2. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebijakan desentralisasi yang dicerminkan oleh UU 22/1999
dan dilanjutkan oleh UU 32/2004 mengandung paradigma pokok untuk
mendorong tumbuhnya demokratisasi, pelayanan publik, serta
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat daerah yang semakin tinggi.
Perwujudan riil dari paradigma yang berpihak pada masyarakat tadi
ditunjukkan oleh berubahnya fungsi lembaga perwakilan dan
mekanisme pemilihan Kepala Daerah yang semula bersifat top-down
menjadi bottom-up, sehingga pemimpin daerah benar-benar
merupakan hasil dari aspirasi masyarakat lokal. Perubahan lain yang
diusung oleh kebijakan otonomi daerah yang baru adalah terjadinya
pergeseran domain kewenangan dari yang meletakkan bobot terbesar
pada Pusat (central government heavy) kepada pola baru yang
mengakui kewenangan terbesar berada pada daerah (local
government heavy). Disamping hal tersebut diatas, terjadi pula proses
perampingan struktur kelembagaan, yang berimplikasi pada tuntutan
untuk mengurangi peranan pemerintah dalam kehidupan masyarakat
pada berbagai bidang.
Dengan kata lain, semangat otonomi daerah menghendaki
terjadinya proses pendewasaan (maturity), pemandirian
(independency) dan pengembangan kapasitas (capacity building)
segenap komponen pemerintahan dan kemasyarakatan di daerah
untuk mampu mengurus daerahnya sendiri secara optimal. Disini,
strategi restrukturisasi pemerintahan harus dijalankan secara serentak
dengan strategi pemberdayaan partisipasi masyarakat. Selain sebagai
wahana pemberdayaan, partisipasi sekaligus juga merupakan sarana
social control terhadap penyelenggaraan administrasi publik di
Indonesia, khususnya pada tingkatan akar rumput (grassroot level).
Oleh karena itu, dari perspektif sosiologis, keengganan untuk
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
1
3. berpartisipasi pada hakekatnya justru merupakan pilihan tindakan yang
merugikan kepentingan sendiri.
Partisipasi sendiri dapat diartikan sebagai suatu gerakan atau
kekuatan kelompok atau anggota kelompok (community / group power)
yang bertujuan untuk ikut berperan atau berpengaruh dalam proses
pengambilan keputusan. Dengan mengutip pendapat dari Midgley,
Mathur, serta Oakley and Marsden, Jahja Hanafie (1996 : 130)
mengemukakan bahwa issu utama dalam partisipasi kelompok adalah
penekanannya pada distribusi kekuatan (power distribution),
persamaan (equality), keterlibatan (involvement), pembuatan kebijakan
(policy making) dan pengambilan keputusan (decision making).
Adapun pentingnya partisipasi ini antara lain dikemukakan oleh
Bep Fritschi (et.al., 1993 : 214-215), yang berpendapat bahwa terdapat
dua alasan pokok untuk mengembangkan partisipasi kelompok.
Pertama, alasan-alasan yang mengacu kepada kelompok sendiri, yakni
bahwa kelompok berhak untuk ikut terlibat dalam keputusan-keputusan
yang menyangkut hari depan mereka. Kedua, alasan yang berkaitan
dengan efektivitas dan efisiensi, dalam pengertian jika kelompok benar-
benar diberikan kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam proses
organisasional, maka organisasi akan berlangsung lebih efektif dan
efisien.
Sebagai ilustrasi mengenai partisipasi, Bank Dunia (1992: 93)
pernah menyatakan bahwa "banyak masalah lingkungan tidak dapat
diatasi tanpa partisipasi aktif dari penduduk setempat". Tentu saja, apa
yang dikemukakan oleh Bank Dunia tersebut tidak semata-mata
meliputi aspek lingkungan, tetapi juga bidang-bidang lain dalam
pembangunan suatu negara dan masyarakat, serta kehidupan dalam
suatu organisasi besar maupun kecil.
Paparan diatas sekali lagi menegaskan bahwa partisipasi
masyarakat dalam proses modernisasi pada khususnya dan proses
pembangunan pada umumnya, merupakan conditio sine qua non bagi
keberhasilan pencapaian sasaran dan tujuan pembangunan nasional
2
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
4. secara keseluruhan. Hal ini akan lebih cepat tercapai dengan
menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern, serta
menggabungkan antara metode top down planning dengan metode
perencanaan yang berbasis pada bottom up planning. Dengan kata
lain, masyarakat perlu dilibatkan dalam seluruh aspek pelayanan
umum, sejak tahap perencanaan sampai dengan tahap pengawasan
dan pemanfaatannya.
Uraian diatas sekaligus menyiratkan bahwa keberhasilan
pembangunan daerah di era otonomi tidak berada ditangan para
pemegang kebijakan (policy holders) semata, tetapi justru terletak pada
terjalinnya sinergi yang saling memperkuat (mutual interrelations)
diantara pilar-pilar pembangunan daerah, yakni pemerintah daerah,
kalangan dunia usaha, serta masyarakat luas termasuk kelompok
masyarakat adat.
Melihat pentingnya dukungan konkrit dan partisipasi aktif
masyarakat (adat) dalam pembangunan daerah di era otonomi luas
inilah, maka dipandang perlu adanya kajian yang secara eksploratif
dapat menggambarkan kondisi empirik di lapangan tentang partisipasi
lembaga dan kelompok masyarakat adat di wilayah Kalimantan, serta
berbagai upaya yang perlu dilakukan untuk memperkuat peran dan
posisi lembaga/kelompok masyarakat adat dalam konstelasi
kepemerintahan di daerah.
B. Perumusan Masalah
Dalam konteks kebijakan otonomi daerah, urgensi partisipasi
masyarakat dalam pembangunan semakin tinggi. Sebab, jiwa atau
semangat otonomi adalah kewenangan kesatuan masyarakat hukum di
daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Tercakup
dalam pengertian kesatuan masyarakat hukum disini tidak hanya
pemerintah Kabupaten/Kota saja, tetapi juga meliputi kelompok
masyarakat adat, para pelaku bisnis lokal, NGO/organisasi
kemasyarakatan, lembaga profesi, serta unit pemerintahan yang lebih
kecil seperti Kecamatan, Kelurahan/Desa, bahkan juga Rukun Warga
3
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
5. dan Rukun Tetangga. Namun dalam prakteknya, otonomi lebih banyak
diterima oleh daerah otonom yang direpresentasikan oleh pemerintah
daerah (kabupaten/kota), dibanding oleh komponen masyarakat lokal
lainnya. Akibatnya, UU Otonomi Daerah lebih mencerminkan
pengaturan tentang "otonomi pemerintahan daerah" dari pada "otonomi
daerah" itu sendiri. Kondisi obyektif bahwa otonomi daerah belum
menyentuh masyarakat di level terbawah inilah yang diperkirakan
menjadi kendala pertama dalam upaya membangun dan
mengembangkan partisipasi masyarakat (lembaga/kelompok
masyarakat adat).
Pada tataran yang lebih mikro, terdapat indikasi bahwa
lembaga/kelompok masyarakat adat seringkali kurang mendukung
secara penuh kebijakan dan program pembangunan pemerintah
daerah yang bersangkutan. Hal ini bisa disebabkan antara lain oleh
belum dibukanya kesempatan secara luas untuk berpartisipasi,
kurangnya informasi dari pemerintah daerah tentang berbagai program
yang dapat dilaksanakan secara partisipatif, atau bisa juga oleh
keengganan dari lembaga adat/kelompok masyarakat adat untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan karena alasan-alasan
tertentu.
Dengan demikian, upaya mengembangkan partisipasi
masyarakat adat tidak dapat dilepaskan dari dua strategi kunci, yakni: 1)
dari dimensi pemerintahan (top-down), memperbaiki aspek kualitas
proses dan mekanisme kebijakan publik maupun materi kebijakan yang
terkait; dan 2) dari dimensi kemasyarakatan (bottom-up), memberikan
kesempatan yang lebih luas, insentif dan stimulan yang tepat, informasi
terbaru, serta kepercayaan yang lebih besar untuk menjadi bagian
integral dari proses berjalannya pemerintahan di daerah.
C. Kerangka Pikir
Dalam berbagai dokumen dan paradigma pembangunan yang
dianut semenjak berdirinya NKRI hingga lahirnya rejim reformasi,
terdapat suatu pemahaman bahwa pembangunan nasional
dilaksanakan bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat. Hal
4
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
6. ini menunjukkan adanya tuntutan peran serta masyarakat dalam upaya
pembangunan nasional. Arahan pembangunan nasional secara jelas
menuntut bahwa pelaku utama pembangunan bukan pemerintah tetapi
masyarakat. Fungsi pemerintah adalah sebagai fasilitator dan/atau
katalisator yang menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya
peran serta masyarakat tersebut, serta menyediakan perangkat-
perangkat yang mendorong dan mendukung terciptanya keadaan
tersebut, serta menyediakan perangkat-perangkat yang mendorong
dan mendukung terciptanya keadaan tersebut (catalytic government).
Hal ini menunjukkan bahwa peran serta masyarakat merupakan inti dari
pembangunan nasional.
Seiring dengan semangat memberdayakan potensi masyarakat
tadi, maka kemitraan dalam pembangunan seharusnya akan makin
meningkat sejalan dengan meningkatnya kemampuan masyarakat dan
dunia untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Hal ini
mengisyaratkan pentingnya pembentukan kemitraan antara
pemerintah dan masyarakat baik berdasarkan status sosial maupun
status ekonominya. Dengan kata lain, pembangunan nasional
(termasuk pembangunan daerah) perlu diletakkan dalam kerangka
kemitraan antara pemerintah (daerah) dan masyarakat termasuk dunia
usaha. Adapun faktor penting yang mutlak ada dalam membangun
kemitraan antara pemerintah dan swasta adalah adanya kebijakan dan
kerangka yang jelas untuk membangun kemitraan tersebut.
Pelaku pembangunan terdiri dari pemerintah, dunia usaha dan
masyarakat. Dalam hal ini para pelaku mungkin memiliki peran yang
berbeda dalam upaya pencapaian tujuan nasional. Pemerintah pada
umumnya melaksanakan penyediaan kebutuhan dasar bagi
masyarakat, baik berupa prasarana maupun pelayanan. Adapun dunia
usaha memanfaatkan hasil usahanya untuk mengembangkan usaha
yang menghasilkan manfaat bagi pengusaha (keuntungan) dan bagi
masyarakat yang terkait (lapangan kerja dan pendapatan), termasuk
pengembalian pembiayaan pembangunan prasarana yang dilakukan
oleh pemerintah (melalui sistem perpajakan), sedangkan masyarakat
umumnya berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan dengan
5
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
7. memanfaatkan hasil pembangunan yang telah dihasilkan pemerintah
dan dunia usaha. Adapun keberhasilan suatu kemitraan akan
tergantung pada berbagai faktor, diantaranya yaitu:
1. Jumlah pihak yang 'bermitra', makin banyak pihak yang terlibat
makin sulit dalam mencapai kesepakatan dalam penentuan program
kerja sama;
2. Luasnya kegiatan yang tercakup dalam kemitraan, semakin luas
cakupan kegiatan dalam kemitraan, semakin sulit untuk mengawasi
dan mengendalikannya;
3. Penyebaran lokasi kemitraan, makin banyaknya lokasi kegiatan
kemitraan akan semakin sulit pula untuk mengawasi dan
mengendalikannya.
Untuk keberhasilan upaya penyelenggaraan kemitraan
tersebut, maka langkah-langkah yang harus ditempuh adalah:
1. Mengembangkan forum komunikasi pembangunan sejak dari
perencanaan yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, dan
organisasi masyarakat yang berkaitan untuk mendapatkan
konsensus yang positif dan keterpaduan yang lebih baik dalam
pelaksanaan pembangunan;
2. Mengembangkan kelompok masyarakat untuk berperan aktif dalam
berbagai program strategis, seperti pengembangan koperasi dan
usaha kecil, pendidikan masyarakat, kesehatan, kehutanan,
lingkungan hidup, pengentasan kemiskinan, pertanian, peranan
wanita dan sebagainya;
3. Meningkatkan kemampuan lembaga swadaya masyarakat melalui
keterkaitan antara pemerintah, dunia usaha dan lembaga
masyarakat serta antar LSM sendiri.
Berlakunya kebijakan otonomi daerah seluas-luasnya sebagai
implikasi tuntutan reformasi total, tentu saja harus semakin berpihak
pada penguatan kapasitas masyarakat sipil (civil society
strengthening). Sehubungan dengan fenomena atau trend penguatan
partisipasi di era otonomi, maka agenda strategis yang dapat dilakukan
oleh pemerintah, paling tidak dapat terdiri dari dua strategi sebagai
6
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
8. berikut (UNDP: 1984). Pertama, pemerintah perlu memprioritaskan
pelayanan sosial bagi masyarakat, secara merata dan berkeadilan bagi
seluruh masyarakat. Kedua, Pemerintah harus mampu menciptakan
iklim dan lingkungan yang kondusif (enabling environment) untuk
memacu potensi kemampuan setiap individu masyarakat dalam
berbagai kegiatan produktif. Namun demikian, ketika potensi
kemampuan produktif masyarakat tersebut telah semakin meningkat
dan memberikan hasilnya, maka pemerintah harus mampu
mengendalikan diri untuk tidak terlalu jauh mencampuri mekanisme
ekonomi pasar yang terbentuk. Menurut UNDP kondisi tersebut adalah
karena: "... freedom to participate in the market according to one's
talents and preferences is the best vehicle for productive use of human
capabilities". Ungkapan yang tepat untuk menggambarkan peranan
pemerintah yang demikian itu adalah "Enabling Government".
Berkaitan dengan hal itu, maka peranan aparatur pemerintah
sebagai agent of change diarahkan untuk menggerakkan
pembangunan, memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap
pertumbuhan ekonomi, serta menciptakan iklim yamg sehat bagi
perkembangan dunia usaha. Peran aparatur pemerintah sebagai agent
of change tersebut, dilihat dalam dua dimensi. Pertama, aparatur
pemerintah harus mengurangi orientasi top down dan sikap patronizing
yang terlalu kuat, baik dalam kebijaksanaan maupun perencanaan.
Kedua sikap tersebut sering menimbulkan kondisi ketergantungan
(dependency) dan kurang menimbulkan keswadayaan - khususnya
pada masyarakat tingkat lokal. Oleh karena itu dewasa ini bahkan
berkembang pemikiran untuk mengubah model pembangunan yang
berorientasi kepada masyarakat (people oriented development) kearah
pembangunan yang berpusat pada masyarakaat (people centered
development) dalam rangka (sustainable developement) atau
pembangunan keswadayaan yang berkesinambungan.
Ini berarti, pola perencanaan pembangunan yang berasal dari
bawah (bottom up planning) dirasakan menjadi teknik / metode
perencanaan yang akan dapat memenuhi kebutuhan dasar (basic
7
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
9. needs) masyarakat, sedangkan pembangunan yang berjalan
berdasarkan pola top down dengan paradigma yang berpusat kepada
produksi dengan harapan akan menciptakan kesejahteraan melalui
"efek menetes kebawah" (trickle down effect), mulai banyak digugat
sebagai stategi yang hanya menghasilkan kemakmuran bagi segelintir
orang. Dari sinilah pentingnya pelimpahan kekuasaan (pemberian
otonomi) kepada masyarakat untuk mengendalikan kehidupan dan
sumber daya mereka sendiri, untuk menciptakan kehidupan dari
sumber daya mereka sendiri, serta untuk mengembangkan diri mereka
sebagai manusia. Sekali lagi, hal ini mengisyaratkan perlunya
perencanaan dari bawah (masyarakat).
Oleh karenanya, dimasa depan pengembangan perencanaan
dari bawah, konsiderasi regional perlu ditingkatkan untuk menyerasikan
orientasi top down dan sektoral. Dengan demikian, keterpaduaan dan
keserasiaan pada tingkat lokal akan lebih besar terhadap peranan LSM
dan lembaga kontrak masyarakat dengan aparatur pemerintah dalam
kegiatan substantif tertentu. Disamping itu, perlu pula dikembangkan
komunikasi sosial aparatur pemerintah dengan kerabat kerjanya
(sounding partner).
Pemikiran yang mendasari perlunya partnership ini adalah
bahwa seperti biasanya, perkembangan administrasi pemerintahan
sering kali tertinggal oleh kemajuan ekonomi dan teknologi yang
melahirkan teori-teori dan pemikiran-pemikiran baru dalam manajemen
bisnis, Dengan sendirinya maka aparatur pemerintah harus mencari
"teman" atau partner yang bisa memikul sebagian kecil atau besar
beban yang dipikulnya. Semakin banyak partner yang bisa diajak
bekerjasama, maka akan semakin dekatlah aparatur negara kepada
tugas steering (mengemudi atau mengendalikan) dan bukannya rowing
(pengayuh kapal). Secara lebih mendasar, orientasi ini juga berarti
desentralisasi perencanaan pembangunan kepada satuan
masyarakaat (daerah) yang lebih kecil, yang hakekatnya adalah untuk
meningkatkan partisipasi seluruh lapisan masyarakat dalam
pembangunan.
8
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
10. Dimensi kedua adalah menghentikan orientasi ingin melakukan
mengatur semua hal dengan dalih agar lebih terbina atau lebih tertib,
sering kali justru tidak berfungsi dan kurang efektif. Ini antara lain terlihat
dibidang perizinan. Ijin usaha, untuk surat fiskal dan keterangan-
keterangan lain, uji petik berlaku dalam jangka waktu yang pendek.
Banyak yang cukup beralasan, tetapi lebih banyak yang berlebihan dan
tidak fungsional, dalam arti tidak berjalan sesuai dengan fungsi
sebenarnya. Hambatan-hambatan seperti ini biasanya berkaitan
dengan orientasi aparatur yang ingin menciptakan tambahan meja
(biro) yang bisa merupakan kekuasaan. Hal ini oleh Awaluddin Djamin
disebut sebagai membangun action laden department atau lembaga-
lembaga yang membangun kekuasaan ijin.
Adanya rantai birokrasi yang panjang tersebut, jelas menjadi
faktor penyebab tidak efektifnya dan tidak rasionalnya administrasi
pemerintahan atau birokrasi. Padahal,konsepsi birokrasi sebagai mana
dipopulerkan oleh Weber sejak semula dimaksudkan sebagai suatu
organisasi yang rasional dalam rangka pengambilan keputusan untuk
kepentigan yang lebih luas, sehingga birokrasi merupakan suatu
instrumen kelembagaan yang dibentuk untuk mencapai efisiensi dan
efektivitas suatu penyelenggaraan tugas atau urusan. Inilah makna
debirokratisasi, deregulasi dan desentralisasi yang dewasa ini terus
digalakkan. Bahkan sebenarnya, peranan aparatur pemerintah--
terutama pada tingkat lokal-- adalah justru mengenbangkan
kemampuan keswadayaan dan keswakarsaan masyarakat itu sendiri.
Meskipun demikian, fungsi pengendalian dan fungsi peraturan tetap
diperlukan, misalnya melalui cara-cara tak langsung, atau lebih penting
lagi melalui kebijaksanaan dengan instrumen kebijaksanaannya. Ini
benar-benar memerlukan perubahan orientasi dalam birokrasi yang
tercermin dalam perubahan sikap aparatur pemerintah.
Dengan demikian dapat ditarik suatu benang merah dari dua
perubahan diatas yaitu bahwa semuanya berupaya menemukan
kembali hakikat dari administrasi negara atau administrasi pemerintah.
9
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
11. Dan hakikat keduanya, sesungguhnya adalah pelayanan masyarakat
(public service). Dalam kaitan ini, Korten dan Klaus (1994) menawarkan
pendekatan baru yang dinamakan people centered development atau
pembangunan yang diperuntukkan bagi kepentingan rakyat sebagai
pengganti top down approach. Namun pendekatan ini harus ditopang
oleh empat aspek, yaitu capacity (kemampuan untuk melakukan
pembangunan), equity (pemerataan hasil-hasil pembangunan),
empowerment (pemberian hak atau wewenang untuk melakukan hal-
hal yang dianggap penting), sustainable (kemampuan untuk hidup
terus).
Untuk mencapai hal tersebut diatas, Osborne dan Gaebler telah
memberikan strategi perestroika yang meliputi sepuluh langkah, yaitu
pemerintahan katalis, pemerintahan milik rakyat, pemerintahan yang
kompetitif, pemerintahan yang digerakkan oleh misi, pemerintahan
yang berorientasi hasil, pemerintahan wirausaha (entrepreneur),
pemerintahan antisipatif, pemerintahan desentralisasi, dan
No. Wilayah Daerah Sampel
1 Kalimantan Timur Kab. Berau
2 Kalimantan Barat Kab. Kapuas Hulu
3 Kalimantan Selatan Kab. Tanah Laut
4 Kalimantan Tengah Kab. Barito Timur
E. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan kajian ini adalah untuk
menghasilkan hal-hal sebagai berikut:
1. Teridentifikasikannya intensitas dan berbagai bentuk partisipasi
masyarakat/lembaga adat dalam pembangunan daerah guna
menunjang kebijakan otonomi luas.
2. Teridentifikasikannya pola-pola atau model partisipasi masyarakat /
lembaga adat yang dilakukan dan prospek pengembangannya
diwaktu yang akan datang.
10
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
12. 3. Tersusunnya saran/rekomendasi kebijakan bagi pemerintah
kabupaten untuk menggerakkan kelompok/lembaga masyarakat
adat agar aktif dan mampu berkontribusi optimal dalam proses
pembangunan daerah yang inklusif.
Adapun kegunaan hasil kajian ini adalah untuk menjadi rujukan
bagi pemerintah daerah (khususnya wilayah yang tergolong pedesaan)
untuk memahami karakteristik lembaga/kelompok masyarakat adat,
serta menetapkan kebijakan yang diperlukan untuk memberdayakan
peran dan posisinya di era otonomi luas dewasa ini, sehingga dapat
diwujudkan prinsip good local governance dalam proses pembangunan
daerah.
F. Target / Hasil yang Diharapkan
Hasil akhir yang ingin dicapai dari kajian ini adalah tersusunnya
sebuah laporan tentang identifikasi karakteristik obyek kajian, kondisi
dan permasalahan yang dihadapi, serta arah kebijakan pengembangan
partisipasi masyarakat (dan lembaga) adat di wilayah Kalimantan
dalam rangka mendukung program-program pembangunan daerah.
G. Status dan Jangka Waktu
Kajian ini merupakan program baru yang dilaksanakan untuk
wilayah Kalimantan. Adapun jangka waktu yang dibutuhkan untuk
pelaksanaan kajian ini adalah 9 bulan, yakni periode April - Desember
11
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
13. BAB II
KERANGKA TEORETIS PENGUATAN PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DAERAH
A. Konsepsi dan Ruang Lingkup Partisipasi, serta Kaitannya
Dengan Konsepsi MasyarakatAdat
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Partisipasi diartikan
sebagai hal ikut serta dalam suatu kegiatan. Partisipasi sendiri dapat
diartikan sebagai suatu gerakan atau kekuatan kelompok atau anggota
kelompok (community/group power) yang bertujuan untuk ikut berperan
atau berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Dengan
mengutip pendapat dari Midgley, Mathur, serta Oakley and Marsden,
Jahja Hanafie (1996:130), issu utama dalam partisipasi kelompok
adalah penekanannya pada distribusi kekuatan (power distribution),
persamaan (equality), keterlibatan (involvement), pembuatan kebijakan
(policy making) dan pengambilan keputusan (decision making).
Partisipasi adalah persoalan relasi kekuasaan, atau relasi
ekonomi-politik, yang dianjurkan oleh demokrasi. Partisipasi warga
masyarakat berada dalam konteks governance, yakni relasi antara
negara (pemerintah) dan masyarakat (rakyat). Negara adalah pusat
kekuasaan, kewenangan dan kebijakan yang mengatur (mengelola)
alokasi barang-barang (sumberdaya) publik pada masyarakat. Didalam
masyarakat tedapat hak sipil dan politik, kekuatan massa, kebutuhan
hidup, dan lain-lain. Dengan demikian, partisipasi adalah jembatan
penghubung antara negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-
barang publik membuahkan kesejahteraan dan human well being
(Sutoro Eko, 2004)
Partisipasi dalam governance berhubungan kuat dengan
gagasan mengenai pembuatan keputusan interaktif, dimana warga,
pengguna, kelompok kepentingan, dan organisasi publik dan swasta
yang mempunyai resiko dalam sebuah keputusan dilibatkan dalam
12
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
14. persiapannya. Ia dimaksudkan menciptakan dukungan bagi usulan
kebijakan, memperbaiki kualitas keputusan dengan mengerahkan
keahlian dan pengetahuan eksternal, dan meningkatkan legitimasi
keputusan demokratis (Klijn dan Koppenjan, 2000).
Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat
yang semakin besar dan beraneka ragam, sementara sumber daya
yang terbatas baik secara kualitas maupun kuantitas, maka perlu
disusun suatu kebijakan yang dapat mengakomodasi berbagai
kebutuhan dan tuntutan tersebut. Oleh karena itu pendekatan
pembangunan partisipatif menjadi rujukan utama dalam upaya
mencapai pembangunan berkelanjutan, yang ditandai oleh besarnya
rasa memiliki dan tanggung jawab.
Pembangunan partisipatif adalah pembangunan yang
bertumpu kepada masyarakat dengan melibatkan sebesar mungkin
peran masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan
hingga monitoring dan perkembangannya. Pendekatan ini dimulai
dengan keikutsertaan masyarakat sebagai pelaku utama
(stakeholders) dalam proses perencanaan pembangunan karena
masyarakat diyakini paling mengetahui dan memahami segala
kebutuhan, pola pikir, sistem nilai, perilaku dan adat istiadat serta
kebiasaan dilingkungannya.
Bantuan Pelaksanaan Pembangunan Partisipatif di Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur, misalnya, merupakan salah satu wujud
pendekatan pembangunan partisipatif yang menempatkan semua
pelaku pembangunan, termasuk kesetaraan gender sehingga
masyarakat menjadi subyek dan pelaku utama dari perencanaan,
pengelolaan sampai dengan monitoring dan evaluasi pembangunan.
Istilah masyarakat adat sendiri mulai disosialisasikan di
Indonesia di tahun 1993 setelah sekelompok orang yang menamakan
dirinya Jaringan Pembelaan Hak-Hak Masyarakat Adat (JAPHAMA)
yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, akademisi, dan aktivis organisasi
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
13
15. parpol menyepakati penggunaan istilah tersebut sebagai suatu istilah
umum pengganti sebutan yang sangat beragam. Pada saat itu, secara
umum masyarakat adat sering disebut sebagai masyarakat terasing,
suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang
berpindah, peladang liar dan terkadang sebagai penghambat
pembangunan, sedangkan pada tingkat lokal mereka menyebut dirinya
dan dikenal oleh masyarakat sekitarnya sesuai nama suku mereka
masing-masing. JAPHAMA yang lahir sebagai bentuk keprihatinan atas
kondisi yang dihadapi oleh kelompok-kelompok masyarakat ditanah air
yang menghadapi permasalahan serupa, dan juga sebagai tanggapan
atas menguatnya gerakan perjuangan mereka ditingkat global. Dalam
pertemuan tersebut disepakti juga bahwa istilah yang sesuai untuk
menerjemahkan istilah indigenous people dalam konteks Indonesia
adalah masyarakat adat (JAPHAMA, 1993).
Dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara I yang
diselenggarakan bulan Maret 1999, disepakati bahwa masyarakat adat
adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara
turun menurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai,
ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri
(Keputusan KMAN No. 10/KMAN/1999 dalam rumusan keanggotaan).
Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat adat terikat
oleh hukum adat, keturunan dan tempat tinggal. Keterikatan akan
hukum adat berarti bahwa hukum adat masih hidup dan dipatuhi dan
ada lembaga adat yang masih berfungsi antara lain untuk mengawasi
bahwa hukum adat memang dipatuhi.
Dalam konvensi ILO No.169 tahun 1986 menyatakan bahwa:
"Bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang
memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan
penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri
mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah
mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan
merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk
memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan
14
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
16. identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi
kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu suku, sesuai dengan
pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka."
Aspek terpenting yang harus diketahui dan disadari oleh pihak-
pihak yang ingin memahami permasalahan yang dihadapi oleh
masyarakat adat adalah kenyataan tentang keragaman masyarakat
adat. Keragaman ini dapat dilihat dari segi budaya, agama dan atau
kepercayaan, serta organisasi ekonomi sosial. Dalam kaitannya
dengan permasalahan lingkungan hidup, sebagian kelompok
memposisikan mereka dengan menekankan pada realita akan adanya
hubungan spiritualitas dari masyarakat-masyarakat adat dengan alam.
Sedangkan kelompok lain, termasuk pemerintah orde baru, mereka
dianggap sebagai penghambat utama dari perkembangan "kemajuan"
khususnya dari segi ekonomi.
Di Indonesia, masyarakat-masyarakat adat yang barangkali
berjumlah lebih dari seribu kelompok. Keberadaan mereka merupakan
suatu kekayaan bangsa karena artinya ada lebih dari seribu ragam ilmu
pengetahuan yang telah mereka kembangkan. Ada lebih dari seribu
bahasa yang telah dimanfaatkan dan dapat membantu pengembangan
khasanah bahasa Indonesia dan masih banyak lagi hal lain yang bisa
mereka sumbangkan.
Sebagian antropolog dan ekolog mengelompokkan mereka
dalam kelompok pemburu-peramu, peladang berpindah dan petani
menetap, ada kalangan lain juga yang mengkelompokkan mereka dari
perspektif sosio-ekologis. Pengelompokan ini bukanlah dimaksudkan
untuk menyederhanakan keberagaman yang mereka miliki melainkan
hanya untuk memudahkan kita untuk dapat memahami dan
menghormati mereka. Kelompok pertama adalah antara lain
kelompok Masyarakat Kanekes di Banten dan Masyarakat Kajang di
Sulawesi Selatan yang menempatkan diri sebagai "pertapa bumi" yang
percaya bahwa mereka adalah kelompok masyarakat "terpilih" yang
bertugas memelihara kelestarian bumi dengan berdoa dan hidup
15
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
17. prihatin. Pilihan hidup prihatin mereka dapat dilihat dari adat tentang
bertani, berpakaian, pola makan mereka, dll. Sedangkan kelompok
kedua adalah, antara lain, Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat
Suku Naga yang juga cukup ketat dalam menjalankan adat tetapi masih
membuka ruang cukup luas bagi adanya hubungan-hubungan
"komersil" dengan dunia luar. Kelompok Ketiga adalah masyarakat-
masyarakat adat yang hidup tergantung dari alam (hutan, sungai,laut,
dll) dan mengembangkan sistem pengelolaan yang unik tetapi tidak
mengembangkan adat yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan
jenis tanaman jika dibandingkan dengan Masyarakat Kasepuhan dan
Masyarakat Suku Naga. Kelompok Empat adalah mereka yang sudah
tercabut dari tatanan pengelolaan sumber daya alam yang "asli"
sebagai akibat dari penjajahan yang telah berkembang selama ratusan
tahun. Mereka yang dapat dimasukkan dalam kelompok ini adalah,
misalnya, Masyarakat Melayu Deli yang bermukim di wilayah
perkebunan tembakau di Sumatera Utara dan menyebutnya dirinya
Tabel 2.1
Pengertian Masyarakat Adat menurut Pemerintah dan
Masyarakat Adat
Menurut UU No. 41 /
1999
Pemahaman oleh
Pemerintah
Pemahaman oleh
Masyarakat Adat
Terikat dan patuh pada
satu hukum adat tertentu
Keterikatan dalam bentuk
hukum tertulis yang
dipatuhi dalam kehidupan
seharian.
Hukum Adat bisa
berupa aturan lisan yang
diingat sepanjang
generasi.
Ada Lembaga Adat Struktur lembaga
yang jelas
Dan diwujudkan dalam
bentuk balai adat atau
yang lainnya.
Struktur lembaga
informal tetapi dipatuhi
dan menjadi bagian dari
kehidupan menyeluruh
masyarakat adat.
Ada Wilayah hukum adat
yang jelas batasnya
Belum ada kejelasan
konsep batas dari wilayah
hukum adat.
Batas dipamahi oleh
masyarakat adat yang
biasanya menggunakan
batas alam.
16
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
18. Di tingkat PBB telah disepakati penggunaan istilah indigenous
people sebagaimana tertuang dalam seluruh dokumen yang
membahas salah satu rancangan deklarasi PBB, yaitu draft of the UN
Declaration On The Rights Of Indigenous Peoples. (Tempo, Kamis 17
Juni 2004). Berikut ini akan ditampilkan perjanjian internasional yang
berkaitan dengan pengakuan dunia internasional atas hak-hak
Sumber: Lokakarya Nasional Kesepahaman Hutan Adat dalam Kawasan
Hutan Negara, Jakarta 5-6 Desember 2001.
Masih mengadakan
pemungutan hasil hutan di
wilayah hutan dan
sekitarnya untuk
memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari
Konsep “pemungutan hasil
hutan” untuk masyarakat
adat belum jelas karena
yang ada adalah
pemungutan hasil hutan
untuk usaha kehutanan
Konsep yang dimiliki
masyarakat adat adalah
pegelolaan. Hutan
menjadi “Bank” yang
akan diambil bisa
dibutuhkan.
Hak Asasi Manusia ICESCR dan ICCPR UDHR, DDRIP,
VDPA
Penentuan diri sendiri ICESCR dan ICCPR DDRIP, VDPA
Hak Kolektif ILO 169, ICESCR dan
ICCPR
DDRIP, VDPA
Hak atas lahan dan
teritori
ILO 169 DDRIP
Kebebasan beragama ICCPR dan Nls UDHR
Hak untuk
pembangunan
ICESCR, ICCPR dan
ILO 169
DDRIP, DHRD,
VDPA
Hak privasi ICESCR, Nls UDHR
HAK-HAK YANG
DIATUR
PERJANJIAN
MENGIKAT
PERJANJIAN
TIDAK
MENGIKAT
Tabel 2.2
Perjanjian Internasional tentang Hak Pengakuan Masyarakat Adat
17
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
19. Pemberitahuan Dini
(Prior Informed Consent)
CBD, Nls DDRIP
Kesatuan Lingkungan CBD RD
Kekayaan Intelektual WIPO, GATT, UPOV,
Nls, CBD
Hak Bertetangga RC
Hak untuk terlibat
dalam perjanjian hukum
Nls
Hak pemilikan budaya UNESCO-CCP,
UNESCO-WHO, Nls
Hak untuk melindungi
budaya tradisional
(folklore)
- UNESCO-WIPO,
UNESCO-F
Pengakuan atas lansekap
budaya
UNESCO-WHO
Pengakuan atas hukum
kebiasaan
ILO 169, NLs DDRIP
Sumber: arel A Posey, Indigenous Rights to Diversity dalam Environment Vol. 38 No. 8.
Berdasarkan tabel 2.2 di atas, maka dapat terlihat setidaknya
ada 10 perjanjian internasional yang mengikat (legally binding). Namun
baru dua buah saja yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia;
yaitu pengesahan pembentukan WTO (World Trade Organization)
melalui UU No. 7 Tahun 1994, Konvensi Keanekaragaman Hayati
dengan UU No. 5 Tahun 1994. Sementara kesadaran masyarakat adat
dunia akan perlunya penentuan nasib sendiri (self determination)
semakin lama semakin kuat. Sebut saja International Alliance of the
Indigenous Tribal Peoples of the Tropical Forests dan Beijing
Declaration of Indigenous Women.
Keberadaan masyarakat adat yang mencapai ribuan
18
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
20. mengharuskan Negara untuk memikirkan nasib mereka. Bukan
dimaksudkan untuk meninggikan kelompok masyarakat adat dari
kelompok masyarakat lainnya, tetapi karena memang kelompok ini
secara alami mempunyai sifat kekhasan sebagai kelompok. Yang
karena kekerabatannya dalam kelompok itu menciptakan budaya yang
terbukti lebih berwawasan lingkungan ketimbang teknologi modern
yang sekarang tengah dikembangkan. Sementara ketakutan bahwa
perhatian terhadap nasib masyarakat adat akan merusak kesatuan
negara Indonesia, tidaklah relevan. Karena upaya 'penyeragaman'
selama ini malah telah memperlemah ketahanan negara Indonesia.
Penseragaman pengelolaan sumber daya alam di sektor
pertambangan, kehutanan (melalui pola HPH dan HTI) juga
perkebunan malah terbukti menghancurkan sumber daya alam itu.
Yang pada akhirnya akan menghancurkan masa depan bangsa ini,
karena kita akan kehilangan sumber penghidupan kita, sementara
pencemaran dan kerusakan hutan makin meningkat.
B. Kebijakan Perencanaan Pembangunan Partisipatif
Model perencanaan pembangunan yang relevan maupun yang
tidak relevan dengan sisi demokrasi dan desentralisasi adalah sebagai
berikut:
1. Model perencanaan teknokratis yakni perencanaan yang disusun
oleh segelintir orang yang memiliki keahlian, pengetahuan dan
pengalaman yang sangat memadai dibidangnya masing-
masing. Sebagai contoh adalah sebuah master plan
bangunan besar yang dirancang oleh para ahli dengan canggih.
Model perencanaan tekhnokratis ini sangat berbahaya bila
diterapkan dalam konteks pembangunan yang beresiko
pada masyarakat, apalagi kalau d i t e r a p k a n d a l a m
merumuskan undang-undang yang membawa r e s i k o
langsung pada masyarakat. Mengapa, sebab perencanaan
tekhnokratis bekerja pada level teknis, yang tidak lagi
memperhitungkan partisipasi, responsivitas terhadap kebutuhan
masyarakat. Karena itu model perencanaan teknokratis itu
harus ditempatkan pada level kedua setelah proses
19
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
21. perencanaan menyelesaikan keputusan dan pilihan politik
yang bersifat partisipatif dan responsif.
2. Perencanaan oligarkhis yaitu perencanaan yang dirumuskan oleh
segelintir orang, terutama pemeri tah dan parlem n. Kedua
institusi ini memang absah secara formal memperoleh mandat
dan
umumnya elitis, tidak demokratis dan
sentralistik.
3. Perencanaan partisipatif atau juga disebut sebagai perencanaan
demokratis yang notabene sebagai lawan dari perencanaan
tekhnokratis dan oligarkhis. Perencanaan model ini disusun secara
responsif berdasarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat,
sedangkan prosesnya berlangsung melibatkan partisipasi
masyarakat. Pembangunan yang berpusat pada rakyat maupun
pembangunan yang berbasis masyarakat mengajarkan bahwa
perencanaan pembangunan harus berbasis pada partisipasi
masyarakat, Undang-Undang maupun pembangunan bukanlah
persoalan teknis-administratif, tetapi sebagai proses dan instrumen
politik yang mempunyai resiko langsung terhadap masyarakat.
Karena itu, penentuan pilihan dan prioritas (ditengah kelangkaan)
pembangunan seharusnya dilakukan secara partisipatif. Tetapi
model perencanaan partisipatif tidak bisa ditempatkan
disembarang tempat, misalnya dalam menyusun master plan
bangunan fisik, yang keputusan politiknya sudah berlangsung secara
partisipatif. Partisipasi masyarakat dalam level teknis
merancang master plan itu justru akan membuat kacau, sehingga
agenda merancang master plan seharusnya diserahkan pada yang
ahli. Lalu masyarakat bertindak melakukan kontrol terhadap
perumusan sampai eksekusi master plan.
4. Perencanaan terpusat atau dari atas ke bawah, yaitu perencanaan
yang dibuat oleh pemeritah pusat lalu diturunkan untuk dilaksanakan
oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Model perencanaan ini
umumnya mengabaikan suara lokal dan partisipasi masyarakat,
sehingga selalu gagal merespons kebutuhan masyarakat lokal.
5. Perencanaan dari bawah keatas yaitu perencanaan yang dimulai
n e
berwenang membuat keputusan. Perencanaan yang
oligarkhis
berwenang membuat keputusan. Perencanaan yang oligarkhis
20
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
22. dari komunitas lokal lalu dibawa naik ke pemerintah daerah dan
akhirnya berujung di tangan pemerintah pusat. Model ini
mengandung proses demokrasi (karena melibatkan partisipasi
masyarakat) dan proses desentralisasi (karena memberi ruang
pada daerah dalam perencanaan).
6. Perencanaan yang terdesentralisasi atau perencanaan devolutif,
yaitu pola perencanaan yang berhenti di tingkat lokal, tanpa
dibawa naik ke pemerintah pusat. Perencanaan besar yang
disiapkan oleh pusat hanya menjadi pedoman dan pijakan
umum bagi perencanaan lokal. Model inilah yang melahirkan
konsep perencanaan daerah dan juga perencanaan desa.
Perencanaan daerah sudah banyak dikaji d a n d i k e m b a n g k a n
banyak pihak, termasuk oleh pemerintah. Tetapi p e r e n c a n a a n
d e s a b e l u m b a n y a k d i p r o m o s i k a n , a p a l a g i
dilembagakan oleh pemerintah, sebab menurut regulasi, desa hanya
menjadi subsistem daerah, sehingga perencanaan lokal berpusat di
daerah.
Berdasarkan Surat Edaran (SE) bersama Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Dalam Negeri
(Nomor 1354/M.PPN/O3/2004,050/744/SJ) dan UU Nomor 25 Tahun
2004, model perencanaan pembagunan partisipatif nampaknya akan
mendapatkan tempat yang baik pada perencanaan pembangunan di
tingkat Kabupaten. Dengan terbitnya Surat Edaran (SE) Bersama
Menteri Dalam Negeri (Nomor 1354/M.PPN/O3/2004,050/744/SJ)
maka mekanisme perencanaan pembangunan yang mengacu pada
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1982 tentang
Pedoman Penyusunan Perencanaan Pengendalian Pembangunan di
Daerah (P5D) Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
N a s i o n a l d a n M e n t e r i D a l a m N e g e r i ( N o m o r
1354/M.PPN/O3/2004,050/744/SJ) dan UU Nomor 25 Tahun 2004,
disebutkan bahwa proses perencanaan pembangunan di Kabupaten
harus dilakukan secara partisipatif. Stakeholders dari desa, pemerintah
desa dan masyarakat sipil mulai mendapat tempat untuk mengawal
usulan perencanaan pembangunan dari desa hingga Kabupaten.
21
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
23. Secara umum, asas dan tujuan dengan adanya UU Nomor 25
Tahun 2004 ini adalah menjamin kepastian partisipasi masyarakat
dalam setiap proses perencanaan pembangunan di daerah dengan
arah kebijakan pembangunan di daerah dengan arah kebijakan
pembangunan nasional, seperti yang tercantum dalam Pasal 2 Ayat (4)
yang berbunyi sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan
untuk:
a. Mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan;
b. Menjamin terciptanya intregasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar
daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah, maupun
antar pusat dan daerah;
c. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran pelaksanaan, dan pengawasan;
d. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
e. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien,
berkeadilan, dan berkelanjutan.
Dibandingkan dengan versi Permendagri, model perencanaan
pembangunan daerah versi SE terlihat lebih akomodatif dengan
semangat demokratisasi yang sekarang terjadi di Indonesia. Tentang
partisipasi misalnya, peserta perencanaan pembangunan lebih luas
dengan melibatkan seluruh komponen yang ada di masyarakat. Adanya
fasilitator dari unsur masyarakat dan aparat pemerintah yang
mempersiapkan musrenbang desa/kelurahan membuat kemungkinan
bias elit dapat diminimalisasi.
Dalam memperkuat partisipasi masyarakat perlu dilakukan hal-
hal sebagai berikut:
1. Mendorong kesadaaran kapasitas kritis berbagai organisasi lokal
terhadap isu-isu pemerintahan dan pembangunan. Kesadaran
dan kapasitas kritis tentu bisa ditempa melalui pembelajaran lokal,
sebelum warga masuk ke dalam forum warga, misalnya melalui
diskusi disetiap ruang publik yang ada (warung, pos kamling,
sungai, sawah, hutan, dsb).
2. Memahami dan meneliti konteks politik dan kultural yang didalamnya
22
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
24. partisipasi terjadi. Partisipasi tidak dapat terjadi dalam sebuah
ruangan hampa, tetapi pembangunan dan kemajuannya akan
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang melekat pada
konteks. Oleh karena itu, waktu seharusnya dibuat tersedia, pada
permulaan perencanaan, membutuhkan upaya identifikasi dan
analisis faktor- faktor yang dapat mempengaruhi proses. Dalam hal ini,
terutama untuk para katalis partsisipasi, sebuah analisis
stakeholders adalah sebuah langkah pertama yang sangat berguna.
3. Akses dan arus informasi yang terbuka merupakan rujukan
pengetahuan bagi warga untuk berpartisipasi. Yang paling dasar
informasi memberi pasokan pengetahuan untuk berpartisipasi.
Warga yang berpengetahuan adalah lebih berpendidikan untuk
mengambil keuntungan kesempatan, mengakses pelayanan,
menggunakan hak-haknya, berunding dengan efektif, membuat
pelaku pemerintah dan non negara bertanggungjawab. Tanpa
informasi yang bersangkut paut (relevant), tepat pada waktunya, dan
tersajikan dalam bentuk yang dapat dipahami, tidak mungkin bagi
masyarakat adat untuk mengambil keputusan secara efektif.
4. Proses yang bersifat deliberatif dan sangat dipengaruhi oleh
penguasaan dan keterampilan menggunakan berbagai dan tekhnik
partisipasi. Metode partisipasi yang efektif, yang sesuai dengan
kebutuhan situasi, sangat diperlukan agar partisipasi yang berjalan
menjadi suatu proses yang kreatif, produktif dan sekaligus
memberdayakan. Proses yang deliberatif dan inkulsif juga menuntut
perubahan peran perencana dan policy analyst, atau para katalis
komunitas menjadi lebih sebagai perantara, negoisator dan
mediator. Mereka harus memahami masalah dan melihat peluang
untuk masa depan melalui pandangan multipihak. Tantangan yang
terbesar dalam proses partisipasi adalah bagaimana suara
mereka yang tertinggal dapat didengar dan mempengaruhi
keputusan yang diambil.
5. Dalam tahap persiapan perencanaan program, harus secara jelas
dipahami bahwa proses partisipatif tidak perlu mengikuti petunjuk
struktural dan linear. Partisipasi tidak harus dilihat hanya sebagai
sebuah input ke dalam sebuah program atau kebijakan, tetapi
23
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
25. sebagai sebuah prinsip operasional mendalam yang seharusnya
menyokong semua kegiatan. Partisipasi harus hakiki terhadap
pembangunan dan tidak tidak hanya sebuah kegiatan yang
digunakan dari waktu ke waktu untuk membangkitkan kepentingan.
C. Dari Partisipasi Komunitas Menuju Partisipasi Warga
Sejak jaman orde baru partisipasi masyarakat telah dicoba
untuk digalakkan dengan berbagai alasan. Sebagian orang
menganggap bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan
harus atau bahkan mutlak dilakukan berdasarkan pertimbangan praktis
karena masyarakat sendirilah yang paling tahu kebutuhan mereka. Hal
ini didukung dengan kenyataan di lapangan dimana banyak hasil
pembangunan tidak dimanfaatkan kelompok sasarannya hanya karena
mereka sejak awal tidak dilibatkan dalam proses-proses pengambilan
keputusan yang langsung menyangkut kehidupan mereka sehingga
hasil pembangunan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Sebagian lagi beranggapan bahwa partisipasi masyarakat dalam
pembangunan harus diterapkan berdasarkan pertimbangan yang lebih
konseptual seperti, antara lain, adanya anggapan yang melihat
partisipasi merupakan wujud nyata dari penerapan demokrasi atau
bahkan ada yang lebih mendasar yang beranggapan bahwa pada
dasarnya manusia itu unik dan merdeka jadi kebahagiaan seseorang
tidak mungkin ditentukan oleh orang lain tanpa terlebih dahulu bertanya
atau berkonsultasi kepada yang bersangkutan.
Dalam rangka mengoperasionalkan pemikiran tersebutlah
beberapa departemen pada masa orde baru telah memprakarsai
upaya-upaya pengembangan model dan pengaturan seperti, antara
lain, Departemen Dalam Negeri pada tahun 1982 menerbitkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 09 Tahun 1982 tentang
Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan
di Daerah (P5D), yang lebih dikenal sebagai "bottom up planning" dan
merupakan prosedur tetap dalam perencanaan pembangunan di
daerah yang harus diikuti oleh semua pihak yang berkepentingan
termasuk semua instansi pemerintah, pusat dan daerah, Departemen
24
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
26. Kesehatan dengan 3T (Tinjau-Telaah-Tindak) dan Departemen PU
dengan IPP (Intensifikasi Penyuluhan Perumahan), dsb. Meskipun
sudah banyak upaya dan model pembangunan berikut landasan
hukumnya telah diciptakan dan dipraktekkan dalam kenyataannya
model-model pembangunan partisipatif ini masih belum melembaga,
paling tidak untuk dapat dikatakan sebagai pola utama (main stream)
pembangunan nasional.
Hal tersebut terjadi oleh sebab berbagai alasan, yang paling
banyak dituduh adalah sistem pemerintahan yang sentralistik, yang
tidak kondusif terhadap pola-pola pembangunan partisipatif yang
melibatkan masyarakat akar rumput (grassroot) dalam proses
pengambilan keputusan. Kenyataannya setelah era reformasi dan
desentralisasi situasinya tidak banyak berubah, hal tersebut terjadi
karena tidak ada perubahan yang fundamental dalam budaya
pembangunan itu sendiri yang bila ditarik lebih dalam maka
persoalannya terletak pada pribadi para petugas yang bersangkutan
yang menjadi motor budaya pembangunan itu sendiri. Hal ini terbukti
bahwa terlepas dari sistem dan budaya yang ada ternyata di berbagai
tempat muncul oase pembangunan partisipatif yang cukup berhasil,
antara lain; Surakarta dengan peremajaan Mojosongo, Balikpapan
dengan peremajaan sepanjang kali Gunungsari Ilir, Palembang dengan
peremajaan 12 Ulu, Lombok dengan perumahan peternak kerbau di
Darek, Samarinda dengan Citra Niaganya, dsb. Di samping peran para
petugas pemerintah yang mampu menjadi agen pembaruan,
keberhasilan tersebut juga terjadi karena komunitas sasarannya lebih
jelas, bukan dalam arti skala/besaran fisik, tetapi lebih berarti kejelasan
ikatan sosial (common bound) komunitas kelompok sasaran; seperti
komunitas sepanjang sungai di Mojosongo, komunitas kawasan kumuh
12 Ulu, komunitas peternak kerbau di Darek, dsb.
Pada skala komunitas, dimana konsep masyarakat dalam arti
community adalah lebih jelas dalam menggalang partisipasi
masyarakat atau community participation dapat dengan lebih mudah
dilakukan. Persoalannya menjadi lain pada skala kota dimana konsep
25
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
27. masyarakat dalam artian komunitas menjadi tidak jelas, yang ada
adalah masyarakat umum atau warga kota sehingga partisipasi
masyarakat pada skala kota harus diartikan sebagai partisipasi warga
atau "citizen participation".
Dalam keterkaitan ini maka berbagai metoda yang
dikembangkan dalam rangka melaksanakan partisipasi masyarakat di
skala komunitas tidak lagi dapat digunakan secara efektif, perlu
dikembangkan pendekatan dan mekanisme baru yang lebih menjamin
keterlibatan sebanyak mungkin warga masyarakat kota dalam proses
pengambilan keputusan. Persoalan yang dihadapi oleh para promotor
pembangunan partisipatif adalah siapa yang akan dilibatkan dan
bagaimana caranya; Individu/warga; berapa % dari penduduk kota,
perwakilan; perwakilan siapa dan bagaimana? Jadi semua menghadapi
satu perkara klasik yang harus dipecahkan, yaitu legitimasi versus
representasi. Bagaimana mencapai tingkat representasi dan legitimasi
yang dapat diterima oleh orang banyak (the masses).
Pada saat ini pemerintah sedang menggalakkan pelaksanaan
proyek penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP) yang intinya
penanggulangan kemiskinan melalui proses pengorganisasian
masyarakat dan pengembangan kapital sosial yang dilakukan dengan
pendekatan pemberdayaan khususnya pengembangan penyadaran
kritis manusia terhadap diri dan lingkungannya yang pada gilirannya
diyakini akan memulihkan nilai-nilai luhur kemanusiaan di masyarakat
mulai dari masyarakat peserta P2KP. P2KP percaya dan yakin bahwa
kemiskinan terjadi justru karena lunturnya nilai-nilai luhur kemanusiaan
di masyarakat, sehingga semua memudar; kepedulian, keadilan,
keterbukaan, kerukunan, tanggung gugat, dsb. menjadi kehilangan
maknanya, yang muncul justru memperparah kemiskinan itu sendiri.
Pengorganisasian masyarakat dalam kaitan P2KP ini diartikan
sebagai langkah awal penyadaran masyarakat sehingga pada
gilirannya akan terbangun masyarakat warga yang terorganisasi
(organized community) yang siap untuk menghadapi berbagai
26
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
28. tantangan pembanguan termasuk kemiskinan dengan menggalang
potensi bersama dan melakukan tindakan-tindakan yang terorganisasi
berbasis nilai (value based development). Untuk mengemudikan
masyarakat warga yang terorganisasi ini kemudian masyarakat
membentuk lembaga pimpinan kolektif yang secara generik disebut
BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat).
BKM dalam posisinya sebagai pimpinan kolektif masyarakat
warga yang juga merupakan representasi warga yang sah dapat
menjalin hubungan kerjasama dengan berbagai organisasi dan
lembaga lain baik setempat atau di tingkat yang lebih tinggi untuk
mencapai tujuan yang diharapkan oleh himpunan masyarakat warga
tersebut dengan lebih mudah dan efektif. Forum koalisi antar BKM inilah
yang nantinya dapat menjadi mitra sejajar bagi pemerintah
kota/kabupaten dalam melaksanakan pembangunan partisipatif dari
mulai perencanaan sampai dengan pengelolaan.
D. Urgensi Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan
Pentingnya partisipasi ini antara lain dikemukakan oleh Bep
Fritschi (et.al., 1993:214-215), yang berpendapat bahwa terdapat dua
alasan pokok untuk mengembangkan partisipasi kelompok. Pertama,
alasan-alasan yang mengacu kepada kelompok sendiri, yakni bahwa
kelompok berhak untuk ikut terlibat dalam keputusan-keputusan yang
menyangkut hari depan mereka. Kedua, alasan yang berkaitan dengan
efektivitas dan efisiensi, dalam pengertian jika kelompok benar-benar
diberikan kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam proses
organisasional, maka organisasi akan berlangsung lebih efektif dan
efisien.
Sebagai ilustrasi mengenai partisipasi, Bank Dunia (1992:93)
pernah menyatakan bahwa "banyak masalah lingkungan tidak dapat
diatasi tanpa partisipasi aktif dari penduduk setempat". Tentu saja, apa
yang dikemukakan oleh Bank Dunia tersebut tidak semata-mata
meliputi aspek lingkungan, tetapi juga bidang-bidang lain dalam
pembangunan suatu negara dan masyarakat, serta kehidupan dalam
27
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
29. suatu organisasi besar maupun kecil.
Uraian diatas sekaligus menyiratkan bahwa keberhasilan
pembangunan daerah di era otonomi tidak berada ditangan para
pemegang kebijakan (policy holders) semata, tetapi justru terletak pada
terjalinnya sinergi yang saling memperkuat (mutual interrelations)
diantara pilar-pilar pembangunan daerah, yakni pemerintah daerah,
kalangan dunia usaha, serta masyarakat luas termasuk kelompok
masyarakat adat.
Dalam konteks kebijakan otonomi daerah, urgensi partisipasi
masyarakat dalam pembangunan semakin tinggi. Sebab, jiwa atau
semangat otonomi adalah kewenangan kesatuan masyarakat hukum di
daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Tercakup
dalam pengertian kesatuan masyarakat hukum disini tidak hanya
pemerintah Kabupaten/Kota saja, tetapi juga meliputi kelompok
masyarakat adat, para pelaku bisnis lokal, NGO/organisasi
kemasyarakatan, lembaga profesi, serta unit pemerintahan yang lebih
kecil seperti Kecamatan, Kelurahan/Desa, bahkan juga Rukun Warga
dan Rukun Tetangga. Namun dalam prakteknya, otonomi lebih banyak
diterima oleh daerah otonom yang direpresentasikan oleh pemerintah
daerah (kabupaten/kota), dibanding oleh komponen masyarakat lokal
lainnya. Akibatnya, Undang-Undang Otonomi Daerah lebih
mencerminkan pengaturan tentang "otonomi pemerintahan daerah"
dari pada "otonomi daerah" itu sendiri. Kondisi obyektif bahwa otonomi
daerah belum menyentuh masyarakat di level terbawah inilah yang
diperkirakan menjadi kendala pertama dalam upaya membangun dan
mengembangkan partisipasi masyarakat (lembaga/kelompok
masyarakat adat).
Pada tataran yang lebih mikro, terdapat indikasi bahwa
lembaga/kelompok masyarakat adat seringkali kurang mendukung
secara penuh kebijakan dan program pembangunan pemerintah
daerah yang bersangkutan. Hal ini bisa disebabkan antara lain oleh
belum dibukanya kesempatan secara luas untuk berpartisipasi,
28
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
30. kurangnya informasi dari pemerintah daerah tentang berbagai program
yang dapat dilaksanakan secara partisipatif, atau bisa juga oleh
keengganan dari lembaga adat/kelompok masyarakat adat untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan karena alasan-alasan
tertentu.
Dengan demikian, upaya mengembangkan partisipasi
masyarakat adat tidak dapat dilepaskan dari dua strategi kunci, yakni: 1)
dari dimensi pemerintahan (top-down), memperbaiki aspek kualitas
proses dan mekanisme kebijakan publik maupun materi kebijakan yang
terkait; dan 2) dari dimensi kemasyarakatan (bottom-up), memberikan
kesempatan yang lebih luas, insentif dan stimulan yang tepat, informasi
terbaru, serta kepercayaan yang lebih besar untuk menjadi bagian
integral dari proses berjalannya pemerintahan di daerah.
Manfaat yang diperoleh dari partisipasi aktif dan positif
masyarakat adat terhadap pembangunan:
1. Dengan adanya dukungan/partisipasi aktif dari masyarakat maka
sangat membantu dalam pelaksanaan program kerja/kegiatan
pemerintah.
2. Masyarakat adat merasa bahwa hak-haknya di penuhi dengan tidak
melupakan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia;
3. Kebersamaan dalam menyelesaikan berbagai masalah yang timbul,
fungsi legislatif sebagai wakil rakyat telah semakin meningkat
kualitasnya dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh eksekutif.
4. Terbantunya dalam melestarikan wisata alam dan wisata budaya.
5. Keamananan yang cukup terkendali.
E. Pentingnya Hukum Adat Untuk Pemberdayaan Institusi dan
Masyarakat Adat, Semangat dan Prinsip Universalitas Hak
Azasi Manusia
Terminologi "Adat" dan "Hukum adat" seringkali dicampur aduk
dalam memberikan suatu pengertian padahal sesungguhnya keduanya
adalah dua lembaga yang berlainan. Adat sering dipandang sebagai
29
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
31. sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal, ketinggalan zaman,
tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat
dimaklumi karena "adat" adalah sesuatu aturan yang tanpa adanya
sanksi riil dimasyarakat kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat
berkaitan dengan soal-soal pantangan untuk dilakukan ( tabu dan
kualat ). Terlebih lagi muncul istilah-istilah adat budaya, adat istiadat dll.
Hukum Adat adalah Wujud gagasan kebudayaan yang terdiri
atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu
dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan memiliki sanksi riil
yang sangat.
Istilah - istilah dalam pemahaman adat didasarkan atas level-
level :
* Adat itu adalah hukum dan aturan yang berlaku dimasyarakat dibuat
atas dasar kesepakatan
* Adat yang diadatkan yaitu komunitas yang mempunyai ketentuan-
ketentuan hukum (produk hukumnya yang disebut Awig-awig)
telah ditetapkan .
* Adat yang teradat, jika produk hukum itu sudah menjadi adat
kebiasaan masih tetap diberlakukan ditengah masyarakatnya.
* Adat Istiadat, kebiasaan-kebiasaan secara turun temurun yang
didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan leluhur (lebih pada
ketentuan- ketentuan tata cara ritual) yang kini perlu mengalami
perubahan untuk disesuaikan (transformasi) pada era
kekinian.
Melihat dalam perspektif keberadaan kelembagaan adat dan hukum
adat dalam keseharian adalah merupakan bentuk keaslian dari
masyarakat setempat yang memiliki azas gotong royong (partisipasi)
bukan mobilisasi karena didasarkan atas kebutuhan bersama. Nilai-
nilai gotong royong dan semangat kebersamaan ini sesungguhnya
merupakan padanan dari cita-cita masyarakat Desa yaitu Demokrasi,
partisipasi, transparansi, beradat, akuntabilitas dan saling menghormati
perbedaan ( keberagaman ).
30
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
32. Semua suku bangsa dan etnis di Indonesia memiliki dan terikat
secara kultural maupun sosial ekonomi atas aturan dan tatanan nilai
tradisional yang mengacu kepada adat dan hukum adat dengan
penselarasan hukum-hukum agama atau kepercayaan .
Keunggulan nilai-nilai lama yang sebagian orang dikatakan
ketinggalan zaman ini telah terbukti bermanfaat bagi upaya-upaya
penyelamatan lingkungan yang kini telah mengalami degradasi dan
eksploitasi berlebihan akibat pembangunan selama ini berorientasi
pada pertumbuhan berbagai bidang dan sektor pembangunan yang
diintrodusir pihak pelaku pembangunan modern yang telah
menimbulkan implikasi negatif terhadap nilai-nilai tradisional, termasuk
sistem kekuatan aturan kebijakan yang bersifat sentralistis dan
hegemoni penguasa.
Namun tanpa disadari bahwa nilai luhur dari semua aspek
kehidupan telah diatur dengan norma-norma hukum adat yang teradat.
Masyarakat adat memiliki tatanan dan lembaga adat dengan berbagai
perangkat hukum yang dimiliki dan memiliki eksistensi yang kuat hingga
saat ini. Lembaga adat yang keberadaan dan aplikasinya ditengah
masyarakat masih kuat ini bagaikan sebuah bangunan kuno yang yang
sarat dengan berbagai sejarah dan legenda yang tidak lekang oleh
panas dan tidak lapuk oleh hujan.
Lembaga adat terbukti sebagai lembaga yang menyelesaikan
konflik-konflik yang tidak mampu ditangani oleh struktur lembaga formal
walaupun pada rezim orde baru dengan perangkat peraturan dan
perundangan tidak menempatkan masyarakat adat sebagai pemegang
kedaulatan justru sebaliknya malah memporak-porandakan pranata-
pranata adat secara sistematis. Merubah bahkan menghilangkan
institusi adat serta sistemnya dan undang-undang yang diseragamkan
berpengaruh besar terhadap perubahan prilaku kehidupan karena tidak
sesuai lagi dengan substansi adat yang sesungguhnya.
Masyarakat adat adalah pihak yang paling banyak dirugikan
31
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
33. oleh pihak pemerintah. Dalam kebijakan nasional, eksistensi atau
keberadaan masyarakat adat belum terakomodasi dan bahkan
disingkirkan dalam politik nasional. Hal ini terlihat secara gamblang
dalam pendefinisian sebagai masyarakat terasing, peladang
berpindah, peladang liar, masyarakat rentan, perambah hutan,
masyarakat primitif. Pendefinisian ini mempercepat penghancuran
sistem masyarakat adat. Masyarakat adat itu berdasarkan suku bangsa
dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memikiki sejarah
sebelum invansi dan penjajah dan menganggap berbeda dengan
komunitas lain. Mereka bukan bagian dari yang dominan dan bertekad
untuk mempertahankan adat istiadat, sesuai dengan pola budaya dan
lembaga masyarakat adat menurut jaringan JAPAMA di Toraja 1993,
masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul
temurun di wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai di daerahnya
sendiri.
Selama ini para perencana pembangunan, menganggap nilai-
nilai budaya simbol keterbelakangan, bertolak dari itu perlu dilakukan
perubahan sosial budaya yakni mencabut nilai-nilai tradisional untuk
digantikan nilai-nilai lain, yakni nilai Barat. Pencabutan nilai-nilai
tradisional itu melalui produk perundangan-perundangan, perda, dan
lain-lain produk hukum itu yang diterapkan pada masyarakat adat
bersifat sentralistik dan seragam, UU Nomor 5 Tahun 1979 merubah
sistem wilayah kekuasan masyarakat adat menjadi desa. Ini awal tidak
berfungsinya pemerintahan adat, pemisahan kepala kampung dengan
masyarakatnya. Kades berkuasa di atasnya semuanya. Kepala adat
memerintah berdasarkan otoritas tradisional. Buntut dari dualisme ini
adalah tersingkirnya kepala adat. Kepala adat hanya dipercayai untuk
mengatur adat-istiadat saja. Masyarakat adat hanya ada untuk
kepentingan pariwisata, proses penyingkiran masyarakat adat
berkaitan dengan faktor-faktor struktural, cara mengatasinya dengan
pendekatan strukural. Sistem pemerintahan sentralisasi diganti
desentrasilisasi.
Hukum Indonesia yang merupakan warisan Belanda dalam
32
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
34. penerapannya oleh penegak hukum tidak sebagaimana di negeri
asalnya, tidak menghargai hak-hak individu dan berpikir rasional.
Penerapan di Indonesia dengan pola pikiran orang Indonesia, dengan
pola pikiran adat. Rakyat Indonesia masih hidup dengan
mengutamakan keagamaan, religius magis. Kondisi ini mempengaruhi
tindakan diskriminatif dan tidak adil. Seharusnya keadilan hukum
mengakar dan bersumber pada budaya suku itu sendiri. Keragaman di
Kalimantan Barat, banyak peraturan perundangan yang kurang
diterima masyarakat. Hukum rasional yang dibuat harus diterima
semua pihak, harus dirumuskan secara umum, hal-hal yang bersifat
operasional harus diserahkan pada hukum adat yang berlaku pada
masing-masing setiap suku, kewenangan untuk mengatur hal-hal
operasional pada setiap suku harus diberikan. Hukum dirumuskan
secara umum dan operasionalnya diberikan pada masyarakat
setempat. Semangat dan prinsip hak universal manusia. Hak tidak
asing pada masyarakat manapun saja.
Hak telah terpatri semenjak manusia lahir, hak untuk siapa saja,
hak bernama kemerdekaan, hak makhluk hidup, harkat kemanusiaan,
hak cinta kasih sesama, indah dan hak yang namanya terbukaan, hak
yang bebas dari rasa takut. Hak untuk tenteram, hak untuk memberi dan
hak menerima dan hak untuk bicara dan hak untuk diam, hak untuk
berani, hak menghindar, hak menyendiri, hak untuk menanam dan
mamanen, hak untuk dilindungi dan melindungi. Namun hak mengalami
perubahan, distorsi fungsi yang menyangkut manusia.
Darimana datangnya hak? Ini dikembalikan kepada Sang
Pencipta, Dia yang memberikan dan mencabut kecuali manusia-
manusia yang mencuri hak dari Tuhan itu. Dalam sejarah HAM
berkembang pesat di internasional sejak Perang Dunia II dalam
perangkat hukum, diakhir abad 20 hak asasi manusia (HAM) diangkat di
negara demokrasi. Hak asasi sebagai etika manusia modern. Adanya
tuntutan moral, amat kuat untuk melindungi orang yang lemah baik
karena usia, status sosial, jenis kelamin. HAM bagian tak terpisahkan
dari TAP MPR 17 Tahun 1989 tentang Hak Asasi Manusia. HAM adalah
33
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
35. adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia, universal dan
abadi, misalnya hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak berkomunikasi,
hak keamanan, dan hak kesejahteraan. Oleh karena itu tidak boleh
diabaikan dan dirampas oleh siapapun. Hak individu masing-masing
orang, hak kolektif yang dapat dinikmati bersama, hak ganti rugi yang
kebebasannya dilanggar. Hal sipil dan masyarakat ini dimuat dalam
34
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
36. BAB III
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEBAGAI UPAYA
PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT
A. Makna dan Hakekat Pemberdayaan
Pemberdayaan adalah rangkaian upaya aktif agar kondisi dan
keberadaan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat, dan
lembaga adat dapat lestari dan makin kukuh, sehingga hal itu berperan
positif dalam pembangunan nasional dan berguna bagi masyarakat
yang bersangkutan sesuai dengan tingkat kemajuan dan
perkembangan zaman.
Pemberdayaan merupakan suatu konsep yang menjelaskan
berbagai upaya untuk memperkuat posisi seseorang untuk melalui
pertumbuhan kesadaran dan kemampuan individu yang bersangkutan
untuk mengidentifikasi persoalan yang dihadapi dan memikirkan
langkah-langkah mengatasinya. Inti dari kegiatan pemberdayaan
adalah motivasi untuk memahami kondisi dan situasi kerja sehari-hari
serta menumbuhkan kemampuan dan keberanian mereka untuk
bersikap kritis terhadap kondisi yang mereka hadapi, sehingga
kuncinya adalah membangun partisipasi.
Pembangunan yang memberdayakan hanya bisa tercapai
melalui sikap intrinsik memanusiakan manusia, yakni melalui
penggalian dan penghargaan pada nilai-nilai luhur kemanusiaan, dan
melalui pengembangan prakarsa dan partisipasi masyarakat menolong
diri sendiri untuk "berdiri di atas kaki sendiri". Dalam hal ini,
keswadayaan adalah sumber yang abadi. Pemberdayaan memerlukan
proses belajar yang produktif dan reproduktif. Produktif dalam
pengertian memampukan manusia agar dapat mendayagunakan
potensi diri dan lingkungannya untuk memperoleh kemanfaatan
(material dan immaterial) pada suatu jangka waktu tertentu; reproduktif,
dalam pengertian mampu mewariskan nilai-nilai kearifan.
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
35
37. Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses perbaikan
yang ditujukan untuk memberikan kemampuan kepada siapapun untuk
mampu melakukan sesuatu yang bermanfaat. Salah satu upaya untuk
mempercepat proses perbaikan dalam pemberdayaan masyarakat
adalah pendampingan. Pendampingan sebagai suatu konsep
berkembang dengan adanya kesadaran baru bahwa masyarakat
bukanlah pihak yang tidak tahu dan tidak mau maju sebaliknya saat ini
mulai dikenali bahwa masyarakat adalah pihak yang mau, memiliki
pengetahuan lokal, mempunyai potensi besar serta kearifan tradisional.
Pemberdayaan Masyarakat adalah suatu proses dimana
masyarakat, khususnya mereka yang kurang memiliki akses kepada
sumberdaya pembangunan didorong untuk makin mandiri dalam
mengembangkan perikehidupan mereka. Dalam proses ini masyarakat
dibantu untuk mengkaji kebutuhan, masalah dan peluang dalam
pembangunan yang dimilikinya sesuai dengan lingkungan sosial
ekonomi perikehidupan mereka sendiri.
Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu upaya untuk
mempersiapkan masyarakat dengan memperkuat kelembagaan
masyarakat agar mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian dan
kesejahteraan dalam suasana keadilan sosial yang berkelanjutan.
Implementasi Pemberdayaan itu sendiri sangat bervariasi dari waktu ke
waktu. Ada dua macam cara yang digunakan, yaitu gaya partisipasi
dengan berbasis hubungan pertemanan dan gaya yang cenderung top
down (dari atas ke bawah) berbasis hubungan yang bersifat
paternalistik.
Pada masa lalu Program pemberdayaan masyarakat, biasanya
dibuat di tingkat Pusat (atas) dan dilaksanakan oleh Instansi Provinsi
dan Kabupaten (top down). Masyarakat yang dilibatkan dalam kegiatan
tersebut tidak diberikan pilihan dan kesempatan untuk memberi
masukan. Hal ini dilakukan untuk mencapai efisiensi dalam
36
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
38. pembangunan dan menganggap masyarakat tidak mempunyai
kemampuan untuk menganalisa kondisi dan merumuskan persoalan
serta kebutuhan-kebutuhannya. Dalam pandangan ini masyarakat
ditempatkan pada posisi yang membutuhkan bantuan dari luar.
Program yang dilakukan dengan pendekatan dari atas ke
bawah semacam ini hasilnya tidak seperti yang diharapkan dan kurang
memberi manfaat kepada masyarakat. Bantuan yang diberikan lebih
banyak menciptakan ketergantungan yang pada gilirannya akan lebih
menyusahkan masyarakat dari pada menolongnya, karena bantuan
tersebut kadang-kadang tidak sesuai kebutuhan dan prioritas yang
diinginkan masyarakat. Program pemberdayaan masyarakat saat ini
memposisikan masyarakat sebagai pelaku utama, sehingga
masyarakat itu sendiri yang menentukan kebutuhan dan prioritas yang
diinginkannya.
Sasaran utama dari pemberdayaan masyarakat adalah
membuka akses bagi kaum yang terpinggirkan dalam pembangunan,
termasuk kaum perempuan dan golongan tidak berdaya lainnya. Untuk
itu pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang berjalan
secara terus menerus untuk meningkatkan kemampuan dan
kemandirian masyarakat, menganalisa kondisi dan potensi serta
masalah-masalah yang dihadapi.
B. Komponen Penting Dalam Penyelesaian Permasalahan Sosial
Ekonomi Masyarakat Pedesaan
Untuk menyelesaikan permasalahan sosial ekonomi yang
dihadapi masyarakat perdesaan. Pada dasarnya harus memiliki 3 (tiga)
komponen yaitu pertama, pemihakan dan pemberdayaan masyarakat,
kedua pemantapan otonomi dan pendelegasian wewenang dalam
pengelolaan pembangunan di daerah yang mengembangkan peran
serta pemerintah dan ketiga terjadinya modernisasi melalui
pemantapan pada perubahan struktur ekonomi dan budaya yang
bersumber pada peran masyarakat lokal.
Sedangkan kebijakan pemberdayaan masyarakat secara
umum dapat di kelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu pertama
37
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
39. kebijakan yang secara tidak langsung mengarah pada sasaran tetapi
memberikan dasar tercapainya suasana yang mendukung kegiatan
sosial ekonomi rakyat, kedua kebijaksanaan yang secara langsung
mengarah pada peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran dan
ketiga kebijakan khusus yang menjangkau masyarakat miskin melalui
upaya khusus.
Pemberdayaan masyarakat khususnya dalam pengembangan
ketahanan pangan berada pada tiga level, yaitu : individu, komunitas
regional (perluasan jaringan dan kemitraan terjangkau oleh komunitas
tetapi sering tidak tersentuh oleh negara), dan negara. Pada tingkat
individu, pemberdayaan dapat dikatakan berhasil manakala mampu
mengembangkan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak. Pada tingkat
komunitas, dampak dari pemberdayaan adalah berkembangnya nilai-
nilai sosial dan struktur sosial baru dan kelembagaan yang makin efektif
memenuhi kebutuhan komunitas. Sementara pada tingkat negara
ditandai dengan terjadinya kebijakan baru yang mengubah pola
hubungan dan distribusi kekuasaan, yang lebih berpihak pada
masyarakat/rakyat.
Khusus untuk tingkat individu dan komunitas, agar tercapai
efektivitas pemberdayaan masyarakat maka diperlukan peran
pendamping yang diharapkan dapat berkonstribusi dalam menunjang
keberhasilan program Pemberdayaan Masyarakat, dengan berperan
dengan fasilitator pembangunan masyarakat.
C. Konsep Pembangunan Masyarakat (Community Development)
Konsep pembangunan masyarakat merupakan suatu "proses"
dimana usaha-usaha atau potensi-potensi yang dimiliki masyarakat
diintegrasikan dengan sumber daya yang dimiliki pemerintah, untuk
memperbaiki kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan, dan
mengintregasikan masyarakat di dalam konteks kehidupan berbangsa,
serta memberdayakan mereka agar mampu memberikan kontribusi
secara penuh untuk mencapai kemajuan pada level nasional.
38
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
40. US International Cooperation Admnistration mendeskripsikan
Community Development itu sebagai: "a process of social action in
which the people of a community organized themselves for planning
action; define their common and individual needs and problems; make
group and individual plans with a maximum of reliance upon community
resources; and supplement the resources when necessary with service
and material from government and non-government agencies outside
the community"
Definisi di atas lebih menekankan bahwa konsep pembangunan
masyarakat, merupakan suatu proses "aksi sosial" dimana masyarakat
mengorganisir diri mereka dalam merencanakan yang akan dikerjakan;
merumuskan masalah dan kebutuhan-kebutuhan baik sifatnya untuk
kepentingan individu maupun yang sifatnya untuk kepentingan
bersama; membuat rencana-rencana tersebut didasarkan atas
kepercayaan yang tinggi terhadap sumber-sumber yang dimiliki
masyarakat, dan bilamana perlu dapat melengkapi dengan bantuan
teknis dan material dari pemerintah dan badan-badan nonpemerintah di
luar masayarakat.
Arthur Durham seorang pakar Community Development
mengartikan definisi Community Development adalah pembangunan
masyarakat yang merupakan usaha-usaha yang terorganisasi yang
bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat, dan
memberdayakan masyarakat untuk mampu bersatu dan mengarahkan
diri sendiri. Pembangunan masyarakat bekerja terutama melalui
peningkatan diri organisasi-organisasi swadaya dan usaha-usaha
bersama dari individu-individu dalam di dalam masyarakat, akan tetapi
biasanya dengan bantuan teknis baik dari pemerintah maupun
organisasi-organisasi sukarela.
Durham pun mengemukakan 4 unsur Community Development
sebagai berikut:
1. a plan program with a focus on the total needs of village comunity :
Suatu proses pembangunan yang berkesinambungan. Artinya
39
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
41. kegiatan itu dilaksanakan secara terorganisir dan dilaksanakan
tahap demi tahap dimulai dari tahap permulaan sampai pada tahap
kegiatan tindak lanjut dan evaluasi follow up activity and evaluation
technical assistance.
2. technical assistance : bertujuan memperbaiki kondisi ekonomi,
sosial, dan kebudayaan masyarakat untuk mencapai kualitas hidup
yang lebih baik.
3. integrating various specialities for the help of the community :
memfokuskan kegiatannya melalui pemberdayaan potensi-potensi
yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
mereka, sehingga prinsip to help the community to help
themselves dapat menjadi kenyataan.
4. a major emphasis upon self-help and participation by the resident of
the community : memberikan penekanan pada prinsip kemandirian.
Artinya partisipasi aktif dalam bentuk aksi bersama (group action) di
dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya dilakukan berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki
masyarakat.
D. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Tujuan dari program pemberdayaan masyarakat secara umum
dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Meningkatkan keberdayaan masyarakat melalui penguatan
lembaga dan organisasi masyarakat setempat, penanggulangan
kemiskinan dan perlindungan sosial masyarakat, peningkatan
keswadayaan masyarakat luas guna membantu masyarakat
untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, sosial dan politik".
2. Meningkatkan potensi masyarakat agar mampu meningkatkan
potensi masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang
lebih baik bagi seluruh warga masyarakat melalui kegiatan-kegiatan
swadaya. Untuk mencapai tujuan ini, faktor peningkatan kualitas
SDM melalui pendidikan formal dan non formal perlu mendapat
prioritas.
3. Mendidik masyarakat agar mampu mendidik diri mereka sendiri dan
membantu masyarakat agar mampu membantu diri mereka sendiri.
40
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
42. 4. Masyarakat menjadi mandiri, berswadaya, mampu mengadopsi
inovasi, dan memiliki pola pikir kosmopolitan.
5. Meningkatkan peranan nilai-nilai adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan
masyarakat dan lembaga adat di daerah dalam menunjang
kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, kelangsungan
pembangunan dan peningkatan ketahanan nasional, serta turut
mendorong upaya mensejahterakan warga masyarakat setempat.
6. Mendorong, menunjang dan meningkatkan partisipasi masyarakat
guna kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan dan pembinaan masyarakat di Daerah terutama di
desa/kelurahan sehingga warga masyarakat setempat merasa
terpanggil untuk turut serta bertanggungjawab atas
kesejahteraan hidup masyarakat dan lingkungannya.
United Nations (1956: 83-92), mengemukakan proses-proses
pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut:
a. Getting to know local community.
Mengetahui karakteristik masyarakat setempat (lokal) yang akan
diberdayakan, termasuk perbedaan karakteristik yang
membedakan masyarakat desa yang satu dengan yang lainnya.
Mengetahui artinya untuk memberdayakan masyarakat diperlukan
hubungan timbal balik antara petugas dengan masyarakat.
b. Gathering knowledge about the local community.
Mengumpulkan pengetahuan yang menyangkut informasi mengenai
masyarakat setempat. Pengetahuan tersebut merupakan informasi
faktual tentang distribusi penduduk menurut umur, sex, pekerjaan,
tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, termasuk pengetahuan
tentang nilai, sikap, ritual dan kebiasaan (custom), jenis
pengelompokkan, serta faktor kepemimpinan baik formal maupun
informal.
c. Identifying the local leaders.
Segala usaha pemberdayaan masyarakat akan sia-sia apabila tidak
memperoleh dukungan dari pimpinan/tokoh-tokoh masyarakat
41
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
43. setempat. Untuk itu, faktor "the local leaders" harus selalu
diperhitungkan karena mereka mempunyai pengaruh yang kuat di
dalam masyarakat.
d. Stimulating the community to realize that it has problems.
Di dalam masyarakat yang terikat terhadap adat kebiasaan,sadar
atau tidak sadar mereka tidak merasakan bahwa mereka punya
masalah yang perlu dipecahkan. Karena itu, masyarakat perlu
pendekatan persuasif agar mereka sadar bahwa mereka punya
masalah yang perlu dipecahkan, dan kebutuhan yang perlu
dipenuhi.
e. Helping people to discuss their problem.
Memberdayakan masyarakat bermakna merangsang masyarakat
untuk mendiskusikan masalahnya serta merumuskan
pemecahannya dalam suasana kebersamaan.
f. Helping people to identify their most pressing problems.
Masyarakat perlu diberdayakan agar mampu mengidentifikasikan
permasalahan yang paling menekan. Dan masalah yang paling
menekan inilah yang harus diutamakan pemecahannya.
g. Fostering self-confidence.
Tujuan utama pemeberdayaan masyarakat adalah membangun
rasa percaya diri masyarakat. Rasa percaya diri merupakan modal
utama masyarakat untuk berswadaya.
h. Deciding on a program action.
Masyarakat perlu diberdayakan untuk menetapkan suatu program
yang akan dilakukan. Program action tersebut perlu ditetapkan
menurut skala prioritas, yaitu rendah,sedang, tinggi. Tentunya
program dengan skala prioritas tinggilah yang perlu didahulukan
pelaksanaannya.
i. Recognition of Strenghts and resources
42
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
44. Memberdayakan masyarakat berarti membuat masyarakat tahu dan
mengerti bahwa mereka memiliki kekuatan-kekuatan dan sumber-
sumber yang dapat dimobilisasi untuk memecahkan
permasalhan dan memenuhi kebutuhannya.
j. Helping People to Continue to work on solving their problems
Pemberdayaan masyarakat adalah suatu kegiatan yang
berkesinambungan. Karena itu, masyarakat perlu diberdayakan
agar mampu bekerja memecahkan masalahnya secara kontinyu.
k. Increasing peoples ability for self-help
Salah satu tujuan pemberdayaan masyarakat adalah tumbuhnya
kemandirian masyarakat. Masyarakat yang mandiri adalah
masyarakat yang sudah mampu menolong diri sendiri. Untuk itu,
perlu selalu ditingkatkan kemampuan masyarakat untuk
berswadaya.
E. Pola Pemberdayaan
Pola pemberdayaan masyarakat yang dibutuhkan bukan
kegiatan yang sifatnya top down intervention yang tidak menjunjung
tinggi aspirasi dan potensi masyarakat untuk melakukan kegiatan
swadaya. Akan tetapi yang paling dibutuhkan masyarakat lapisan
bawah terutama yang tinggal didesa adalah pola pemberdayaan yang
sifatnya bottom up intervention yang menghargai dan mengakui bahwa
masyarakat lapisan bawah memiliki potensi untuk memenuhi
kebutuhannya, memecahkan permasalahannya, serta mampu
melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip swadaya dan
kebersamaan.
Ross (1987: 77-78) mengemukakan tiga pola pendekatan
pemberdayaan dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat di
dalam pembangunan, yaitu:
1. The "single function" adalah program atau teknik pembangunan,
keseluruhannya ditanamkan oleh agen pembangunan dari luar
masyarakat. Umumnya pola pendekatan ini kurang mendapat
43
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
45. respon dari masyarakat, karena program itu sangat asing bagi
mereka sehingga sebagai inovasi yang baik sulit
diadopsi. Pola ini menjadikan masyarakat tergantung kepada mereka,
sehingga prakarsa masyarakat tidak berkembang.
2. The Multiple Approach, dimana sebuah tim ahli dari luar
melaksanakan berbagai pelayanan untuk memecahkan masalah
yang dihadapi masyrakat. Pola ini, juga tidak mampu
memberdayakan masyarakat secara optimum, karena segala
sesuatu tergantung pada tim ahli yang datang dari luar.
3. The Inner Resources Approach, yang menekankan pentingnya
merangsang masyarakat untuk mampu mengidentifikasi keinginan-
keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya dan bekerja secara
kooperatif dengan pemerintah dan badan-badan lain untuk
mencapai kepuasan bagi mereka. Pola ini mendidik masyarakat
menjadi concern akan pemenuhan dan pemecahan
masalah yang dihadapi dengan menggunakan potensi yang
mereka miliki.
Core Idea dari implementasi otonomi daerah adalah tumbuhnya
partisipasi aktif masyarakat untuk membangun dirinya sendiri,
sedangkan peran pemerintah hanya sebagai fasilitator dan mitra kerja
masyarakat. Dari hasil kajian pustaka, program-program yang sudah
dibuat oleh pihak yang terkait dalam masalah pemberdayaan
mayarakat adat baik dari pemerintah ataupun LSM, antara lain :
1. Pendekatan-pendekatan dalam bidang ; pendidikan, kebudayaan,
agama, pertanian, perdagangan.
2. Penyuluhan-penyuluhan dalam bidang, pendidikan, kebudayaan,
agama, pertanian, perdagangan. Namun lebih dititikberatkan
pada permasalahan yang dihadapi pada masalah pertanian dan
pendidikan.
3. Pembangunan atau penyediaan sarana dan prasarana yang
menunjang program tersebut, seperti tempat tinggal, jalan-jalan,
sekolah-sekolah, dan pusat kesehatan.
44
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
46. 4. Pemberdayaan pendidikan, diantaranya melalui program beasiswa
dan peningkatan mutu pengajaran serta mutu tenaga pendidik.
Bantuan Pelaksanaan Pembangunan Partisipatif, dimaksudkan
sebagai upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam proses
perencanaan pembangunan desa/kelurahan yang terintregasi dalam
perencanaan program pembangunan Kabupaten.
Tujuan program Bantuan Pelaksanaan Pembangunan
Partisipatif adalah agar program pembangunan desa/kelurahan yang
aspiratif/partisipatif dan terintegrasi dalam program pembangunan
kabupaten, melalui proses dan prosedur yang mengikutsertakan
masyarakat sehinggga tumbuh rasa tanggungjawab dalam
pelaksanaan dan pemilikan pembangunan. Tujuan ini dapat dijabarkan
sebagai berikut:
a. Meningkatkan kapasitas kelembagaan pembangunan masyarakat
setempat sehingga mampu menerapkan berbagai pendekatan, dan
tehnik perencanaan pembangunan partisipatif.
b. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam setiap tahapan proses
perencanaan pembangunan desa/kelurahan.
c. Menghasilkan rencana/usulan program pembangunan
desa/kelurahan, yang akan dikelola masyarakat sendiri maupun
yang akan diusulkan kepada Pemerintah Desa dan atau Pemkab.
d. Mendorong tumbuhnya kesadaran dan tanggung jawab serta
keswadayaan masyarakat dalam pelaksanaan maupun pemilikan
pembangunan.
Dalam pelaksanaan program pemberdayaan, terdapat
permasalahan yang dihadapi sehingga belum tercapai hasil yang
maksimal. Hambatan tersebut antara lain:
1. Pemakaian adat istiadat atas kebudayaan yang telah berakar;
2. Rasa Curiga dan tidak percaya kepada pihak luar;
3. Minimnya tenaga ahli (SDM) yang diturunkan ke lapangan;
4. Sarana dan Prasarana yang ada belum mencukupi;
Selain pemberdayaan diatas ada pula hambatan lain yaitu
45
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
47. bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat adat selama ini sangat sulit
dilakukan karena kurangnya akses ekonomi masyarakat adat terhadap
perekonomian sektor modern. Salah satu penyebabnya adalah
rendahnya promosi terhadap sektor dan potensi ekonomi komunitas
adat. Keterbelakangan perekonomian masyarakat adat juga
disebabkan oleh : (1) Tidak ada kebijakan yang memberi peluang
kepada berkembangnya ekonomi komunitas adat; (2) Rendahnya
promosi ekonomi komunitas adat; (3) Belum ada investor yang
mencoba mengembangkan potensi ekonomi komunitas adat. Semua
permasalahan perekonomian masyarakat adat baik itu secara langsung
atau tidak langsung terkait dengan rendahnya perhatian terhadap
pengembangan sektor ekonomi masyarakat adat di kalangan LSM,
meskipun beberapa LSM lokal mungkin telah mempunyai kegiatan-
kegiatan pemberdayaan ekonomi komunitas tersebut. Namun secara
46
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
48. BAB IV
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM
PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
A. Partisipasi Masyarakat Adat Dalam Penyelenggaraan Otonomi
Daerah Di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah
1. Gambaran Umum Daerah
Kabupaten Katingan dibentuk berdasarkan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2002 tanggal 10 April 2002, yang merupakan salah satu
dari 14 Kabupaten/Kotamadya yang ada di wilayah provinsi Kalimantan
Tengah. Kabupaten Katingan beserta Kabupaten Seruyan merupakan
pemekaran dari Kabupaten Kotawaringin Timur. Secara geografis
0 0 0
Kabupaten Katingan terletak pada 112 0' - 113 45' Bujur Timur dan 0
0
20' - 3 30' Lintang Selatan yang berbatasan dengan Kota Palangka
Raya, Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Gunung Mas di sebelah
Timur, Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Seruyan di
sebelah Barat, dan di sebelah selatan dibatasi oleh Laut Jawa.
Kabupaten Katingan dibelah oleh sungai Katingan. Secara
umum topografi kabupaten Katingan sebagian besar merupakan
dataran rendah yang meliputi bagian utara dan tengah yang
memanjang dari timur ke barat sedangkan bagian utara merupakan
dataran tinggi yang berbukit dengan jenis tanah yang mendominasi
adalah jenis padsolik merah kuning, jenis tanah lainnya adalah alluvial,
organosal, lithosol, dan lain sebagainya.
2
Kabupaten Katingan memiliki luas wilayah 17.800 km atau
0,16% dari wilayah Kalimantan Tengah yang dibagi menjadi 11
kecamatan yaitu Kecamatan Katingan Hulu dengan luas wilayah 2.604
2 2
km (14.63%), Marikit dengan luas wilayah 2.178 km (12.24%),
2
Senaman Mantikei dengan luas wilayah 3.030 km (17.02%), Katingan
2
Tengah dengan luas wilayah 1.089 km (6.12%), Pulau Malan dengan
2
luas 805 km (4.52%), Tewang Sangalang Garing dengan luas wilayah
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
47
49. 2 2
568 km (3.19%), Katingan Hilir dengan luas wilayah 663 km (3.72%),
2
Tasik Payaman dengan luas wilayah 804 km (4.52%), Kamipang
2
dengan luas wilayah 2.793 km (15.69%), Katingan Kuala dengan luas
2
wilayah 1.440 km (8.09%), dan Kecamatan mendawai dengan luas
wilayah 1.826 (10.26%) yang terdiri dari 151 desa/kelurahan. Sebagian
besar dari luas wilayah Kabupaten Katingan berupa hutan belantara
(69,52 %) sedangkan sisanya berupa rawa-rawa, sungai, danau dan
genangan air lainnya dan pertanahan lainnya.
Dilihat dari aspek demografis Kabupaten Katingan memiliki
angka pertumbuhan penduduk dari tahun 2002-2003 sebesar 0.7%
dengan kepadatan penduduk Kabupaten Katingan masih sebesar 7.1
2
jiwa/km , yang berarti pola tingkat kepadatannya masih sangat rendah
dan penyebarannya pun belum merata, kepadatan tertinggi terjadi di
kecamatan Katingan Hilir yang merupakan letak ibukota Kabupaten
2
yaitu sebesar 30.46 jiwa/km sedangkan kepadatan penduduk terendah
2
terjadi di kecamatan Marikit yaitu sebesar 2.64 jiwa/km . dilihat dari
kelompok umur, jumlah penduduk terbesar terjadi pada golongan 0-14
tahun dengan presentase sebesar 45.21% atau hampir separuh dari
seluruh penduduk Kabupaten Katingan.
Sebagian besar penduduk Kabupaten Katingan merupakan
suku Dayak yang jumlahnya hampir 80%, sedangkan sisanya
merupakan suku Banjar, Jawa, Madura dll. Bahasa keseharian yang
dipakai sebagai alat komunikasi antar penduduk adalah Bahasa Dayak
Ngaju, dan bahasa Banjar.
Sungai masih merupakan prasarana angkutan dan sarana
perhubungan di Kabupaten Katingan karena letak desa sebagian besar
terletak di tepi sungai. Sungai sebagai alat transportasi yang dominant
khususnya hubungan dari desa-ke desa, sehingga komunikasi sedikit
banyak tergantung musim. Pada musim kemarau perhubungan lalu
lintas sungai tidak lancar yang disebabkan oleh pendangkalan sungai,
hal ini masih merupakan hambatan alamiah di daerah ini. Jalan darat
yang ada masih sebatas menghubungkan ibukota kabupaten dengan
48
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
50. ibukota provinsi dan ibukota kabupaten lainnya serta beberapa ibukota
kecamatan, inipun belum seluruhnya dapat digunakan karena sebagian
masih jalan tanah yang sulit dilalui kendaraan pada musim hujan.
Kecamatan-kecamatan yang biasa dijangkau melalui jalan darat hanya
3 kecamatan yaitu Kecamatan Katingan Hilir, Katingan Tengah dan
Kecamatan Tewang Senggalang Garing. Sedangkan 8 Kecamatan
lainnya hanya dapat dihubungi dengan kapal motor/klotok.
Pertumbuhan ekonomi sebagai tolok ukur pembangunan
ekonomi suatu daerah juga sebagai indikasi tentang sejauh mana
aktivitas perekonomian yang terjadi pada periode tertentu telah
menghasilkan tambahan pendapatan bagi penduduknya. Pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Katingan pada tahun 2003 sebesar 2.44 persen
pertumbuhan lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar
2.47 persen. Dari sembilan sektor ekonomi (Pertanian, Peternakan,
Kehutanan dan Perikanan; Pertambangan dan Penggalian; Industri
Pengolahan; Listrik, gas dan Air Bersih; Bangunan dan Konstruksi;
Pengangkutan dan Komunikasi; Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan; dan Jasa-jasa) sektor Kehutanan memberikan konstribusi
yang paling besar terhadap perekonomian Kabupaten Katingan, produk
dari sektor ini antara lain rotan manna dan rotan irit, serta kayu bulat
(log) dan kayu gergajian, akan tetapi sektor ini dari tahun 2001 -2003
mengalami penurunan. Sektor tanaman perkebunan mengalami
kenaikan yang cukup signifikan. Hasil utama dari sektor ini adalah
Karet, Kelapa Hibrida dan Kelapa Sawit. Jumlah tangkapan ikan
Kabupaten Katingan mencapai 15.104,7 ton pada tahun 2003 mampu
menyumbang pendapatan daerah sebesar 9%.
Pembangunan sektor Pendidikan sebagai pondasi
keberhasilan suatu daerah sangat berpengaruh terhadap
pembangunan daerah. Jumlah Sekolah Dasar di Kabupaten Katingan
sebanyak 212 Sekolah dengan rasio guru dengan murid sebesar 0.06,
jumlah Sekolah Menengah Pertama sebanyak 35 sekolah dengan rasio
guru dengan murid sebesar 0.06, jumlah Sekolah Menengah Umum
sebanyak 14 dengan rasio guru dengan sebesar 0.09 yang berarti 100
49
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
51. murid diampu oleh 9 guru, dilihat dari rasio ini jumlah guru sudah cukup
memadai apalagi jika dilihat dari kondisi sebagian daerah yang sulit
dijangkau melalui jalur darat serta usia dari Kabupaten Katingan yang
baru berusia 3 tahun 7 bulan.
Jumlah aparatur daerah Kabupaten Katingan masih belum
memadai, Perbandingan antara tugas pokok dan fungsi dengan jumlah
pegawai yang dimiliki masing-masing instansi, kantor, Dinas masih
sangat tidak seimbang. Sebagai contoh bagian Kepegawaian
Sekretariat Daerah yang memiliki tugas pokok dan fungsi yang
kompleks mengatur urusan kepegawaian daerah seperti Badan
Kepegawaian Daerah hanya memiliki 13 orang pegawai sudah
termasuk pegawai honorer dan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
Dilihat dari letak wilayahnya, Kabupaten Katingan termasuk
daerah yang cukup strategis. Kabupaten Katingan khususnya ibu kota
Kabupaten yaitu Kasongan merupakan daerah lalu-lintas trans
Kalimantan dari arah Kota Palangka Raya menuju Kota Sampit
(Kabupaten Kotawaringin Timur) yang merupakan daerah pelabuhan
dan Pangkalan Bun (Kabupaten Kotawaringin Barat). Sarana
transportasi yang ada di daerah Katingan sangat minim khususnya
sarana transportasi darat hal ini disebabkan masih banyak daerah
kecamatan yang belum bisa dijangkau melalui jalur darat dan juga
disebabkan aktifitas kegiatan ekonomi di Kasongan yang belum
nampak hidup. Disamping itu sarana prasarana infrastruktur daerah
yang tersedia juga sangat minim. Merupakan hal yang sangat mustahil
bila suatu daerah dalam usaha menumbuhkan ekonominya tanpa
dibarengi tersedianya sarana infrastruktur akan berhasil.
Disamping pembangunan infrastruktur prioritas lain dalam
membangun Kabupaten Katingan adalah bidang Pendidikan dan
Kesehatan. Dalam bidang kesehatan Kabupaten Katingan memiliki
satu Rumah sakit Umum Daerah yang berlokasi di ibukota Kabupaten
serta sejumlah Puskesmas dan Puskesmas Pembantu yang tersebar di
50
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
52. seluruh Kecamatan dengan tenaga medis sebanyak 115 orang atau
bisa diartikan satu orang melayani 1.094 orang, jumlah rasio yang
sebesar ini akan sangat sulit untuk mewujudkan pelayanan kesehatan
yang baik bagi masyarakat.
2. Kelembagaan MasyarakatAdat
Struktur pemerintahan suku dayak sejak zaman purbakala
sampai dengan zaman penjajahan Belanda terdiri dari:
* Tamanggung atau Dambung setingkat dengan Raja (penanggung
jawab), melindungi, mensejahterakan, memakmurkan seluruh
masyarakat.
* Pangkalima yang memiliki tangung jawab di bidang pertahanan
keamanan.
* Patih yang memiliki tanggung jawab dalam bidang pemerintahan
dan kesejahteraan masyarakat.
* D a m a n g y a n g b e r t a n g g u n g j a w a b p a d a b i d a n g
pengawasan/penuntutan peradilan dan pelestarian lingkungan
dibantu oleh para mantir, paralet, para ketua adat. Sedangkan untuk
Damang yang cakap dapat diangkat menjadi pimpinan wilayah
tertentu.
Perkembangan kelembagaan kedamangan mendapat
perhatian serius dari pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dengan
mengatur dan mengukuhkannya dalam bentuk Besluit Residen
Kalimantan Selatan dan Timur, tanggal 28 Oktober 1938, Nomor :
349/C.7-1 tentang penunjukan dari kedamangan-kedamangan
(Damang Schapen), yaitu Dayak Hilir (Beneden Dayak), Dayak hulu
(Boven Dayak) dan sampit. Kemudian tanggal 15 Februari 1939
ditetapkan Besluit Residen Der Zuider en Oosterafdeeling van Borneo
No : 53/C.7-1 tentang Pemilihan, Pemecatan dan kedudukan para
Damang daerah Kapuas dan Barito. Oleh Masyarakat Dayak
Kalimantan Tengah, Besluit berupa penetapan sekaligus sebagai
bentuk pengakuan resmi terhadap jabatan-jabatan adat, sekaligus
sebagai pengganti jabatan-jabatan adat zaman purba. Sejak tanggal
tersebut, secara tertib kerapatan adat dipimpin oleh Damang sebagai
51
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
53. Kepala Adat, dibantu oleh para penghulu adat dan penasehat dari
setiap suku Dayak yang ada di wilayah Kedamangan.
Setelah Kemerdekaan Fungsi lembaga Kedamangan
ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) Nomor : 16/DPR-
GR/1969 yang ditetapkan pada tanggal 16 September 1969 tentang
Pemilihan, Pengangkatan, Pemecatan Sementara, Pemberhentian dan
Penetapan Sementara wilayah Kedamangan serta Tugas dan
Kewajiban Damang Kepala Adat Provinsi Kalimantan Tengah,
merupakan PERDA pertama kali yang mengatur kelembagaan Adat.
Dalam Perda tersebut juga mengatur mengenai hukum adat yang
merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang merupakan hukum
yang tidak tertulis dan yang mempunyai paksa (sanksi) yang berlaku di
daerah Kalimantan Tengah. Perda tersebut menyebutkan bahwa tugas
dan tanggung jawab damang adalah berusaha menyelesaikan segala
perbantahan dengan jalan damai, memelihara, mengembangkan dan
menggali kesenian dan kebudayaan asli serta memelihara benda-
benda dan tempat-tempat bersejarah warisan nenek moyang.
Pada perkembangan berikutnya PERDA Nomor : 16/DPR-
GR/1969 diganti dengan Perda Nomor 14 Tahun 1998. Selanjutnya
masing-masing Kota/Kabupaten meninndaklanjuti Perda tersebut
dengan menyusun Perda Kedamangan Tingkat Kabupaten/Kota.
Kabupaten Katingan sampai saat ini masih mengacu/menggunakan
Perda milik Kabupaten Kotawaringin Timur sebagai induk pemekaran
yaitu Perda No.15 tahun 2001 tentang Kademangan Kabupaten
Kotawaringin Timur, akan tetapi Kabupaten Katingan juga berusaha
untuk memiliki Perda sendiri yang sampai saat ini masih dalam proses
penyusunan.
Dalam Perda Nomor 14 Tahun 1998 dijelaskan bahwa
Kedamangan adalah kesatuan masyarakat adat dalam provinsi Daerah
tingkat I Kalimantan tengah yang terdiri dari himpunan beberapa
desa/kelurahan/kecamatan yang mempunyai wilayah tertentu yang
tidak dapat dipisah-pisahkan, wilayahnya tidak terikat dengan wilayah
52
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN
54. Administrasi Pemerintahan Kecamatan akan tetapi bisa meliputi satu
atau beberapa kecamatan. Damang Kepala Adat adalah pimpinan adat,
berkedudukan sebagai mitra camat dalam bidang pemberdayaan,
pelestarian, pengembangan adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan
masyarakat dan lembaga adat serta hukum adat di wilayahnya, dengan
tugas: 1) Mengawasi berlakunya hukum adat serta memelihara
lembaga-lembaga adat; 2) Membantu kelancaran pelaksanaan
eksekusi dalam perkara perdata yang mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, apabila diminta oleh pejabat yang berwenang; 3)
Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada
pemerintah serta menyelesaikan perselisihan adat; 4) Berusaha untuk
menyelesaikan dengan cara damai jika terdapat perselisihan intern
suku dan antar suku dengan suku lain yang berada di wilayahnya
sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; 5) Melaporkan dengan segera
kepada yang berwenang jika terdapat gangguan keamanan atau
gejala-gejala yang tidak baik yang timbul di kalangan mesyarakat
sesuai dengan ketentuan; 6) Memberikan pertimbangan baik diminta
maupun tidak diminta kepada pemerintah tentang masalah yang
berhubungan dengan tugasnya; 7) Memelihara mengembangkan dan
menggali kesenian dan kebudayaan asli daerah serta memelihara
benda-benda dan tempat-tempat bersejarah warisan nenek moyang; 8)
Membantu pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pelaksanaan
pembangunan di segala bidang, terutama di bidang kemasyarakatan
dan budaya; 9) Jika diminta memberi kedudukan hukum menurut
hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut adanya persengketaan
atau perkara perdata adat sesuai hukum adat; 10). Menyelenggarakan
pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat dayak, dalam rangka
memperkaya, melestarikan dan mengembangkan Kebudayaan
Nasional pada umumnya dan kebudayaan Dayak pada khususnya; 11)
Mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat/harta kekayaan
kedamangan untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup
masyarakat ke arah yang lebih layak dan lebih baik; serta 12)
Menetapkan besarnya uang sidang, uang meja, uang komisi, uang jalan
dan lap tunggal berdasarkan hasil musyawarah Majelis Adat
53
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KALIMANTAN