Dokumen tersebut membahas penataan kewenangan dan kelembagaan pemerintah daerah di wilayah Kalimantan. Dokumen ini menjelaskan latar belakang perlunya penataan kewenangan dan kelembagaan daerah pasca desentralisasi, kerangka teori penataan kewenangan dan kelembagaan, arah kebijakan penataan menurut UU No. 32/2004, serta analisis persepsi pejabat daerah mengenai kriteria penataan kewenangan dan kele
3. PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH
DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
96 halaman + xi, 2005
Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN 979-99635-3-2
1. Kewenangan dan Kelembagaan Pemda 2. Manajemen Pemerintah Daerah
Tim Peneliti :
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA (Peneliti Utama)
Drs.M. Noor, M.Si (Peneliti)
Ma'mun, SE.,M.Si (Peneliti)
Aryono Mulyono, BBA (Pembantu Peneliti)
Baharudin, S.Sos.,M.Pd (Pembantu Peneliti)
Sekterariat:
Gugum Gumelar, SH
Siti Zakiyah, S.Si.
Royani, A.Md.
Editor :
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA Said Fadhil, SIP
Siti Zakiyah, S.Si. Windra Mariani, SH
Royani, A.Md.
Diterbitkan Oleh:
Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III (PKP2A III)
LAN Samarinda
UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 19 TAHUN 2002
Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,-
(limamiliarrupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 500.000.000,- (limaratusjutarupiah).
4. KATA PENGANTAR
Aspek kewenangan pemerintah secara filosofis dapat
dikatakan sebagai esensi dari kebijakan otonomi daerab. Sebab,
kewenangan itulah yang didesentralisasikan kepada daerah; atau,
kewenangan itulah yang menimbulkan otonomi bagi daerah.
Sementara disisi lain, aspek kelembagaan juga merupakan elemen
kunci dari otonomi, karena kelembagaan itulah yang akan
mengimplementasikan kewenangan otonom, sekaligus menjamin
berhasil tidaknya kebijakan desentralisasi secara keseluruhan. Dengan
demikian, kedua aspek ini ibarat dua sisi dari satu koin yang sama,
yang perlu dikaji secara simultan agar menghasilkan dampak positif
yang dicita-citakan secarasinergis.
Sayangnya, penataan kedua aspek ini belum pernah matang
semenjak "revolusi otonomi 1999" atau yang lebih dikenal dengan big
bang decentralization. Hingga tahun ke-6 perjalanan reformasi, daerah
masih disibukkan oleh upaya mencari konsep dan format terbaik atas
kewenangan dan kelembagaannya. Situasi ini diperparah oleh sering
berubahnya aturan dasar atau pedoman dalam penataan organisasi
perangkat daerah, dari PP No. 84/2000 berubah menjadi PP No.
8/2003, danrencanaditetapkannya PP pengganti Tahun2005/2006.
Perubahan aturan yang terlalu sering tadi mengindikasikan
bahwa substansi kebijakan yang dikandung tidak cukup matang, dan
oleh karenanya, tidak memiliki daya tahan (endurance) dan umur
(lifetime) yang cukup untuk menghadapi dinamika lingkungan
strategis pemerintahan daerah. Akibatnya, selain menghabiskan biaya
dan energi, pergantian kebijakan tadi juga berpotensi melahirkan
kebingungan di kalangan pemerintah daerah dalam menyusun dan
mendesain kewenangan dan kelembagaan di daerahnya masing-
masing.
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
Ii
5. Itulah sebabnya, penetapan RPP pengganti PP No. 8/2003
mestilah dilakukan secara cermat, hati-hati, dan komprehensif, dengan
memperhatikan berbagai kondisi, potensi, kebutuhan, dan
karakteristik daerah, sehingga dapat dihindari terjadinya perubahan
kebijakan yang terlalu drastis. Kalaupun suatu perubahan harus terjadi
sebagai respon wajar terhadap perubahan lingkungan strategis,
perubahan tadi hendaknya dilakukan secara gradual atau incremental,
sehingga tidak mengganggu jalannya otonomidaerah.
Dalam rangka turut mencari solusi terhadap upaya
membangun sosok organisasi pemerintah daerah yang efektif, efisien,
rasional dan operasional inilah, kajian ini dilakukan. Penelitian
difokuskan pada upaya mencari keseimbangan (equilibrium) antara
aspirasi lokal dengan arah kebijakan nasional. Tim peneliti berharap
kiranya kajian ini dapat memberikan sedikit sumbang saran bagi
proses penataan kewenangan dan kelembagaan daerah yang tengah
berjalan dewasa ini. Dalam hal ini, tim peneliti menyadari sepenuhnya
bahwa tidak semua aspek dapat tercover dengan memuaskan dalam
kajian ini. Selain itu, aspek-aspek yang dikajipun tak luput dari
kekurangan disana-sini. Untuk itu, tim peneliti sangat mengharapkan
masukan, saran dan kritik yang membangun dari seluruh pihak yang
terkait dengan kebijakan dan proses penataan kewenangan dan
kelembagaan daerahini.
Akhir kata, tim peneliti berharap hasil kajian ini dapat
membawa manfaat dan menjadi salah satu rujukan dalam pembenahan
manajemenpemerintahan daerahdieraotonomiseluas-luasnya.
Samarinda, Desember 2005
Tim Peneliti
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
Iii
6. DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………….. i
Daftar Isi ………………………………………………………………. iii
Daftar Tabel …………………………………………………………... v
Daftar Gambar ……………………………………………………….. vi
Ringkasan Eksekutif / Executive Summary ……………………... vii
Bab I Pendahuluan ………………………………………………. 1
A. Latar Belakang ………………………………………….. 1
B. Perumusan Masalah …………………………………… 2
C. Kerangka Pikir …………………………………………. 3
D. Ruang Lingkup ………………………………………… 10
E. Tujuan dan Kegunaan …………………………………. 11
F. Target/Hasil yang Diharapkan ………………………. 12
G. Status dan Jangka Waktu ……………………………... 12
Bab II Kerangka Teori Penataan Kewenangan dan
Kelembagaan Daerah ………………………………........... 13
A. Konsep Urusan dan Kewenangan ………………........ 13
B. Prinsip-Prinsip Penataan Kewenangan dan
Kelembagaan .................................................................... 20
C. Kerangka Pikir Penataan dan Restrukturisasi
Organisasi …..................................................................... 31
D. Strategi Penataan dan Restrukturisasi Organisasi ….. 34
E. Hambatan/Kendala Penataan Kewenangan dan
Kelembagaan …………………………………………… 39
Bab III Arah Kebijakan Penataan Kewenangan dan
Kelembagaan Daerah .…………………………................. 44
A. Pengaturan Aspek Kewenangan Dalam UU
No. 32/2004 dan Implikasinya ……………………….. 44
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
Iiii
7. B. Arah Kebijakan Penataan Kewenangan …………….. 50
C. Pengaturan Aspek Kelembagaan Dalam UU
No. 32/2004 dan Implikasinya …………………..........
D. Arah Kebijakan Penataan Kelembagaan …………...... 61
Bab IV Analisis Penataan Kewenangan dan Kelembagaan
Daerah di Wilayah Kalimantan …………………………. 69
A. Persepsi Responden Tentang Kriteria Urusan …… 69
B. Persepsi Responden Tentang Kategorisasi
Kewenangan/ Urusan ………………………………… 74
C. Persepsi Responden Tentang Kriteria
Penyusunan Kelembagaan …………………………..... 79
D. Persepsi Responden Tentang Jenis Kelembagaan
yang Cocok Untuk Mewadahi Urusan
Pemerintahan Tertentu .….............................................. 82
E. Persepsi Responden Tentang Eselonering Jabatan … 88
F. Persepsi Responden Tentang Besaran
Kelembagaan ……............................................................ 90
Bab V Penutup ……………………………………………….......... 93
B. Rekomendasi Kebijakan…………………….................. 94
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 96
LAMPIRAN
Lampiran 1 SK Tim Pengelola Kajian
Lampiran 2 Instrumen Penelitian
Lampiran 3 Struktur Organisasi (masing-masing Daerah)
A. Kesimpulan………………………………………….….. 93
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
Iiv
55
8. PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Private Goods, Public Goods and Mixed Goods ............ 5
Tabel 1.2. Daerah Sampel/Tujuan Kajian …………………..... 11
Tabel 3.1. Rumus Perhitungan Tipologi Daerah Propinsi …. 67
Tabel 3.2. Rumus Perhitungan Tipologi
Daerah Kabupaten ..................................................... 67
Tabel 3.3. Rumus Perhitungan Tipologi Daerah Kota ……… 68
Tabel 4.1. Distribusi Jawaban Responden Tentang
Kategori/Sifat Urusan ………………....................... 76
Tabel 4.2. Kategorisasi Urusan Pemerintahan Berdasarkan
Kebutuhan Daerah (Menurut Versi Bagian
Organisasi dan Bagian Pemerintahan) ………........ 77
Tabel 4.3. Distribusi Jawaban Responden Tentang Jenis
Kelembagaan Untuk Mewadahi Urusan
Pemerintahan Tertentu …………………………….. 84
Tabel 4.4. Bentuk/Jenis Perangkat Daerah Dalam Rangka
Menjalankan Urusan Pemerintahan
(Menurut Persepsi Bagian Organisasi dan
Bagian Pemerintahan) ……………............................ 85
Tabel 4.5. Persepsi Responden Tentang Peningkatan
Eselonisasi Bagi Jabatan Tertentu ……………........ 88
Tabel 4.6. Persepsi Responden Tentang Jabatan Yang
Memerlukan Peningkatan Eselonisasi ………….... 89
Tabel 4.7. Persepsi Responden Tentang Jumlah Unit
Kerja Ideal pada Perangkat Daerah …………….. 92
9. PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
Ivi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Pola Pikir Penataan Kewenangan Pemerintah
Propinsi dan Kabupaten/Kota ................................ 8
Gambar 3.1. Struktur Kewenangan Menurut UU No 22/1999
dan UU No 32/2004 ……………………………… 49
10. PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
ivii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Semenjak runtuhnya Orde baru, kebijakan desentralisasi di
Indonesia berjalan sangat cepat dan penuh kejutan. Tuntutan reformasi
total pasca tumbangnya rezim Soeharto telah melahirkan UU No. 22
Tahun 1999 yang dinilai sebagai kebijakan desentralisasi paling berani
di negara berkembang (the most daring decentralization policy in
developing countries). Namun kurang dari 4 tahun sejak berlakunya UU
No. 22 Tahun 1999 secara efektif, UU ini harus "mati muda" dan
digantikan olehUUNo.32Tahun2004.
Pertimbangan atau dasar pemikiran untuk melakukan
penggantian ini adalah bahwa setelah pelaksanaan UU tersebut selama
empat tahun, terjadi banyak perubahan strategis pada tataran makro
politik Indonesia, misalnya tentang amendemen UUD 1945. Dalam
amendemen terakhir, disepakati untuk merombak rumusan mengenai
desentralisasi. Selain itu, di lembaga MPR tidak dikenal lagi utusan
daerah, melainkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lalu, dengan
adanya amendemen, presiden dipilih langsung oleh rakyat, bukan
MPR lagi. Dan, amendemen juga mengisyaratkan kepala daerah dipilih
secarademokratis(Pilkada Langsung).
Berbagai perubahan mendasar tadi tentu saja membawa
konsekuensi yang mendasar pula, termasuk dalam hal perlunya
penataan kewenangan dan kelembagaan daerah. Dalam aspek
kewenangan daerah, peraturan perundang-undangan tentang
kewenangan seperti PP No. 25/2000 dan Kepmendagri No. 130-
67/2002, jelas perlu dilakukan penyesuaian. Sementara dalam aspek
kelembagaan, PP No. 8/2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat
Daerah telah pula disiapkan naskah penggantinya. Perubahan pada
tataran kebijakan ini pada gilirannya membutuhkan langkah
penyesuaian padatataran operasional.
11. PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
iviii
Berdasarkan pemikiran diatas, maka kajian ini mencoba
mengidentifikasi kriteria dan indikator-indikator dalam penataan
kewenangan dan kelembagaan daerah yang efektif dan efisien,
sekaligus menawarkan model-model alternatif penataan kewenangan
dan kelembagaan daerah berdasarkan UU No. 32/2004. Kegunaan
yang diharapkan muncul dari hasil kajian ini adalah adanya rujukan
kebijakan bagi pemerintah daerah di wilayah Kalimantan pada
khususnya dalam bidang penataan kewenangan dan kelembagaan.
Hasil kajian ini diharapkan dapat memadukan antara pendekatan
teoretis konseptual dengan pendekatan empiris pragmatis, sehingga
dapat memudahkan pemerintah daerah untuk menyesuaikan atau
mendesain ulang format kewenangan dan kelembagaan di daerahnya
masing-masing.
Dari hasil penelitian ditemukan beberapa fenomena yang
terkait dengan dimensi-dimensi penataan kewenangan dan
kelembagaan, sebagai berikut:
1. Kriteria-kriteria yang perlu digunakan dalam penataan
kewenangan daerah meliputi kriteria akuntabilitas, efisiensi,
eksternalitas, nilai strategis, serta fisik atau geografis. Sedangkan
kriteria-kriteria yang perlu digunakan dalam penataan
kelembagaan daerah adalah faktor kewenangan, nilai strategis
kewenangan, beban tugas, fungsi pemerintahan, teknologi, kualitas
SDM,sertafaktor tingkat kemitraan.
2. Terdapat perbedaan persepsi dan orientasi/proyeksi diantara para
pejabat daerah tentang arah penataan kewenangan/urusan
pemerintah daerah. hal ini, untuk urusan-urusan pemerintahan
tertentu (kesehatan, pendidikan, pekerjaan umum), di antara
responden terdapat kesamaan persepsi dengan mengklasifikasikan
urusan-urusan tadi sebagai urusan wajib. Selain itu, untuk urusan
lainnya seperti perencanaan, perhubungan, lingkungan hidup,
12. PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
Iix
perekonomian, serta ketenteraman/ketertiban umum, mayoritas
responden juga memandang sebagai urusan wajib. Namun untuk
urusan-urusan lainnya (sosial, pertanian/peternakan,
p e r i k a n a n / k e l a u t a n , p e r t a m b a n g a n / e n e r g i ,
kehutanan/perkebunan, perindustrian/perdagangan,
kebudayaan/ pariwisata, kesbang linmas, pemuda/olahraga, dan
sebagainya), persepsi responden terpecah-pecah yang
menggambarkan adanya visi dan orientasi yang berbeda-beda. Hal
ini menggambarkan bahwa urusan sektoral tidak selamanya harus
dijalankan oleh suatu daerah jika memang daerah tersebut tidak
memilikipotensipadasektor yang bersangkutan.
3. Dalam penataan kelembagaan daerahpun terdapat perbedaan
persepsi dan orientasi/proyeksi yang sangat beragam diantara para
pejabat daerah. Untuk urusan bidang perencanaan, seluruh
responden sepakat harus diwadahi dalam bentuk Badan. Demikian
pula untuk urusan bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum,
pertanian/peternakan, serta perindustrian/perdagangan, seluruh
responden sepakat untuk mewadahi dalam bentuk Dinas. Namun
untuk urusan lainnya, persepsi responden sangat bervariasi.
mengisyaratkan bahwa secara umum masih terlihat adanya
kebingungan diantara para responden tentang penetapan bentuk
suatu perangkat daerah tertentu. Sebagai contoh, responden
berpendapat bahwa bentuk kelembagaan yang cocok untuk
menjalankan urusan bidang Keluarga Berencana adalah Dinas,
Badan, Kantor, dan Satuan. Kebingungan ini biasanya terjadi untuk
urusan-urusan yang tergolong sebagai urusan "kepemerintahan
umum" yang semula menjadi urusan pemerintah Pusat.
Kebingungan ini diperparah karena tidak adanya pedoman yang
jelas dari pemerintah Pusat tentang kriteria dan syarat-syarat
pembentukan Dinas, Badan, Kantor, Satuan, dan lain-lain, serta
keterkaitan antara urusan pemerintahan dengan bentuk / jenis
perangkat daerah.
13. PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
Ix
4. Dalam hal eselonisasi jabatan, mayoritas responden menginginkan
adanya peningkatan eselonisasi bagi jabatan-jabatan tertentu,
namun tidak ada satupun yang mengusulkan dan/atau menyetujui
ide penurunan eselon untuk jabatan tertentu. Meskipun demikian,
ada juga sedikit responden yang memberikan jawaban bahwa
sistem eselonisasi jabatan yang ada saat ini sudah tepat dan tidak
memerlukan perubahan (peningkatan maupun penurunan eselon).
Persepsi dan/atau aspirasi daerah tentang eselonisasi jabatan tadi
disatu sisi sudah sejalan dengan konsep perubahan PP No. 8 Tahun
2003, namundisisilain adajuga yang berbenturan.
5. Mengenai besaran organisasi, meskipun secara umum masih
terdapat kecenderungan (atau paling tidak harapan) daerah untuk
membentuk kelembagaan yang besar, namun harus diakui bahwa
daerah telah memikirkan upaya untuk melakukan efisiensi dan
perampingan kelembagaan. Dilihat dari daerah yang diteliti, maka
nampak bahwa Kota Samarinda merupakan daerah yang paling
berambisi untuk membentuk kelembagaan dengan pola maksimal,
disusul oleh Kabupaten Barito Kuala, Kota Palangkaraya, dan
Kabupaten Sanggau. Kota Banjarmasin adalah daerah yang
mempersepsikan bahwa besaran perangkat daerah hendaknya
menggunakan polayang ramping.
Dari berbagai temuan diatas dapat diajukan beberapa
rekomendasi atau saran yang mungkin dapat dipergunakan dalam
proses penataan kewenangan dan kelembagaan di masa yang akan
datang.
Pertama, mekanisme bottom-up atau penjaringan masalah dan
aspirasi dari bawah hendaknya benar-benar diperhatikan dalam
menentukan substansi kebijakan tertentu di bidang kewenangan dan
kelembagaan. Hal ini terutama untuk menghindari adanya
kesenjangan antara ketentuan normatif dengan kebutuhan empiris,
14. PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
ixi
atau kesenjangan antara formulasi kebijakan dengan kemampuan
implementasi di lapangan (implementation failure). Mekanisme bottom-
up ini selanjutnya perlu diimbangi dengan upaya sosialisasi secara
berjenjang untuk menghindari adanya penolakan dari bawah atau
kesalahan dalampelaksanaan.
Kedua, untuk menghindari kebingungan dan disorientasi aparat
daerah dalam penataan kewenangan dan kelembagaan, serta
pemborosan sumber daya daerah, maka perlu kiranya disusun
variabel, indikator, dan/atau kriteria-kriteria yang relatif baku atau
permanen, sehingga perubahan format kewenangan dan kelembagaan
tidak harus dilakukan secara total, namun cukup secara gradual atau
inkremental.
Ketiga, pemerintah Pusat hendaknya menghentikan kebiasaan
"bongkar pasang" kebijakan atau menjadikan daerah sebagai ajang
eksperimen kebijakan. Disamping merupakan inefisiensi nasional, hal
tersebut juga mencerminkan keengganan pemerintah untuk sepenuh
hati memberikan otonomi kepada daerah. Yang diperlukan justru
mengembalikan semangat dan esensi otonomi kepada domain-nya,
yakni kesatuan masyarakat hukum daerah. Pada sisi lain, daerah
hendaknya juga benar-benar memperhatikan pertimbangan efisiensi
dan efektivitas dalam penataan kewenangan dan kelembagaan, dan
tidak semata-mata berorientasi pada penempatan personil,
penggalangan potensi penerimaan secara berlebihan, atau upaya
menyedot dana perimbangan. Yang dibutuhkan justru komitmen dan
program nyata pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan
publik yang lebih berkualitas serta upaya mensejahtrerakan
masyarakat didaerahnya.
15. BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Kebijakan desentralisasi di Indonesia nampaknya terpaksa
harus "mati muda". Alasannya, UU 22/1999 yang belum genap berusia
4 (empat) tahun secara efektif dan belum diimplementasikan secara
penuh (ctt: UU ini berlaku efektif per 1 Januari 2001), ternyata sudah
harus diubah dengan UU 32/2004. Selain itu, ide awal untuk merevisi
beberapa bagian saja dari UU 22/1999, ternyata menjadi perubahan
total terhadap seluruh aspek pemerintahan daerah. Sebagaimana
diketahui bersama, pada tanggal 29 September 2004 DPR telah
menyetujui UU tentang Pemerintahan Daerah yang baru, sebagai
pengganti dariUUNo.22/1999.
Pertimbangan atau dasar pemikiran untuk melakukan
penggantian ini adalah bahwa setelah pelaksanaan UU tersebut selama
empat tahun, terjadi banyak perubahan strategis pada tataran makro
politik Indonesia, misalnya tentang amendemen UUD 1945. Dalam
amendemen terakhir, disepakati untuk merombak rumusan mengenai
desentralisasi. Selain itu, di lembaga MPR tidak dikenal lagi utusan
daerah, melainkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lalu, dengan
adanya amendemen, presiden dipilih langsung oleh rakyat, bukan
MPR lagi. Dan, amendemen juga mengisyaratkan kepala daerah dipilih
secarademokratis.
Secara bersamaan, lahir UU Nomor 22/2003 tentang Susunan,
Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang mengatur
bahwa DPRD tidak berwenang untuk memilih kepala daerah lagi. Ini
berarti bahwa kepala daerah harus dipilih secara demokratis melalui
pemilihan langsung. Rumusan itu berkonsekuensi pada perlunya
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
1
16. revisi/perubahan UU 22/1999, karena di UU itu masih menyatakan
kepala daerah dipilih oleh DPRD. Selain itu, ada perubahan prinsip
dalam pelaksanaan pemerintahan daerah menjadi asas otonomi dan
pembantuan, sementara dalam UU 22/1999 rumusan asas
pemerintahan daerah adalah dekonsentrasi, desentralisasi, dan asas
pembantuan.
Berbagai perubahan mendasar tadi tentu saja membawa
konsekuensi yang mendasar pula, termasuk dalam hal perlunya
penataan kewenangan dan kelembagaan daerah. Dalam aspek
kewenangan daerah, peraturan perundang-undangan tentang
kewenangan seperti PP No. 25/2000 dan Kepmendagri No. 130-
67/2002, jelas perlu dilakukan penyesuaian. Sementara dalam aspek
kelembagaan, PP No. 8/2003 tentang Pedoman Kelembagaan
Perangkat Daerah sangat mungkin akan segera diganti pula seiring
dengan lahirnya UU Pemerintahan Daerah yang baru. Dalam rangka
mengantisipasi berbagai perubahan dan perlunya penyesuaian
kebijakan di tingkat daerah itulah, maka dipandang perlu untuk
melakukan kajian yang komprehensif tentang aspek kewenangan dan
kelembagaan ini, sehingga dapat dirumuskan konsep awal yang cukup
matang tentang arah penataan kewenangan dan kelembagaan
pemerintah daerah berdasarkan UU No. 32/2004 beserta peraturan
pelaksananya (dalam hal ini RPP tentang Pedoman Kelembagaan
Perangkat Daerah danRPPPembagian UrusanPemerintahan).
B. PerumusanMasalah
Dari berbagai fenomena yang dipaparkan pada latar belakang
diatas, maka dapat dirumuskan adanya 2 (dua) permasalahan utama,
yakni:
1. Adanya perubahan kebijakan tentang Pemerintahan Daerah yang
berimplikasi pada perubahan arah dan kebutuhan terhadap
penataan aspek kewenangan dan kelembagaan daerah. Adanya
perubahan ini berpotensi menimbulkan kemungkinan perbedaan
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
2
17. penafsiran, kebingungan dalam menyikapi kebijakan yang baru,
serta ketidakseragaman dalam pengaturan aspek kewenangan dan
kelembagaan ditingkat daerah.
2. Bahwa UU Pemerintahan Daerah yang baru belum memberi aturan
dan pedoman yang lengkap, jelas, dan operasional tentang berbagai
variabel yang harus diperhatikan dalam proses penataan
kewenangan dan kelembagaan di daerah. Dengan demikian, kajian
ini diharapkan tidak saja bermanfaat untuk membantu daerah
dalam perumusan peraturan daerah di kedua bidang tadi, namun
juga sekaligus menjadi masukan bagi pemerintah Pusat dalam
merumuskanprodukhukum sebagai pelaksanaan UUNo.32/2004.
C. KerangkaPikir
Penataan kewenangan dan kelembagaan Pemerintah daerah
baik Propinsi dan kabupaten/Kota merupakan konsekuensi logis dari
perubahan kebijakan otonomi daerah dengan diterbitkannya UU 32
tahun 2004. Penataan kewenangan dan penataan kelembagaan
merupakan rangkaian kegiatan yang berlanjut yakni penataan dimulai
dengan penataan kewenangan yang kemudian dilanjutkan dengan
penataan kelembagaan.
Kewenangan dalam Birokrasi (Pemerintahan) merupakan
unsur utama yang menentukan jalannya pemerintahan. Tanpa
kejelasan kewenangan yang dimiliki maka akan menimbulkan
ketidakjelasan pertanggungjawaban, ketidakjelasanan apa yang harus
dan tidak boleh dilakukan dan tentu saja akan menimbulkan
ketidakjelasan kearah mana pemerintahan akan dijalankan. Begitu
pentingnya kewenangan dalam pemerintahan maka tak heran dalam
UU tentang Pemerintahan Daerah (baik UU 22 Tahun 1999 dan UU 32
Tahun 2004 maupun UU sebelumnya), Kewenangan selalu menjadi
aspek pertama yang diatur. Pembagian kewenangan atau penataan
kewenangan dapat dilakukan dengan melakukan langkah-langkah
sebagai berikut:
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
3
18. 1. Langkah pertama: Melakukan analisis terhadap kewenangan.
Hakikat kewenangan yang dilimpahkan kepada daerah otonom
(suatu kesatuan masyarakat) bukan kepada Pemerintah Daerah.
Dengan demikian kewenangan yang dilimpahkan kepada daerah
otonom dapat dilakukan oleh Sektor Publik (Pemerintahan), Sektor
Swasta dan Masyarakat Daerah. Didasarkan pada pemahaman
tersebut maka kewenangan daerah perlu dipilah sebagai berikut:
* Kewenangan murniPemerintah
* Kewenangan murniSwastaatau Masyarakat dan
* Kewenangan semiPemerintah danSwasta/masyrakat
Pembagian kewenangan tersebut dapat menggunakan pola
pikir tentang pembagian barang publik dan barang privat, Ostrom
dan Ostrom (Watt, 1996 ; 6) mengelompokkan barang dan jasa
layanan menjadi 4 (empat) kelompok. Keempat jenis barang tersebut
adalahsebagai berikut:
Pertama, barang yang digunakan untuk memenuhi
kepentingan individuatau barang privat (private goods).
Kedua adalah barang yang digunakan atau dikonsumsi
bersama-sama dengan persyaratan apabila akan menggunakan
barang tersebut harus membayar atau ada biaya penggunaannya
barang ini disebut tollgoods.
Ketiga adalah barang yang digunakan/dikonsumsi secara
bersama atau kolektif dan penyediaannya tidak dapat dilakukan
dengan melalui pasar, karena barang ini digunakan secara terus
menerus dan secara bersama-sama serta sulit diukur besarnya
penggunaan barang ini untuk setiap individu. Barang ini disebut
dengan publicgoods.
Keempat adalah common pool goods, jenis barang ini mempunyai
karakteristik bahwa yang menggunakan barang ini tidak ada
yang mau membayar, biasanya digunakan/dikonsumsi secara
bersama-sama dan kepemilikan barang ini adalah oleh umum, tidak
ada orang yang mau menyediakan barang ini. Oleh sebab itu
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
4
19. pemerintah melakukan pengaturan terhadap penggunaan barang
ini. Secaratabel digambarkan sebagai berikut:
Tabel 1.1
Private Goods, Public Goods and Mixed Goods
Non Rivalry Rivalry
Non Excludable Public Goods Common Pool Goods
Excludable Toll Goods Private Goods
Sumber:Watt, 1996: 6
Dari keempat jenis barang tersebut sangat sulit
membedakan atau memisahkan masing-masing jenis secara tegas,
karena setiap barang tidak murni menjadi salah satu jenis barang
yang ada. Setiap barang mempunyai kecenderungan karakteristik
barang yang satu dengan barang yang lainnya. Namun demikian
dari keempat jenis barang tersebut pemerintah biasanya
menyediakan sebagian barang public goods dan collective goods dan
mengadakan pengaturan barang common poll goods. Didasarkan
pada konsepsi tersebut maka terdapat jenis kewenangan-
kewenangan sebagai berikut:
* Kewenangan pengaturan (steering) yang diselenggarakan oleh
pemerintah secara mandiri dan secara monopolistik (baik oleh
Pemerintah pusatmaupundaerah).
* Kewenangan pelaksanaan pembangunan dan pelayanan (rowing)
yang diselenggarakan sepenuhnya atau secara mandiri dan
* Kewenangan yang diselenggarakan secara kerjasama antara
pemerintah dan sektor swasta atau masyarakat. Kewenangan
semacam ini adalah kewenangan yang lebih banyak dalam hal
pelaksanaan kegiatan (pembangunan dan pelayanan). Dalam hal
pembiayaan pun perlu ada pembedaan, mana yang seyogyanya
dibiayai oleh Pemerintah walaupun pelaksanaannya dilakukan
secaramonopolistikolehPemerintah;
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
5
20. sektor swasta atau masyarakat dan mana yang menjadi beban
Dengan pemilahan tersebut penyelenggaraan kewenangan
tidak seharusnya dimonopoli (diatur dan diselenggarakan) oleh
pemerintahan, namun demikian dalam kondisi dewasa ini dimana
sektor swasta dan masyarakat yang relatif belum berdaya maka
peran pemerintah di negara berkembang seperti di Indonesia, peran
pemerintah masihsangat dibutuhkan.
2. Langkah kedua: Menentukan Kriteria serta Indikator yang
digunakan untuk menentukan pembagian kewenangan. Dalam UU
32 tahun 2004 dalam membahas Urusan atau Pembagian
Kewenangan menggunakan 2pendekatan yaitu:
* Pendekatan pemisahan kekuasaan, UU menetapkan 6 urusan
yang menjadi kewenangan pemerintah pusat yaitu: 1) Politik luar
Negeri 2) Pertahanan 3) Keamanan 4) Yustisi 5) Moneter dan
Fiskal Nasional 6) Agama. Dengan pendekatan ini melahirkan
adanya monopoli kewenangan atau urusan tertentu sehingga
tidak lagi dibutuhkan kriteria atau indikator dalam pembagian
kewenangan karena tidak adapembagian kewenangan.
* Pendekatan distribusi kewenangan/urusan yang melahirkan
urusan bersama yakni urusan yang pengelolaannya dilakukan
sebagian oleh pusat, sebagian propinsi dan sebagian
Kabupaten/Kota. Untuk mewujudkan pembagian urusan yang
concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Propinsi dan
1) akuntabiltas yakni urusan ditangani oleh pemerintahan yang
lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan
tersebut, dengan demikian akuntabilitas dapat lebih terjamin.
2) Efisiensi yaitu mempertimbangkan tersedianya sumber daya
untuk mendapatkan kecepatan, ketepatan dan kepastian. 3)
Eksternalitas yaitu mempertimbangkan dampak yang
ditimbulkan dalampenyelenggaraan urusantersebut.
atau tanggungjawab masyarakat.
kabupaten /Kotamaka disusunlahkriteria yang meliputi:
atau tanggungjawab masyarakat.
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
6
21. Pendekatan pertama dapat memberikan kejelasan batasan
Pemerintah Daerah tidak memiliki kewenangan sama sekali.
Pendekatan kedua belum memberikan kejelasan kewenangan bagi
setiap tingkatan pemerintahan. Kewenangan-kewenangan apa
yang menjadi miliki Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan
Pemerintah Kabupaten atau Kota ditentukan oleh hasil analisis
pembagian kewenangan yang didasarkan kriteria akuntabilitas,
efisiensi dan eksternalitas. Namun demikian kriteria-kriteria
tersebut belum operasional, belum menentukan indikator-indikator
dari masing-masing kriteria tersebut. Disamping kriteria-kriteria
tersebut dapatpuladipertimbangkan kriteria lain yaitu:
* Derajat strategis atau nilai strategis dari kewenangan, Nilai
strategis daerah biasanya dituangkan dalam Visi dan Misi
Pemerintah Daerah. Dengan menentukan sektor-sektor tertentu
yang menjadi unggulan (core competency) maka kewenangannya
punperlu diperhatikan
* Fisik atau geografis dari objek kewenangan tersebut. Pada
dasarnya, setiap obyek kewenangan yang terletak atau berlokasi
di suatu daerah, maka pengelolaan obyek tersebut menjadi
kewenangan daerahyang bersangkutan.
* Mobilitas objek kewenangan. Objek kewenangan atau urusan
lintas kabupaten/Kota atau lintas propinsi.
* Teknologi, setiap kewenangan membutuhkan teknologi tertentu,
semakin tinggi dan kompleksnya teknologi yang digunakan
maka kewenangan tersebut diletakkan di pemerintahan tingkat
atasnya.
3. Langkah ketiga: Dengan kriteria-kriteria tersebut dapat
menentukan suatu urusan atau kewenangan sebaiknya
ditempatkan atau diletakkan dimana. Agar kewenangan/urusan
dapat berjalan dengan baik maka dibutuhkan langkah terakhir yaitu
menganalisis kemampuan daerah untuk menjalankan kewenangan
kewenangan yang menjadi milik sepenuhnya pemerintah pusat dan
memiliki mobilitas yang bersifat lintas batas (cross border) baik
kewenangan yang menjadi milik sepenuhnya pemerintah pusat dan
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
7
22. t e r s e b u t . K e w e n a n g a n d a p a t d i l a k s a n a k a n o l e h
untuk itu (khususnya dari aspek SDM, keuangan dan sarana
prasarana). Namun jika tidak memiliki kemampuan yang memadai,
maka pelaksanaan kewenangan tersebut dapat untuk sementara
ditangani Pemerintah atau Provinsi.
Secara skematis pola pikir penataan kewenangan adalah
sebagai berikut:
propinsi/kabupaten/kota jika memang memiliki kemampuan
Analisis urusan atau kewenangan yang ada
Kewenangan sebaiknya
dilimpahkan ke Swasta
atau masyarakat
Kewenangan yang
masih ditangani
Pemerintah
Swastanisasi
Analisis Pembagian Kewenangan
Pemerintah Propinsi Kabupaten/Kota
Analisis Kemampuan Penyelenggaraan
Kewenangan riil
Propinsi
Kewenangan riil
Kab/Kota
Error
Gambar 1.1
Pola Pikir Penataan Kewenangan Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota
propinsi/kabupaten/kota jika memang memiliki kemampuan
Dengan menggunakan langkah-langkah tersebut dapat
ditentukan kewenangan daerah. Adanya kejelasan kewenangan
daerahmaka prosespenataan kelembagaan daerahdapat dilakukan.
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
8
23. Dalam hal ini, aspek-aspek dalam penataan kelembagaan
Pemerintah Daerah pada dasarnya ada yang bersifat kualitatif yakni
sulit untuk dilakukan pengukuran dan atau perhitungan karena terkait
dengan nilai (value) yang sulit untuk diukur. Aspek kualitatif tersebut
yakni nilai strategis daerah, teknologi yang terkait dengan Visi dan Misi
suatu daerah. Disamping Aspek Kualitatif juga terdapat Aspek
Kuantitatif yakni aspek yang dapat dihitung dan diukur, aspek
tersebut yakni Potensi dan kebutuhan Daerah / masyarakat, Jumlah
SDM Aparatur, Aspek Keuangan, Aspek kewenangan. Walaupun
demikian terdapat pula aspek yang bersifat semi kualitatif dan
kuantitatif antara lain kualitas kewenangan, kualitas SDM. Aspek-
aspek baik yang bersifat kuantitatif, kualitatif maupun semi kualitatif
dan semi kuantitatif akan menentukan beban tugas atau beban
pekerjaan suatu kelembagaan Daerah. Untuk lengkapnya spek-aspek
tersebut adaalahsebagai berikut:
1. Menata kelembagaan daerah, diawali terlebih dahulu dengan
melakukan analisis terhadap kewenangan daerah seperti yang telah
dijelaskandiatas.
2. Aspek Sumber Daya Manusia. SDM yang memiliki kualifikasi baik
akan dapat mendorong perwujudan tujuan Kelembagaan secara
lebih efektivitas dan efisiensi. Dalam penataan kelembagaan SDM
secara individual maupun Manajemen SDM yang diterapkan akan
berpengaruh terhadap Kelembagaan yang dibentuk. SDM yang
berkualitas akan mengurangi besaran Kelembagaan yang akan
diterapkan begitu halnya dengan pola manajemen SDM yang
profesional, dimulai dari proses rekrutmen, pengembangan
pegawai samapai dengan berhenti (pensiun) akan berpegaruh
terhadapKelembagaan yang ada.
3. Penataan kelembagaan Pemerintah Daerah perlu juga
kemampuan dari daerah akan membiayai Kelembagaan yang
dihasilkannya. Semakin besar Kelembagaan yang dibuat semakin
besar dana yang harus dialokasikan untuk membiayai kelembagaan
/Kelembagaan tersebut.
memperhatikan aspek keuangan yakni mempertimbangkan
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
9
24. 4. Perkembangan teknologi sarana dan prasarana kerja begitu cepat,
pekerjaannya pun mengalami peningkatan. Salah satu sarana
informasi
5. Daerah memiliki potensi yang berbeda satu sama lain. Menyadari
akan perbedaan ini, maka penyusunan kelembagaannya
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dari daerah yang
bersangkutan. Untuk itu faktor-faktor kebutuhan atau potensi
daerahyang perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut:
* Luas Wilayah kerja atau besarnya objek kewenangan yang
ditangani
* JumlahPendudukyang mendapatkan Layanan
* PotensiPemerintah daerah
* Kebutuhan Masyarakat
* Kompleksitaspekerjaan yang dilakukan
* PotensiMasyarakat danswasta
6. Nilai strategis daerah juga harus menjadi pertimbangan pula dalam
menyusun kelembagaan daerah. Nilai strategis daerah mestinya
dituangkan dalam Visi dan Misi Pemerintah Daerah. Dengan
menentukan sektor-sektor tertentu yang menjadi unggulan (core
competency) maka kelembagaan yang menanganinya pun perlu
diperhatikan.
Dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut diharapkan
besaran Kelembagaan yang dihasilkan dalam penataan Kelembagaan
di daerah adalah Kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhan objektif
(right sizing).
D. Ruang Lingkup
Substansi kajian ini diarahkan pada 2 (dua) variabel pokok dari
sistem pemerintahan daerah yakni kewenangan atau urusan
pemerintahan sebagaimana diatur dalam Bab II Pasal 10-18, serta
sehingga proses penyelesaian pekerjaan dan kualitas hasil
pendukung Kelembagaan pemerintah daerah peneraapan teknologi
sehingga proses penyelesaian pekerjaan dan kualitas hasil
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
10
25. kelembagaan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 120-128 UU No.
32/2004. Sedangkan dari jangkauan wilayah, kajian ini akan mengkaji 4
(empat) Kabupaten dan 4 (empat) Kota yang tersebar di 4 (empat)
Propinsi di Kalimantan, ditambah dengan 1 (satu) pemerintahan
tingkat provinsi. Setiap Propinsi akan diwakili oleh 1 Kabupaten dan 1
Kota, yang penentuan sampelnya dilakukan secara random bertujuan
(purposive random sampling). Adapun daerah-daerah yang akan
diteliti adalahsebagai berikut:
Tabel 1.2
No. Wilayah Daerah Sampel
1 Kalimantan Timur Kota Samarinda
2 Kalimantan Barat Kab. Sanggau
3 Kalimantan Selatan Kota Banjarmasin
Kab. Barito Kuala
4 Kalimantan Tengah Kota Palangka Raya
E. TujuandanKegunaan
Kajian ini diharapkan dapat mencapai tujuan atau sasaran-
sasaranpenting sebagai berikut:
1. Teridentifikasikannya dimensi, kriteria dan indikator-indikator
dalam penataan kewenangan dan kelembagaan daerah yang efektif
danefisien.
2. Teridentifikasikannya arah kebijakan dan model-model alternatif
penataan kewenangan dan kelembagaan daerah berdasarkan UU
No.32/2004.
Adapun kegunaan yang diharapkan muncul dari hasil kajian
ini adalah adanya rujukan kebijakan bagi pemerintah daerah di
wilayah Kalimantan pada khususnya dalam bidang penataan
kewenangan dan kelembagaan. Hasil kajian ini diharapkan dapat
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
11
26. memadukan antara pendekatan teoretis konseptual dengan
pendekatan empiris pragmatis, sehingga dapat memudahkan
pemerintah daerah untuk menyesuaikan atau mendesain ulang format
kewenangan dan kelembagaan di daerahnya masing-masing. Dengan
kata lain, dengan teridentifikasikan dan terumuskannya sasaran diatas
secara jelas, maka hasil kajian ini diharapkan dapat dimanfaatkan
secara optimal untuk mendorong upaya membangun pemerintahan
daerahyang efektif danefisien.
F. Target /Hasilyang Diharapkan
Hasil akhir yang ingin dicapai dari kajian ini adalah
tersusunnya sebuah laporan tentang permasalahan, kondisi dan arah
penataan kewenangan dan kelembagaan daerah, khususnya di
wilayah Kalimantan. Disamping itu, laporan hasil kajian ini berisi pula
tentang rekomendasi kebijakan tentang aspek-aspek penataan
kewenangan dan kelembagaan daerah, serta langkah-langkah atau
tahapan yang diperlukan.
G. StatusdanJangka Waktu
Kajian ini merupakan program baru yang dilaksanakan untuk
wilayah Kalimantan. Secara substantif, materi dan cakupan dalam
kajian ini juga sangat aktual karena merupakan antisipasi terhadap
lahirnya UU Pemerintahan Daerah yang baru, yakni UU No. 32/2004.
Adapun jangka waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kajian ini
adalah9 bulan, yakni periodeApril-Desember2005.
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
12
27. BAB II
KERANGKA TEORI PENATAAN KEWENANGAN DAN
KELEMBAGAAN DAERAH
A. KonsepUrusandanKewenangan
Otonomi Daerah dalam perspektif administrasi negara
dipahami sebagai suatu strategi untuk meningkatkan efisiensi dan
efektifitas dalam melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan.
Dengan kata lain Otonomi daerah merupakan usaha untuk melakukan
division of job, agar pekerjaan tidak terkonsentrasi pada satu atau
beberapa unit pemerintahan. Dengan adanya otonomi daerah maka
tiap pemerintahan akan memiliki tugas dan fungsinya masing-masing.
Dalam negara kesatuan seperti Indonesia yang menganut prinsip
bahwa sumber kewenangan berada di tangan pemerintah nasional atau
pemerintah pusat,kemudiansebagian diserahkankepada daerah.
Tugas atau Fungsi yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah
menurut Inman & Rubenfeid (1998) bahwa terdapat tiga peranan atau
fungsi sektor publik yaitu: macro economic stabilization, income
redistribution dan resource alocation (in the case of market failure). Terhadap
ketiga peranan atau fungsi tersebut pemerintah pusat bertanggung
jawab atas macro economic stabilization dan income redistribution,
sedangkan sedangkan pemerintah daerah bertanggung jawab atas
resource allocation (Burki, Perry & Dillinger, 1999). Sedangkan Abdul
Aziz dan David D. Arnold mengemukakan tugas pemerintahan daerah
(localgovernment tasks)(1996;14) adalahsebagai berikut:
1. Identify local problems and ascertain the felt needs and aspiration of the
people
2. Take an inventory of locally available manpower and natural resources and
assess the development potential of the sub regions in the light of the
availabilityofthese resources;
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
13
28. 3. Estimate the financial resources required to promote regional
development in view of the local problems identified and carry out the
inventory ofthe availableresources;
4. Set out a strategy of resource mobilization, both financial and
physical, and implement projects and programs that promote the
development ofthe sub region;
5. Decide on the location of project in different villages and hamlets,
andaccordingly allocatefinancialresources fortheir development;
6. Determine the implementation and monitoring procedure such that
there is no let-up in the implementation of projects and programs
takenup bythem; and
7. Evolve appropriate rules and regulations regarding the use of
community resources such as common property resources,
community assets like irrigation tanks, community buildings,
schools and hospitals, and take appropriate action in the case of
misuse ofthese resources.
Dengan dimilikinya tugas-tugas tersebut Pemerintah Daerah
membutuhkan akan adanya atau dimilikinya kewenangan untuk
melaksanakan urusan-urusan pemerintahan. Peristilahan urusan,
pada masa lalu banyak digunakan dalam pengaturan dan
penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya dalam konteks
membagi tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Undang-undang 22 Tahun 1999 menggunakan istilah kewenangan
sekarang saat ini dengan UU 32 Tahun 2004 kembali menggunakan
peristilahan urusan. kewenangan secara konseptual tidak bisa
disamakan dengan urusan. Kewenangan dapat diartikan sebagai hak
dan / atau kewajiban untuk menjalankan satu atau beberapa fungsi
manajemen (pengaturan, perencanaan, pengKelembagaanan,
pengurusan, pengawasan) atas suatu objek tertentu yang ditangani
oleh pemerintahan. Kewenangan lebih cocok dengan peristilahan
authority (Rondinelli, 1983), sedang Hans Antlof (1998) menggunakan
peristilahan power.
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
14
29. Sedangkan urusan dapat disamakan dengan peristilahan
bidang pemerintahan atau dalam terminologi lain diistilahkan
government tasks (Abdul Aziz and David D. Arnold, 1996: 14) atau pun
menggunakan istilah government functions (Peter A. Watt, 1996).
Dengan demikian penggunaan peristilahan tersebut secara
internasional pun tidak memiliki keseragaman antara satu negara
dengan negara lain ataupun antara satu ahli dengan yang lainnya.
Urusan dalam pengertian di sini diartikan sebagai suatu objek
atau bidang yang ditangani oleh suatu pemerintahan. Urusan dapat
dibagi kedalam sub urusan yang kadang-kadang juga bisa terbagi juga
kedalam sub sub urusan. Dalam pembagian urusan atau kewenangan
pemerintahan dalam suatu negara merupakan suatu hal bersifat samar,
sangatlah sulit mendefinisikan urusan nasional dan daerah tidak ada
suatu teori yang memberi batasan tentang urusan daerah dan urusan
nasional. Urusan bersifat dinamik yang akan mengalami perubahan
sesuai dengan perkembangan urusan. Penentuan urusan daerah dan
urusan nasional umumnya bersifat subjektif dengan
mempertimbangkan situasi dan kondisi sosial, budaya, politik dan
ekonomi.
Dinamika urusan ini menempatkan suatu urusan
pemerintahan akan mengalami pergeseran. Suatu urusan
pemerintahan pada suatu ketika masih kecil pada masa yang lain akan
mengalami pengembangan bahkan tidak tertutup kemungkinan akan
terjadi pergeseran yang mengelola kewenangan atau urusan tersebut,
yang tadinya dilakukan Pemerintahan Daerah tetapi karena menjadi
bersifat strategis nasional maka akan berubah menjadi kewenangan
pemerintah pusat. Begitu pula sebaliknya tidak tertutup kemungkinan
kewenangan yang tadinya bersifat strategis nasional maka
penanganannya oleh pemerintah pusat tetapi mengalami
pengembangan yang tidak lagi bersifat strategis nasional sehingga
dapat didesentralisasikanke Daerah.
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
15
30. Dalam menentukan suatu urusan menjadi kewenangan suatu
satuan pemerintahan, terlebih dahulu perlu difahami filosofis yang
mendasarinya yakni sumber atau kepemilikan asal kewenangan suatu
pemerintahan. Kepemilikan asal/sumber kewenangan pemerintahan
tercermin dari bentuk negara yang dianut, negara kesatuan (unitary
state) atau negara federasi(federalismstate).
Secara konseptual, terdapat pembedaan prinsip pembagian
kewenangan atau urusan antara negara kesatuan dan negara federasi,
walaupun pada pelaksanaan urusan atau kewenangan sulit untuk
membedakannya. Pada negara federasi kewenangan berasal dari
bawah atau dari daerah / negara-negara bagian yang bersepakat untuk
menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah federal,
biasanya secara eksplisit tercantum dalam konstitusi negara federasi
tersebut. Kewenangan pemerintah pusat dengan kata lain terbatas
limitatif dandaerahmemilikikewenangan luas(general competence).
Lain halnya pada negara kesatuan, kewenangan pada dasarnya
berada atau dimiliki oleh pemerintahan pusat yang kemudian
diserahkan kepada daerah. Penyerahan kewenangan di negara
kesatuan biasanya dibuat secara eksplisit (ultra vires), daerah memiliki
kewenangan terbatas atau limitatif. Namun dalam perkembangan
pemerintahan lebih lanjut tidak selamanya menggunakan pola seperti
tersebut. Di negara federal maupun di negara kesatuan pola ultra vires
dan general competence dapat digunakan, bahkan dewasa ini cenderung
pola ultra vires terdesak oleh pola general competence. Negara-negara
maju maupun berkembang banyak menggunakan atau merubah pola
ultra vires menjadipolageneral competence.
Indonesia adalah suatu negara kesatuan, yang sistem
pemerintahannya terdiri dari satuan pemerintahan pusat (pemerintah
pusat) dan satuan pemerintahan sub-nasional yaitu Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Kedaulatan yang melekat pada bangsa dan negara
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
16
31. indonesia tidak dibagi-bagi kepada satuan pemerintahan daerah
tersebut, dan oleh karena itu satuan pemerintahan daerah tidak
memiliki kekuasaan membentuk UUD dan UU, serta menyusun
Kelembagaan pemerintahannya sendiri. Keberadaan satuan
pemerintahan daerah adalah tergantung (dependent) dan dibawah
(subordinate) pemerintah. Hal tersebut menjadi prinsip dasar negara
kesatuan sebagai suatu kesatuan yang utuh tidak terpisah-pisah.
Senada dengan hal tersebut Hans Antlov (dalam Bhenyamin Hoessein ;
2000) mengemukakan tentang negara kesatuan yakni: The powers held by
local and regional have been received from above, and can be withdrawn
through new legislation, without any need for concent from the communes or
provinces concerned.
Pemerintahan Daerah dapat dipahami sebagai Kelembagaan
semi dependen. Pemerintah Daerah mempunyai beberapa kebebasan
untuk bertindak tanpa mengesampingkan pusat, tetapi statusnya tidak
dapat melakukan hubungan dengan negara luar. Wewenang
kekuasaan lokal dan eksistensinya menindaklanjuti suatu keputusan
dari keputusan nasional dan dikonsolidasikan. Itu sebabnya, dalam
konteks negara kesatuan, maka Pemerintah Daerah mempunyai
hubungan yang erat dengan pemerintah pusat, ia tidak berarti lepas
atau dengan kata lain, tanpa adanya koordinasi dengan pusat. Dengan
mengacu pada penjelasan tersebut di atas maka prinsip dasar
pembagian Kewenangan atau urusan pemerintahan pada negara
kesatuan adalahsebagai berikut:
1. Kewenangan atau urusan pada dasarnya milik pemerintah pusat,
daerah diberi hak dan kewajiban mengelola dan menyelenggarakan
sebagian kewenangan dan urusan pemerintahan yang dilimpahkan,
dengan kata lain terjadi proses penyerahan kewenangan atau
urusan.
2. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tetap memiliki garis
komando dan memiliki hubungan hirarkis Pemerintah Daerah
sebagai suatu subordinate Pemerintah Pusat namun hubungan yang
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
17
32. dilakukan tidak untuk mengintervensi / mendikte pemerintah
daerahdalamberbagai hal.
3. Kewenangan yang ditransfer ke Daerah, dalam kondisi tertentu
dimana daerah tidak mampu memberikan layanan yang baik
kepada masyarakat dalam melaksanakan kewenangan yang
dilimpahkan, dapat ditarik kembali ke pemerintah pusat sebagai
pemilik kewenangan tersebut.
Namun demikian di negara-negara berkembang, walaupun
daerah diberikan otonomi yang luas akan tetapi peran pemerintah
pusat masih sangat dibutuhkan untuk tetap mengontrol atau
mengendalikan pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat yang
dilaksanakan pemerintah daerah. Hal tersebut didasarkan pada
pertimbangan sebagai berikut: 1) in the management of the civil service
there are clear economic of scale in tasks such as training, personnel
management, wage negotiation and the like, 2) in many developing countries,
there are scarcities of skill, 3) the center often takes an interest in the size of the
civil service for budgetary reasons since it may end up paying the bill for a
bloated subnational civil service, 4) the civil service can be a powerful tool for
nation building and unity, and some central influence on the decentralization
civil service could therefore be desirable, especially in countries where national
unity is a concern (Bert Hofman ; 2000). Berdasarkan konsepsi tersebut
apapun model ultra vires ataupun general competence yang digunakan
keberadaan peran pemerintah pusat tetap dibutuhkan untuk
mengontrol dan mengendalikan pelaksanaan pelayanan kepada
masyarakat.
Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah
dapat didasarkan pada pola keterikatan dan keterkaitan pemerintah
pusat dan daerah. Didasarkan pada pendekatan tersebut, Kavanagh
(1985) yang mengemukakan adaduamacamyaitu:
1. Model pelaksana (agency model), dalam hubungan ini pemerintah
daerah diperlakukan sebagai pelaksana dari pemerintah pusat.
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
18
33. Kewenangan-kewenangan daerah sangat terbatas dan keberadaan
pemerintah daerah tergantung kepada pemerintah pusat.
Pemerintah pusat dapat membentuk atau menghapus pemerintah
daerahdankewenangan-kewenangannya.
2. Model kemitraan (partnership model), menurut model ini
pemerintahan daerah mempunyai kebebasan tertentu, Pemerintah
daerah juga mempunyai legitimasi sendiri, mempunyai otoritas
pembiayaan, penguasaan sumber-sumber dan kewenangan
tertentu di bidang perundangan-undangan. Pemerintahan daerah
dalam model ini tidak hanya sebagai pelaksana, tetapi sebagai mitra
yang dapat berunding untuk menciptakan keseimbangan
kekuasaan antara pusatdengan daerah
Sedangkan United Nations (1991) mengidentifikasi 4 pola dasar
yang terkait dengan interaksi antara fungsi pemerintahan adalah
sebagai berikut
1. Comprehensive local government system, sebagain besar pelayanan
pemerintahan beradapadapemerintah daerah.
2. Partnership system: beberapa layanan dilakukan oleh instansi
vertikal dansebagian lagi dilakukan olehpemerintah daerah
3. Dual system: pemerintah pusat menetapkan teknis pelayanan dan
pemerintah daerah mempunyai otoritas untuk memberikan layanan
danpembangunan daerah
4. Integrated administrative system, Pemerintah pusat secara langsung
mengatur eluruh teknis pelayanan, mengkoordinasikannya melalui
koordinator lapangan atau koordinator di setiap distrik dari
pemerintah pusat. Pemerintah daerah memiliki kontrol yang kecil
terhadapaktivitas diwilayahnya.
Sedangkan Dennis A. Rondinelli (1990) mengemukakan urusan
yang seyogyanya diselenggarakan secara sentralisasi adalah: Those
functions that are essential to the survival of a nation, services that benefit from
economies of scale and standardization in production, that depend on large
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
19
34. networks of facilities or a hierarchy of services, that can only be distributed
equitably by a government large and powerful enough to redistribute wealth in
the face of opposition, that create territorial spillover effect, or that depend on
massive capital investment, may be letter administrered by central
governments thanbydecentralized units.
Bhenyamin Hoessein mengemukakan urusan pemerintah yang
didesentralisasikan merupakan urusan pemerintahan yang bersifat
lokalitas senada dengan hal tersebut William Hampton (dalam
Bhenyamin Hoessein, 2001) mengemukakan: local authorities are elected
bodies and are expected to develop policies appropiate to their localities within
the frameworkofnationallegislation.
B. Prinsip-Prinsip Penataan Kewenangan dan Kelembagaan
Kewenangan/urusan dan kelembagaan merupakan dua aspek
yang paling dominan ketika kita membicarakan tentang Pemerintah
Daerah, namun demikian bukan berarti kita melupakan atau
menganggap tidak penting akan aspek-aspek Pemerintah Daerah.
Semua aspek dalam Pemerintahan merupakan hal yang penting, satu
aspek tidak berjalan dengan baik maka jalannya pemerintahan daerah
akan menghadapi permasalahan/kendala. Namun demikian
pembahasan kewenangan/urusan dan kelembagaan selalu menjadi
pangkal tolak dalammenatasuatupemerintahan.
Dalam penataan kewenangan/urusan dan kelembagaan
Pemerintah Daerah seyogyanya melihat dan mempertimbangkan
Pemerintahan Daerah secara holistik (menyeluruh) dalam artian
penataan kewenangan/urusan dan Kelembagaan hanyalah salah satu
aspek penataan Pemerintahan Daerah (local government reform).
Penataan kewenangan/urusan dan Kelembagaan tanpa dibarengi atau
ditindaklanjuti dengan penataan aspek yang lain seperti:
Kepegawaian, Keuangan dan sarana prasarana, tidak akan mampu
meningkatkan kualitas dan kapasitas Pemerintahan Daerah. Karena
aspek-aspek tersebut satu sama lain saling terkait, saling menunjang
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
20
35. dan saling bergantung satu sama lain. Penataan kewenangan/urusan
dan Kelembagaan ini seyogyanya dilanjutkan dengan penataan aspek
yang lain secara sistematis sehingga dalam kurun waktu tertentu
Pemda memiliki kewenangan/urusan yang jelas, kelembagaan yang
rasional, personil (kepegawaian) yang sesuai dengan kebutuhan
Kelembagaan dan didukungan keuangan serta sarana dan prasarana
yang memadai.
Penataan Kewenangan dan Kelembagaan Pemerintah Daerah
masihperlu dilakukan karena beberapa alasan:
1. Alasan Yuridis, artinya penataan kewenangan dan kelembagaan
Pemda dibutuhkan karena adanya kebijakan baru tentang Pemda
yang dituangkan dalam UU 32 Tahun 2004. Dengan adanya UU
tersebut membawa konsekuensi perubahan sistem pemerintahan di
Daerah yang cukup mendasar. Hubungan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemeritah Kabupaten/ Kota,
distribusi dan alokasi kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah
Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, mengalami pergeseran
dan perubahan jika dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya.
2. Alasan Empiris, kenyataan empiris dimana masyarakat yang sudah
jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya. Kebutuhan masyarakat
sudah jauh berkembang seiring dengan perkembangannya
kehidupan masyarakat dan perkembangan wilayah. Dengan
muncul kebutuhan baru dan berkembangnya kebutuhan yang telah
ada, pemerintah perlu memfasilitasi dan mengatur akan kebutuhan
tersebut. Begitu halnya dengan adanya perubahan dalam tatanan
politik nasional dan daerah, dengan terjadinya pergantian
kekuasaan mendorong terjadinya tuntutan perubahan berbagai
aspek kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Salah satu tuntutan
tersebut adalah adanya perubahan dalam birokrasi (reformasi
birokrasi), birokrasi yang selama ini sebagai alat kekuasaan untuk
melanggengkan kekuasaan. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
tumbuh subur dengan beraneka ragam modus operandinya dari
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
21
36. korupsi yang bersifat individual dalam artian untuk memperkaya
diri sendiri maupun yang bersifat kolektif atau lembaga yakni untuk
kepentingan orang banyak dalam suatu lembaga atau
Kelembagaan. Untuk itulah tuntutan reformasi didengungkan
untuk menghilangkan praktek penyelenggaraan seperti itu. Sejalan
dengan hal tersebut Perkembangan paradigma pemerintahan di
negara-negara maju dewasa ini telah meninggalkan konsep
pemerintahan/birokrasi tradisional. Tetapi mulai ingin
menerapkan konsep pemerintahan modern dimana birokrasi
menjadi lebih kreatif, inovatif, fleksibel, upaya untuk mewujudkan
hal tersebut maka lahirlah konsep Reinventing Government, Public
Sector Reform atau New Public Management (NPM). Didasarkan pada
alasan tersebut penataan kewenangan dan kelembagaan
Pemerintah Daerah masih dibutuhkan, bahkan penataan
kelembagaan khususnya merupakan prosesyang berkelanjutan
Kewenangan Pemerintahan menurut UU No. 32/2004 sesuai
dengan konsepsi desentralisasi tersebar di Pemerintah, Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Pembagian kewenangan kepada pemerintahan-
pemerintahan tersebut menggunakan 2pendekatan utamayaitu:
1. Pendekatan separation of power/authority (pemisahan
kewenangan yang jelas) dengan konsepsi ini melahirkan
Kewenangan absolut (monopolistik) yang diletakkan pada
Pemerintah Pusat yaitu kewenangan/Urusan Pertahanan dan
Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal Nasional, Politik Luar
Negeri danAgama
2. Pendekatan distribution of power/authority (pendistribusian
kewenangan dengan kriteria tertentu), dengan konsepsi tersebut
melahirkan urusan atau kewenangan concurrent (urusan bersama).
Pendekatan distribusi kewenangan dapat menggunakan
model/pola pendistribusian objek yakni urusan dipilah atau dirinci,
rincian tersebut didistribusikan atau menggunakan pola
pendistribusian fungsi, fungsi-fungsi manajemenlah yang
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
22
37. didistribusikan. Dalam praktek kedua-duanya digunakan yang
disesuaikandengan kondisidankebutuhan yang ada.
UU No. 32 Tahun 2004 dalam hal kewenangan daerah membagi
kedalam2(dua)kelompokyaitu:
1. Kewenangan atau urusan Wajib, Kewenangan wajib tidak hanya
dimiliki Kabupaten dan Kota seperti UU 22 Tahun 1999, tetapi juga
dimilikiPropinsi.
2. Kewenangan atau urusan pilihan (optional) yaitu urusan yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi dari daerah yang
bersangkutan.
Sampai dengan saat ini pengaturan lebih lanjut tentang
kewenangan Daerah yang diamanatkan UU 32 Tahun 2004 akan diatur
dengan Peraturan pemerintah sampai dengan saat ini belum keluar.
Desentralisasi yang dimaknai sebagai pelimpahan kewenangan dari
pemerintah pusat kepada Daerah otonom (suatu kesatuan masyarakat)
mengandung arti bahwa penyelenggaraan kewenangan yang
dilimpahkan tersebut dapat dilakukan oleh sektor publik
(Pemerintahan), sektor swasta dan masyarakat daerah. Dengan
demikian dalam penataan kewenangan perlu dilakukan analisis
terhadap kewenangan daerah. Penyelenggaraan kewenangan daerah
dapat dipilahmenjadibeberapa jenisyaitu:
1. Kewenangan yang perlu diselenggarakan sepenuhnya atau secara
mandiri oleh Pemerintah Daerah atau kewenangan yang
sepenuhnya dimonopoli oleh Pemerintah. Kewenangan-
kewenangan yang semacam ini adalah kewenangan yang lebih
banyak dalam hal pembuatan kebijakan-kebijakan untuk
pengaturan (steering);
2. Kewenangan yang perlu diselenggarakan secara kerjasaama antara
Pemda dengan sektor swasta atau masyarakat. Kewenangan
semacam ini adalah kewenangan yang lebih banyak dalam hal
pelaksanaan kegiatan (pembangunan danpelayanan).
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
23
38. 3. Kewenangan yang seyogyanya diserahkan kepada sektor swasta
atau masyarakat, pemerintah hanya membuat pengaturan atau
standar-standaruntuk menjagakualitas.
4. Kewenangan juga perlu dipilah, mana yang seyogyanya dibiayai
oleh Pemerintah walaupun pelaksanaannya dilakukan sektor
swasta atau masyarakat dan mana yang menjadi beban atau
tanggungjawab masyarakat.
Dengan demikian penyelenggaraan kewenangan tidak
seharusnya dimonopoli (diatur dan diselenggarakan) oleh
pemerintahan, tapi dapat dilakukan pula oleh swasta dan masyarakat
dan atau kerjasama antara aktor-aktor tersebut dengan pola kemitraan.
Namun demikian dalam kondisi dewasa ini dimana sektor swasta dan
masyarakat yang relatif belum berdaya maka peran pemerintah di
negara berkembang sepertidiIndonesiamasihsangat dibutuhkan.
Apabila kewenangan tersebut menjadi kewenangan yang
diselenggarakan Pemerintahan Daerah, maka terdapat beberapa
pendekatan dalammelaksanakannya.
1. Pendekatan Sentralisasi yakni penitikberatan (sebagian besar)
kewenangan, tugas dan fungsi pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan ditempatkan di Pemerintahan Level Kabupaten (Dinas,
Lembaga Teknis Daerah dan Sekretariat Daerah). Bila pendekatan
ini digunakan maka kelembagaan di level Kabupaten akan kuat dan
besar guna melaksanakan tugas strategis yakni perumusan dan
pembuatan kebijakan yang sekaligus juga melaksanakan kebijakan
tersebut (melaksanakan tugas teknis operasional). Kelembagaan di
level bawah atau wilayah yakni Kecamatan, kelurahan serta Unit
Pelaksana Teknis (UPT) hanya pelengkap sehingga
kelembagaannya sederhanasaja.
2. Pendekatan Desentralisasi yakni adanya distribusi dan
pendelegasian kewenangan, tugas dan fungsi ke kelembagaan di
level bawah atau wilayah. Kelembagaan Level Kabupaten lebih
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
24
39. menekankan penyelenggaraan kewenangan, tugas dan fungsi yang
bersifat strategis sedangkan yang bersifat teknis operasional
didelegasikan kepada kelembagaan di level bawah dan wilayah.
Konsekuensi pendekatan ini kelembagaan Level Kabupaten (Dinas,
Lembaga Teknis Daerah dan Sekretariat Daerah) relatif tidak perlu
besar tetapi lebih ramping. Sedangkan Kelembagaan Kecamatan,
Kelurahan danUnit Pelaksana Teknisperlu diperkuat.
Untuk penataan kewenangan disamping mempertimbangkan
pendekatan-pendekatan yang digunakan juga perlu
mempertimbangkan prinsip-prinsip Penataan kewenangan, Tri
Widodo W. Utomo (2005) mengemukakan prinsip-prinsip yang perlu
dipedomanimeliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Pemahaman otonomi daerah harus secara utuh dan tidak semata-
mata didasarkan atas pendekatan pembagian kekuasaan yang
cenderung dimaknai kedaulatan, akan tetapi harus diperhatikan
dan dipahami melalui pendekatan kesejahteraan untuk rakyat
Daerah dan semakin baiknya penyelenggaraan fungsi-fungsi
pemerintahan di daerah serta dalam mendukung integritas dan
eksistensiNKRI.
2. Dengan pendekatan kesejahteraan, kewenangan dapat dikelola
antara lain untuk meningkatkan pelayanan melalui upaya
menciptakan iklim yang kondusif untuk kesempatan berusaha,
mengembangkan dan menarik investasi, menciptakan lapangan
kerja dan kesempatan bekerja, serta terciptanya suasana tenteram,
tertib hukum danadanya kepastian hukum.
3. Sehubungan dengan butir 2 diatas, maka pelaksanaan kewenangan
daerah tidak berarti harus dilaksanakan sendiri oleh daerah yang
bersangkutan, namun dapat dikembangkan pola-pola kerjasama
baik dengan swasta (termasuk kelompok masyarakat), dengan unit
pemerintah lainnya (Pusat, Provinsi, atau kabupaten/kota
tetangga), maupun dengan pola pendelegasian kepada perangkat
daerahyang ada.
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
25
40. 4. Dalam mengelola kewenangan yang diakomodir melalui Peraturan
Daerah, Keputusan Kepala Daerah dan kebijakan pelaksanannya,
kiranya tidak ditujukan semata-mata untuk kepentingan
Pemerintah Daerah, namun harus sebesar-besarnya ditujukan
untuk kepentingan masyarakat luas dan kelangsungan berjalannya
kegiatan dankebijakan pemerintahan Nasional.
5. Sejalan dengan butir 4 diatas, maka penetapan kewenangan suatu
daerah (kabupaten/kota) haruslah memenuhi asas konkordansi,
dalam arti tidak menimbulkan potensi benturan, konflik, atau
tumpang tindih dengan kewenangan Provinsi atau kewenangan
kabupaten/kota yang berdekatan. Sebaliknya, kewenangan suatu
daerah dengan kewenangan daerah lain harus dapat
menggambarkan hubungan yang saling mengisi, saling
memperkuat,dansaling bergantung.
6. Penetapan kewenangan suatu daerah (kabupaten/kota) bukan
dimaksudkan sebagai kewenangan yang harus dilaksanakan secara
mandiri tanpa melibatkan pihak-pihak terkait. Justru dalam proses
perumusan kewenangan ini sudah harus dipikirkan pula tentang
upaya pendistribusian atau pengalokasian kembali kewenangan
tersebut kepada unit-unit kerja yang menjadi perangkatnya. Dengan
kata lain, dalam perumusan kewenangan tadi harus sejak sedini
mungkin dipikirkan upaya pelimpahannya kepada kecamatan
ataupun kelurahan sebagai bentuk pemberdayaan institusi tersebut.
Dengan menggunakan pendekatan dan prinsip-prinsip
tersebut diharapkan penataan kewenangan dapat dilaksanakan secara
s i s t e m a t i s d e n g a n d a s a r a r g u m e n t a s i y a n g d a p a t
dipertanggungjawabnya. Sehingga kewenangan yang dimiliki daerah
sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dapat dilaksanakan
sepenuhnya. Dengan penataan kewenangan yang benar maka akan
menjadi modal utama dalam melakukan penataan kelembagaan
Pemerintah Daerah.
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
26
41. Dengan adanya kejelasan kewenangan yang dimiliki maka
proses selanjutnya adalah melakukan penataan kelembagaan.
Penataan Kelembagaan dilakukan dengan memperhatikan aspek-
aspek sebagai berikut:
1. Aspek SDM. Keberadaan SDM dalam suatu Kelembagaan dan
dalam proses manajemen merupakan suatu aspek yang sangat
penting dan sangat determinan. Dengan SDM yang memiliki
kualifikasi baik akan dapat mendorong perwujudan tujuan
penataan kelembagaan SDM secara individual maupun Manajemen
SDM yang diterapkan akan berpengaruh terhadap Kelembagaan
yang dibentuk. SDM yang berkualitas akan mengurangi besaran
Kelembagaan yang akan diterapkan begitu halnya dengan pola
manajemen SDM yang profesional, dimulai dari proses rekrutmen,
pengembangan pegawai samapai dengan berhenti (pensiun) akan
berpegaruh terhadapKelembagaan yang ada.
2. Aspek Keuangan. Penataan Kelembagaan Pemerintah Daerah perlu
juga memperhatikan aspek keuangan yakni mempertimbangkan
kemampuan dari daerah akan membiayai Kelembagaan yang
dihasilkannya. Semakin besar Kelembagaan yang dibuat semakin
besar dana yang harus dialokasikan untuk membiayai kelembagaan
/ Kelembagaan tersebut. Penataan Kelembagaan yang dilakukan
diharapkan dapat melakukan perubahan-perubahan sebagai
berikut:
a. Kelembagaan yang dibentuk dapat mengurangi pemborosan dan
ineffisiensi yang terjadi, dengan demikian kelembagaan yang
dibentuk mempertimbangkan dari aspek keuangan baik
pengeluaran maupun pendapatan atau manfaat yang dihasilkan.
Kelembagaan besar belum tentu menjadikan pemborosan tetapi
dapat pula menghasilkan manfaat yang besar, tentu saja manfaat
disini adalah manfaat untuk masyarakat. Kelembagaan kecil
belum tentu menghasilkan efisiensi tapi dapat pula
menimbulkan tidak teroptimalkannya potensi yang dimilikinya
Kelembagaan secara lebih efektivitas dan efisiensi. Dalam konteks
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
27
42. atau terdapat pekerjaan yang tidak dapat terlaksana padahal
b. Pembentukan Kelembagaan baik secara horizontal maupun
secara vertikal perlu juga mempertimbangkan pengalokasian
sumber dana secara efisien. Dana yang tersedia apalagi terbatas
perlu didistribusikan secara adil baik keadilan secara distributif
maupun keadilan secara alokatif sehingga tidak menimbulkan
kecemburuan dan ketidak harmonisan antar unit Kelembagaan.
Unit Kelembagaan yang memiliki beban tugas yang besar
seyogyanya mendapat alokasi dana yang cukup untuk
menjalankantugas tersebut.
c. Penataan kelembagaan daerah diharapkan dapat mendorong
dan meningkatkan kreativitas, kewiraswastaan dan inisiatif di
sektor publik. Semangat entrepreneur dalam birokrasi
ditanamkan sehingga tidak hanya mengetahui dan memahami
bagaimana membelanjakan tetapi juga mencari peluang untuk
meningkatkan pendapatan
d. Penataan kelembagaan daerah juga diharapkan dapat
meningkatkan transparansi keuangan publik sehingga
masyarakat dapat memahami apakah yang telah dibelanjakan
pemerintah memberikan manfaat atau nilai tambah bagi
masyarakat atau tidak. Dengan adanya transparansi, Pemerintah
Daerah juga akan lebih meningkatkan kualitas program-program
yang dilaksanakan dan akan meningkatkan akuntabilitasnya
karena masyrakat akan menyoroti apa yang telah, sedang dan
akan dilakukannya.
3. Aspek Teknologi. Perkembangan teknologi Sarana dan prasarana
kerja begitu cepat, sehingga proses penyelesaian pekerjaan dan
kualitas hasil pekerjaannya pun mengalami peningkatan. Salah satu
sarana pendukung yang saat ini diperbincangkan untuk disediakan
pemerintah adalahpenerapanElectronic Government.
4. Aspek Kebutuhan Pelayanan. Daerah memiliki potensi yang
berbeda satu sama lain, menyadari akan perbedaan penyusunan
pekerjaan tersebut manfaatnya sangat dibutuhkan masyarakat.
pekerjaan tersebut manfaatnya sangat dibutuhkan masyarakat.
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
28
43. kelembagaan perlu disesuaikan dengan kebutuhan dari daerah
yang bersangkutan. Untuk itu faktor-faktor kebutuhan atau potensi
daerah yang perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut: luas
wilayah kerja atau besarnya objek kewenangan yang ditangani;
jumlah Penduduk yang mendapatkan layanan; potensi pemerintah
daerah; kebutuhan masyarakat; kompleksitas pekerjaan yang
dilakukan; serta potensi masyarakat dan swasta. Dengan Potensi
dan kebutuhan tersebut akan dapat memprediksikan beban
pekerjaan yang akan dipikul oleh suatu daerah. Daerah yang
memilki potensi Pertanian yang besar maka kelembagaan yang
mengelola urusan pertanian dibutuhkan untuk dibentuk, lain
halnya bagi kawasan perkotaan yang relatif tidak memiliki areal
pertanian maka kelembagaan yang menangani hal pertanian tidak
dibutuhkan walaupun masih dibutuhkan fungsinya dapat
dilekatkan padafungsi yang relatif sejenis.
5. Aspek Nilai Strategis Daerah. Nilai strategis daerah juga harus
menjadi pertimbangan pula dalam menyusun kelembagaan daerah.
Nilai strategis daerah mestinya dituangkan dalam visi dan misi
Pemda. Dengan menentukan sektor-sektor tertentu yang menjadi
unggulan (core competency) maka kelembagaan yang
menanganinya pun perludiperhatikan.
Dengan penataan kelembagaan Pemerintah Daerah yang
memperhatikan aspek-aspek tersebut diharapkan kelembagaan yang
dihasilkan adalah kelembagaan yang rasional yang memiliki ciri-ciri
Kelembagaan modern. dengan model Kelembagaan yang lebih modern
yakni "...are more like living organisms than machines and that it is important
to recognise both the informal relationship which exist within them and the
interactions which take place between the organisation and the wider social and
technological environment in whict it is exist". (Hayes: 1980: 3) sedangkan
Kanter (1996:48-49) menawarkan model Kelembagaan lain yang
dinamakan Post Entrepreneurial Organization. Model Kelembagaan
yang baru ini mencoba memandang Kelembagaan tidak sebagai suatu
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
29
44. bentuk yang kaku tetapi suatu yang fleksibel mengikuti perkembangan
di lapangan. Kanter mengemukakan ciri atau kecenderungan
Kelembagaan postentrepreneurial organizationssebagai berikut:
1. Kelembagaan Post entrepreneurial organizations tend to be more
person centred, with authority deriving from expertise or from
relationships.
2. Post- entrepreneurial management is creation-oriented, seeking
innovationaswell asefficiency.
3. Post- entrepreneurial management is results-oriented, rewarding
outcomes.
4. Post entrepreneurial organizations tend to pay for contribution, for the
value the person or team has added, regardless of formal
position.
5. Post entrepreneurial organizations find opportunities through the
expansion of information, through the ability to maximaize all
possible communication links - with coalition partners inside and
outside the organization.
6. In Post-entrepreneurial organizations,charters andhometerritories are
only the starting point for creation of new modes of action;
furthermore, opportunities come from the ability to make
relationshipacross territories.
7. Post-entrepreneurial organizations seek leverage and
experimentation.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, Askenas (2002: 5-7)
mengemukakan bahwa bahwa ukuran keberhasilan Kelembagaan
padasaat sekarang dilihat dariaspek-aspek sebagai berikut:
1. Kecepatan. Kelembagaan yang berhasil yakni ditandai dengan
meningkatnya kecepatan Kelembagaan dalam melaksanakan
pekerjaan, cepat tanggap terhadap konsumen, secepatnya
membawa product baru kepasaran, cepat merubah strategi bila
dibutuhkan. Kelembagaan besar diibaratkan seperti sebuah kapal
tanker yang sulit melakukan pergerakan-pergerakan dengan cepat;
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
30
45. 2. Flexibilitas. Kelembagaan yang berhasil adalah Kelembagaan yang
fleksibel yakni mudah menyesuaikan dengan kebutuhan yang ada.
Kejelasan tugas yang kaku dalam keberhasilan Kelembagaan pada
paradigma lama bertentangan dengan kesuksesan paradigma baru
tentang fleksibilitas. Fleksibilitas dapat membangkitkan
ketidakjelasan, membuang job description (uraian tugas) dan
membentuk tim secara ad hoc dan mengadakan pembaharuan dala
tugas dengan merampingkan tugas atau pekerjaan.
3. Integrasi. Kelembagaan merupakan suatu kesatuan walaupun
terbagi kedalam bagian-bagian tertentu namun harus tetap
dipandangsecarakeseluruhan.
4. Inovasi. Kelembagaan yang berhasil adalah Kelembagaan yang
mampu menghasilkan pembaharuan dengan menghasilkan inovasi
dan kreatifitas baik dalam proses pelaksanaan pekerjaan maupun
produkyang dihasilkannya.
Dengan kelembagaan Pemerintah Daerah dengan memiliki ciri-
ciri Kelembagaan modern maka jalannya pemerintahan akan lebih
efektif , efisien dan produktif, sehingga tujuan peningkatan kualitas
pelayanan kepada masyarakat akan semakinmeningkat.
C. KerangkaPikirPenataandanRestrukturisasiKelembagaan
Pentingnya pengembangan dan/atau penyempurnaan
Kelembagaan publik secara umum didasarkan pada pemikiran bahwa
kemampuan Kelembagaan publik sangat menentukan kelancaran dan
keberhasilan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan dan tugas
pembangunan. Dengan kata lain, restrukturisasi Kelembagaan
pemerintah sesungguhnya merupakan conditio sine qua non bagi upaya
yang lebih besar, yakni mencapai keberhasilan program pembangunan
baik pada skala nasional maupun daerah. Dengan demikian,
keberhasilan pembangunan secara menyeluruh antara lain dapat
diindikasikan dari sejauh mana kemampuan Kelembagaan publik
dalam melayani tuntutan-tuntutan kebutuhan masyarakat dengan
memanfaatkan sumberdayayang tersediasecaraoptimal.
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
31
46. Untuk dapat memberikan kontribusi secara optimal kepada
kinerja pembangunan nasional, maka perlu dilakukan peningkatan
kinerja atau produktivitas Kelembagaan publik itu sendiri. Adapun
peningkatan produktivitas Kelembagaan publik salah satunya dapat
dilakukan melalui pemberian atau pendelegasian wewenang
(delegation of authority). Hal ini didasarkan kepada pemikiran bahwa
pemberian atau pendelegasian wewenang akan dapat mempengaruhi
peningkatan tanggungjawab (responsibility), sedangkan peningkatan
tanggungjawab akan mempengaruhi peningkatan produktivitas
(productivity) Kelembagaan yang diberi wewenang besar. Selanjutnya
pada Kelembagaan yang memiliki tanggungjawab besar akan memicu
tumbuhnya inovasi, kreativitas, dan etos kerja yang besar yang menjadi
pemicu (trigger) terhadap peningkatan produktivitas. Kelembagaan
publik yang memiliki produktivitas yang besar artinya mampu
menghasilkan kualitas pelayanan masyarakat yang baik.
Dari kerangka pemikiran di atas dapat dilakukan 4 (empat)
macampendekatan sebagai berikut:
1. Pendekatan AspekManajemen.
Pendekatan dari aspek manajemen menunjukkan bahwa
pendelegasian wewenang, otonomi atau desentralisasi merupakan
determinan penting yang berfungsi sebagai pemicu (trigger) bagi
kegiatan suatu Kelembagaan publik yang menunjang upaya
peningkatan produktivitas Kelembagaan. Pemikiran ini dapat
diterima mengingat karakteristik Kelembagaan seperti ini akan
menjanjikan keunggulan berupa fleksibilitas Kelembagaan yang
lebih tinggi, lebih efisien dan efektif, serta lebih kreatif dan inovatif,
sehingga mampu menciptakan etos kerja yang tinggi yang pada
pemerintah secaralebih baik.
Pentingnya fleksibilitas Kelembagaan dalam hal ini
perlu digarisbawahi, sebab dalam iklim kompetisi yang sangat
akhirnya akan menghasilkan produktivitas Kelembagaan
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
32
47. ketat, akan berkembang keadaan lingkungan yang bergerak
kondisi yang tidak dapat dipastikan (uncertainty) dan sulit
diprediksikan (unpredictable). Dalam situasi seperti inilah, maka
prinsip akordion atau keluwesan suatu Kelembagaan sangat
dibutuhkan agar dapat melakukan adaptasi atau penyesuaian
secara cepat dan tepat. Sementara Kelembagaan yang menerapkan
gaya manajemen secara sentralistis, birokratis (rule driven) dan kaku,
akan cepat ketinggalan dengan dinamika lingkungan
strategisnya.
2. Pendekatan AspekAnggaran.
Pendekatan dari aspek anggaran menjelaskan bahwa semakin unit-
unit Kelembagaan pemerintah mampu meningkatkan
produktivitasnya, maka unit Kelembagaan tersebut pasti semakin
mampu menghasilkan pelayanan jasanya kepada masyarakat
dengan kualitas yang makin baik. Kemampuan mengasilan
pelayanan jasa kepada masyarakat ini berarti kemampuan
mengakumulasi pendapatan juga semakin meningkat. Dan apabila
ini terus dikembangkan, maka sumber dana yang tadinya dibiayai
oleh APBN secara bertahap akan menurun dan perannya akan
digantikan dari sumber pendapatan fungsional tersebut. Jadi
dengan demikian akan dapat dilakukan penghematan terhadap
sumberpembiayaan yang berasal dariAPBN.
Cara lain dapat dilakukan melalui perampingan APBN,
dalam arti diadakan realokasi pembebanan anggaran dari APBN
kepada masyarakat pengguna jasa pelayanan melalui unit-unit
pelaksana teknis. Dengan demikian input yang berasal dari APBN
akan menurun, sedangkan output jasa pelayanan kalau tidak
meningkat minimal tetap, sehingga rasio produktivitas akan
meningkat.
3. Pendekatan AspekPartisipasiMasyarakat (Kemitraan).
Pendekatan dari aspek partisipasi masyarakat atau kemitraan
(strategic alliance) menggambarkan bahwa semakin unit
sangat cepat (turbulence) yang menyebabkan terjadinya kondisi-
sangat cepat (turbulence) yang menyebabkan terjadinya kondisi-
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
33
48. Kelembagaan pemerintah mampu memberikan pelayanan jasanya
meningkatkan kepuasan masyarakat. Dan apabila tingkat kepuasan
masyarakat cukup tinggi, maka maka dengan sendirinya akan
mendorong partisipasi masyarakat juga makin meningkat. Hal ini
pada gilirannya akan memberikan kontribusi berupa meningkatnya
pendapatan unit Kelembagaan pemerintah tadi yang berasal dari
masyarakat secaralangsung.
Dalam gambar berikut nampak bahwa besarnya peran
kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat digambarkan
dalam luasnya wilayah interface. Artinya, makin besar interface,
makin besar tingkat partisipasi masyarakat, dan makin tinggi pula
manfaatyang dapatdiraihpemerintah dari sinergi kemitraan
tersebut.
4. Pendekatan AspekRatioInput -Output.
Pendekatan ratio input - output menunjukkan bahwa adanya
realokasi pembebanan anggaran rutin APBN kepada masyarakat ini
berarti input untuk pelayanan jasa bertendensi menurun, dengan
kata lain lebih efisien atau terjadi penghematan. Jumlah input yang
menurun ini apabila dihadapkan kepada output jasa pelayanan
kepada masyarakat tetap atau mengikat, maka kondisi ini akan
menghasilkan ratioproduktivitas yang makin meningkat.
D. Strategi PenataandanRestrukturisasiKelembagaan
Penataan dan/atau restrukturisasi kewenangan dan
kelembagaan Pemda melalui penyempurnaan bidang kelembagaan
dapat ditempuhdengan beberapa langkah sebagai berikut:
1. Penggabungan Unit Kelembagaan.
Penggabungan unit Kelembagaan pemerintah dapat dilakukan jika
secarakumulatif memenuhisyarat sebagai berikut:
a. Hasil analisis terhadap visi dan misi dari suatu Kelembagaan
pemerintah menunjukkan masihlayak dilaksanakan,
b. Hasil analisis tugas dan fungsi menunjukkan adanya kesesuaian
dengan baik kepada masyarakat, maka akan semakin mampu
dengan baik kepada masyarakat, maka akan semakin mampu
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
34
49. dengan visi dan misi, namun akan lebih efisien dan lebih
produktif jika digabung dengan unit lain,
c. Hasil analisis beban kerja menunjukkan bahwa beban tugas yang
dikerjakan relatif kecil.
2. Penghapusan Unit Kelembagaan.
Penghapusan suatu unit Kelembagaan pemerintah dapat dilakukan
jika secarakumulatif memenuhisyarat sebagai berikut:
a. Hasil analisis terhadap visi dan misi Kelembagaan
mengungkapkan bahwa visi dan misi yang diemban tersebut
tidak layak lagi dilaksanakan,
b. Hasil analisis tugas dan fungsi menunjukkan bahwa tugas dan
fungsi yang dilaksanakan tidak sesuai lagi dengan visi dan misi
Kelembagaan tersebut.
3. Penurunan Eselon/Klasifikasi/Tipologi.
Penurunan tingkat eselon suatu jabatan atau penurunan klasifikasi
atau tipologi dari suatu unit Kelembagaan dapat dilakukan jika
secarakumulatif memenuhisyarat sebagai berikut:
a. Hasil analisis terhadap visi dan misi dari suatu Kelembagaan
pemerintah menunjukkan masihlayak dilaksanakan,
b. Hasil analisis tugas dan fungsi menunjukkan adanya kesesuaian
dengan visi dan misi, tetapi terdapat duplikasi dengan
Kelembagaan lain, atau sebaian tugas dan fungsinya telah
diserahkankepada unit Kelembagaan lain,
c. Hasil analisis beban kerja menunjukkan bahwa beban tugas yang
diembantelah berkurang darisebelumnya.
4. Privatisasi(swastanisasi)
Privatisasi merupakan pengurangan peran pemerintah atau
peningkatan peran sektor swasta, baik dalam suatu aktivitas
tertentu maupun dalam pemilikan sejumlah aset (Savas, 1987: 3).
Atau dengan kata lain, privatisasi adalah suatu proses peralihan
produksi barang dan jasa dari sektor publik (pemerintah) ke sektor
privat (swasta atau perorangan). Tujuan dari privatisasi ini adalah
untuk meningkatkan efisiensi sektor publik, antara lain dengan cara
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
35
50. menggunakan sumber daya dan pengalaman pihak ketiga secara
optimal dibidang tertentu. Privatisasi ini dapat dilakukan melalui
kemitraan, kerjasama atau penyerahan kewenangan pemerintah
untuk dilaksanakan sepenuhnya oleh pihak swasta. Kemitraan
antara pemerintah dan swasta dilakukan apabila pelayanan kepada
masyarakat yang merupakan kewajiban pemerintah, dapat
dilakukan bersama-sama dengan pihak swasta. Privatisasi penuh
hanya dapat dilakukan apabila pelayanan tersebut bukan
merupakan kewajiban pemerintah namun masih ditangani oleh
pemerintah, sedangkan pihak swasta sudah mampu
melaksanakannya. Contoh privatisasi jenis ini adalah dibidang
transportasi,telekomunikasi, danlain-lain.
Dengan pelaksanaan privatisasi, maka kecenderungan
memperbesar peran pemerintah semakin berkurang. Hal ini
berakibat pula pada menurunnya pengendalian negara dan
anggaran pemerintah. Perihal pemerintah masih tetap
bertanggungjawab atas pelayanan umum karena perlu melindungi
atau memberi subsidi kepada masyarakat berpenghasilan rendah,
dapat dilakukan dengan mengontrakkan beberapa kegiatan
pemerintah kepada pihak swasta atau melakukan usaha bersama
antara pemerintah dengan swasta. Dengan beralihnya tugas-tugas
yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah kepada swasta, maka
dengan sendirinya pemerintah akan semakin ramping dan beban
APBNtidak terlampau besar.
5. Pembentukan BadanLayanan Umum(BLU).
Menurut PP No. 23 Tahun 2005 tentang BLU (Badan Layanan
Umum), BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang
dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan
mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya
didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Selanjutnya,
Pola Pengelolaan Keuangan bagi Badan Layanan Umum (PPK-
BLU), bersifat fleksibel berupa keleluasaan untuk menerapkan
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
36
51. praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan
dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari
ketentuan pengelolaan keuangan negara padaumumnya.
Penerapan BLU ini didorong oleh kebutuhan melakukan
reformasi sistem anggaran, dari pola penganggaran tradisional ke
penganggaran berbasis kinerja. Dengan basis kinerja ini, mulai
dirintis arah yang jelas bagi penggunaan dana pemerintah,
berpindah sekedar membiayai masukan (inputs) atau proses ke
pembayaran terhadapapa yang dihasilkan(outputs).
Perubahan ini penting dalam rangka proses pembelajaran yang
lebih rasional untuk mempergunakan sumber daya yang dimiliki
pemerintah mengingat tingkat kebutuhan dana yang makin tinggi,
sementara sumber dana yang tersedia tetap terbatas. Hal ini
semakin mendesak lagi dengan kenyataan bahwa beban
pembiayaan pemerintahan yang bergantung pada pinjaman
semakin dituntut pengurangannya demi keadilan antargenerasi.
Dengan demikian, pilihan rasional oleh publik sudah seyogianya
menyeimbangkan prioritasdengan kendala danayang tersedia.
Orientasi pada outputs semakin menjadi praktik yang dianut
luas oleh pemerintahan modern di berbagai negara. Mewiraswastakan
pemerintah (enterprising the government) adalah paradigma yang
memberi arah yang tepat bagi keuangan sektor publik. Dalam kaitan
ini, UU Nomor 17 Tahun 20003 tentang Keuangan Negara, yang
menekankan basis kinerja dalam penganggaran, memberi landasan
yang penting bagi orientasi baru tersebut di Indonesia. Selanjutnya, UU
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara membuka
koridor baru bagi penerapan basis kinerja ini di lingkungan
pemerintah. Dengan Pasal 68 dan 69 UU tersebut, instansi pemerintah
yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada
kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum
kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
37
52. masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang
fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas.
Instansi demikian diharapkan menjadi contoh konkrit yang menonjol
dari penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil kerja atau
kinerja (performance).
Peluang ini secara khusus disediakan kesempatannya bagi
satuan-satuan kerja pemerintah yang melaksanakan tugas operasional
pelayanan publik (seperti layanan kesehatan, pendidikan, pengelolaan
kawasan, dan lisensi), untuk membedakannya dari fungsi pemerintah
sebagai regulator dan penentu kebijakan. Praktik ini telah berkembang
luas di manca negara berupa upaya pengagenan (agencification)
aktivitas yang tidak harus dilakukan oleh lembaga birokrasi murni,
tetapi diselenggarakan oleh instansi yang dikelola ala bisnis (business
like) sehingga pemberian layanan kepada masyarakat menjadi lebih
efisien dan efektif. Dilingkungan pemerintahan di Indonesia, terdapat
banyak satuan kegiatan yang berpotensi untuk dikelola lebih efektif
melalui pola Badan Layanan Umum. Di antara mereka ada yang
memperoleh imbalan dari masyarakat dalam proporsi signifikan
sehubungan dengan layanan yang diberikan, dan ada pula yang
bergantung sebagian besar pada dana yang disediakan oleh
APBN/APBD. Kepada mereka, terutama yang selama ini
mendapatkan hasil pendapatan dari layanan dalam porsi signifikan,
dapat diberikan keleluasaan dalam mengelola sumber daya untuk
meningkatkan pelayanan yang diberikan.
Dengan pola pengelolaan keuangan BLU, fleksibilitas diberikan
dalam rangka pelaksanaan anggaran termasuk pengelolaan
pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa.
Kepada BLU juga diberikan kesempatan untuk mempekerjakan tenaga
profesional non PNS serta kesempatan pemberian imbalan jasa kepada
pegawai sesuai dengan kontribusinya. Tetapi sebagai pengimbang,
BLU dikendalikan secara ketat dalam perencanaan dan
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
38
53. penganggarannya, serta dalam pertanggung jawabannya. Dalam PP
No. 23 Tahun 2005 ini, BLU wajib menghitung harga pokok dari
layanannya dengan kualitas dan kuantitas yang distandarkan oleh
menteri teknis pembina. Demikian pula dalam pertanggung
jawabannya, BLU harus mampu menghitung dan menyajikan
anggaran yang digunakannya dalam kaitannya dnegan layanan yang
telah direalisasikan. Oleh karena itu, BLU berperan sebagai agen dari
menteri/pimpinan lembaga induknya. Kedua belah pihak
menandatangani kontrak kinerja (a contractual performance agreement),
dimana menteri/pimpinan lembaga induk bertanggung jawab atas
kebijakan layanan yang hendak dihasilkan, dan BLU bertanggung
jawab untuk menyajikan
Dengan demikian,BLUdiharapkan tidak sekedar s e b a g a i
f o r m a t b a r u d a l a m p e n g e l o l a a n A P B N / A P B D ,
tetapi BLU diharapkan untuk menyuburkan pewadahan baru bagi
pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi
meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
E. Hambatan/KendalaPenataanKewenangandanKelembagaan
Program penataan kelembagaan tidak terlepas dari kendala
yang melingkupinya. Kendala-kendala yang akan dijelaskan
kemudian dapat menjadi batu sandung dalam mensukseskan penataan
kelembagaan. Kendala yang dihadapi dalam penataan kelembagaan
dapat ditinjaudariaspek Politik, BirokrasidanSosialBudaya.
1. AspekPolitik
Kondisi politik di Indonesia pada saat ini, baik di infrastruktur
maupun suprastruktur masih belum stabil, pertarungan atau
kompetisi antar partai politik tidak dilakukan dengan sehat tetapi
dengan menggunakan cara dan strategi yang dapat menimbulkan
konflik baru. Kedewasaan para elite politik yang masih sangat
memprihatinkan dan memberikan contoh yang kurang baik bagi
masyarakat menjadi salah satu hal yang menciptakan kondisi politik
layanan yang diminta.
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
39
54. seperti ini di Indonesia. Dengan kondisi seperti itu Politik yang
biasanya sebagai pengendali birokrasi tidak bisa menjalankan
perannya secara optimal. Bahkan para elite politik yang berkuasa
menghendaki birokrasi menjadi miliknya yang akan dijadikan alat
untuk melanggengkan kekuasaan. Namun birokrasi tidak bisa
dikuasai dengan mudah, birokrasi yang telah dibentuk sejak
sebelum kemerdekaan dan telah memiliki pola pikir tersendiri.
Sehingga pergantian elite politik atau rejim yang berkuasa tidak
serta merta akan merubah pola pikir dan kebiasaan yang ada di
Birokrasi, maka tak heran beberapa waktu lalu Presiden Megawati
mengatakan para mentrinya tidak bisa memegang atau
mengendalikan para Eselon I. Bahkan tidak tertutup kemungkinan
para elite politik akan tergiring atau terbawa arus pada pola pikir
dan kebiasaan birokrasi. Kebijakan-kebijakan yang reformis
ditingkat elite politik tidak bisa diturunkan atau dilaksanakan
dilapangan karena Birokrasi memiliki kebijaksanaan dan
kepentingan tersendiri. Akhirnya kebijakan-kebijakan tersebut
hanya sebagai slogan-slogan utopis yang tidak pernah dapat
direalisasikan.
2. AspekBirokrasi
Sistem, prosedur dan kebiasan yang sekian lama tertanam dan
terbentuk dalam Birokrasi tidak serta merta dapat dirubah, daya
resistensi yang begitu tinggi terutama dari elite-elite birokrasi yang
telah menikmati keuntungan-keuntungan dari sistem yang ada
menjadikan ingin tetap mempertahankannya. Adanya resistensi
tersebut diperkuat dengan suatu aturan yang menempatkan
kekuasaan tersentralisir ditangan pimpinan tertinggi Kelembagaan.
Perubahan sulit dilakukan dari bawah karena akhirnya bermuara ke
atas dan yang menentukan adalah dari atas/pimpinan. Ide dan
gagasan yang konstruktif dan reformatif dari bawah akan
menghasilkan kebijakan dan kebijaksanaan konservatif yang
defensif dari atas. Praktek-praktek birokrasi yang masih menganut
birokrasi idealis dari Max Weber menjadi kendala-kendala
perubahan yang terjadi.Praktek-praktek itu antara lain:
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
40
55. * Selalu harus berdasarkan aturan / regulasi tertentu apabila
reformatif tidak bisa berjalan karena tidak ada aturannya.
Padahal aturan yang dibuat terkadang tidak jelas dan tidak
rasionaltetapi dengan taklid diikutinya.
* Birokrasi ditempatkan sebagai Kelembagaan yang tertutup dan
mencoba masuk kedalamnya akan dihadang oleh serangkaian
prosedur yang mengada-ngada. Birokrasi ditempatkan sebagai
suatu Kelembagaan yang tidak bisa dipengaruhi tapi dia
mempengaruhi.
* Birokrasi sangat memegang teguh prosedur. Prosedur yang
dibuat sedemikian ditujukan supaya orang tidak mudah
mendapatkannya, walaupun tujuannya untuk kehati-hatian dan
tertib administratif. Namun hal tersebut menimbulkan
birokratisme, sesuatu urusan tidak bisa selesai oleh satu meja tapi
harus melalui beberapa meja dan melalui jenjang atau hierarkie
yang berurut.
* Sistem pengawasan yang masih lemah yang lebih menitik
beratkan pada laporan administratif, tidak pada output atau
kualitas dari pada output, bahkan tidak memperhatikan
outcome danbenefit yang dihasilkan.
* Kualitas SDM Aparatur yang masih lemah disebabkan baik oleh
proses rekruitment maupun pembinaan atau pengembangannya
yang tidak menyandarkan pada dasar-dasar profesionalisme dan
kepentingan jangka panjang.
3. AspekSosialBudaya
Aspek sosial budaya baik yang ada dalam birokrasi maupun
yang melingkupi birokrasi turut serta berperan dalam
mempengaruhi proses reformasi birokrasi, tanpa dukungan sosial
budaya proses reformasi akan sulit dilakukan. Kegagalan
penerapansistem-sistem barat yang diadopsi negara berkembang
disebabkan oleh tidak sinkron atau kurang memperhatikan aspek
melakukan suatu tindakan. Perubahan atau kreativitas yang
elitis tidak semua orang bisa akses kedalamnya. Kalaupun
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
41
melakukan suatu tindakan. Perubahan atau kreativitas yang
56. sosial budaya. Aspek sosial budaya yang ada akan membentuk
dan pola pikir yang berkembang di masyarakat dan aparat
birokrasi yang kurang mendukung antara lain:
* Budaya kita yang terlalu mengaggung-agungkan simbol
Kegiatan-kegaitan yang dilakukan asal dapat terlaksana kualitas
pekerjaan tidak menjadi perhatian. Begitu juga halnya orang
melihat orang lain bukan didasarkan pada keahliannya tetapi
kepada sertifikat / izajah (simbol) yang dimilikinya walaupun
sangat ahli dan pandai tapi karena hanya memiliki izajah SLTA
maka akan tetap dikalahkan oleh seseorang yang berijazah S1
meskipuntidak memilikikemampuanapa-apa.
* Kesuksesan seseorang hanya dilihat dari aspek materi, orang
akan lebih menghormati orang yang memiliki kekayaan dari
pada yang biasa-bisa sehingga pelayanan yang diberikan akan
berbeda-beda.
* Budaya paternalisme dan senioritas, pimpinan selalu dianggap
yang serba tahu dan harus memberikan suri tauladan dan
bawahan akan berpatokan pada contoh-contoh yang diberikan
pimpinannya. Perubahan harus dimulai dari atas maka di bawah
akan mengekor atau mengikuti apa yang dilakukan
pimpinannya. Untuk menjadi pimpinan dilakukan dengan
pendekatan senioritas dengan asumsi orang yang lebih tua telah
memiliki asam garam yang lebih banyak dan tentu saja akan
memilikikeahlian dankemampuanyang lebih baik.
* Budaya kekerabatan (nepotisme) yang kental dalam masyarakat
kita dan dalam birokrasi kita, penerapannya dilakukan secara
buta tanpa memandang aspek atau faktor yang lain. Dalam
prakteknya pengangkatan pejabat atau penerimaan pegawai
tanpa memandang keahlian dan kemampuan tapi hanya melihat
siapadiaapakah kerabat atau bukan kerabat.
* Budaya permisif, masyarakat terkadang terlalu mentolelir
prilaku dan pola pikir aparat birokrasi dan masyarakat. Prilaku
mendorong birokrasi kita lebih menonjolkan aspek formalitas.
prilaku dan pola pikir aparat birokrasi dan masyarakat. Prilaku
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
42
57. kelakuan-kelakuan yang menyimpang sehingga menjadi
kebiasaan dan orang tidak takut melakukannya bahkan karena
dibiarkan menjadi dianggap benar dan orang lain ikut
melakukannya.
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
43
58. BAB III
ARAH KEBIJAKAN
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DAERAH
A. Pengaturan Aspek Kewenangan Dalam UU No. 32/2004 dan
Implikasinya
Dibandingkan UU sebelumnya, UU No. 32 Tahun 2004
Pemerintahan Daerah dapat dikatakan memberi kewenangan yang
lebih kuat dan utuh kepada daerah. Hal ini terlihat dari dari konsideran
UU ini yang mengatakan bahwa efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan
lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar-susunan
pemerintahan dan antar-pemerintahan daerah, potensi dan
keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global
dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah
disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan
otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Dengan demikian dapatlah disimak bahwa pada UU ini
kebijakan tentang kewenangan daerah mengalami perubahan cukup
signifikan dibanding ketentuan pada UU Nomor 22 Tahun 1999.
Sebagai contoh, istilah "kewenangan" sudah tidak dikenal lagi, dan
digantikan dengan istilah "urusan". Hal ini mengingatkan kita pada
nomenklatur yang dianut olehUUNomor5 Tahun1974.
Urusan pemerintahan sendiri perlu dibagi atau didistribusikan
diantara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Pembagian
urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa
selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang tetap menjadi
kewenangan pemerintah pusat. Urusan yang masih sepenuhnya
berada di tangan Pusat tersebut adalah yang menyangkut terjaminnya
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
44
59. kelangsungan hidup bangsa dan negara. Urusan-urusan tersebut
meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter, yustisi,
sertaagama.
Dalam hal ini, substansi UU No. 32 Tahun 2004 tidak jauh
berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999. Hanya saja, UU No. 32
Tahun 2004 menghilangkan klausul tentang "Kewenangan bidang lain"
sebagaimana diatur dalam pasal 7 UU Nomor 22 Tahun 1999.
"Kewenangan bidang lain" disini meliputi kebijakan tentang perencanaan
nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga
perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia,
pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis,
konservasi, dan standardisasi nasional.
Ini berarti pula bahwa UU No. 32 Tahun 2004 melakukan
pembatasan dan pengetatan terhadap kewenangan Pusat, dengan
membatasi secara limitatif hanya pada 6 bidang urusan. Dengan
demikian semakin nampak bahwa UU yang baru ini menganut paham
general competence, dimana kewenangan Pusat hanyalah residu dari
kewenangan yang dimiliki dan/atau dijalankan Daerah
(kabupaten/kota danpropinsi).
Disamping keenam urusan diatas, terdapat bagian urusan
pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang
penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan
bersama antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Dengan
demikian, setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian
urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada bagian urusan
yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada bagian urusan yang
diserahkan kepada kabupaten/kota. Untuk mewujudkan pembagian
kewenangan yang concurrent secara proporsional antara Pemerintah,
Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka disusunlah 3 (tiga) criteria yakni
kriteriaeksternalitas, kriteriaakuntabilitas,sertakriteriaefisiensi.
PENATAAN KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN
PEMERINTAH DAERAH DI WILAYAH KALIMANTAN
45