa langsung merasakan
hasil dari proses menanam yang mereka lakukan.
Akhirnya, kami memilih untuk menggunakan biji
kacang hijau. Jenis tanaman ini bisa tumbuh dengan
cepat sehingga nantinya anak-anak dapat langsung
melihat perubahan yang terjadi. Selain mempersiapkan
kedua hal tersebut, kami juga menyiapkan alat-alat
yang akan digunakan saat simulasi menanam. Kami
menyiapkan media tanam berupa tanah, gelas air
mineral bekas sebagai pot, dan tidak lupa sekop untuk
mengambil tanah serta alat penyiram untuk menyirami
tanaman.
Botol Plastik Bekas
untuk Pot
110
Tanah
sebagai Media Tanam
113. Gambar K.1: Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Simulasi
(Sumber: Tim Progasik)
111
Biji Kacang Hijau
untuk Bibit
Alat Penyiram dan Air
Sekop
114. bisa mengalir keluar. Selanjutnya, media tanam berupa
tanah dimasukkan ke dalam pot kira-kira sebanyak
setengah gelas. Setelah pot diisi dengan tanah, biji
diletakkan pada tanah tersebut. Tahap berikutnya, biji
ditutup kembali dengan tanah secukupnya. Proses
diakhiri dengan menyiram tanah dengan air
secukupnya dan pot diletakkan pada tempat yang
terkena sinar matahari.
Sebelum anak-anak mencoba langsung
menanam tanaman, kami memberikan contoh
tahapan-tahapan menanam tanaman. Dimulai dari
mempersiapkan segala alat dan bahan untuk
menanam seperti, media tanam, pot, biji, serta air untuk
menyiram. Pertama, pot yang telah kami sediakan
berupa gelas air mineral bekas dilubangi kecil-kecil
pada bagian bawahnya agar air yang nantinya disiram
tidak tertampung di dalam pot seluruhnya dan air tetap
112
Botol plastik bekas dipotong, dilubangi
bagian bawahnya, dan diisi dengan tanah
Pot botol yang sudah berisi tanah
kemudian diisi dengan bibit
115. Gambar K.2: Proses Penanaman yang Disimulasikan
(Sumber: Tim Progasik)
113
Bibit dalam pot disiram dengan air Setelah beberapa hari perawatan, bibit
akan mulai tumbuh.
118. Pemberian contoh menanam ini kami lakukan
dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari lima
orang, dengan harapan anak-anak bisa lebih fokus
dan memahami contoh yang kami berikan. Namun,
tetap saja, pada eksekusinya, tidak semua anak bisa
fokus selama proses pemberian contoh. Beberapa
anak sibuk dengan kegiatannya masing-masing dan
tidak terlalu memperhatikan proses percontohan.
Setelah itu, anak-anak mulai melakukan
simulasi menanam sendiri. Mereka melakukan
tahapan-tahapan yang dicontohkan sambil tetap kami
dampingi selama pelaksanaan proses tersebut. Pada
proses ini, anak-anak lebih tertarik dan banyak yang
ingin berkontribusi langsung. Sayangnya, alat dan
bahan yang kami sediakan terbatas sehingga tidak
setiap anak bisa mencoba sendiri-sendiri proses
menanam. Mereka melakukannya secara bersama-
sama pada satu pot yang sama, akibatnya kondisi
saat simulasi menanam ini cukup ramai dan kurang
kondusif. Namun, anak-anak tidak ada yang berebut
dan tetap melakukan/menonton dengan senang dan
antusias.
Dari kegiatan simulasi menanam ini, ada
pencapaian yang kami peroleh, yaitu kami
menemukan bahwa siswa-siswi PAUD Raisya sudah
mengetahui cara menanam tanaman. Selain itu, kami
mengetahui bahwa anak-anak lebih tertarik pada hal-
hal yang interaktif seperti kegiatan simulasi menanam
ini. Pencapaian ini membuat kami mengetahui potensi
yang dimiliki oleh anak-anak terhadap proyek
komunitas yang kami kerjakan. Anak-anak berpotensi
menjadi sasaran utama pada proyek ini dan nantinya
mereka bisa terlibat langsung dalam proses
penggarapan proyek.
Berdasarkan uraian di atas, kegiatan simulasi
menanam ini menjadi salah satu kegiatan yang berhasil
kami lakukan selama proses pengerjaan proyek
komunitas. Mulai dari proses perencanaan hingga
proses eksekusi bisa diselesaikan dengan cukup baik,
meskipun pada proses eksekusinya kurang teratur
dengan baik. Keberhasilan ini tidak terlepas dari peran
serta dan antusiasme anak-anak yang menjadi
sasaran utama dalam menjalankan kegiatan ini.
Menurut Albert Bandura (1977), perilaku anak-anak
dipelajari dari lingkungan sekitar melalui proses
observasi. Anak-anak sangat dipengaruhi oleh model
(objek) yang diobservasinya. Model ini memberikan
contoh perilaku untuk diobservasi dan diimitasi.
Awalnya, mereka akan mengobservasi dan
memahami perilaku dari model kemudian, nantinya,
perilaku itu akan mereka imitasi. Apa yang terjadi
selama proses simulasi menanam di PAUD Raisya
menunjukkan ada kecocokan dengan teori yang
disampaikan oleh Bandura dengan praktik di lapangan.
Saat memberikan proses percontohan, tanpa disadari,
anak-anak mengobservasi kegiatan menanam
tersebut sambil mencoba memahami prosesnya.
116
119. Kemudian, mereka dengan mudah bisa melakukan
persis seperti yang dicontohkan saat mereka
dipersilakan untuk mencoba menanam sendiri. Hal ini
menjadi salah satu faktor yang mendukung
keberhasilan dari kegiatan workshop dan
menunjukkan bahwa metode yang kami gunakan
cukup efektif sehingga bisa dieksekusi dengan baik.
Jadi, keberhasilan dari kegiatan simulasi
menanam ini dipengaruhi oleh, pertama, peran anak-
anak dalam kegiatan tersebut. Antusiasme anak-anak
untuk berpartisipasi pada kegiatan ini membuat
kegiatan ini bisa dieksekusi dengan baik, tanpa
adanya antusiasme tersebut kemungkinan besar
kegiatan ini akan gagal seperti kegiatan-kegiatan lain.
Kedua, penerapan metode belajar yang kami berikan
melalui model (percontohan) bisa diterima dengan baik
oleh anak-anak sehingga mereka dengan mudah bisa
melakukan proses menanam hingga selesai. Dengan
demikian, Workshop Simulasi Menanam merupakan
salah satu kegiatan yang berhasil kami lakukan selama
proyek komunitas ini berjalan.
117
120. MENGGAMBAR PEKARANGAN IMPIAN
Oleh: Indah Amalia Hasan
118
I.K.KGa.S.SOr.OAn.M.MWo.WKu.YCa
Taksonomi L: Program “Menggambar Pekarangan Impian”
(Sumber: Tim Progasik)
121. enurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, arti kata Pekarangan
Madalah tanah di sekitar rumah atau
halaman rumah. Lalu, bagaimana menurut anak-anak
di PAUD KB Raisya?
119
122. Program budidaya tanaman obat-obatan yang
sudah berjalan di komunitas ini menjadi motivasi kami
untuk mengembangkannya menjadi suatu program
mindset yang dapat kami tanamkan kepada anak-
anak sebagai generasi penerus dalam komunitas ini.
Keunggulan komunitas ini adalah kebiasaan memiliki
tanaman obat dan sayur mayur yang mereka tanam di
halaman rumah mereka, baik di atas tanah kosong
maupun dipot-pot tanaman yang juga berfungsi
menjadi pagar halaman rumah.
Maksud dan tujuan dari diadakannya
workshop ini adalah agar sebagai generasi penerus di
masa depan, mereka sudah belajar untuk merancang
kehidupan bercocok tanam sesederhana mungkin.
Memberikan gambaran tentang sebuah kebiasaan
komunitas tempat tinggalnya yang diterjemahkan
dalam bentuk seni visual. Jangka panjangnya adalah
agar, sebagai generasi muda, mereka tidak kehilangan
tradisi komunitasnya sendiri sebagai salah satu
kebiasaan yang turun menurun.
Sebenarnya, bukan baru kali ini sebuah tradisi
memiliki pekarangan obat-obatan serta sayur mayur di
halaman rumah dapat dijumpai. Justru, temuan kami di
komunitas ini dapat kami sebut sebagai temuan tradisi
yang hampir punah di kawasan ibu kota. Sebagai
negara agraria, Indonesia memiliki tanah yang subur
dan hal ini sudah disadari ratusan tahun oleh nenek
moyang kita. Hampir setiap manusia di zaman
terdahulu pandai bercocok tanam. Hal ini tidak
mengeherankan di kala itu karena hampir setiap rumah
120
123. di masa itu dapat kita jumpai berbagai jenis
pekarangan, mulai dari pekarangan bunga, sayur-
mayur, obat-obatan, sampai pekarangan untuk
mengurus hewan-hewan ternak mereka. Namun,
kemajuan zaman yang berbanding terbalik dengan
ketersediaan lahan kosong hijau secara perlahan
menggeser tradisi tersebut, sehingga sebuah
kebiasaan yang menjadi identitas bangsa ini hampir
punah, khususnya, di kota-kota besar seperti, salah
satunya, Jakarta.
Sebelum lebih jauh dalam mengartikan
pekarangan itu sendiri dan hendak menjadikannya
contoh nyata bagi anak-anak di KB Raisa, terlebih
dahulu kami ingin mengetahui seberapa jauh
pemahaman anak-anak tersebut akan definisi
pekarangan. Untuk itu, kami mangadakan workshop
menggambar, khususnya, menggambar pekarangan
yang terlintas di benak mereka. Dengan alibi
menggambar bersama, kami memancing imajinasi
mereka tentang bayangan akan sebuah pekarangan
yang ditanami berbagai macam tanaman.
Lain hal dengan rencana yang sudah kami
susun, lain pula dengan hasil yang kami dapatkan di
lapangan. Selama workshop menggambar tersebut
berlangsung, anak-anak kebingungan dengan arti
atau definisi dari pekarangan itu sendiri. Memang, tidak
seharusnya kami berharap banyak dari anak-anak
seusia mereka, yang masih duduk di taman kanak-
kanak, akan pengertian dan gambaran umum
mengenai sebuah pekarangan.
121
124. Gambar L.1: Seorang Anak Peserta
Workshop sedang Menggambar
Pekarangan Impiannya
(Sumber: Tim Progasik)
125. Sebagai perkenalan, kami menjelaskan tema
dari workshop menggambar ini yakni menggambarkan
“Pekarangan Impian”. Respons mereka hanya diam
tanpa pertanyaan apapun. Kami pikir selama belajar di
PAUD Raisya, mereka sudah mengerti apa itu
pekarangan. Lalu, kami mulai membuka satu set alat
mewarnai, begitu pun dengan mereka. Awalnya,
mereka terdiam, termenung, dan melamun. Ternyata
mereka sedang berpikir hendak menggores apa di
atas kertas putih itu. Hasilnya, mereka justru
menggambar bunga, rumah, gunung, dan berbagai
gambar yang setiap tahun ajaran selalu menghiasi
dinding kelas. Seperti ada semacam paradigma yang
tak disengaja telah terbentuk selama puluhan tahun
pada kurikulum pendidikan di negeri ini akan sebuah
proses kreativitas menggambar. Rumah yang memiliki
satu pintu dan dua jendela dengan rumput di depannya
dan jalan setapak berbatu; Bunga yang memiliki empat
hingga enam mahkota bunga; Satu jenis bunga
dengan perbedaan warna mahkota menjadikan
gambar tersebut terkesan bervariatif; Pemandangan
akan dua Gunung yang di tengah-tengahnya terdapat
matahari terbenam atau terbit, lengkap dengan awan
yang diselingi oleh burung-burung yang seolah terbang,
serta dibagian bawahnya terdapat dua petak sawah
yang dipisahkan oleh jalan raya.
123
126. Gambar L.2: Beberapa Murid KB
Raisya dan Gambar-Gambarnya
(Sumber: Tim Progasik)
127.
128. Namun demikian, ada salah satu contoh kasus
menarik pada salah satu murid PAUD Raisya tersebut.
Ia bernama Ezel. Dia kesulitan dalam menggambar.
Kesulitan itu disebabkan bukan karena dia tidak bisa
menggambar, tetapi karena dia bingung dengan tema
menggambar yang saat itu bertemakan pohon buah
atau sayur mayur. Berbeda dengan teman-temannya,
yang meskipun kami yakin betul mereka tidak betul-
betul memahami tema menggambar yang kami
berikan, tetapi teman-temannya menggambar sesuka
hati. Ezel ini mungkin tipe anak yang sedikit mengarah
ke idealis karena dirinya terlalu lama memutuskan
hendak menggambar apa, "apa itu pekarangan?",
"saya harus menggambar apa tentang pekarangan
ini?". Mencoba menyontek pada teman sebelahnya,
tetapi enggan kepada kami. Akhirnya, ia saya ajak
berdiskusi. Saya bertanya apakah ada pohon di
sekitar sini yang buahnya ia sukai. Lalu, mata saya
melihat pada pohon kelapa di ujung halaman yang
terpisah dua rumah dari PAUD Raisya dan dengan
spontan saya bertanya padanya,
“Kamu suka minum Es Kelapa, nggak?”, tanya
saya.
“Suka”, jawab Ezel.
“Kamu lihat pohon Kelapa itu?”
“Yang di sana (menunjuk pada pohon Kelapa
yang ada di sebelah Utara KB Raisya)”.
126
Gambar L.3: Azel dan Gambarnya
(Sumber: Tim Progasik)
129. Setelah bingung beberapa lama dan
ketinggalan dari teman-teman lainnya, akhirnya, ia
mulai mencoret kertas kosongnya. Dengan perlahan,
ia menggoreskan krayonnya membuat replika pohon
kelapa dalam bentuk dua dimensi menurut versinya.
Ternyata, tidak mudah mendorong anak usia
sedini itu untuk menggambarkan sesuatu yang ada di
benaknya. Namun, hal ini juga menjadi lebih sulit setelah
tertanamnya pemahaman gambar yang selama ini
mereka gambarkan hanya seputar pegunungan dan
rumah. Kesadaran akan apa yang ada di sekitar
mereka kurang diperhatikan menjadi acuan mereka
dalam menggambar. Padahal, contoh kasus Ezel tadi
merupakan hal sederhana yang bisa kita selesaikan
dengan melibatkan elemen alam yang berlimpah di
sekitar dirinya sendiri.
“Kamu lihat, kan?”, tanya saya.
(Ezel mengangguk)
“Jika kamu suka buahnya, kenapa tak
gambarkan pohonnya?”, tanya saya.
127
130. Proses menggambar ternyata tidak semudah
apa yang sudah kami bayangkan di awal, terutama
pada kasus ini. Terlalu dini, memang, jika kami
mengharapkan hasil gambaran tentang sebuah
pekarangan lengkap dengan jenis-jenis tanaman yang
dimaksudkan, terlebih lagi kepada anak-anak seusia
mereka yang masih dalam tahap pengenalan bentuk
serta objek di sekitarnya. Penyebabnya adalah sudut
pandang umur mereka yang tergolong masuk ke fase
pra-operasional. Berdasarkan teori Piaget dalam
mengelompokkan fase perkembangan kognitif anak,
anak mulai menyadari bahwa pemahamannya
tentang benda-benda di sekitarnya tidak hanya dapat
dilakukan melalui kegiatan sensorimotor, tetapi juga
dapat dilakukan melalui kegiatan yang bersifat simbolis.
Dalam kasus ini, anak-anak baru memasuki tahap
pengenalan objek-objek di sekitar mereka, tetapi belum
masuk ke tahap dimana mereka dapat mereplikasikan
objek-objek tersebut.
Berdasarkan pengamatan dalam bahan ajar
pendidikan usia dini oleh Departemen Perdidikan pada
tahun 2004, pendekatan proses kreatif dalam
menggambar oleh anak-anak TK sebagai berikut:
1. Mengamati (Seeing), yang memberi peluang untuk
mengembangkan kepekaan persepsi (perceptual
awareness) melalui kegiatan mengembangkan
penglihatan kritis.
2. Merasakan (Feeling), yang memberi peluang untuk
mengembangkan “respons estetis” (aesthetic
awareness) melalui kegiatan apresiasi dan
pengembangan kepekaan penilaian estetis.
3. Berpikir (Thinking), yang memberi peluang untuk
mengembangkan kemampuan mengevaluasi dan
mengapresiasi melalui evaluasi objektif dan
diskriminasi/perbedaan personal.
4. Melakukan (Doing), yang memberikan peluang
untuk mengembangkan keterampilan (skills),
memanipulasi alat dan media dalam menghadirkan
visual forms (bentuk–bentuk visual) yang
merupakan ungkapan emosi, gagasan, dan
perasaan.
Pada kenyataan yang kami dapatkan selama
workshop berlangsung, anak-anak baru mencapai
tahap mengamati, hal ini juga baru terjadi pada
beberapa anak saja. Dapat disampaikan demikian
karena respon mereka terhadap tema menggambar
128
131. yang kami berikan kurang diresapi dengan seksama
dan setelah mengajak mereka untuk megamati objek-
objek hidup di sekitarnya, yang berhubungan dengan
pekarangan, salah satu contohnya adalah pohon
kelapa dan Ezel tadi.
Selain memaksakan proses input pemahaman
tentang pekarangan, kesalahan kami adalah kami
kurang mendalami tahapan belajar menggoreskan alat
tulis pada proses menggambar yang terjadi pada
anak-anak seusia mereka. Menurut guru-guru mereka,
tahapan belajar menggambar yang baru saja mereka
capai belumlah sekompleks dapat merealisasikan
imajinasi mereka tentang tumbuhan-tumbuahan yang
ada di sekitar mereka. Hal ini menjadi terlalu sulit bagi
mereka karena mereka masih dalam proses mengenal
metode menggaris, membuat bangun datar seperti
lingkaran, persegi, dan segitiga, sehingga dalam
menerjemahkan bentuk asli yang kemudian mereka
cerna ke dalam imajinasi masing-masing lalu keluar di
atas kertas, itu adalah sebuah kesulitan. Lalu,
bagaimana dengan gambar-gambar mainstream
seperti gunung, rumah, dan lain-lain? Mengapa mereka
mampu menggambarkannya di saat mereka
sebenarnya masih dalam tahap belajar pengenalan
bentuk? Hal ini hanyalah sebuah bukti ajar yang
selama ini melanda metode pengajaran pendidikan
Indonesia, yakni mencontoh gambar yang sudah atau
pernah digambarkan oleh sang guru.
Menggambarkan sebuah Pekarangan menjadi
cukup sulit ketika si anak sendiri tidak dibekali
pemahaman tentang apa itu pekarangan.
Pengetahuan yang mungkin belum mereka dapatkan
di taman ajar ini terpaksa kami jejalkan lewat sebuah
workshop menggambar. Agaknya, memang terkesan
memaksa, yaitu memaksakan sebuah definisi tempat
fungsional yang dapat ditanami berbagai tumbuhan di
dalamnya agar juga tumbuh di benak pikiran mereka
dan melahirkan imajinasi tentang tempat tersebut
dalam versi kreatif mereka dan bentuk seni visual dua
dimensi. Kemudian, hal ini menjadi lebih keliru ketika
sebuah tema menggambar ini tidak sejalan dengan
kemampuan menggambar yang baru mereka capai di
usia mereka.
129
132.
133. Gambar L.4: Kegiatan Workshop
Menggambar Pekarangan
Impian di KB Raisya
(Sumber: Tim Progasik)
134.
135. Gambar L.5: Kegiatan Workshop Menggambar
Pekarangan Impian di KB Raisya
(Sumber: Tim Progasik)
136. Gambar L.6: Beberapa Gambar
Pekarangan Impian Hasil Workshop
(Sumber: Tim Progasik)
137.
138. “The only real mistake is the one from
which we learn nothing.”
- Henry Ford -
139.
140. 1. Definisi Gagal Menurut Kelompok
Dari proses diskusi, saya mendapatkan definisi
“gagal” yaitu apabila pencapaian yang didapat tidak
sesuai dengan tujuan dan eksekusi tidak sesuai
dengan rencana di awal. Contohnya, pada tahap awal
proyek, ketika kelompok mencoba masuk ke dalam
lingkungan masyarakat yang ingin diintervensi. Untuk
mendapatkan apa yang ingin diintervensi dari
masyarakat, kelompok cukup sulit mendapatkannya
karena masyarakat tidak mudah bercerita mengenai
bagaimana kehidupan sehari-hari di lingkungan
Pada esai ini, saya memposisikan diri sebagai
orang yang mempertanyakan kembali dan mengkritik
“kegagalan” di dalam matriks dan taksonomi
kegagalan. Hal yang menjadi pertanyaan saya adalah
apakah proses yang telah dicantumkan di dalam
matriks dan taksonomi benar-benar dapat dikatakan
“gagal”?. Untuk proses menganalisisnya, saya perlu
mendefinisikan kata gagal terlebih dahulu, baik menurut
kelompok, maupun saya pribadi, sehingga ada
parameter acuan apakah matriks dan taksonomi ini
benar-benar berisi kegagalan
PARAMETER GAGAL DI DALAM MATRIKS
DAN TAKSONOMI KEGAGALAN
Oleh: Alfoadra Zamdekha
138
141. tersebut. Padahal, harapannya, informasi mengenai
kehidupan sehari-hari dari masyarakat dapat
membantu anggota kelompok untuk mendapatkan
data dan juga turut memposisikan diri sebagai individu
di dalam masyarakat. Ketika kelompok bisa
memposisikan diri sebagai individu di dalam
masyarakat, artinya kelompok tidak mengerjakan hal
yang didapat berdasarkan kelompok, namun
berdasar dari “apa yang dirasakan masyarakat”.
Oleh karena itu, pada presentasi terakhir, di
dalam matriks kegagalan, terdapat hal mengenai
eksekusi dan pencapaian untuk menentukan apakah
kegiatan yang telah dilakukan dapat dikatakan gagal
atau berhasil. Selain itu, ketika di awal presentasi,
sebelum masuk membahas mengenai matriks dan
taksonomi kegagalan, kelompok memberi penekanan
paramater kegagalan yang dinilai dari tujuan, eksekusi,
dan pencapaian, sehingga alur pola pikirnya bisa
dimengerti kenapa kegiatan A, B, atau C dikatakan
gagal atau berhasil. Selain itu, di matriks disediakan
kolom berisi gagal atau berhasil yang terjadi karena
eksekusi, pencapaian yang tidak sesuai tujuan, atau
kedua-duanya.
139
Tabel M1.1: Matriks Kegiatan “Senam Sehat Ibu-Ibu”
(Sumber: Tim Progasik)
142. 140
2. Definisi Gagal Menurut Saya (Berdasarkan Teori,
Definisi, dan Para Ahli)
Di sini, saya mencoba menganalisis definisi
gagal dari beberapa teori, yakni:
kekandasan kehampaan
kekalahan
kegagalan
keberhasilan
berhasil
gagal
patah pucuk
mudarat
kubra rusak
urung
penggagal
menyabot
menggagalkan
mengecewakan
membantutkan
menangkis
“Sebelum membangun sistem informasi ini,
perusahaan harus melakukan beberapa
langkah terlebih dahulu agar pembangunan
sistem informasi yang dilakukan dapat berjalan
dengan baik. Untuk itu secara detail harus
dijawab pertanyaan-pertanyaan:
1. Informasi apakah yang dibutuhkan?
2. Oleh siapa?
3. Kapan?
4. Dimana?
5. Dalam bentuk apa?
6. Bagaimana cara memperolehnya?
7. Dari mana asalnya?
8. Bagaimana cara mengumpulkannya?
Gambar M1.1: Diagram Hubungan Kata
“Gagal” dengan Kata Lain yang Berelasi
(Sumber: http://www.artikata.com/arti-327565-
gagal.html, telah diolah kembali)