1. MAKALAH PSIKOLOGI EMOSI
“EMOSI DAN PSIKOPATOLOGI”
Oleh:
Dido Efga Putma (54353/2010)
Yelfy Yazid (01399/2008)
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
TAHUN 2012
2. EMOSI DAN PSIKOPATOLOGI
Patologi menunjukkan suatu penyakit atau abnormalitas. Detak jantung
yang sangat cepat, temperature tubuh 39º Celcius, borok, atau TBC dipandang
sebagai tanda-tanda adanya patologi dan dengan demikian dianggap abnormal dari
segi pandangan medis. Penyakit-penyakit mental (psikosis) termasuk dalam
kategori yang sama.
Psikopatologi (psychopatholopgy) adalah cabang psikologi yang
berkepentingan dengan penyelidikan penyakit mental, gangguan mental, dan
gejala-gejala abnormal lainnya (J.P Chaplin, 2009).
Dipandang dari psikopatologik, seseorang dikatakan normal kalau ia bebas
dari simtom-simtom penyakit. Sebaliknya, seseorang dikatakan abnormal kalau
tingkah lakunya menunjukkan simtom-simtom gangguan atau penyakit tertentu.
Misalnya, ada banyak unsur ketakutan dan kecemasan yang kronis yang tidak
beralasan pada pasien psikoneurotik, simtom ilusi, delusi, dan halusinasi pada
pasien psikotik (Yustinus Semiun, 2006).
Ada banyak contoh ketidakmampuan menyesuaikan diri, yang jelas
abnormal dilihat dari segi pandangan patologik atau medis juga dari segi
pandangan statistik. Tetapi ada sejumlah contoh ketidakmampuan menyesuaikan
diri biasa yang tidak menjadi patologik, dan tidak menjadi ciri dari abnormalitas.
Misalnya, cacat dalam membaca, bolos sekolah, tidak taat, dan agresi termasuk
kategori tidak mampu menyesuaikan diri, tetapi tidak dianggap abnormal menurut
pengertian penyakit fisik ataupun mental. Dengan kata lain, tidak semua
abnormalitas dianggap patologik,
Emosi dan psikopatologi memiliki hubungan yang saling berkaitan. Saat
emosi menjadi berlarut-larut dan tidak bisa diabaikan atau menjadi sangat ekstrim
sehingga mengganggu kehidupan normal, hal ini disebut sebagai abnormal. Oatley
dan Jenkins (dalam K.T Strongman) membuat analisis yang meyakinkan
mengenai emosi manusia, dimana emosi dapat menjadi pemicu terjadinya
disfungsi atau emosi berkontribusi dalam munculnya psikopatologis. Mereka
3. berpendapat bahwa emosi dalam kondisi psikiatrik dapat menjadi normal sesuai
dengan keadaan yang dialami. Dengan latar belakang ini mereka merujuk pada
bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sifat-sifat emosional itu stabil, akan tetapi
temperamen dapat mengubahnya.
Greenberg dan Paivio (dalam K.T Strongman) mengemukakan sebuah
analisis terepeutik penyebab gangguan emosi. Menurut mereka ada 5 (lima)
sumber disfungsi dari gangguan emosi:
1. Stres muncul dari ketidakmampuan untuk melakukan perubahan dalam
hubungan dengan lingkungannya yang berasal dari kecenderungan
tindakan emosi,
2. Disorientasi atau ketidaksesuaian berasal dari penghindaran atau
pengelakan emosi,
3. Coping yang buruk didapatkan dari kesulitan dalam mengatur
intensitas emosional,
4. Gangguan stress paska-trauma berasal dari trauma emosional,
5. Respon emosional yang maladaptif mengikuti konstruksi disfungsional
dari emosional.
A. GANGGUAN EMOSI PADA PERILAKU PSIKOPATIK
Oatley dan Jenkins (dalam K.T Strongman) menyebutkan bahwa kita
akan lebih mudah melihat hubungan antara emosi dengan psikopatologi ketika
melihat hubungan seseorang dengan orang lain. Contohnya, anak yang
memiliki ibu yang depresi akan berbeda kondisi emosionalnya dengan anak
yang memiliki ibu pemarah dan anak yang dikelilingi dengan
ketidakharmonisan. Jadi, setiap permasalahan atau latar belakang emosional
seseorang dapat menjadi relevansi terhadap adanya perilaku psikopatik.
Secara epistimologi, psikopat berasal dari kata psyche yang berarti
jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Kata psikopat berfokus pada gagasan
bahwa ada sesuatu yang tidak benar (patologis) pada fungsi psikologis
4. individu. Gejala psikopat disebut dengan psikopatik, sedangkan pengidapnya
seringkali disebut dengan “orang gila tanpa gangguan mental”.
Psikopat adalah suatu gejala kelainan yang sejak dulu dianggap
berbahaya dan mengganggu masyarakat. Istilah psikopat yang dikenal
masyarakat tidak ditemukan dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual
of Mental disorder) IV. Artinya psikopat tidak tercantum dalam daftar
penyakit, gangguan atau kelainan jiwa di lingkungan ahli kedokteran jiwa.
Psikopat dalam kedokteran jiwa masuk kedalam klasifikasi gangguan
kepribadian antisosial. Namun sejumlah klinisi terus menggunakan istilah
psikopat dan kepribadian antisosial secara bergantian.
Seorang psikopat atau orang dengan gangguan kepribadian antisosial
secara persisten melakukan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dan
sering melanggar hukum. Mereka mengabaikan norma dan konvensi sosial,
impulsif, serta gagal membina komitmen interpersonal dan pekerjaan. Meski
demikian mereka sering menunjukkan kharisma dalam penampilan luar
mereka dan paling tidak memiliki inteligensi rata-rata (Cleckley, dalam
Jeffrey S.Nevid, Dkk).
Ciri yang paling menonjol dari penderita psikopat adalah ketumpulan
emosi, ditunjukkan dengan tingkat kecemasan yang rendah ketika berhadapan
dengan situasi yang mengancam dan kurangnya rasa bersalah atau penyesalan
atas kesalahan yang mereka lakukan. Adapun hukuman yang diberikan oleh
orangtua atau orang lain atas kesalahan yang dilakukan tidak banyak memiliki
dampak positif , mereka tetap menjalani kehidupan yang tidak bertanggung
jawab dan impulsif.
Psikopat juga sering menunjukkan emosi dramatis walaupun
sebenarnya mereka tidak sungguh-sungguh. Mereka juga tidak memiliki
respon fisiologis yang secara normal diasosiasikan dengan rasa takut seperti
tangan berkeringat, jantung berdebar, mulut kering, tegang, gemetar, bagi
5. psikopat hal tersebut tidak berlaku karena itu psikopat seringkali disebut
dengan istilah dingin.
Ciri-ciri diagnostik dari gangguan kepribadian antisosial atau psikopat
menurut DSM IV-TR (APA, dalam Jeffrey S. Nevid) adalah:
1. Paling tidak berusia 18 tahun.
2. Ada bukti gangguan perilaku sebelum usia 15 tahun, ditunjukkan
dengan perilaku seperti membolos, kabur, memulai perkelahian
fisik, menggunakan senjata, memaksa seseorang untuk melakukan
aktivitas seksual, kekejaman fisik pada orang atau hewan, merusak
atau membakar bangunan secara sengaja, berbohong, mencuri, atau
merampok.
3. Sejak usia 15 tahun menunjukkan kepedulian yang kurang dan
pelanggaran terhadap hak-hak orang lain, yang ditunjukkan oleh
beberapa perilaku sebagai berikut:
a. Kurang patuh terhadap norma sosial dan peraturan hukum,
ditunjukkan dengan perilaku melanggar hukum yang dapat atau
tidak dapat mengakibatkan penahanan, seperti merusak
bangunan, terlibat dalam pekerjaan yang bertentangan dengan
hukum, mencuri atau menganiaya orang lain.
b. Agresif dan sangat mudah tersinggung saat berhubungan
dengan orang lain, ditunjukkan dengan terlibat dalam
perkelahian fisik dan menyerang orang lain secara berulang,
termasuk penganiayaan terhadap pasangan atau anak-anak.
c. Secara konsisten tidak bertanggung jawab, ditunjukkan dengan
kegagalan memeprtahankan pekerjaan karena ketidakhadiran
berulangkali, keterlambatan, mengabaikan kesempatan kerja
atau memperpanjang periode pengangguran meski ada
kesempatan kerja; dan atau kegagalan untuk mematuhi
tanggung jawab keuangan seperti gagal membiayai anak atau
6. membayar hutang; dan atau kurang dapat bertahan dalam
hubungan monogami.
d. Gagal membuat perencanaan masa depan atau impulsivitas,
tidak ada waktu untuk menimbang baik-buruknya tindakan
yang akan mereka lakukan, mudah terpicu amarah akan hal-hal
kecil, mudah bereaksi terhadap kekecewaan, kegagalan, kritik,
mudah menyerang karena hal sepele, dan tidak memikirkan
masa depan.
e. Tidak menghormati kebenaran, ditunjukkan dengan berulang
kali berbohong, memperdaya, atau menggunakan orang lain
untuk mencapai tujuan pribadi atau kesenangan.
Psikopat seringkali pandai melucu dan pintar berbicara, secara
khas berusaha tampil dengan pengetahun dibidang sosiologi,
psikiatri, kedokteran, psikologi, filsafat, puisi, sastra, dll.
Seringkali pandai mengarang cerita yang membuatnya terlihat
positif, dan apabila ketahuan berbohong mereka tidak peduli
dan akan menutupinya dengan mengarang kebohongan lainnya
dan mengolahnya seakan-akan itu fakta.
f. Tidak menghargai keselamatan diri sendiri atau keselamatan
orang lain, ditunjukkan dengan berkendara saat mabuk atau
berulang kali mengebut.
g. Kurangnya penyesalan atas kesalahan yag dibuat, ditunjukkan
dengan ketidak pedulian akan kesulitan yang ditimbulkan pada
orang lain, dan atau membuat alasan untuk kesulitan tersebut.
Hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti penyebab
psikopat. Berbagai teori dikemukakan oleh para peneliti. Teori kelainan
struktural otak seperti penurunan intensitas bagian otak di daerah
prefrontal grey matter dan penurunan volume otak di bagian posterior
hippocampal dan peningkatan intensitas otak bagian callosal white matter.
Teori lain adalah gangguan metabolisme serotonin, gangguan fungsi otak
7. dan genetik yang diduga ikut menciptakan karakter monster seorang
psikopat.
Para peneliti memandang bahwa kepribadian psikopat terdiri dari
dua dimensi yang agak terpisah. Yang pertama adalah dimensi
kepribadian. Dimensi ini terdiri dari trait-trait seperti kharisma yang
tampak di luaran saja, mementingkan diri sendiri, kurangnya empati, keji
dan tidak ada penyesalan meski telah memanfaatkan orang lain, serta tidak
menghargai perasaan dan kesejahteraan orang lain. Tipe kepribadian
psikopat ini dikenakan pada orang yang memiliki trait psikopatik namun
tidak menjadi pelanggar hukum.
Dimensi kedua yang dipertimbangkan adalah dimensi perilaku.
Dimensi ini ditandai oleh gaya hidup yang tidak stabil dan antisosial,
termasuk sering berhadapan dengan hukum, riwayat pekerjaan yang
minim, hubungan yang tidak stabil. Kedua dimensi ini tidak sepenuhnya
terpisah, banyak individu psikopatik menunjukkan bukti memiliki kedua
macam trait itu.
Sebuah hal yang harus diperhatikan adalah bahwa orang menjadi
kriminalitas atau pelanggar hukum bisa saja bukan karena kepribadian
yang terganggu tapi karena mereka diasuh dalam lingkungan atau
subbudaya yang mendorong terjadinya perilaku kriminal. Selain itu, kita
harus mengenali behwa kurangnya rasa penyesalan, yang merupakan ciri
utama dari psikopat, tidak menandai sebuah kriminalitas. Sejumlah
kriminalis menyesali kejahatan mereka, dan bukti dari penyesalan
ditunjukkan saat masa hukuman berakhir. Dengan kata lain orang dengan
psikopatik belum pasti melanggar hukum, akan tetapi tidak semua
kriminal menunjukkan tanda-tanda psikopat atau tidak semua orang
dengan kepribadian psikopat menjadi kriminal.
8. B. GANGGUAN EMOSI PADA PENDERITA DEPRESI
Merupakan sesuatu yang normal dan tepat untuk merasa senang
terhadap kejadian yang menggembirakan dan juga sama normal dan
tepatnya untuk merasa depresi ketika kejadian yang menyedihkan. Bahkan
akan menjadi “abnormal” bila kita tidak depresi saat menghadapi kesulitan
hidup.
Depresi merupakan gangguan emosi yang kompleks, seperti
kecemasan, yang terkadang-kadang merupakan salah satu bentuk yang
lebih ringan dialami oleh kebanyakan orang. Kondisi depresi tidak sama
dengan emosi umum lainnya, seperti emosi cinta atau kesedihan yang
dianggap sebagai kondisi yang lebih umum dari berbagai emosi. Dalam
hal ini, emosi yang terlibat dalam depresi adalah campuran kesedihan, dan
beberapa emosi lain yang lebih mereflektifkan diri, seperti malu.
Depresi merupakan bagian dari gangguan mood. Mood adalah
kondisi perasaan yang terus ada yang mewarnai kehidupan psikologis kita.
Perasaan sedih atau depresi bukanlah hal yang abnormal dalam konteks
peristiwa atau situasi yang penuh tekanan. Namun orang dengan gangguan
mood yang mengalami gangguan yang luar biasa parah atau berlangsung
lama akan mengganggu kemampuan mereka untuk berfungsi dalam
memenuhi tanggung jawab secara normal.
Depresi merupakan salah satu jenis gangguan psikotis. Ciri
khasnya adalah perasaan sedih yang mendalam yang menenggelamkan
individu. Kondisi ini kerap dipacu oleh sesuatu yang menimbulkan
kegelisahan. Dalam beberapa bentuk, depresi merupakan komponen dari
semua gangguan mental dan emosi. Depresi menjadi gejala gangguan
emosi, ketika penderita kehilangan hubungan dengan realitas. Depresi
merupakan fluktuasi emosi yang bersifat dinamik, mengikuti suasana
perasaan internal dan eksternal individu.
9. Penderita depresi umumnya memiliki gejala klinis berupa
kehilangan minat, menarik diri dari aktivitas sehari-hari, pemurung,
kelelahan, mafsu makan hilang atau malah berlebihan, sulit konsentrasi,
ingin bunuh diri. Penderita juga mudah tersinggung, merasa bersalah, tak
berharga, dan pesimistis.
Sebanyak 50% - 60% pasien depresi mengeluhkan gejala somatik,
seperti pusing, mual, keluhan lambung, saluran nafas, dan nyeri yang tidak
jelas sumbernya. Kerena itu, perlu diwaspasai gejala-gejala depresi seperti
fatigue, insomnia, sesak nafas, nyeri punggung, diare, sakit kepala. Pasien
juga bisa menderita nyeri dada, gangguan seksual, nyeri pinggang, dan
gangguan saraf otonom.
Gejala depresi dapat memburuk, mengganggu perilaku sehari-hari
dan muncul bersama penyakit lain seperti paru kronik, gangguan
neurologik, gangguan pencernaan, kanker, pascastroke, diabetes melitus,
jantung koroner, dan parkinson. Depresi dan penyakit fisik ini sering
muncul.
K.T Strongman menyebutkan depresi melibatkan lima
karakteristik, meskipun dapat diperburuk oleh kondisi emosional yang lain
dan sering terjadi dalam kecemasan:
1. Sedih, mood apatis
2. Sebuah konsep diri yang negatif, menyalahkan diri, dsb
3. Keinginan untuk menghindari orang lain
4. Hilangnya keinginan untuk tidur, mafsu makan dan gairah
seksual
5. Perubahan tingkat aktivitas, biasanya dalam arah kemunduran,
tapi kadang kadang dalam bentuk agitasi.
Jeffrey S. Nevid, dkk mengemukakan ciri-ciri umum dari depresi
adalah sebagai berikut :
10. Perubahan pada kondisi- Perubahan pada mood (periode terus menerus
emosional dari perasaan terpuruk, depresi, sedih, atau
muram).
- Penuh dengan air mata atau menangis.
- Meningkatnya iritabilitas (mudah tersinggung),
kegelisahan, atau kehilangan kesabaran.
Perubahan dalam motivasi - Perasaan tidak termotivasi, atau memiliki
kesulitan untuk memulai kegiatan di pagi hari
atau bahkan sulit bangun dari tempat tidur.
- Menurunnya tingkat partisipasi sosial atau
minat pada aktivitas sosial.
- Kehilangan kenikmatan atau minat dalam
aktivitas menyenangkan.
- Menurunnya minat pada seks.
- Gagal dalam merespon pada pujian atau
reward.
Perubahan dalam fungsi dan - Bergerak atau berbicara dengan lebih perlahan
perilaku motorik dari biasanya.
- Perubahan dalam kebiasaan tidur (tidur terlalu
banyak atau terlalu sedikit, bangun lebih awal
dari biasanya dan merasa kesulitan untuk
kembali tidur dipagi buta).
- Perubahan dalam selera makan (makan terlalu
banyak atau terlalu sedikit).
- Perubahan dalam berat badan (bertambah atau
kehilangan berat badan).
- Berfungsi secara kurang efektif daripada
biasanya di tempat kerja atau sekolah.
Perubahan kognitif - Kesulitan berkonsentrasi atau berpikir jernih.
- Berpikir negatif mengenai diri sendiri atau
masa depan.
- Perasaan bersalah atau menyesal mengenai
kesalahan masa lalu.
- Kurangnya self esteem atau merasa tidak
adekuat.
- Berpikir akan kematian atau bunuh diri.
Depresi terbagi atas 2(dua) jenis gangguan, yaitu depresi mayor
dan gangguan distimik. Gangguan depresi mayor adalah tipe yang paling
umum dari gangguan mood yang dapat didiagnosis, dengan perkiraan
prevalensi semasa hidup berkisar antara 10% hingga 20 % untuk wanita
dan 5% hingga 12% untuk pria (APA, dalam Jeffrey S.Nevid).
11. Ciri-ciri diagnostik dari suau episode depresi mayor menurut DSM
IV-TR (APA, dalam Jeffrey S. Nevid) adalah sebagai berikut :
Suatu episode depresi mayor ditandai dengan munculnya lima atau
lebih ciri-ciri atau simtom di bawah ini selama suatu periode 2 minggu,
yang mencerminkan suatu perubahan fungsi sebelumnya. Paling tidak satu
dari ciri tersebut harus melibatkan mood yang depresi, atau kehilangan
minat atau kesenangan dalam beraktivitas. Simtom tersebut harus
menyebabkan baik tingkat distres yang signifikan secara klinis maupun
hendaya paling tidak dalam suatu area pernting dari fungsi, seperti fungsi
sosial atau pekerjaan, dan harus bukan merupakan akibat langsung dari
penggunaan obat-obatan atau medikasi, dari suatu kondisi medis, atau dari
gangguan kondisi psikologis lain. Episode tersebut tidak boleh mewakili
auatu reaksi berduka yang normal terhadap kematian seseorang yang
dicintai.
1. Mood yang depresi hampir sepanjang hari, dan hampir setiap
hari. Dapat berupa mood yang mudah tersinggung pada anak-
anak atau remaja.
2. Penurunan kesenangan aatau minat secara drastis dalam semua
atau hampir semua aktivitas, hampir setiap hari, hampir
sepanjang hari.
3. Suatu kehilangan atau pertambahan berat badan yang signifikan
(5% lebih dari berat tubuh dalam sebulan) tanpa upaya apapun
untuk berdiet, atau suatu peningkatan atau penurunan dalam
selera makan.
4. Setiap hari (atau hampir setiap hari) mengalami insomnia atau
hipersomnia.
5. Agitasi yang berlebihan atau melambatnya respon gerakan
hampir setiap hari.
6. Perasaan lelah atau kehilangan energi hampir setiap hari.
12. 7. Perasaan tidak berharga atau salah tempat ataupun rasa
bersalah yang berlebihan atau tidak tepat hampir setiap hari.
8. Berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi atau berpikir
jernih atau untuk membuat keputusan hampir setiap hari.
9. Pikiran yang muncul berulang tentang kematian tanpa suatu
rencana yang spesifik, atau munculnya suatu rencana bunuh
diri, atau rencana yang spesifik untuk bunuh diri.
Episode-episode depresi mayor dapat berlangsung dalam jangka
bulanan atau satu tahun atau bahkan lebih (APA, dalam Jeffrey S.Nevid).
Sejumlah orang mengalami sebuah episode tunggal dengan tingkat
berfungsi yang sepenuhnya kembali seperti semula. Namun sebagian besar
orang dengan depresi mayor, sebanyak 85 %, kambuh secara berulang-
ulang (Mueller dkk, dalam Jeffrey S.Nevid). Rata-rata orang dengan
depresi mayor dapat mengalami empat episode selama hidupnya. Orang
yang terus memiliki simtom-simtom sisa depresi pertama cenderung lebih
sering kambuh. Dengan adanya pola kemunculan berulang dari episode
depresi mayor dan simtom-simtom yang terus bertahan, banyak ahli
memandang depresi mayor sebagai suatu gangguan kronis, bahkan
sepanjang hidup. Dari sis positifnya, semakin panjang periode
kesembuhan depresi mayor, semakin rendah resiko untuk kambuh
dikemudian hari (Solomon, dalam Jeffrey S.Nevid).
Gangguan depresi selanjutnya adalah gangguan distimik.
Gangguan distimik adalah suatu gangguan depresi yang ringan namun
kronis. Orang dengan gangguan distimik merasakan spirit yang buruk,
keterpurukan sepanjang waktu, namun mereka tidak mengalami depresi
yang parah sperti yang terjadi pada orang dengan gangguan depresi mayor.
Sementara gangguan depresi mayor cenderung parah dan terbatas
waktunya, gangguan distimik relatif ringan dan kronis, biasanya
berlangsung selama beberapa tahun (Klein dkk, dalam Jeffrey S.Nevid).
13. Perasaaan depresi dan kesulitan terus ada bahkan setelah orang
tersebut menampakkan kesembuhan, resiko dari kambuh lembali juga
cukup tinggi.
Pada gangguan distimik, keluhan mengenai depresi dapat menjadi
smecam pelengkap dari kehidupan orangvtersbut sehingga sepertinya
sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari struktur kepribadian mereka.
Keluhan yang terus menerus dapat membuat orang lain menganggap
mereka perengek dan pengeluh (Akiskal, dalam Jeffrey S.Nevid). Meski
gangguan distimik lebih ringan daripada gangguan depresi mayor, mood
tertekan dan self esteem yang rendah yang terus menerus dapat
memeprngaruhi fungsi pekerjaan dan sosial orang tersebut.
Sebagian orang mengalami distimik sekaligus depresi mayor pada
waktu yang bersamaan. Istilah depresi ganda (double depression) dapat
dikenakan pada mereka yang mengalami depresi mayor yang berlapis
dengan gangguan distimik yang bertahan lebih lama. Orang dengan
depresi ganda umumnya mengalami episode depresi yang lebih parah dari
depresi mayor saja. Bukti-bukti menunjukkan bahwa tampaknya hampir
semua orang dengan distimia pada akhirnya juga akan mengalami depresi
ganda (Klein, dalam Jeffrey S.Nevid).
Ditinjau dari psikoanalitik. Freud mengemukakan pendekatan
psikoanalitik tentang depresi dengan baik. Ia menyatakan jika kebutuhan
oral anak lebih dari atau dibawah puas maka ia dapat mengembangkan
suatu ketergantungan yang berlebihan untuk harga diri. Kemudian, jika
orang yang dicintai hilang, orang yang ditinggalkan akan memikirkan
secara penuh. Sebagaimana halnya perasaan terhadap orang yang dicintai
telah menjadi negatif, maka kebencian dan kemarahan mengembang pada
dirinya. Bersamaan dengan itu, ada pengembangan kebencian di depresi
melalui perasaan bersalah pada dosa-dosa yang dilakukan terhadap orang
yang hilang. Pada mereka yang berusia lebih dewasa, hal ini dapat
14. mengakibatkana hukuman diri, menyalahkan diri dan karenanyalah terjadi
depresi. Jadi Freud melihat depresi sebagai kemarahan berbalik melawan
diri.
Ditinjau dari teori belajar. Teori-teori pembelajaran memandang
depresi sebagai suatu kondisi yang ditandai dengan penurunan aktivitas
yang mengikut penarikan atau kehilangan besar dan kondisi tersebut terus
diperkuat. Setelah ada perilaku tertekan diperkuat oleh adanya perhatian
dan simpati.
Teori pembelajaran berbasis paling berpengaruh terhadap depresi
yang tergantung pada gagasan utama ketidakberdayaan yang dipelajari.
Hal ini menunjukkan kecemasan yang merupakan respon awal terhadap
situasi stres dan kemudian jika orang datang untuk percaya bahwa situasi
tidak terkendali, kecamasan diganti oleh depresi.
Ditinjau dari teori kognitif. Beck (dalam K.T Stongman)
mencontohkan toeri kognitif depresi dengan titik awal bahwa pikiran dan
keyakinan menyebabkan kondisi emosional. Dia berpendapat bahwa orang
menjadi depresi melalui membuat kesalahan yang logis, kemudian mereka
menyalahkan diri sendiri. Sebuah peristiwa yang biasanya dilihat sebagai
hanya menjengkelkan dipandang sebagai contoh lain dari keputusasaan
menjalani kehidupan. Jadi, seorang yang depresi cenderung membuat
sebuah kesimpulan yang tidak logis tentang dirinya.
Ditinjau dari kondisi fisiologis. Sebanyak 50% hingga 60%
pasien depresi mengeluhkan gejala somatik, seperti pusing, mual, keluhan
lambung, saluran nafas, dan nyeri yang tidak jelas sumbernya. Karena itu,
perlu diwaspadai gejala-gejala depresi sperti fatigue, insomnia, sesak
nafas, nyeri punggung, diare dan sakit kapala. Pasien bisa juga menderita
nyeri dada, gangguan seksual, nyeri pinggang, dan gangguan saraf
otonom.
15. C. GANGGUAN EMOSI PADA PENDERITA ANXIETY
Dari perspektif fisiologis, Gray (dalam K T. Strongman) telah
memberikan kontribusi paling signifikan tentang kecemasan. Gray
menganggap sistem inhibisi yang mendasari perilaku kecemasan, tidak
seperti Pankseep (dalam K T. Strongman), yang menempatkan kecemasan
dalam perang antar sistem di otak. Kontras antara dua pandangan ini
adalah bahwa kecemasan melibatkan respon dari sistem inhibisi perilaku,
atau menjadi cara melarikan diri yang dimediasi oleh hipotalamus.
Kirkeegard (dalam K T. Strongman) memandang kecemasan
sebagai keadaaan alami individu. Hal ini tampak pada gagasan bahwa
perkembangan dan kematangan tergantung pada kebebasan, dan pada
gilirannya tergantung pada kesadaran terhadap kemungkinan-
kemungkinan yang ada dalam kehidupan. Kecemasan berkembang setelah
pengembangan kesadaran diri dan memungkinkan seseorang membentuk
sebuah kemandirian.
Barlow (dalam K T. Strongman) mencirikan kecemasan sebagai
struktur kognitif-afektif yang melibatkan emosi negatif yang tinggi yang
tidak terkontrol, fokus diri dan keasyikan diri. Ia juga berpendapat bahwa
sulit untuk membedakan antara kecemasan dan depresi, karena
kebanyakan pasien depresi juga cemas, tapi tidak semua pasien cemas
mengalami depresi. Barlow menamakan kembali kecemasan sebagai
“anxious apprehension” sebuah masa depa berorientasi pada tingkatan
suasana hati. Inilah kondisi yang telah dpersiapkan dengan peristiwa
negatif untuk seterusnya.
Tipe progresi dalam “anxious apprehension” ini menuju kepada :
1. Kecenderungan untuk menghindari pernyataan (seperti
menghindari tes atau menghindari seks).
16. 2. Keraguan, tentang usaha yang sia-sia untuk mengintrol
kecemasan.
Kecemasan kronis juga diasosiasikan dengan kegugupan atau
keterbangkitan dan kekakuan otonomik walaupun terus menerus siap
untuk melawan bahaya.
Teori Barlow memasukkan pertimbangan asal usul kecemasan,
ketakutan, cemas, dan gangguan terkait. Dia melihat tiga proses tahapan
atau dengan kata lain tiga sumber utama pengaruh. Genetika kita
menciptakan kerentanan biologis umum. Pengalaman hidup membuat
kerentanan psikologis. Keduanya menyebabkan kecemasan umum dan
depresi. Kemudian pada tahap ketiga didapatkan fokus kecemasan pada
situasi kehidupan tertentu. Kecemasan tidak dapat sepenuhnya dipahami
tanpa mengambil beberapa aspek kognitif yang mempengaruhinya.
Selain itu, walaupun kecemasan jelas merupakan emosi negatif
yang tidak menyenangkan, namun memotivasi, bisa menjadi pengait
dengan stimuli baru atau peristiwa dan tampaknya menjadi tak terelakkan
atau bahkan di beberapa pandangan merupakan bagian penting dari
kondisi manusia.
Ciri-ciri kecemasan menurut Jeffrey S. Nevid, dkk adalah sebagai
berikut:
Ciri-ciri fisik : Ciri-ciri behavioral dari kecemasan :
Kegelisahan, kegugupan. Perilaku menghindar
Tangan atau anggota tubuh yang bergetar atau Perilaku melekat dan dependen
gemetar.
Perilaku terguncang
Sensasi dari pita ketat yang mengikat di sekitar
dahi.
Kekencangan pada pori-pori perut atau dada. Ciri-ciri kognitif dari kecemasan :
17. Banyak berkeringat Khawatir tentang sesuatu
Telapak tangan yang berkeringat Perasaan terganggu akan ketakutan atau
apprehensi terhadap sesuatu yang terjadi dimasa
Pening atau pingsan depan
Mulut atau kerongkongan terasa kering Keyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan
akan segera terjadi. Tanpa ada penjelasan yang
Sulit berbicara jelas
Sulit bernafas Terpaku pada sensasi kebutuhan
Berbafas pendek Sangat waspada terhadap sensasi kebutuhan
Jantung yang berdebar keras Merasa terancam oleh orang atau peristiwa yang
normalnya hanya sedikit atau tidak mendapat
Suara yang bergetar perhatian
Jari-jari atau anggota tubuh yang menjadi dingin Ketakutan akan kehilangan kontrol
Pusing Ketakutan akan ketidakmampuan untuk
mengatasi masalah
Merasa lemas atau mati rasa
Berpikir bahwa dunia mengalami keruntuhan
Sulit menelan
Berpikir bahwa semuanya tidak lagi bisa
Kerongkongan terasa tersekat dikendalikan
Leher atau punggung terasa kaku Berpikir bahwa semuanya terasa sangat
membingungkan tanpa tanpa bisa diatasi
Sensasi seperti tercekik atau tertahan
Khawatir terhadap hal-hal yang sepele
Tangan yang dingin dan lembab
Berpikir tentang hal mengganggu yang sama
Terdapat gangguan sakit perut atau mual secara berulang
Panas dingin Berpikir bahwa harus kabur dari keramaian,
kalau tidak pasti akan pingsan
Sering buang air kecil
Pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan
Wajah terasa memerah
Tidak mampu menghilangkan pikiran-pikran
Diare terganggu
Merasa sensitif atau mudah marah Berpikir akan segera mati, meskipun dokter
tidak menemukan sesuatu yang salah secara
medis
Khawatir akan ditinggal sendirian
18. Sulit berkonsentrasi atau memfokuskan pikiran
Ciri-ciri diagnostik dari gangguan-gangguan kecemasan :
1. Agorafobia. Adalah ketakutan dan penghindaran terhadap
tempat atau situasi dimana akan sulit atau memalukan bila
harus melarikan diri, atau dimana bantuan tidak mungkin
ditemukan bila terjadi serangan panik atau simtom seperti
panik.
2. Gangguan panik tanpa agorafobia. Timbulnya serangan panik
yang tidak terduga dan berulang, dan adanya keprihatinan yang
persisten tentang suatu hal tersebut, tetapi tanpa disertai
agorafobia.
3. Gangguan panik dengan agorafobia. Timbulnya serangan-
serangan panik yang tidak terduga dan berulang dan adanya
keprihatinan yang persisten tentang suatu hal tersebut, disertai
agorafobia.
4. Gangguan kecamasan menyeluruh. Tingkat kecemasan dan
kekhawatiran yang berlebihan serta persisten yang tidak terkait
dengan suatu objek, sitiuasi atau aktivitas tertentu.
5. Fobia spesifik. Kecemasan yang secara klinis signifikan,
berhubungan dengan pemaparan terhadap situasi atau ibjek
yang spesifik, seringkali disertai dengan penghindaran stimuli
tersebut.
6. Fobia sosial. Kecemasan yang secara klinis signifikan,
berhubungan dengan pemaparan terhadap situasi sosial atau
situasi performa (harus melakukan sesuatu) seringkali disertai
penghindaran terhadap situasi tersebut.
7. Gangguan obsesif kompulsif. Obsesi atau kompulsif yang
berulang.
19. 8. Gangguan stress pasca trauma. Pengalaman mengalami
kembali suatu peristiwa yang sangat traumatis disertai dengan
meningkatnya keterangsangan dan penghindaran stimuli yang
diasosiasikan dengan peristiwa tersebut.
9. Gangguan stress akut. Ciri yang serupa dengan gangguan stres
pascatrauma tetapi terbatas pada hari-hari atau minggu-minggu
sesudah pemaparan terhadap trauma.
Tipe-tipe gangguan kecemasan :
1. Gangguan panik. Terjadinya serangan panik berulang yang
merupakan episode teror yang luar biasa disertai dengan respon
fisiologis yang kuat, pikiran-pikiran tentang bahaya yang egera
datang atau melapetaka yang akan tiba, dan dorongan untuk
melarikan diri. Ciri-cirinya adalah :
a. Ketakutan untuk terjadinya serangan lagi mungkin
mendorong penghindaran situasi dimana hal itu terjadi atau
setting di mana bantuan mungkin tidak didapatkan.
b. Serangan panik mulai secara tak terduga tetapi mungkin
diasosiasikandengan sinyal tertentu atau suatu situasi
spesifik.
2. Gangguan kecemasan menyeluruh. Kecemasan yang persisten
yang tidak terbatas pada situasi tertentu. Ciri-cirinya adalah :
a. Kecemasan yang belebihan adalah kuncinya.
b. Diasosiaikan dengan peningkatan ketegangan, perasaan
tidak nyaman.
3. Gangguan fobia. Ketakutan yang berlebihan terhadap objek
atau situasi tertentu. Ciri-cirinya adalah :
a. Mencakup komponen menghindar yang kuat dimana
individu berusaha untuk menghindari kontak dengan
stimulus atau situasi fobik.
20. b. Subtipe, mencakup fobia spesifik (misalnya acrophobia,
claustrophobia, ketakutan pada serangga, atau ular); fobia
sosial (ketakutan yang berlebihan pada interaksi sosial) dan
agorafobia (ketakutan pada tempat terbuka).
4. Gangguan obsesif kompulsif. Obsesi berulang (pikiran intrusif
yang berulang) dan atau kompulsif (tingkah laku repetitif yang
dirasakan sebagai sesuatu yang harus dilakukan). Ciri-cirinya
adalah:
a. Dua tipe kompulsi mayor : ritual pengecekan dan ritual
bersih-bersih.
b. Obsesi menimbulkan kecemasan yang mungkin sebagian
dapat dikurangi dengan melakukan ritual kompulsif.
5. Gangguan stres traumatis. Reaksi maladaptif akut yang segera
timbul setelah peristiwa traumatis (gangguan stres akut) atau
reaksi maladaptif berkelanjutan terhadap suatu peristiwa
traumatis (gangguan stres pasca trauma). Ciri-cirinya adalah:
a. Menghindari kembali peristiwa traumatis, menghindari
sinyal atau stimuli yang diasosiasikan dengan trauma, mati
rasa emosional atau secara umum, mudah terangsang,
distres emosional, dan fungsi yang terganggu.
b. Kerentanan tergantung kepada faktor-faktor sperti
keparahan trauma, taraf pemaparan, gaya coping, dan
ketersediaan dukungan sosial.
21. DAFTAR PUSTAKA
James P. Chaplin. 2009. Kamus Lengkap Psikologi. (Dr. Kartini Kartono.
Terjemahan). Jakarta: Rajawali Pers. Buku asli diterbitkan tahun 1981.
Jeffrey S. Nevid, Dkk. 2005. Psikologi Abnormal jilid 1 (ed.5) (Tim
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Terjemahan). Jakarta : Penerbit
Erlangga. Buku asli diterbitkan tahun 2003.
K.T. Strongman. 2003. The Psychology of Emotion. From everyday life to
theory. (ed5). Inggris: John Wiley & Sons Ltd.
Yustinius Semiun, OFM. 2006. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.